BAB I
PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUANA. LATAR BELAKANG MASALAH 1. Membangun Teologi Kontekstual
Kekristenan di Indonesia lahir sebagai buah Pekabaran Injil oleh para missionaris dari
Barat. Injil yang dibawa ke Indonesia adalah buah penghayatan iman mereka dalam satu
kurun waktu tertentu. Namun kita sering menganggap bahwa konsep teologi yang kita
warisi tersebut sebagai konsep yang universal dan dapat membangkitkan penghayatan iman
yang benar bagi segala tempat dan zaman. Hal ini bisa benar, seandainya wilayah
pekabaran Injil dihuni oleh manusia tanpa identitas, antara lain adat istiadat atau budaya
yang lahir dari sistem religi yang dianut sebelumnya. Atau seandainya konsep teologi itu
adalah rumus-rumus proposisional yang dirancang dan diturunkan dari langit (TUHAN)
sehingga dapat berlaku seketika di segala tempat dan waktu. Gerrit Singgih mengatakan,
apa yang dibawa oleh para missionaris itu adalah sebagian kekayaan Kristus. Sebagian
yang lain dari kekayaan tersebut, entah bagaimana sudah ada di Timur (Asia) !1 Dan anehnya, sangat kecil kesadaran orang Timur terhadap kenyataan bahwa apa yang dibawa
dari Barat sebenarnya berasal dari Timur juga2.
Prinsip di atas tentunya tidak akan membuat kita terjebak dalam paham yang keliru,
antara lain mendewa-dewakan masa lalu yang tidak akan pernah kembali (arkaisme), atau
mengembangkan sikap anti Barat (xenofobia) dan kembali menjadi tradisional, atau
beriktiar membangun teologia mulai dari nol.3 Memang interpretasi terhadap penyataan
Allah berdasarkan identitas dan situasi kita harus dilakukan. Banawiratma mengatakan
1
E.G.Singgih, Dari Israel Ke Asia, (Jakarta,1982), p. 26.
2
Membaca Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia (Jakarta 1996), p 1-2
3
impor teologia-jadi Barat tidak lagi memenuhi kebutuhan penghayatan iman Gereja-gereja
setempat4. Tetapi bukan berarti apa yang ada sekarang (sebagai warisan teologia dari Barat) harus dihancurkan dan membangun sesuatu yang sama sekali baru. Juga bukan berarti
bahwa segala sesuatu yang datang dari barat tidak sesuai dengan konteks kita dan karena itu
harus ditolak. Yang harus dilakukan adalah berusaha untuk menjaga agar hal-hal yang kita
warisi dari Barat, tidak sampai mendominasi serta menentukan penghayatan iman kita,
sehingga kekayaan yang ada dalam kebudayaan sendiri tidak dapat disumbangkan dalam
penghayatan tersebut dan sehingga terhimpit, layu, dan akhirnya mati.5 2. Gereja Toraja dan pergumulan Kontekstualisasi
Secara historis, Gereja Toraja merupakan karya pelayanan para missionaris yang
diutus Gereformeerde Zendingsbond (GZB), sebuah badan zending yang didirikan oleh
warga jemaat-jemaat Nederlandse Hervormde Kerk (NHK) pada tahun 1901. Antonie Aris
van de Loosdrecht adalah zendeling pertama yang diutus ke Toraja pada bulan November
19136. Karya van de Loosdrecht ini kemudian diteruskan oleh utusan-utusan GZB yang dalam melaksanakan kegiatan Pekabaran Injil mendasarkan pengajarannya secara ketat
pada Tiga Naskah Keesaan yaitu Katekismus Heidelberg, 37 Pasal Pengakuan Iman
Belanda dan Lima Pasal Menentang Remostran7, sedangkan budaya orang Toraja yang diwarisi dari sistem religi nenek moyang tidak mendapat apresiasi dalam penghayatan iman
4
J.B.Banawiratma, “ Teologi Fungsional-Teologi Kontekstual” dalam Konteks Berteologi di Indonesia. peny. Eka Darmaputera, (Jakarta, 1997), p. 50.
5
E.G.Singgih, Berteologia dalam Konteks, (Yogyakarta,2000) p. 24.
6
J.A. Sarira, Benih Yang Tumbuh VI (Kupang, 1975), p. 18. Kisah pelayanan van den Loosdrect yang diceritakan melalui korespondensinya ke Belanda dikumpulkan dan edit oleh anaknya, Anthonia Arisa van den Loosdrect-Muller, Dari Benih Terkecil Tumbuh Menjadi Pohon, Kisah Anthon dan Alida van den
Loosdrect, Misionaris Pertama ke Toraja, (Tana Toraja, 2005).
7
Melalui konfrensi badan zending tahun 1937, ketiga naskah ini dijadikan sebagai dasar pengajaran sekaligus sebagai Pengakuan Iman di daerah-daerah misi. J.A.Sarira, Benih Yang Tumbuh VI, p. 18; Juga dalam Ch. De Joonge, Apa itu calvinisme (Jakrta 1998), p. 85
karena dianggap kafir.8 Ketiga naskah keesaan inilah yang menjadi Pengakuan Gereja Toraja hingga tahun 1980.
Sejak tahun 1981, Gereja Toraja telah memiliki rumusan pengakuan sendiri.
Rumusan tersebut merupakan hasil penggumulan Komisi Khusus Pengakuan Gereja Toraja
yang dibentuk tahun 1972, yang kemudian disahkan dalam Sidang Sinode Am Gereja
Toraja tahun 1981 sebagai Pengakuan Gereja Toraja (selanjutnya disingkat PGT). Dalam
PGT, apresiasi terhadap nilai-nilai budaya orang Toraja belum mendapat tempat dalam
penghayatan iman, karena rumusannya masih tetap mengacu pada Ketiga Naskah Keesaan
yang disebut di atas ditambah Pengakuan oikumenis (Pengakuan Iman Rasuli, Pengakuan
Nicea Konstantinopel dan Pengakuan Athanasius).9 Di dalamnya memang masalah budaya disinggung, tetapi masih merupakan peringatan-peringatan mengenai unsur kekafiran
dalam budaya Toraja yang harus diperhatikan oleh warga jemaat agar tidak terjebak dalam
penyembahan berhala.
Namun dewasa ini mulai muncul kesadaran baru di kalangan Gereja Toraja untuk
melakukan interpretasi yang mendalam terhadap kandungan makna di balik kebudayaan
yang dengannya masyarakat tumbuh, sehingga dalam bingkai budaya tersebut orang Toraja
bisa menghayati imannya. Salah satu topik yang mengemuka saat ini adalah ide mengenai
“Gereja sebagai Tongkonan Kristus”10 yang digagas Dr.Th Kobong yang menulis disertasi pada tahun 1989 di University of Hamburg berjudul Evanggelion und Tongkonan (Injil dan
Tongkonan). Tetapi tampaknya metodologinya masih berkisar pada Model Penerjemahan
8
Ery Hutabarat Lebang, “ Identitas Komunitas Kristen Toraja dalam Tantangan” , dalam Martin L.Sinaga (dkk.,peny.), Misiologi Kontekstual: Th. Kobong dan Pergulatan Kekristenan Lokal di Indonesia (Jakarta, 2004), p. 31.
9
BPS Gereja Toraja, Pengakuan Gereja Toraja (Rantepao, 1992), p. 3
10
Nama Tongkonan (dari kata dasar tongkon yang artinya datang/berkumpul) sebenarnya adalah sebutan untuk rumah Adat Toraja, tetapi kemudian menjadi simbol kekerabatan dan persekutuan keluarga besar di Toraja, di mana kehidupan keluarga besar dibina dan diarahkan.
seperti yang diidentifikasi Robert Schreiter11. Z.J. Ngelow menilai bahwa dalam ide itu, nilai-nilai Tongkonan menurut orang Toraja direbut dan beralih tangan menjadi Tongkonan
Kristus dengan suatu upaya mengungkapkan kebenaran injil (yang universal) ke dalam atau
melalui kebudayaan (yang partikular)12. Artinya jika hal ini dilihat dalam dinamika pengertian kontekstualisasi dari Shoki Coe, maka mungkin ide “Gereja Sebagai Tongkonan
Kristus” yang diajukan Kobong adalah contextualized teology dan bukan contextualizing
teology.13
Walaupun demikian, pemikiran ini telah merangsang gairah berteologi kontekstual
Gereja Toraja. Puncaknya adalah pengesahan rumusan hasil Konsultasi III Pekabaran Injil
Gereja Toraja 2005 dalam Sidang Sinode Am XXII Gereja Toraja di Jakarta pada
pertengahan 2006, di mana Gereja Toraja 1) mulai terbuka untuk memikirkan kembali
persoalan relasi Injil dan Kebudayaan, 2) menyadari bahwa warisan teologi kadang-kadang
menjadi hambatan proses kontekstualisasi dan 3) menegaskan bahwa kontekstualisasi
adalah menemukan injil dalam konteks, bukan memaksakan Injil ke dalam konteks.14 Ketiga hal ini pulalah yang menjadi titik berangkat penulis dalam tesis ini.
Namun sebelum lebih jauh, penulis perlu menjernihkan pengertian mengenai
kontekstualisasi yang hendak di bangun di sini. Penulis mencoba melampaui model
penerjemahan yang telah dirintis Kobong. Tentu model ini tidaklah ditolak. Bagaimanapun
model ini bisa membantu orang Toraja mendekatkan diri kepada budayanya sendiri yang
selama ini terlanjur dicap kafir. Tetapi dalam tulisan ini, penulis mencoba untuk bergerak
lebih jauh ke dalam esensi budaya itu untuk menemukan nilai-nilai teologis yang kira-kira
11
Robert J. Schreiter, Rancang Bangun Teologi Lokal (Jakarta,1996), p.14-18
12
Z.J.Ngelow, “ Teologi Tongkonan, Apresiasi Kristis terhadap Kontekstualisasi Dr.Th. Kobong, dalam Martin L.Sinaga (dkk.,peny.), Misiologi Kontekstual, pp. 56, 51
13
Shoki Coe, seperti yang diuraikan Gerrit Singgih dalam Dari Israel ke Asia, p. 15. Penulis mengatakan “ mungkin” karena tesis ini tidak bermaksud lebih jauh menanggapi teologi Kobong.
14
Panitia Pelaksana SSA XII GT, Himpunan Keputusan Sidang Sinode Am XII Gerja Toraja (Jakarta, 2006), p. 99-101.
bisa menjadi pertimbangan dalam menanggapi penyataan Allah di samping rumusan yang
sudah ada di dalam Pengakuan Gereja Toraja.
B. PERMASALAHAN
1. Korban dalam budaya Toraja dan dalam Kitab Imamat: Titik berangkat Dilatarbelakangi kenyataan-kenyataan dan kesadaran di atas, penulis akan mengkaji
korban dalam budaya Toraja dan dalam Kitab Imamat untuk menemukan pokok-pokok
pikiran yang nantinya akan didialogkan dalam penghayatan iman Gereja Toraja.
1.1. Korban dalam budaya Toraja
Ketika berbicara tentang Toraja, diskusi tentang pemotongan hewan dalam
upacara-upacara adat di daerah ini selalu menjadi bagian yang menarik15. Upacara adat ini merupakan warisan Aluk To Dolo, agama suku yang dianut orang Toraja sebelum
masuknya agama Kristen dan agama lain ke Toraja. Memang sampai saat ini, penganut
Aluk To Dolo di Toraja semakin sedikit jumlahnya. Sebagian besar masyarakat Toraja telah
menganut agama Kristen16. Namun ritual-ritual korban masih dijalankan dan dalam pelaksanaannya, hampir semua mekanisme dan aturan dalam Aluk To Dolo masih
dipertahankan, kecuali bahwa hal itu dilakukan untuk menyembah dewa-dewa dan arwah
nenek moyang. Paniki Siman mencatat bahwa entah sadar atau tidak, pengaruh animis
masih turut menggerakkan eksistensi orang-orang Toraja yang sudah menjadi penganut
agama Kristen sekalipun.17 Pelaksanaan upacara adat ini memang selalu ditempatkan dalam terma pemeliharaan adat istiadat, dan tidak lagi berkaitan dengan persoalan religius. Namun
15
Ketika Pemerintah orde baru sedang gencar menjual berbagai artefak budaya Indonesia melalui program “ Visit Indonesia Year 1991” , budaya korban di Toraja dimasukkan dalam Calender of Events pada brosur program tersebut. Dirjen Pariwisata Indonesia, Visit Indonesia Year 1991, Calender of Events (Jakarta, 1991), p.33
16
Badan Pekerja Sinode Gereja Toraja mencatat bahwa dari 435.000 populasi orang Toraja di Toraja, sekitar 85% di antaranya adalah warga Gereja Toraja. Lih. BPS Gereja Toraja, Dari Palopo Ke Jakarta: Laporan
BPS Gereja Toraja pada Sidang Sinode Am ke 22 di Jakarta (Rantepao 2006), p.13.
17
nilai-nilai yang terkandung di balik pelaksanaan sebuah upacara korban, tetap menjadi hal
yang memiliki nilai tinggi bagi masyarakat Toraja.
Karena itu dalam tulisan ini, penulis hendak mengungkap idea-idea yang
terkandung dalam budaya korban di Toraja. Dalam hal ini, penulis tidak memilih satu jenis
upacara korban di Toraja, mengingat budaya korban di Toraja berada dalam satu
kompleksitas yang disebut aluk simuane tallang silau eran18 (aturan upacara agama yang berpasangan dan bertingkat). Harapannya adalah analisis terhadap idea-idea dalam budaya
ini dapat menghasilkan tema-tema teologi yang bisa menjadi pertimbangan untuk
melakukan suatu upaya kontekstualisasi dalam konteks budaya korban di Toraja.
1.2. Korban dalam kitab Imamat
Penelusuran terhadap budaya korban orang Toraja, selanjutnya akan dilanjutkan
dengan upaya serupa terhadap budaya korban dalam Alkitab. Dalam hal ini penulis
memfokuskannya pada kitab Imamat dengan pertimbangan bahwa informasi mengenai
dilembagakannya ritual-ritual korban dalam sistem religi orang Israel diuraikan secara
detail dalam Imamat. Maksud dari penelusuran ini adalah mencari kemungkinan
munculnya tema-tema teologis yang nantinya akan didialogkan dengan tema-tema serupa
dari budaya korban di Toraja untuk mengajukan alternatif pemikiran terhadap bangunan
teologi Gereja Toraja sebagaimana dirumuskan dalam PGT.
Dalam tradisi protestan, kitab Imamat sering dianggap sebagai yang tidak penting
dan tidak menarik hati.19 Bahkan Samuel Balentine mengatakan bahwa Kitab Imamat mungkin merupakan the most neglected of the neglected biblical books20. Di kalangan
Gereja Toraja pun, penulis mendapat kesan bahwa Kitab Imamat cenderung dianaktirikan.
18
Simuane Tallang secara harf berarti berpasangan seperti belahan bambu untuk atap. Belahan yang satu
menghadap ke atas, sedangkan yang lainnya menghadap ke bawah. Jadi artinya “ berpasangan” . Silau Eran secara harf berarti “ seperti anak tangga” jadi bertingkat-tingkat.
19
R.M.Paterson, Tafsiran Alkitab, Kitab Imamat (Jakarta, 1997), p. 1
20
Dalam buku Membangun Jemaat, buku almanak yang diterbitkan Badan Pekerja Sinode
Gereja Toraja setiap tahun, tidak pernah sekalipun kitab Imamat dipakai sejak edisi
2000-2007.
Tentu alasan penulis untuk memilih kitab Imamat bukan sekedar karena masalah
penganaktirian di atas. Lebih dari itu, penulis yakin bahwa kitab Imamat tetap menyimpan
nilai-nilai yang penting untuk penghayatan iman Kristiani, apalagi untuk konteks Toraja
yang juga mengenal dan masih mempraktekkan ritual-ritual korban. B.S.Childs
mengatakan bahwa jika kasih Allah tetap relevan pada zaman sekarang, demikian pulalah
kitab Imamat21. Memang benar bahwa di kalangan agama Yahudi, ritual korban sudah tidak dilakukan setelah Yerusalem dihancurkan kekaisaran Romawi pada tahun 70, namun kitab
ini tetap di junjung tinggi dan dipelajari dengan saksama22.
Dalam kitab Imamat, kita menemukan aturan yang sangat rinci mengenai ritual
korban. Dalam konteks narasi, bisa dikatakan bahwa aturan-aturan mengenai korban
diberikan langsung oleh Tuhan setelah Kemah Suci dibangun, dengan padang Gurun Sinai
sebagai settingnya. Namun dari sudut pandang kritik historis diperlihatkan bahwa Kitab
Imamat sebenarnya bersumber dari Tradisi Imam (biasa disebut sumber P) yang dipelihara
dalam tradisi peribadatan di bait suci, dan mencapai bentuk finalnya di sekitar zaman
pembuangan. Dengan demikian rincian peraturan mengenai korban sudah diolah dalam
penghayatan para imam dalam tradisi peribadatan di Bait Suci dan bukan rekaman
langsung dari perintah Tuhan di Gurun Sinai. Itu berarti bahwa pembicaraan kita mengenai
kitab Imamat tidak akan lepas dari Tradisi Imam, di mana akan diupayakan mengungkap
idea-idea di balik peraturan korban dalam kitab Imamat.
21
B.S. Childs, Introduction to The Old Testamest as Scripture (Philadelphia, 1979), 188
22
E.G.Singgih, “ Korban dan Pendamaian” , materi Kuliah Teologi Biblika Indonesia, PPST-UKDW 2007 (Power Point Presentation) p. 71.
2. Worldview di balik korban: Kerangka Teori
Kerangka teoretis untuk menganalisa kedua konteks ini berangkat dari teori
Clifford Geertz tentang simbol-simbol sakral termasuk ritual-ritual agama yang tergambar
dari judul salah satu essay dalam bukunya “Agama sebagai sebuah sistem kebudayaan”23. Geertz adalah salah satu antropolog budaya yang memberi perhatian yang sangat besar
dalam upaya memahami dan memaknai simbol-simbol sakral termasuk ritual-ritual dalam
sebuah agama, dengan pengaruh yang cukup besar dari Max Weber dan Talcot Parson.24 Kebudayaan dipahami sebagai suatu pola makna yang diteruskan secara historis yang
terwujud dalam simbol-simbol yang dengannya manusia berkomunikasi, melestarikan dan
mengembangkan pengetahuan mereka tentang kehidupan dan sikap-sikap mereka terhadap
kehidupan25. Dalam konteks religius, simbolsimbol itu antara lain ritualritual -merupakan sintesa antara etos dengan worldview26 sebuah komunitas.27 Etos adalah sifat, watak dan kualitas kehidupan, gaya hidup, moral, serta suasana hati. Sedangkan worldview
adalah gambaran atau gagasan-gagasan yang paling komprehensif mengenai tatanan.
Gambaran atau gagasan ini bukan hanya menyangkut sesuatu yang “ada” tetapi juga
sekaligus “yang seharusnya ada”. Karena itu Geertz melihat sebuah ritual bukan hanya
memberi model dari, tetapi juga model untuk realitas28. Dalam worldview, manusia tidak hanya sekedar menggambarkan apa yang ada dan terjadi di alam semesta, lalu mengambil
inisiatif untuk melakukan sesuatu sebagai apresiasi terhadap apa yang ada dan terjadi di
23
Judul asli The Interpretation of Cultures: Selected Essays, New York, Basic Books, 1973. Penulis menggunakan versi bahasan Indonesia dari Bab 4,5 dan 6 Kebudayaan dan Agama (terj. F. Budi Hardiman), Yogyakarta, Kanisius 2000.
24
Daniel Pals, Seven Theories Of Religious. Diindonesiakan oleh Inyiak Ridwan Muzir, Dekonstruksi
Kebenaran: Kritik Tujuh Teori Agama (Yogyakarta, 1996) p. 335-337
25
Geertz, Kebudayaan dan Agama, p. 3.
26
Biasanya “ worldview” diterjemahkan dengan “ pandangan dunia” . Namun agar tidak dikacaukan dengan ungkapan “ pandangan terhadap dunia” yang juga menjadi salah satu unsur “worldview”, maka dalam tesis ini, penulis tetap menggunakan istilah worldview dan tidak menerjemahkannya menjadi “ pandangan dunia” .
27
I b i d, p. 4.
28
sana, tetapi juga mengandaikan sesuatu yang seharusnya terjadi disana, lalu membungkus
sekaligus mengaktualisasikannya secara simbolik melalui ritus-ritus. Jadi tampaknya ada
dialektika konfirmasi dan konfrontasi di dalamnya. Dunia yang dihayati dan dunia yang
dibayangkan, melebur dalam seperangkat bentuk simbolis yang menghasilkan perubahan
dalam pemahaman seseorang tentang kenyataan. Realitas yang dimaksud bukan hanya
menyangkut yang nyata (real), tetapi juga yang sungguh nyata (really real). Yang real
adalah yang nampak secara fisik dan merujuk pada keseharian yang bisa dilihat, sedangkan
yang really real adalah segala sesuatu yang kepadanya perspektif religius bersandar dan
kegiatan simbolis dari agama diabdikan.29 Di sinilah, Geertz merumuskan definisi agama sebagai sebuah sistem simbol-simbol yang berlaku untuk menetapkan suasana hati dan
motifasi-motifasi yang kuat, yang meresapi, dan yang tahan lama dalam diri manusia,
dengan merumuskan konsep-konsep mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan
membungkus konsep-konsep ini dengan semacam pancaran faktualitas, sehingga suasana
hati dan motivasi-motivasi itu tampak khas realistis.30
Dari definisi ini ditegaskan bahwa agama bukan sekedar metafisika belaka dan
juga bukan persoalan-persoalan etika belaka31. Jika agama hanya dipahami sebagai sebuah metafisika saja, maka worldview manusia-manusia yang hidup dalam bingkai sistem
religius itu dapat diabaikan. Seakan-akan kehidupan religius hanya bergantung pada “apa
yang diwahyukan” dan “respon manusia terhadap wahyu itu” tanpa ada kena mengena
dengan cara pandang mereka terhadap ralitas dan situasi real yang mereka hadapi. Dan jika
agama hanya dilihat dari sudut pandang etika saja, maka kita akan jatuh ke dalam
paradigma fungsionalisme -yang ditentang Geertz- yang melihat agama hanya sekedar
sebagai suatu fakta sosial tanpa pertalian dengan kenyataan yang transenden. Namun
29 I b i d, p. 32 30 I b i d, p. 5 31 Lih. ibid, p. 50
dengan menerima sintesa keduanya kita akan memahami sebuah sistem religius secara
lebih komprehensif dan memahami setiap simbol-simbol sakral yang memiliki makna
mendasar dalam kehidupan mereka serta membentuk sebuah tatanan budaya suatu
masyarakat yang mempengaruhi cara berfikir dan cara bertindak mereka32. Senada dengan itu J.B. Walsh mengatakan bahwa worldview menentukan cara pandang manusia terhadap
sesuatu dan bagaimana menentukan pilihan terhadap apa yang dihadapinya. Menurutnya,
kita dapat mengungkap dan mengerti worldview seseorang atau komunitasnya sejauh kita
mampu menganalisis tindakan orang/komunitas tersebut.33 Gorman kemudian memberi arahan dengan mencatat tiga unsur yang relasional dari sebuah worldview yang
membingkai sebuah ritual: 1) sebuah pemahaman atau pengetahuan untuk mengidentifikasi
unsur-unsur dari alam semesta dan mengorganisirnya ke dalam suatu pandangan yang
sistematis terhadap dunia. 2) posisi manusia di dalamnya, dan 3) apa yang harus dilakukan
manusia sehubungan dengan pandangan itu.34 Dengan demikian persoalan utama yang akan dikaji lebih jauh dalam penelusuran terhadap budaya korban di Toraja dan dalam
Kitab Imamat adalah worldview apa yang ada di balik ritual korban dan Toraja dan dalam
Kitab Imamat serta bagaimana aktualisasinya dalam ritual korban di Toraja dan dalam
Kitab Imamat ?
C. BATASAN MASALAH
Agar pengkajian ini lebih terarah, penulis mencoba memetakan permasalahan di atas
dengan pertanyaan-pertanyaan berikut :
1. Worldview apa yang ada di balik budaya korban di Toraja dan bagaimana
aktualisasinya dalam ritual-ritual korban ?
32
Arthur Holmes mengatakan bahwa, World view merupakan dasar dari kebutuhan manusia (a basic human
need) yang membantu manusia untuk menginterpretasi pengalamannya, sekaligus menjadi penuntun bagi
mereka dalam berfikir dan bertindak. Holmes, A.F., Contours Of A World View (Michigan, 1984), pp. 3-5.
33
J.B. Walsh, The Transforming Vision, Shaping Christian World View (Illionis, 1984), p. 31
34
2. Worldview apa yang ada di balik sistem korban dalam kitab Imamat dan bagaimana
aktualisasinya dalam ritual korban ?
3. Pemikiran teologi kontekstual apa yang muncul dari dialog antara unsur-unsur
worldview serta aktualisasinya dalam ritual korban di kedua konteks ini dengan pokok
yang sama dalam Pengakuan Gereja Toraja ?
D. TUJUAN
Penelitian ini diharapkan mencapai tujuan sebagai berikut :
1. Mengungkap worldview di balik budaya korban di Toraja serta aktualisasinya dalam
ritual korban di Toraja
2. Mengungkap worldview di balik sistem korban dalam kitab Imamat serta
aktualisasinya dalam ritual korban dalam kitab Imamat.
3. Mendialogkan unsur-unsur worldview serta aktualisasinya dalam ritual korban dalam
konteks Toraja dan Kitab Imamat, dengan pokok yang sama dalam Pengakuan Gereja
Toraja, untuk mengusulkan suatu pemikiran teologi kontekstual
E. HIPOTESIS
Berdasarkan uraian-uraian sebelumnya dan dengan berfokus pada rumusan masalah
di atas, penulis mengajukan hipotesis sebagai bahwa korban dalam budaya Toraja
merupakan aktualisasi dari worldview orang Toraja dan korban dalam kitab Imamat
merupakan aktualisasi worldview tradisi Imam. Dialog mengenai idea-idea yang terkait
dengan worldview - berikut aktualisasinya di kedua konteks – ini dengan pokok yang sama
dalam Pengakuan Gereja Toraja dapat menyumbangkan pemikiran teologi kontekstual bagi
Gereja Toraja.
Karena itu penulis merangkum semua pembahasannya dalam tesis berjudul:
PERTEMUAN DIALOGIS ANTARA KORBAN
F. METODE PENELITIAN
Penelitian terhadap budaya korban di Toraja bisa digolongkan sebagai penelitian
kebudayaan. Dengan mengindahkan peringatan Endaswara bahwa budaya bukan sekedar
tumpukan acak fenomena atau sekedar kebiasaan yang lazim melainkan tertata rapi dan
penuh makna35, maka penulis akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengungkap unsur-unsur dalam budaya korban di Toraja secara holistik, walaupun pada tahap analisis
akan dipilih beberapa unsur yang akan mendapat penekanan utama sebagaimana tujuan
penelitian ini.
Pada tahap awal akan dilakukan pemeriksaan literatur-literatur tentang budaya
korban di Toraja, baik mengenai korban dalam agama suku maupun dalam prakteknya
sekarang ini. Data-data dari kepustakaan ini menjadi data sekunder, yang akan dipertajam
dalam penelitian lapangan guna mendapatkan suatu data primer. Informan dalam penelitian
lapangan, terdiri dari penganut Aluk To Dolo, pemangku adat yang beragama Kristen;
pemuka agama (Kristen) yang tidak memiliki akses dengan otoritas adat, dan warga jemaat
biasa dengan teknik snowballing, yaitu mendapatkan informan berikutnya berdasarkan
informasi dari informan sebelumnya36. Informasi dari penganut Aluk To Dolo bertujuan untuk memperoleh keterangan terhadap hal-hal yang tidak dikaji dalam literatur budaya
Korban di Toraja namun dipandang perlu untuk mendapatkan gambaran yang holistik
terhadap budaya korban dalam aluk to dolo. Sedangkan informasi dari warga Gereja Toraja
bertujuan untuk menggali pandangan dan pemahaman mereka mereka terhadap
pelaksanaan ritual korban pada masa kini. Warga jemaat Gereja Toraja yang dimaksud di
sini adalah yang berdomisili di daerah Toraja yang masih melaksanakan upacara korban.
35
Suwardi Endaswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan (Yogyakarta, 2003), p.1.
36
Sedangkan upaya penggalian worldview budaya korban dalam kitab Imamat serta
aktualisasinya dalam ritual-ritual korban akan dilakukan melalui suatu penelitian pustaka
dengan mengacu pada narasi-narasi Alkitab yang memberi informasi tentang ritual korban
dibantu hasil-hasil tafsir dari para pakar Perjanjian Lama, terutama yang dalam
penafsirannya menggunakan pendekatan kritis historis dan pendekatan sosial. Perhatian
terutama diberikan kepada dua pakar yaitu Samuel Balentine dalam bukunya Leviticus
Interpretation (Louisville, 2002) dan Frank J. Gorman dalam bukunya The Ideology of Ritual: Space, Time, and Status in the Priestly Theology (Sheffield, 2000). Kedua pakar ini
juga menggunakan teori Clifford Geertz dalam interpretasinya.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Untuk menyajikan pokok pikiran dalam tesis ini secara runtut, penulis
mencanangkan sistematika penulisan sebagai berikut: BAB I menguraikan tentang latar
belakang masalah, rumusan masalah, tujuan, hipotesis, metodologi penelitian dan
sistematika penulisan; BAB II menguraikan tentang budaya Korban di Toraja, yang
meliputi bentuk ritual dalam perkembangannya dari Aluk To Dolo sampai
bentuk-bentuk kontemporer sebagai upacara adat untuk memperlihatkan worldview budaya korban
tersebut berikut catatan analisisnya; BAB III menguraikan tentang korban dalam kitab
Imamat untuk mengungkap worldview di balik ritual korban dalam Imamat berikut
analisnya; BAB IV Menguraikan tentang catatan-catatan dialog antara pokok-pokok
penting dari worldview kedua konteks berikut aktualisasinya dalam ritual korban untuk
mengajukan pokok-pokok teologi kontekstual; dan BAB V Merupakan kesimpulan seluruh