• Tidak ada hasil yang ditemukan

BATAS WAKTU DI HUTAN HITAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BATAS WAKTU DI HUTAN HITAM"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

BATAS WAKTU DI HUTAN HITAM

Saat aku membuka mataku, sinar matahari yang melalui dahan-dahan pohon menembus dinding gubuk sudah mulai redup. Waktu diperkuat oleh jam di tanganku yang menunjukkan angka 17:30. Aku masih bisa tersenyum masam melihat sisa cahaya remang-remang menerangi gubuk kecil tempatku beristirahat sementara ini. Gubuk selebar 2x2 meter tanpa penutup pintu yang mungkin manusia pembuatnya saja sudah lupa pernah berteduh di sini, terlihat dari dinding kayunya yang jarang-jarang sudah mulai lapuk dan atapnya kalaupun hujan tidak akan melindungiku dari basah. Beruntung aku selalu membawa perlengkapanku di tas. Kantung tidur tipis bisa melindungiku dari lantai tanah, senter kecilku bisa membantu mataku melihat setelah nanti matahari menyelesaikan shift kerjanya, dan jas hujan ponco yang bisa dilebarkan sementara kugunakan untuk menjadi pengganti pintu. Untuk atap akan kupikirkan nanti dan berkreasi sekedarnya apabila dibutuhkan.

Sebagai seorang pekerja biasa di sebuah perusahaan, aku dan seorang rekanku yang lebih senior sedang melakukan peninjauan awal. Sebuah pekerjaan untuk menentukan jalur terbaik melewati hutan sebelum kru-kru dan peralatan berat melewati ke area ini. Kami mempunyai target maksimum 6 hari untuk melakukan pekerjaan ini, 4 hari melintasi hutan dengan efektif dan 2 hari pembuatan laporan. Masih cukup waktu untuk mengulanginya bila hasil laporan tidak disetujui atasan, mengingat paling cepat kru-kru akan melewati hutan ini kisaran 30 hari lagi. Kami memutuskan untuk membawa perlengkapan ala kadarnya seminimal mungkin agar beban menjadi lebih ringan. Kami hanya membawa mie instan, sosis siap makan, sedikit beras, bubuk cabai, wajan wok ukuran sedang, perlengkapan tidur, parang, webbing, GPS, kompas, lighter, senter, ponco, dan baju masing-masing 3 stel. Mungkin terlihat gegabah, tetapi memang hanya itu yang kami butuhkan. Kebutuhan lain-lain biasanya hutan bisa menyediakannya, dengan catatan harus dibayar menggunakan putaran otak dan ayunan otot ekstra.

Di hari yang sudah ditentukan setelah melaksanakan ibadah sebelum matahari mulai malu-malu mengintip, kami berboncengan menggunakan motor trail sejauh mungkin. Dilanjutkan dengan

(2)

berjalan kaki saat dirasa vegetasi sudah mulai menghalangi laju kendaraan, dan menyadarkan bahwa kemampuan off-road kita diatas rata-rata hanyalah halusinasi belaka. Setelah berjalan dengan tegap selama 6 jam membasahi celana di sungai-sungai dangkal, menuruni lembah, memutari jurang dan memanjat bukit terjal; seperti ninja yang tidak pernah menempa seni ninjutsu, kami atau lebih tepatnya saya mulai berjalan tertatih. Walaupun begitu kami tetap bersemangat untuk menembus hutan ini sehingga saat tak lama kemudian menemukan gubuk kecil ini dengan bangga saya pun bersemangat untuk istirahat. Ternyata ucapan “bakarlah semangatmu” itu salah, terbukti saya membakar semangat dan berakhir semangatnya habis menjadi abu. Memang manusia atau mungkin hanya saya, akan dengan gampangnya menyalahkan objek atau subjek lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan permasalahan yang dialami. Hanya karena ego kita, ketidakmampuan pihak yang disalahkan untuk membalas, atau karena memang lebih mudah menyalahkan daripada mencari solusi.

Di hutan, menemukan gubuk walaupun dengan kondisi rusak adalah kemewahan tersendiri, dan kami pun bersyukur untuk itu. Karena berarti tugas yang harus dikerjakan bersama, yaitu membuat atap dan dinding sekedarnya sudah selesai secara otomatis. Selanjutnya kami pun membagi tugas, rekanku mengumpulkan kayu yang cukup kering untuk dibakar dan aku membersihkan lantai sekaligus area sekitar gubuk. Pembagian tugas dilakukan dengan adil seadil-adilnya secara suit. Keadilan tersebut terlihat dari wajah rekanku yang memandangku dengan sebal, akupun membalasnya dengan mungkin senyuman termanis yang pernah diberikan oleh satu manusia ke manusia lainnya. Kulihat waktu menunjukkan pukul 3 sore saat dia berjalan ke arah hutan belakang gubuk membawa parang dan GPS.

Tugas yang ringan membuatku mempunyai cukup waktu untuk melihat sekitar gubuk. Sebenarnya pemandangan di sekitar gubuk ini cukup bagus. Di belakang dan samping kanan kirinya ditutupi oleh hutan. Hutan yang berada di antara garis Wallace dan Weber memisahkan kawasan Asiatis dan Australis, sehingga membuatnya memiliki kekhasan tersendiri. Seperti beberapa pohon eboni yang menjulang ke atas tanpa takut dengan kelangkaannya; langusei dengan buah hijau merah yang menjuntai kebawah; cempaka wasian bulat kurus yang menutupi sela-sela hutan seolah tidak rela melihat sela kosong; ara pencekik menjadi urat pelindung cempaka hutan kasar yang berdiri kokoh berperan dengan baik sebagai tulang hutan; dan beberapa pohon lain yang tampak mengering akibat kalah persaingan. Mereka menggabungkan daun-daun keringnya untuk merangkai karpet alami yang menutupi sebagian besar tanah lembab. Kantong semar terlihat menghiasi karpet menjadi perhiasan hijau bergaris merah yang selaras dengan berbagai macam warna coklat tanah. Semua itu disempurnakan oleh warna emas sinar matahari yang menembus dedaunan dan dahan-dahan. Menciptakan harmoni kehidupan vegetasi alam yang biasanya hanya kulihat di saluran televisi dan gambar wallpaper komputer, sekarang bisa kulihat dengan mata kepalaku sendiri secara live.

(3)

Gambar hidup itu dipercantik oleh burung srigunting dan kadalan yang menari mengikuti irama musik orkestra terbaik. Musik yang dihasilkan dari gabungan suara tabuhan burung pelatuk, terompet sepasang taong, denting berbagai serangga, dan nyanyian cikrak beserta serindit yang bersautan bagai paduan suara terlatih. Pemandangan itu meracik sebuah perasaan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Gabungan dari rasa penasaran, sumringah, dan takut yang tiba-tiba muncul secara bersamaan. Menggelitik mataku untuk tidak berlama-lama memandang hutan dan mengalihkan pandangan ke bagian depan gubuk.

Berjalan ke arah depan gubuk, aku dapat melihat sungai kecil yang dangkal mengalir dengan indahnya. Air yang mengalir; menabrak tepi-tepi dan dasar bebatuan dengan ukuran bervariasi; menciptakan alunan gemericik bagaikan melodi lo-fi beats alami di telingaku. Di dalamnya terdapat beberapa patahan batang kayu mati, ada yang sudah berlumut dan ada yang mengeras. Berbagai variasi tanaman tumbuh lebat di tepian dalam air; dengan bukang-bukang yang merambat menutupi lahan kosong dan anak pohon. Semua saling melengkapi dengan indahnya seperti ditata oleh Takashi

Amano sehingga sungai tersebut terlihat bagaikan aquascape ukuran raksasa.

Jernihnya air yang terlihat dapat menyaingi kejernihan sebuah produk air minum terkenal di Indonesia, tidak membuatku ingin meminum air sungai secara langsung. Aku tahu lebih baik mengenai tubuhku dan kemungkinan apa saja yang ada di dalam air mentah. Tubuhku sudah terkontaminasi zat-zat kota modern; mulai dari berbagai asap dan polusi yang mengurangi kekuatan organ dalamku; kemudahan yang menyebabkan kemalasan berakhir dengan kelemahan tubuh; dan obat sakit perut yang mudah didapat di apotik 24 jam dekat rumahku. Dari pengalaman dan cerita rekan kerja di bidang pekerjaanku saat sedang melakukan peninjauan awal; maka sakit perut dan diare adalah penyakit yang katakanlah, dapat berakhir lebih dari sekedar petaka. Kelemahanku sebenarnya ditutupi oleh rekan kerjaku yang super power, dia dapat ditinggal sendirian di hutan selama seminggu tanpa bekal dan berat badannya mungkin bukannya turun malah naik. Kemungkinan besar dia malah sempat-sempatnya mencari dan membawa anggrek hutan untuk oleh-oleh istrinya di rumah. Dan apabila dia dilengkapi dengan kamera video, maka dia akan membuat video blog untuk diunggah di Youtube dengan judul, “Bushcraft Indonesa – Solo camping yang mudah dan menyenangkan”.

Itulah aku yang baru berpisah dengan rekan kerjaku kurang dari setengah jam yang lalu; aku sudah merindukan kata-kata konyolnya yang kalau ditelaah ternyata mempunyai makna bijak dan ketenangannya dalam bertahan hidup yang membuatku bisa menghadapi situasi semacam ini. Sebuah petuah darinya yang membuatku sadar bertahan hidup bukan sekedar mengenai keahlian adalah, ”Kau harus ingat bro, dua hal ini akan meningkatkan kesempatanmu bertahan hidup di situasi genting lebih dari 50%.”

(4)

“Dua. Tenang.”

“Karena kau selamat atau tidak itu bukan dari kemampuanmu bro, tetapi dari apakah doamu untuk selamat dikabulkan atau tidak.”

“Walaupun begitu, kalau kau tidak punya keahlian apapun dan masuk hutan tanpa persiapan ya itu bodoh namanya, alias bunuh diri.”

“Tapi kalaupun ternyata doamu tidak terkabul dan kau KO alias tamat alias kaput, paling tidak kau tidak akan mengganggu dan menyusahkan orang lain.”

“Rohmu akan tenang dan tidak gentayangan… hiiiiii… hahahahaha...”.

Sungguh petuah yang diakhiri dengan menarik. Sembari berjalan mendekati tepian sungai dan berpikir seperti itu akupun mulai melihat ke arah belakang memandang gubuk dan hutan. Rekanku belum juga terlihat kembali dari tugasnya, mungkin dia melakukannya dengan santai sembari menghisap Djarum Supernya.

Setibanya di bebatuan tepi sungai, godaan air semakin membesar. Keinginan menyegarkan diri memaksaku bertelanjang kaki lalu mendinginkannya kedalam sungai sembari duduk di salah satu batu besar di tepi sungai. Sebuah langkah yang sebenarnya cukup berbahaya bila ada banyak siput air tawar, yang mungkin siput tersebut membawa telur cacing darah. Larva yang dilepaskan akan masuk ke tubuh kita melalui kulit. Dan saat cacing itu sudah asyik berenang di pembuluh darah maka tubuh akan mengalami demam siput dan mengakibatkan kerusakan hati, gagal ginjal, atau kanker kandung kemih. Walaupun begitu, aku yang sudah terlalu lelah tidak peduli dengan pemikiran itu dan tanpa sadar berbicara sendiri,

“Au ah sabodo teuing… fuuhhh.. mantap..”.

Aku mengeluarkan smartphone dan mulai mengambil dokumentasi alam. Banyak dari dokumentasi ini sebenarnya untuk pribadi, untuk diunggah di Instagram. Agar kekinian dan sekaligus menjadi rekam jejak untuk dilihat anak nanti.

Saat aku menikmati nikmatnya merendam kaki di air dingin yang mengalir, samar-samar aku melihat ikan nila dan udang sungai riang gembira menari bersama menikmati kesegaran air pegunungan yang dingin. Aku pun langsung memantapkan niat untuk mengakhiri tarian mereka di air dan memaksa mereka menari di perutku dan kawanku. Antara membuat perangkap atau tombak untuk menangkap ikan; tentu logikaku yang disertai dengan perut lapar dan imajinasi kelezatan menu makan malam membuatku memilih tombak. Apa daya kesadaranku mengenai ketiadaan keahlian menombak dan kemalasan menggunakan parang membuatku melupakan dua ide brilian tersebut. Teringat sebuah cerita masa kecil, kuangkat tinggi sebuah batu yang cukup besar lalu menjatuhkannya tepat diatas batu besar lainnya. Tumbukan dua batu itu akan menciptakan gelombang kejutan yang seingatku di dalam cerita tersebut dapat membuat ikan di sekitar batu kaget sampai pingsan.

(5)

“BUUGGHH… BRSSSHH…”, bunyi batu saling beradu dengan keras diikuti air yang bergejolak menciptakan riak putih. Rumput tinggi di sebelah kiriku seketika bergoyang dan dari dalamnya sebuah mulut bertaring dengan cepat menyambar, berusaha menggigitku. Beruntung refleksku lebih cepat, sehingga aku masih bisa menghindar walaupun tanpa persiapan, dan berakhir dengan terjatuh ke belakang. Tidak membuang waktu, dengan panik aku langsung memutar badan dan berlari menjauh. Setelah dirasa agak aman, akupun tidak lagi berlari dan memutar kepala memandang ke arah tempatku menjatuhkan batu tadi. Kulihat ada ular sanca dengan kepala seukuran sepatuku melata mulai memasuki air. Kenyataan pun tergambar di kepalaku dengan jelas, ular itu kaget, aku beruntung bisa selamat, dan sepatuku hilang satu. Kebiasaan membuatku melihat lengan saat jam tanganku menunjukkan pukul 16 lebih 13 menit, dan akupun tersadar bahwa rekanku belum kembali. Panik kembali menyerang dan meningkatkan detak jantung. Tidak wajar mencari kayu lebih dari 1 jam.

Tanpa berusaha mencari sepatu yang hilang di sungai terlebih dahulu, aku langsung berjalan cepat memasuki hutan belakang gubuk. Tanpa sepatu, senter, dan peralatan lainnya. Peralatan itu masih disimpan di tasku yang tergeletak dalam gubuk. Aku mulai berteriak memanggilnya,

“Bro..!... Kuuuyy…!!... Oooiiiii…!!!...”

Terpengaruh cerita bahwa dilarang mencari orang dengan memanggil nama di hutan, kami tidak pernah saling menyebut nama masing-masing dan hanya memanggil dengan sebutan sohib pada umumnya. Aku berputar di hutan dan mencoba melihat apakah ada jejak yang tertinggal atau apakah dia mengalami sesuatu sehingga tidak bisa bersuara dan kembali ke gubuk. Aku berharap dia baik-baik saja dan mulai berteriak kembali memanggilnya,

“Brooo…!!!... Brooo…!!!!... Kuyyyy…!!!!...”

“Panggil namanya…”, tiba-tiba suara lirih terdengar seperti ada bisikan di telinga kiriku.

Kaget, otomatis kepalaku menoleh ke kiri. Saat di hutan, berbagai suara dan halusinasi akan menyerang siapapun yang panik. Jangan hiraukan suara-suara tersebut yang akan menurunkan ketenangan. Aku lebih baik fokus memanggil rekanku Kembali. Saat aku akan berteriak,

“Panggil namanya…”, suara bisikan lirih yang sama terdengar Kembali, hanya saja kali ini di telinga kananku.

Aku terdiam pelan-pelan melirik ke kanan. Aku tidak melihat ada apapun yang bisa membuat suara. “Sebentar, tidak ada yang bisa membuat suara?”, pikiranku mulai merasa aneh dan fokusku mulai teralihkan.

Tersadar bahwa hutan ini salah, terlalu hening tanpa ada suara apapun. Dikarenakan rasa takut yang mulai menjalar, tidak sadar aku melangkah mundur dan tanpa sengaja menginjak ranting kering. Tidak ada suara Langkah kaki. Tidak ada suara ranting patah. Tidak ada suara apapun. Akupun terdiam membeku tidak berani bergerak, berusaha mencari suara sekecil apapun yang ada disekitarku.

(6)

Sungguh keheningan ini membuat hutan yang tadinya memukauku berubah menjadi hutan yang memakiku dengan memendam suaranya.

“Panggil namanya…”, kali ini suara bisikan terdengar di kedua telingaku dengan sumber suara dapat diperkirakan ada persis di belakangku. Aku tidak berani menengok ke belakang; aku sadar bahwa hutan ini berbahaya. Aku lebih baik fokus mencari rekanku, aku harus memanggilnya,

“Kuiii… Broo.. Broo..? Ayuklah bro.. Makan kita..”, pelannya suaraku karena rasa takut sendiri di situasi ini memperlihatkan harapan alam bawah sadarku; semoga ini semua hanya lelucon garing rekanku dan ketiadaan suara hanya permainan rasa takut di indra pendengaranku.

“Panggil namanya…”, saat ini suara berintonasi rendah tersebut bersumber persis di depanku. Dan didepanku tidak ada apa-apa, kecuali pohon dan tanaman hutan biasa. Dengan panik dan takut aku spontan berteriak lebih kencang agar temanku mendengar dan kita bisa cepat lari dari tempat ini, “BROOO…!!!... DOA BROOO…!!!... KITA AKAN KEMBALI BERSAMA… DOA BROOO…!!!!...”

“PANGGIL NAMANYA…!!!”, suara teriakan terdengar di kedua kupingku. Seakan tidak mau kalah dan mencemooh kerasnya teriakanku suara tersebut terdengar begitu jelas dan keras. Seperti 4 orang berteriak sekuat tenaga di samping telinga membuatku pekak. Otomatis aku menutup telinga, berbalik arah, berlari dan berteriak untuk yang terakhir,

“GUBUK BROO…!!!... GUBUK..!!!...KUTUNGGU DI GUBUK…!!!!...”

Aku berlari dan terus berlari tanpa memperdulikan sakit di telapak kakiku yang tidak beralas. Tidak menghiraukan teriakan maupun bisikan yang silih berganti menyuruhku memanggil nama rekanku. “PANGGIL NAMANYA…!!! Panggil namanya… Panggil NAMANYA...”.

Teriakan itu aneh, suaranya sungguh jelas tapi kadang terasa dekat dan kadang terasa jauh. Ini bukan halusinasi pikirku.

Di dalam gubuk aku langsung memegang tasku; lalu mengeluarkan jas hujan, kompas, senter, dan parang dengan terburu-buru. Kututup jalur masuk gubuk dengan jas hujan, sebagai penanda dan sedikit penunda untuk apapun yang akan masuk ke gubuk ini. Kukantongi kompas dan senter, dan kupegang erat parang bersiap untuk menebas. Waktu terasa berjalan amat lambat, saat kulihat jam tanganku memperlihatkan pukul 17 kurang 15 menit. Waktu yang berjalan terasa aneh, karena perasaanku saat masuk hutan tadi hanya sebentar.

“Aku harus fokus, aku harus tenang, keluargaku dan keluarga rekanku menunggu di rumah.”, pikirku. Akupun mulai berdoa. Sungguh hening tanpa suara di sini. Kemana semua bunyi burung yang menggembirakan hati, gemericik air yang menenangkan, angin yang menerpa daun menciptakan gesekan mengejutkan, dan berbagai jenis serangga yang tadinya rebut bercengkerama. Semua bunyi itu hilang, sunyi, senyap, nyenyat, seperti mati. Saat itulah aku sadar, bahwa ini bukan hutan biasa. Ini adalah perangkap spesial yang dibuat sedemikian detailnya. Semua pesona yang memanjakan kelima

(7)

inderaku di luar adalah penghias perangkap ini, bagai pheromone yang membuat seseorang tertarik dengan bau yang tidak bisa ditolak. Sudah terlanjur basah, aku harus menunggu rekanku sembari terus berdoa. Lari duluan pun belum tentu selamat dengan kondisi mental dan tubuhku yang sudah menurun jauh, apalagi saat ini kepalaku mulai terasa pusing.

Saat aku membuka mataku, sinar matahari yang melalui dahan-dahan pohon menembus dinding gubuk sudah mulai redup. Waktu diperkuat oleh jam di tanganku yang menunjukkan angka 17:30. Aku tertidur dengan posisi duduk di tanah saat berdoa tanpa henti tadi. Ketegangan di kepalaku dan tubuhku yang lelah telah mencapai puncaknya. Kakiku terasa perih, darah kering menempel di telapak yang terluka karena entah terkena apa. Sleeping bag kukeluarkan dari tas, kubalut di kakiku untuk membuat sepatu bebat sebisanya. Bertahan adalah prioritas saat ini, dan untuk bertahan aku harus mempunyai tenaga. Kukunyah mie instan kering dan sosis, yang perpaduan rasanya seperti masakan restoran bintang tujuh; sambil mataku terus memandang ke arah pintu masuk. Menyaksikan cahaya alam yang mulai meredup dan akhirnya menghilang, digantikan oleh cahaya kecil dari senter. Suasana masih tetap sunyi, akupun masih berusaha untuk tidak banyak bergerak. Sedangkan jam yang masih terus bergerak, kulihat sudah menunjukkan pukul 11 malam. Seperti Ketika kita menunggu, mengerjakan atau bersama dengan sesuatu yang tidak kita sukai; maka waktu akan terasa lambat dan membosankan. Bagiku saat ini, tidak ada rasa bosan, hanya ada rasa lega dan takut. Lega karena setiap detik waktu yang lewat berarti aku masih ada di dunia ini dan takut karena waktu saat sang mentari muncul untuk menyinari tempat ini masih ribuan detik lamanya. Aku memutuskan akan menunggu rekanku sampai benderang nanti. Bila dia tidak muncul juga maka paling tidak aku akan membawa berita mengenainya ke keluarganya. Jangan sampai bahkan nama pun tidak bisa kembali pulang.

Suara misterius itu sekarang sudah tidak terdengar. Digantikan oleh sesuatu yang membuatku tidak berani bergerak, bersuara, dan melepas pandanganku dari jalur masuk gubuk yang tertutup jas hujan. Jas hujan itu tersibak sedikit, dipegang oleh tangan yang mirip dengan tangan manusia. Jika saja jari-jari yang terlihat tidak berwarna abu-abu pucat, kurus sehingga kulitnya terlihat membentuk tulangnya yang sebesar korek api gas dengan panjang tidak normal. Jari telunjuk dan kelingkingnya mempunyai panjang yang sama melebihi jari tengahnya, sedangkan jari manisnya sebagai jari terpendek mempunyai persendian yang terbalik. Tangan itu menyibak jas hujan sedikit, hanya cukup untuk mengintip kedalam, dan setelah itu tidak pernah bergerak. Sudah 3 jam waktu memasuki hari yang berbeda, dan tangan tersebut sudah hampir 4 jam tidak bergerak. Akupun tidak mempunyai inisiatif untuk melihat apakah itu hanya halusinasi, atau hanya tangan tanpa badan, atau apakah tangan tersebut berniat jahat. Pengalamanku menonton film horor memberikanku pengetahuan yang lebih dari cukup mengenai hal-hal yang dapat membuat tokoh pendamping sepertiku selesai lebih cepat, dan salah satunya adalah rasa penasaran.

(8)

Keberadaan tangan tersebut dan ketiadaan suara membuat tekanan yang tinggi pada tubuh dan pikiranku. Aku tidak bisa tidur karena takut, dan takut juga membuatku sulit untuk bergerak. Terlalu lama di posisi ini dengan gaya duduk yang cenderung tidak berubah, membuat badanku kaku, dan kekakuan itu menambah beban di otakku. Di saat penglihatanku nanar dan pikiranku sudah mencapai puncak stres, tiba-tiba tangan aneh itu menggeretak bergerak dan,

“BRO..!!!”, teriak rekanku saat menyibakkan jas hujan penutup pintu masuk mengagetkanku. “Panggil namanya…”, di waktu yang sama suara bisikan lirih pun kembali terdengar.

Baru kubuka mulutku untuk menanyakan apakah dia mendengar suara aneh, tetapi dia langsung menempelkan telunjuk di mulutnya, mengisyaratkanku untuk diam dan tetap tenang. Tampaknya dia bisa melihat kepanikan di wajahku.

“Mulai sekarang jangan sebut nama masing-masing dan jangan banyak bicara apabila tidak perlu. Kita sekarang bersiap untuk kembali begitu matahari terbit. Kuat tidak kuat dikuatkan ya...”, setelah berbicara dia mengikat webbing dibadannya dan aku mengikuti agar kita tidak terpisah. Kita akan menembus hutan ini mengandalkan keahlian, semangat, ingatan dan doa.

Saat langit mulai merona merah oranye, kita berjalan pelan keluar dari hutan itu, dengan rekanku sebagai pemandu di depan. Kita membawa semua barang agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. Kita tidak pernah tahu apa yang menjadi pemandu bagi suara aneh itu untuk mengikuti ke tempat di mana kita tinggal. Aku melihat ke arah gubuk untuk terakhir kalinya saat aku melihat ada sesosok makhluk didalamnya. Seperti bayangan berwarna hitam dengan posisi jongkok dan tangannya memeluk kakinya. Rekanku menarik webbing yang menghubungkan kita dan menggelengkan kepalanya, memberitahuku untuk tidak melihat ke arah gubuk dan melanjutkan perjalanan. Kondisi badan yang lelah dipadukan dengan stres membuat perjalanan pulang menjadi amat lambat, suram dan seram. Ditambah fokus kami selalu terganggu dengan adanya suara aneh yang kadang lirih tapi dekat, kadang seperti berteriak dari jauh, dan kadang mengagetkan seperti berteriak kencang di sebelah kuping. Kami terus bertahan, berjalan pelan semampunya menuju keluar dari hutan ini.

Matahari menyambut kami di luar hutan dengan sinarnya yang meredup, sungguh menggambarkan kekuatan kami saat itu. Tetapi berbanding terbalik dengan semangat kami yang baranya kembali terbakar saat menemukan motor trail kami. Sebuah rasa bahagia yang tak tertahankan membuat kami saling tersenyum sumringah saat menyalakan motor. Semua kesunyian yang melanda kami tiba-tiba hilang. Suara motor, serangga, gesekan dahan dan sesekali suara burung kembali muncul. Setelah beristirahat dengan masing-masing membakar Djarum untuk menurunkan stres, kami pun meluncur keluar dari area pinggir hutan menuju ke peradaban yang dipenuhi dengan warung kopi dan lampu jalan. Kami belum berbicara banyak sepanjang perjalanan, hanya seperlunya

(9)

saat memberhentikan motor untuk beristirahat dan lalu bergantian menyetir motor. Kami berharap bisa sampai di losmen sebelum matahari kembali muncul dan menertawakan kami.

Aku bangun cukup siang di losmen, dengan kondisi badan masih lemas dan kepala terasa sakit. TV kunyalakan untuk membuat suara modern yang membuatku nyaman. Menghisap asap Djarum menonton berita terkini mengenai politik yang biasanya kuhindari. Di saat itulah baru kusadari waktu sudah berjalan tidak sesuai ekspektasi kami. Ternyata kami telah menghabiskan waktu 5 hari untuk menyelesaikan peninjauan awal, tidak sesuai antara kenyataan dan perhitungan matematis jam di tanganku. Menurut perhitungan, semua diawali dengan perjalanan motor menuju ke hutan yang jelas hanya berkisar 4 jam; dilanjutkan jalan kaki berkisar 6 jam sampai ke gubuk malapetaka itu; dan berakhir dengan perjalanan menggunakan motor selama hampir 7,5 jam. Menurut perasaan, waktu aku sendirian diteror oleh kesunyian hanya berlangsung dari sore hari sampai saat bahkan matahari belum terbenam. Dan aku beserta rekanku berjalan dari matahari terbit sampai waktu matahari terbenam. Bila waktu tersebut ditotal hanya berkisar hampir 44 jam, tidak sampai 2 hari. Sungguh aneh, mungkin rekanku bisa memberikan penjelasan dari pengalamannya.

Rekanku bangun lebih awal dan meninggalkanku yang masih tergeletak di tempat tidur untuk minum kopi di warung depan losmen. Dia menghubungi atasan kami, menceritakan apa yang terjadi, memberikan saran dan menggambarkan ringkasan hasil yang didapat dari peninjauan awal kami. Disimpulkan bahwa jalur yang kami ambil tidak bisa dilalui dan kami akan melakukan peninjauan awal kedua melalui jalur lain. Inisiatif atasan kami yang akan mengirim tambahan personil untuk menemani kami ditolak oleh rekanku. Dia beralasan akan mencari tambahan orang lokal saja agar lebih mudah. Akupun dimintakan izin ke atasan oleh rekanku agar bisa pulang dulu ke kampung halaman dan beristirahat sementara waktu. Nanti setelah beberapa saat atau bila pekerjaan sudah pindah di area lain, baru aku akan bergabung kembali.

Makan malam dengan ayam goreng sambil menonton TV di kamar losmen, kami berdiskusi mengenai kejadian di hutan. Ternyata saat rekanku mengambil kayu kering di hutan, dia tidak berjalan terlalu jauh dari gubuk tempat kita menaruh barang-barang. Dia melihatku memandangi hutan lalu berjalan menuju sungai. Merasa aneh dengan tingkah lakuku yang seperti tidak melihatnya, dia memanggilku beberapa kali seperti aku memanggilnya, tanpa nama. Di saat itulah tiba-tiba keheningan menyerangnya dan suara aneh menyuruhnya untuk memanggil namaku. Tertegun oleh keheningan dan suara aneh tersebut rekanku berjalan ke arahku, tetapi dia berhenti saat tiba-tiba aku berjalan lebih cepat dengan cara yang aneh. Dia juga melihatku kembali dari sungai dengan langkah cepat menuju kehutan dan lalu berteriak tanpa mengeluarkan suara di depannya. Merasa keadaan sudah tidak beres, rekanku berusaha menggapaiku, tetapi aku dengan cepat memutar badan dan berlari seperti ketakutan. Anehnya pergerakanku cepat sekali, seperti film yang dipercepat beberapa

(10)

kali lipat. Saat rekanku pun menuju ke gubuk pun waktu terasa fenomenal, dia melihat bagaimana semua alam disekitarnya berubah lebih cepat. Tetapi pergerakan rekanku tetap sama, bagaimanapun dia berusaha untuk bergerak lebih cepat, perubahan disekitarnya selalu lebih cepat. Sudah berapa kali dia melihat siang dan malam silih berganti sebelum dia tiba di depan gubuk. Saat membuka ponco yang menutupi jalur masuk tiba-tiba semua berubah, waktu langsung melambat berjalan seperti biasa dan aku tampaknya bisa mendengar maupun melihatnya. Aku terlihat seperti manusia yang sudah sangat menderita lahir dan batin. Tanpa menunggu lama, dia yang memang sudah menyadari apa yang terjadi langsung memutuskan tindakan apa yang harus dilakukan selanjutnya dengan cepat. Dengan kondisi GPS yang menunjukkan arah secara acak dan jarum penunjuk utara kompas selalu berputar dengan aneh, kita harus memaksa agar tidak terpisah. Dia pun sadar saat aku menoleh melihat kembali ke gubuk, kemungkinan besar aku tidak akan bisa kembali ke tempat kita berasal. Bagaimanapun sebagai manusia kita harus berusaha dan pantang menyerah.

Apa yang terjadi di hutan pada kita saat itu sungguh suatu pengalaman yang tidak akan terlupakan, sehingga bila ada yang bertanya maka akan mudah diceritakan walau sulit dijelaskan. Mungkin seperti menjelaskan apa yang akan terjadi bila kau jatuh ke dalam lubang hitam. Saat kau mendekati lubang hitam, kau akan mulai merasakan tarikan gravitasi yang semakin kuat. Dan semakin kau mendekat maka kau akan terakselerasi dengan kecepatan yang semakin meninggi sampai sebanding dengan kecepatan cahaya. Berbeda dengan orang lain yang melihatmu dari luar, dikarenakan dilatasi waktu yang terjadi, kau hanya akan terlihat mendekat dengan gerakan lambat. Hal tersebut akan terus terjadi sampai kau mencapai cakrawala peristiwa, dimana kau akan mengalami peristiwa mengesankan saat waktu secara relatif berhenti dan realitas terbagi. Sayangnya orang lain yang melihatmu dari luar tidak akan bisa menyaksikan peristiwa yang mengesankan itu dan mungkin hanya akan melihatmu tidak bergerak di satu posisi tertentu. Bahkan kemungkinan besar, karena kekuatan gravitasi yang sangat tinggi; cahaya yang mencapaimu dan seharusnya terpantul kembali menuju mata orang lain akan mengalami redshift atau pergeseran spektrum ke frekuensi yang lebih rendah, sehingga orang lain tidak akan bisa melihat apa yang terjadi denganmu. Untukmu sendiri waktu akan berjalan normal dan kau bisa melihat orang lain bergerak lebih cepat seperti film yang di

fast forward. Dan semua itu berakhir saat kau antara; seperti kata rekan kerjaku, KO atau tamat atau kaput; atau kembali ke realitas. Perumpamaan dalam cerita lubang hitam itu, kau adalah rekan

kerjaku, orang lain adalah aku, dan lubang hitam adalah hutan yang memperangkap rekanku.

Mungkin kejadian yang kita alami adalah salah satu cara alam, dalam hal ini adalah area hutan itu, untuk mempertahankan keasrian dan keindahannya. Saat manusia dan alam sudah tidak bisa berkompromi, maka akan ada kejadian di mana manusia dipaksa untuk pergi atau menjadi bagian tidak hidup dari alam itu. Menjadi bagian legam dari si hutan hitam.

Referensi

Dokumen terkait

Keserupaan gesture yang terdapat pada karakter CT-Force dikarenakan karakter tokoh Free Rebels berlatar belakang sebagai pasukan militer pemerintah, namun kemudian

Penerapan metode Naïve Bayes pada sistem pakar diagnosa gangguan pencernaan balita terbukti dapat memberikan hasil perhitungan dengan akurasi yang tepat. Pada kasus

Adanya peningkatan hasil belajar siswa yang lebih tinggi di kelas eksperimen menunjukkan bahwa model pembelajaran CIRC sesuai untuk materi yang memiliki basis

Pohon keputusan yang dihasilkan oleh teknik klasifikasi algoritma C4.5 dari variabel yang memiliki nilai gain tertinggi yaitu Pelayanan 2 yang merupakan respons

Maka penulis tertarik untuk mengetahui faktor-faktor apa saja yang berhubungan dengan perilaku mengkonsumsi minuman keras pada remaja putra di RW.008 Kampung Kedung Baru Desa

Pada perlakuan ini dengan pakan yang terbuat dari daun kelapa sawit dan kombinasi ampas singkong sebagai pakan ternak tambahan, setelah 4 minggu dengan respon ternak yang

Karena banyak siswa yang gagal dalam belajarnya karena guru yang mengajarnya tidak memiliki basis keilmuan yang tinggi, ataupun metode yang digunakan oleh guru dalam

Demikian j pemberian ekstrak etanol da menunjukkan penurunan mes signifikan yaitu jumlah se menjadi 9.22% pada pembed menurun hingga 7.38% pad ke-18 pada perlakuan yang sa