• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI. Wexley dan Yukl (1997) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI. Wexley dan Yukl (1997) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

II.A. Kepuasan Kerja

II.A.1. Definisi Kepuasan Kerja

Wexley dan Yukl (1997) mendefinisikan kepuasan kerja sebagai perasaan seseorang terhadap pekerjaannya. Kepuasan kerja seorang karyawan harus diciptakan sebaik-baiknya agar moral, dedikasi, kecintaan, dan kedisiplinan karyawan terus meningkat. Kepuasan kerja menurut Davis dan Newstorm (1997) adalah sekumpulan perasaan dan emosi, baik senang maupun tidak senang, individu terhadap pekerjaannya.

Definisi yang lain dikemukakan oleh Robbins (1997) yang menyebutkan bahwa kepuasan kerja merupakan sikap umum dari individu terhadap pekerjaannya. Individu dengan tingkat kepuasan kerja yang tinggi akan mempunyai sikap yang positif terhadap pekerjaannya. Sebaliknya, individu yang merasaa tidak puas dengan pekerjaannya akan mempunyai sikap yang negatif. Smith, Kendall, dan Hullin (dalam Luthans, 1998) mengatakan bahwa kepuasan kerja merupakan perasaan yang menyenangkan terhadap pekerjaan.

Berry (1998) mengatakan bahwa kepuasan kerja adalah sikap kerja yang meliputi elemen kognitif, afektif, dan perilaku, yang diperkirakan memberi pengaruh pada sejumlah perilaku kerja. Locke (dalam Berry, 1998) mengatakan bahwa kepuasan kerja sebagai reaksi individual terhadap pengalaman kerja dan diartikan sebagai komponen kognitif dari pengalaman kerjanya.

(2)

Dari definisi-definisi kepuasan kerja di atas dapat disimpulkan bahwa kepuasan kerja merupakan sekumpulan perasaan dan emosi, baik senang maupun tidak senang, individu terhadap pekerjaannya. Perasaan dan sikap yang positif terhadap pekerjaan menunjukkan bahwa individu tersebut mempunyai tingkat kepuasan kerja yang tinggi, sedangkan sikap dan perasaan yang negatif menunjukkan bahwa individu tersebut tidak atau kurang merasa puas terhadap pekerjaannya.

II.A.2. Pendekatan Kepuasan Kerja

Terdapat dua pendekatan mengenai kepuasan kerja yaitu pendekatan Global dan pendekatan Faset (Spector, 1997).

1. Pendekatan Global

Pendekatan global ialah pendekatan secara umum yang menggunakan perspektif yang lebih luas atau umum dalam melihat kepuasan kerja. Pendekatan global digunakan saat minat penelitian diarahkan untuk melihat keseluruhan sikap, misalnya jika organisasi ingin melihat dampak dari suka atau tidak sukanya individu terhadap pekerjaan (Spector, 1997). Pendekatan ini menanyakan kepuasan kerja karyawan secara keseluruhan, hanya dengan menggunakan satu aitem pertanyaan, responden hanya perlu menjawab ”sangat puas”, ”cukup puas”, atau ”tidak puas” untuk menggambarkan sikap terhadap pekerjaannya (Vechio dalam Hanny, 2006). Pendekatan global dapat membantu melihat kepuasan kerja secara menyeluruh, bukan sekedar penjumlahan dari faset kepuasan yang terpisah. Namun, pendekatan ini mempunyai kelemahan yaitu masalah penafsiran individu dari pertanyaan

(3)

yang diajukan atau terdapat perbedaan interpretasi setiap individu dalam menentukan kepuasan kerja dan hal ini tidak diukur (Jewell & Siegel, 1998). 2. Pendekatan Faset

Menurut pendekatan faset, kepuasan kerja karyawan dengan berbagai aspek pekerjaan yang berbeda dapat bervariasi dan harus diukur secara terpisah (Jewell & Siegel, 1998). Faset-faset yang seringkali ditemukan dalam menentukan kepuasan kerja antara lain gaji atau tunjangan, orang lain seperti rekan kerja dan atasan, pekerjaan itu sendiri, serta organisasi (Spector, 1997). Tabel 1 berisi faset-faset yang terdapat pada instrumen kepuasan kerja yang populer digunakan.

Tabel 1. Faset-faset kepuasan kerja Faset-Faset Kepuasan Kerja Penghargaan Komunikasi Rekan Kerja Kondisi Pekerjaan Sifat Pekerjaan Organisasi Peraturan Organisasi Gaji Perkembangan Pribadi Promosi Keamanan Supervisi

Sumber: Job Satisfaction, Paul E Spector, 1997

Pendekatan faset digunakan bila ingin melihat dimensi tertentu dari pekerjaan yang menimbulkan kepuasan maupun ketidakpuasan kerja. Pendekatan ini menyediakan gambaran yang lebih jelas dari kepuasan kerja seseorang bila dibandingkan pendekatan global. Pendekatan Faset memberikan pengukuran kepuasan kerja secara lebih baik dan mendetail, karena setiap individu dapat mempunyai perasaan yang berbeda terhadap berbagai faset dalam pekerjaan,

(4)

yang belum tentu dapat diidentifikasi jika menggunakan penilaian secara global (Scarpello & Campbell; Schneider dalam Hanny, 2006).

Penelitian ini menggunakan pendekatan faset, yaitu faset supervisi (selanjutnya disebut pengawasan dari atasan). Selanjutnya akan dijelaskan mengenai aspek kepuasan kerja dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja secara global, namun penjelasan mengenai aspek dan faktor yang berkaitan dengan kepuasan terhadap pengawasan dari atasan akan diperbanyak.

Definisi kepuasan kerja terhadap pengawasan dari atasan akan disimpulkan peneliti berdasarkan definisi kepuasan kerja, aspek dan faktor-faktor yang berkaitan dengan kepuasan terhadap supervisi atau pengawasan dari atasan tersebut.

II.A.3. Aspek-Aspek Kepuasan Kerja

Menurut Smith, Kendall dan Hullin (dalam Luthans, 1998) ada lima aspek kepuasan kerja, yaitu:

1. Kepuasan akan upah

Upah adalah jumlah uang yang diterima dan upah yang dianggap wajar. Upah tidak hanya membantu memenuhi kebutuhan dasar tetapi merefleksikan seberapa adil perusahaan menilai kontribusi mereka dalam bekerja.

2. Kepuasan akan promosi

Maksudnya, tersedianya kesempatan untuk pengembangan karir. Perusahaan memberikan kesempatan promosi yang sama pada setiap pekerjaan dan dipilih pekerja yang memiliki kemampuan yang paling baik.

(5)

Pengawasan yaitu kemampuan pengawas untuk menunjukkan minat dan perhatian terhadap karyawan. Menurut Locke (dalam Munandar, 2001), ada dua jenis hubungan atasan bawahan yang berhubungan dengan kepuasan, yaitu hubungan fungsional yang mencerminkan sejauh mana penyelia membantu tenaga kerja, untuk memuaskan nilai-nilai pekerjaan yang penting bagi tenaga kerja dan hubungan keseluruhan yang didasarkan pada ketertarikan antar pribadi yang mencerminkan sikap dasar dan nilai-nilai yang serupa. Tingkat kepuasan yang paling besar dengan atasan menurut Locke adalah jika kedua jenis hubungan adalah positif. Sejalan dengan pernyataan di atas dinyatakan bahwa kepuasan terhadap atasan dapat dibagi menjadi komponen hubungan personal, yaitu bagaimana kemampuan atasan dalam menjalin hubungan interpersonal dan kemampuan teknis, yaitu bagaimana kemampuan atau keahlian atasan menyangkut segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan (Spector, 1997).

4. Kepuasan dengan rekan kerja

Keadaan dimana rekan sekerja menunjukkan sikap bersahabat dan menolong. Rekan kerja dapat menyediakan dukungan sosial yang berarti karyawan dikelilingi oleh orang-orang yang simpatik dan memperhatikan mereka. 5. Kepuasaan akan pekerjaan dan isi kerja

Keadaan dimana tugas pekerjaan dianggap menarik, memberikan kesempatan bertanggung jawab dan pelatihan.

(6)

II.A.4. Faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan kerja

Ada beberapa karakteristik dalam pekerjaan yang berhubungan dengan kepuasan kerja, namun secara umum Greenberg dan Baron (1995) membaginya ke dalam dua kelompok besar, yaitu karakteristik individu dan faktor-faktor yang berhubungan dengan organisasi.

1. Karakteristik Individu

Faktor-faktor dari diri individu yang mempengaruhi tingkat kepuasan kerja adalah (Berry, 1998; George & Jones, 2002; Greenberg & Baron, 1995 ; Schultz & Sydney 1990) :

a. Kepribadian

Kepribadian merupakan determinan pertama bagaimana perasaan dan pikiran individu terhadap pekerjaannya dan kepuasan kerja yang dirasakan individu. Kepribadian individu mempengaruhi positif atau negatifnya pikiran individu terhadap pekerjaannya. Dari beberapa penelitian terdahulu ditemukan adanya hubungan yang signifikan antara kepribadian dengan tingkat kepuasan kerja individu.

b. Nilai-nilai yang dimiliki individu

Nilai memiliki pengaruh pada kepuasan kerja karena nilai dapat merefleksikan keyakinan dari pekerja, mengenai keluaran atau hasil dari pekerjaan dan bagaimana seseorang bertingkah laku dalam pekerjaannya. Contohnya adalah individu yang memiliki nilai yang tinggi pada sifat dari pekerjaan cenderung untuk memiliki tingkat kepuasan kerja yang tinggi pula dibandingkan dengan individu yang tidak memiliki nilai tersebut.

(7)

c. Pengaruh sosial dan kebudayaan

Sikap dan tingkah laku individu sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitarnya, termasuk pengaruh dari orang lain dan kelompok tertentu. Individu yang tinggal di lingkungan yang menekankan pada kekayaan akan merasa puas dengan pekerjaan yang memberikan upah/gaji yang tinggi. Sedangkan individu yang tinggal di lingkungan yang menekankan pada pentingnya membantu orang lain akan merasa tidak puas pada pekerjaan yang menekankan pada kompetisi dan prestasi.

d. Minat dan penggunaan keterampilan

Minat sangat berpengaruh terhadap kepuasan kerja. Artinya bila individu bekerja pada bidang kerja yang sesuai dengan minatnya maka individu tersebut akan merasa puas bila dibandingkan dengan individu yang bekerja pada bidang kerja yang tidak sesuai dengan minatnya.

e. Usia dan pengalaman kerja

Hubungan antara kepuasan kerja, pengalaman kerja dan usia biasanya merupakan hubungan yang paralel. Biasanya, pada awal bekerja, para pekerja cenderung merasa puas dengan pekerjaannya. Namun, setelah beberapa tahun bekerja biasanya para pekerja akan mengalami penurunan tingkat kepuasan kerja. Hal ini disebabkan karena mereka mengalami stagnansi, merasa dirinya tidak maju dan berkembang. Namun setelah enam atau tujuh tahun bekerja biasanya tingkat kepuasan kerja akan kembali meningkat. Hal tersebut terjadi karena individu merasa sudah memiliki banyak pengalaman dan pengetahuan tentang pekerjaannya. Usia

(8)

memiliki hubungan yang signifikan dengan kepuasan kerja. Pekerja yang lebih tua umumnya merasa lebih puas dibandingkan dengan para pekerja yang lebih muda usianya.

f. Jenis kelamin

Penelitian-penelitian sebelumnya menemukan hubungan antara kepuasan kerja dengan jenis kelamin, walaupun terdapat perbedaan hasil. Ada yang menemukan bahwa wanita merasa lebih puas dibandingkan pria, dan ada juga yang sebaliknya. Terdapat indikasi bahwa wanita cenderung memusatkan perhatian pada aspek-aspek yang berbeda dengan pria.

g. Tingkat Inteligensi dan Tingkat Pendidikan

Dalam pekerjaan, terdapat asosiasi antara tingkat inteligensi (IQ) dengan efisiensi unjuk kerja dan kepuasan kerja. Individu dengan IQ yang tinggi, di atas 120 skala Weschler, akan mudah mengalami kebosanan atau frustasi dan juga ketidakpuasan kerja. Salah satu faktor yang berhubungan dengan inteligensi adalah tingkat pendidikan. Pekerja yang berpendidikan mempunyai tingkat kepuasan kerja yang tinggi dibandingkan dengan pekerja yang mempunyai tingkat pendidikan lebih rendah. Hal ini dikarenakan pekerja dengan tingkat pendidikan tinggi mengerjakan pekerjaan yang penting dan terlibat di dalamnya.

h. Status dan senioritas

Pada umumnya semakin tinggi posisi seseorang pada tingkatan dalam organisasi, maka semakin orang tersebut mengalami kepuasan kerja. Hal ini dikarenakan orang dengan status lebih tinggi biasanya lebih menikmati

(9)

pekerjaanya dan imbalan yang didapatnya dibandingkan dengan pekerja yang memiliki tingkatan yang lebih rendah.

2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan organisasi

Faktor-faktor tersebut adalah (Berry, 1998; George & Jones, 2002; Gilmer, 1984; Greenberg & Baron, 1995; Landy & Trumbo, 1980; Munandar, 1995; Schultz & Sydney; 1990):

a. Situasi dan kondisi pekerjaan

Kondisi kerja yang tidak mengenakkan akan menimbulkan keengganan untuk bekerja. Kondisi kerja perlu memperhatikan prinsip-prinsip ergonomi. Dalam kondisi kerja seperti itu kebutuhan-kebutuhan fisik dipenuhi dan memuaskan tenaga kerja.

b. Gaji, Imbalan yang dirasakan adil

Kepuasan dapat timbul dengan penggunaan sistem imbalan yang dipercaya adil, dengan adanya rasa hormat terhadap apa yang diberikan oleh organisasi dan mekanisme yang digunakan untuk menentukan pembayaran.

Orang yang menerima gaji yang dipersepsikan sebagai terlalu kecil atau terlalu besar akan mengalami ketidakpuasan.

c. Pengawasan dari atasan

Pengawasan merupakan salah satu sumber kepuasan kerja yang penting. Penelitian terdahulu menemukan hasil bahwa pekerja yang percaya bahwa penyelia mereka adalah orang yang kompeten, mengetahui minat mereka, perhatian, tidak mementingkan diri sendiri, memperlakukan mereka

(10)

dengan baik dan menghargai mereka, cenderung akan mempunyai tingkat kepuasan kerja yang tinggi pula. Kualitas penyelia juga mempengaruhi kepuasan kerja. Kualitas tersebut adalah gaya pengawasan, teknik pengawasan, kemampuan hubungan interpersonal, dan kemampuan administrasi. Komunikasi merupakan aspek lain dari penyelia yang memiliki kualitas yang baik. Pekerja akan merasa lebih puas dengan pekerjaannya jika mereka memiliki kesempatan untuk berkomunikasi dengan penyelianya.

Luthans (2005) menyatakan terdapat dua dimensi gaya pengawasan yang mempengaruhi kepuasan kerja, yaitu gaya pengawasan berpusat pada karyawan yang diukur tingkatan bagaimana pengawas menunjukkan ketertarikan personal dan peduli terhadap karyawan. Hal tersebut umumnya ditunjukkan pemimpin dengan cara memeriksa untuk melihat seberapa baik pekerjaan yang dilakukan bawahan, memberikan saran, motivasi dan bantuan pada bawahan, dan melakukan komunikasi personal dengan menganggap bawahan sebagai rekan sekerja yang setara.

Dimensi lainnya adalah partisipasi atau pengaruh yang digambarkan oleh atasan yang memperbolehkan anggotanya berpartisipasi dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan mereka.

d. Pekerjaan

Pekerja akan merasa lebih puas bila dipekerjakan pada jenis pekerjaan yang menarik, memberikan kesempatan belajar, dan memberikan tanggung

(11)

jawab atau otonomi. Selain itu para pekerja akan merasa lebih puas dengan pekerjaan yang bervariasi, dan menantang.

e. Keamanan

Faktor keamanan berhubungan dengan kestabilan dari pekerjaan dan perasaan yang dimiliki individu berkaitan dengan kesempatan untuk bekerja di bawah kondisi organisasi yang stabil. Keamanan menimbulkan kepuasan kerja karena dengan adanya rasa aman individu dapat menggunakan kemampuannya dan memperoleh kesempatan untuk tetap bertahan pada pekerjaannya.

f. Kebijaksanaan perusahaan

Kebijaksanaan perusahaan sangat mempengaruhi kepuasan kerja karyawannya. Individu yang mempunyai konflik peran dalam pekerjaannya karena kebijaksanaan perusahaan cenderung untuk merasa tidak puas.

g. Aspek sosial dari pekerjaan

Aspek sosial dari pekerjaan terbukti memberikan kontribusi terhadap kepuasan dan ketidakpuasan kerja. Karyawan yang bekerja dalam kelompok kerja yang kohesif dan merasa apa yang mereka kerjakan memberikan kontribusi terhadap organisasi akan merasa puas. Rekan kerja juga memberikan kontribusi terhadap perasaan puas atau tidak puas. Rekan kerja yang memberikan perasaan puas adalah rekan kerja yang ramah dan bersahabat, kompeten, memberikan dukungan, serta bersedia untuk membantu dan bekerja sama.

(12)

i. Kesempatan untuk pertumbuhan dan promosi

Kesempatan untuk dipromosikan ini berhubungan dengan terdapatnya kesempatan untuk maju. Adanya kesempatan untuk mendapat promosi dalam pekerjaan akan meningkatkan kepuasan kerja karyawan.

Berdasarkan definisi kepuasan kerja, penjelasan mengenai aspek dan faktor-faktor yang berkaitan dengan kepuasan kerja terhadap pengawasan atasan maka peneliti menyimpulkan bahwa kepuasan kerja terhadap pengawasan atasan adalah sekumpulan emosi, perasaan baik senang maupun tidak senang individu serta sikap umum seseorang terhadap gaya pengawasan atau kepemimpinan yang ditunjukkan atasan. Definisi yang disimpulkan peneliti menggabungkan dua komponen yang berkaitan dengan kepuasan terhadap atasan, yaitu komponen hubungan personal dan kemampuan teknik atasan (Spector, 1997).

Karyawan yang merasa puas terhadap gaya kepemimpinan atasannya percaya dan menganggap bahwa atasannya menunjukkan perhatian dan kepedulian terhadap bawahan, mau memberikan saran, motivasi dan bantuan kepada bawahan, memiliki kemampuan hubungan interpersonal yang baik, bersikap adil, serta menghargai prestasi bawahannya. Karyawan juga percaya dan menganggap atasannya adalah orang yang berkompeten dalam pekerjaannya, berpengetahuan luas, memahami sistem administrasi dan prosedur organisasi, memiliki teknik pengawasan yang baik serta memberi kebebasan kepada bawahan untuk mengambil keputusan sendiri terhadap hal yang berkaitan dengan pekerjaan mereka.

(13)

II.B. Persepsi

II.B.1. Definisi Persepsi

Persepsi menurut Pareek (dalam Sobur, 2003) merupakan suatu cara kerja atau proses yang rumit dan aktif, dimana persepsi tersebut terdiri dari serangkaian proses. Proses tersebut terdiri dari proses menerima stimulus, menyeleksi, mengorganisasikan, mengartikan, menguji, dan memberikan reaksi kepada stimulus tersebut.

Sarwono (2001) menyatakan bahwa persepsi tidak sekedar pengenalan atau pemahaman tetapi juga evaluasi bahkan persepsi juga bersifat inferensional (menarik kesimpulan). Fiske (dalam Hogg & Vaughan, 2002) menyatakan bahwa informasi negatif mengarah pada persepsi yang negatif, sebaliknya informasi yang positif mengarahkan pada persepsi.

Leavit (dalam Sobur, 2003) menyatakan persepsi ialah pandangan atau pengenalan yaitu bagaimana seseorang memandang atau mengartikan sesuatu. Rakhmat (dalam Sobur, 2003) persepsi adalah pengalaman tentang objek peristiwa atau hubungan-hubungan yang diperoleh dengan menyimpulkan informasi dan menafsirkan peran. Yusuf (dalam Sobur, 2003) menyatakan bahwa persepsi sebagai pemaknaan hasil pengamatan.

Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa persepsi merupakan serangkaian proses dalam diri seseorang yang meliputi pengenalan, pemahaman, penafsiran dan menarik kesimpulan atas hasil pengamatan berdasarkan pengalaman tentang objek atau peristiwa. Dengan demikian persepsi merupakan penentu yang penting bagi sikap dan perilaku seseorang.

(14)

II.B.2. Aspek-aspek Persepsi

Empat aspek dari persepsi menurut Berlyne (dalam Sarwono, 2001), yaitu : 1. Hal-hal yang diamati dari sebuah rangsang bervariasi tergantung pola dari

keseluruhan dimana rangsang tersebut menjadi bagiannya

2. Persepsi bervariasi tergantung dari orang ke orang dan dari waktu ke waktu 3. Persepsi tergantung dari arah (fokus) alat-alat indera. Persepsi tergantung pada

kemampuan penerimaan informasi pada individu

4. Persepsi cenderung berkembang ke arah tertentu dan sekali terbentuk kecenderungan itu biasanya akan menetap

II.C. Pemimpin, Kepemimpinan dan Gaya Kepemimpinan II.C.I. Definisi Pemimpin

Pemimpin adalah orang yang dapat mempengaruhi kegiatan individu atau kelompok dalam usaha untuk mencapai tujuan dalam situasi tertentu (Hersey & Blanchard, 1982). Kartini Kartono (1985) mendefinisikan pemimpin adalah pribadi yang mempunyai kecakapan khusus, dengan atau tanpa pengangkatan resmi dari kelompok yang dipimpinnya untuk melakukan usaha bersama mengarah pada pencapaian sasaran tertentu.

Pemimpin dikarakterisasi oleh suatu dorongan yang kuat untuk bertanggung jawab dan menyelesaikan tugas, kekuatan, dan ketekunan dalam mengejar tujuan-tujuan, berani berpetualang dan mempunyai gagasan asli dalam memecahkan masalah, dorongan untuk menjalankan inisiatif dalam situasi sosial, rasa percaya diri, dan suatu perasaan akan identitas pribadi, kesediaan untuk menerima konsekuensi suatu keputusan dan tindakan, siap untuk menerima stres

(15)

antarpribadi, kesediaan untuk mengizinkan adanya frustasi dan penangguhan, kemampuan untuk mempengaruhi perilaku orang lain, serta kapasitas untuk menstruktur sistem interaksi sosial kepada tujuan yang tersedia (Stogdill dalam Yukl, 1998).

Katz dan Mann (dalam Yukl, 1998) menyatakan kategori-kategori keterampilan seorang pemimpin sebagai berikut:

1. Keterampilan teknis meliputi pengetahuan mengenai metode, proses, prosedur, dan teknik untuk melakukan sebuah kegiatan khusus, dan kemampuan untuk menggunakan alat-alat dan peralatan yang relevan bagi kegiatan tersebut.

2. Keterampilan untuk melakukan hubungan antarpribadi meliputi pengetahuan tentang perilaku manusia dan proses-proses hubungan antar pribadi, kemampuan untuk mengerti perasaan, sikap serta motivasi orang lain dari apa yang mereka katakan dan lakukan (empati, sensitivitas sosial), kemampuan untuk dapat berkomunikasi secara jelas dan efektif (kemahiran berbicara, kemampuan meyakinkan orang), serta kemampuan untuk membuat hubungan yang efektif dan kooperatif (kebijaksanaan, diplomasi, keterampilan mendengarkan, pengetahuan mengenai perilaku sosial yang dapat diterima). 3. Keterampilan konseptual yaitu kemampuan analitis umum, berpikir nalar,

kepandaian dalam membentuk konsep, serta konseptualisasi hubungan yang kompleks dan berarti dua, kreativitas dalam mengembangkan ide dan pemecahan masalah, kemampuan untuk menganalisis peristiwa-peristiwa dan kecenderungan-kecenderungan yang dirasakan, mengantisipasi

(16)

perubahan-perubahan, dan melihat peluang serta masalah-masalah potensial (berpikir secara induktif dan deduktif).

Dari beberapa definisi tokoh di atas maka peneliti menarik kesimpulan bahwa pemimpin adalah seseorang yang memiliki kecakapan khusus dan kelebihan dalam memecahkan masalah, melakukan hubungan antar pribadi (kemampuan sosial), mempengaruhi orang lain melalui komunikasi, baik individual maupun kelompok ke arah pencapaian tujuan.

II.C.2. Definisi Kepemimpinan

Menurut Yukl (1998) kebanyakan definisi mengenai kepemimpinan mencerminkan asumsi bahwa kepemimpinan menyangkut sebuah proses pengaruh sosial yang dalam hal ini pengaruh yang sengaja dijalankan oleh seseorang terhadap orang lain untuk menstruktur aktivitas-aktivitas serta hubungan di dalam sebuah kelompok atau organisasi. Agarwal (dalam Anoraga & Suyati, 1995) mendefinisikan kepemimpinan sebagai seni mempengaruhi orang lain untuk menggerakkan kemampuan dan kemauan mereka dalam usaha untuk mencapai tujuan pimpinan.

Kepemimpinan adalah proses mempengaruhi aktivitas-aktivitas sebuah kelompok yang diorganisasi ke arah pencapaian tujuan (Rauch & Behling dalam Yukl, 1998). Menurut Jacobs dan Jacques (dalam Yukl, 1998) kepemimpinan adalah sebuah proses memberi arti (pengarahan yang berarti) terhadap usaha kolektif, dan yang mengakibatkan kesediaan untuk melakukan usaha yang diinginkan untuk mencapai sasaran.

(17)

Yukl dan Van Fleet (dalam Burn, 2004) mendefinisikan kepemimpinan sebagai sebuah proses yang terdiri dari mempengaruhi objektifitas tugas dan strategi-strategi sebuah kelompok atau organisasi, mempengaruhi orang yang berada di dalam organisasi itu untuk mengimplementasikan strategi dan mencapai tujuan, mempengaruhi pemeliharaan dan identifikasi kelompok, dan mempengaruhi budaya organisasi.

Dari definisi beberapa tokoh di atas maka peneliti menarik kesimpulan bahwa kepemimpinan merupakan proses mempengaruhi bawahan atau anggota kelompok untuk menentukan tujuan sekaligus mencapai tujuan tersebut.

II.C.3. Gaya Kepemimpinan Konsiderasi dan Struktur Inisiasi

Hersey dan Blanchard (1988) mendefinisikan gaya kepemimpinan sebagai pola-pola perilaku konsisten yang pemimpin terapkan dalam bekerja dengan dan melalui orang lain seperti yang dipersepsikan bawahan. Mereka juga mengatakan bahwa pola-pola itu timbul pada saat bawahan memberikan tanggapan dengan cara yang sama dalam kondisi yang serupa, pola itu membentuk kebiasaan tindakan yang setidaknya dapat diprediksi oleh bawahannya. Sementara Gaya kepemimpinan menurut Davis Keith (1985) adalah pola tindakan pemimpin secara keseluruhan seperti yang dipersepsikan oleh para pegawainya.

Gaya Kepemimpinan Konsiderasi dan Struktur Inisiasi termasuk dalam kepemimpinan berdasarkan pendekatan perilaku (Yukl, 1998). Kuesioner penelitian tentang perilaku kepemimpinan yang efektif telah didominasi oleh pengaruh dari studi-studi tentang kepemimpinan dari Universitas Ohio. Sebuah

(18)

sasaran utama dari program penelitian kepemimpinan adalah untuk mengidentifikasi perilaku kepemimpinan yang efektif.

Tugas permulaan dari para peneliti adalah untuk mengembangkan kuesioner untuk para bawahan yang digunakan untuk menjelaskan perilaku dari pemimpin atau manajer mereka. Para peneliti mengumpulkan sebuah daftar mengenai kurang lebih 1800 contoh dari perilaku pemimpin, kemudian mengurangi daftar tersebut sampai 150 hal yang kelihatannya merupakan contoh yang baik mengenai fungsi-fungsi kepemimpinan yang penting. Sebuah kuesioner permulaan yang terdiri atas hal-hal tersebut telah diadministrasikan untuk mencoba pegawai militer dan sipil, dan masing-masing orang telah diminta untuk menjelaskan perilaku dari atasannya (Fleishman, 1953; Halpin & Winer, 1957; Hemphill & Coons, 1957, dalam Yukl, 1998).

Analisis faktor dari jawaban kuesioner memberi indikasi bahwa para bawahan memandang perilaku atasannya pertama-tama dalam kaitannya dengan dua dimensi atau kategori, yang kemudian kita sebut sebagai Konsiderasi dan Struktur Inisiasi. Kedua-duanya adalah kategori yang didefinisikan secara luas yang terdiri atas sejumlah varietas yang luas mengenai jenis-jenis perilaku yang spesifik.

Gaya Kepemimpinan Konsiderasi adalah tingkat sejauh mana seorang pemimpin bertindak dengan cara ramah dan mendukung, memperlihatkan perhatian terhadap bawahan, dan memperhatikan kesejahteraan mereka, seperti melakukan kebaikan kepada bawahan, mempunyai waktu untuk mendengarkan masalah para bawahan, mendukung atau berjuang untuk seorang bawahan,

(19)

berkonsultasi dengan bawahan mengenai hal yang penting sebelum dilaksanakan, bersedia untuk menerima saran dari bawahan, dan memperlakukan bawahan sebagai sesamanya.

Gaya Kepemimpinan Struktur Inisiasi adalah tingkat sejauh mana seorang pemimpin menentukan dan menstruktur perannya sendiri dan peran dari para bawahan ke arah pencapaian tujuan-tujuan formal kelompok, seperti memberi kritik kepada pekerjaan yang jelek, menekankan pentingnya memenuhi batas waktu, menugaskan bawahan, mempertahankan standar-standar kinerja tertentu, meminta mengkoordinasi kegiatan-kegiatan bawahan, dan memastikan bahwa bawahan bekerja sesuai dengan batas kemampuannya.

Peneliti dari Universitas Ohio mengukur kecenderungan pemimpin untuk mempraktekkan dua perilaku kepemimpinan ini dan menggambarkannya dengan tabel, seperti terlihat pada tabel berikut:

Tabel 2. Gaya kepemimpinan model dua faktor

Konsiderasi

GK

Kategori Tinggi Rendah

Tinggi Pemimpin menyediakan

panduan mengenai bagaimana tugas dapat diselesaikan, selain

itu pemimpin juga sangat memperhatikan keinginan dan

kebutuhan bawahan

Pemimpin menekankan pada struktur tugas bawahan dan

sedikit memperhatikan keinginan dan kebutuhan

karyawan S tr u k tu r In isi a si

Rendah Kurang menekankan pada

strukturisasi tugas bawahan, pemimpin terkonsentrasi untuk

memuaskan kebutuhan dan keinginan bawahannya

Pemimpin gagal dalam menyediakan struktur kebutuhan dan sedikit memperhatikan keinginan dan

(20)

Dari tabel 2 diketahui bahwa berdasarkan kombinasi kedua gaya kepemimpinan, terbentuk empat gaya kepemimpinan baru, yaitu:

a. Konsiderasi tinggi, Struktur Inisiasi tinggi b. Konsiderasi tinggi, Struktur Inisiasi rendah c. Konsiderasi rendah, Struktur Inisiasi tinggi d. Konsiderasi rendah, Struktur Inisiasi rendah

Hasil penelitian yang muncul adalah pemimpin yang paling efektif menunjukkan orientasi yang tinggi pada kedua gaya kepemimpinan, yaitu Konsiderasi dan Struktur Inisiasi (Glinow & Mcshane, 2003).

II.D. Hubungan Atasan Bawahan

Tingkat pola hubungan karyawan dalam perusahaan dapat dikategorikan menjadi (Munandar , 2001):

1. Manajer puncak, yaitu pemimpin yang mengepalai seluruh organisasi, yang termasuk dalam kategori ini adalah direktur, direktur utama.

2. Manajer madya adalah pemimpin yang mengepalai satu bagian dalam organisasi. Manajer madya mempunyai tingkat kedudukan di bawah manajer puncak dan bertanggung jawab kepada manajer puncak. Contohnya adalah manajer penjualan (manajer yang memimpin bagian penjualan).

3. Manajer pertama adalah pemimpin yang mengepalai satu unit dalam organisasi dan mempunyai tingkat kedudukan di bawah manajer madya. Manajer pertama ini akan mempertanggungjawabkan pekerjaannya kepada manajer madya. Termasuk manajer pertama misalnya supervisor.

(21)

4. Tenaga kerja produktif adalah tenaga kerja yang menduduki jabatan terendah dalam organisasi perusahaan dan bertanggung jawab kepada manajer pertama. Contohnya adalah staf pelaksana.

Dalam penelitian ini, yang dimaksud dengan atasan adalah orang yang memiliki jabatan lebih tinggi daripada subjek penelitian, dimana subjek bertanggung jawab langsung terhadap atasannya, maka pengertian atasan di sini adalah atasan langsung dari subjek.

II.E. Detasemen Markas Kodam (DenMaDam) Jaya II.E.1. Kedudukan

Detasemen Markas Komando Daerah Militer, disingkat Denmadam adalah Badan Pelayanan Markas ditingkat Makodam yang berkedudukan langsung di bawah Pangdam.

II.E.2. Tugas Pokok

Denmadam bertugas pokok membantu Pangdam dalam menyelenggarakan pelayanan Markas yang meliputi Perawatan, pemeliharaan, urusan dalam, dan pengamanan di dalam lingkungan Makodam.

II.E.3. Fungsi

Guna melaksanakan tugas pokok, Denmadam menyelenggarakan fungsi sebagai berikut:

1. Menyelenggarakan Urusan Dalam Markas Kodam. 2. Menyelenggarakan perawatan personil dan kesehatan.

3. Melayani kebutuhan angkutan, perumahan, pemondokan dan pergudangan. 4. Menyelenggarakan komunikasi Intern.

(22)

II.E.4. Susunan Organisasi

Organisasi Denmadam disusun sebagai berikut: Kelompok Komando Denmadam:

1. Pimpinan

a. Komandan Denmadam, disingkat Dandenmadam.

b.Wakil Komandan Denmadam, disingkat Wadandenmadam. 2. Perwira Pembantu Pimpinan

a. Perwira Pengamanan dan Operasi, disingkat Pa Pam Ops.

b.Perwira administrasi Personil dan Logistik, disingkat Paminperslog.

3. Dokter Denmadam merangkap Dokter Pribadi Pangdam, disingkat Dokter Denmadam.

4. Perwira Rawatan Rohani, disingkat Paroh. Satuan Pelaksana:

1. Peleton Urusan Dalam dan Rumah Tangga, disingkat Ton Urdal/Rumga. 2. Peleton Administrasi, disingkat Ton Min.

3. Peleton Perawatan, disingkat Ton Wat. 4. Peleton Angkutan, disingkat Ton Ang. 5. Provost, disingkat Prov.

6. Perwakilan Kodam, disingkat Landam. 7. Kompi Pengawal, disingkat Kiwal.

II.F. Hubungan Kepuasan Kerja dan Gaya Kepemimpinan

Menurut Pendekatan perilaku mengenai kepemimpinan (Glinow & Mcshane, 2003) terdapat 2 perilaku atau kepemimpinan seorang pemimpin, yaitu

(23)

kepemimpinan berorientasi tugas atau Struktur Inisiasi dan kepemimpinan berorientasi hubungan atau Konsiderasi.

Atasan dengan gaya kepemimpinan berorientasi tugas atau Struktur Inisiasi memberikan tugas yang spesifik kepada karyawannya, menjelaskan tugas dan prosedur kerja, memastikan karyawan mengikuti aturan perusahaan, dan mendorong karyawan mencapai kapasitas kerja yang maksimal. Pemimpin tipe ini menetapkan tujuan yang tinggi dan menantang karyawan untuk melampaui standar tujuan tersebut (Glinow & Mcshane, 2003).

Atasan dengan gaya kepemimpinan berorientasi hubungan atau Konsiderasi menunjukkan kepercayaan dan menghargai bawahannya, menunjukkan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap kebutuhan karyawan, dan memiliki keinginan mengurus kesejahteraan karyawannya. Pemimpin tipe ini mendengarkan saran atau usul dari karyawan, memberikan pertolongan yang sifatnya pribadi kepada karyawan, mendukung minat karyawan ketika dibutuhkan, dan memperlakukan karyawan sebagai rekan yang sama derajatnya (Glinow & Mcshane, 2003).

Konsiderasi dan Struktur Inisiasi ditemukan sebagai kategori perilaku yang relatif berdiri sendiri. Ini berarti bahwa beberapa orang pemimpin mempunyai Konsiderasi yang tinggi dan Struktur Inisiasi yang rendah; beberapa orang pemimpin mempunyai Konsiderasi yang rendah dan Struktur Inisiasi yang tinggi; beberapa pemimpin lainnya mempunyai kedua-duanya yang tinggi dan pada beberapa pemimpin kedua-duanya rendah (Yukl, 1998).

(24)

Masing-masing kepemimpinan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan. Gaya kepemimpinan yang berorientasi pada hubungan atau Konsiderasi diasosiasikan dengan tingkat kepuasan kerja karyawan yang lebih tinggi seperti tingkat absen, keluhan dan pergantian karyawan yang rendah (Glinow & Mcshane, 2003). Hal ini didukung oleh Vroom (dalam Berry, 1998) yang menyatakan bahwa tipe kepemimpinan Konsiderasi atau demokrasi atau partisipasi menyebabkan kepuasan kerja yang lebih tinggi dibanding tipe kepemimpinan otokratik atau dikrektif, namun performansi kerja bawahan lebih rendah dari karyawan yang berada di bawah kepemimpinan yang berorientasi tugas/Struktur Inisiasi. Gaya kepemimpinan yang berorientasi tugas atau struktur inisiasi, di satu sisi dikaitkan dengan kepuasan kerja yang rendah seperti tingkat absen, dan pergantian bawahan yang tinggi, namun kepemimpinan ini dapat meningkatkan produktivitas dan kesatuan kelompok (Glinow & Mcshane, 2003).

Dari penelitian lain, Stogdill (dalam Yurifa, 1996) menyatakan bahwa pemimpin dinilai lebih efektif bila memiliki gaya kepemimpinan Konsiderasi Tinggi dan Struktur Inisiasi tinggi, pemimpin dengan gaya kepemimpinan ini, cenderung memiliki bawahan yang mempunyai performa kerja dan kepuasan kerja lebih tinggi daripada pemimpin yang dinilai rendah pada Konsiderasi, Struktur inisiasi atau keduanya.

II.G. Hipotesa Penelitian

Berdasarkan uraian mengenai hubungan kepuasan kerja dengan kepemimpinan, maka hipotesa utama yang diajukan dalam penelitian ini adalah

(25)

”Ada perbedaan kepuasan kerja ditinjau dari persepsi karyawan terhadap gaya kepemimpinan atasan.” Beberapa hipotesa tambahan yang diajukan adalah: 1. Terdapat perbedaan kepuasan kerja antara karyawan yang mempersepsikan

atasannya tinggi pada kedua gaya kepemimpinan (konsiderasi tinggi dan struktur inisisasi tinggi) dan karyawan yang mempersepsikan atasannya tinggi pada konsiderasi dan rendah pada struktur inisiasi.

2. Terdapat perbedaan kepuasan kerja antara karyawan yang mempersepsikan atasannya tinggi pada kedua gaya kepemimpinan (konsiderasi tinggi dan struktur inisisasi tinggi) dan karyawan yang mempersepsikan atasannya tinggi pada struktur inisiasi dan rendah pada konsiderasi.

3. Terdapat perbedaan kepuasan kerja antara karyawan yang mempersepsikan atasannya tinggi pada kedua gaya kepemimpinan (konsiderasi tinggi dan struktur inisisasi tinggi) dan karyawan yang mempersepsikan atasannya rendah pada kedua gaya kepemimpinan (konsiderasi rendah dan struktur inisisasi rendah).

4. Terdapat perbedaan kepuasan kerja antara karyawan yang mempersepsikan atasannya tinggi pada konsiderasi dan rendah pada struktur inisiasi dan karyawan yang mempersepsikan atasannya tinggi pada struktur inisiasi dan rendah pada konsiderasi.

5. Terdapat perbedaan kepuasan kerja antara karyawan yang mempersepsikan atasannya tinggi pada konsiderasi dan rendah pada struktur inisiasi dan karyawan yang mempersepsikan atasannya rendah pada kedua gaya kepemimpinan (konsiderasi rendah dan struktur inisisasi rendah).

(26)

6. Terdapat perbedaan kepuasan kerja antara karyawan yang mempersepsikan atasannya tinggi pada struktur inisiasi dan rendah pada konsiderasi dan karyawan yang mempersepsikan atasannya rendah pada kedua gaya kepemimpinan (konsiderasi rendah dan struktur inisisasi rendah).

Gambar

Tabel  1  berisi  faset-faset  yang  terdapat  pada  instrumen  kepuasan  kerja  yang  populer digunakan
Tabel 2. Gaya kepemimpinan model dua faktor  Konsiderasi

Referensi

Dokumen terkait

MAHASISWA PRODI AKUNTANSI FAKULTAS EKONOMIKA DAN BISNIS SEMESTER GANJIL 2016/2017. PRODI

Surabaya merupakan daerah yang terletak di dataran rendah. Kondisi geofisik kawasan berdasarkan jenis tanah di Surabaya dikelompokkan atas : tanah bukan abu vulkanik,

Rekapitulasi Sebaran Tenaga Upah/Honorer Menurut Pendidikan ……… Jumlah Anggaran dan Realisasi Kegiatan Proyek ……… Keadaan dan Penyebaran Tenaga PPHH/PHH ………

Berdasarkan hasil pengujian diatas dengan rata-rata berat jenis berada pada kelas kuat II, maka dengan hasil tersebut kayu laban bisa digunakan pada kulit dan geladak kapal

Tepi luka merup merupakan aspek akan aspek yang paling sering diabaikan dalam yang paling sering diabaikan dalam perawa perawatan luka, tan luka,  padahal tepi luka

Pengujian performa dilakukan dengan memasukkan dataset untuk pengujian uji coba insert dan pengelolaan data dalam database dengan query join/aggregation, select,

Sementara itu fenomena yang terjadi berkaitan dengan penyesuaian gaya mengajar guru terhadap kondisi kelas dan gaya belajar siswa tidak diaplikasikan sehingga