• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN AKSESIBILITAS DIFABEL PADA RUANG PUBLIK KOTA STUDI KASUS: LAPANGAN MERDEKA T E S I S. Oleh HENDRA ARIF K.H LUBIS /AR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KAJIAN AKSESIBILITAS DIFABEL PADA RUANG PUBLIK KOTA STUDI KASUS: LAPANGAN MERDEKA T E S I S. Oleh HENDRA ARIF K.H LUBIS /AR"

Copied!
173
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI KASUS: LAPANGAN MERDEKA

KAJIAN AKSESIBILITAS DIFABEL PADA RUANG PUBLIK KOTA

T E S I S

Oleh

HENDRA ARIF K.H LUBIS

057020003/AR

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 8

(2)

STUDI KASUS: LAPANGAN MERDEKA

KAJIAN AKSESIBILITAS DIFABEL PADA RUANG PUBLIK KOTA

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Teknik dalam Program Studi Teknik Arsitektur Bidang Kekhususan Manajemen Pembangunan Kota pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

HENDRA ARIF K.H LUBIS

057020003/AR

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

M E D A N

2 0 0 8

(3)

Judul Tesis : KAJIAN AKSESIBILITAS DIFABEL PADA RUANG PUBLIK KOTA

STUDI KASUS: LAPANGAN MERDEKA Nama Mahasiswa : Hendra Arif Kurniawan Hamonangan Lubis Nomor Pokok : 057020003

Program Studi : Arsitektur

Menyetujui Komisi Pembimbing

(A/Prof. Abdul Majid, B.Sc, B.Arch, PhD) Ketua

(Achmad Delianur Nasution, ST, MT) Anggota

Ketua Program Studi,

(Ir. Nurlisa Ginting, M.Sc)

Direktur,

(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa. B, M.Sc)

(4)

Telah diuji pada Tanggal 25 April 2008

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : A/Prof. Abdul Majid Ismail, B.Sc, B.Arch, PhD Anggota : 1. Achmad Delianur Nasution, ST, MT

2. Ir. Rudolf Sitorus, MLA 3. Ir. Sri Gunana, MT

(5)

ABSTRAK

Aksesibilitas adalah kemudahan yang disediakan bagi difabel guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam segala aspek kehidupan dan penghidupan sebagai suatu kemudahan bergerak melalui dan menggunakan bangunan gedung dan lingkungan dengan memperhatikan kelancaran dan kelayakan, yang berkaitan dengan masalah sirkulasi, visual dan komponen setting. Sehingga aksesibilitas wajib diterapkan secara optimal, guna mewujudkan kesamaan kesempatan dalam mencapai segala aspek kehidupan dan penghidupan, menuntut adanya kemudahan dan keselamatan akses bagi semua pengguna tanpa terkecuali.

Aksesibilitas dalam kajian ini difokuskan kepada aksesibilitas difabel pada ruang publik kota dengan mengambil kasus sarana aksesibilitas yang terdapat di kawasan Lapangan Merdeka untuk melihat sejauh mana sarana aksesibilitas di kawasan Lapangan Merdeka dapat memfasilitasi kebutuhan dari kaum difabel. Yang menjadi acuan dasar kajian ini adalah prinsip universal design yang diimplementasikan pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no. 30/PRT/M/2006 yang menjadi parameter bagi penyediaan sarana aksesibilitas di kawasan Lapangan Merdeka

Dari kajian ini ditemukan bahwa sarana aksesibilitas yang ada di kawasan Lapangan Merdeka belum aksesibel untuk diakses oleh kaum difabel yang dikarenakan sarana aksesibilitas di kawasan Lapangan Merdeka tidak memenuhi prinsip universal design tentang kemudahan, kegunaan, keselamatan dan kemandirian.

(6)

ABSTRACT

Accessibility is easiness for difabel to realise the same of opportunity in all of life and living aspect as easiness in movable by and using the buildings and environment by pay attention to the smoothness and feasibility that related to circulation, visual and setting component issue. Therefore, accessibility must applied optimally in order to realice the same of opportunity in acieving the life and living aspect and requires the easiness and access safety for all of the users.

Accessibility in this study focus to difabel accessibility at the city public space by take a case of the accessibilities facilities at the area of Independence Square in order to study how far the accessibilities facilities in the area of Independence Square facilitates the needs of the difabel group. The basic reference on this study is a Universal Design principle that implemented on the Regulation of Public Work Minister No. 30/PRT/M/2006 as parameter for the accessibilities facilities supplier at the area of Independence Square.

Based on this study, it found that the available accessibilities facilities at the area of Independence Square has not yet accessible for the difabel group because the accessibilities facilities at the area of Independence Square did not fulfill the principle of universal design about the easiness, utility, safety and self-sufficiency. Keywords : Accessibility for all, Difabel, Universal Design

(7)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK……… i

ABSTRACT……….. ii

KATA PENGANTAR……….. iii

RIWAYAT HIDUP………... v

DAFTAR ISI………. vi

DAFTAR TABEL………. xi

DAFTAR GAMBAR……… xiii

DAFTAR LAMPIRAN……… xvii

BAB I PENDAHULUAN………. 1

1.1 Latar Belakang……….. 1

1.2 Justifikasi Pemilihan Lokasi………. 3

1.3 Identifikasi Masalah……….. 4 1.4 Perumusan Masalah……….. 4 1.5 Tujuan Penelitian……….. 5 1.6 Hipotesis……… 5 1.7 Kontribusi Penelitian………. 6 1.8 Batasan Penelitian………. 6 1.9 Kerangka Pemikiran……….. 7

(8)

1.10 Sistematika Pembahasan………... 8

BAB II TINJAUAN UMUM……… 10

2.1 Isu Aksesibilitas di Indonesia……… 10

2.2 Isu Aksesibilitas di Kota Medan……… 13

2.2.1 Jumlah Populasi Kaum Difabel Kota Medan…………. 13

2.2.2 Kebijakan Penerapan Aksesibilitas Difabel di Kota Medan………. 14

2.2.3 Implementasi Kebijakan……… 14

2.3 Isu Aksesibilitas Pada Ruang Publik Kota……… 15

2.4 Lapangan Merdeka Sebagai Ruang Publik Kota……….. 17

BAB III LANDASAN TEORI……….. 20

3.1 Mendefinisikan Difabel………. 20

3.2 Universal Design Sebagai Paradigma Baru……….. 22

3.3 Prinsip-Prinsip Universal Design……….. 23

3.4 Persyaratan Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas………. 26

3.4.1 Ukuran Dasar Ruang……….. 26

3.4.2 Jalur Pemandu……… 27

3.4.3 Jalur Pedestrian……….. 28

(9)

3.4.5 Tangga……… 31

3.4.6 Pintu……… 31

3.4.7 Toilet……….. 32

3.4.8 Telepon Umum……….. 34

3.4.9 Area Parkir………. 35

3.5 Standar Aksesibilitas Pada Bangunan Fasilitas Pelayanan Umum………... 36

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN………... 38

4.1 Pendahuluan……….. 38

4.2 Tahapan Penelitian……… 39

BAB V DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN………. 43

5.1 Gambaran Umum……….. 43

5.2 Segmentasi Kawasan………. 45

5.3 Segmen A (Lapangan Merdeka)………... 46

5.3.1 Peruntukan Lahan………... 46

5.3.2 Jalur Pedestrian dan Vegetasi………. 47

5.3.3 Utilitas……… 48

5.3.4 Muka Jalan (Streetscape)………... 49

5.4 Segmen B (Stasiun Kereta Api)……… 54

(10)

5.4.2 Muka Jalan (Streetscape)………... 55

5.5 Bangunan Monumental………. 56

5.6 Studi Banding (Kawasan Bukit Bintang Kuala Lumpur)………. 57

5.6.1 Maksud dan Tujuan………... 59

5.6.2 Hasil dan Pembahasan………... 60

5.6.3 Hasil Penilaian………... 65

BAB VI ANALISA DAN PEMBAHASAN……… 67

6.1 Penilaian Elemen Aksesibilitas Segmen A (Lapangan Merdeka) 67

6.2 Penilaian Elemen Aksesibilitas Segmen B (Stasiun Kereta Api) 97

6.3 Rekapitulasi Penilaian Elemen Aksesibilitas………... 109

6.3.1 Penilaian Elemen Aksesibilitas Outdoor……….. 109

6.3.2 Penilaian Elemen Aksesibilitas Indoor………. 114

BAB VII TEMUAN DAN KESIMPULAN……… 117

7.1 Temuan Dari Hasil Tabulasi Kuesioner………... 117

7.2 Temuan Dari Hasil Penilaian Elemen Aksesibilitas……… 119

(11)

BAB VIII REKOMENDASI DAN SARAN……… 131

8.1 Rekomendasi………. 131

8.2 Saran……….. 138

BAB IX PENUTUP………... 140

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1.1 Kerangka Pemikiran……….. 7

2.1 Keyplan Bangunan di Lapangan Merdeka……… 18

5.1 Lokasi Penelitian, Insert : Peta Kota Medan……. 43

5.2 Peta Kegiatan di Kawasan Lapangan Merdeka…. 44

5.3 Segmentasi Kawasan………. 45

5.4 Peruntukan Lahan Segmen A……… 46

5.5 Jalur Vegetasi dan Pedestrian……… 47

5.6 Kondisi Jalur Vegetasi dan Pedestrian………….. 48

5.7 Kondisi Jalur Vegetasi dan Pedestrian………….. 48

5.8 Skema Jaringan Utilitas Segmen A………... 49

5.9 Pembagian Sub Segmen A……… 49

5.10 Muka Jalan Pada Sub Segmen A1-1………. 50

5.11 Muka Jalan Pada Sub Segmen A1-2……….. 50

5.12 Muka Jalan Pada Sub Segmen A2-1………. 51

5.13 Muka Jalan Pada Sub Segmen A2-2………. 51

(13)

5.15 Muka Jalan Pada Sub Segmen A3………. 52

5.16 Muka Jalan Pada Sub Segmen A4-1………. 53

5.17 Muka Jalan Pada Sub Segmen A4-2………. 53

5.18 Segmen B, Stasiun Kereta Api……….. 54

5.19 Zoning Ruang Stasiun Kereta Api………. 55

5.20 Muka Jalan Pada Segmen B……….. 55

5.21 Bird Eye View Bangunan Monumental di Kawasan Lapangan Merdeka……… 56

5.22 Peta Lokasi Kawasan Bukit Bintang Kuala Lumpur 57

5.23 Sarana Aksesibilitas Untuk Difabel Pada Jalur Pedestrian……….. 58

5.24 Sarana Aksesibilitas Untuk Difabel Pada Jalur Pedestrian……….. 59

5.25 Jalur Pemandu di Kawasan Bukit Bintang Kuala Lumpur………. 60

5.26 Jalur Pedestrian di Kawasan Bukit Bintang Kuala Lumpur………. 61

5.27 Ramp Outdoor di Kawasan Bukit Bintang Kuala Lumpur………. 62

5.28 Tangga Outdoor di Kawasan Bukit Bintang Kuala Lumpur……….. 63

5.29 Toilet Umum Portable di Kawasan Bukit Bintang Kuala Lumpur……….. 64

(14)

6.2 Jalur Pedestrian Pada Sub Segmen A1-1………… 68

6.3 Jalur Pedestrian Pada Sub Segmen A1-2………… 70

6.4 Ramp Pada Sub Segmen A1-2……… 72

6.5 Tangga Pada Sub Segmen A1-2………. 73

6.6 Pintu Masuk Pada Sub Segmen A1-2………. 74

6.7 Jalur Pedestrian Pada Sub Segmen A2-1………… 76

6.8 Telepon Umum Pada Sub Segmen A2-1………… 78

6.9 Jalur Pedestrian Pada Sub Segmen A2-2………… 80

6.10 Jalur Pedestrian Pada Sub Segmen A3…………... 82

6.11 Jalur Pedestrian Pada Sub Segmen A3……… 83

6.12 Gerbang Masuk Pada Sub Segmen A3……… 85

6.13 Jalur Pedestrian Pada Sub Segmen A4-1………… 86

6.14 Jalur Pedestrian Pada Sub Segmen A4-2………… 88

6.15 Jalur Pedestrian Pada Sub Segmen A5…………... 89

6.16 Ramp Pada Sub Segmen A5………... 91

6.17 Tangga Pada Sub Segmen A5……….... 92

6.18 Gerbang Masuk Pada Sub Segmen A5…………... 94

6.19 Toilet Umum Pada Sub Segmen A5………... 95

6.20 Peta Lokasi Segmen B………. 97

(15)

6.22 Akses ke Bangunan Pada Segmen B……… 98

6.23 Area Loket Pada Segmen B………. 100

6.24 Tangga Pada Segmen B……… 103

6.25 Telepon Umum Pada Segmen B………... 104

6.26 Toilet Umum Pada Segmen B……….. 106

8.1 Permukaan Jalur Pedestrian……….. 132

8.2 Ukuran Jalur Pedestrian……… 132

8.3 Tepi Pengaman/ Kanstin………... 133

8.4 Jalur Pemandu………... 133

8.5 Ramp Pada Jalur Pedestrian……….. 134

8.6 Tangga Pada Jalur Pedestrian……… 134

8.7 Pintu Masuk Toilet……… 135

8.8 Jenis Toilet……… 135

8.9 Kelengkapan Toilet……….. 136

8.10 Area Parkir……… 136

8.11 Telepon Umum………. 137

8.12 Ramp Pada Akses ke Bangunan……… 137

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1.1 Surat Rekomendasi Ikatan Arsitek Indonesia…… 144

1.2 Kuesioner Penelitian………. 145

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pembangunan Kota Medan sampai saat ini belum mencerminkan keadilan bagi semua orang, dikarenakan adanya kelompok masyarakat yang memiliki keterbatasan fisik yang lazim disebut kaum difabel (poeple with different abilities) belum menikmati hasil dari pembangunan kota terutama di bidang aksesbilitas pada ruang publik kota.

Fenomena yang terjadi adalah bahwa isu tentang penyedian fasilitas aksesibilitas kaum difabel di Kota Medan dianggap tidak cukup penting. Dimana dalam pembangunan fasilitas publik, fasilitas transportasi umum, dan kawasan perumahan di Kota Medan sebagian besar masih belum memenuhi standar minimal suatu konsep aksesibilitas. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip pembangunan dari PBB bahwa “ no part of the built-up environment should be designed in a manner that excludes certain groups of people on the basis of their ability and frailty” (

United Nations, 1995).

Dalam skala Nasional, perumusan kebijakan dan undang-undang tentang aksesibilitas kaum difabel telah dikumandangkan dalam Undang-undang RI no. 4 tahun 1997 tentang upaya peningkatan sosial penyandang cacat dan Undang-Undang R.I No. 28 Tahun 2002 tentang bangunan gedung.

(18)

Hal ini menjadi dasar guna menjamin dan melindungi hak-hak kaum difabel di Kota Medan yang berjumlah 8929 orang (Dinas Kesehatan PROVSU, 2005), melalui kegiatan semiloka aksesibilitas fisik bagi penyandang cacat yang berlangsung pada tanggal 29-31 Mei 2006, dengan tema “ Aksesibilitas Fisik Bagi Penyandang Cacat pada fasilitas Umum dan Sosial” untuk mendapatkan kesempatan yang setara untuk menikmati lajunya pembangunan guna meningkatkan kehidupan dan penghidupannya.

Pentingnya sarana aksesibilitas untuk kaum difabel dalam menjalankan aktifitas sehari-hari menurut pandangan penulis dirasakan cukup menarik untuk diteliti karena sangat menentukan kemampuan mobilitas kaum difabel dalam melakukan kegiatan dalam kehidupan mereka (termasuk dalam melaksanakan kegiatan pendidikan, ekonomi dan kemasyarakatan).

Isu aksesibilitas untuk kaum difabel sangat berkaitan dengan tuntutan penerapan desain yang universal dimana sesuatu hal yang membatasi seseorang untuk melakukan suatu aktifitas gerak maupun menghambat keleluasaan ruang gerak dapat dibebaskan dengan suatu penyediaan fasilitas yang memenuhi prinsip universal design. Perwujudan sarana aksesibilitas sebagai universal design didasari

oleh :

1. Resolusi PBB No. 48 Th. 1993, tentang Peraturan Aksesibilitas

(19)

3. Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.468/KPTS/1998 tentang Persyaratan Teknis Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan yang telah direvisi melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.30/PRT/M/2006.

4. Undang-Undang No. 39 Th. 1999, tentang Hak Azasi Manusia (HAM), Kesamaan hak dalam kehidupan

5. Peraturan Pemerintah No.43/1999 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Penyandang Cacat.

6. Keputusan Menteri Perhubungan No. 71/1999 tentang Aksesibilitas bagi Penyandang Cacat dan Orang Sakit pada Sarana dan Prasarana Perhubungan 7. Undang-Undang No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan Gedung dan Lingkungan

1.2 Justifikasi Pemilihan Lokasi

Adapun kawasan Lapangan Merdeka dipilih dengan kriteria :

1. Fungsi kawasan sebagai ruang publik kota yang terletak di pusat kota.

2. Terdapat stasiun Kereta Api yang merupakan salah satu pintu masuk kota Medan.

3. Dikelilingi fasilitas pelayanan publik seperti kantor pos dan pelayanan asuransi perbankan.

(20)

5. Fungsi ruang terbuka di pusat kota dan dikelilingi fasilitas pelayanan publik yang berfungsi sebagai generator aktifitas di pusat kota selama 24 jam sehari (Krier, 1979).

1.3 Identifikasi Masalah

Berdasarkan pengamatan awal terdapat beberapa permasalahan yang dapat diidentifikasi dalam hal keberadaan kawasan Lapangan Merdeka sebagai ruang publik kota terhadap kaitannya dengan aksesibilitas kaum difabel yaitu :

1. Mendesaknya fasilitas umum, sarana dan prasarana transportasi yang aksesibel bagi difabel di kawasan Lapangan Merdeka dalam rangka menuju kesamaan kesempatan dan kesetaraan perlakuan (Tavip Mustafa, 2005).

2. Kawasan Lapangan Merdeka tidak mempunyai fasilitas khusus sarana aksesbilitas untuk kaum difabel.

3. Belum optimalnya sarana aksesibilitas publik di kawasan Lapangan Merdeka untuk memfasilitasi kaum difabel sehingga secara umum kaum difabel tidak dapat mengakses ruang publik kota secara mandiri.

1.4 Perumusan Masalah

1. Bagaimanakah penilaian aksesibilitas di kawasan Lapangan Merdeka dari sudut pandang kaum difabel ?

(21)

2. Permasalahan aksesibilitas fisik apakah yang menghalangi kaum difabel dalam mengakses kawasan Lapangan Merdeka sebagai ruang publik kota?

1.5 Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian tentang aksesibilitas kaum difabel pada ruang publik kota :

1. Mengidentifikasi dan mengevaluasi keadaan eksisting sarana aksesibilitas di kawasan Lapangan Merdeka.

2. Sebagai bentuk sosialisasi pentingnya memfasilitasi sarana aksesibilitas kaum difabel pada ruang publik kota.

3. Sebagai usaha menuju perlindungan hukum (advokasi) yang memungkinkan adanya aturan yang baku tentang aksesibilitas kaum difabel pada sarana aksesibilitas umum ruang publik kota.

1.6 Hipotesis

1. Sarana aksesibilitas di Kawasan Lapangan Merdeka belum aksesibel untuk kaum difabel

2. Sarana aksesibilitas di kawasan Lapangan Merdeka belum memenuhi kriteria kemudahan, kegunaan, keselamatan dan kemandirian untuk kaum difabel.

(22)

1.7 Kontribusi Penelitian

Penelitian tentang aksesibilitas kaum difabel pada ruang terbuka sebagai ruang publik kota ini dimaksudkan untuk :

1. Memberikan usulan yang berguna untuk perencanaan aksesibilitas di Kota Medan terutama di kawasan Lapangan Merdeka dengan menerapkan prinsip-prinsip universal design.

2. Memberi masukan bagi pihak-pihak yang berkepentingan dalam pembangunan suatu lingkungan binaan di daerah perkotaan.

3. Memberikan landasan bagi studi-studi selanjutnya yang berhubungan dengan aksesibilitas kaum difabel pada ruang terbuka sebagai ruang publik kota.

1.8 Batasan Penelitian

1. Kaum difabel pada penelitian ini dibatasi pada tuna netra, tuna rungu, tuna daksa pengguna kruk dan tuna daksa pengguna kursi roda.

2. Penelitian ruang luar (outdoor) dibatasi pada kajian aksesibilitas kaum difabel pada fasilitas umum di ruang terbuka sebagai ruang publik kota.

3. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya membahas aspek fisik.

4. Penelitian dalam bangunan (indoor) hanya akan dilakukan pada bangunan stasiun kereta api sebagai salah satu pintu masuk kota Medan.

(23)

1.9 Kerangka Pemikiran

Adapun kerangka pemikiran secara skematik dapat dilihat pada gambar 1.1

(24)

Gambar 1.1 Kerangka Pemikiran

1.10 Sistematika Pembahasan

Adapun setiap bab pembahasan dalam penelitian ‘Kajian Aksesibilitas Difabel Pada Ruang Publik Kota’ adalah :

1. BAB I Pendahuluan

Berisi latar belakang, permasalahan, tujuan, sasaran, lingkup pembahasan, tahapan penelitian, serta sistematika pembahasan.

2. BAB II Tinjauan Umum

Mengemukakan isu-isu umum yang berhubungan dengan aksesibilitas difabel pada ruang publik kota.

3. BAB III Landasan Teori

Mendefinisikan tentang difabel serta menjelaskan teori ‘universal design’ yang menjadi acuan bagi difabel untuk mendapatkan kesetaraan aksesibilitas pada ruang publik kota.

4. BAB IV Metodologi Penelitian

Menjelaskan tentang tahapan penelitian dan metoda yang digunakan untuk membuat analisis data yang didapat dari penelitian lapangan.

Bintang Kuala Lumpur yang sudah menyediakan sarana aksesibilitas untuk difabel.

(25)

5. BAB V Deskripsi Daerah Penelitian

Medeskripsikan Kawasan Lapangan Merdeka serta melakukan identifikasi tentang kondisi eksisting sarana aksesibilitas di Kawasan Lapangan Merdeka. 6. BAB VI Analisa dan Pembahasan

Membuat analisis sarana aksesibilitas yang ada di Kawasan Lapangan Merdeka dengan menggunakan metoda penelitian yang telah dijabarkan pada BAB IV.

7. BAB VII Temuan dan Kesimpulan

Mengemukakan hasil rangkuman dari analisa data untuk menjawab permasalahan yang dikemukakan pada BAB I.

8. BAB VIII Rekomendasi dan Saran

Merumuskan kondisi ideal penyediaan sarana aksesibilitas bagi difabel. 9. BAB IX Penutup

Berisi tentang rangkuman dari ‘ Kajian Aksesibilitas Difabel Pada Ruang Publik Kota’.

(26)

BAB II

TINJAUAN UMUM

2.1 Isu Aksesibilitas di Indonesia

Dalam era globalisasi, menuntut terwujudkan bangunan gedung dan lingkungan yang aksesibel, selaras dengan Undang-Undang No. 28/2002 tentang Bangunan Gedung (UUBG) yang telah disahkan sebagai pedoman umum pada tanggal 16 Desember 2002 terdiri dari 10 bab dan 49 pasal. Setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administratif dan teknis, diantaranya pemenuhan persyaratan elemen aksesibilitas. Berdasarkan Surat Edaran Menteri Sosial No. A/A164/VIII/2002/MS dinyatakan agar penyediaan elemen aksesibilitas mengacu pada Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No. 468/KPTS/1998 yang telah direvisi melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.30/PRT/M/2006 tentang Persyaratan Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas pada Bangunan Umum dan Lingkungan.

Asas aksesibilitas di Indonesia menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.30/PRT/M/2006 adalah :

1. KEMUDAHAN, semua orang dapat mencapai semua tempat 2. KEGUNAAN, setiap orang dapat mempergunakan semua tempat

3. KESELAMATAN, setiap bangunan dan lingkungan harus memperhatikan keselamatan bagi semua orang.

(27)

4. KEMANDIRIAN, setiap orang harus dapat mencapai, masuk dan mempergunakan semua tempat tanpa bantuan orang lain.

Sebagai pedoman umum, undang-undang tersebut mengatur tentang ketentuan bangunan gedung yang meliputi fungsi, persyaratan, penyelenggaraan dan pembinaan serta sanksi yang dilandasi oleh asas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian dengan lingkungannya bagi kepentingan masyarakat yang berperi kemanusiaan dan berkeadilan. Kehadirannya melahirkan berbagai konsekuensi yang harus dilaksanakan lebih lanjut oleh Pemerintah/ daerah. Hal tersebut perlu ditindaklanjuti dengan mengembangkan program ke daerah/wilayah/kota lain (Departemen Kimpraswil, 2004).

Dalam Undang-Undang Dasar 1945 tertera persamaan hak bagi setiap warga negara tanpa membedakan kondisi fisik, serta memberikan perlindungan dan persamaan hak kepada kaum difabel dengan menerbitkan berbagai peraturan pengadaan sarana dan prasarana yang berkaitan dengan difabel. Dalam Undang-Undang No. 4/1997 tentang Penyandang Cacat dan Peraturan Pemerintah No. 43/1998 tentang Upaya Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat dinyatakan bahwa: kesamaan kesempatan kaum difabel pada aspek kehidupan dan penghidupan, dilaksanakan melalui penyediaan elemen aksesibilitas untuk menunjang kaum difabel agar dapat hidup bermasyarakat secara wajar dan mandiri. Titik tolak dari perwujudan bangunan gedung dan lingkungan yang berwawasan adil

(28)

bagi semua kelompok masyarakat (development for all) berarti memiliki asas kebersamaan bagi semua warga negara, tidak dibedakan kemampuan dan kepentingan individu atau kelompok. Semua mendapatkan kesempatan yang sama berperan dalam pembangunan sekaligus dapat menikmati hasil pembangunan (Wiwik Setyaningsih,2005). Hal ini senada dengan pengertian “equity“ (persamaan atau keadilan) yang menekankan equity in access atau access for all (Kevin Lynch, 1987).

Pada 4 Juni 2000 Pemerintah Pusat telah mengawali dengan pencanangan Gerakan Aksesibilitas Umum Nasional (GAUN) berupa penyediaan elemen aksesibilitas di Stasiun Gambir dan berlangsung hingga saat ini. Tahun 1987 sampai 1996 Center for Universal Design and Disabilities (CUDD) Jurusan Teknik Arsitektur Universitas Gajah Mada (UGM) mengembangkan Malioboro’s pilot project sebagai kawasan yang aksesibel bagi semua dengan model prototype guiding block (ubin pengarah untuk tuna netra), tetapi mengkristal pada penyusunan

pedoman teknis. Tahun 2002 Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI) dengan Universitas Trisakti dan Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) telah melakukan pendataan 30 bangunan gedung di DKI Jakarta, hasilnya kurang terpublikasi (Wiwik Setyaningsih, 2005).

(29)

2.2 Isu Aksesibilitas di Kota Medan

2.2.1 Jumlah Populasi Kaum Difabel Kota Medan

Tabel 2.1 Data Jumlah Populasi Difabel Sumatera Utara

Tubuh Netra Rungu Mental Kusta

1 Medan 2364 2166 940 1791 1668 8929 2 P.Siantar 356 451 269 195 22 1293 3 Binjai 280 183 125 187 11 786 4 T.Balai 236 261 127 172 507 1303 5 T.Tinggi 254 128 75 37 85 579 6 Sibolga 109 190 73 85 89 526 7 D. Serdang 2795 1986 818 596 2023 8218 8 Karo 383 377 154 386 508 1808 9 Langkat 838 912 595 463 625 3433 10 Asahan 717 602 312 381 13 2025 11 Simalungun 1410 1209 602 601 295 4081 12 L.Batu 1008 792 320 241 412 2773

Jumlah Populasi Difabel Sumatera Utara 2005

No Kota Jumlah

Klasifikasi

2.2.2 Kebijakan Penerapan

Sumber : Dinas Kesehatan (2005)

Dari tabel di atas populasi kaum difabel di kota Medan berjumlah 8929 orang dengan distribusi pembagian 2364 orang difabel dalam hal fisik, 2166 orang difabel dalam hal penglihatan, 940 orang difabel dalam hal pendengaran, 1791 orang difabel dalam hal mental dan 1668 orang penderita kusta. Dalam penelitian ini sebutan kaum difabel dibatasi menjadi kelompok difabel dalam hal fisik, penglihatan dan pendengaran saja. Karena bagi difabel dalam hal fisik, penglihatan dan pendengaran keberadaan ruang publik kota menjadi sesuatu yang bersifat rehabilitatif.

(30)

2.2.2 Kebijakan Penerapan Aksesibilitas Difabel di Kota Medan

Dengan dikeluarkannya Keputusan Menteri Pekerjaan Umum No.468/KPTS/1998 yang telah direvisi melalui Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.30/PRT/M/2006 tentang Persyaratan Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas Pada Bangunan Umum dan Lingkungan dan kemudian terbitnya Undang-Undang no.28 tahun 2002 sudah seharusnya dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan pembangunan gedung dan lingkungan di Kota Medan.

Penyediaan aksesibilitas fasilitas umum dan fasilitas sosial di Propinsi Sumatera Utara sesuai dengan otonomi daerah adalah menjadi tanggung jawab pemerintah kabupaten/ pemerintah kota, sedangkan propinsi hanya sebagai fasilitator, pengarah pembinaan (Departemen Tarukim, 2006).

2.2.3 Implementasi Kebijakan

Melalui wawancara dengan ketua daerah Himpunan Wanita Penyandang Cacat Indonesia (HWPCI) daerah Sumatera Utara bahwa dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum no. 30 tersebut terdapat dua objek sebagai sasaran yaitu “bangunan” dan “lingkungan”. Untuk pengaturan bangunan otoritas dipegang oleh Dinas Tata Kota dan Tata Bangunan. Tetapi untuk penataan lingkunagan (di luar bangunan dan tapak bangunan), otoritas tersebut tidak jelas. Penataan aksesibilitas pada lingkungan umumnya adalah meliputi pedestrian, penyebrangan, parkir,

(31)

fasilitas umum (telepon umum, halte, tempat sampah, dsb), dimana banyak pihak terlibat yaitu : Dinas Pertamanan, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas Perhubungan , Dinas Kebersihan, Perusahaan Telekomunikasi dan Badan Pengelola Parkir. Masing- masing pihak mempunyai fungsi dan target kerja yang tidak sama. , sehingga terjadi tumpang tindih pembangunan di lokasi yang sama tanpa ada koordinasi. Sehingga sudah saatnya kota Medan mempunyai Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) untuk kawasan-kawasan tertentu dimana di dalamnya sudah tercantum pengaturan tentang aksesibilitas.

Di samping itu, dalam rangka pelaksanaan pembinaan dalam pelaksanaan fisik maupun sosialisasi kepada Pemerintah Kabupaten/ Pemerintah Kota dengan cara mensosialisasikan aturan/ pedoman tentang aksesibilitas pada bangunan umum dan lingkungan, Pemerintah Kabupaten/ Pemerintah Kota berkewajiban membuat sarana percontohan aksesibilitas untuk penyandang cacat. Saat ini yang menjadi percontohan adalah bangunan Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU) dan Rumah Sakit Pringadi. Kemudian kawasan- kawasan yang mendesak untuk ditata adalah kawasan Kesawan, kawasan Lapangan Merdeka, koridor jalan Sisingmangaraja, kawasan Polonia, kawasan Perbelanjaan Petisah, kampus USU, kampus Unimed dan Rumah Sakit Adam Malik berikut lingkungannya.

(32)

2.3 Isu Aksesibilitas pada Ruang Publik Kota

Pembangunan perkotaan sebagai salah satu engine of growth pengembangan wilayah melalui berbagai kebijakan penataan ruang dan pengembangan prasarana dan sarana wilayahnya, dimana ruang publik menjadi salah satu komponen penting dalam pembangunan kota. Menurut Departemen Kimpraswil ruang publik kota dapat dipahami sebagai bagian dari ruang kota yang dapat dimanfaatkan oleh warga kota secara tidak terkecuali (inclusive) untuk menyalurkan hasrat dasarnya sebagai mahluk sosial yang membutuhkan interaksi.

Salah satu fungsi utama ruang publik adalah sebagai wahana interaksi antar komunitas untuk berbagai tujuan, baik individu maupun kelompok. Dalam hal ini ruang publik merupakan bagian dari sistem sosial masyarakat yang keberadaannya tidak dapat dilepaskan dari dinamika sosial. Disamping itu, ruang publik juga berfungsi memberikan nilai tambah bagi lingkungan, misalnya segi estetika kota, pengendalian pencemaran udara, pengendalian iklim mikro, serta memberikan “image” dari suatu kota.

Beranjak dari pemahaman tentang ruang publik dan fungsinya, ada banyak aspek yang harus dapat dipenuhi oleh suatu ruang publik. Salah satunya adalah aspek aksesibel tanpa terkecuali (accessible for all) dimaksudkan bahwa ruang publik sudah seharusnya dapat dimanfaatkan oleh seluruh warga kota yang membutuhkan.

(33)

Isu accessibility atau aksesibilitas sangat berkaitan dengan tuntutan perlunya desain yang universal dimana sesuatu hal yang membatasi seseorang untuk melakukan suatu aktifitas gerak maupun menghambat keleluasaan ruang gerak dapat dibebaskan dengan suatu penyediaan fasilitas yang memenuhi prinsip universal design. Dengan kata lain bahwa guna membantu mobilitas kaum difabel perlu

diciptakannya fasilitas aksesibilitas yang memenuhi standar universal yang dalam hal ini diperlukan suatu logika sosial dan arsitektural untuk mendesain.

Pentingnya fasiltas aksesibilitas tidak hanya mencakup pentingnya mobilitas dalam arti umum saja, tetapi juga dapat berarti membantu berbagai golongan masyarakat yang membutuhkan dengan memperlakukan mereka secara adil dan sejajar dalam wujud penyediaan fasilitas aksesbilitas yang memenuhi standar di lingkungan binaan. Pemikiran dan informasi tentang pentingnya aksesibilitas sangat penting dikembangkan, disebarluaskan, langsung diterapkan dan diperjuangkan di kota Medan untuk mewujudkan suatu pemahaman konsep perencanaan dan pelaksanaan pembangunan kota (Bimo Hernowo, 2005).

2.4 Lapangan Merdeka sebagai Ruang Publik Kota

Lapangan Merdeka merupakan ruang publik terbesar di Kota Medan, berukuran 175x275 m, yang merupakan titik pertemuan warga dari berbagai etnis. Lapangan Merdeka dibentuk sejak tahun 1880

(34)

dengan nama ‘Esplanade’ (Lapangan Trebuka) dan merupakan pusat kota , di bagian periferi ditanami pohon Ki Hujan (Samanea Saman), sebagai ciri ruang terbuka di daerah tropis. Awalnya adalah bagian dari perkebunan tembakau berupa rawa-rawa. Pada tahun 1927, bagian tengah dari sisi utara Lapangan Merdeka telah digunakan sebagai lapangan olahraga. Setelah tahun 1927, bagian tengah (inti) dari Lapangan Merdeka secara keseluruhan digunakan sebagai taman. Setelah kemerdekaan, namanya berubah menjadi Lapangan Merdeka (Independence Square).

Hingga sekarang beberapa bangunan bersejarah yang mengelilinginya mesih mencerminkan karakter Kota Medan Lama. Bangunan-bangunan ini antara lain adalah Post Office, Hotel de Boer, The Javasche Bank, The City Hall, The Office of the Netherlands Trading Company, Lloyd’s of Rotterdam dan the Juliana Building,

yang mana juga ditempati perusahaan Inggris, Harrison & Crossfield, dan sekarang digunakan oleh perusahaan the London-Sumatera Plantations. Deli Maatscappij mendirikan sebuah perusahaan kereta api Deli Sporweg Maatscappij pada tahun 1883 dan pada tahun 1885 jalur kereta api Medan – Labuhan Deli resmi dijalankan. Stasiun kereta api ini terletak di sebelah timur dari Lapangan Merdeka (A.D. Nasution, 2003).

(35)

Pada saat sekarang terjadi perubahan fungsi sebagian lahan dari Lapangan Merdeka menjadi pusat jajanan makanan, hiburan dan promosi yang dikenal dengan Merdeka Walk. Dibangun oleh PT. Orange Indonesia yang didukung oleh

Pemerintah Kota Medan yang berada di sebelah barat Lapangan Merdeka dengan menggunakan lahan ±6600 m².

Keterangan Perubahan Fungsi Bangunan : 1. Grand Hotel menjadi Bank Mandiri 2. Stasiun Kereta Api

3. Titi Gantung

4. Club ‘de Witte’ menjadi BCA 5. Kantor Pos

6. Hotel de Boer menjadi Hotel Dharma Deli 7. Javasvhe Bank menjadi Bank Indonesia 8. Balai Kota (City Hall)

9. Nederlandshe Handel Maatschappiij menjadi Bank Mandiri

10. Netherlands Trading Company menjadi Bank Mandiri

11. Harrison&Crossfield menjadi PT. Lonsum 12. Netherlands Shipping Company &

Rotterdam Lloyd menjadi Asuransi Jasindo

Gambar 2.1 Keyplan Bangunan di Lapangan Merdeka

Keberadaan Merdeka Walk membawa arti positif bagi kawasan Lapangan Merdeka. Karena sebelum dibangunnya Merdeka Walk, intensitas penggunaan lapangan Merdeka sifatnya berkala. Umumnya Lapangan Merdeka digunakan untuk kegiatan upacara dan olahraga yang kesemuanya berakhir setelah pukul 18.30 WIB yaitu setelah orang selesai berolah raga (.A.D. Nasution, 2003). Setelah dibangunnya Merdeka Walk, warga yang hendak berinteraksi hingga dini hari menjadi

(36)

terfasilitasi. Sudah seharusnya kawasan Lapangan Merdeka dapat berfungsi sebagai generator aktifitas di pusat kota selama 24 jam sehari (Rob Krier, 1979).

(37)

BAB III LANDASAN TEORI

3.1 Mendefinisikan Difabel

Konsep difabel berakar dari suatu pendekatan medis dan individual. Menurut pendekatan ini, keberfungsian secara fisik dan mental seseorang merupakan prasyarat bagi kaum difabel untuk dapat menentukan kehendaknya dan berpartisipasi dalam berbagai aktivitas.

Dunia barat mengelompokkan difabel berdasarkan usia dan kemampuan. Untuk mereka pada usia tertentu atau mereka yang memiliki tingkat kemampuan yang berbeda, menunjukkan hasil yang mengecewakan apabila dinilai dari kondisi fisik mereka. Hal ini dibuktikan melalui penelitian yang dilakukan pada 1000 orang anak-anak dan remaja di New York tahun 1989.

Dalam penelitian tersebut anak-anak diminta untuk menjelaskan apa yang mereka lihat. Tanpa terkecuali, anak-anak tersebut melaporkan bahwa mereka melihat pria dan wanita melakukan pekerjaan, seperti memasak makanan, merawat peliharaan dan melakukan pekerjaan rutin mereka. Selanjutnya mereka melaporkan hal yang sama ketika para remaja melakukan pekerjaan tersebut. Tetapi selanjutnya, mereka melihat orang cacat fisik mencoba untuk menyelesaikan pekerjaan yang sama dengan sebelumnya. Dalam waktu singkat, dalam pemikiran anak-anak tersebut.

(38)

Kritikan terhadap penanganan masalah difabel tersebut sesungguhnya sudah direspon World Health Organization (WHO) dan para profesional yang bekerja di bidang rehabilitasi. WHO, misalnya, sejak tahun 2001 sudah merevisi definisi difabel. Pedoman dari WHO menjadi acuan di banyak negara termasuk di Indonesia disebut International Classification of Impairment, Disability and Handicap. Dari pedoman ini ada 3 konsep yang dibedakan, yaitu :

1. Impairment , adalah hilangnya atau ketidaknormalan struktur atau fungsi psikologis, fisik atau anatomi.

2. Disability, mengacu kepada keterbatasan kemampuan untuk melakukan aktivitas secara “normal” yang disebabkan oleh impairment .

3. Handicap, merupakan ketidakberuntungan sesorang yang diakibatkan oleh impairment dan disability yang menyebabkan ia tidak dapat melakukan perannya

secara sosial maupun ekonomi

WHO merevisi konsep ini menjadi International Classification of Functioning Disability and Health (ICF). Pada konsep ini, impairment bukanlah

satu-satunya faktor yang menjadi fokus dalam menilai keberfungsian kemampuan seseorang. Ada dua komponen utama yang perlu dipelajari dalam memahami masalah difabel, yaitu:

(39)

1. Functioning (keberfungsian), meliputi keberfungsian badan/anatomi dan struktur serta aktivitas dan partisipasi.

2. Disability (ketidakmampuan), bagian pertama meliputi keberfungsian badan/anatomi dan struktur serta aktivitas dan partisipasi, sedangkan bagian kedua terdiri dari faktor-faktor kontekstual, seperti faktor lingkungan dan faktor –faktor yang sifatnya personal.

Menurut konsep ini, masalah difabel timbul sebagai interaksi dari berbagai komponen-komponen tersebut. Keberfungsian secara fisik dan mental seseorang merupakan prasyarat baginya untuk dapat berpartisipasi dalam berbagai aktivitas. Namun cara ini juga direfleksikan dalam kehidupan sosial yang menyebabkan terhambatnya kaum difabel mendapatkan kesempatan berpartisipasi secara sama dalam berbagai aktivitas dalam kehidupan masyarakat (Eva Kasim, 2004).

3.2 Universal Design Sebagai Paradigma Baru

Universal design pertama kali diperkenalkan di Amerika Serikat oleh Ron Mace pada tahun 1985. Sebelumnya pada tahun 1950 dikenal terminologi barrier- free design (desain bebas hambatan) yang dalam perkembangannya barrier- free

design memiliki persepsi yang negatif di antara orang Amerika. Karena barrier-free

design hanya dapat digunakan oleh kaum difabel. Sehingga kedudukan antara difabel

dan non difabel di ruang publik menjadi terpisah. Hal ini tidak sesuai dengan prinsip equity yang mengharuskan adanya persamaan hak bagi setiap orang di ruang publik.

(40)

Selanjutnya pada tahun 1970 berkembang terminologi yang lebih populer yang dikenal dengan accessible design (desain yang aksesibel) yang mengatakan bahwa sarana aksesibilitas sebagai parameter yang mempengaruhi pergerakan masyarakat di lingkungan publik. Tetapi accessible design dalam penerapannya dirasakan masih kurang praktis karena cakupannya terlalu luas.

Oleh karena itu Ron Mace mengatakan perlu adanya suatu standar minimum untuk mengatur fasilitas umum kaum difabel dan non difabel dalam ruang publik secara bersamaan yang dikenal dengan universal design. Dalam artiannya “Universal design adalah produk dan lingkungan yang dihasilkan dalam perancangan

lingkungan binaan, yang memungkinkan semua orang dapat dengan mudah untuk mengakses setiap elemen di dalamnya”. Dalam penerapannya universal design bisa tidak sama di setiap tempat tergantung dari berbagai pendekatan desain dan undang-undang yang berlaku (Ron Mace dalam Elaine Ostroff, 2001).

3.3 Prinsip-Prinsip Universal Design

Menurut Molly Folente Story (Universal Design Handbook, 2001) prinsip-prinsip utama universal design, yaitu :

1. Dapat digunakan semua jenis pengguna

Definisi : Produk desain dapat digunakan dan dipasarkan untuk semua jenis pengguna

(41)

Implikasi dalam perencanaan :

a. Mempertimbangkan aturan kekerabatan dalam memfasilitasi aksesibilitas pejalan kaki

b. Mengembangkan pendekatan strategis dalam membuat kebijakan transportasi yang memprioritaskan transportasi non kendaraan bermotor

c. Jalan dapat diakses semua jenis pengguna tanpa ada batasan 2. Fleksibel dalam penggunaan

Definisi : Produk desain mengakomodasi semua jenis pengguna dan tidak dibedakan berdasarkan kemampuannya

Implikasi dalam perencanaan :

a. Mengadaptasi proposal pengembangan sebagai aturan detail untuk perencanaan

b. Produk aksesibilitas harus dapat memfasilitasi setiap pengguna 3. Sederhana dan mudah untuk digunakan

Definisi : Penggunaan desain mudah dimengerti ditinjau dari segi pengalaman dan kemampuan pengguna

(42)

a. Proposal pengembangan mudah diterapkan dalam setiap lokasi, bangunan dan jalan

b. Rute langsung bagi pedestrian tanpa kendaraan bermotor 4. Informasi yang memadai

Definisi : Produk desain dilengkapi informasi pendukung yang penting untuk pengguna dimana informasi yang diberikan disesuaikan dengan kemampuan pengguna

Implikasi dalam perencanaan :

a. Sebagai masukan dalam proses perencanaan yang berguna untuk mengurangi ‘jarak’di antara setiap pengguna

b. Mempertimbangkan cara untuk membuat setiap perencanaan tepat sasaran

5. Toleransi kesalahan

Definisi : Meminimalkan resiko kecelakaan akibat dari kejadian yang tidak terduga

Implikasi dalam perencanaan :

a. Faktor keselamatan sebagai prioritas utama dalam perencanaan. Termasuk di dalamnya keselamatan di jalan, menghindari kriminalitas, mengutamakan kesehatan dan semua yang membuat hidup lebih baik

(43)

6. Mengurangi usaha fisik

Definisi : Produk desain dapat digunakan secara efisien dan aman dengan mengurangi resiko cedera

Implikasi dalam perencanaan :

a. Diprioritaskan untuk desain pedestrian dan jalan yaitu dengan meminimalkan gangguan dalam perjalanan

7. Ukuran ruang untuk penggunaan yang tepat

Definisi : Penggunaan ukuran ruang dalam desain yaitu dengan melakukan pendekatan melalui postur, ukuran dan pergerakan pengguna

Implikasi dalam perencanaan :

a. Memperhatikan kebutuhan minimum standar ruang

b. Mempertimbangkan aspek kepadatan dan hubungan antar ruang dalam merancang bentuk

8. Memasukkan unsur kesenangan

Definisi : Dengan adanya penambahan unsur kesenangan dalam perencanaan maka lingkungan yang dihasilkan akan memberikan pengalaman yang menyenangkan

Implikasi dalam perencanaan :

(44)

3.4 Persyaratan Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas 3.4.1 Ukuran Dasar Ruang

Esensi : Ukuran dasar ruang tiga dimensi (panjang, lebar, tinggi) mengacu kepada

ukuran tubuh manusia dewasa, peralatan yang digunakan, dan ruang yang dibutuhkan untuk mewadahi pergerakan penggunanya.

Persyaratan :

1. Ukuran dasar ruang diterapkan dengan mempertimbangkan fungsi

2. Ukuran dasar minimum dan maksimum yang digunakan dalam pedoman ini dapat ditambah atau dikurangi sepanjang asas-asas aksesibilitas dapat tercapai.

3.4.2 Jalur Pemandu

Esensi : Jalur yang memandu penyandang cacat untuk berjalan dengan

memanfaatkan tekstur ubin pengarah dan ubin peringatan.

Persyaratan :

1. Tekstur ubin pengarah bermotif garis-garis menunjukkan arah perjalanan. 2. Tekstur ubin peringatan (bulat) memberi peringatan terhadap adanya perubahan

situasi di sekitarnya/warning.

3. Daerah-daerah yang harus menggunakan ubin tekstur pemandu (guiding blocks): a. Di depan jalur lalu-lintas kendaraan.

(45)

b. Di depan pintu masuk/keluar dari dan ke tangga atau fasilitas persilangan dengan perbedaan ketinggian lantai.

c. Di pintu masuk/keluar pada terminal transportasi umum atau area penumpang.

d. Pada pedestrian yang menghubungkan antara jalan dan bangunan. e. Pada pemandu arah dari fasilitas umum ke stasiun transportasi umum

terdekat.

4. Pemasangan ubin tekstur untuk jalur pemandu pada pedestrian yang telah ada perlu memperhatikan tekstur dari ubin eksisting, sedemikian sehingga tidak terjadi kebingungan dalam membedakan tekstur ubin pengarah dan tekstur ubin peringatan. Untuk memberikan perbedaan warna antara ubin pemandu dengan ubin lainnya, maka pada ubin pemandu dapat diberi warna kuning atau jingga.

3.4.3 Jalur Pedestrian

Esensi : Jalur yang digunakan untuk berjalan kaki atau berkursi roda bagi difabel

secara mandiri yang dirancang berdasarkan kebutuhan orang untuk bergerak aman, mudah, nyaman dan tanpa hambatan.

(46)

1. Permukaan jalan harus stabil, kuat, tahan cuaca, bertekstur halus tetapi tidak licin. Hindari sambungan atau gundukan pada permukaan, kalaupun terpaksa ada, tingginya harus tidak lebih dari 1,25 cm.

2. Kemiringan maksimum 2° dan pada setiap jarak 900 cm diharuskan terdapat bagian yang datar minimal 120 cm.

3. Area istirahat digunakan untuk membantu pengguna jalan difabel dengan menyediakan tempat duduk santai di bagian tepi

4. Pencahayaan berkisar antara 50 -150 lux tergantung pada intensitas pemakaian, tingkat bahaya dan kebutuhan keamanan.

5. Drainase dibuat tegak lurus dengan arah jalur dengan kedalaman maksimal 1,5 cm, mudah dibersihkan dan perletakan lubang dijauhkan dari tepi jalur pedestrian.

6. Lebar minimum jalur pedestrian adalah 120 cm untuk jalur searah dan 160 cm untuk dua arah. Jalur pedestrian harus bebas dari pohon, tiang rambu-rambu, lubang drainase/gorong-gorong dan benda-benda lainnya yang menghalangi.

7.

Tepi pengaman dibuat setinggi maksimal 10 cm dan lebar 15 cm sepanjang jalur pedestrian.

(47)

3.4.4 Ramp

Esesnsi : Ramp adalah jalur sirkulasi yang memiliki bidang dengan

kemiringan tertentu, sebagai alternatif bagi orang yang tidak dapat menggunakan tangga.

Persyaratan:

1. Kemiringan suatu ramp di dalam bangunan tidak boleh melebihi 7°, perhitungan kemiringan tersebut tidak termasuk awalan atau akhiran ramp (curb ramps/landing) Sedangkan kemiringan suatu ramp yang ada di luar bangunan

maksimum 6°.

2. Panjang mendatar dari satu ramp (dengan kemiringan 7°) tidak boleh lebih dari 900 cm. Panjang ramp dengan kemiringan yang lebih rendah dapat lebih panjang.

3. Lebar minimum dari ramp adalah 95 cm tanpa tepi pengaman, dan 120 cm dengan tepi pengaman. Untuk ramp yang juga digunakan sekaligus untuk pejalan kaki dan pelayanan angkutan barang harus dipertimbangkan secara seksama lebarnya, sedemikian sehingga bisa dipakai untuk kedua fungsi tersebut, atau dilakukan pemisahan ramp dengan fungsi sendiri-sendiri.

4. Muka datar (bordes) pada awalan atau akhiran dari suatu ramp harus bebas dan datar sehingga memungkinkan sekurang-kurangnya untuk memutar kursi roda dengan ukuran minimum 160 cm.

(48)

5. Permukaan datar awalan atau akhiran suatu ramp harus memiliki tekstur sehingga tidak licin baik diwaktu hujan.

6. Lebar tepi pengaman ramp/kanstin/low curb 10 cm, dirancang untuk menghalangi roda kursi roda agar tidak terperosok atau keluar dari jalur ramp. Apabila berbatasan langsung dengan lalu-lintas jalan umum atau persimpangan harus dibuat sedemikian rupa agar tidak mengganggu jalan umum.

7. Ramp harus diterangi dengan pencahayaan yang cukup sehingga membantu penggunaan ramp saat malam hari. Pencahayaan disediakan pada bagian-bagian ramp yang memiliki ketinggian terhadap muka tanah sekitarnya dan

bagian-bagian yang membahayakan.

8.

Ramp harus dilengkapi dengan pegangan rambatan (handrail) yang dijamin kekuatannya dengan ketinggian yang sesuai. Pegangan rambat harus mudah dipegang dengan ketinggian 65 – 80 cm.

3.4.5 Tangga

Esensi : Fasilitas bagi pergerakan vertikal yang dirancang dengan

mempertimbangkan ukuran dan kemiringan pijakan dan tanjakan dengan lebar yang memadai.

(49)

Persyaratan :

1. Harus memiliki dimensi pijakan dan tanjakan yang berukuran seragam. 2. Harus memiliki kemiringan tangga kurang dari 60°

3. Tidak terdapat tanjakan yang berlubang yang dapat membahayakan pengguna tangga.

4. Harus dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail) minimum pada salah satu sisi tangga.

5. Pegangan rambat harus mudah dipegang dengan ketinggian 65 – 80 cm dari lantai, bebas dari elemen konstruksi yang mengganggu, dan bagian ujungnya harus bulat atau dibelokkan dengan baik ke arah lantai, dinding atau tiang.

6. Pegangan rambat harus ditambah panjangnya pada bagian ujungnya (puncak dan bagian bawah) dengan 30 cm.

7. Untuk tangga yang terletak di luar bangunan, harus dirancang sehingga tidak ada air hujan yang menggenang pada lantainya.

3.4.6 Pintu

Esensi : Pintu adalah bagian dari suatu tapak, bangunan atau ruang yang

merupakan tempat untuk masuk dan keluar dan pada umumnya dilengkapi dengan penutup (daun pintu).

(50)

Persyaratan :

1. Pintu pagar ke tapak harus mudah dibuka dan ditutup oleh difabel.

2. Pintu keluar/masuk utama memiliki lebar bukaan minimal 90 cm, dan pintu-pintu yang kurang penting memiliki lebar bukaan minimal 80 cm.

3. Di daaerah sekitar pintu masuk sedapat mungkin dihindari adanya ramp atau perbedaan ketinggian lantai.

4. Hindari penggunan bahan lantai yang licin di sekitar pintu

5. Plat tendang yang diletakkan di bagian bawah pintu diperlukan bagi pengguna kursi roda dan tongkat tuna netra.

3.4.7 Toilet

Esensi : Fasilitas sanitasi yang aksesibel untuk semua orang (tanpa

terkecuali penyandang cacat, orang tua dan ibu-ibu hamil) pada bangunan atau fasilitas umum lainnya.

Persyaratan :

1. Toilet atau kamar kecil umum yang aksesibel harus dilengkapi dengan tampilan rambu/simbol dengan sistem cetak timbul “penyandang cacat” pada bagian luarnya.

2. Toilet atau kamar kecil umum harus memiliki ruang gerak yang cukup untuk masuk dan keluar pengguna kursi roda.

(51)

3. Ketinggian tempat duduk kloset harus sesuai dengan ketinggian pengguna kursi roda sekitar (45-50 cm)

4. Toilet atau kamar kecil umum harus dilengkapi dengan pegangan rambat (handrail) yang memiliki posisi dan ketinggian disesuaikan dengan pengguna

kursi roda dan penyandang cacat yang lain. Pegangan disarankan memiliki bentuk siku-siku mengarah ke atas untuk membantu pergerakan pengguna kursi roda.

5. Letak kertas tissu, air, kran air atau pancuran (shower) dan perlengkapan- perlengkapan seperti tempat sabun dan pengering tangan harus dipasang sedemikian hingga mudah digunakan oleh orang yang memiliki keterbatasanketerbatasan fisik dan bisa dijangkau pengguna kursi roda.

6. Semua kran sebaiknya dengan menggunakan sistem pengungkit dipasang pada wastafel, dll.

7. Bahan dan penyelesaian lantai harus tidak licin.

8. Pintu harus mudah dibuka dan ditutup untuk memudahkan pengguna kursi roda.

3.48 Telepon Umum

Esensi : Peralatan komunikasi yang disediakan untuk semua orang yang

(52)

Persyaratan :

1. Telepon umum disarankan yang menggunakan tombol tekan, harus terletak pada lantai yang aksesibel bagi semua orang termasuk penyandang cacat, orang tua, orang sakit, balita dan ibu-ibu hamil.

2. Ruang gerak yang cukup harus disediakan di depan telpon umum sehingga memudahkan penyandang cacat untuk mendekati dan menggunakan telpon.

3. Ketinggian telpon dipertimbangkan terhadap keterjangkauan gagang telpon terhadap pengguna kursi roda 80-100 cm

4. Bagi pengguna yang memiliki pendengaran kurang, perlu disediakan alat kontrol volume suara yang terlihat dan mudah terjangkau.

5. Bagi tuna netra sebaiknya disediakan petunjuk telpon dalam huruf Braille dan dilengkapi juga dengan isyarat bersuara (talking sign) yang terpasang di dekat telpon umum.

6. Panjang kabel gagang telpon harus memungkinkan pengguna kursi roda untuk menggunakan telpon dengan posisi yang nyaman. (± 75 cm).

7. Bilik telepon dapat dilengkapi dengan kursi yang disesuaikan dengan gerak pengguna dan site yang tersedia.

(53)

3.4.9 Area Parkir

Esensi : Area parkir adalah tempat parkir kendaraan yang dikendarai oleh

penyandang cacat, sehingga diperlukan tempat yang lebih luas untuk naik turun kursi roda, daripada tempat parkir yang biasa. Sedangkan daerah untuk menaik-turunkan penumpang (Passenger Loading Zones) adalah tempat bagi semua penumpang, termasuk penyandang cacat, untuk naik atau turun dari kendaraan.

Persyaratan :

1. Tempat parkir penyandang cacat terletak pada rute terdekat menuju bangunan/ fasilitas yang dituju, dengan jarak maksimum 60 meter

2. Area parkir harus cukup mempunyai ruang bebas di sekitarnya sehingga pengguna berkursi roda dapat dengan mudah masuk dan keluar dari kendaraannya;

3. Area parkir khusus penyandang cacat ditandai dengan simbol tanda parkir penyandang cacat yang berlaku;

4. Pada lot parkir penyandang cacat disediakan ram trotoir di kedua sisi kendaraan 5. Ruang parkir mempunyai lebar 370 cm untuk parkir tunggal atau 620 cm untuk

parkir ganda dan sudah dihubungkan dengan ram dan jalan menuju fasilitas-fasilitas lainnya.

6. Kedalaman minimal dari daerah naik turun penumpang dari jalan atau jalur lalu-lintas sibuk adalah 360 cm dan dengan panjang minimal 600 cm

(54)

7. Diberi rambu penyandang cacat yang biasa digunakan untuk mempermudah dan membedakan dengan fasilitas serupa bagi umum.

3.5 Standar Aksesibilitas Pada Bangunan Fasilitas Pelayanan Umum

Tabel 3.1 Standar aksesibilitas pada bangunan fasilitas pelayanan umum Elemen Standar Minimal Standar yang direkomendasikan

Pintu Masuk/

Keluar

o Pintu masuk dan keluar bangunan harus cukup lebar minimal 90 cm dan hendaknya dikonstruksi sedemikian rupa sehingga dapat dilalui oleh

pengguna kursi roda o Dari pintu masuk/keluar

menuju ke meja penerima tamu perlu dilengkapi dengan jalur pemandu

o Pintu bangunan hendaknya dikonstuksi sedemikian rupa sehingga para pengguna kursi roda dapat melaluinya dengan mudah dan lebar pintu minimal 120 cm o Pintu masuk/keluar utama

sebaiknya pintu otomatis, lebar minimal 120 cm, sedangkan pintu masuk/keluar lainnya hendaknya memiliki lebar minimal 90 cm o Pada dasarnya diperlukan jalur

pemandu dari pintu masuk/keluar menuju ke meja penerima tamu Koridor o Lebar koridor minimal 120

cm sehingga pengguna kursi roda dapat melaluinya dan perlu disediakan ruang yang longgar agar pengguna kursi roda dapat berputar o Apabila dalam suatu

bangunan terdapat perbedaan ketinggian lantai , perlu dipasang ramp yang dapat

menghilangkan perbedaan ketinggian tersebut

o Lebar koridor sebaiknya 180 cm atau lebih sehingga dua pengguna kursi roda dapat berpapasan dan merubah arah dengan mudah dan perlu disediakan ruang yang longgar agar pengguna kursi roda dapat berputar. Jika fasilitas ini disediakan, lebar koridor dan lainnya minimal 140 cm

o Apabila dalam suatu bangunan

terdapat perbedaan ketinggian lantai, perlu dipasang alat/sarana seperti ramp yang dapat menghilangkan perbedaan ketinggian lantai

(55)

Tangga o Apabila dalam suatu bangunan terdapat tangga, perlu dipasang pegangan tangan

o Ubin peringatan dan ubin pengarah perlu dipasang pada bagian atas tangga

o Apabila dalam suatu bangunan terdapat tangga, perlu dipasang pegangan tangan pada kedua sisinya

o Tinggi setiap anak tangga maksimal 16 cm dan lebar tapak anak tangga minimal 30 cm

o Pada bagian atas tangga perlu dipasang peringatan

Ramp o Pada ramp perlu dipasang pegangan tangan

o Lebar ramp minimal 120 cm dengan kemiringan 7°-8°

o Ubin peringatan perlu

dipasang pada ramp

o Perlu dipasang pegangan tangan pada kedua sisi ramp

o Lebar ramp sebaiknya 150 cm atau lebih dengan kemiringan 7°-8° atau kurang

o Ubin peringatan perlu dipasang

pada ramp Kamar

mandi

o Pada kamar mandi

minimal disediakan satu kloset duduk untuk digunakan pengguna kursi roda

o Pada prinsipnya 2% atau lebih dari jumlah kloset yang tersedia pada setiap lantai bangunan sebaiknya berupa kloset duduk yang dapat dipergunakan pengguna kursi roda Area

parkir

o Pada area parkir, perlu disediakan minimal satu tempat parkir untuk pengguna kursi roda dengan lebar minimal 350 cm

o Pada prinsipnya minimal 2% dari tempat pakir dalam suatu area sebaiknya diperuntukkan bagi pengguna kursi roda. Lebar tempat parkir adalah 350 cm.

(56)

BAB IV

METODOLOGI PENELITIAN

4.1 Pendahuluan

Dalam melakukan kajian aksesibilitas difabel pada ruang publik kota, metoda penelitian yang digunakan yaitu :

1. Metoda kuantitatif dengan metoda survey dan membagikan kuesioner kepada responden dalam jumlah tertentu. Kuesioner yang dibagikan berupa gabungan dari kuesioner berstruktur dan tidak berstruktur.

2. Metoda kualitatif yaitu dengan metoda wawancara.

Untuk melakukan penilaian elemen aksesibilitas tehadap sarana aksesibilitas publik di kawasan Lapangan Merdeka dimana penilaian tersebut diklasifikasikan atas 4 (empat) kelompok difabel yaitu : tuna netra, tuna rungu, tuna daksa pengguna kruk dan tuna daksa pengguna kursi roda.

Guna menganalisa kajian sarana aksesibilitas publik di kawasan Lapangan Merdeka ada 2 (dua) standar yang digunakan untuk kriteria penilaian elemen aksesibilitas :

1. Persyaratan Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No.30/PRT/M/2006 )

(57)

4.2 Tahapan Penelitian

1. Menentukan Objek dan Batasan Penelitian

a. Penelitian ruang luar (outdoor) dibatasi pada kajian aksesibilitas kaum difabel pada fasilitas umum di ruang terbuka sebagai ruang publik kota.

b. Lingkup pembahasan dalam penelitian ini hanya membahas aspek fisik. c. Penelitian dalam bangunan (indoor) hanya akan dilakukan pada bangunan

stasiun kereta api sebagai salah satu pintu masuk kota Medan. 2. Hipotesis

a. Sarana aksesibilitas di Kawasan Lapangan Merdeka belum aksesibel untuk kaum difabel

b. Sarana aksesibilitas di kawasan Lapangan Merdeka belum memenuhi kriteria kemudahan, kegunaan, keselamatan dan kemandirian untuk kaum difabel. 3. Studi Banding

a. Dalam penelitian ini yang menjadi studi banding adalah penelitian pada kawasan Bukit Bintang Kuala Lumpur. Studi banding ini dilakukan atas dasar kesamaan fungsi kawasan sebagai ruang publik kota .

4. Pengumpulan Data

a. Data Primer, berupa hasil pengamatan langsung di lapangan yaitu dengan membagikan kuesioner kepada 100 orang kaum difabel ynag pernah berkunjung ke kawasan Lapangan Merdeka dan melakukan observasi/ pengukuran pada sarana aksesibilitas umum di kawasan Lapangan Merdeka.

(58)

I. Tahap-tahap persiapan kuesioner

II. Jumlah kuesioner : 100 lembar

III. Jumlah pertanyaan : 15 pertanyaan

IV. Distribusi kuesioner :

V. Kuesioner ditujukan kepada kaum difabel yang sudah pernah berkunjung ke

kawasan Lapangan Merdeka. Perhitungan distribusi kuesioner berdasarkan jumlah populasi kaum difabel Kota Medan

1) 39 lembar, ditujukan kepada kaum difabel tuna netra

2) 22 lembar, ditujukan kepada kaum difabel tuna daksa pengguna kruk

3) 22 lembar, ditujukan kepada kaum difabel tuna daksa pengguna kursi

roda

4) 17 lembar, ditujukan kepada kaum difabel tuna rungu

VI. Observasi/ pengukuran

1) Segmentasi Kawasan

2) Dokumentasi

3) Pengukuran, diawali dari luar bangunan (outdoor) sampai ke dalam

bangunan (indoor)

4) Elemen penelitian meliputi pedestrian, ramp, tangga, pintu masuk,

telepon umum, loket, area informasi, toilet umum, kantin dan tempat ibadah.

(59)

b. Data sekunder , berupa data yang diperoleh dari studi literatur 5. Analisa Data

Guna menganalisa kajian sarana aksesibilitas publik di kawasan Lapangan Merdeka ada 2 variabel untuk kriteria penilaian aksesibilitas :

a. Persyaratan Teknis Fasilitas dan Aksesibilitas (Peraturan Menteri

Pekerjaan Umum No.30/PRT/M/2006 ).

b. Rangkuman Standar Aksesibilitas tabel 2.5.1 (United Nations, 1995).

Kemudian dilakukan metoda multi exposed yaitu dengan melakukan pemeriksaan silang terhadap data standar aksesibilitas dengan data yang ditemui di lapangan.

Tabel 4.1 Penilaian Elemen Aksesibilitas

Netra Rungu Kruk K.Roda Penilaian

Nama Elemen Aksesibilitas No Variabel Data Standar

Komentar

Tuna netra………. Tuna rungu……… Tuna daksa pengguna kruk………

Untuk tuna daksa pengguna kruk elemen aksesibilitas……… Untuk tuna daksa pengguna kursi roda elemen aksesibilitas………. Tuna daksa pengguna kursi roda……….. Kesimpulan

Untuk tuna netra elemen aksesibiltas……….. Untuk tuna rungu elemen aksesibilitas………

(60)

Tabel 4.2 Klasifikasi Difabel

No Keterangan

1 Difabel dalam hal penglihatan

2 Difabel dalam hal pendengaran

3 Difabel fisik dengan alat bantu kruk

4 Difabel fisik dengan alat bantu kursi roda

Klasifikasi

Tuna Netra Tuna daksa pengguna kruk Tuna daksa pengguna kursi roda

Tuna rungu

Sumber : Himpunan Wanita Penyandang Cacat (HWPCI) Pusat

Tabel 4.3 Kriteria Penilaian

No Kriteria Penilaian Skor Keterangan

1 Akses 1 Kaum difabel dapat akses

2 Akses Tidak Memadai 0.5 Kaum difabel dapat akses tetapi elemen

aksesibiitas tidak memenuhi standar

3 Tidak Akses 0 Kaum difabel memerlukan bantuan untuk akses

Sumber : Himpunan Wanita Penyandang Cacat (HWPCI) Pusat

Tabel 4.4 Kriteria Skor

No Kisaran Skor Kriteria Skor Keterangan

1 A/ (skor =4) Aksesibilitas Baik Aksesibel Sempurna Standar

2 B/3 Aksesibilitas Cukup Aksesibel Sebagian Standar

3 C/2 Aksesibilitas Kurang Kurang Aksesibel 4 D/1 Tidak Ada Aksesibilitas Tidak Aksesibel

Komentar yang diberikan oleh kaum difabel ketika mengakses kawasan Lapangan Merdeka digunakan untuk menentukan permasalahan fisik sarana aksesibilitas yang menghambat aksesibilitas kaum difabel dalam mengakses kawasan Lapangan Merdeka sebagai ruang publik kota

Sumber : Himpunan Wanita Penyandang Cacat (HWPCI) Pusat

5. Temuan dan Kesimpulan 6. Rekomendasi dan Saran

(61)

BAB V

DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN

5.1 Gambaran Umum

Kawasan Lapangan Merdeka terletak di pusat kota dengan luas ± 5 hektar. Pada kawasan ini, ruang terbuka menggunakan lahan sekitar 60%. Lapangan Merdeka dan Lapangan Benteng memiliki peranan penting dalam struktur kawasan dan core kota Medan pada umumnya.

Gambar 5.1 Lokasi Penelitian, insert : Peta Kota Medan

Kawasan Lapangan Merdeka didominasi oleh fungsi perkantoran. Hal-hal yang paling khusus dari kawasan ini adalah bangunan-bangunan bersejarah dan

(62)

188.342/789/SK/1991 tentang Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Medan Nomor 5 tahun 1990, bahwa Lapangan Merdeka tergolong sebagai taman klasifikasi A, yang memiliki kriteria terletak di pusat wilayah dengan daerah pelayanan radius 2000-10000 m², dan luas area 10000-50000 m². Berdasarkan peraturan tersebut Lapangan Merdeka harus dapat melayani lebih dari 25000 penduduk kota Medan.

Gambar 5.2 Peta Kegiatan di kawasan Lapangan Merdeka

Keterangan peta aktivitas publik di Kawasan Lapangan Merdeka- Lapangan Benteng : 17. Blok Komersial 18. Kantor Walikota 19. Pusat Perbelanjaan 20. Gedung DPR 21. Lapangan Upacara 22. Perbankan 23. Pusat Onderdil 9. Perbankan 10. Hotel 11. Bank Sentral 12. Perbankan 13. Kantor Swasta 14. Kantor Asuransi 15. Perbankan 1. Lapangan Upacara 1. Lapangan Olahraga 2. Pujasera 3. Pasar Buku

4. Stasiun Kereta Api 5. Kantor Pos Pusat 6. Perbankan

(63)

5.2 Segmentasi Kawasan

Untuk mempermudah dalam mendeskripsikan dan menganalisis kawasan Lapangan Merdeka maka kawasan dibagi atas 2 segmen, yang masing-masing terdiri dari :

Gambar 5.3 Segmentasi Kawasan

1. Segmen A : Lapangan Merdeka

a. Terdiri dari 5 sub segmen yaitu koridor jalan Balai Kota, koridor jalan Bukit Barisan, koridor jalan Kereta Api, koridor jalan Pulau Pinang dan Lapangan Merdeka.

(64)

5.3 Segmen A (Lapangan Merdeka) 5.3.1 Peruntukan Lahan

Lokasi Lapangan Merdeka terletak di pusat kota Medan tepatnya di kecamatan Medan Barat, dengan luas ±4,7 ha. Dalam studi kasus ini Lapangan Merdeka dikelilingi oleh empat koridor jalan satu arah yaitu jalan Balai Kota, jalan Bukit Barisan, jalan Kereta Api dan jalan Pulau Pinang.

Peruntukan lahan di segmen Lapangan Benteng didominasi oleh ruang terbuka (66%), selanjutnya perbankan (15%), komersil (6%), hotel (6%), perkantoran milik swasta (2%), perkantoran milik pemerintah (1.2%), pertokoan (0,8%), kantor pos (0,1%), kantor polisi (0,07%) dan mushalla (0,03%). Hal-hal yang paling khusus dari segmen ini adalah bangunan bersejarah dan Lapangan Merdeka.

(65)

Gambar 5.4 Peruntukan Lahan Segmen A

5.3.2 Jalur Pedestrian dan Vegetasi

Keempat koridor jalan di segmen Lapangan Merdeka memiliki jalur pedestrian dua arah dan tidak semua koridor jalan memiliki fasilitas penyeberangan. Selain di keempat koridor jalan juga terdapat jalur pedestrian yang berada di dalam Lapangan Merdeka.

Jenis-jenis pohon yang terdapat di dalam Lapangan Merdeka antara lain :

Gambar 5.5 Jalur Vegetasi dan Pedestrian

1. Pohon Trambesi, dalam bahasa latin Samanea Saman yang sering disebut pohon ‘Ki Hujan’. Pohon-pohon tersebut rata-rata berumur 110 tahun

2. Pohon Seri, selain pohon ‘Ki Hujan’ juga terdapat pohon seri yang ditanam sejajar koridor jalan Balai Kota.

(66)

3. Pohon Palem, ditanam sejajar mengelilingi lintasan dalam.

4. Pohon Cemara, hanya terdapat beberapa batang di dalam Lapangan Merdeka 5. Pohon peneduh, yang terdapat di sepanjang lintasan tengah sebagai pembatas

antara lintasan tengah dan lintasan luar. Selain pohon-pohon peneduh juga terapat tanaman- tanaman hias.

Gambar 5.6 Kondisi Jalur Vegetasi dan Pedestrian

Pada keempat koridor jalan ditanami pohon yang bersifat visual dan tidak memberi kontribusi untuk kenyamanan jalur pejalan kaki.

(67)

5.3.3 Utilitas

Sistem utilitas di segmen Lapangan Benteng masih belum menggunakan sistem jaringan terpadu. Penyediaan prasarana umum seperti air bersih, listrik, telepon dan drainase terletak menyebar khususnya di bawah jalur utama pejalan kaki

dan badan jalan.

(68)

5.3.4 Muka Jalan (Streetscape)

Pembagian sub segmen pada masing-masing koridor jalan terbagi menjadi 2 sub segmen kecuali koridor jalan Kereta Api. Pembagian sub segmen pada masing-masing koridor jalan adalah : koridor jalan Balai Kota terbagi menjadi segmen C1-1 dan segmen C1-2 ; koridor jalan Bukit Barisan terbagi menjadi segmen C1-1 dan segmen C2-2; koridor jalan Kereta Api terbagi menjadi segmen C3-1 dan segmen C3-2; koridor jalan Pulau Pinang terbagi menjadi segmen C4-1 dan segmen C4-2.

Gambar

Gambar   2.1 Keyplan Bangunan di Lapangan Merdeka
Gambar 5.23 Sarana aksesibilitas untuk difabel pada jalur pedestrian
Gambar 5.28 Tangga outdoor di kawasan Bukit Bintang Kuala Lumpur
Gambar 5.29 Toilet umum portable di kawasan Bukit Bintang  Kuala Lumpur
+7

Referensi

Dokumen terkait

Karakterisasi kompleks DDI-NKT dan DDI-ARG meliputi, analisis dengan mikroskop polarisasi, difraksi sinar-X serbuk, uji kelarutan, dan stabilitas kimia pada larutan dapar pH 1,2;

Ali, “Rekonfigurasi Jaringan Distribusi Radial Untuk Mengurangi Rugi Daya Pada Penyulang Jatirejo Rayon Mojoagung Menggunakan Metode Binary Particle Swarm

Peserta kelompok mata pelajaran dibagi kelompok kecil (2 – 3 orang) masing-masing menyusun rencana pembelajaran yang sesuai dengan mata pelajaran dan kelas masing-masing (satu

BAB I : PENDAHULUAN.. Bangsa Indonesia lahir dan menjadi besar karena berbagai nilai-nilai yang dianut penduduknya. Nilai budaya ini menjadi salah satu landasan pembentuk karakter

Hal ini dilakukan berdasarkan hasil penelitian terdahulu, bahwa ternak dengan bobot kawin untuk pertama kalinya antara 19-20 kg atau lebih dapat menghasilkan daya hidup anak

Tumbuan, Fred BG, Tanggung Jawab Direksi Dan Komisaris Serta RUPS Perseroan Terbatas, Makalah kuliah S2 Fakultas Hukum universitas Indonesia Tahun Ajaran 2001 – 2002.

2) Wawancara, hasil wawancara yang diperoleh akan digunakan sebagai data penunjang dalam penelitian ini. Data tersebut diperoleh dari pihak-pihak yang telah ditentukan sebagai

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ………... Unsur-unsur stilistika yang terdapat dalam geguritan Solopos bulan Desember 2012………... Nilai-Nilai Pendidikan……… ...