• Tidak ada hasil yang ditemukan

INDONESIA. Reformasi yang Terhambat: Impunitas, diskriminasi dan pelanggaran oleh pasukan keamanan di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "INDONESIA. Reformasi yang Terhambat: Impunitas, diskriminasi dan pelanggaran oleh pasukan keamanan di Indonesia"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

INDONESIA

Reformasi yang Terhambat:

Impunitas, diskriminasi dan

pelanggaran oleh pasukan

keamanan di Indonesia

Laporan Amnesty International

kepada Peninjauan Berkala

Universal PBB, Mei-Juni 2012

(2)

Tindak lanjut dari peninjauan terdahulu... 4

Kerangka kerja normatif dan institusional negara ... 5

KUHP dan KUHAP ... 5

Impunitas... 5

HAM dan perundang-undangan yang didesentralisasi ... 5

Pemajuan dan perlindungan HAM di lapangan ... 6

Pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan ... 6

Kesehatan ibu serta hak-hak seksual dan reproduksi ... 6

Pekerja rumah tangga ... 6

Kebebasan berekspresi dan para pembela HAM... 6

Diskriminasi dan kebebasan beragama ... 7

Hukuman mati ... 7

Rekomendasi-rekomendasi tindakan Untuk dilakukan negara yang ditinjau... 8

Catatan Akhir ... 10

(3)

PENDAHULUAN

Dalam kurun waktu empat tahun sejak catatan hak asasi manusia (HAM) Indonesia pertama kali dinilai oleh Peninjauan Berkala Universal (UPR), Amnesty International terus menerima laporan yang bisa dipercaya mengenai pelanggaran HAM di negara tersebut. Riset Amnesty International yang masih terus berlangsung menyoroti adanya kekhawatiran serius sehubungan dengan impunitas (pembebasan dari proses hukum); pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi atau pasukan keamanan lainnya; kriminalisasi aktivitas politik yang dijalankan dengan damai; serangan dan pelecehan terhadap pembela HAM dan kelompok minoritas agama; diskriminasi berbasis agama dan gender dalam hukum, kebijakan dan praktik; serta pembatasan pada hak-hak seksual dan reproduksi.

Amnesty International mengakui bahwa sejak jatuhnya Presiden Suharto tahun 1998, Indonesia telah melaksanakan serangkaian reformasi strategis penting yang ditujukan untuk melindungi HAM dengan lebih baik dan memperkuat supremasi hukum (rule of law). Organisasi ini menyambut baik komitmen

berkelanjutan Indonesia dan upaya terus-menerus untuk melindungi dan memajukan HAM di tingkat nasional, regional dan internasional. Namun, walau adanya upaya-upaya ini, reformasi hukum di Indonesia berjalan sangat lambat dan budaya impunitas masih tetap saja berlanjut untuk pelanggaran HAM di masa lalu dan sekarang ini.

Informasi berikut ini diserahkan kepada Kantor Komisaris Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Hak Asasi Manusia pada tanggal 21 November 2011 untuk Peninjauan Berkala Universal di Kelompok Kerja UPR pada sesi ke-13-nya bulan Mei-Juni 2012. Dalam laporannya, Amnesty International mengomentari penerapan rekomendasi-rekomendasi yang telah diterima pemerintah Indonesia selama peninjauan sebelumnya di tahun 2008, serta menyoroti sejumlah kekhawatiran yang masih dirasakan organisasi ini terhadap keadaan HAM di Indonesia. Laporan ini ditutup dengan serangkaian rekomendasi untuk pihak berwenang Indonesia, yang jika diimplementasikan, akan banyak memperbaiki perlindungan dan perwujudan HAM di Indonesia.

(4)

TINDAK LANJUT DARI PENINJAUAN TERDAHULU

Pada saat UPR-nya yang pertama di bulan April 2008, Indonesia menerima sejumlah rekomendasi yang diberikan oleh Negara-Negara lain, termasuk untuk melakukan pendidikan dan pelatihan HAM;1 menerima

traktat-traktat internasional;2 mendukung pekerjaan masyarakat sipil, termasuk para pembela HAM;3

memberantas impunitas;4 dan menyelesaikan perumusan rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

(KUHP) yang baru, serta memasukkan tindak pidana penyiksaan di dalamnya, dengan berkonsultasi dengan para pemangku kepentingan.5

Sementara pemerintah memang sudah mengambil sejumlah langkah positif sehubungan dengan penandatanganan traktat-traktat internasional serta memberikan pelatihan HAM kepada polisi, Amnesty International mencatat bahwa komitmen-komitmen ini sebenarnya diberikan sebelum peninjauan tahun 2008 dan bahwa kemajuan penerapannya pun lamban.

Meskipun begitu, tanggal 27 September 2011, Indonesia menandatangani Konvensi PBB untuk

Perlindungan bagi Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa.6 Ratifikasi beberapa traktat internasional

lainnya, termasuk Statuta Roma yang menjadi dasar Pengadilan Kriminal Internasional (Indonesia sudah berkomitmen untuk meratifikasinya dalam UPR-nya), kini sudah dimasukkan dalam Rencana Aksi Nasional HAM Indonesia untuk tahun 2011-2014.7 Pihak berwajib juga sudah mengambil langkah-langkah guna

memperkuat kesadaran dalam Kepolisian Nasional mengenai hukum dan standar-standar HAM

internasional, termasuk dengan memberikan pelatihan HAM kepada para anggota kepolisian. Di samping itu, sebuah peraturan kepolisian yang baru yang ditujukan untuk melindungi dan memajukan HAM juga dikeluarkan tahun 2009.8 Namun, adanya laporan terus-menerus tentang pelanggaran HAM yang dilakukan

oleh polisi dan tidak adanya akuntabilitas untuk pelanggaran-pelanggaran itu menekankan perlunya peningkatan upaya untuk memastikan agar semua petugas kepolisian mengenali tanggung jawab mereka untuk menghormati HAM. Selain itu para petugas polisi juga perlu memiliki pengetahuan dan perlengkapan yang dibutuhkan untuk bisa menerapkan prinsip-prinsip itu dalam pekerjaan mereka.

Mengenai penghormatan kepada para pembela HAM, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Indonesia gagal meloloskan sebuah undang-undang guna melindungi para pembela HAM, meskipun Rancangan Undang-Undang (RUU) itu sudah dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional 2005-2009. RUU itu kini dimasukkan dalam Program Legislasi Nasional 2010-2014. Namun pada saat penulisan laporan ini, RUU itu masih belum dibahas di DPR. Para pembela HAM masih terus menghadapi intimidasi dan serangan ketika melakukan pekerjaan mereka.

Sementara itu, rekomendasi lainnya belum sepenuhnya diimplementasikan, terutama berkaitan dengan pemberantasan impunitas dan perevisian KUHP. Masih sedikit sekali kemajuan yang ada dalam usaha mengajukan para pelaku pelanggaran HAM berat ke pengadilan. Banyak dari kasus yang diinvestigasi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) tidak pernah secara penuh disidik oleh kantor Jaksa Agung atau dibawa ke pengadilan. Akibatnya para pelaku pelanggaran bebas berkeliaran dan para korban tidak mendapatkan akses terhadap hak reparasi.9 DPR juga masih belum membahas dan mengesahkan

KUHP yang sudah direvisi yang mengandung ketentuan-ketentuan khusus yang melarang penyiksaan. Sebelum pengesahan dilakukan, KUHP lama tetap berlaku walau banyak dari ketentuannya tidak memenuhi hukum dan standar HAM internasional atau tidak selaras dengan ketentuan yang dijabarkan dalam Undang – Undang Dasar (UUD) 1945 Indonesia.

Amnesty International menyesali bahwa pada saat UPR tahun 2008, Indonesia tidak mengindikasikan posisinya sehubungan dengan rekomendasi untuk menyikapi ancaman-ancaman terhadap warga

Ahmadiyah.10 Riset yang dilakukan oleh Amnesty International selama periode di antara UPR menunjukkan

terus berlangsungnya secara serius pelanggaran HAM terhadap komunitas Ahmadiyah, dan sejumlah kekhawatiran ini diperinci di bawah ini. Indonesia juga masih belum menyatakan posisinya mengenai rekomendasi untuk menghapus hukuman mati.11 Kekhawatiran Amnesty International sehubungan dengan

(5)

KERANGKA KERJA NORMATIF DAN INSTITUSIONAL

NEGARA

KUHP DAN KUHAP

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah bertahun-tahun dalam proses revisi. Ada sejumlah kekurangan dalam KUHP, termasuk tidak adanya definisi penyiksaan yang konsisten dengan Pasal 1.1 Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat lainnya (UNCAT). Indonesia adalah negara pihak Konvensi tersebut. KUHP juga masih mempertahankan hukuman mati,

mengkriminalkan sejumlah bentuk pengungkapan pendapat yang dilakukan dengan jalan damai, termasuk Pasal 106 dan 110 untuk tindak pidana "makar" melawan negara; dan mendiskriminasi perempuan serta kelompok-kelompok minoritas agama.12 Meskipun KUHAP memberikan sejumlah jaminan perlindungan

bagi hak-hak tersangka dan tertuduh selama masa penangkapan dan pada tahap-tahap lain dalam penyidikan dan sidang pemeriksaan, Kitab ini tetap tidak memenuhi persyaratan yang ditetapkan hukum dan standar HAM internasional dalam sejumlah hal. Di antara yang belum dipenuhi adalah hak untuk mendapatkan penasihat hukum, hak untuk mempertanyakan keabsahan penahanan seseorang dan hak untuk diajukan ke hadapan seorang hakim atau petugas pengadilan lain tanpa ditunda-tunda.13

IMPUNITAS

Budaya impunitas (pembebasan dari proses hukum) masih terus berlangsung untuk pelanggaran HAM di masa lalu yang dilakukan oleh pasukan keamanan Indonesia, termasuk di Aceh, Papua dan Timor-Leste (yang tadinya dikenal dengan nama Timor Timur). Upaya untuk mengajukan mereka yang dituduh melakukan pelanggaran ke pengadilan sangat lemah, dan masih banyak yang bebas berkeliaran. Undang-Undang tentang Pengadilan HAM (No. 26/2000), yang dibuat untuk mengadili kasus-kasus pelanggaran HAM berat, memiliki jangkauan yang sangat terbatas dan masih belum diterapkan dengan layak.14

Yurisdiksi UU itu hanya untuk tindakan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan, karena itu kejahatan perang dan sebagian besar pelanggaran HAM yang dilakukan di Indonesia berada di luar wilayah kekuasaannya.15 Pada tahun 2006, Mahkamah Konstitusi Indonesia memutuskan bahwa UU tentang

Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (No. 27/2004) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 karena undang-undang itu memberikan kewenangan untuk merekomendasikan amnesti bagi para pelaku kejahatan serius. Mahkamah Konstitusi lalu membatalkan undang-undang itu. Sebuah rancangan undang-undang baru kini telah dirumuskan dan dijadwalkan untuk dibahas di DPR di periode tahun 2011-2014. Namun sampai saat ini masih belum ada kemajuan mengenai hal ini.

HAM DAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG DIDESENTRALISASI

Sebagai bagian proses desentralisasi dan paket otonomi khusus untuk provinsi tertentu di Indonesia, jumlah peraturan daerah dan regulasi lokal yang diberlakukan semakin meningkat. Banyak dari peraturan dan regulasi ini tidak sejalan dengan hukum dan standar HAM internasional atau UUD 1945 Indonesia. Sebagai contoh, di Aceh, hukuman cambuk mulai diberlakukan tahun 2003 sebagai hukuman untuk zinah, konsumsi alkohol, berdua-duaan dengan seseorang dari jenis kelamin berlawanan yang bukan pasangan atau saudara (khalwat), dan untuk warga Muslim yang ditemukan makan atau minum pada siang hari saat bulan puasa atau Ramadan atau yang menyediakan fasilitas bagi warga Muslim lainnya untuk melakukan hal tersebut.

(6)

PEMAJUAN DAN PERLINDUNGAN HAM DI

LAPANGAN

PELANGGARAN HAM OLEH PASUKAN KEAMANAN

Amnesty International masih terus menerima laporan yang bisa dipercaya mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan oleh polisi di Indonesia, termasuk penyiksaan dan perlakuan buruk lainnya, penggunaan

kekuatan dan senjata api yang tidak perlu dan berlebihan ketika melakukan penangkapan dan pemolisian ketertiban umum, pembunuhan tidak sesuai hukum, dan ketidakmampuan melindungi para korban pelanggaran HAM. Investigasi terhadap laporan pelanggaran yang dilakukan polisi jarang dilakukan, dan polisi sering menjadikan pengadu sebagai sasaran intimidasi dan pelecehan lebih lanjut. Mekanisme pendisiplinan internal polisi saat ini masih belum memadai untuk mengurusi pelanggaran pidana yang dianggap pelanggaran HAM dan mekanisme itu sering kali tidak diketahui publik. Di samping itu, badan pengawasan kepolisian eksternal tidak memiliki kewenangan yang cukup untuk mengajukan mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM ke pengadilan.16

Laporan tentang pelanggaran HAM khususnya banyak terjadi di Papua, dan melibatkan petugas kepolisian dan militer. Akan tetapi, hanya sedikit pelakunya yang dibawa ke pengadilan. Sejumlah petugas militer yang didakwa dengan pelanggaran yang berkaitan dengan HAM diadili di pengadilan militer. Amnesty International merasa prihatin mengenai kurangnya kemandirian dan ketidakberpihakan sidang-sidang pengadilan itu, dan bahwa para petugas militer yang dicurigai melakukan pelanggaran semacam itu dituntut hanya dengan tindakan displiner saja daripada pelanggaran pidana.17 Para pengamat HAM

internasional, organisasi-organisasi non-pemerintah dan wartawan masih menghadapi pembatasan ketat dalam mendapatkan akses ke Papua.

KESEHATAN IBU SERTA HAK-HAK SEKSUAL DAN REPRODUKSI

Indonesia adalah salah satu negara di wilayah Asia Timur dan Pasifik yang memiliki rasio mortalitas ibu tertinggi dengan perkiraan 228 kematian ibu per 100.000 kelahiran hidup. Secara tidak proporsional perempuan dan anak perempuan terkena efek pembatasan Indonesia atas hak-hak seksual dan reproduksi. Undang-undang serta kebijakan mendiskriminasi berdasarkan status pernikahan dan tidak memberikan akses penuh terhadap layanan kesehatan reproduksi kepada perempuan dan anak perempuan yang tidak menikah. Izin suami juga diperlukan bagi perempuan dan anak perempuan yang sudah menikah untuk bisa mengakses layanan kesehatan reproduksi tertentu. Aborsi dijadikan tindakan kriminal dalam semua keadaan kecuali jika kesehatan ibu atau janin terancam, atau dalam kasus korban perkosaan.18

Undang-undang melarang perempuan dan anak perempuan, terutama yang berasal dari komunitas miskin dan marginal, untuk mendapatkan akses perawatan kesehatan yang mereka perlukan sehingga merisikokan kesehatan mereka, dan membuat mereka berada dalam ancaman hukuman pidana jika mereka mengakses perawatan aborsi secara ilegal.19 Pemerintah juga tidak berhasil memberantas praktik-praktik yang bersifat

diskriminatif atau kejam, tidak manusiawi dan merendahkan martabat perempuan dan anak perempuan, misalnya mutilasi alat kelamin perempuan dan perkawinan dini.20

PEKERJA RUMAH TANGGA

Pekerja rumah tangga (PRT) di Indonesia, yang sebagian besar adalah perempuan dan anak perempuan, tidak secara sah diakui sebagai pekerja. Akibatnya, mereka sering dieksploitasi secara ekonomi dan banyak yang hidup serta bekerja dalam kondisi yang kejam. RUU bagi perlindungan PRT sebenarnya sudah dimasukkan dalam agenda legislatif sejak 2010, namun pada saat laporan ini ditulis tetap belum ada kemajuan mengenai pengesahannya oleh DPR.

KEBEBASAN BEREKSPRESI DAN PARA PEMBELA HAM

Pihak berwenang tetap menggunakan perundang-undangan yang menindas untuk memidana kegiatan-kegiatan politik yang dilakukan dengan jalan damai. Pelanggaran hak atas kebebasan berekspresi

(7)

seperti di Maluku dan Papua. Secara konsisten, ada laporan-laporan mengenai penyiksaan dan perlakuan buruk serta penggunaan kekuatan yang tidak perlu dan berlebihan pada saat penangkapan, interogasi dan penahanan para pegiat politik yang menjalankan kegiatan mereka dengan damai di daerah-daerah

tersebut.21 Amnesty International telah mendokumentasikan kenaikan jumlah penangkapan yang signifikan

setelah pihak otoritas mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 77/2007 yang melarang pemasangan bendera atau logo daerah yang juga dipakai oleh organisasi-organisasi separatis.22 Sekurang-kurangnya 90

orang saat ini dipenjarakan setelah melakukan protes politik secara damai atau karena memiliki, menaikkan atau mengibarkan bendera pro-kemerdekaan Maluku dan Papua.

Sebagian besar pelanggaran HAM di masa lalu terhadap para pembela HAM, termasuk penyiksaan dan perlakuan buruk, kemungkinan pembunuhan di luar jalur hukum dan penghilangan secara paksa, masih belum terselesaikan dan mereka yang bertanggung jawab belum diajukan ke pengadilan. Di samping laporan yang terus masuk mengenai intimidasi dan serangan terhadap pembela HAM, para pembela HAM juga menjadi sasaran tuntutan pidana pencemaran nama baik akibat pekerjaan mereka.23

DISKRIMINASI DAN KEBEBASAN BERAGAMA

Pada bulan Maret 2008, sebuah Surat Keputusan Bersama (SKB) dikeluarkan guna memberi peringatan kepada para anggota Jemaah Ahmadiyah, di antaranya, untuk menghentikan penyebaran ajaran

kepercayaan mereka.24 Walau memang sudah ada serangan dan pelecehan secara sporadis terhadap

Jemaah Ahmadiyah sebelum SKB ini dikeluarkan, tingkat pelecehan, intimidasi dan serangan meningkat sejak SKB dikeluarkan. Tiga warga Ahmadiyah dibunuh dalam insiden serangan seperti itu di Cikeusik, Banten, pada bulan Februari 2011. Bulan Juli 2011, 12 orang dihukum antara tiga sampai enam bulan penjara atas keterlibatan mereka dalam insiden tersebut. Namun, tidak ada seorang pun yang dituntut dengan pembunuhan, dan kelompok-kelompok HAM setempat telah menyatakan keprihatinan mereka tentang lemahnya penuntutan yang dilakukan. Selain itu, sejak SKB dikeluarkan, sekurang-kurangnya empat provinsi telah mengeluarkan peraturan daerah baru untuk membatasi kegiatan Ahmadiyah.

Kelompok minoritas agama lain juga menghadapi serangan dan diskriminasi yang serupa. Sebagai contoh, Amnesty International terus menerima laporan mengenai serangan terhadap gereja-gereja Kristen dan barang milik mereka.

HUKUMAN MATI

Meskipun tidak ada eksekusi hukuman mati sejak 2008, Amnesty International memperkirakan bahwa lebih dari 100 orang narapidana Indonesia telah dijatuhi putusan hukuman mati.25 Dalam sejumlah kasus,

sidang pemeriksaan yang dilakukan tidak memenuhi standar internasional tentang keadilan. Kekhawatiran tentang hukuman mati diperkuat dengan adanya Undang-Undang Perubahan terhadap Undang-Undang tentang Grasi (No. 22/2002) di bulan Agustus 2010, yang menerapkan pembatasan dengan hanya mengizinkan mereka yang dikenai hukuman pidana mati untuk mengajukan hanya satu permintaan grasi kepada Presiden dalam waktu satu tahun setelah putusan dijatuhkan.

(8)

REKOMENDASI-REKOMENDASI TINDAKAN UNTUK

DILAKUKAN NEGARA YANG DITINJAU

Amnesty International menyerukan Pemerintah Indonesia untuk:

Kerangka kerja normatif dan institusional:

  

 Lakukan revisi dan mengesahkan pada kesempatan terdekat KUHP dan KUHAP baru yang memenuhi hukum serta standar HAM internasional, serta yang memasukkan pula secara eksplisit ketentuan-ketentuan yang melarang penyiksaan. Definisi penyiksaan dalam KUHP yang direvisi harus konsisten dengan Pasal 1.1 Konvensi PBB Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Hukuman yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat lainnya;

  

 Memastikan bahwa KUHP dan KUHAP baru tidak memasukkan ketentuan-ketentuan yang mendiskriminasi perempuan atau kelompok minoritas agama, atau mengkriminalkan mereka yang menyatakan pendapat berbeda dengan cara damai;

  

 Melakukan peninjauan terhadap semua perundang-undangan dan peraturan daerah yang telah diberlakukan dalam dekade terakhir ini guna memastikan undang-undang dan peraturan tersebut secara penuh selaras dengan hukum dan standar HAM internasional;

  

 Meratifikasi Konvensi untuk Perlindungan bagi Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa dan Statuta Roma pengadilan Kriminal Internasional, dan memasukkan ketentuan-ketentuannya ke dalam perundang-undangan dalam negeri serta mengimplementasikannya dalam kebijakan dan praktik;

  

 Membahas, mengesahkan dan mengimplementasikan, pada kesempatan terdekat, sebuah undang-undang baru mengenai komisi kebenaran yang sesuai dengan hukum dan standar internasional.

Pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan:

  

 Memastikan dilakukannya investigasi dengan segera, menyeluruh dan imparsial terhadap tuduhan-tuduhan pelanggaran HAM yang dilakukan para anggota pasukan keamanan Indonesia, serta memastikan bahwa mereka yang dicurigai memiliki tanggung jawab pidana dihadapkan ke sidang pemeriksaan yang adil dalam pengadilan sipil yang mandiri, dan para korban mendapatkan hak reparasi mereka;

  

 Meninjau sistem akuntabilitas yang ada sekarang ini untuk menangani kecurigaan tentang pelanggaran HAM yang dilakukan petugas kepolisian, dan mendirikan sebuah mekanisme pengaduan kepolisian yang mandiri yang bisa menerima dan menindaklanjuti pengaduan dari masyarakat. Mekanisme itu harus memiliki kewenangan untuk menyerahkan hasil temuannya kepada Jaksa Penuntut Umum.

Kesehatan ibu serta hak-hak seksual dan reproduksi:

  

 Mencabut semua undang-undang dan peraturan, baik di tingkat pusat dan daerah, yang melanggar

hak-hak seksual dan reproduksi, dan memastikan bahwa perempuan dan anak perempuan dapat mewujudkan hak-hak mereka dengan terbebas dari paksaan, diskriminasi dan ancaman kriminalisasi;

  

 Mencabut ketentuan-ketentuan hukum dan kebijakan mengenai hal-hal yang berkaitan dengan

kesehatan seksual dan reproduksi yang mendiskriminasi dengan menggunakan landasan status pernikahan;

  

 Mencabut ketetapan hukum yang mengkriminalkan aborsi baik dalam KUHP maupun UU Kesehatan.

Dalam kasus-kasus kehamilan yang tidak diinginkan akibat pemerkosaan atau jika kehamilan memberikan ancaman atas nyawa atau kesehatan mereka, pastikanlah bahwa perempuan dan para anak perempuan memiliki akses terhadap layanan aborsi aman seperti yang saat ini ditentukan dalam undang-undang.

Pekerja rumah tangga

  

 Mengesahkan perundang-undangan khusus untuk mengatur hak-hak ketenagakerjaan para pekerja

rumah tangga. Undang-undang ini harus mengakui status mereka sebagai pekerja dan menjamin hak-hak para pekerja rumah tangga sesuai dengan hukum dan standar internasional. Khususnya harus ada

(9)

pembatasan yang layak mengenai jam kerja; jaminan adanya remunerasi untuk standar hidup yang memadai; waktu istirahat mingguan dan masa cuti yang dijabarkan secara jelas (cuti tahunan, hari libur nasional, cuti sakit dan cuti melahirkan); standar-standar tentang pengakhiran hubungan kerja; dan akses terhadap mekanisme penyelesaian perselisihan, termasuk pengadilan. UU itu harus secara eksplisit menyertakan ketetapan hukum yang berkaitan dengan kebutuhan khusus perempuan, khususnya selama dan setelah kehamilan.

Kebebasan berekspresi dan para pembela HAM:

  

 Secara segera dan tanpa syarat membebaskan semua narapidana yang ditahan atau dipenjarakan semata-mata karena melaksanakan HAM mereka secara damai, dan khususnya kebebasan berekspresi dan kebebasan beragama atau berkeyakinan;

  

 Mencabut atau merevisi semua perundang-undangan yang mengkriminalkan, atau yang dipakai untuk mengkriminalkan, kebebasan berekspresi, khususnya Pasal 106 dan 110 KUHP dan Pasal 6 Peraturan Pemerintah No. 77/2007 yang melarang ditampilkannya lambang atau bendera daerah yang juga dipakai oleh organisasi-organisasi separatis;

  

 Mengambil langkah-langkah efektif guna memastikan bahwa pelanggaran HAM yang dilakukan terhadap para pembela HAM dengan segera, secara efektif dan imparsial disidik, dan para pelakunya diajukan ke pengadilan dalam sidang peradilan yang adil.

Diskriminasi dan kebebasan beragama

  

 Mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) tahun 2008 dan semua peraturan lain yang membatasi kegiatan Jemaah Ahmadiyah di Indonesia atau yang melanggar hak mereka atas kebebasan berpikir, berkeyakinan dan beragama;

  

 Mengambil langkah-langkah efektif untuk melindungi kaum minoritas agama, termasuk Jemaah Ahmadiyah dan umat Kristian, dari serangan dan pelecehan.

Hukuman mati

  

 Mengambil langkah sesegera mungkin yang menuju pada penghapusan hukuman mati dengan mendeklarasikan moratorium resmi terhadap semua eksekusi hukuman mati dan mengganti semua hukuman mati menjadi hukuman penjara.

(10)

CATATAN AKHIR

1 Laporan Kelompok Kerja untuk Peninjauan Berkala Universal atas Indonesia, 14 Mei 2008, (A/HRC/8/23) paragraf

77.1.

2 A/HRC/8/23, paragraf 77.2. Indonesia menerima rekomendasi untuk menyetujui Statuta Roma Pengadilan Kriminal

Internasional, Protokol Opsional untuk Konvensi tentang Hak Anak-Anak mengenai keterlibatan anak-anak dalam konflik bersenjata, Protokol Opsional untuk Konvensi tentang Hak Anak-Anak mengenai penjualan anak, prostitusi anak dan pornografi anak, serta Protokol Opsional untuk Konvensi melawan Penyiksaan, dan mempertimbangkan untuk menandatangani Konvensi untuk Perlindungan bagi Semua Orang dari Penghilangan Secara Paksa.

3 A/HRC/8/23, paragraf 77.3. 4 A/HRC/8/23, paragraf 77.4. 5 A/HRC/8/23, paragraf 77.6.

6 Ditandatangani oleh Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa di markas besar PBB di New York pada tanggal 27

September 2011.

7 Lihatlah Rencana Aksi Nasional HAM 2010-2014 ( Kegiatan RANHAM Indonesia untuk tahun 2011-2014) yang

tersedia di: http://www.depdagri.go.id/media/documents/2011/08/26/f/i/-1_1.pdf (diakses 29 Oktober 2011).

8 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Implementasi Prinsip dan Standar HAM dalam

Penyelenggaraan Tugas Kepolisian Negara Repulik Indonesia (No. 8/2009).

9 Dalam perkara-perkara berikut, Kantor Jaksa Agung masih belum membuat kemajuan apa pun, walaupun Komnas HAM

dalam temuan awalnya menyatakan adanya pelanggaran HAM: Wasior (2001), Wamena (2003), Talangsari (1989), Trisakti (1998), Semanggi I & II (1998-99), dan penghilangan secara paksa 13 pegiat politik (1997-1998).

10 Lihat A/HRC/8/23, paragraf 51. 11 Lihat A/HRC/8/23, paragraf 51.

12 Lihatlah Amnesty International, Indonesia: Surat Terbuka kepada Anggota DPR mengenai peninjauan dan pengesahan

KUHP yang baru (Open letter to the House of People's Representatives on the reviewing and passing of a new Criminal Code) (Indeks: ASA 21/022/2009). Selain itu, Pasal 156 (a) KUHP menjatuhkan hukuman lima tahun penjara bagi "penistaan agama" atau penodaan dan sudah pernah dipakai untuk memidana para individu dari kelompok-kelompok agama minoritas. KUHP adalah satu dari sejumlah perundangan di Indonesia yang mengandung ketentuan-ketentuan yang mendiskriminasi perempuan, agama dan kelompok minoritas lainnya, serta menjatuhkan hukuman mati.

13 Lihatlah Amnesty International, Indonesia: Uraian kepada Komite PBB untuk menentang Penyiksaan (Briefing to the

UN Committee against Torture) (Indeks: ASA 21/003/2008), halaman 11 -16.

14 Pasal 45 UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM mensyaratkan pemerintah untuk membentuk empat pengadilan

HAM permanen di Makassar, Surabaya, Jakarta dan Medan. Tapi sampai sekarang hanya dua dari empat pengadilan itu yang sudah didirikan. Pengadilan-pengadilan HAM juga masih belum didirikan di Aceh dan di Papua, padahal hal ini juga sudah ditentukan oleh UU tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh dan UU tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.

15 Lihatlah Amnesty International, Komentar tentang UU mengenai Pengadilan HAM (Comments on the Law on Human

Rights Courts) (UU No.26/2000) (Indeks: ASA 21/005/2001).

16 Untuk informasi lebih lanjut lihatlah Amnesty International, Urusan yang belum selesai: Akuntabilitas polisi di

Indonesia (Unfinished Business: Police Accountability in Indonesia) (Indeks: ASA 21/013/2009).

17 Bulan Januari 2011, tiga orang tentara yang difilmkan menendangi dan menyiksa warga Papua dijatuhi hukuman

penjara antara delapan dan 10 bulan oleh pengadilan militer karena tidak menaati perintah. Kenyataan bahwa para korban tidak bisa memberikan kesaksian karena tidak memadainya jaminan keamanan menimbulkan kekhawatiran serius mengenai proses pengadilan. Lihatlah Amnesty International, Pemerintah Indonesia didesak untuk menginvestigasi "video penyiksaan" Papua (Indonesian authorities urged to investigate Papua “torture video”) , dan Hukuman untuk

(11)

Tentara Indonesia karena video penyiksaan Papua terlalu ringan (Indonesian soldiers’ sentence for Papua abuse video too light).

18 Untuk informasi lebih lanjut lihatlah Amnesty International, Tak Ada Pilihan: Rintangan atas Kesehatan Reproduktif di

Indonesia (Left Without a Choice: Barriers to Reproductive Health in Indonesia) (Indeks: ASA 21/013/2011). Amnesty International telah menyatakan kekhawatiran khususnya tentang UU tentang UU Kependudukan dan Pembangunan Keluarga (No.52/2009); UU Kesehatan (No. 36/2009); UU Perkawinan (No. 1/1974), yang memuat ketentuan-ketentuan diskriminatif yang melanggar kewajiban HAM Indonesia untuk melindungi perempuan dan anak perempuan dari diskriminasi, serta juga pelanggaran hak atas kesehatan, khususnya kesehatan reproduksi.

19 Lihatlah Tak Ada Pilihan (Left Without a Choice), hh 39-44. 20 Lihatlah Tak Ada Pilihan (Left Without a Choice), hh 15-18.

21 Untuk informasi lebih lanjut lihatlah Amnesty International, Dipenjarakan karena Mengibarkan Bendera: Tahanan Hati

Nurani di Maluku (Jailed for Waving a Flag: Prisoners of Conscience in Maluku) (Indeks ASA 21/008/2009).

22 Pada bulan Desember 2007, pihak berwenang Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 77/2007 tentang

lambang daerah. Pasal 6.4 melarang ditampilkannya logo atau bendera daerah yang memiliki ciri-ciri yang sama dengan yang digunakan oleh "organisasi, perkumpulan, lembaga atau gerakan separatis" di Indonesia. Peraturan pemerintah ini menyebabkan dilarangnya bendera "Bintang Fajar" di Papua, bendera "Benang Raja" di Maluku, dan bendera "Bulan Sabit" di Aceh, dan lain-lainnya karena bendera-bendera itu dikaitkan dengan gerakan-gerakan separatis di Indonesia.

23 Lihatlah Amnesty International, Indonesia: Surat Terbuka kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia: Tuntutan

pidana pencemaran nama baik terhadap pembela HAM Indonesia, Usman Hamid (Open letter to Minister for Justice and Human Rights: Criminal defamation proceedings against Indonesian human rights defender, Usman Hamid) (Indeks: ASA 21/019/2009).

24 Surat Keputusan Bersama (SKB) dari Menteri Agama, Jaksa Agung dan Menteri Dalam Negeri Indonesia tentang

peringatan dan perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan Masyarakat, diberlakukan di Jakarta tanggal 9 Juni 2008.

25 Hukuman mati bisa dijatuhkan untuk pembunuhan berencana; usaha untuk membunuh Presiden atau wakil-Presiden

atau membuat mereka tidak dapat memerintah; makar; pembunuhan berencana atas kepala negara sahabat; pembajakan yang menyebabkan kematian; pencurian dengan kekerasan yang menyebabkan kematian; memproduksi, memproses, mengekstraksi, mengkonversi atau menyediakan narkotika; kejahatan terhadap kemanusiaan, dan "terorisme". Lihatlah Amnesty International, Indonesia: Uraian kepada Komite PBB untuk menentang Penyiksaan (Briefing to the UN Committee against Torture) (Indeks: ASA 21/003/2008).

(12)

LAMPIRAN

DOKUMEN-DOKUMEN AMNESTY INTERNATIONAL UNTUK RUJUKAN LEBIH LANJUT

1

KUHP dan KUHAP

Indonesia: Surat Terbuka kepada DPR RI mengenai pengkajian kembali dan pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (Open letter to the House of People's Representatives on the reviewing and passing of a new Criminal Code) (Indeks: ASA 21/022/2009).

Indonesia: Uraian kepada Komite PBB untuk menentang Penyiksaan (Briefing to the UN Committee against Torture) (Indeks: ASA 21/003/2008).

Impunitas (pembebasan dari proses hukum)

Indonesia: Tidak ada keadilan bagi aktivis politik yang diculik tahun 1997-1998 (No justice yet for political activists abducted in 1997-1998) (Indeks: ASA 21/030/2011).

Timor-Leste: "Kami Memohon Keadilan": Impunitas masih bertahan sepuluh tahun berlalu di Timor-Leste (‘We cry for justice’: Impunity persists 10 years on in Timor-Leste) (Indeks: ASA 57/001/2009).

HAM dan perundang-undangan yang didesentralisasi

Pemerintah Indonesia harus mencabut peraturan daerah tentang hukuman cambuk di Aceh, 20 Mei 2011.

Tautan Web: http://www.amnesty.org/en/news-and-updates/indonesian-government-must-repeal-caning-bylaws-aceh-2011-05-20.

Surat Terbuka mengenai Hukum Pidana Islam di Aceh (Open Letter on the Islamic Criminal Code in Aceh) (Indeks: ASA 21/021/2009).

Pelanggaran HAM oleh pasukan keamanan:

Surat terbuka tentang penggunaan kekuatan yang tidak diperlukan dan berlebihan serta penggunaan senjata api yang tak dapat dibenarkan oleh polisi di Sulawesi Selatan (Open letter on unnecessary and excessive use of force and unjustified use of firearms by police in South Sulawesi) (Indeks: ASA 21/022/2011).

Surat terbuka tentang kegagalan polisi melindungi dan menginvestigasi serangan terhadap

1 Semua dokumen dan informasi dan materi lebih terperinci ini tersedia di situs web Amnesty

(13)

pelatihan HAM (Open letter on police failure to protect and investigate attack on human rights training) (Indeks: ASA 21/020/2011).

Surat terbuka kepada Kapolri tentang kegagalan akuntabilitas kepolisian di Indonesia (Open letter to Head of National Police on failure of police accountability in Indonesia) (Indeks: ASA 21/005/2011).

Hukuman untuk tentara Indonesia karena video penyiksaan Papua terlalu ringan (Indonesian soldiers’ sentence for Papua abuse video too light), 24 Januari 2011.

Tautan Web: http://www.amnesty.org/en/news-and-updates/indonesian-soldiers%E2%80%99-sentence-papua-abuse-video-too-light-2011-01-24.

Pemerintah Indonesia didesak untuk menginvestigasi "video penyiksaan" Papua (Indonesian authorities urged to investigate Papua “torture video”), 19 Oktober 2010. Tautan Web: http://www.amnesty.org/en/news-and-updates/indonesian-authorities-urged-investigate-papua-torture-video-2010-10-19.

Surat terbuka tentang pengabaian kasus penyalahgunaan wewenang polisi di kabupaten Nabire (Open letter on unchecked police abuse in Nabire district, Papua) (Indeks: ASA 21/024/2009).

Urusan yang belum selesai: Akuntabilitas polisi di Indonesia (Unfinished business: Police Accountability in Indonesia) (Indeks: ASA 21/013/2009).

Kesehatan ibu serta hak-hak seksual dan reproduksi:

Indonesia: Peraturan pemerintah tentang sunat perempuan harus dicabut (Government regulation on female circumcision must be repealed ) (indeks: ASA 21/015/2011). Tak ada pilihan: Rintangan atas kesehatan reproduktif di Indonesia (Left without a choice: Barriers to reproductive health in Indonesia) (Indeks: ASA 21/013/2010).

Pekerja rumah tangga:

Indonesia: Dukungan untuk Konvensi ILO mengenai pekerja rumah tangga harus membuka jalan bagi perlindungan di dalam perundang-undangan nasional (Support for ILO convention on domestic workers must pave the way for protection in national legislation) (Indeks: ASA 21/013/2011).

Indonesia: DPR tetap gagal bagi pekerja rumah tangga (Parliament continues to fail domestic workers) (Indeks: PRE01/060/2011).

Surat terbuka kepada Ketua Komisi IX DPR tentang Perlindungan Para Pekerja Rumah Tangga (Open Letter to the Chair of Parliamentary Commission IX on Protection of Domestic Workers) (Indeks: ASA 21/021/2010).

(14)

Kebebasan berekspresi dan para pembela HAM:

Indonesia: Bebaskan para peserta pertemuan yang dilakukan dengan damai di Papua (Release participants of peaceful gathering in Papua) (Indeks: ASA 21/033/2011). Indonesia: Surat terbuka kepada Jaksa Agung Indonesia pada peringatan tujuh tahun pembunuhan Munir (Open letter to the Indonesian Attorney General on the seventh anniversary of the killing of Munir) (Indeks: ASA 21/028/2011).

Indonesia: Tetap belum menginvestigasi penyiksaan pegiat politik di Maluku (Continued failure to investigate torture of political activists in Maluku) (Indeks: ASA 21/018/2011). Indonesia harus berhenti mengkriminalisasi protes politik secara damai di Papua (Indonesia must end criminalization of peaceful political protests in Papua) (Indeks: ASA

21/012/2011).

Indonesia: Para pegiat politik yang ditahan menghadapi risiko penyiksaan (Detained political activists at risk of torture) (Indeks: ASA 21/016/2010).

Surat Terbuka kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia: Tuntutan pidana pencemaran nama baik terhadap pembela HAM Indonesia, Usman Hamid (Open letter to Minister for Justice and Human Rights: Criminal defamation proceedings against Indonesian human rights defender, Usman Hamid) (Indeks: ASA 21/019/2009).

Dipenjara karena mengibarkan bendera: Tahanan hati nurani di Maluku (Jailed for waving a Flag: Prisoners of Conscience in Maluku) (Indeks ASA 21/008/2009).

Diskriminasi dan kebebasan beragama

Surat terbuka tentang pelanggaran HAM terhadap komunitas Ahmadiyah di Jawa Barat (Open letter on human rights violations against the Ahmadiyya in West Java) (Indeks: ASA

21/032/2011).

Indonesia: Putusan pembunuhan atas warga Ahmadiyah tidak akan membendung diskriminasi (Ahmadiyya killings verdicts will not stem discrimination), 28 Juli 2011. Tautan Web: http://www.amnesty.org/en/news-and-updates/indonesia-ahmadiyya-killings-verdicts-will-not-stem-discrimination-2011-07-28.

Indonesia: Jemaat gereja diancam (Church congregation threatened ) (Indeks: ASA 21/017/2011).

Pemerintah Indonesia harus menginvestigasi pembunuhan warga Ahmadiyah (Indonesian authorities must investigate Ahmadiyya killings), 7 Februari 2011.

Tautan Web: http://www.amnesty.org/en/news-and-updates/indonesian-authorities-must-investigate-ahmadiyya-killings-2011-02-07.

Indonesia: Surat terbuka tentang komunitas Ahmadiyah yang mengungsi di Mataram, Lombok (Open letter on the displaced Ahmadiyya community in Mataram, Lombok) (Indeks: ASA 21/008/2010).

Indonesia: Mengungsi dan terlupakan : Ahmadiyah di Indonesia (Displaced and forgotten: Ahmadiyya in Indonesia) (Indeks: ASA 21/006/2010).

(15)

Indonesia: Peninjauan kembali UU nomor 1/pnps/1965 mengenai pencegahan

penyalahgunaan dan/atau penodaan agama (Judicial review of law number 1/pnps/1965 concerning the prevention of religious abuse and/or defamation), komentar tertulis (amicus brief) yang diajukan Article 19 kepada Global Campaign for Free Expression (kampanye Global untuk Kebebasan Berekspresi), Amnesty International, Cairo Institute for Human Rights Studies (Institut Kairo untuk Studi HAM), dan Egyptian Initiative for Personal Rights (Prakarsa Mesir untuk Hak-Hak Pribadi) (Indeks: ASA 21/002/2010).

Hukuman mati:

Hukuman mati dan eksekusi tahun 2010 (Death sentences and executions in 2010) (Indeks: ACT 50/001/2011).

Uraian Amnesty International kepada Komite PBB untuk menentang Penyiksaan (Amnesty International's briefing to the UN Committee against Torture) (Indeks: ASA 21/003/2008). Lihat juga Laporan Tahunan Amnesty International untuk Indonesia yang tersedia di http://www.amnesty.org/en/region/indonesia.

(16)

Amnesty International Sekretariat Internasional Peter Benenson House 1 Easton Street London WC1X 0DW

Referensi

Dokumen terkait

dapat mengetahui cara pemisahan golongan V... Teori dasar II. Reagensia harus dipakai dalam suasana netral atau sedikit basa. Senyawa-senyawa ini harus dihilangkan sebelum memulai

Tujuan dari penelitian ini adalah Untuk mengetahui makna – makna apa yang terkandung dalam lambang-lambang komunikasi pada iklan air minum dalam kemasan AQUA versi “sumber air

Peningkatan kelarutan dalam air dari tepung modifikasi dari bengkuang disebabkan proses hidrolisis secara asam dapat memutus rantai tepung bengkuang menjadi

Untuk mengelola data, agar mendapatkan hasil yang komparatif, penulis menganalisa dokumen – dokumen program tahfidz al-qur’an di MTs N 9 Sleman Yogyakarta, mengamati hasil

1) Hasil penelitian ini meunjukkan bahwa aset pajak tangguhan berpengaruh terhadap manajemen laba akrual. Berdasarkan hasil regresi yang disajikan dalamtabel 4.6 nilai

Kajian ini dilaksanakan bagi mengetahui keupayaan kamera digital yang digunakan dalam kaedah fotogrametri jarak dekat serta menguji perisian kalibrasi yang dapat

Siti Muflichah, “The Charisma Leadership Style of Kyai Haji Arwani Amin The Founder of Yanbuul Quran Pesantren, Kudus,” Journal of Islamic Civilization in Southeast 03,

memunyai wewenang untuk bertindak, serta dapat dilaksanakan dan apabila dilaksanakan biayanya memadai. Selain itu, rekomendasi yang tepat meningkatkan/memperbaiki