• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Fungsi Hutan Terhadap Perubahan Iklim

Undang-Undang No 41 tahun 1999 tentang Kehutanan mendefinisikan hutan sebagai suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi jenis pepohonan dalam persekutuan dengan lingkungannya, yang satu dengan lain tidak dapat dipisahkan. Indonesia memiliki hutan terbesar ketiga setelah Brazil dan Zaire. Luas kawasan hutan di Indonesia yang mencapai ± 133.841.806 ha yang terdiri dari luasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan alam (IUPHHK-HA) sebesar ± 26,169,813 ha dan luasan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu pada Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) sebesar ± 10.039.052 ha (Dirjen Planologi Kehutanan 2009).

Potensi tersebut dapat dimanfaatkan diantaranya sebagai penyeimbang siklus karbon di atmosfir melalui proses fotosintesis. Penyerapan CO2di udara

oleh tegakan dibantu sinar matahari dan air dapat menghasilkan karbohidrat yang kemudian diolah dalam organ tumbuhan, yaitu : batang, cabang, ranting, dan daun. Sehingga dengan mengukur jumlah karbon yang tersimpan dalam suatu areal dapat menggambarkan CO2 yang terserap dari udara. Kondisi hutan dengan

fase masa pertumbuhan mampu menyerap lebih banyak CO2 jika dibandingkan

dengan hutan alam yang telah tua dan mencapai klimaks dalam pertumbuhanya yang hanya mampu menyerap sedikit CO2 karena telah mencapai keseimbangan

dimana tingkat pembentukan dan pelapukan seimbang (Hairiah & Rahayu 2007). Pada hutan bekas tebangan memiliki tingkat penyerapan CO2 yang tinggi

karena lebih didominasi oleh tingkat permudaan pohon yang berada dalam fase pertumbuhan. Setelah hutan alam atau sisa-sisa hutan alam terdegradasi akibat adanya intervensi manusia dari kegiatan tebang pilih atau pembalakan kayu yang tak terkontrol. Hutan sekunder akan berkembang dari benih pohon-pohon pionir yang telah bereproduksi dan jatuh ke permukaan tanah, dari sisa-sisa tebangan (tunggul pohon) atau melalui regenerasi jenis pohon klimaks hingga kembali ke keadaan seperti semula selama proses tersebut tidak terganggu.

(2)

Hutan sekunder memiliki sifat sebagai berikut :

1. Komposisi dan struktur tegakan tidak hanya tergantung pada luas keterbukaan namun juga pada umur keterbukaan areal.

2. Tegakan muda memiliki komposisi dan struktur tegakan lebih seragam dibandingkan dengan hutan aslinya.

3. Pohon jenis niagawi sangat sulit ditemui sedangkan jenis-jenis pohon cepat tumbuh (fast growing species) lebih mendominasi.

4. Persaingan ruangan dan sinar matahari yang intensif sering membuat batang bengkok karena pertumbuhan pohon mengikuti arah sinar matahari.

5. Memiliki riap awal yang besar, karena pertumbuhan tegakan distimulus oleh sinar matahari yang langsung masuk akibat keterbukaan areal dan lambat laun riap tersebut akan mengecil.

6. Memiliki struktur tegakan, komposisi tegakan, dan riap tegakan yang tidak pernah stabil, sehingga mengakibatkan sulitnya merencanakan pemasaran hasil yang tepat.

Kegiatan pemanenan kayu dan perlakuan silvikultur di hutan alam tropis dapat menimbulkan perubahan terhadap ekosistem hutan yang cukup besar. Dampak dari kegiatan pemanenan kayu di hutan alam mengakibatkan kerusakan vegetasi hutan dan kerusakan tanah. Disamping itu kegiatan pemanenan kayu berperan dalam menurunkan cadangan karbon di atas permukaan tanah minimal 50%. Di hutan tropis asia penurunan cadangan karbon akibat aktifitas pemanenan kayu berkisar antara 22-67% (Butler 2007).

2.2 Komposisi dan Struktur Tegakan

Keanekaragaman jenis pohon pada hutan alam umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan tipe hutan tanaman. Tingginya keanekaragaman jenis tersebut diwakili oleh banyaknya jumlah jenis pohon yang ditemukan per satuan luas. Struktur tegakan dapat menjelaskan tentang tingkat kerapatan suatu tegakan, selain itu struktur tegakan juga dapat menjelaskan tentang distribusi jumlah pohon berdasarkan kelas diameternya. M engukur kerapatan tegakan berguna untuk mengindikasikan kuantitas kayu yang berada di atas tegakan ( Husch et al. 2003).

(3)

Tegakan hutan adalah sekumpulan pohon yang memiliki karakteristik seperti komposisi, ukuran dan umur (Kohyama 1993). Tegakan dapat diekspresikan sebagai unit per luas area seperti volume, luas bidang dasar, jumlah pohon, dan sebagainya. Tetapi sering juga diekspresikan dalam skala relatif sebagai persentase dari keadaan kerapatan penuh atau sebagai persentase kerapatan rata-rata. Hasil dari proyeksi struktur tegakan berguna untuk pengaturan hasil dan prediksi kandungan biomassa dan nilai karbon tersimpan pada tegakan.

Struktur tegakan merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensi diameter pohon dalam suatu kawasan hutan yang berguna untuk mempertahankan keanekaragaman jenis. Pengetahuan menyangkut struktur tegakan memberi informasi dinamika populasi suatu jenis mulai dari tingkat semai, pancang, tiang dan pohon. Struktur tegakan dapat memberikan berbagai informasi penting bagi pengelola hutan melalui upaya pemodelan untuk keperluan prediksi yang sesuai dengan kondisi yang akan datang (Kohyama 1993).

Demikian disampaikan oleh Burkhart (1990) dalam Thornley (1998) bahwa pemodelan pertumbuhan merupakan dasar pengelolaan hutan yang bertujuan untuk mengekstrapolasi prediksi kegunaan untuk tujuan pengelolaan pada basis yang dibatasi pada sejumlah hasil yang diinginkan. Dalam pemodelan hutan, Thornley (1998) membedakan atas model individu pohon yakni terdiri atas pengukuran dimensi tinggi, diameter, umur dan lain-lain serta model tegakan keseluruhan seperti model pertumbuhan dan hasil tegakan.

2.3 Kandungan Biomassa dan Karbon di Atas Permukaan Tanah

Biomassa didefinisikan sebagai jumlah total bahan organik hayati maupun non hayati yang berada di atas maupun yang berada di bawah permukaan tanah. Biomassa tumbuhan bertambah karena tumbuhan menyerap CO2 dari udara dan

mengubahnya menjadi bahan organik melalui proses fotosintesis (Brown 1997). Faktor yang mempengaruhi besarnya biomassa diantaranya adalah iklim, curah hujan, umur tegakan, struktur tegakan, kerapatan tegakan, serta kualitas tempat tumbuh yang sangat berpengaruh pada pertumbuhan pohon yang ekuivalen dengan besarnya biomassa. Jumlah cadangan karbon ditentukan oleh : luasan areal, kerapatan tegakan per hektar, dan komposisi jenis tegakan.

(4)

Penggunaan persamaan alometrik dapat mengurangi tindakan perusakan selama pengukuran, biomasa pohon dapat diestimasi berdasarkan pada pengukuran diameter batang. Hairiah dan Rahayu (2007) menyebutkan bahwa pemanenan kayu merupakan penyebab utama penurunan jumlah stok karbon yang diserap oleh hutan dimana karbon yang ditinggalkan di dalam tegakan terdapat di bawah permukaan tanah, tegakan tinggal, semai, tumbuhan bawah, dan limbah kegiatan pemanenan kayu. Prosedur pengumpulan data biomassa di atas tanah disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1 Parameter pengukuran biomassa dan metode pengukuranya

No Parameter Metode

1 Serasah dan Tumbuhan bawah Destruktive

2 Pohon hidup Non- Destruktive, persamaan alometrik 3 Pohon mati berdiri Non- Destruktive, persamaan alometrik

(nekromassa) (bercabang) dan persamaan silinder. 4 Pohon mati roboh Non- Destruktive, persamaan silinder

(nekromassa) atau alometrik untuk yang bercabang 5 Tunggak pohon (nekromassa) Non- Destruktive, persamaan silinder

Sumber : Hairiah dan Rahayu 2007.

Pengukuran karbon membutuhkan data biomassa tumbuhan yang dapat diukur dengan menggunakan 2 sistem, yaitu : sistem destruktive sampling merupakan metode pengukuran biomassa dengan cara merusak atau menebang pohon untuk selanjutnya dilakukan pengukuran berat basah di berbagai carbon pool yang terdiri dari biomassa atas, biomassa akar, biomassa kayu mati, biomassa serasah dan biomassa tanah organik (Ostwald 2008), sedangkan sistem non-destruktive sampling merupakan pengukuran biomassa dengan cara tidak merusak pohon dan menggunakan konversi persamaan alometrik dimana parameter yang digunakan antara lain : diameter, tinggi dan berat jenis.

Persamaan alometrik merupakan pendekatan regresi yang sering digunakan dalam menduga biomasa. Brown (1997) telah membangun persamaan allometrik untuk hutan tropis. Beberapa persamaan alometrik dalam pengukuran biomassa pohon di hutan tropis dalam tiga bentuk berdasarkan intensitas curah hujannya selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

(5)

Tabel 2 Persamaan alometrik estimasi biomassa

Curah hujan tahunan

Persamaan Allometrik Kisaran DBH Sampel Pohon Kering (<1500 mm/Thn) B = exp[-1,996 + 2,32*ln(D)] 5-40 cm 28 0,89 B = 10^[-0,535 + log10(BA)] 5-30 cm 191 0,94 Lembab (1500-4000 mm/thn) B = 42,69 - 12,800(D) + 1,242 (D²) 5-148 cm 170 0,84 B = exp[-2,134 + 2,530 * ln (D)] 0,97 Basah (>4000 mm/thn) B = 21,297 - 6,953 (D) + 0,740 (D²) 4-112 cm 169 0,92

Keterangan : B = Biomassa (Kg), D = Diamater (cm), BA = Basal Area (cm²)

Pendugaan karbon diperoleh dari hasil konversi sebesar 50% dikali dengan kandungan biomassanya. Hasil penelitian Onrizal (2004) menyebutkan bahwa hubungan antara kandungan biomassa setiap bagian pohon berhubungan secara linear dengan kandungan karbonnya, karbon suatu pohon akan meningkat seiring dengan meningkatnya kandungan biomassa pohon tersebut.

2.4 Perdagangan Karbon dengan skema REDD

Perdagangan karbon adalah kegiatan perdagangan jasa yang berasal dari kegiatan pengelolaan hutan yang menghasilkan pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan melalui penyerapan emisi oleh tegakan. Pengurangan emisi dari deforestasi hutan dan degradasi lahan yang selanjutnya disebut REDD merupakan semua upaya pengelolaan hutan dalam rangka pencegahan dan atau pengurangan penurunan kuantitas tutupan hutan dan stok karbon untuk mendukung pembangunan nasional berkelanjutan. Pembayaran karbon hutan dapat terjadi melalui penyerapan karbon yang diperoleh dari penyerapan CO2 dalam penanaman pohon atau perlindungan karbon tersimpan

yang sebaliknya dapat teremisi dari hutan alam (Kementerian Kehutanan 2009b).

Perdagangan karbon dapat membantu penurunan emisi global yang dihasilkan dari negara maju (Annex 1) dengan cara membeli kredit REDD (offsets) untuk memenuhi komitmen penurunan emisi mereka sendiri. Selain itu, manfaat lain dari perdagangan karbon adalah penjualan jasa penyerapan karbon (Payments for Environmental Services) di tingkat internasional. Pembeli jasa akan membayar kepada penyedia jasa untuk jasa lingkungan atau kegiatan yang dapat memberikan jasa tersebut (Angelsen 2010).

(6)

Pertimbangan pendekatan nasional bukan berdasarkan pengurangan emisi, tetapi kemampuan suatu negara untuk mempertahankan pengurangan karbon sesuai tingkat referensi yang telah ditetapkan tanpa mempedulikan lokasi persis sumber pengurangan tersebut, Jika suatu negara melampaui tingkat referensi yang telah ditetapkan, maka salah satu alternatifnya adalah negara tersebut berusaha menurunkan emisi dengan cara lain atau membayar denda. Melalui ‘sistem debit’ misalnya, nilai emisi di atas tingkat referensi akan dipotong dari pendapatan kredit emisi di masa mendatang. (Schlamadinger & Johns 2006).

Metode untuk mengukur perubahan stok karbon karena degradasi hutan, yaitu : metode perubahan stok karbon (stock-difference) dan metode tambah-kurang (gain-loss). Metode perubahan stok dibangun berdasar inventarisasi hutan yang biasanya dilakukan untuk menaksir serapan atau emisi karbon. Sedangkan metode tambah-kurang berdasarkan pemahaman dari sifat ekologis hutan, bagaimana hutan tumbuh, bagaimana proses alami dan pengaruh manusia mengakibatkan pengurangan karbon di dalam hutan. Metode perbedaan stok mengukur stok biomassa di awal dan akhir periode penghitungan, untuk masing-masing pool karbon (IPCC 2006). Metode tambah-kurang menaksir terjadinya penambahan biomassa dari pertumbuhan rata-rata per tahun (Mean Annual Increment), dikurangi taksiran biomassa yang berkurang karena kegiatan seperti penebangan pohon, pengumpulan kayu bakar, dan kebakaran. Apabila wilayah hutan dikelompokkan berdasar penyebab degradasinya, maka ada kemungkinan untuk mengetahui s eberapa banyak kayu yang diambil pada kurun waktu tertentu dengan cukup akurat.

Skema REDD diharapkan dapat meningkatkan serapan karbon melalui additionality dari business as usual dalam rangka upaya mitigasi sampai dengan tahun 2020 nanti diharapkan mampu menyerap 1.31 Gt CO2 dengan menanam

500.000 hektar per tahun. Dengan mempertahankan kawasan hutan dan lahan berhutan maka dapat menunda terjadinya emisi ke atmosfer. Rencana Strategis Kementerian Kehutanan 2010-2020 disusun untuk merealisasikan komitmen Pemerintah RI dalam mereduksi emisi sebesar 26% melalui kegiatan pengayaan dan penanaman hutan serta pengaturan jatah tebangan tahunan dari 17 juta m3 menjadi 9 juta m3(Ramos 2006).

(7)

2.5 Skenario Pengelolaan Hutan

Skenario pengelolaan hutan dibuat untuk mengetahui manfaat terbaik yang diperoleh dari alternatif skenario pengelolaan hutan dengan memperhatikan manfaat ekonomi, ekologi, dan sosial. Berikut adalah beberapa skenario yang akan disimulasikan dalam penelitian.

2.5.1 Pengelolaan Hutan untuk Penyerapan Karbon

Hutan Indonesia hanya mampu memasok 46,77 juta m3 kayu bulat tiap tahunnya. Hal ini tidak dipahami secara baik oleh pelaku industri kehutanan. Mereka terus saja menambah kapasitasnya tanpa memperhatikan kemampuan alam. Kapasitas industri kayu Indonesia mencapai 96,19 juta m3. Maraknya pembalakan liar mengakibatkan ketimpangan permintaan dan ketersediaan kayu yang semakin merusak hutan. Total kayu illegal untuk memenuhi kebutuhan produksi dalam negeri mencapai 30,18 juta m3, telah menyebabkan kerugian negara sebesar Rp. 36,22 triliun pada tahun 2006 (Smith et al. 2002).

Perlu adanya tindakan pengurangan penebangan atau bahkan penghentian sementara (moratorium) eksploitasi kayu agar kelestarian tegakan bisa terjaga. Moratorium penebangan adalah penundaan dan atau pengurangan produksi kayu dalam suatu kurun waktu tertentu dengan tujuan untuk menjaga kelestarian tegakan dan carbon sink dari hutan serta serapan karbon di atmosfer. Tujuan dari pemberlakuan moratorium adalah mempertahankan stok tegakan dan hutan yang diharapakan mampu mengurangi emisi global (IFCA 2007).

Namun bila ketimpangan permintaan dan penawaran kayu tersebut ditindaklanjuti dengan moratorium, maka akan berdampak pada kemampuan pemenuhan kebutuhan bahan baku kayu nasional sehingga dapat mengurangi pendapatan negara dari sektor kehutanan. Indonesia membutuhkan dana kompensasi sebesar Rp.75,24 triliun jika Indonesia mengambil kebijakan moratorium pemanfaatan hutan dengan menghentikan pemanfaatan hutan alam pada 110 perusahaan HPH dan 77 perusahaan HTI. Lebih lanjut menjelaskan bahwa perusahaan tersebut berencana melakukan penebangan kayu seluas 1,84 juta hektar dengan potensi sebesar 79,69 juta m3 hingga 2018 (Departemen Kehutanan 2009).

(8)

2.5.2 Kombinasi Pengelolaan Hutan Berbasis Karbon

Permintaan pasar akan kebutuhan kayu yang semakin meningkat serta mendukung pemerintah dalam penurunan emisi global sebesar 26%, maka diperlukan suatu tindakan pola adapatasi lingkungan dengan memperhatikan manfaat kelestarian ekonomi, ekologi, dan sosial. Salah satunya dengan mengkombinasikan pengelolaan hutan untuk memproduksi kayu dengan penyerapan karbon agar keseimbangan iklim dan pemenuhan kebutuhan kayu terpenuhi. Untuk itu, dibutuhkan suatu formula yang tepat agar kelestarian tegakan dan pendapatan negara dari sektor kehutanan tidak terlalu menurun. Dengan skenario tersebut diharapkan dapat menjaga kelestarian stok tegakan dan mengurangi laju deforestasi di Indonesia, selain itu juga dapat mengurangi pemanasan global dengan cara mempertahankan fungsi tegakan sebagai penyerap emisi. Hal ini juga dapat menjadi nilai tambah bagi pendapatan negara dari sektor kehutanan yang dihasilkan dari pembayaran jasa penyerapan karbon.

2.5.3 Sarang Semut

Skenario pengusahaan yang dapat dikombinasikan dengan pengelolaan hutan berbasis karbon adalah usaha hasil hutan non kayu melalui pengelolaan sarang semut yang memiliki potensi besar di Papua dan banyak diminati konsumen belakangan ini. Skenario tersebut dilakukan ketika kebijakan moratorium penebangan berlaku di Indonesia dan pendapatan perusahaan yang dihasilkan dari jasa penyerapan karbon tidak dapat memenuhi besarnya pengeluaran perusahaan.

Sarang semut (Myrmecodia pendans Merr. & Perry.) merupakan tumbuhan dari family Rubiaceae yang berasosiasi dengan semut. Tumbuhan ini bersifat epifit menempel pada tumbuhan lain. Ukuran sarang semut juga beragam. Biasanya bagian umbi sarang semut mengalami proses menggelembung sejalan dengan pertambahan usia tanaman. Daunnya juga beragam, ada yang bulat lonjong, memanjang, namun rata-rata umbinya melonjong dengan tebaran duri bersusun pada pola tertentu di bagian luarnya. Di dalam umbi itu terdapat labirin yang dihuni oleh semut dan cendawan. Daging umbi tanaman itulah yang diiris tipis-tipis, kemudian dijemur dan dijadikan obat herbal (Subroto 2007).

(9)

Gambar 1 Tumbuhan sarang semut Myrmecodia pendans Merr. & Perry. Menurut Subroto dan Hendro (2006), klasifikasi dari tumbuhan sarang semut adalah sebagai berikut :

Divisi : Tracheophyta Kelas : Magnoliospida Subkelas : Lamiidae Ordo : Rubiales Famili : Rubiaceae Genus : Myrmecodia

Spesies : Myrmecodia pendans Merr. & Perry

Genus sarang semut tersebut dibagi menjadi beberapa spesies berdasarkan struktur umbinya. Hydnophytum terdiri dari 45 spesies dan Myrmecodia 26 spesies. Tumbuhan sarang semut telah terbukti dapat menyembuhkan beragam penyakit ringan dan berat, antara lain : kanker, tumor, asam urat, jantung koroner, wasir, TBC, migren, rematik, dan leukemia. Sarang semut mengandung flavonoid dan tanin yang berfungsi sebagai antioksidan, dan bisa mencegah sekaligus mengatasi serangan kanker. Mekanisme kerja Flavonoid dalam mengatasi kanker dengan cara menonaktifkan karsinogen (Subroto & Hendro 2006).

Disamping itu, sarang semut juga mengandung tokoferol serupa dengan vitamin E yang berefek antioksidan efektif. Tekoferol berfungsi sebagai antioksidan dalam menangkal radikal bebas bebas dan sebagai antikanker. Dilihat dari kandungannya, maka sarang semut hampir bisa mengatasi berbagai jenis kanker. selain itu juga bisa digunakan untuk mengobati penyakit jantung dan kebocoran jantung. Senyawa flavonoid dalam serbuk maupun ekstrak air sarang semut berperan langsung sebagai antibiotik dengan mengganggu fungsi mikroorganisme seperti bakteri atau virus (Bustanussalam 2010).

(10)

2.5.4 Minyak Lawang

Pohon lawang (Cinnamomum culilawan BL) dikelompokkan sebagai salah satu komoditas hasil hutan non kayu (non timber forest product) yang masuk dalam kelompok jenis yang dapat menghasilkan minyak atsiri. Berbeda dengan produk minyak atsiri lainnya, minyak lawang lebih khas, panas, dengan banyak multi fungsi. Persediaan minyak lawang di pasaran, masih sangat terbatas, sementara permintaan terus meningkat. Kondisi ini terjadi dikarenakan daerah yang menghasilkan minyak ini hanya berasal dari Indonesia bagian Timur. Persebaran pohon penghasil minyak lawang banyak ditemukan di Indonesia bagian Timur, terutama di Kabupaten Kaimana Propinsi Papua. Pohon yang mempunyai genus sama dengan species ini adalah pohon kayu manis, kulit pohon ini di Pulau Jawa banyak dimanfaatkan untuk aroma makanan dan minuman juga digunakan sebagai bahan untuk campuran obat tradisional (Anonim 2011).

Rekayasa teknologi diperlukan untuk mengolah bahan kulit pohon lawang menjadi produk yang siap dipasarkan dengan nilai jual tinggi guna mendapatkan nilai tambah (value added). Klasifikasi dari pohon lawang adalah sebagai berikut.

Familia : Lauraceae Genus : Cinnamomum

Species : Cinnamomum culilawan BL.

Tahapan proses pengolahan yang harus dilakukan untuk mendapatkan hasil minyak lawang berkualitas, yaitu : pemilihan bahan baku, sortir bahan baku, penghalusan bahan baku, proses penyulingan dan pemisahan minyak lawang dengan air. Alat distilasi minyak lawang, dilengkapi dengan suhu dan tekanan. Dengan menggunakan alat distilasi tersebut diatas mampu menghasilkan minyak lawang dengan kualitas prima, dengan rendemen cukup tinggi sebesar 4,2% dengan waktu penyulingan yang sangat cepat, hanya 2 jam 15 menit, sehingga dapat menghemat bahan bakar cukup banyak. Limbah hasil penyulingan minyak lawang, biasanya hanya dibuang begitu saja, walaupun masih mempunyai kandungan minyak lawang, yang tentu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku produk. Limbah minyak lawang yang berupa bubur kayu dapat dimanfaatkan untuk bahan baku produk param dan lulur (Anonim 2010).

(11)

2.5.5 Sagu

Sagu (Metroxylon spp) termasuk ordo Sapindiciflorae, sub famili Calamoideae dari famili Palmae. Nama tanaman sagu yang dengan bahasa latin Metroxylon spp, berasal dari 2 (tiga) kata yaitu Metra yang berarti empulur, Xylon yang berarti Xylem dan sagu menunjukkan kepada pati. Metroxylon sagu berarti tanaman yang tumbuh di daerah berair, berbunga hanya sekali, serta toleran terhadap salinitas. Sagu dianggap penting karena menghasilkan pati yang merupakan sumber karbohidrat. (Flach 1983)

Sagu memiliki potensi yang baik, yaitu : produksinya tinggi, dapat tumbuh, dan berproduksi pada daerah rawa. Tanaman sagu termasuk dalam kelompok tanaman tahunan dan cocok untuk daerah basah dataran rendah tropis. Tanaman sagu sendiri mulai bisa dipanen setelah berumur 5-10 tahun. Setiap tahun akan tumbuh tunas dan anakan baru dengan tingkat produksi yang juga tinggi. Pemanenan sagu saat ini dilakukan dengan cara tradisional dengan teknologi sederhana yaitu dengan penebangan kemudian diambil empulurnya, dihaluskan dan disaring pati dari sagu tersebut lalu dikeringkan.

Pada umumnya sagu tumbuh di daerah dataran rendah hingga ketinggian 700 m di atas permukaan laut. Habitat sagu adalah rawa, di sekitar daerah sumber air, di sekitar sungai dan di dataran rendah yang lembab. Tanaman sagu juga memiliki kemampuan tumbuh dengan sedikit atau tanpa pemeliharaan serta memiliki kemampuan tumbuh di daerah berair dengan derajat keasaman tanah (pH) antara 3,7 sampai 6,5 dan suhu diatas 25⁰C. (Yumte 2008)

Menurut Notohadiprawiro dan Louhenapessy (1993) dalam Djoefrie (1999), daerah utama kawasan sagu di nusantara adalah Papua, Maluku, Sulawesi terutama Sulawesi Selatan, Tengah, dan Tenggara, Kalimantan terutama Kalimantan Barat, serta Sumatera terutama di Kepulauan Riau. Di Jawa, sagu ditemukan secara terbatas di Bogor Barat sampai ke Banten. Luas Hutan sagu sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Luas hutan sagu di Indonesia diperkirakan mencapai 1 juta hektar yang tersebar di Papua 800.000 ha, Maluku 50.000 ha, Sulawesi 40.000 ha, Kalimantan 45.000 ha, Sumatera 32.000 ha dan sisanya di Jawa.

(12)

Dibandingkan dengan tanaman penghasil karbohidrat lain, keunggulan utama tanaman sagu adalah produktivitasnya tinggi. Produksi sagu yang dikelola dengan baik dapat mencapai 25 ton pati kering/ha/tahun. Produktivitas ini setara dengan tebu, namun lebih tinggi bila dibandingkan dengan ubi kayu dan kentang dengan produktivitas pati kering 10-15 ton/ha/tahun. (Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan Indonesia 2007). Sagu mampu menghasilkan pati kering hingga 25 ton per ha, jauh melebihi pati beras dan jagung yang hanya 6 ton per ha dan pati kering jagung hanya 5,5 ton/ha. (Yuniarsih 2009)

2.6 Pemodelan Sistem

Menurut Grant et al. (1997), analisis sistem adalah studi yang dibentuk satu atau beberapa sistem, atau sifat-sifat umum dari sistem. Analisis sistem adalah pendekatan filosofis dan kumpulan teknik, termasuk simulasi yang dikembangkan secara eksplisit untuk menunjukkan masalah yang berkaitan dengan sistem yang kompleks. Analisis sistem menekankan pada pendekatan holistik untuk memecahkan masalah dan menggunakan model matematika untuk mengidentifikasi dan mensimulasikan karakteristik yang penting dari sistem yang kompleks. Tahapan analisis sistem menurut Grant et al. (1997), sebagai berikut : 2.6.1 Formulasi model konseptual.

Tujuan tahapan ini untuk menentukan suatu konsep dan tujuan model sistem yang akan dianalisis. Penyusunan model konseptual ini didasarkan pada kenyataan di alam dengan segala sistem yang terkait antara satu dengan yang lainnya serta saling mempengaruhi sehingga dapat mendekati keadaan yang sebenarnya. Kenyataan yang ada di alam dimasukkan dalam simulasi dengan memeperhatikan komponen-komponen yang terkait sesuai dengan konsep dan tujuan melakukan pemodelan simulasi. Tahapan ini terdiri dari tiga langkah sebagai berikut :

1. Penentuan isu, tujuan, dan batasan model

2. Kategorisasi komponen-komponen dalam sistem 3. Pengidentifikasian hubungan antar komponen

(13)

Setiap komponen yang masuk dalam ruang lingkup sistem dikategorisasikan kedalam berbagai kategori sesuai dengan karakter dan fungsinya sebagai berikut :

1. State variable, yang menggambarkan akumulasi materi dalam sistem

2. Driving variable, variabel yang dapat mempengaruhi variabel lain namun tidak dapat dipengaruhi oleh sistem.

3. Konstanta. Adalah nilai numerik yang menggambarkan karakteristik sebuah sistem yang tidak berubah atau suatu nilai yang tidak mengalami perubahan pada setiap kondisi simulasi.

4. Auxiliary variable, variabel yang dapat dipengaruhi dan mempengaruhi sistem.

5. Material transfer, menggambarkan transfer materi selama periode tertentu yang terletak diantara dua state, source dan sink.

6. Information transfer, menggambarkan penggunaan informasi tentang state dari sistem untuk mengendalikan perubahan state.

7. Source dan sink berturut-turut menggambarkan asal (awal) dimulainya proses dan akhir dari masing-masing transfer materi.

2.6.2 Spesifikasi model kuantitatif

Tujuan dari tahapan ini adalah untuk mengembangkan model kuantitatif dari sistem yang diinginkan. Pembuatan model kuantitatif ini dilakukan dengan memberikan nilai kuantitatif terhadap masing-masing nilai variabel dan menterjemahkan setiap hubungan antar variabel dan komponen penyusun model sisitem tersebut ke dalam persamaan matematik sehingga dapat dioperasikan oleh program simulasi. Spesifikasi model terdiri dari tahapan-tahapan sebagai berikut : 1. Memilih struktur kuantitatif umum dari model dan waktu dasar yang

digunakan dalam simulasi.

2. Mengidentifikasi bentuk fungsional dari persamaan model. 3. Menduga parameter dari persamaan model.

4. Memasukan persamaan ke dalam program simulasi. 5. Menjalankan simulasi dan menampilkan persamaan model

(14)

2.6.3 Evaluasi model

Evaluasi model dilakukan dengan mengamati kelogisan model dan membandingkannya dengan dunia nyata. Tujuannya adalah mengevaluasi model yang dibangun dalam hal kegunaan relatifnya untuk memenuhi tujuan-tujuan tertentu. Tahapan evaluasi model adalah sebagai berikut :

1. Mengevaluasi kewajaran dan kelogisan model.

2. Mengevaluasi hubungan perilaku model dengan pola yang diharapkan. 3. Membandingkan model dengan sistem nyata.

Analisis sensitivitas dilakukan untuk melihat kewajaran perilaku model jika dilakukan perubahan salah satu parameter dalam model yang telah dibuat.

2.6.4 Penggunaan model

Pemodelan adalah kegiatan membuat model untuk tujuan tertentu. Model adalah abstraksi dari suatu sistem. Sistem adalah sesuatu yang terdapat di dunia nyata. Sehingga pemodelan adalah kegiatan membawa sebuah dunia nyata kedalam dunia tak nyata atau maya tanpa kehilangan sifat-sifat utamanya dengan menggunakan perpaduan antara seni dan logika. Sistem adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Sedangkan sub sistem adalah suatu unsur atau komponen fungsional dari suatu sistem, yang berperan dalam pengoperasian sistem tersebut. Dasar dari analisis sistem adalah asumsi bahwa proses alami terorganisasi dalam suatu hierarki yang kompleks. Proses sistem terbentuk dari hasil aksi dan interaksi proses-proses yang sederhana. Tidak ada sistem yang terpisahkan dan setiap sistem saling berinteraksi satu sama lain (Gayatri 2010).

Analisis sistem lebih mendasarkan pada kemampuan untuk memahami fenomena dari jumlah data yang tersedia. Analisis sistem adalah sebuah pemahaman yang berbasis pada proses, sehingga sangat penting untuk berusaha memahami proses-proses yang terjadi. Membuat analogi-analogi terkadang merupakan cara yang penting untuk memahami sesuatu, Keyakinan akan adanya isomorfisme antar beragam sistem menjadikan pemahaman terhadap sesuatu menjadi mungkin, bahkan pada suatu sistem kita buta sekali akan perilakunya (Purnomo 2004).

(15)

Tujuan tahapan ini adalah untuk menjawab pertanyaan yang telah diidentifikasi pada awal pembuatan model. Tahapan ini melibatkan perencanaan dan simulasi beberapa skenario hasil simulasi yang telah di evaluasi, sehingga dapat digunakan untuk memahami pola perilaku model, serta mengetahui kecenderungan (trend) di masa yang akan datang. Model juga dapat dipakai untuk menguji sebuah hipotesis atau dipakai untuk mengevaluasi ragam skenario atau kebijakan dan pengembangan perencanaan dan agenda bersama antar pihak dalam kasus permodelan partisipatif.

Menurut Soerianegara (1978) dalam Gayatri (2010), mengemukakan bahwa simulasi adalah eksperimentasi yang menggunakan model dari suatu sistem. Simulasi dalam analisis sistem meliputi tiga kegiatan sebagai berikut: 1. Membuat model yang menggambarkan keadaan sistem dan proses-proses yang

terjadi di dalamnya.

2. Memanipulasi atau melakukan percobaan-percobaan terhadap model tersebut yang akan menghasilkan data eksperimen.

3. Menggunakan model dan data untuk menjawab pertanyaan atau memecahkan persoalan mengenai sistem sebenarnya (real world) yang diteliti.

Model merupakan penjabaran sederhana dari berbagai bentuk hubungan dan interaksi antar komponen dalam suatu sistem. Bila bentuk hubungan ini diketahui dengan baik, maka dapat disusun menjadi suatu persamaan matematis untuk menjabarkan berbagai asumsi yang ada. Hasil dari pendugaan model

umumnya masih berupa ‘hipotesis’ yang harus diuji kebenarannya pada ‘dunia yang nyata’. Hasil yang diperoleh melalui pendugaan model tidak selalu sejalan

dengan kenyataan yang ada di lapangan. Bila terjadi perbedaan, maka ada dua hal yang harus dilakukan, sebagai berikut :

1. Memeriksa ulang struktur model, termasuk nilai parameter yang dipergunakan untuk mengawali pemodelan dan konsistensi internal model (apakah output yang dihasilkan sejalan dengan asumsi yang ada).

2. Memeriksa ulang cara pengukuran parameter di lapangan, dengan memperhatikan faktor-faktor yang mempengaruhinya secara seksama.

Gambar

Tabel 1 Parameter pengukuran biomassa dan metode pengukuranya
Tabel 2 Persamaan alometrik estimasi biomassa
Gambar 1 Tumbuhan sarang semut Myrmecodia pendans Merr. &amp; Perry.

Referensi

Dokumen terkait

Kesimpulan dari penelitian ini adalah terapi bermain lebih efektif daripada menonton film terhadap penurunan kecemasan anak umur 6-8 tahun selama perawatan gigi.. Kata

Setelah mengikuti kuliah dengan pokok pembahasan mengenai arsitektur rumah tradisional di sumatra maka diharapkan mahasiswa mampu mengenali identitas visual yang berupa

Diskiriminasi Terhadap Wanita (Convention on The Elimination of All Forms of Discrimanation Against Women) dan secara konstitusional Indonesia telah terikat pada

[r]

Pada kondisi eksisting sistem kelistrikan JOB P-PEJ masih terdapat kesalahan setting pengaman, tetapi untuk kategori incident energy-nya sebagian besar masih

menggunakan visual basic untuk menghitung temperatur pemanasan dan memberi masukan setpoint ke kontroler, kemudian kontroler yang menghasilkan sinyal penyulutan

Data primer mencakup data penangkapan ikan (alat tangkap dan ikan hasil tangkapan), karakteristik fisik dan kimia perairan (pH, DO, amoniak, kebauan, sampah, deterjen,

Sistem atau rantai pasok inovasi mencakup penelitian dan pengembangan untuk menemukan atau menciptakan teknologi inovatif tepat-guna (teknologi dasar), penggandaan dan