• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH USHUL FIQIH Dosen pengampu: Ust Nurhamid S.Pd.I. Nama: Sugiarti Yuli Yeni Arofah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH USHUL FIQIH Dosen pengampu: Ust Nurhamid S.Pd.I. Nama: Sugiarti Yuli Yeni Arofah"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH INI DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS KELOMPOK MATA KULIAH USHUL FIQIH

Dosen pengampu: Ust Nurhamid S.Pd.I

Nama: Sugiarti

Yuli Yeni Arofah

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM “AL - FATAH” CILEUNGSI - BOGOR

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW dan sahabatnya serta orang yang terus itsiba di jalannya.

Pada makalah ini kami akan membahas hukum Syara’ yang berhubungan dengan hukum Wadhi’ semoga makalah ini dapat membantu pembaca dalam proses pemahaman dalam mempelajari ilmu Ushul Fiqih.

Dalam peyusunan makalah ini penulis banyak mendapatkan bantuan dorongan dari berbagai pihak, dan karena itu, perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Ust. Hurhamid selaku dosen pembimbing mata kuliah Usul Fiqih. 2. Teman-teman yang telah memberi semangat.

Penulis sadar makalah ini masih banyak kekurangan untuk itu penulis sangat mengharapkan saran demi perbaikan di masa mendatang semoga makalah ini bias bermanfaat bagi kita semua.

Cileungsi, 20 Maret 2012

(3)

DAFTAR ISI Kata Pengantar... 1 Daftar Isi... 2 BAB I PENDAHULUAN... 3 BAB II PEMBAHASAN... 4 A. Pengertian Wahd’i... 4 B. Pengertian Syarat... 7 C. Pengertian Mani’... 11

D. Pengertian Azimah dan Rukhsah... 14

E. Sah dan Batal... 17

BAB III PENUTUP... 19

Kesimpulan dan Saran... 19

(4)

BAB I PENDAHULUAN

Umat muslimin khususnya dari zaman Rasulullah hingga sekarang, telah diberikan tuntunan oleh Allah SWT melalui Al-Qur’an dan As-Sunnah. Segala amal perbuatan manusia, perilaku dan tutur katanya tidak dapat lepas dari ketentuan hukum syariat, baik hukum syariat yang tercantum didalam Qur’an dan Sunnah, maupun yang tidak tercantum pada keduanya, akan tetapi terdapat pada sumber lain yang diakui Syariat. Ushul Fiqih menjadi hukum Syara’ dari segi metodologi dan sumber-sumbernya, sementara ilmu fiqh meninjau dari segi hasil penggalian hukun Syara’, yakni ketetapan Allah yang berhubungan dengan perbuatan orang-orang mukallaf, baik berupa igtidha (tuntutan perintah dan larangan), takhyir (pilihan) maupun berupa Wadh’i (sebab akibat). Seperti hukum haram, makruh, wajib, sunah, mubah, sah, batal, syarat, sebab, halangan (mani’) dan ungkapan lainnya, kesemuanya itu merupakan objek pembahasan ilmu ushul fiqh.

Rumusan masalah

1. Apa pengertian hukum Wadh’i? 2. Apa macam-macam hukum Wadh’i?

(5)

BAB II PEMBAHASAN

A. HUKUM WADH’I

Hukum Wadh’i ialah hukum yang bertujuan menjadikan sesuatu adalah sebab untuk sesuatu atau syarat baginya atau penghalang terhadap sesuatu.

Contoh

1. Dalam bentuk sebab sesuatu

Artinya

“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berdiri untuk mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai kepala silu.” (QS. Al-Maidah:6)

Ayat di atas dapat dipahami bahwa mendirikan shalat menjadi sebab untuk mewajibkan wudhu atau menjadikan sesuatu sebab terhadap sesuatu.

2. Dalam bentuk syarat:

Artinya:

“Tidak syah nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yang adil” (HR Ahmad)

Dua orang saksi menjadi syarat untuk sahnya pernikahan itulah yang dimaksud dengan menentukan sesuatu menjadi syarat sahnya sesuatu.

Hukum wahd’i terbagi menjadi lima macam ialah sebab, syarat, mani, rukhsah, dan azimah, sah dan battal. Dalam uraian di bawah ini akan dibicarakan satu demi satu:

(6)

a. Sebab

Hukum Syara’ kadang-kadang diketahui melalui tanda yang menunjukan bahwa perbuatan itu menjadi kewajiban mukalaf. Umpamanya tiba waktu shalat menunjukan tanda lahirnya atau terhapusnya hak milik, pembunuhan sebagai tanda lahirnya hukum qisas.

Pada contoh-contoh di atas jelaslah kewajiban itu mukallaf mendirikan shalat karena waktu shalat telah tiba, dengan adanya perjanjian jual beli pihak penjual terhapus haknya terhadap barang yang dijual dan dari pihak pembeli terhapus haknya terhadap harga, sekaligus melahirkan hak milikbagi pembeli terhadap barang yang dibelinya, penjual terhadap harga barang yang dijual. Demikianlah juga karena terjadi pembunuhan berencana yang melahirkan hukum qisas.

Semua tanda yang melahirkan hukum dan apabila hubungan antara tanda dan ketentuan hukum nampak jelas tanda itu memang cocok dijadikan sebab lahirnya hukum yang dinamakan “Illat”. Seperti adanya perjanjian jual beli yang menunjukan adanya persetujuan kedua belah pihak untuk memindahkan hak milik. Tetapi apabila hubungan yang seperti ini dinamakan sebab.

Karena itu para ahli ushul memberi batasan tentang sebab:

Artinya

“ sebab itu ialah apa yang dijadikan syata’ sebagai tanda atas musabab dan dihubungkan adanya sebab dengan adanya musabab dan tidak adanya musabab karena tidak adanya sebab”

(7)

Karena itu kalau sebab tidak ada musabab pun tidak ada, dan kalau sebab tidak ada musababpun tidak ada.

Sebab seperti yang diterangkan di atas garis besarnya ada dua macam; sebab yang tidak termasuk perbuatan mukallaf dan yang berasal dari perbuatan mukallaf.

Sebab yang berasal daribukan perbuatan mukallaf seperti tibanya waktu shalat dan menimbulkan wajib shalat cukup nisab yang menimbulkan wajib mengeluarkan zakat, tibul bulan awal ramadan yang menyebabkan wajib puasa, syirik yang menyebabkan haram kawin, sakit yang menyebabkan berbuka puasa pada bulan Ramadan, keluarga yang menjadi sebab lahirnya hak waris, perkawinan yang menjadikan sebab kebolehan talak dan balig yang menjadi sebab sahnya tindakan.

Sebab dari tindakan mukallaf seperti pembunuhan berencana yang menyebabkan lahirnya perikatan dari kedua belah pihak.

Ditetapkan sebab tentunya akan melahirkan musabab, karena itu tidak diterima akal kalau ditetapkan sebab tanpa melahirkan musabab. Setiap ketentuan hukum Syara’ bertujuan untuk mencapai kebahagiaan dan kesejahteraan dan menyingkirkan manusia dari kerusakan, inilah yang menjadi sebab utama lahirnya berbagai ketentuan hukum. Umpamanya Syara’ menetapkan kawin sebagai sebab lahirnya hak perwarisan yang artinya hak pewarisan hanya lahir dari perkawinan yang sah bukan dari perzinaan. Kalau alasan di atas dapat diterima maka tujuan menetepkan sebab untuk membentuk musabab dengan demikian dapat dikatakan sebab itulah yang membentuk musabab dan musabab dilahirkan oleh sebab, kalau tidak demikian tidaklah dinamakan sebab, kalau sebab ditetapkan oleh Syara’.

Kalau seorang mukallaf mengerjakan sebab maka berarti ia telah melakukan musabab, baik disadarinya atau tidak. Umpamanya seorang yang melakukan pembunuhan berencana maka perbuatan

(8)

ini menjadi sebab lahirnya hukum qisas sebagai akibat dari perbuatannya. Jadi berarti sebab menjadi bagiandari musabab dan sebaliknya. Setiap yang diperintahadalah untuk mencapai kabahagian kan kesejahteraan manusia, karena itu lahirlah kewajiban untuk melakukannya dan apa yang dilarang pasti akan merusak karenanya dilarang memperbuatnya. Kalau mukallaf melakukannya berarti ia telah melakukan sebab yang akan membawa kebahagiaan dan kerusakan. Dengan demikian tidak ada alasan bahwa ia tidak tahu tentang kebahagiaan dan kerusakan, karena dalam perintah atau larangan sudah terkandung akibatnya, kalau akibatnya buruk berarti dilarang memperbuatnya. Kalau mukallaf telah melakukan sebab dengan sempurna dan tidak ditemui adanya penghalang terjadinya muabab, maka ia tidak dapat mengelak dari musabab. Contohnya seorang yang melakukan akad nikah dengan seorang yang halal nikah maka dengan adanya akad nikah perempuan itu halal baginyadan kalau ia ingin menolaknya jatuhlah talaknya. Karena itu kalau ia bersumpak untuk tidak mendekati isterinya atau hilang haknya untuk menceraikan istrinya, maka sumpak itu tidak berlaku. Demikian juga kalau ia menceraikan istrinya dengan talak raj’i lalu ia bersumpak untuk tidak merujuk isterinya maka sumpah itu tidak berlaku ia tetap mempunyai hak rujuk karena hak itu ditetapkan Allah.

B. SYARAT

Yang dimaksud dengan syarat ialah apa yang tergantung adanya hukum dengan adanya syarat dengan tidak adanya syarat maka hukum tidak ada. Syarat letaknya diluar hakikat sesuatu maka apabila ia tidak ada maka masyrutpun tidak akan ada tetapi tidak mesti dengan adanya ada juga masyrut. Perkawinan oleh Syara’ disyaratkan jatuh talak maka kalau perkawinan belum dilaksanakan maka jelasnya talak tidak akan jatuh. Wudhu sebagai syarat sah shalat apabila ada wudhu

(9)

shalat sah namun tidak mesti adanya wudhu adanya shalat. Akad nikah menurut Syara’ menjadi sah apabila dihadiri oleh dua orang saksi pada saat diucapkan ijab dan qabul, adanya barang yang diperjualbelikan dan jumlah harga menjadi syarat sah jual beli.

Syarat yang ditetapkan Syara’ mungkin sebagai pelengkap sebab hukum seperti pembunuhan itu dilakukan dengan berencana. Akad nikah dijadikan syarat halalnya pergaulan suami istri namun agar akad nikah itu sah disyaratkan dihadiri oleh dua orang saksi. Demikian dalam semua perjanjian dan tindakan baru dianggap sah dan mengikat kedua belah pihak apabila terpenuhi syarat-syaratnya.

Kendatipun syarat dan rukun yang menentukan sahnya sesuatu perbuatan, namun rukun menjadi satu dengan perbuatan atau dengan kata lin menjadi bagian dari perbuatan sedang syarat berada di luar perbuatan dan bukan menjadi bagiannya. Wudhu sebagai syarat sah shalat yang letaknya di luar shalat. Ijab dan qabul adanya dua orang yang mengikat perjanjian dan prestasi perjanjian dijadikan rukun perjanjian karena menjadi bagian dari perjanjian, kehadiran dua orang saksi dalam akad nikah, penentuan barang yang diperjual belikan, penyerahan barang yang dihibahkan menjadi syarat sahnya perjanjian karena tidak termasuk bagian dari perjanjian. Karena itu kalau rukun perjanian tidak dilengkapi maka perjanjian itu cacat dan kalau syaratnya yang tidak lengkap maka cacatnya hanya pada sifat perjanjian.

Syarat-syarat dalam perbuatan hukum kadang-kadang ditetapkan Syara’ yang seperti ini dinamakan “syarat syar’i” dan kadang-kadang syarat syar’i seperti syarat yang ditetapkan sahnya akad nikah yang dihadiri oleh dua orang saksi dan contoh syarat ja’li seperti jatunya talak apabila kedua belah pihak mempunyai ikatan perkawinan.

Syarat syar’i dapat dibagi menjadi dua macam:

1. Syarat yang terkandung dalam kitab taklifi yang kadang-kadang dalam bentuk tuntutan untuk memperbuatnya seperti wudhu

(10)

dalam shalat. Dan kadang-kadang dalam bentuk tuntutan untuk tidak memperbuat seperti akad nikah tahlil ialah nikah yang dilakukan sebagai syarat untuk memperbolehkan suami pertama menikahi kembali bekas isterinya yang ditalak tiga. 2. Syarat yang terkandung dalam kitab wad’i contohnya haul bagi

yang memiliki harta kekayaan yang cukup nisab menjadi syarat wajib mengeluarkan zakat.

Khusus mengenai macam yang kedua ini tidak diperintahkan untuk memenuhinya dan juga tidak dilarang memenuhinya. Kalau harta kekayaan sudah cukup nisabnya tidak dilarng pemilik mempergunakan harta itu sekalipun akibat dari penggunaan itu dapat mengurangi jumlah hartanya dan juga tidak diperintahkan agar hartayang cukup nisab itu tidak dipergunakan dan disimpan terus sampai akhir nisab sehingga wajib mengeluarkan zakat. Namun dalam mempergunakan harta tadi tidak boleh dengan niat untuk mengurangi agar terlepas dari kewajiban zakat atau mengelak dari kewajiban mengeluarkan zakat kepada yang berhak menerima ialah diantaranya fakir dan miskin. Kalau terlintas niat seperti yang diterangkan tadi maka perbuatan itu termasuk dosa dan kewajiban mengeluarkan zakat tetap menjadi beban baginya karena adanya kesengajaan melepaskan diri dari tuntutan agama.

Syarat ja’li dapat menjadi tiga macam:

1. Syarat yang ditetapkan untuk menyempurnakan hikmah sesuatu perbuatan hukum dan tidak bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu. Umpamanya dalam perjanjian jual beli boleh sidyaratkan bahwa barang yang diperjual belikan itu harus diantar ke rumah pembeli.

2. Syarat yang ditetapkan tidak cocok dengan maksud perbuatan hukum yang dimaksud bahkan bertentangan dengan hikmah perbuatan hukum itu. syarat yang seperti ini tidak berlaku seperti dalam perjanjian kawin yang disyaratkan bahwasuami

(11)

tidak berkewajiban memberi nafkah kepada istrinya atau suami tidak boleh mencampuri istrinya.

3. Syarat yang tidak jelas bertentangan atau sesuai dengan hikmah perbuatan hukum. Syarat yang seperti ini kalau terjadi dalam bidang ibadah tidak berlaku karena tidak ada seorang juapun yang berhak menetapkan syarat dalam ibadah. Namun kalau terjadi dalam bidang muamalah dapat diterima.

Para ulama di kalangan mazhab maliki membagi syarat dalam perjanjian jual beli menjadi empat macam:

1. Syarat yang mendatangkan kemaslahatan dalam penjualan syarat yang seperti ini tidak sah dan jual beli juga sah seperti dalam jual beli itu ditetapkan syarat bahwa penjual mendiami rumah yang dijual selama sebulan.

2. Syarat yang bertentangan dengan perjanjian jual beli syarat yang seperti ini tidak sah dan jual beli juga tidak sah seperti syarat yang menetapkan bahwa pembeli tidak boleh memiliki barang yang dibelinya.

3. Syarat yang tidak mendatangkan kemaslahatan dan tidak menambah atau mengurangi kemaslahatan. Syarat yang seperti menetapkan syarat untuk itu tidak mau menarik syaratnya maka jual beli itu menjadi batal.

4. Syarat yang ditetapkan dalam memberikan hak walaa (kekuasaan terhadap budak yang dijual) apabila dimerdekakan oleh pembeli walau kembali kepada penjual maka syarat itu batal dan pembelinya sah.

Jadi kesimpulannya bahwa orang yang berjanji boleh menetapkan syarat namun syarat itu tidak boleh bertentangan dengan hakikat perjanjian dianggap batal.

Semua perjanjian berlaku semenjak adanya ijab dan qabul maka kalau ditetapkan dalam perjanjian itu bahwa perjanjian itu akan berlaku kemudian, maka syarat yang seperti itu dianggap batal demikian juga

(12)

perjanjiannya. Dan syarat ja’li apabila sesuai dengan syarat syar’i maka berubah menjadi syarat syar’i.

C. MANI’

Yang dimaksud dengan mani’ menurut para ahli ialah:

Artinya:

“Mani ialah apa yang memastikan adanya tidak ada hukum atau batal sebab hukum sekalipun menurut Syara’ telah terpenuhi syarat dan rukunnya tetapi karena adanya mani’ (yang mencegah) berlakunya hukum atasnya”.

Atau dengan kata lain apabila terdapat, hukum tidak akan ada atau sebab hukum menjadi batal sekalipun memenuhi syarat dan rukunnya.

Contohnya seorang ayah yang membunuh anaknya karena yang membunuh itu adalah ayah yang menjadi mani’ sehingga kepadanya tidak dapat dilaksanakan hukum qisas sekalipun sebab lahirnya ketentuan hukum seperti pembunuhan telah tercapai. Demikian juga seorang ahli waris tertuduh pembunuhan yang diwarisinya atau seorang ahli waris tidak akan mendapat pewarisan kalau terjadi perbedaan agama antara yang mewarisidan yang diwarisi sekalipun dalam kedua masalah ini sebab hukum ialah keluarga sedarah tercapai, namun terdapat mani’ ialah pembunuhan dan perbedaan agama sehingga ahli waris tidak dapat mewarisi.

Mani’ kadang-kadang menjadi penghalang berlaku hukum Syara’ seperti adanya hutang menjadi mani’ wajib mengeluarkan zakat,

(13)

karena harta yang ada pada tangan pemilik bukan milik baginya tetapi milik orang lain, sedangkan memenuhi hak orang lain lebih utama dari membantu fakir dan miskin agar orang yang berutang bebas dari tanggung jawabnya. Hutang inilah yang menghapuskan syarat yang menjadi pelengkap sebab hukum Syara’ sehingga dianggap tidak memenuhi syarat wajib zakat bukan karena adanya mani’.

Para ulama dalam mazab hanafi membagi mani’ menjadi lima macam:

1. Mani’ yang menghalangi sahnya sebab hukum seperti menjual orang yang merdeka. Tidak boleh memperjualbelikan orang yang merdeka, karena orang yang merdeka bukan termasuk barang yang boleh diperjualbelikan sedang membeli menjadi sebab berpindahnya hak milik dan membeli menjadi sebab kebolehan menguasai dan mengambil manfaat dari barang yang dibeli.

2. Mani’ yang menjadi penghalang kesempurnaan sebab lahirnya hukum bagi orang yang tidak ikut serta melakukan perjanjian dan menjadi penghalang sebab bagi orang yang mengikat perjanjian. Seperti menjal barang bukan miliknya, penjual yang seperti ini tidak sah karena terdapat mani’ ialah barang yang dijual adalah milik orang lain. Namun apabila pemilik barang yang dijual menyetujui perjanjian itu maka perjanjian itu menjadi sah.

3. Mani’ yang menjadi penghalang berlaku hukum seperti khiyar syarat dari pihak penjualan yang menghalangi pembeli mempergunakan haknya terhadap barang yang diberinya selama masa khiyar syarat berlaku. Umpamanya di A tidak boleh dan B bawa barang yang dijualnyakepada si B tidak boleh dipergunakan selama tiga hari karena si A masih pikir-pikir lagi pada masa yang ditetapkan itu dan kalau pendirinya berubah

(14)

dalam masa itu penjualan dibatalkan. Sebelum syarat belum berakhir pembeli haknya terhadap barang yang dibelinya.

4. Mani’ yang hanya menghalangi sempurna hukum seperti khiyar ru’yah. Khiyar ru’yah tidak menghalangi lahirnya hak milik namun hak milik itu dianggap belum sempurna sebelum pembeli melihat barang yang dibelinya sekalipun barang itu sudah berada ditangan pembeli. Kalau pembeli sudah melihat barang yang dibelinya ia boleh meneruskan pembelian selama barang yang dibelinya cocok sifatnya dengan apa yang ditetapkan tetapi dalam hal barang yang dijualbelikan tidak cocok dengan persyaratan yang ditetapkan pembeli dapat membatalkan tanpa menunggu persetujuan penjual dan tanpa melalui peradilan. 5. Mani’ yang menghalangi berlakunya hukum seperti ‘aib. Si A

sebagai pembeli sesuatu yang memang belum tahu keadaan barang yang dibelinya kemudian ternyata cacat, pembeli berhak memilih antarameneruskan perjanjian atau mengembalikan barang yang dibelinya. Hanya haknya mengembalikan barang itu sesudah mendapat persetujuan dari penjual atau melalui peradilan dan lamanya hak mengembalikan tidak lebih dari tiga hari.

Mani’ seperti ini diterangkan di atas bukan dimaksud agar mukallaf berusaha untuk mencapainya atau berusaha menolak orang yang telah memiliki harta kekayaan yang cukup nisabnya, tidak diperintahkan agar mempergunakan harta ituagar tidak berkurang dari jumlah nisab dan tentunya apabila kurang dari jumlah nisab ia tak wajib mengeluarkan zakatnya. Dan tidak pula disuruh mempergunakan harta itu agar jumlah nisabnya berkurang sehingga tidak mengeluarkan zakat, tetapi mani’ ini ditetapkan Syara’ kalau secara kebetulan terdapat mani’ maka terhapuslah hukum atau sebab yang melahirkan hukum.

(15)

D. AZIMAH DAN RUKHSAH

Para ahli ushul mengatakan yang dimaksud dengan azimah ialah:

Artinya:

“Hukum yang disyariatkan Allah semenjak semula bersifat umum yang bukan tertentu pada satu keadaan atau kasus tertentu dan bukan pula berlaku hanya mukhalaf tertentu”.

Jadi berarti azimah itu hukum yang ditetapkan semenjak semula tidak berlaku hanya untuk keadaan atau kasus atau orang tertentu dan bukan pula untuktempat dan waktu trtentu. Umpamanya shalat lima

waktu diwajibkan kepada setiap orang, diwajibkan pada

semuakeadaan aal saja mukallaf dipandang cakap melakukannya. Contoh hukum azimah ini seperti puasa dan haji ditetapkan semenjak semula tentang wajibnya yang artinya tidak didahului oleh ketentuan yang mencabutnya dan kalau ada yang mencabutnya maka hukum yang terdahulu dinamakan mansukh (dicabut) dan hukum yang baru yang mencabutnya dinamakan nasikh. Dan hukum azimah bukan pula hukum yang dahulunya bersifat umum kemudian dibelakangnya dikecualikan (istisna) atau dibelakangnya hukum yang memberikan kekhususan.

Dan yang dimaksud dengan rukhsah ialah:

(16)

Hukum yang telah ditetapkan untuk memberikan kemudahan bagi mukallaf pada keadaan tertentu yang menyebabkan kemudahan

Rukhsah seperti yang telah diutarakan di atas mempunyai empat macam:

1. Rukhsah yang menjadi pengecualian hukum umum dikarenakan terdapat kesulitan dalam melaksanakan ketentuan hukum umum. Bentuk rukhsah yang seperti ini seperti kebolehan utang piutang perjanjian silm, diat yang diberikan kepada seluruh anggota keluarga yang membunuh.

2. Rukhsah karena adanya taklif yang berat kepada umat yang diisyaratkan Allah dalam firman-Nya

Artinya:

“Ya tuhan kami janganlah engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana engkau bebankan kepada orang yang sebelum kami”.

3. Rukhsah yang ditetapkan untuk memberikan keluasan dalam ibadah sehingga terdapat kemudahan dan orang yang dapat melaksanaka ibadah lebih banyak.

4. Rukhsah menurut pengertian yang diberikan para ahli ushul karena ada uzur yang dapat dijadikan alasan pengecualian dari hukum namun ketentuannya hanya berlaku menurut keperluan. Dan kalau tidak ada yang uzur namun adanya hajat dalam kehidupan ini untuk mencapai yan lebih mudah tidaklah termasuk rukhsah seperti kebolehan perjanjian jual beli tempat (silm) tetapi yang seperti ini merupakan pengecualian dari ketentuan umum. Jadi yang dimaksud dengan azimah menurut ahli ushul ialah ketentuan hukum umum yang ditetapkan

(17)

semenjak semula sedangkan rukhsah adalah hukum pengecualian dari ketentuan hukum umum.

Rukhsah merupakan hukum tambahan bukan hukum asli, maka hendaknya setiap mukallaf memilih mana yang meringankannya yang dapat melepaskannya dari kesukaran dan kesulitan. Sedangkan kesukaran itu sendiri dari segi berat ringannya antara seorang dengan orang lain selalu berbeda sesuai dengan perbedaan tekad dan cita-citanya, setiap manusia tidak sama menilai sesuatu perbuatan apakah berat atau ringan, karena itu batasan yang lebih konkrit tentang keringanan itu tidak akan ditemukan. Syara’ hanya meletakan dasarnya dalam rangka dugaan seperti dalam perjanjian dianggap Syara’ sebagai kesukaran karena biasanya memang terdapat kesukaran dan selain itu diserahkan kepada ijtihad para mukallaf.

Memang dalam melaksanakan ajaran agama akan menimbulkan kesukaran bagi manusia, namun kesukaran ini ada dua macam:

1. Kesukaran yang sangat berat dilaksanakan akan

membahayakan baik pada jiwa maupun pada fisik yang melaksanakan. Umpamanya berpuasa pada saat sedang diserang sakit yang amat menyusahkan. Maka dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat wajib melaksanakan rukhsah. 2. Kesukaran yang tidak begitu berat seperti merasa berat

berpuasa sedang ia dalam keadaan segar. Dalam hal ini juga tidak ada alasan yang membolehkan ia melaksanakan rukhsah tetapi wajib melaksanakan azimah.

Kalau diperhatikan ajaran islam yang bertujuan menghindarkan manusia dari kesukaran dan menghindarkan manusia dari kesusahan karena itu agama memberi kemudahan bagi orang yang dalam perjalanan untuk tidak berpuasa pada bulan ramadan, dan menetapkan taklif tidak pernah bertentangan dengan natur manusia, yang berarti kalau memang ditemukan kesukaran maka wajib melaksanakan azimah.

(18)

E. SAH DAN BATAL

Lafal sah dapat diartikan lepas tanggung jawab atau gugur kewajiban di dunia serta memperoleh pahala dan ganjaran di akhirat. Shalat dikatakan sah karena telah dilaksanakan sesuai dengan yang diperintahkan Syara’ dan perbuatan itu akan mendatangkan pahala di akhirat. Sebaliknya lafal “batal” yang diartikan tidak melepaskan tanggung jawab, tidak mengugurkan kewajiban di dunia dan di akhirat tidak memperoleh pahala.

Setiap perbuatan yang dibebankan kepada mukalaf sudah ditetapkan rukun dan syaratnya dan perbuatan itu harus disesuaikan dengan yang di perintahkan Allah atau sekurangnya tidak dilarang. Setiap perbuatan yang telah memenuhi rukun dan syarat serta dilaksanakan menurut ketentuan yang ditetapkan Syara’ dinamakan sah dan yang kurang rukun dan syarat serta bertentangan dengan ketentuan Syara’ dinamakan bata.

Kalau perbuatan yang dituntut Syara’ dikatakan sah maka orang yang melaksanakan dikatakan telah menunaikan tuntutan, lepaslah dari tangung jawab, tidak dituntut hukum baik di dunia maupun di akhirat. Bahkan ia mendapat pahala di akhirat kelak. Sebaliknya perbuatan yang tidak memenuhi persyaratan dan rukun serta bertentangan dengan ketentuan Syara’ tidak dapat menghapuskan kewajiban, yang melakukannya masih dituntut baik di dunia maupun di akhirat.

Menurut ulama, bahwa setiap perbuatan apakah ibadah maupun muamalah adalah tujuannya untuk mencapai kemaslahatan hidup manusia di dunia dan di akhirat dalam hal ini termasuk semua macam perjanjian mengandung dua tujuan pokok ialah:

1. Memenuhi tuntutan Syara’

2. Untuk mencapai dan mewujudkan kemaslahatan hidup.

Menurut para ulama di kalangan mazhab syafi’I kedua tujuan ini terdapat baik dalam ibadah maupun dalam muamalah yang di

(19)

antarnya perjanjian, namun tujuan pertma lebih menonjol. Karena itu setiap perjanjian yang tidak memenuhi tuntutan Syara’ dianggap batal dan lawannya sah. Jadi menurut para ulama di kalangan mazhab syafi’I tidak ada perbedaan antara ibadah dan muamalah keduanya hanya sah atau batan.

Namun sebagai ulama kalangan mazhab hanafi mengatakan dalam tujuan perjanjian tujuan kedua lebih menonjol karena itu mereka membedakan antara ibadah dan muamalah. Dalam ibadah mereka sependapat dengan para ulama di kalangan mazhab syafi’I hanya berlaku dua hal ialah sah dan batal. Ibadah yang batal tidak dapat menghapus kewajiban dan yang bersangkutan wajib mengqadha namun dalam perjanjian terdapat tiga macam; perjanjian yang tidak sah dibagi menjadi dua macam batal dan fasid. Perjanjian batal ialah perjanjian yang kurang rukun dan syaratnya sedangkan perjanjian yang fasid ialah perjanjian yang tidak sempurna syaratnya. Perjanjian jual beli yang dilakukan oleh orang gila atau oleh anak yang belum mencapai usia mumayiz atau memperjual belikan sesuatu yang tidak ada. Maka perjanjian itu dinamakan perjanjian yang batal. Tetapi jual beli dengan harga yang tidak ditentukan jumlahnya maka perjanjian itu dinamakan perjanjian fasid. Akad nikah dari orang yang belum mencapai usia mumayiz atau nikah dengan wanita haram mengawininya sedang ia sudah tahu maka perjanjian itu dinamakan perjanjian yang batal sama sekali tidak mempunyai pengaruh sedangkan perjanjian yang fasid masih mempunyai pengaruh karea itu dalam perjanjian kawin yang fasid suami wajib membayar mahar. Istri tetap menjalankan masa idahnya dan keturunan anak masih dapat dihubungkan dengan suaminya.

(20)

BAB III PENUTUP

Kesimpulan dan Saran

Hukum Wadh’i yang telah ditetapkan oleh Syara’ sebagai faktor keeksitensian sebuah hukum syariat bagi seorang mukallaf, haruslah sangat diperhatikan sebagaimana menyikapi hukum taklif macam dan bagian dalam hukum tersebut yang telah dipaparkan hanyalah sekedar sebagai pengantar studi saja. Hukum Wadh’i adalah implementasi dari hukum taklif, jadi hukum Wadh’i ini lebih kepada masalah-masalah khusus dibanding dengan hukum taklif. Akan tetapi para ulama berbeda pendapat dengan hukum-hukum yang berbeda dalam hukum Wadh’i ini.

(21)

Referensi:

1. Drs. H. A. Syafi’i Karim Fiqih Ushul Fiqih

2. Http://opickel-fadl.blogspot.com/2011/05/makalah-hukum-wadhi.html?m=1, 19/03/2012 17:47

Referensi

Dokumen terkait

Ho: Tidak ada pengaruh yang signifikan kepuasan kerja terhadap turnover intention karyawan dengan komitmen organisasi sebagai variabel intervening pada

Sementara pada kelompok lainnya mengalami kenaikan indeks yaitu berturut-turut: kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau naik sebesar 0,45 persen; kelompok

Teori Kepastian hukum mengandung 2 (dua) pengertian yaitu pertama adanya aturan yang bersifat umum membuat individu mengetahui perbuatan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan,

Dalam hal penjualan kembali Unit Penyertaan REKSA DANA BNP PARIBAS INTEGRA dilakukan oleh Pemegang Unit Penyertaan melalui media elektronik, maka Formulir Penjualan Kembali

Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah menyebabkan kewenangan yang lebih luas kepada daerah untuk berperan dalam pembangunan semakin besar di daerahnya dan diharapkan

Dari hasil pengolahan data diatas didapatkan waktu siklus atau waktu penyelesaian satau satuan produksi mulai dari bahan baku mulai diproses ditempat bersangkutan yaitu 747,63 detik,

Hasil pengamatan 25 sampel feses dari 25 ekor sapi dengan masing-masing tiga kali ulangan, ditemukan tiga jenis telur cacing parasit pada Rumah Potong Hewan Medan

14) Membantu berkoordinasi dalam kegiatan internal dan eksternal program umum Panitia Peningkatan Mutu dan Keselamatan Pasien.. 15) Menghadiri rapat, pertemuan, workshop