• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Jurnal Ilmiah Penegakan Hukum

Available online http://ojs.uma.ac.id/index.php/gakkum

Penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor

184/PMK.03/2015 Tentang Pemeriksaan Terkait

Pengajuan Restitusi Pajak (Studi: CV. AA)

Application of Regulation of the Minister of Finance Number

184/PMK.03/2015 Concerning Audit Regarding Submission

of Tax Restitution (Study: CV. AA)

Ivan Jovi Hutauruk*, Budiman Ginting, Sunarmi & Jelly Leviza

Fakultas Hukum, Universitas Sumatera Utara, Indonesia Diterima: Desember 2020; Disetujui: Juni 2021; Dipublish: Juni 2021

*Coresponding Email: Ivanjovi64@gmail.com Abstrak

Pajak merupakan penerimaan Negara yang mempunyai peranan sangat penting dalam menopang perekonomian Negara, yaitu digunakan dalam pembiayaan Negara dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. Restitusi pajak secara umum berkaitan dengan hak dari wajib pajak untuk mendapatkan pengembalian uang pajak yang telah dibayarkan. Istilah restitusi pajak ini tercantum dalam Undang-Undang No 16 Tahun 2009 tentang Ketentuan Umum Perpajakan ( UU KUP). Tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab pemasalahan hukum terkait tentang restitusi pajak terkait peraturan Menteri Keuangan. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif. Hasil penelitian. Pelindungan hukum terhadap hak-hak wajib pajak sebagaimana dapat diartikan sebagai upaya melindungi wajib pajak dari kesewenangan tindak pemerintahan di bidang perpajakan dan pengaturan prosedur administrasi agar wajib pajak dapat menerima hak-haknya Kesesuaian penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pemeriksaan dengan pelaksanaan kewenangan fiskus.

Kata Kunci: Pajak; Restitusi; Pemeriksaan; Penerapan Peraturan; Abstract

Taxes are state revenues that have a very important role in supporting the country's economy, which is used in state financing for the purpose of community welfare. In general, tax restitution relates to the right of the taxpayer to get a refund of the tax paid. The term tax restitution is contained in Law No. 16 of 2009 concerning General Tax Provisions (UU KUP). The purpose of this study is to answer legal issues related to tax refunds related to the regulation of the Minister of Finance. The research method used is normative juridical. Research result. Legal protection of the rights of taxpayers as can be interpreted as an effort to protect taxpayers from arbitrary acts of government in the field of taxation and regulation of administrative procedures so that taxpayers can receive their rights Conformity with the implementation of Regulation of the Minister of Finance Number 184 / PMK.03 / 2015 concerning Governance Examination method by exercising the authority of the tax authorities.

Keywords: Tax; Restitution; Examination; Application of Regulations;

How to Cite: Hutauruk, I.J. Ginting, B. Sunarmi, & Leviza, J. (2021). Penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 Tentang Pemeriksaan Terkait Pengajuan Restitusi Pajak (Studi : CV. AA), Jurnal Ilmiah Penegakan

(2)

19 PENDAHULUAN

Peran negara dalam sektor pajak sangat penting dalam menopang perekonomian Negara, yaitu digunakan dalam pembiayaan Negara dengan tujuan kesejahteraan masyarakat. (Pramukti Fuady Primaharsya, 2018) Pencapaian tujuan tersebut diperlukan adanya kerja sama antara pemerintah dengan masyarakat. Negara dituntut untuk memberikan pelayanan yang terbaik agar masyarakat berperan aktif dalam melaksanakan kegiatan perpajakan. Pemberian layanan (melayani) keperluan orang atau masyarakat berkaitan dengan perihal perpajakan yang mempunyai kepentingan pada organisasi itu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan (Dewantara, 2016).

Pungutan pajak yang diwajibkan dari pemerintah ini memiliki dasar hukum yang kuat dimana telah disebutkan pada Pasal 23 A Undang-Undang Dasar 1945 tentang kontribusi warga Negara dalam bentuk pajak yang berbunyi “Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan Negara diatur dengan Undang-Undang”(Pudyatmoko, 2009).

Restitusi pajak secara umum berkaitan dengan hak dari wajib pajak untuk mendapatkan pengembalian uang pajak yang telah dibayarkan Pengembalian uang pajak tersebut terjadi karena adanya pajak yang lebih dibayar atau pajak yang tidak terutang. Restitusi pajak bukan hanya berlaku untuk PPN saja, restitusi pajak juga dapat berlakuuntuk jenis pajak yang lain yang apabila dalam pembayaran pajak terjadi kelebihan pembayaran atas pemungutan pajak, dan oleh karenanya wajib pajak berhak menerima pengembalian pembayaran tersebut. Sesuai dengan asas keadilan, bahwa bila wajib pajak kurang dalam membayar pajak akan dikenakan penagihan dan denda, maka sebaliknya bila terjadi kelebihan pembayaran pajak, harus dikembalikan (Soetjipto, 2004).

Adapun Pemeriksaan pajak yang menjadi objek penelitian ini ialah pemeriksaan pajak yang terjadi di wilayah Sumatera Utara, khususnya di kota Tebing Tinggi, dalam Pemeriksaan Pajak terkait pengajuan Restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pemeriksaan tersebut bermula dari pengajuan kelebihan pembayaran pajak oleh sebuah badan usaha yaitu CV. Azmi Abdillah (selanjutnya disebut CV

AA) yang mengajukan Restitusi (kelebihan pembayaran pajak) dalan jenis pajak PPN sebesar Rp. 43.946.937 (empat puluh tiga juta sembilan ratus empat puluh enam ribu Sembilan ratus tujuh puluh tiga rupiah) akhir tahun 2017.

Proses pemeriksaan terhadap CV AA yang berlangsung lama membuat pihak dari wajib pajak merasa tidak mendapatkan kepastian hukum atas pengajuan yang telah menjadi hak daripada wajib pajak. Seharusnya pelaksanaan proses pemeriksaan tersebut sebagaimana yang telah diatur pada Peraturan Menteri Keuangan nomor 184/PMK.03/2015 Tentang Tata Cara Pemeriksaan pada Pasal 15 ayat 2 telah diatur jangka waktu untuk proses pemeriksaan lapangan dalam hal ini berbunyi “apabila Pemeriksaan dilakukan dengan jenis pemeriksaan lapangan, jangka waktu penguji sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 6 (enam) bulan, yang dihitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada wajib pajak.

METODE PENELITIAN

Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dan bersifat deskriptif analitis dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konseptual (conceptual approach), dan pendekatan kasus (case approach) (Marzuki, 2017). Sumber data yang dipergunakan pada penetian ini adalah data sekunder yang terdiri dari, bahan hukum primer, bahan sekunder dan bahan hukum tersier. Metode pengumpulan data adalah Studi kepustakaan (Library

Research) dan Studi lapangan (Field Research)

untuk lebih mengembangkan penelitian ini. Penelitian dengan menggunakan metode analisis data kualitatif yang berdasarkan asumsi mengenai realitas.(Marzuki, 2017) Dan Penelitian juga didukung dengan wawancara dengan pimpinan dari CV.AA. dan beberapa informan dan beberapa narasumber dari KPP Tebing Tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kedudukan Para Pihak Yang Terlibat Dalam Proses Restitusi Pajak Sampai Dengan Dilakukannya Pemeriksaan Pajak

Perpajakan di Indonesia diatur melalui Pasal 23A UUD 1945 dan peraturan lainnya seperti UU No. 28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Ali, 2016). Berdasarkan Pasal 1 ayat 1 UU KUP,

(3)

20 pengertian Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Sutedi, 2016)

Pajak dari perspektif hukum menurut Soemitro seperti apa yang dituliskan oleh Adrian Sutedi dalam bukunya Hukum Pajak adalah suatu perikatan yang timbul karena adanya undang-undang yang menyebabkan timbulnya kewajiban warga negara untuk menyetorkan sejumlah penghasilan tertentu kepada negara, negara mempunyai kekuatan untuk memaksa, dan uang pajak tersebut harus digunakan untuk penyelenggaraan pemerintahan. Dari pendekatan hukum ini menurut Adrian Sutedi memperlihatkan bahwa pajak yang dipungut harus berdasarkan undang-undang sehingga menjamin adanya kepastian hukum, baik bagi fiskus sebagai pengumpul pajak maupun wajib pajak sebagai pembayar pajak (Rochmat, 2004).

Koordinasi dan pemahaman bersama pentingnya penerimaan pajak merupakan kata kunci dalam upaya mengoptimalkan setoran pajak. Untuk dapat mencapai target penerimaan pajak, dibutuhkan koordinasi dan pemahaman bersama semua pihak yang terkait dengan masalah perpajakan. Berbagai pihak yang terkait perpajakan tersebut antara lain meliputi seluruh instansi pemerintahan dan aparatur perpajakan, serta seluruh wajib pajak (WP), baik perusahaan maupun perseorangan. Untuk mencapai target Pajak Nasional dibutuhkan koordinasi antar para pihak paling tidak lima instansi untuk mencapai target penerimaan pajak. Jadi idealnya bukan tugas Ditjen Pajak sendirian. Sangat tidak fair jika beban pajak hanya dibebankan pada Ditjen Pajak saja. Jika berbicara target penerimaan pajak maka dibutuhkan banyak pihak yang terkait dalam sistem perpajakan, untuk lebih aktif dalam merealisasikan target penerimaan pajak tersebut. Adapun pihak-pihak yang seharusnya dilibatkan bersama-sama bekerja dengan DJP adalah : (Advianto, 2018)

a. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) b. Aparat Pengadilan

c. Konsultan Pajak.

d. Ombudsman perpajakan

Terkait koordinasi dalam pemeriksaan, penagihan dan penyidikan pajak selft

assessment dilakukan untuk mengetahui benar

tidaknya data-data keterangan yang diberikan wajib pajak dimana tujuannya agar bisa diambil keputusan apakah perlu dilakukan penagihan atau bahkan penyidikan dan tindakan selanjutnya sesuai hukum ketentuan perpajakan. Koordinasi perlu dilakukan kepada semua instansi yang terkait dengan keberadaan wajib pajak. Karena wajib pajak sangat banyak maka yang perlu dilakukan adalah melakukan koordinasi dimana yang prioritaskan pada wajib pajak sesuai dengan fokus pemeriksaan Nasional yang ditetapkan, baik sektor usaha (badan) maupun fokus pemeriksaan pada Wajib Pajak Orang pribadi (Marhot, 2010).

Adapun hak dari wajib pajak ialah sebagai berikut:

a. Wajib pajak mempunyai hak untuk menerima tanda bukti pemasukan Surat Pemberitahuan.

b. Wajib pajak mempunyai hak mengajukan permohonan penundaan penyampaian surat pemberitahuan.

c. Wajib pajak mempunyai hak untuk melakukan pembetulan sendiri Surat Pemberitahuan (SPT) yang telah dimasukkan.

d. Wajib pajak mempunyai hak untuk mengajukan permohonan penundaan dan pegangsuran pembayaran pajak sesuai dengan kemampuannya.

e. Wajib pajak berhak mengajukan permohonan pengambilan kelebihan pembayaran pajak serta memperoleh kepastian terbitnya Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran Pajak.

f. Wajib pajak berhak mengajukan permohonan pembetulan salah tulis atau salah hitung atau kekeliruan yang terdapat dalam Surat Ketettapan Pajak (SKP) dalam penerapan peraturan Perundang-undangan Perpajakan.

g. Wajib pajak berhak mengajukan keberatan dan berhak atas kepastian terbitnya surat keputusan atas surat permohonan keberatannya.

h. Wajib pajak berhak mengajukan Permohonan Banding atas surat keberatan

(4)

21 yang telah diputuskkan oleh Direktur Jendral Pajak.

i. Wajib Pajak berhak mengajukan Permohonan Penghapusan atau Pengurangan Pengenaan Sanksi Perpajakan serta pembetulan ketetapan pajak yang salah atau keliru.

Berikut ini syarat yang perlu dipenuhi wajib pajak untuk mendapatkan percepatan pemberian restitusi PPh dan PPN: (Bohari,1993)

a. Ada tiga kategori wajib pajak yang berhak mendapatkan percepatan restitusi. Pertama, wajib pajak orang pribadi yang memiliki lebih bayar di bawah atau sama dengan Rp100 juta. Kedua, wajib pajak badan yang lebih bayar di bawah atau sama dengan Rp1 miliar. Ketiga, PKP dengan lebih bayar di bawah atau sama dengan Rp1 miliar.

b. Wajib pajak yang tepat waktu dalam menyampaikan SPT, tidak memiliki tunggakan pajak, laporan keuangan telah diaudit dan mendapatkan opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) selama 3 tahun berturut-turut, dan tidak pernah dipidana di bidang perpajakan dalam kurun waktu 5 tahun terakhir.

c. PKP berisiko rendah yang ditetapkan menteri keuangan. Dalam hal ini PKP yang dimaksud adalah perusahaan terbuka (go public), BUMN/BUMD, eksportir mitra utama kepabeanan (MITA) atau reputable

trader yang profilnya dimiliki oleh Ditjen

Bea Cukai.

Adapun permohonan pengembalian kelebihan pajak baik PPh, PPN, dan/atau PPnBM dapat dikembalikan (restitusi) dalam hal Pajak yang lebih dibayar sebagaimana tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar dimana seharusnya setelah melakukan pemeriksaan, kemudian Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang.” Setelah meneliti kebenaran pembayaran pajak, berdasarkan permohonan Wajib Pajak, Direktur Jenderal Pajak menerbitkan Surat Ketetapan Pajak Lebih Bayar apabila terdapat pembayaran pajak yang seharusnya tidak terutang, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.”

Proses restitusi pajak sampai dengan pemeriksaan pajak dimulai dari permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dapat disampaikan melalui SPT dengan memilih pilihan restitusi pada SPT ataupun dengan status SPT Lebih Bayar. Dalam pengajuan pengembelian kelebihan bayar, wajib pajak dapat memilih untuk dilakukan proses Pengembalian Pendahuluan maupun proses Restitusi biasa. Proses Pengembalian Pendahuluan hanya dapat dilakukan untuk Wajib Pajak tertentu. Proses pengembalian lebih cepat karena hanya dilakukan penelitian namun di masa yang akan datang dimungkinkan dilanjutkan dengan pemeriksaan apabila ditemukan data baru. Sementara untuk proses restitusi selain pengembalian pendahuluan, proses pengembalian dilakukan melalui pemeriksaan. Jangka waktu pengembalian paling lama 12 (dua belas) bulan sejak surat permohonan diterima secara lengkap. Apabila dalam penyampaian SPT menyatakan lebih bayar namun tidak disertai permohonan Pengembalian Pendahuluan, sehingga tidak diterbitkan Surat Keputusan Pengembalian Pendahuluan Kelebihan Pajak, maka akan ditindaklanjuti dengan prosedur pemeriksaan. Pelindungan Hukum Terhadap Pihak Yang Dirugikan Terkait Dengan Pemeriksaan Restitusi Pajak Terhadap CV AA Di KPP Tebing Tinggi

Setiap pajak yang dipungut oleh pemerintah harus berdasarkan Undang-Undang, sehingga tidak mungkin ada pajak yang hanya dipungut berdasarkan keputusan Presiden atau berdasarkan peraturan pemerintah atau berdasarkan peraturan-peraturan lain yang lebih rendah dari pada undang-undang. Peraturan pemerintah pengganti undang-undang mempunyai kedudukan yang sama dengan undang-undang. Pengembalian kelebihan pembayaran pajak (restitusi) terjadi apabila jumlah kredit pajak atau jumlah pajak yang dibayar lebih besar daripada jumlah pajak yang terutang atau telah dilakukan pembayaran pajak yang tidak seharusnya terutang, dengan catatan Wajib Pajak tidak punya hutang pajak lain. Proses pengajuan restitusi pajak didasarkan pada permohonan yang diajukan oleh Wajib Pajak. Hal ini dikarenakan adanya kelebihan atas pembayaran pajak yang dilakukan oleh Wajib

(5)

22 Pajak atau wajib pajak tidak dapat mengkreditkan pajak masukkannya. Untuk mengetahui ada atau tidaknya kelebihan atas pembayaran pajak maka perlu dilakukan pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak merupakan sebuah proses uamh kewenangannya ada pada Direktorat Jendral Pajak. Kewenangan tersebut didasarkan pada Pasal 29-31 Undang-undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan. Sekalipun Direktur Jendral Pajak diberikan kewenangan ini, tetapi pelaksanaanya tidak dijalankan oleh Direktur Jendral Pajak seorang dirim melainkan juga oleh aparat perpajakan yang jumlahnya cukup banyak. Untuk itu, diperlukan acuan yang dapat digunakan sebagai pedoman dan pegangan dalam pelaksanaan kewenangan tersebut agar dapat berjalan dengan konsisten (Sugiharti, 2004).

Peran pemerintah dalam memberikan pelindungan hukum terhadap wajib pajak yakni membentuk regulasi yang bisa memberikan pelindungan kepada wajib pajak, Dalam kaitan dengan hukum administrasi dalam hal ini administrasi perpajakan, pelindungan hukum terhadap hak-hak wajib pajak bertujuan melindungi wajib pajak dari tindakan pemerintahan dalam bidang administrasi perpajakan (Nursadi, 2018). Dengan “tindak pemerintahan” sebagai titik sentral dikaitkan dengan pelindungan hukum dibedakan dua macam pelindungan hukum bagi rakyat, yaitu pelindungan hukum yang preventif, dan pelindungan hukum yang represif (Ali, 2015)

Pelindungan hukum secara prefentif yang dapat diberikan oleh DPJ kepada wajib pajak dalam hal ini CV AA berupa pelayanan, penegakan hukum, dan pengawasan. Selain itu DJP juga memberikan kesempatan kepada wajb pajak untuk menanggapi hasil pemeriksaan sementara yang disampaikan kepada wajib pajak sebelum dilakukannya pembahasan akhir yang dilaksanakan secara bersama-sama. Hal ini bertujuan agar ketetapan yang dikeluarkan oleh DJP tidak dianggap sepihak dan mencegah terjadinya upaya hukum lain yang dilakukan oleh wajib pajak atas ketetapan tersebut.

Sedangkan bentuk pelindungan hukum refresif bagi wajib pajak terhadap pemeriksaan restitusi pajak atas pengajuan permohonan pengembalian kelebihan pembayaran pajak dengan surat ketetapan pajak yang diterbitkan

berdasarkan hasil pemeriksaan restitusi pajak ialah berupa upaya hukum keberatan, apabila dalam upaya keberatan tidak mendapatkan hasil yang memuaskan wajib pajak, maka terbuka ruang untuk mengajukan upaya banding di tingkat peradilan pajak. Apabila dalam upaya banding juga tidak ditemukan hasil yang memuaskan bagi wajib pajak, maka upaya hukum terakhir yang dapat diberikan ialah peninjauan kembali ke Mahkamah Agung (Primaharsaya, 2015).

Kewenangan untuk melakukan pemeriksaan pajak telah diatur di dalam Pasal 17 B Ayat (1) Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009, yaitu Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (Zuhdi, 2018)

Serangkaian kewenangan tersebut merupakan tindakan hukum pejabat pajak (Fiskus), tindakan hukum adalah tindakan yang akan menimbulkan akibat hukum dan hak dan kewajiban tertentu dibidang hukum (Ardiyansyah & Dewantara, 2016). Terdapat 4 (empat) variasi dari tindakan hukum, yaitu (Sudiatmoko, 2007):

1) Norma hukum umum dan abstrak (algemeene-abstrac), yang di artikan oleh Ten Berge sebagai;

a) Dari segi waktu, tidak hanya berlaku pada waktu tertentu (untuk seluruh waktu selama tindakan hukum tersebut masih berlaku, bukan hanya waktu tertentu saja)

b) Tempat, tidak terbatas pada tempat tertentu (di seluruh wilayah Negara, bukan di daerah tertentu)

c) Orang, tidak hanya berlaku untuk orang tertentu (semua subjek hukum, bukan individu-individu tertentu) d) Fakta yang harus luas dan

berulang-ulang (bukan hanya fakta tertentu dan dalam peristiwa yang khusus/hanya satu saja).

Bentuk norma hukum Umum-Abstrak adalah Undang-undang, Peraturan Pemerintah,

(6)

23 Peraturan Mentri, Peraturan Daerah, Peraturan Kepala Daerah.

2) Norma hukum umum dan abstrak dalam situasi individual dan kongkret

(Indiviuele-concrete).

Norma hukum individual ini merupakan penerapan dari norma hukum umum-abstrak tersebut. Dalam literature norma individual-kongkret ini disebut dengan keputusan (beschikking) dalam bahasa belanda (verwaltung dalam bahasa jerman). Istilah beschiking ini juda dapat diterjemahkan menjadi penetapan.

3) Norma hukum umum dan konkret

Suatu norma hukum yang ditunjukan untuk umum dan perbuatannya sudah tertentu, misalnya penerapan rambu lalu lintas. Rambu itu untuk umum (kendaraan bermesin) tetapi di titik rambu tersebut ada larangan atau kebolehan yang konkret.

4) Norma hukum Individual dan Abstrak Suatu norma hukum yang ditunjukan untuk seorang atau orang-orang tertentu dan perbuatannya bersifat abstrak.

Tindakan hukum atau kewenangan yang dibahas dalam penelitian ini hanya terkait dengan norma Individual-Kongkret, yaitu keputusan yang dikeluarkan oleh Ditjen pajak, melalui pejabatnya kepada Wajib Pajak yakni tindakan hukum pejabat pajak dalam melaksanakan tugasnya berupa tindakan nyata dan tindakan hukum. Tindakan nyata pejabat pajak yang dilakukan dalam hal pembinaan dan pengawasan kepada wajib pajak. Dalam hal pejabat melakukan pemeriksaan, wajib pajak yang konsultasi, melakukan pernghitunhgan, dan seluruh kegiatan administrasi perpajakan. Tindakan hukum pejabat pajak baru dilakukan bila pejabat pajak tersebut dengan kewenangannya mengeluarkan suatu keputusan. Dalam perpajakan keputusan lebih sering disebut penetapan. (Admosudirjo, 1988) Penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/Pmk.03/2015 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Terkait Pemeriksaan Restitusi Pajak CV AA Di Kpp Tebing Tinggi

Penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 Tentang Tata cara Pemeriksaan terkait Pemeriksaan Restitusi Pajak CV AA Di KPP Tebing Tinggi yang dilakukan oleh fiskus, pada faktanya fiskus masih melakukan tindakan-tindakan yang berdampak merugikan bagi wajib pajak. Hal ini

dapat dilihat dari pembahasan pada sub sebelumnya atas peristiwa yang terjadi terhadap pemeriksaan restitusi pajak oleh CV AA atas pengajuan restitusinya belum berjalan dengan baik dan seusai dengan apa yang telah di amanatkan oleh Undang-undang. Dalam berjalannya proses pemeriksaan CV AA terdapat beberapa hal yang dilanggar oleh fiskus dalam menerapkan aturan tersebut diantaranya :

Berjalannya proses pemeriksaan CV AA terdapat beberapa hal yang dilanggar oleh fiskus dalam menerapkan aturan tersebut diantaranya :

Jangka Waktu Pemeriksaan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP terhadap CV AA berlangsung selama 10 (sepuluh) bulan, dimulai dari bulan Maret sampai dengan bulan Desember tahun 2018. Pada teorinya dapat dilihat dari masa tenggang waktu yang telah meleweti batas kewenangan pemeriksaan serta penyampaian Laporan Hasil Pemeriksaan (LPH) yang dimana telah ditentukan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. Hal ini sangat berbeda dengan apa yang telah terjadi dilapangan dan tidak sejalannya aturan dengan asas kepastian hukum yang mana telah menjadi dasar dalam pembentukan peraturan tersebut. Terhadap pemeriksaan lapangan, jangka waktu pengujian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a paling lama 6 (enam) bulan, yang dihitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak, sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak, wakil, kuasa, pegawai, atau anggota keluarga yang telah dewasa dari Wajib Pajak. (Hasil, wawancara, 2019)

Berdasarkan ketentuan sebagaimana terdapat dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, terdapat ketidaksesuaian antara jangka waktu yang ditetapkan dalam peraturan tersebut dengan proses pemeriksaan terhadap CV AA. Dimana seharusnya pelaksanaan pemeriksaan dilakukan paling lama 6 (enam) bulan, namun faktanya pemeriksaan berlangsung selama 10 (sepuluh) bulan. Oleh karena itu, seharusnya fiskus sebagai pejabat pajak yang telah diberikan amanah oleh undang-undang harus

(7)

24 menyelesaikan pemeriksaan terjadap permohonan restitusi yang dilakukan oleh CV AA sebagai wajib pajak yang berpedoman pada peraturan yang sudah ada.

Jenis Pemeriksaan. Pemeriksaan yang dilakukan terhadap CV AA adalah jenis pemeriksaan lapangan. Pemeriksaan lapangan adalah pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tempat tinggal Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak. Pemeriksaan lapangan terkait dengan pemeriksaan dalam rangka menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dilakukan dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan, yang dihitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan disampaikan kepada Wajib Pajak sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak

Berkaitan dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak, terdapat ketidaksesuaian antara jenis pelaksaan pemeriksaan yang dilakukan oleh DJP terhadap CV AA, jika dilihat dari defenisi pemeriksaan lapangan yang merupakan pemeriksaan yang dilakukan di tempat kedudukan, tempat kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, tempat tinggal Wajib Pajak, atau tempat lain yang ditentukan oleh Direktur Jenderal Pajak, ternyata tidak sesuai, pelaksanaan pemeriksaan lapangan yang dimulai dari pemanggilan awal sampai dengan pembahasan akhir pemeriksaan berlangsung di KPP Pratama Tebing Tinggi, hal ini tidak sesuai dengan pengertian pemeriksaan lapangan yang mana seharusnya pemeriksaan dilakukan diwilayah CV AA.

Pemeriksaan yang dilakukan terhadap CV AA lebih tepat disebut sebagai pemeriksaan kantor, sebagaimana dijelaskan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 Tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak bahwa Pemeriksaan Kantor Pemeriksaan yang dilakukan di kantor Direktorat Jenderal Pajak.

Keterbukaan. Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa di KPP Tebing Tinggi Pemeriksaan pajak atas permohonan restitusi pajak yang dilakukan oleh CV AA telah menimbulkan kerugian bagi wajib wajak

dikarenakan dalam ketetapannya DJP menetapkan bahwa atas hasil pemeriksaan CV AA terdapat kurang bayar pajak karena adanya temuan bahwa CV AA menerima pemasukan dari pihak lain yang tidak masuk dalam laporan SPT PPN. Dengan adanya temuan ini DJP menetapkan bahwa CV AA harus membayar PPN atas transaksi tersebut. Selain pembayaran PPN, CV AA juga dikenakan sanksi administrasi yang apabila dijumlahkan akan melebihi jumlah dari permohonan restitusi yang diajukan.

Ketentuan yang terkait dengan batas kewenangan fiksus, sudah diatur secara jelas, dengan demikian dapat dikatakan bahwa penerapan asas kepastian hukum dalam proses pemeriksaan pajak di wiliyah KPP Tebing Tinggi tidak dijalankan atau diterapkan dalam menjalankan peraturan mentri tersebut. Perbedaan Team. Pada pemeriksaan pajak yang dilakukan di CV AA, terdapat perbedaan pendapat antara team pemeriksa yang baru dengan yang sebelumnya. Perbedaan ini terlihat dari jangka waktu pemeriksaan yang seharusnya sudah selesai dan seharusnya fiskus memberikan laporan hasil pemeriksaan pajak yang telah dilakukan, namun hal tersebut diabaikan oleh fiskus. Fiskus tetap melanjutkan pemeriksaan dikarenakan masih terdapat kelebihan pembayaran pajak berdasarakan perhitungan pihak fiskus yang sebelumnya.

Berjalannya proses pemeriksaan restitusi pajak terhadap CV AA yang berlangsung lama membuat pihak dari wajib pajak, CV AA mendatangi kembali KPP Tebing Tinggi untuk mengkofirmasi hasil pemeriksaan, namun ketika bertemu dengan pihak pemeriksa, ternyata terdapat pergantian tugas atas pelaksana yang melakukan pemeriksaan terhadap CV AA, hal ini diperlihatkan dengan surat tugas yang baru, saat dikonfirmasi terkait hasil pemeriksaan, fiskus meminta waktu untuk melakukan pemeriksaan untuk melakukan pengecekan berkas atas pemeriksaan yang telah dilakukan oleh tim sebelumnya, hal ini semakin membuat CV AA semakin tidak nyaman, dikarenakan proses yang harus di ulang kembali yang menyebabkan terbuangnya waktu. Padahal pada pemeriksa yang sebelumnya hasil pemeriksaan sudah dapat ditentukan dengan

(8)

25 perhitungan sanksi akibat dugaan kelalaian administrasi perpajakan CV AA tidak sampai harus terjadi kurang bayar. Dikarenakan terdapatnya pergantian team untuk pemeriksaan ini membuat hasil perhitungan yang berbeda kembali, CV AA malah dikatakan terdapat kurang bayar atas sanksi administrasi perpajakan.

Akibat ketetapan yang diambil oleh fiskus, maka hal ini menimbulkan persoalan baru, yang diasumsikan bahwa keputusan tersebut terkesan dipaksakan karena mengingat telah melampaui kewenangannya sebagai pejabat pajak. Mencermati ketentuan yang terdapat dalam Pasal 15 ayat 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 bahwa kewenangan untuk melakukan pemeriksaan telah melawati batas waktu yang telah diatur dan fiskus tidak berhak melanjutkan pemeriksaan karena bukan menjadi kewenangan atau fiskus tidak berhak memberikan surat ketetapan kurang bayar pajak atas pemeriksaan tersebut. Ketetapan hasil pemeriksaan dibuat fiskus yang dalam hal ini sebagai pejabat pajak, merupakan tindakan yang melampaui batas kewenangannya atau dengan kata lain sebagai tindakan diluar yurisdiksinya, sehingga keputusan tesebut merupakan tindakan yang melanggar aturan, yaitu terkait dengan penerapan asas kepastian hukum.

Sanksi Pepajakan, Sanksi administrasi perpajakan terdiri dari sanksi denda, sanksi bunga dan sanksi kenaikan. Jenis sanksi tersebut dikenakan untuk berbagai jenis pelanggaran aturan. Sanksi Administrasi yang diberikan oleh DJP kepada CV AA ialah berupa denda, yang dalam hal ini sanksi pajak berupa denda ditujukan kepada pelanggaran yang berhubungan dengan kewajiban pelaporan. Besarannya pun bermacam-macam, sesuai dengan aturan undang-undang.

Ketentuan dikenakannya sanksi denda pada CV AA ini mengalami perubahan setelah adanya pergantian team pemeriksa yakni adanya temuan masih adanya pajak yang terutang/ kurang bayar yang seharusnya tidak terutang. Sebagaimana diatur dalam Pasal 11 huruf c Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 bahwa apabila terjadi perubahan team pemeriksa, maka harus memperlihatkan surat yang berisi perubahan tim Pemeriksa Pajak kepada Wajib Pajak apabila susunan keanggotaan tim Pemeriksa

Pajak. Penerapan peraturan tersebut sudah sesuai dengan yang seharusnya berdasarkan aturan, namun seharusnya team pemeriksa sebelumnya memberikan atau menyampaikan data/informasi yang telah dilakukan sebelumnya, tanpa harus mengulang kembali pemriksaan sehingga menimbulkan terjadinya kurang bayar.

Berdasarkan uraian di atas, masih terdapat beberapa hal yang tidak sesuai antara Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pemeriksaan dengan pelaksanaan kewenangan fiskus atas pemeriksaan restitusi pajak CV AA di KPP Tebing Tinggi. Hal ini terlihat, sebab dalam proses pemeriksaan pajak yang dilakukan oleh fiskus terhadap CV AA telah melampaui kewenangannya sebagai pejabat pajak sebagaimana di atur dalam Pasal 15 ayat 2 yang seharusnya jangka waktu pengujian paling lama 6 (enam) bulan, yang dihitung sejak Surat Pemberitahuan Pemeriksaan Lapangan (SPHP) disampaikan kepada wajib pajak sampai dengan tanggal SPHP disampaikan kepada Wajib Pajak. Namun, faktanya pemeriksaan pada CV AA berlangsung selama 10 (sepuluh) bulan dihitung sejak diterbitkannya SPHP

nomor

SPHP-00114/WPJ-26/KP.0105/RIKSIS/2018 tanggal 17 Desember 2018. Jelas dalam hal ini terdapat ketidakastian hukum atas pemeriksaan pajak yang dialami oleh CV AA selaku wajib pajak. SIMPULAN

Kedudukan para pihak yang terlibat dalam poses pemeriksaan restitusi pajak berdasarkan perikatan pajak yang mengikat antara fiskus dan wajib pajak melahirkan hak dan kewajiban diantara keduanya. Pelindungan hukum terhadap pihak yang dirugikan terkait dengan pemeriksaan restitusi pajak terhadap CV AA di KPP Tebing Tinggi terdiri atas perlindungan hukum secara preventif dan refresif. Pelindungan hukum secara prefentif yang dapat diberikan oleh DPJ kepada wajib pajak dalam hal ini CV AA berupa pelayanan, penegakan hukum, dan pengawasan. Kesesuaian penerapan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2015 tentang Tata Cara Pemeriksaan dengan pelaksanaan kewenangan fiskus atas pemeriksaan restitusi pajak CV AA di KPP Tebing Tinggi belum sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Peraturan tersebut, sebab dalam proses pemeriksaan

(9)

26 pajak yang dilakukan oleh fiskus terhadap CV AA telah melampaui kewenangannya sebagai pejabat pajak sebagaimana di atur dalam Pasal 15 ayat 2.

DAFTAR PUSTAKA

Advianto, L. Y. H. S. I. H. (2018). Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Atas Hak Hak Wajib Pajak Dalam Sistem Hukum Pajak Indonesia.

Simposium Nasional Keuangan Negara, 1(1),

398–416.

Ali, M. M. (2016). Konstitusionalitas dan Legalitas Norma dalam Pengujian Undang-Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Jurnal

Konstitusi, 12(1), 172–195.

Ardiyansyah, A., & Dewantara, R. Y. (2016). Pengaruh pelayanan fiskus terhadap kepatuhan wajib pajak melalui kepuasan wajib pajak (studi pada wajib pajak di wilayah kerja kpp pratama blitar). Jurnal

Mahasiswa Perpajakan, 11(1).

Marzuki, M. (2017). Penelitian Hukum: Edisi Revisi. Prenada Media.

Nursadi, H. (2018). Tindakan Hukum Administrasi (Negara) Perpajakan Yang Dapat Berakibat Pada Tindakan Pidana. Jurnal Hukum &

Pembangunan, 48(1), 110–136.

Pramukti, A. S., & SH & Fuady Primaharsya, S. H. (2018). Pokok-Pokok Hukum Perpajakan. Media Pressindo.

Rochmat, S. (2004). Asas dan Dasar Perpajakan.

Bandung: PT. Refika Aditama.

Y. Sri Pudyatmoko, (2009) Pengantar Hukum Pajak, Yogyakarta: CV Andi Offset, 2009

Lubis, Irwansyah, Lubis Abidah Sari, Lubis Muhammad Zuhdi, (2018), Taat Hukum

Pajak, Jakarta: Mitra Wacana Media

Y. Sudyatmoko, (2007), Penegakan dan Pelindungan Hukum di Bidang Pajak, Jakarta : Salemba Empat,

Siahaan, Marhot, Pahala, (2010), Hukum Pajak

Formal, Yogyakarta: Graha Ilmu

Rahardjo, Soetjipto,(2004) Permasalahan Hukum di

Indonesia, Bandung : Alumni

Bohari, (1993), Pengantar Hukum Pajak, Jakarta : Raja Grafindo Persada

Jurnal/Makalah

Ahmad, Ardiyansyah, Kertahadi, Rizki Yudhi Dewantara, Jurnal Perpajakan (JEJAK) Vol. 11

No. 1 2016, Pengaruh Pelayanan Fiskus

Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Melalui Kepuasan Wajib Pajak (Studi Pada Wajib Pajak Di Wilayah Kerja Kpp Pratama Blitar) L.Y. Hari Sih Advianto, Simposium Nasional

Keuangan Negara, SKSN 2018, Pengakuan Dan Perlindungan Hukum Hak Hak Wajib Pajak Dalam Sistem Hukum Pajak Indonesia

Undang-undang

Pengujian Undang Terhadap Undang-Undang Dasar 1945.

Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2007 Undang-undang No 30 Tahun 2014

Website

https://www.finansialku.com/jenis-jenis-pemeriksaan-pajak/, dikutip pada tanggal 11 Agustus 2019, Pukul 23.00 WIB.

http://www.pajak.go.id/content/seri-kup-pengembalian-kelebihan-pembayaran-pajak, dikutip pada tanggal 12 Juli 2019, Pukul 11.25 WIB

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan yang ingin di- capai dalam penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh suhu dan waktu pemba- karan terhadap efisiensi pembakaran, kualitas asap dan abu

Kelangsungan hidup yang tinggi pada perlakuan yang menggunakan MS-222 selama transportasi disebabkan oleh kemampuan MS-222 sebagai bahan anaestesi dalam menekan

Sehingga makna kalimat ini adalah pengakuan dengan lisan -setelah keimanan di dalam hati- bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah; dan konsekuensinya adalah memurnikan

[r]

Surat Ketetapan Pajak Daerah Lebih Bayar, yang dapat disingkat SKPDLB, adalah surat ketetapan pajak yang menentukan jumlah kelebihan pembayaran pajak karena

Teknologi forging mengandalkan kekuatan mesinnya untuk mencetak velg menggunakan bahan baku aluminium yang masih dalam bentuk logam berbeda dengan die casting dimana bahan

Dari hasil pengujian tersebut, tampaknya penyakit mosaik pada tanaman caisin di daerah Cinangneng maupun di Cipanas dominan disebabkan oleh infeksi TuMV,

bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu mengatur Tindakan Karantina Hewan dan Tumbuhan Terhadap Pemasukan Media Pembawa Hama Penyakit