UJPH 4 (3) (2015)
Unnes Journal of Public Health
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujphPERILAKU SEKSUAL DAN IMPLIKASINYA TERHADAP KEBUTUHAN
LAYANAN KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA DI LINGKUNGAN
KAMPUS (STUDI KASUS PADA MAHASISWA UNIVERSITAS NEGERI
SEMARANG)
Intan Zainafree
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
________________ Sejarah Artikel: Diterima Maret 2015 Disetujui Maret 2015 Dipublikasikan Juli 2015 ________________ Keywords:sexual behavior, student, services, reproductive health
____________________
Abstrak
___________________________________________________________________
Jenis penelitian ini termasuk explanatory research dengan pendekatan kuantitatif. Penelitian ini menggunakan metode survey dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini 26.486 orang, dengan minimal sample size 380 orang yang kemudian didistribusikan pada tiap-tiap fakultas secara proporsional. Sebagian besar mahasiswa memiliki perilaku seksual pranikah yang kurang berisiko terhadap PMS dan KTD. Adapun yang perilaku seksualnya kategori berisiko PMS dan KTD adalah 12,1%. Banyak mahasiswa yang menilai bahwa layanan kesehatan reproduksi remaja adalah penting untuk diselenggarakan. Akses kebutuhan layanan kesehatan reproduksi oleh di kalangan mahasiswa dipengaruhi oleh persepsi-persepsi mereka yaitu persepsi kerentanan terhadap PMS dan KTD, keparahan/keseriusan akibat PMS dan KTD, manfaat layanan kesehatan reproduksi remaja, serta hambatan yang dihadapi bila mengakses layanan kesehatan reproduksi remaja di kampus. Disarankan universitas membentuk dan mengembangkan pusat layanan kesehatan reproduksi remaja di lingkungan kampus agar mahasiswa dapat akses layanan terkait kesehatan reproduksi remaja, baik informasi, edukasi, terapi atau dukungan psikososial yang berbasis Friendly Health Services
Abstract
___________________________________________________________________ This research is explanatory research with a quantitative approach. This study uses a cross sectional survey. The population 26 486 people, with a minimum sample size 380 people who then distributed on each faculty proportionally. Most students have premarital sexual behavior is less risk of STDs and KTD. As for the category of risky sexual behavior and STDs KTD was 12.1%. Many students believed that the adolescent reproductive health services is essential to be held. Access to reproductive health care needs among students is influenced by their perceptions that the perception of vulnerability to STDs and KTD, severity / seriousness due to PMS and KTD, adolescent reproductive health care benefits, as well as the obstacles faced when accessing adolescent reproductive health services on campus. Advised universities to establish and develop adolescent reproductive health center on campus so that students can access to adolescent reproductive health related services, good information, education, treatment or psychosocial support based Friendly Health Services © 2015 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi:
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229
Intan Zainafree/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa yang paling sulit untuk dilalui seorang individu. Masa ini dikatakan sebagai masa yang paling kritis bagi perkembangan pada tahap-tahap kehidupan selanjutnya (BKKBN, 2003). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2000, jumlah remaja di Indonesia adalah 62.594.200 jiwa atau sekitar 30,41 % dari total seluruh penduduk Indonesia (BPS, 2005).
WHO mendefinisikan remaja sebagai masa peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa. Batasan usia remaja adalah 12 sampai 24 tahun. Sedangkan dari segi program pelayanan oleh Departemen Kesehatan, definisi remaja yang digunakan adalah mereka yang berusia 10 sampai 19 tahun dan belum kawin. Sementara menurut BKKBN (Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak Reproduksi), batasan usia remaja adalah 10 sampai 19 tahun (BKKBN, 2001).
Pada umumnya remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high curiousity). Karena didorong rasa ingin tahu yang tinggi, remaja cenderung ingin berpetualang menjelajah segala sesuatu dan mencoba segala sesuatu yang belum pernah dialaminya. Selain didorong juga oleh keinginan menjadi seperti orang dewasa menyebabkan remaja ingin mencoba melakukan apa yang sering dilakukan orang dewasa termasuk yang berkaitan dengan masalah seksualitas. Oleh karena itu, seksualitas dianggap sebagai masalah utama dalam perkembangan kehidupan remaja (Ali, 2006).
Perkembangan jaman saat ini, ikut mempengaruhi perilaku seksual dalam gaya berpacaran remaja. Hal ini misalnya dapat dilihat bahwa hal-hal yang ditabukan oleh remaja pada beberapa tahun yang lalu, seperti berciuman dan bercumbu kini telah dibenarkan oleh remaja sekarang. Bahkan ada sebagian kecil dari mereka setuju dengan free sex. Perubahan terhadap nilai ini misalnya pandangan remaja tentang hubungan seks sebelum menikah.
Pada era globalisasi yang didukung oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi
sekarang ini telah mempengaruhi tatanan kehidupan masyarakat terutama remaja. Menurut Wimpie Pangkahila, sejak lebih dari satu dekade terakhir ini, telah terjadi perubahan dalam pandangan dan perilaku seksual masyarakat, khususnya kalangan remaja di Indonesia (Purwati, 2004).
Kasus mengenai perilaku seksual pada remaja dari waktu ke waktu semakin mengkhawatirkan karena perilaku seksual remaja sekarang ini sudah melebihi batas dan cukup mengkhawatirkan terutama pada masa remaja akhir. Sekarang ini remaja cenderung bersikap permisif terhadap seks bebas. Hal ini disebabkan terbukanya peluang aktifitas pacaran yang mengarah kepada seks bebas. Sementara di masyarakat terjadi pergeseran nilai-nilai moral yang semakin jauh sehingga masalah tersebut sepertinya sudah menjadi hal biasa, padahal penyimpangan perilaku seksual merupakan sesuatu yang harus dihindari oleh setiap individu.
Hasil studi kasus tentang perilaku seksual mahasiswa yang dilakukan oleh Pusat Informasi dan Pelayanan Remaja (PILAR) PKBI Jawa Tengah pada bulan Juni-Juli 2006, diketahui bahwa dari 500 responden mahasiswa di Semarang, 31 orang (6,2%) menyatakan pernah melakukan intercourse, 111 orang (22%) pernah melakukan petting (PKBI, 2006). Penelitian yang pernah dilakukan di UNNES oleh Unnes Sex
Care Community (UseCC) tahun 2007 di salah
satu fakultas di UNNES, dengan mengambil 97 responden, didapatkan 29 orang pernah melakukan kissing, 2 orang pernah necking, 2 orang pernah melakukan petting, 2 orang pernah
intercourse, dan 57 orang melakukan pacaran di
kampus.
Hasil Survey Kesehatan Reproduksi Remaja Indonesia (SKKRI) yang tercatat dalam Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2004 menunjukkan bahwa remaja yang setuju melakukan hubungan seks jika akan menikah mencapai 16,2%, saling mencintai sebanyak 12,0% dan suka sama suka 12,3%. Meskipun jumlahnya tidak terlalu besar, namun sikap
Intan Zainafree/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) “permisif” ini bisa menjadi faktor pendorong
remaja untuk melakukan hubungan seks pranikah (BPS, 2004).
Fakta-fakta di atas disebabkan oleh banyak faktor, antara lain masih rendahnya pengetahuan yang dimiliki remaja mengenai seksualitas. Selain itu, meskipun banyak remaja mengetahui tentang seks akan tetapi faktor budaya yang melarang membicarakan mengenai seksualitas di depan umum karena dianggap sesuatu yang tabu, akhirnya akan dapat menyebabkan pengetahuan remaja tentang seks tidak lengkap, di mana para remaja hanya mengetahui cara dalam melakukan hubungan seks tetapi tidak mengetahui dampak yang akan muncul akibat perilaku seks tersebut.
Menurut PKBI, kondisi tersebut cukup mengkhawatirkan mengingat perilaku tersebut dapat menyebabkan Kasus Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD) yang selanjutnya memicu praktik aborsi yang tidak aman, penularan PMS dan HIV/AIDS, bahkan kematian (PKBI, 2000).
Data lain yang diperoleh dari PILAR PKBI Jawa Tengah, menyebutkan bahwa pada tahun 2010, telah tercatat 123 orang berkonsultasi karena kasus kehamilan tidak dinginkan (KTD). Dari jumlah tersebut, 78% di antaranya adalah kasus tersebut dialami oleh remaja yang belum menikah. Dilihat dari pendidikannya, kasus KTD tersebut 54,5% dialami oleh remaja SMA dan 11,4% remaja dalam status sebagai mahasiswa (PKBI, 2010).
Sedangkan pada tahun 2011 data PILAR PKBI menyebutkan telah terdapat 146 kasus KTD yang berkonsultasi di PILAR PKBI, 73% dialami oleh remaja belum menikah. Jika dilihat dari pendidikannya, 37% dari pasien KTD tersebut adalah mahasiswa. Dari data tersebut dapat disimpulkan bahwa kasus KTD yang dialami remaja dari tahun ketahun mengalami peningkatan. Demikian juga proporsi kasus KTD yang dialami oleh mahasiswa juga mengalami peningkatan.
Masalah seksualitas merupakan masalah yang pelik bagi remaja, karena masa remaja merupakan masa di mana seseorang dihadapkan pada berbagai tantangan dan
masalah baik itu masalah perkembangan maupun lingkungan. Tantangan dan masalah ini akan berdampak pada perilaku remaja, khususnya perilaku seksualnya. Masalah ini menjadi bahan yang menarik untuk diteliti dan dibahas, karena sifatnya yang sensitif dan rawan menyangkut moral, etika, agama serta latar belakang sosial ekonomi. Hal ini tentunya menimbulkan kekhawatiran berbagai pihak baik orang tua, pengajar, pendidik maupun orang dewasa lainnya.
Banyak fenomena tentang perilaku seksual di kalangan mahasiswa sekarang ini. Jika dikritisi masalah seks tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mahasiswa, karena seks sudah menjadi sebagian kecil kebutuhan mahasiswa dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan mereka. Selain itu, jauhnya mereka dari pengawasan orangtua dan rendahnya kontrol sosial dari masyarakat setempat di mana mahasiswa tersebut bertempat tinggal, membuat mereka merasa bebas untuk bisa melakukan perilaku seks tersebut.
Budaya global sekarang ini secara positif memiliki muatan ilmu pengetahuan, teknologi, sosial dan kebudayaan, tetapi secara negatif juga bermuatan materi pornografi yang mempertontonkan unsur-unsur seksualitas melalui media majalah, surat kabar, tabloid, buku-buku, televisi, radio, internet, film-film dan video.
Pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang benar sangat penting dipahami oleh remaja, agar tidak menjerumuskan mereka dalam tindakan melakukan hubungan seksual secara bebas pranikah, sehingga mengakibatkan terjadinya Kehamilan Tidak Diinginkan (KTD), peningkatan aborsi, PMS, HIV/AIDS.
Tidak tersedianya informasi yang akurat dan benar tentang kesehatan reproduksi, memaksa remaja mencari akses dan melakukan eksplorasi sendiri. Majalah, buku dan film pornografi dan pornoaksi memaparkan kenikmatan hubungan seks tanpa mengajarkan tanggung jawab dan resiko yang harus dihadapi, menjadi acuan utama mereka. Mereka juga mempelajari seks dari internet. Hasilnya, remaja yang beberapa generasi lalu masih malu-malu
Intan Zainafree/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) kini sudah melakukan hubungan seks di usia
dini, yakni 13-15 tahun (BKKBN, 2004). Data PILAR PKBI Jawa Tengah, menyebutkan bahwa pada bulan Januari sampai dengan Desember tahun 2011, telah tercatat 79 orang berkonsultasi masalah kehamilan tidak diinginkan (kehamilan pra nikah) dan 847 orang di antaranya berkonsultasi seputar kesehatan reproduksi. Di antara dari mereka adalah berusia 20-24 tahun dengan tingkat pendidikan yaitu perguruan tinggi atau berstatus sebagai mahasiswa (PILAR, 2011). Data ini meningkat jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pada tahun 2010, telah tercatat 111 orang berkonsultasi karena kasus kehamilan tidak dinginkan (KTD). Dari jumlah tersebut, 78% di antaranya adalah kasus tersebut dialami oleh remaja yang belum menikah (PILAR, 2010).
Data tersebut menunjukkan penurunan akses informasi kesehatan reproduksi oleh remaja sehingga yang ditakutkan adalah pencarian informasi dari sumber-sumber yang salah dan tidak bertanggungjawab semakin banyak terjadi. Penurunan akses tersebut mungkin disebabkan karena masih minimnya pusat-pusat layanan kesehatan reproduksi remaja, belum maksimalnya fasilitasi layanan serta masih rendahnya kesadaran akan pentingnya kesehatan reproduksi remaja. Keadaan ini berbanding terbalik dengan kasus masalah kesehatan reproduksi remaja yang semakin hari semakin mengalami peningkatan. Ini menunjukkan informasi dan pengetahuan kesehatan reproduksi dan seksualitas yang penting bagi remaja, tidak dibarengi dengan fasilitas layanan yang memadahi dan sesuai dengan kebutuhan remaja.
Berdasarkan cut of point yang telah ditetapkan oleh WHO di atas, serta berdasarkan program pelayanan dari Departemen Kesehatan dan BKKBN, maka mahasiswa dapat dikategorikan sebagai salah satu kelompok remaja. Oleh karena itu kehidupan dan perilaku seksual mahasiswa tidak terlepas dari kehidupan remaja secara umum sehingga perlu mendapatkan perhatian yang serius dari semua pihak termasuk dalam aspek layanan kesehatan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka perlu dilakukan penelitian untuk mendapatkan gambaran bagaimana perilaku seksual di kalangan mahasiswa serta implikasinya terhadap kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja bagi mahasiswa di lingkungan kampus Universitas Negeri Semarang.
METODE
Penelitian ini adalah explanatory research yang menggunakan metode survey dengan pendekatan cross sectional. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh mahasiswa Universitas Negeri Semarang usia remaja (18-24 tahun) yang berjumlah 26.486 orang. Jumlah sampel dihitung menggunakan rumus minimal
sample size, didapatkan sampel 380 orang.
Sampel tesebut kemudian didistribusikan pada tiap-tiap fakultas secara proporsional. Pengambilan sampel dilakukan secara random.
HASIL DAN PEMBAHASAN
1. Perilaku Seksual Berisiko pada Mahasiswa Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar mahasiswa memiliki perilaku seksual pranikah yang kurang berisiko terhadap PMS dan KTD. Adapun yang perilaku seksualnya kategori berisiko PMS dan KTD adalah 12,1%. Perilaku berisiko ini pada awalnya ditandai dengan pernahnya melakukan aktivitas seksual berupa kissing, necking dan
petting dan pada akhirnya perilaku-perilaku
tersebut mendorong terjadinya perilaku seksual berisiko PMS dan KTD yaitu dengan melakukan intercourse.
Perilaku seksual pranikah yang dilakukan oleh remaja khususnya mahasiswa adalah dikarenakan masa remaja adalah masa yang penuh gejolak dan mengalami perubahan-perubahan baik fisik, emosi maupun sosial. Dalam masa ini mahasiswa memasuki masa peralihan dari masa remaja akhir menjadi dewasa muda. Salah satu perubahan terpenting
Intan Zainafree/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) dengan matangnya alat kelamin sekunder tadi
mereka tertarik kepada lawan jenisnya. Kenikmatan tentang cinta dan seks yang ditawarkan oleh berbagai informasi, baik berupa majalah, film, internet yang mengakibatkan fantasi-fantasi seks mereka berkembang dengan cepat, dan bagi mereka yang tidak dibekali dengan nilai moral dan agama yang kukuh, fantasi-fantasi seks tersebut ingin disalurkan dan dibuktikan melalui perilaku seks bebas maupun perilaku seks pranikah saat mereka pacaran (Thornburg, 1982).
2. Kebutuhan Akses Layanan Kesehatan Reproduksi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa banyak mahasiswa yang menilai bahwa layanan kesehatan reproduksi remaja adalah penting. Keterbatasan akses dan informasi mengenai seksualitas dan kesehatan reproduksi bagi remaja di Indonesia ’bisa dipahami’ karena masyarakat umumnya masih menganggap seksualitas sebagai sesuatu yang tabu dan tidak untuk dibicarakan secara terbuka.
Secara umum, meskipun hasil penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar dari responden adalah memiliki perilaku seksual yang kurang berisiko terhadap PMS dan KTD yang artinya sebagian besar mahasiswa masih bersikap tidak permisive terhadap perilaku seksual pranikah, ternyata justru mereka tersebut menyatakan bahwa layanan kesehatan reproduksi remaja dinilai penting untuk diberikan di lingkungan mahasiswa. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah remaja mahasiswa tersebut tidak terjerumus dan mencari informasi-informasi yang tidak dapat dipertanggungjawabkan.
Sebaliknya, dari penelitian ini juga diketahui bahwa mahasiswa yang memiliki perilaku berisiko cenderung menilai bahwa layanan kesehatan reproduksi remaja tidak penting karena mahasiswa bisa mengakses informasi secara bebas melalui media massa maupun internet. Selain itu, mahasiswa juga menganggap masalah seksualitas dan kesehatan reproduksi adalah hal yang tabu untuk
dibicarakan. Hal inilah yang justru menyebabkan makin rumitnya permasalahan yang dihadapi oleh remaja karena tidak terdapat penanganan terhadap masalah tersebut. Perilaku seksual adalah hal yang sangat sensitif, sehingga tidak jarang mereka menutup-menutupinya meskipun itu bermasalah.
Minimnya pengetahuan tentang seksualitas dan kesehatan reproduksi yang disebabkan oleh terbatasnya akses informasi dan advokasi remaja, tidak adanya akses pelayanan yang ramah terhadap remaja, belum adanya kurikulum kesehatan reproduksi remaja di sekolah, serta masih terbatasnya institusi di pemerintah yang menangani remaja secara khusus dan belum ada undang-undang yang mengakomodir hak-hak remaja merupakan kumpulan permasalahan yang sampai saat ini masih dihadapi oleh remaja (Depkes, 2003).
Regulasi perundangan dan budaya juga menyebabkan remaja semakin kesulitan secara terbuka mendapatkan pengetahuan mengenai seksualitas dan reproduksi. Undang-Undang masih membatasi dan menyebutkan melarang pemberian informasi seksual dan pelayanan bagi orang yang belum menikah. Hal itu telah membatasi ruang pendidikan dan sosial untuk memberikan pengetahuan pada remaja mengenai seksualitas (Depkes, 2003).
Selain itu, budaya telah menyebabkan remaja tabu untuk membicarakan masalah seksualitas dan kesehatan reproduksinya. Ketika itu terjadi, akhirnya jalan lain yang berdampak negatif terhadap perkembangan remaja di pilih dan yang terjadi akhirnya banyak remaja yang memuaskan rasa keingintahuannya melalui berbagai macam sumber informasi mengenai seksualitas media massa dan internet (WHO, 2002).
3. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kebutuhan Layanan Kesehatan
Reproduksi Remaja bagi Mahasiswa di Lingkungan Kampus
a. Persepsi kerentanan terhadap PMS dan KTD
Intan Zainafree/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Responden yang memiliki persepsi
kerentanan terhadap PMS dan KTD yang tinggi, banyak yang menganggap bahwa kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja adalah hal yang penting dibandingkan mereka yang persepsi kerentanannya rendah. Hasil uji
chi square menunjukkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara persepsi kerentanan terhadap PMS dan KTD dengan kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja dengan p
value = 0,000 (<0,05)
Hasil penelitian ini sesuai dengan teori
Health Belief Model (Rosenstock, 1982), yang
menyatakan bahwa seseorang memiliki perceived
susceptibility (kerentanan terhadap suatu masalah). Artinya persepsi individu tentang kemungkinan terjadinya suatu penyakit akan mempengaruhi perilaku mereka khususnya untuk melakukan pencegahan atau mencari pengobatan.
b. Persepsi keparahan yang mungkin ditimbulkan akibat PMS dan KTD
Responden yang memiliki persepsi keparahan terhadap PMS dan KTD yang tinggi, banyak yang menganggap bahwa kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja adalah hal yang penting dibandingkan mereka yang persepsi keparahannya rendah. Hasil uji chi
square menunjukkan bahwa ada hubungan yang
signifikan antara persepsi keparahan terhadap PMS dan KTD dengan kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja dengan p value = 0,000 (<0,05).
Hasil penelitian ini sesuai denga teori
Health Belief Model (Rosenstock, 1982). Dalam
teori ini dijelaskan bahwa dalam melakukan tindakan dalam mencegah terjadinya suatu penyakit maupun mencari pengobatan dipengaruhi oleh perceived severity yaitu persepsi keparahan yang mungkin dirasakan bila menderita suatu penyakit.
c. Persepsi tentang manfaat layanan kesehatan reproduksi
Responden yang memiliki persepsi manfaat layanan kespro yang tinggi, banyak yang menganggap bahwa kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja adalah hal yang penting dibandingkan mereka yang persepsi manfaatnya rendah. Sebaliknya, mereka yang persepsinya rendah banyak yang menganggap bahwa kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja adalah hal yang tidak penting. Hasil uji
chi square menunjukkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara persepsi keparahan terhadap PMS dan KTD dengan kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja dengan p
value = 0,000 (<0,05).
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa individu akan mempertimbangkan apakah alternatif itu memang bermanfaat dan dapat mengurangi ancaman penyakit, persepsi ini juga berhubungan dengan ketersediaan sumberdaya sehingga tindakan ini mungkin dilaksanakan. Persepsi ini dipengaruhi oleh norma dan tekanan dari kelompoknya. Ini sesuai dengan teori Health Belief Model (Rosenstock, 1982) yang menyatakan dalam melakukan suatu tindakan pencegahan maupun pengobatan penyakit akan dipengaruhi oleh perceived benefit (persepsi tentang manfaat bila melakukan tindakan).
d. Persepsi tentang hambatan VCT
Responden yang memiliki persepsi hambatan rendah, banyak yang menganggap bahwa kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja adalah hal yang penting dibandingkan mereka yang persepsi hambatannya tinngi. Hasil uji chi square menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi hambatan dengan kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja dengan p value = 0,007 (<0,05).
Hasil penelitian ini sesuai denga teori
Health Belief Model (Rosenstock, 1982) yang
menyatakan bahwa dalam melakukan tindakan pencegahan maupun pengobatan HIV/AIDS dipengaruhi oleh perceived cost yaitu merupakan persepsi terhadap biaya/aspek negatif yang
Intan Zainafree/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) menghalangi individu untuk melakukan
tindakan kesehatan termasuk dalam akses kebutuhan layanan kesehatan reproduksi remaja oleh mahasiswa. Misalnya mahal, bahaya, pengalaman tidak menyenangkan, rasa sakit, harus menyediakan waktu, tempat jauh, rasa takut dan malu dengan bila permasalahan kesehatan reproduksinya diketahui petugas kesehatan/orang lain, dan lain-lain.
SIMPULAN
Dari hasil penelitian ini, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:
1) Sebagian besar mahasiswa memiliki perilaku seksual pranikah yang kurang berisiko terhadap PMS dan KTD. Adapun yang perilaku seksualnya kategori berisiko PMS dan KTD adalah 12,1%. Perilaku berisiko ini pada awalnya ditandai dengan pernahnya melakukan aktivitas seksual berupa kissing, necking dan petting dan pada akhirnya perilaku-perilaku tersebut mendorong terjadinya perilaku seksual berisiko PMS dan KTD yaitu dengan melakukan intercourse.
2) Banyak mahasiswa yang menilai bahwa layanan kesehatan reproduksi remaja adalah penting untuk diselenggarakan. 3) Akses kebutuhan layanan kesehatan
reproduksi oleh di kalangan mahasiswa dipengaruhi oleh persepsi-persepsi mereka yaitu persepsi kerentanan terhadap PMS dan KTD, keparahan/keseriusan akibat PMS dan KTD, manfaat layanan kesehatan reproduksi remaja, serta hambatan yang dihadapi bila mengakses layanan kesehatan reproduksi remaja di kampus.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Mohammad & Asrori, Mohammad. 2006.
Psikologi Remaja. Bandung. Bumi Aksara. BKKBN dan Yayasan Mitra Inti. 2001. Tanya Jawab
Kesehatan Reproduksi Remaja bagi petugas KB.
Jakarta. Direktorat Remaja dan Perlindungan Hak-Hak Reproduksi.
BKKBN dan Yayasan Mitra Inti. 2001. Tanya Jawab
Kesehatan Reproduksi Remaja. Jakarta. BKKBN dan Yayasan Mitra Inti.
BKKBN Propinsi Jawa Tengah. 2003. Membantu
Remaja Memahami Dirinya. Semarang. BKKBN Propinsi Jawa Tengah.
BPS. 2004. Hasil Survei Kesehatan Reproduksi Remaja
Indonesia. Jakarta. BPS.
BPS. 2005. Sensus Penduduk 2000. Jakarta. BPS. Depkes. 2003. Pelayanan Kesehatan Peduli Remaja
(PKPR). Jakarta: Dirjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat.
PKBI. 2000. Remaja, Kesehatan Reproduksi, Resiko
Reproduksi dan Perkembangan Seksualitas.
Jakarta. PKBI.
PKBI Jawa Tengah. 2010. Info Kasus PILAR. Semarang : PKBI Jawa Tengah.
PKBI Jawa Tengah. 2011. Info Kasus PILAR. Semarang : PKBI Jawa Tengah.
Purwati, Endang dkk. ”Studi Perbandingan Sikap dan
Tindakan Remaja Terhadap Seksualitas Pada Siswa SMU Negeri 2 Makasar Dengan Siswa SMU Kartika VII-I Makasar Tahun 2004 ”. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia Nomor 1, Volume 1, Tahun 2004.
Rosenstock. 1982. Historical Origins of the Health Belief Model. In : Becker, Marshall H. Eds. The Health Belief Model and Personal Health Behavior. Charles B. Slack Inc, Thorofare, New Jersey.
Thornburg D.H. Development in Adolescence. Second
Edition. California: Brook Cole Publishing Co. 1982
WHO. 2002. Adolescent Friendly Health Services. Geneva: WHO
UJPH 4 (3) (2015)
Unnes Journal of Public Health
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujphHIGIENE DAN SANITASI SERTA KUALITAS BAKTERIOLOGIS DAMIU
DI SEKITAR UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
Suci Wulandari
, Arum Siwiendrayanti, Anik Setyo Wahyuningsih
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
________________ Sejarah Artikel: Diterima Maret 2015 Disetujui Maret 2015 Dipublikasikan Juli 2015 ________________ Keywords: bacteriological; depot; hygiene; sanitation ____________________Abstrak
___________________________________________________________________Tujuan penelitian untuk mengetahui gambaran terhadap higiene penjamah, kondisi fisik depot, kondisi peralatan depot, kualitas bakteriologis air minum isi ulang, dan peran serta puskesmas. Jenis penelitian deskriptif kuantitatif. Populasinya depot di sekitar Universitas Negeri Semarang. Sampel berjumlah 12 depot. Instrumen menggunakan kuesioner, panduan wawancara, dan check
list. Teknik pengambilan datanya observasi, wawancara dokumentasi. Hasil penelitian
menunjukkan kondisi fisik memenuhi syarat 8 depot (66,7%) , tidak memenuhi syarat 4 depot (33,3%), kondisi peralatan memenuhi syarat 11 depot (91,7%), tidak memenuhi syarat 1 depot (8,3%), higiene penjamah baik 1 responden (8,3%), higiene penjamah buruk 11 responden (91,7%), kualitas bakteriologis memenuhi syarat sebanyak 10 depot (83,3%), tidak memenuhi syarat 2 depot (16,7%), puskesmas belum pernah mengadakan pelatihan higiene penjamah, namun mengadakan inspeksi setiap tahun dengan sistem sampel. Saran untuk pemilik depot sebaiknya memeriksakan kualitas air secara berkala. Pemilik diharapkan menyediakan pakaian kerja dan memeriksakan kesehatan karyawan secara berkala. Bagi Puskesmas diharapkan meningkatkan pembinaan terhadap produsen depot.
Abstract
___________________________________________________________________ The purpose of study was to describe the handler hygiene, depot physical conditions, depot equipment conditions, the bacteriological quality of refill drinking water, and the role of the health centers. This study used descriptive quantitative methods. The population was depot around Semarang State University. The sample was 12 depots. The instrument used questionnaire, interview, and check list. The data were gathered using interview technique observation, documentation. The results showed physical condition qualifies 8 depots (66.7%), were not eligible 4 depots (33.3%), equipment condition qualifies 11 depots (91.7%), were not eligible 1 depot (8.3 %), good hygiene handlers 1 respondent (8.3%), poor hygiene handlers 11 respondents (91.7%), eligible bacteriological quality was 10 depot (83.3%), were not eligible 2 depots (16.7%), health centers has never been on training hygiene handlers, but doing inspection every year with a sample system. Suggestions for depot owners is periodically check the water quality. The owner is expected to provide work clothes and checked employee health periodically. For health centers expected to improve supervision of depot producer.
© 2015 Universitas Negeri Semarang
Alamat korespondensi:
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
Suci Wulandari/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) PENDAHULUAN
Air merupakan sumber daya mutlak yang harus ada bagi kehidupan. Hal ini dibuktikan dengan keberadaan air dalam tubuh organisme. Tubuh manusia kurang lebih 70% terdiri atas air, karena air merupakan pelarut universal (Soemirat J, 2011:96). Tubuh manusia sebagian terdiri dari air, menurut penelitian kira-kira 60-70% dari berat badannya. Untuk kelangsungan hidupnya, tubuh manusia membutuhkan air yang jumlahnya antara lain tergantung berat badan. Untuk orang dewasa kira-kira memerlukan air 2.200 gram setiap hari (Asmadi dkk, 2011:7). Air merupakan sumber daya yang terbatas, konsumsi air telah meningkat dua kali lipat dalam 50 tahun terakhir dan kita gagal mencegah terjadinya penurunan mutu air. Dewasa ini 1,8 milyar penduduk dunia tidak mempunyai akses ke air bersih (Asmadi dkk, 2011:4).
Pada skala nasional ketersediaan air bersih, hingga kini baru mencapai sekitar 60%. Artinya masih ada 40% atau sekitar 90 jutaan rakyat Indonesia terpaksa mempergunakan air yang tak layak secara kesehatan untuk kehidupan sehari-hari (Asmadi dkk, 2011:4). Perusahaan penyedia air bersih PAM (Perusahaan Air Minum) atau PDAM (Perusahaan Daerah Air Minum) hanya mampu memasok kebutuhan di kota-kota saja dengan kuantitas yang juga masih kecil. Akibatnya, sebagian besar masyarakat yang tidak terjangkau oleh pelayanan air bersih umumnya menggunakan air tanah atau air permukaan untuk keperluan hidupnya sehari-hari.
Data persentase keluarga berdasarkan Profil Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah yang memiliki akses air bersih di Jawa Tengah tahun 2008 menunjukkan bahwa masyarakat paling banyak memanfaatkan sumur gali sebagai sumber air bersih (52,33%), disamping memanfaatkan ledeng, SPT, PAH, air kemasan, dan sumber. Untuk memenuhi kebutuhan air minum saat ini masyarakat banyak mengkonsumsi air minum isi ulang yang tersedia di depot-depot air minum isi ulang. Depot air minum adalah badan usaha yang
mengelola air minum untuk keperluan masyarakat dalam bentuk curah dan tidak dikemas.
Berdasarkan hasil penelitian Athena dkk (2004) menyatakan bahwa dari 38 DAM di daerah Jakarta, Tangerang dan Bekasi yang diteliti ternyata terdapat 28,9% sampel air minum isi ulang yang tercemar oleh bakteri
Coliform dan 18,4% tercemar oleh E. coli. Selain
itu, pada penelitian Rido dkk (2012) menyatakan lima dari sembilan sampel mengandung bakteri Coliform dan tiga dari lima sampel tersebut juga mengandung E. coli. Hal ini menunjukkan bahwa 55,6% depot air minum di Kecamatan Bungus menghasilkan air minum yang kualitasnya tidak memenuhi persyaratan mikrobiologi yang telah ditetapkan pemerintah. Kualitas air produksi Depot Air Minum akhir-akhir ini ditengarai semakin menurun, dengan permasalahan secara umum antara lain pada peralatan DAM yang tidak dilengkapi alat sterilisasi, atau mempunyai daya bunuh rendah terhadap bakteri, atau pengusaha belum mengetahui peralatan DAM yang baik dan cara pemeliharaannnya.
Diare adalah salah satu penyakit yang disebabkan oleh bakteri golongan coliform, hal ini disebabkan oleh sanitasi lingkungan dan higiene perorangan yang kotor (Badan POM RI, 2003:6). WHO (2005: 2) melaporkan bahwa sekitar 70% kasus diare yang terjadi di negara berkembang disebabkan oleh kontaminasi. Kontaminasi silang dapat disebabkan penggunaan air, sarana, wadah, alat pengolahan yang tercemar, serta penjamah yang tidak menjaga kebersihan diri (Hariyadi P dan Ratih DH, 2009:25).
Dari data yang diperoleh Dinas Kesehatan Kota Semarang dapat dilihat bahwa kejadian diare pada tahun 2007 terdapat 27.368 penderita diare, tahun 2008 terdapat 7.730 penderita diare, tahun 2009 terdapat 17.791 penderita diare, tahun 2010 terdapat 22.966 penderita diare dan tahun 2011 terdapat 48.051 penderita diare.
Suci Wulandari/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Universitas Negeri Semarang berada pada
wilayah kerja Puskesmas Sekaran. Berdasarkan data yang didapatkan dari Puskesmas Sekaran dapat diketahui bahwa pada tahun 2012 terdapat 283 kasus diare. Dari data kunjungan pasien di Pusat Layanan Kesehatan UNNES dari bulan Agustus 2012 sampai Juli 2013 diketahui bahwa terdapat 214 pasien yang terkena penyakit diare.
Mahasiswa dan masyarakat di sekitar Universitas Negeri Semarang saat ini sebagian besar menggunakan air minum isi ulang untuk dikonsumsi, ini dikarenakan air tidak perlu dimasak, harganya murah, tidak perlu membeli langsung ke depot karena ada layanan antar. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui higiene dan sanitasi serta kualitas Bakteriologis pada depot air minum isi ulang di sekitar Universitas Negeri Semarang.
METODE
Penelitian menggunakan metode penelitian deskriptif kuantitatif mengenai fenomena yang ditemukan baik yang berupa faktor maupun efek atau hasil. Dengan demikian akan terlihat gambaran higiene dan sanitasi depot dan juga kualitas bakteriologis secara keseluruhan pada 12 depot yang ada di sekitar Universitas Negeri Semarang. Populasi pada penelitian adalah seluruh depot air minum isi ulang mineral di sekitar Universitas Negeri Semarang sebanyak 12 depot. Sampel yang digunakan dalam penelitian adalah total populasi yaitu 12 depot air minum isi ulang. Di dalam penelitian ini responden terbagi 3 yaitu pemilik depot, karyawan depot dan juga petugas puskesmas.
Sumber data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang yang diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengumpulan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang di cari (Azwar S, 2012:91). Data mengenai higiene penjamah dan sanitasi depot diperoleh dari observasi dan wawancara langsung kepada responden. Sedangkan data mengenai
keberadaan bakteri E. coli dan Coliform yang diketahui dengan menggunakan pemeriksaan uji laboratorium. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari pihak lain , tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subyek penelitian (Azwar S, 2012:91). Pada penelitian ini data sekunder diperoleh dari puskesmas, pusat layanan kesehatan Universitas negeri Semarang, dan jurnal-jurnal penelitian yang mendukung.
Teknik pengambilan data menggunakan wawancara dan observasi, sedangkan instrumen yang digunakan yaitu panduan wawancara, kuesioner, check list. Langkah pengolahan data pada penelitian adalah editing, coding, dan entry. Setelah semua data terkumpul, maka langkah selanjutnya adalah menganalisis data. Analisis data dalam penelitian ini adalah analisis univariat. Analisis univariat dilakukan terhadap tiap variabel dari hasil penelitian dengan menggunakan distribusi frekuensi untuk mengetahui gambaran terhadap variabel yang diteliti, yang disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Penelitian ini dilakukan di sekitar Universitas Negeri Semarang yang berada di kelurahan Sekaran kecamatan Gunungpati. Pelaksanaan penelitian ini dilakukan selama 7 hari dimulai pada hari Selasa 26 November 2013 sampai dengan 3 Desember 2013. Penelitian lebih banyak dilakukan pada pagi hari, hal ini dikarenakan pada pagi hari karyawan depot belum terlalu banyak pekerjaan.
Responden dalam penelitian ini adalah pemilik dan juga karyawan di 12 depot yang ada disekitar Universitas Negeri Semarang. Namun ada beberapa depot yang tidak memiliki karyawan sehingga yang menjalankan usaha adalah pemilik sendiri. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner dan check list. Hal ini bertujuan untuk mengetahui kondisi fisik depot, kondisi peralatan, kondisi personal higiene penjamah dan juga bagaimana kondisi higiene dan sanitasi depot.
Suci Wulandari/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Untuk pengambilan sampel air minum
isi ulang dilakukan pada tanggal 3 Desember 2013 pada pagi hari dan langsung diserahkan kepada petugas Balai Laboratorium Kesehatan untuk dilakukan pengujian bakteri coliform dan bakteri e.coli.
Selain itu peneliti juga mewawancarai petugas puskesmas Sekaran untuk mengetahui peran serta puskesmas terhadap depot air minum isi ulang. Hal ini dikarenakan puskesmas merupakan salah bagian dari dinas kesehatan, yang bertanggung jawab dalam hal inpeksi sanitasi depot air minum isi ulang.
Penelitian ini membahas higiene dan sanitasi depot serta bakteriologis air minum isi ulang. Sanitasi terbagi 2 yaitu kondisi fisik dan kondisi peralatan depot. Sedangkan untuk bakteriologis membahas bakteri coliform dan E.
coli. selain itu juga melihat peran serta
puskesmas terhadap depot air minum isi ulang. Karakteristik pemilik dan karyawan depot menurut tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini:
Tabel 1. Karakteristik Responden Menurut Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase (%) Pemilik Tamat SD 1 8,3 Tamat SMP 3 25,0 Tamat SMA 5 41,7 Perguruan Tinggi 3 25,0 Total 12 100 Karyawan Tamat SD 2 16,7 Tamat SMP 2 16,7 Tamat SMA 8 66,7 Total 12 100 Analisis Univariat
Analisis univariat dilakukan pada setiap variabel penelitian. Analisis ini menghasilkan distribusi frekuensi dan persentase dari setiap karakteristik yang diteliti. Berdasarkan hasil observasi, diperoleh hasil sebagai berikut:
Karakteristik Frekuensi Persentase
Kondisi Fisik Depot Memenuhi syarat 8 66,7 Tidak memenuhi syarat 4 33,3 Total 12 100 Kondisi Peralatan Depot Memenuhi syarat 11 91,7 Tidak memenuhi syarat 1 8,3 Total 12 100 Kondisi Higiene Penjamah Baik 1 8,3 Buruk 11 91,7 Total 12 100 Keberadaan Coliform Negatif 10 83,3 Positif 2 16,7 Total 12 100 Keberadaan E. Coli Negatif 12 100 Positif 0 0 Total 12 100
Kondisi Fisik Depot
Kondisi fisik dilihat dari keadaan fisik depot mulai dari pintu, dinding, lantai, langit-langit, ventilasi dan juga dilihat dari keadaan sekitar depot seperti halaman depot. Selain itu juga dillihat fasilitas yang ada didepot, seperti tempat penyimpanan, ruang tunggu dan tempat sampah.
Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti terhadap 12 depot air minum isi ulang di sekitar Universitas Negeri Semarang, terdapat 8 depot (66,7%) memenuhi syarat dan 4 depot (33,3%) tidak memenuhi syarat. Hal ini dikarenakan lantai depot yang becek dan tidak rata, pintu depot tidak dapat mencegah masuknya serangga dan tikus, tidak terdapat
Suci Wulandari/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) ventilasi, tidak ada langit-langit, tidak ada ruang
khusus untuk pengolahan,penyimpanan dan penyediaan tidak terdapat sekat, tidak terdapat tempat sampah yang ada tutupnya. Kondisi fisik depot pada dasarnya telah diatur dalam Keputusan Menteri dan Perdagangan RI nomor 651/MPP/Kep/10/2004 tentang Persyaratan Teknis Depot Air Minum dan Perdagangannya.
Dari hasil observasi pada depot-depot dapat diketahui bahwa lantai depot becek yang bisa menjadikan lantai menjadi licin. Harusnya lantai selalu dibersihkan, karena dalam keadaan becek dan licin dapat beresiko menimbulkan kecelakaan kerja. Pada beberapa depot terdapat dinding yang kotor karena tidak terbuat dari bahan yang mudah dibersihkan. Bahan yang mudah dibersihkan yaitu bahan yang licin sehingga mudah dibersihkan seperti keramik sehingga tidak menyerap air. Apabila jenis dinding susah dibersihkan dapat mengakibatkan timbulnya lumut. Pada beberapa depot juga tidak memiliki langit-langit. Bagian atas depot langsung ditutupi atap, sehingga bagian atas akan sulit dibersihkan dan akan menyebabkan timbulnya debu (Kepmenperindag RI No: 651/MPP/Kep/10/2004).
Untuk meminimalkan bau, gas atau uap berbahaya dalam ruang proses produksi diperlukan adanya ventiliasi. Pengecekan terhadap ventiliasi harus rutin dilakukan agar tidak terdapat debu dan selalu bersih. Namun hampir semua depot tidak mempunyai ventilasi dan hanya mengandalkan pintu untuk keluar masuknya udara (Kepmenperindag RI No: 651/MPP/Kep/10/2004).
Pada semua depot yang diobservasi, tidak ada yang memiliki ruang khusus pengolahan air minum ini dikarenakan pengusaha depot hanya menyediakan ruangan yang cukup kecil sebagai tempat pengolahan air. Semua proses dilakukan didalam satu tempat, pengisian air baku, pembilasan botol, pengisian galon, hingga penyimpanan air minum. Dan tidak hanya itu, selain menyimpan air minum ada juga depot yang menyimpan tabung gas elpiji ditempat yang sama. Hal ini dapat menyebabkan kontaminasi terhadap air minum.
Kondisi Peralatan Depot
Kondisi peralatan depot menggambarkan bagaimana keadaan fisik dan perawatan pada peralatan yang digunakan. Dimulai dari tandon, filter yang digunakan dan juga desinfektan yang dipakai di depot.
Dari hasil penelitian dapat dilihat bahwa kondisi peralatan depot sudah baik. Namun dalam penggunaannya belum dimaksimalkan. Masih ada depot yang menyalakan lampu ultraviolet hanya saat pengisian galon. Berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat bahwa terdapat 11 depot (91,7%) memenuhi syarat dan 1 depot (8,3%) tidak memenuhi syarat kondisi peralatan depot yang baik. Hal ini menggambarkan bahwa depot air minum yang ada disekitar Universitas Negeri Semarang sudah memiliki peralatan yang sesuai dengan yang ditentukan. Peralatan yang digunakan sudah berasal dari bahan yang food
grade, yaitu bahan yang tara pangan seperti stainless steel dan polyvinyl carbonat
(Kepmenperindag RI No:
651/MPP/Kep/10/2004).
Perawatan pada peralatan depot masih kurang, seperti mengganti filter, mengganti ozon dan UV. Dari wawancara diketahui bahwa filter yang digunakan oleh pengusaha depot tidak ada waktu tertentu untuk menggantinya. Filter harus diganti minimal 3 bulan sekali. Namun apabila sebelum 3 bulan kualitas air yang dihasilkan sudah tidak bagus harus segera diganti. Dalam penggunaan alat desinfeksi seperti lampu ultraviolet, masih ada depot yang hanya menghidupkan lampu pada saat pengisian. Seharusnya lampu ultraviolet tersebut dinyalakan saat depot mulai beroperasi sampai tutup, baru setelah itu dimatikan
(Kepmenperindag RI No:
651/MPP/Kep/10/2004).
Semua depot yang diobservasi memiliki tempat untuk pencucian galon. Namun dalam prakteknya, mereka sering tidak mencuci galon. Apabila mereka tidak melihat adanya lumut didalam galon, maka mereka hanya membilas dan tidak mencuci galon tersebut secara benar.
Suci Wulandari/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Hal ini dapat menimbulkan kontaminasi
terhadap air yang akan dimasukkan kedalam galon. Sandra C dan Lilis S (2007: 120) mengatakan bahwa kemasan air minum isi ulang seharusnya tidak terkontaminasi. Pasalnya kemasan yang terkontaminasi menjadi media berbagai kuman yang menimbulkan berbagai penyakit seperti penyakit diare, tifus, hepatitis A dan polio. Oleh karena itu seharusnya para karyawan depot mencuci semua galon sebelum diisi air minum isi ulang.
Kondisi Higiene Penjamah
Kondisi higiene penjamah ini meliputi semua hal yang digunakan dan dilakukan oleh karyawan. Dimulai dari kebersihan seragam, penggunaan tutup kepala, penggunaan celemek, penggunaan penutup mulut hingga kuku yang bersih. Selain itu juga dilihat perilaku karyawan seperti mencuci tangan, tidak meludah sembarangan, mengobrol, tidak makan dan minum, tidak merokok, dan tidak menggaruk selama kerja.
Dari penelitian diketahui bahwa semua karyawan yang ada didepot sekitar Universitas Negeri Semarang tidak pernah memeriksakan kesehatan secara berkala (6 bulan sekali). Sesuai dengan Pedoman dan Pengawasan Higiene dan sanitasi depot air minum isi ulang, pengusaha depot harus memeriksakan kesehatan karyawannya minimal 6 bulan sekali. Pemeriksaan ini penting dilakukan untuk mencegah terjadinya kontaminasi pada air minum yang diproduksi apabila karyawan mengidap penyakit yang dapat ditularkan melalui udara atau droplet, misalnya penyakit TBC.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa hanya 1 responden yang menggunakan seragam kerja dan 11 responden lainnya tidak menggunakan seragam. Hal tersebut tidak sesuai dengan yang dikemukakan oleh Fathonah S (2005:11) bahwa pakaian kerja yang bersih akan menjamin sanitasi dan higiene pengolahan karena tidak terdapat debu atau kotoran melekat pada pakaian yang secara tidak langsung dapat menyebabkan
pencemaran. Sebaiknya pemilik depot menyediakan seragam kerja untuk karyawannya, sehingga dapat mengurangi resiko kontaminasi.
Hampir semua karyawan tidak berbicara saat bekerja, karena mereka hanya bekerja sendiri di depot. Namun, ada juga karyawan yang berbicara saat ada pelanggan yang datang, mereka tidak menghentikan pekerjaannya terlebih dahulu. Berbicara pada saat bekerja berpotensi untuk terjadinya kontaminasi kuman yang berasal dari droplet karyawan. Berdasarkan penelitian Fatmawati S (2013:36) diketahui bahwa mulut merupakan salah satu tempat bersarangnya bakteri, untuk itu sebaiknya menggunakan masker dan tidak banyak berbicara saat pengolahan agar tidak ada penyebaran bakteri dari mulut.
Dari penelitian dilapangan masih ada yang memiliki kuku yang panjang dan tidak bersih pada saat melakukan pekerjaan, hal ini dapat menyebabkan perpindahan bakteri dari tangan ke air minum. Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Hartono B dan Dewi S (2003:27) yang menyatakan bahwa 36% memiliki kuku kotor. Berdasarkan teori yang dikemukakan oleh Fathonah S (2005:15) kuku tangan sering menjadi sumber kontaminasi atau mengakibatkan kontaminasi silang.
Sebagian besar karyawan tidak mencuci tangan dengan sabun sebelum melakukan pekerjaan sehingga dapat menimbulkan kontaminasi. Purnawijayanti H (2001:41) mengemukakan bahwa tangan yang kotor atau terkontaminasi dapat memindahkan bakteri dan virus patogen dari tubuh, feces, atau sumber lain ke makanan/minuman. Oleh karena itu pencucian tangan merupakan hal pokok yang harus dilakukan oleh pekerja yang terlibat dalam penanganan. Pencucian tangan dengan sabun diikuti dengan pembilasan akan menghilangkan mikroba yang terdapat pada tangan. Untuk bisa selalu mencuci tangan perlu disediakan fasilitas tempat mencuci tangan, sehingga karyawan dapat mencuci tangan sebelum bekerja.
Suci Wulandari/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015)
Berdasarkan hasil pemeriksaan yang telah dilakukan oleh Laboratorium Dinas Kesehatan Daerah Semarang dari 12 sampel depot air minum isi ulang diperoleh hasil bahwa sebagian besar air minum isi ulang di sekitar Universitas Negeri Semarang memiliki kualitas bakteriologis yang bagus, karena 10 depot (83,3%) tidak terdapat bakteri coliform
didalamnya dan hanya ada 2 depot (16,7%) yang didalam airnya terdapat bakteri coliform. Dan dari uji laboratorium juga diketahui bahwa semua air minum isi ulang di depot tidak terdapat bakteri E. coli. Berdasarkan Peraturan
Menteri Kesehatan RI No.
492/MENKES/PER/IV/2010 diketahui bahwa air minum yang memenuhi syarat yaitu air minum yang total Coliform dan E.colinya 0/100 ml sampel air. Pada penelitian ini terdapat 10 depot (83,3%) yang air minum isi ulangnya memenuhi persyaratan secara bakteriologis.
Coliform mencakup organisme yang dapat
bertahan dan bekembang dalam air. Dengan demikian coliform dapat digunakan sebagai indikator keefektifan pengolahan dan untuk mengkaji kebersihan dan integritas distribusi serta keberadaan potensial biofilm. Oleh karena itu, adanya bakteri coliform di dalam makanan atau minuman menunjukkan adanya mikroorganisme patogen. Keberadaannya dalam jumlah tinggi adanya kemungkinan pertumbuhan dari salmonella, shigella dan
staphylococcus (Badan POM RI, 2008:3).
Eshecericia coli merupakan bakteri yang
paling banyak digunakan untuk indikator sanitasi karena bakteri ini adalah bakteri komensial pada usus manusia. Keberadaan
E.coli dalam air dianggap memiliki korelasi
tinggi dengan ditemukannya pathogen pada pangan (Badan POM RI, 2008:3). Penyebaran bakteri ini adalah dari manusia ke manusia lain. Bakteri ini disebarkan oleh lalat, melalui tangan yang kotor, makanan yang terkontaminasi tinja.
Keberadaan bakteri coliform di dalam air minum isi ulang dapat disebabkan oleh keadaan depot yang tidak bersih. Dinding depot yang kotor, lantai depot yang kotor dan terdapat genangan air. Karyawan depot juga tidak
mencuci tangan terlebih dahulu sebelum bekerja. Hal lain yang dapat menyebabkan adanya bakteri adalah penggunaan sinar UV yang dihidupkan pada saat air hendak diisikan kedalam galon. Hal ini menyebabkan keefektifan sinar UV untuk membunuh kuman berkurang.
Peran Serta Puskesmas
Berdasarkan wawancara yang telah dilakukan kepada petugas puskesmas Sekaran diketahui bahwa sampai saat ini pihak puskesmas belum pernah mengadakan penyuluhan maupun pelatihan mengenai higiene penjamah dan sanitasi depot air minum, baik kepada pemilik maupun karyawan depot yang ada di sekitar Universitas Negeri Semarang.
Puskesmas Sekaran setiap tahunnya mempunyai program untuk menginspeksi depot air minum isi ulang. Program ini berdasarkan program dari dinas kesehatan kota Semarang. Namun inspeksi tidak dilakukan terhadap semua depot karena menggunakan sistem sampel. Hasil inspeksi langsung diserahkan kepada Dinas Kesehatan Kota Semarang dan hasil tersebut tidak disampaikan kepada pemilik depot yang telah diinspeksi. Sehingga menyebabkan pemilik depot tidak mengetahui hasil higiene dan sanitasi sudah memenuhi syarat atau belum. Pihak puskesmas diharapkan untuk menyampaikan hasil yang telah didapat kepada pemilik depot dan juga diharapkan bisa memberikan pembinaan kepada depot yang hasilnya belum memenuhi syarat, sehingga nantinya depot tersebut dapat menjadi lebih baik.
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan penelitian dapat hasil penelitian terhadap higiene dan sanitasi serta bakteriologis depot air minum isi ulang, dapat disimpulkan bahwa yang menyebabkan kurangnya sanitasi adalah karena lantai depot yang becek dan tidak rata, pintu depot tidak dapat mencegah masuknya serangga dan tikus,
Suci Wulandari/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) tidak terdapat ventilasi, tidak ada langit-langit,
tidak ada ruang khusus untuk pengolahan, tidak terdapat tempat sampah yang ada tutupnya, penggantian peralatan tidak berkala, penggunaan lampu UV tidak sesuai aturan. Sedangkan yang menyebabkan higiene belum memenuhi syarat adalah karyawan tidak menggunakan seragam kerja, tidak mencuci tangan sebelum bekerja, tidak memeriksakan kesehatan secara berkala. Namun, dari uji bakteriologis hanya 2 depot yang airnya terdapat bakteri coliform, dan tidak ada depot yang terdapat bakteri e.coli.
Bagi pemilik sebaiknya memasang hasil pemeriksaan tentang kualitas air minum maupun kualitas air baku dari laboratorium Dinas Kesehatan pada depot agar memberikan informasi kepada konsumen. Pemilik diharapkan memeriksakan secara berkala air baku maupun produk air minum isi ulang yang dihasilkan di laboratorium Dinas Kesehatan. Selain itu pemilik depot juga diharapkan menyediakan pakaian kerja yang bersih bagi karyawan serta memeriksakan kesehatan karyawan secara berkala. Bagi Puskesmas lebih meningkatkan pembinaan dan pengawasan terhadap produsen depot air minum isi ulang. Dan juga melakukan inspeksi sanitasi secara berkala terhadap depot air minum isi ulang. Hasil inspeksi yang telah didapatkan disampaikan kepada pemilik depot.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih kami tunjukkan kepada Dekan Fakultas Ilmu Keolahragaan Bapak Dr. H. Harry Pramono, M.Si, Ketua Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat Ibu Dr. dr. Oktio Woro KH, M.Kes, Dosen Pembimbing I Ibu Arum Siwiendrayanti S.KM,M.kes, Dosen Pembimbing II Ibu dr. Anik Setyo Wahyuningsih, Dosen Penguji Skripsi Bapak Eram Tunggul P S.KM,M.Kes , Keluarga, serta Teman-teman yang telah memberi bantuan dan motivasi dalam penyelesaian penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asmadi dkk, 2011, Teknologi Pengolahan Air Minum, Gosyen Publishing, Yogyakarta.
Athena dkk, 2004. Kandungan bakteri total coli dan
eschericia coli/ Fecal coli air minum dari depot air minum isi ulang di Jakarta, Tangerang dan Bekasi. Volume 32, No. 3, 2004, hlm. 135-143. Azwar, S, 2012, Metode Penelitian, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.
Balai Pengawas Obat dan Makanan, 2003, Higiene
dan Sanitasi Pengolahan Pangan ,
---, 2008, Pengujian Mikrobiologi Pangan , InfoPOM Vol.9 No.2 Maret 2008, diakses tanggal 12 September 2013,
(http://perpustakaan.pom.go.id/KoleksiLain nya/Buletin%20Info%20POM/0208.pdf) Sandra, C dan Lilis S, Hubungan Pengetahuan dan
Kebiasaan Konsumen Air Minum Isi
Ulang dengan Penyakit Diare, Volume 3, No. 2, 2007, hlm. 119–126.
Fathonah, S, 2005, Higiene dan Sanitasi Makanan, Unnes Press, Semarang.
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan RI no 651/MPP/Kep/10/2004, diakses
tanggal 11 September 2013
(http://bbtklppjakarta.pppl.depkes.go.id/asset
s/files/regulations/f1377651044-kepmen651mp-204.pdf)
Purnawijayanti, H, 2001, Sanitasi, Higiene dan
Keselamatan Kerja dalam Pengolahan Makanan, Kanisius, Yogyakarta.
Hariyadi, P dan Ratih DH, 2009, Petunjuk Sederhana
Memproduksi Pangan yang Aman, Dian Rakyat, Jakarta.
Soemirat, J, 2011, Kesehatan Lingkungan, Gajahmada University, Yogyakarta.
UJPH 4 (3) (2015)
Unnes Journal of Public Health
http://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/ujphFAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KEPATUHAN
PENGOBATAN PADA PENDERITA HIPERTENSI DI WILAYAH KERJA
PUSKESMAS KEDUNGMUNDU KOTA SEMARANG
Qorry Putri Rasajati
, Bambang Budi Raharjo, Dina Nur Anggraini Ningrum
Jurusan Ilmu Kesehatan Masyarakat, Fakultas Ilmu Keolahragaan, Universitas Negeri Semarang, Indonesia
Info Artikel
________________ Sejarah Artikel: Diterima Maret 2015 Disetujui Maret 2015 Dipublikasikan Juli 2015 ________________ Keywords: Hypertension; Treatment Adherenc; Health Center Kedungmundu____________________
Abstrak
___________________________________________________________________
Hipertensi di Puskesmas Kedungmundu meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 2013 dari 1.179 penderita hipertensi yang patuh melakukan pengobatan 33% dan yang tidak patuh 67%. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan pada penderita hipertensi di wilayah kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang. Jenis penelitian ini adalah survei analitik dengan pendekatan cross sectional. Sampel berjumlah 90 responden yang diambil dengan teknik accidental sampling. Analisis data menggunakan uji chi
square. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan
pengobatan hipertensi adalah status pekerjaan (p value=0,035), jarak rumah terhadap pelayanan kesehatan (p value=0014), tingkat pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi (p value=0,000), motivasi untuk berobat (p value=0,000), dan dukungan keluarga (p value=0,000). Variabel yang tidak berhubungan adalah jenis kelamin (p value=0,444), tingkat pendidikan (p value=0,232), pendapatan keluarga (p value=1,000). Saran bagi Puskesmas untuk meningkatkan program pengobatan hipertensi. Bagi peneliti lain untuk menambah faktor lain yang berhubungan dengan kepatuhan pengobatan hipertensi.
Abstract
___________________________________________________________________ Hypertension at Kedungmundu Puskesmas was ascending from year to year. In 2013, of 1,179 hypertensive patients adherent to treatment 33% and 67% were non-adherent. The purpose of this study is to determine the factors associated with medication adherence in hypertensive patients in Puskesmas Kedungmundu Semarang. This is a research of analytical survey with cross sectional approach. Sample of 90 respondents who were taken using accidental sampling technique. Data analysis using chi square. The study results show that factors related to hypertension treatment adherence is employment status (p value=0.035), the distance to health services (p value=0.014), the level of knowledge about the management of hypertension (p value=0.000), motivation for treatment (p value=0.000), and family support (p value=0.000). Unrelated variables were gender (p value=0.444), education level (p value=0.232), family’s income (p value=1.000). The advice for health centers to improve hypertension treatment program. For other researchers to add other factors related to hypertension treatment adherence.
© 2015 Universitas Negeri Semarang Alamat korespondensi:
Gedung F1 Lantai 2 FIK Unnes
Kampus Sekaran, Gunungpati, Semarang, 50229 E-mail: [email protected]
Qorry Putri Rasajati/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) PENDAHULUAN
Hipertensi merupakan suatu gangguan pada sistem peredaran darah, yang cukup banyak mengganggu kesehatan masyarakat. Secara global, prevalensi hipertensi pada orang dewasa berusia 25 tahun dan lebih adalah sekitar 40% pada tahun 2008. Di seluruh dunia, hipertensi diperkirakan menyebabkan 7,5 juta kematian, sekitar 12,8% dari total seluruh kematian (WHO, 2012).
Prevalensi hipertensi di Indonesia berdasarkan pengukuran tekanan darah pada orang usia 18 tahun ke atas di sejumlah daerah telah mencapai 31,7% dari total penduduk dewasa. Prevalensi kasus hipertensi essensial di Provinsi Jawa Tengah tahun 2011 sebesar 1,96% (Dinkes Jateng, 2012). Kota Semarang menempati urutan ke-5 penderita hipertensi terbanyak berdasarkan hasil pengukuran tekanan darah pada penduduk berumur 18 tahun (Riskesdas Jateng, 2008). Prevalensi hipertensi di Kota Semarang pada tahun 2011 sebesar 42,4% (Dinkes Kota Semarang, 2012).
Berdasarkan data rekapitulasi penyakit tidak menular puskesmas sekota Semarang dari Dinas Kesehatan Kota Semarang tahun 2012, Puskesmas Kedungmundu menempati urutan ke-1 untuk jumlah kasus hipertensi tertinggi di Kota Semarang. Jumlah kasus hipertensi di Puskesmas Kedungmundu pada tahun 2010 – 2013 terus mengalami peningkatan (Dinkes Kota Semarang, 2014).
Berdasarkan hasil laporan kunjungan pasien hipertensi Puskesmas Kedungmundu bulan Januari – Desember 2013, jumlah penderita hipertensi sebanyak 1.179 pasien. Dari jumlah pasien hipertensi yang melakukan kunjungan ke Puskesmas Kedungmundu, pasien yang rutin melakukan pengobatan satu bulan sekali sebanyak 389 pasien (33%), sedangkan yang tidak rutin melakukan pengobatan sebanyak 790 pasien (67%) (Puskesmas Kedungmundu, 2014). Pelayanan yang terkait dengan hipertensi di Puskesmas Kedungmundu yaitu Prolanis (Program Penyakit Kronis) yang dilaksanakan setiap satu bulan sekali dan
konsultasi diet penderita hipertensi (Puskesmas Kedungmundu, 2013).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan Ekarini (2011) ada hubungan tingkat pendidikan, tingkat pengetahuan, tingkat motivasi dengan kepatuhan klien hipertensi dalam menjalani pengobatan. Penelitian lain yang dilakukan Alphonce (2012) ada hubungan jenis kelamin dengan kepatuhan pengobatan pasien hipertensi. Penelitian lain yang dilakukan Tisna (2009) ada hubungan usia dengan kepatuhan pasien dalam minum obat antihipertensi. Penelitian lain yang dilakukan Manda (2011) ada hubungan dukungan keluarga dengan tingkat kepatuhan pasien hipertensi terhadap terapi.
Dari uraian diatas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Kepatuhan Pengobatan pada Penderita Hipertensi di Wilayah Kerja Puskesmas Kedungmundu Kota Semarang.
METODE
Jenis penelitian ini adalah
observasional dengan menggunakan studi analitik. Rancangan penelitian adalah cross
sectional untuk mengetahui faktor-faktor yang
berhubungan dengan kepatuhan pengobatan pada penderita hipertensi. Populasi dalam penelitian ini adalah pasien hipertensi di Puskesmas Kedungmundu pada bulan Januari – Desember 2013 yang berjumlah 1.179 orang. Sampel berjumlah 90 responden yang diperoleh dengan menggunakan teknik accidental sampling. Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah panduan wawancara terstrukutur yang telah diuji validitas dan reliabilitas sebelum penelitian dilakukan.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Adapun hasil penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 1 :
Qorry Putri Rasajati/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015) Tabel 1. Hasil Penelitian
No Variabel
Kepatuhan Pengobatan
Jumlah p value OR
95%CI Kategori Patuh Tidak Patuh
f % f % f % 1. Jenis Kelamin Laki-laki 13 61,9 8 38,1 21 100 0,444 1,67 0,62-4,54 Perempuan 34 49,3 35 50,7 69 100 2. Tingkat Pendidikan Formal Rendah 34 57,6 25 42,4 59 100 0,232 1,88 0,78-4,54 Tinggi 13 41,9 18 58,1 31 100 3. Status Pekerjaan Bekerja 22 68,8 10 31,2 32 100 0,035 2,9 1,17-7,22 Tidak bekerja 25 43,1 33 56,9 58 100 4. Pendapatan keluarga Rendah 6 54,5 5 45,5 11 100 1,000 1,11 0,31-3,94 Menengah keatas 41 51,9 38 48,1 79 100
5. Jarak rumah terhadap pelayanan kesehatan Jauh 8 100 0 0 8 100 0,014 2,1 1,67-2,64 Dekat 39 47,6 43 52,4 82 100 6. Tingkat pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi Rendah 38 86,4 6 13,6 44 100 0,000 26 8,43-80,4 Tinggi 9 19,6 37 80,4 46 100
7. Motivasi untuk berobat
Rendah 33 97,1 1 2,9 34 100 0,000 99 12,4-792 Tinggi 14 25,0 42 75,0 56 100 8. Dukungan keluarga Tidak ada 45 71,4 18 28,6 63 100 0,000 31,2 6,7-145 Ada 2 7,4 25 92,6 27 100
Dalam penelitian ini, ada variabel yang berperan sebagai perancu atau pengganggu yaitu variabel tingkat pendidikan formal yang merancukan hubungan antara status pekerjaan dengan kepatuhan pengobatan dan variabel tingkat pendidikan formal juga merancukan hubungan antara tingkat pengetahuan tentang tatalaksana hipertensi
dengan kepatuhan pengobatan, sehingga untuk mengendalikan variabel tingkat pendidikan formal dilakukan dengan menggunakan teknik analisis berstrata.
Adapun hasil analisis berstrata dapat dilihat pada Tabel 2 :
Tabel 2. Analisis Berstrata Hubungan antara Status Pekerjaan dengan Kepatuhan Pengobatan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal dan Hubungan antara Tingkat Pengetahuan tentang Tatalaksana Hipertensi dengan Kepatuhan Pengobatan Berdasarkan Tingkat Pendidikan Formal
Kepatuhan Pengobatan
Jumlah p value OR
95%CI
Tidak Patuh Patuh
f % f % f % Tingkat Pendidikan Formal Rendah Status Pekerjaan Bekerja 14 41,2 2 8,0 16 27,1 0,035 2,904 1,168-7,217 Tidak Bekerja 20 58,8 23 92,0 43 72,9 Tingkat Pendidikan Formal Tinggi Status Pekerjaan Bekerja 8 61,5 7 38,9 15 48,4 Tidak Bekerja 5 38,5 11 61,1 16 51,6
Qorry Putri Rasajati/ Unnes Journal of Public Health 4 (3) (2015)
OR=4,591; 95% CI=1,613-13,070; p value = 0,003(Mantel-Haenszel)
Tingkat Pendidikan Formal Rendah Tingkat Pengetahuan tentang Tatalaksana Hipertensi Rendah 29 85,3 6 24,0 35 29,0 0,000 26,037 8,429-80,426 Tinggi 5 14,7 19 76,0 24 40,7 Tingkat Pendidikan Formal Tinggi Tingkat Pengetahuan tentang Tatalaksana Hipertensi Rendah 9 62,2 0 0 9 29,0 Tinggi 4 30,8 18 100 22 71,0
OR=28,644; 95% CI=8,254-99,399; p value = 0,000(Mantel-Haenszel)
Jenis Kelamin
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan kepatuhan pengobatan dengan nilai p=0,444 (p>0,05). Dari 21 responden berjenis kelamin laki-laki yang patuh melakukan pengobatan 38,1% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 61,9%, sedangkan dari 69 responden berjenis kelamin perempuan yang patuh melakukan pengobatan 50,7% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 49,3%.
Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Tisna (2009) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara jenis kelamin dengan tingkat kepatuhan pasien dengan nilai p=1,000. Dalam hal menjaga kesehatan, biasanya kaum perempuan lebih memperhatikan kesehatannya dibandingkan dengan laki-laki. Perbedaan pola perilaku sakit juga dipengaruhi oleh jenis kelamin, perempuan lebih sering mengobatkan dirinya dibandingkan dengan laki-laki (Notoatmodjo, 2010). Hal ini dapat dikaitkan dengan ketersediaan waktu dan kesempatan bagi perempuan untuk datang ke Puskesmas lebih banyak dibandingkan dengan laki-laki. Namun, saat ini perempuan tidak selalu memiliki ketersediaan waktu untuk datang ke Puskesmas karena banyak perempuan yang juga ikut bekerja/mempunyai kesibukan.
Berdasarkan hasil analisis berstrata yang telah dilakukan menggunakan uji
Mantel-Haenszel mengenai hubungan antara jenis
kelamin dengan kepatuhan pengobatan
berdasarkan status pekerjaan diperoleh p value = 0,913 (0,913<0,05) yang artinya status pekerjaan merupakan variabel perancu dalam hubungan antara jenis kelamin dengan kepatuhan pengobatan.
Tingkat Pendidikan Formal
Berdasarkan hasil uji statistik Chi square pada Tabel 1. menunjukkan tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan formal dengan kepatuhan pengobatan dengan nilai p=0,232 (p>0,05). Dari 59 responden yang berpendidikan rendah yang patuh melakukan pengobatan 42,4% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 57,6%, sedangkan dari 31 responden yang berpendidikan tinggi yang patuh melakukan pengobatan 58,1% dan yang tidak patuh melakukan pengobatan 41,9%. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan Alphonce (2012) yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan pengobatan pasien hipertensi dengan nilai
p=0,277.
Perubahan atau tindakan pemeliharaan dan peningkatan kesehatan yang dihasilkan oleh pendidikan kesehatan ini didasarkan kepada pengetahuan dan kesadarannya melalui proses pembelajaran (Notoatmodjo, 2010). Kepatuhan pengobatan hipertensi bisa disebabkan karena faktor lain selain tingkat pendidikan, dapat pula disebabkan karena perbedaan pekerjaan/ kesibukan sehingga penderita hipertensi tidak punya waktu untuk berobat ke Puskesmas.