• Tidak ada hasil yang ditemukan

ISBN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ISBN"

Copied!
170
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Bunga Rampai

Penginderaan Jauh Indonesia

2013

Pusat Penginderaan Jauh

Institut Teknologi Bandung

Bandung, Indonesia 40132

(3)

ISBN 978-602-19911-3-8

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013

Diterbitkan di Bandung oleh Pusat Penginderaan Jauh, Institut Teknologi Bandung

Gedung Labtek IX-C, lt. 3

Jl. Ganesha No. 10, Bandung 40132 http://crs.itb.ac.id

email: office@crs.itb.ac.id

Editor : Ketut Wikantika, Lissa Fajri Yayusman

Desain sampul : Achmad Ramadhani Wasil, Nur Fajar Trihantoro Cetakan Pertama : April 2015

Hak Cipta dilindungi undang-undang Dilarang mengutip atau memperbanyak

sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa seizin penerbit

UNDANG-UNDANG NOMOR 19 TAHUN 2002 TENTANG HAK CIPTA 1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau memperbanyak

suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).

2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

(4)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 ii

Kata Pengantar

Indonesia telah banyak dihadapkan dengan berbagai bencana alam, kependudukan, sosial-ekonomi, dan berbagai masalah lain yang sesungguhnya secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan lingkungan. Berbagai penelitian dari banyak cabang ilmu pengetahuan dan teknologi telah dikerahkan dalam rangka mengatasi isu-isu tersebut. Salah satu upaya yang sangat vital ialah pendekatan dari segi informasi geospasial yang cepat dan akurat untuk membantu dalam proses perencanaan pembangunan, monitoring, dan pengambilan keputusan.

Teknologi penginderaan jauh merupakan teknologi berbasis geospasial dengan keunggulan yang dapat memberi informasi mengenai gambaran di permukaan bumi. Teknologi ini telah cukup dikenal dengan kemampuan yang dapat memudahkan manusia untuk dapat melakukan analisis spasial terhadap fenomena yang terjadi pada lingkungan sekitar.

Buku berjudul “Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013” ini ditujukan sebagai sarana publikasi karya-karya ilmiah yang berkaitan dengan penginderaan jauh. Beragam karya ilmiah mengenai aplikasi dalam berbagai bidang baik lingkungan, pertanian, perikanan, dan bencana alam menjadi bagian dalam buku ini.

Harapan redaksi agar buku ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun sumber pengetahuan baru di bidang penginderaan jauh. Partisispasi dari para peneliti dan penulis lain juga terus dinantikan agar semakin banyak inovasi dan penyampaian ilmu pengetahuan mengenai penginderaan jauh di masa yang akan datang.

(5)
(6)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 iv

Daftar Isi

Kata Pengantar ... ii Daftar Isi ... iv Karakteristik Pola Curah Hujan di Wilayah Indonesia Berdasarkan Data Satelit TRMM (1998-2011) ... 1 Pemanfaatan Data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) dalam

Verifikasi Peningkatan Akurasi Keluaran Model Curah Hujan Coupled Model

Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) Menggunakan Data Sinar Kosmik di

Indonesia Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan ... 23 Kajian Konsentrasi Klorofil-a di Perairan Danau Matano, Mahalano, dan Towuti Menggunakan Data Landsat-7 ETM ... 37 Identifikasi Alih Fungsi Lahan Pertanian di Tanah Lokasi PRONA dengan Metode Klasifikasi Kontekstual dari Citra Landsat-TM dan Aster ... 63 Model Spasial NDVI Minimum dan Maksimum dengan Landsat TM/ETM+ Multi-temporal (2000-2009) ... 81 Penggabungan Data DEM SRTM, ALOS PRISM, dan Peta Topografi ... 96 Analisis Prospek Panas Bumi dengan Landsat TM5 Berbasis Fuzzy Logic ... 114 Karakterisasi Permukaan Tanah di Wilayah Karst Kecamatan Cipatat

Menggunakan Data SAR ... 137 Pembelajaran dan Pemahaman Konsep Lingkungan Berbasis Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 154

(7)
(8)
(9)

1

Karakteristik Pola Curah Hujan di

Wilayah Indonesia Berdasarkan Data Satelit

TRMM (1998-2011)

(10)

2

Parwati Sofan.

Karakteristik Pola Curah Hujan di Wilayah Indonesia

Berdasarkan Data Satelit TRMM (1998-2011)

Parwati Sofan

Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh

Jl. LAPAN No.70 Pekayon Pasar Rebo, Jakarta Timur 13710

E-mail: parwati@lapan.go.id Abstrak

Karakteristik utama dari variabilitas curah hujan Indonesia pada skala tahunan didominasi oleh monsun Asia-Australia (AA). Pada skala waktu tahunan, distribusi curah hujan bergerak sejalan dengan zona suhu musiman maksimum. Dalam tulisan ini, beberapa karakteristik hujan di Indonesia dianalisis menggunakan data curah hujan berdasarkan data satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) periode 1998 - 2011 pada resolusi 0.25 x 0.25. Secara spasial nilai rata-rata curah hujan setiap pixel diinterpolasi dengan metode Inverse Distance Weighted (IDW). Selanjutnya dilakukan pengkelasan curah hujan berdasarkan acuan BMKG sehingga diperoleh wilayah-wilayah di Indonesia yang memiliki Intensitas curah hujan sangat tinggi, tinggi, menengah, dan rendah. Hasil analisis menunjukkan bahwa curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) terdapat di sebagian wilayah Papua Tengah, Papua Timur, Papua Barat. Curah hujan kategori tinggi (301-400 mm/bulan) terdapat di sebagian wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (Luwu), Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) terdapat di wilayah Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara. Selebihnya wilayah Indonesia termasuk dalam curah hujan kategori menengah (101 – 300 mm/bulan). Selain itu juga dilakukan pengkelasan pola hujan (Monsun, Ekuatorial, Lokal) terhadap 32 provinsi di Indonesia, dimana pola hujan monsun memiliki hujan maksimum pada periode Desember-Januari-Februari (DJF), sedangkan pola hujan ekuatorial memiliki puncak hujan pada bulan Maret dan Oktober, dan pola hujan lokal memiliki hujan maksimum pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA). Hasil korelasi data TRMM dengan data curah hujan BMKG (r  0.8) menunjukkan bahwa data TRMM mampu dengan baik merepresentasikan kondisi curah hujan di wilayah Indonesia.

Kata Kunci: TRMM, klasifikasi curah hujan, pola hujan, analisis korelasi

Abstract

The most striking characteristic of the Indonesian rainfall variability at the annual scale is dominated by the Asian-Australian (AA) monsoon. On the yearly time scale, the rainfall moves in association with the zone of maximum seasonal

(11)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 3

temperatures. In this paper, some characteristics of monsoon over Indonesia are investigated using the spaced-based rainfall data of the Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) for the period 1998 – 2011 at a 0.25 x 0.25resolution. The Inverse Distance Weighted (IDW) method was used to interpolate the rainfall in each pixel. Further more, we used the BMKG classification to clasify the monthly average of rainfall using spasial analysis in Indonesia. The result shows that the very high rainfall class (> 401 mm/month) occurs in Central Papua, East Papua, West Papua. The high rainfall class (301-400 mm/month) occurs in Central Kalimantan, West Kalimantan, South Sulawesi (Luwu), West Sumatera, and North Sumatera. The low rainfall class (0-100 mm/month) occurs in Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara. The rest of Indonesia region exist in the middle rainfall class (101 – 300 mm/month). We also clasify the type of rainfall pattern (Monsun, Equatorial, Local) for 32 provinces in Indonesia. The monsun type has maximum rainfall in Desember-Januari-Februari (DJF) period, while the equatorial type has rainfall peak in March and October. The local type has maximum rainfall in Juni-Juli-Agustus (JJA) period. The correlation between rainfall from TRMM and rain gauge stations in Indonesia show good correlation ((r 0.8). It shows that the TRMM data can represent the local rainfall condition in Indonesia.

Keywords: TRMM, rainfall classification, rainfall type, correlation analysis.

1. PENDAHULUAN

Intertropical Convergence Zone (ITCZ) merupakan zona tekanan rendah yang

berada di dekat ekuator dimana dua angin pasat yang berasal dari belahan bumi utara dan selatan berkonvergensi. Pada zona ini terjadi peningkatan konveksi, keawanan dan presipitasi yang membentuk sirkulasi meridional Hadley. Interaksi antara darat dan laut menyebabkan adanya zonasi pemanasan yang memutarbalikkan sirkulasi barat-timur atau dikenal sebagai sirkulasi Walker dimana udara diangkat naik oleh adanya pemanasan di suatu lintang dan dialihkan ke lintang yang lain. Tiga wilayah yang menjadi pusat konvergensi dari sirkulasi Walker berada di Indonesia, Afrika Tengah dan Daratan Amazon. Dalam analisis iklim global, stuktur, posisi, dan migrasi ITCZ sangat penting diketahui, sedangkan dalam skala lokal iklim suatu wilayah dapat dianalisis berdasarkan interaksi antara udara dan laut (Waliser dan Gautier, 1933; Zhang, 1993, Roswintiarti, 199).

Kondisi iklim di Indonesia pada skala waktu tahunan mengikuti pergerakan ITCZ yang bergerak berdasarkan zona suhu maksimum pada suatu musim. ITCZ akan mencapai posisi terjauh di selatan pada periode Januari-Februari, kemudian bergerak ke utara pada Maret-April dan Mei-Juni, dan mencapai posisi terjauh di utara pada periode Juli-Agustus. Selanjutnya ITCZ akan kembali menuju ke selatan pada periode September-Oktober dan November-Desember. Pergerakan ITCZ lebih dominan melewati wilayah daratan termasuk wilayah Indonesia pada

(12)

4

Parwati Sofan.

saat bergerak dari Samudera Hindia menuju Laut Pasifik Barat, dan dominan melewati lautan dari Laut Pasifik sebelah timur hingga Laut Atlantik (Hastenrath, 1990). Pergerakan posisi ITCZ ini jelas sangat berpengaruh terhadap kondisi curah hujan di Indonesia.

Selain ITCZ, karakteristik dan variabilitas curah hujan di Indonesia secara tahunan juga dipengaruhi oleh Asian-Australian (AA) monsoon. AA monsoon merupakan kunci utama dari sistem iklim bumi yang berpengaruh terhadap kehidupan manusia lebih dari 60% populasi di wilayah tropic (Word Bank Atlas, 2003). Monsoon pada saat winter (northeast monsoon) umumnya bersirkulasi mulai dari bulan November hingga Februari yang ditandai dengan pergerakan angin pasat utara melewati Pasifik Barat dan Asia Tenggara mulai dari lintang 20N menuju ke ekuator. Selanjutnya menuju ke selatan melewati ekuator melalui Pulau Jawa, Australia bagian utara dan Pasifik bagian barat daya. Pada periode monsoon ini, pemanasan utama terdapat di Australia bagian utara dan Pasifik barat di ekuator, sedangkan sumber pendinginan berpusat di daratan Asia. Hujan lebat yang berasosiasi dengan pelepasan panas hasil kondensasi berada diantara lintang 5S dan 15S mulai dari Samudera Hindia hingga Laut Pasifik bagian barat (Gambar 1 sebelah kanan). Sementara itu, pada monsoon summer (southwest monsoon) umumnya terjadi pada periode Juni hingga September ketika angin pasat bergerak dari Samudera Hindia menuju Asia. Sumber pemanasan utama terdapat di Daratan Tibet, sedangkan sumber pendinginan terletak di Samudera Hindia bagian selatan. Hujan lebat terjadi di wilayah India dan negara tetangga di sekitarnya, serta di China bagian selatan dan tengah. Meskipun demikian sumber uap air berasal dari wilayah ekuator di Indonesia (Gambar 1 sebelah kiri).

Gambar 1. Sirkulasi AA Monsoon pada saat musim northeast moonson (kanan) dan southwest monsoon (kiri) (Sumber: Geogonline G3a Climatic hazard. 2013, 2013)

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pentingnya kita memiliki informasi iklim di wilayah Indonesia yang terkait dengan siklus AA Monsoon dan zona konvergensi ITCZ. Penyediaan informasi iklim tidak hanya berdasarkan hasil pengukuran di stasiun iklim, namun kini telah berkembang pesat melalui

(13)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 5 satelit penginderaan jauh. Melalui kapasitasnya yang mampu meliput wilayah yang luas dalam periode yang panjang, data satelit mampu mengestimasi konveksi di wilayah tropis. Kini estimasi hujan bukan hanya berdasarkan kapabilitas spektrum radiasi inframerah dan radiasi sinar tampak, namun diintegrasikan dengan sensor microwave yang mampu mengestimasi kadar uap air dalam awan dan intensitas curah hujan. Pada tanggal 28 November 1997 Satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) telah diluncurkan pada pada ketinggian 403 km, dan dapat memantau dan mempelajari curah hujan di wilayah tropik (50LU – 50LS) sebanyak 16 kali sehari setiap 92.5 menit (Gambar 2). TRMM merupakan misi kerjasama antara NASA dan Japan

Aerospace Exploration Agency (JAXA). Jenis sensor TRMM dapat dilihat pada

Tabel 1.

Gambar 2. Karakteristik sensor-sensor yang dibawa satelit TRMM (Sumber : trmm.gsfc.nasa.gov)

Data TRMM tersedia dalam berbagai produk dengan resolusi spasial dan temporal yang berbeda-beda. Masing-masing produk dihasilkan dari sensor berbeda. Contoh beberapa produk data TRMM dapat dilihat pada Tabel 2. Produk data TRMM dapat diakses melalui website Goddard Space Flight Center NASA (GSFC NASA) di http://trmm.gsfc.nasa.gov serta website Earth Observation Research Center JAXA (EORC) di http://www.eorc.jaxa.jp/TRMM/index_e.htm.

(14)

6

Parwati Sofan.

Berbagai penelitian, validasi, serta aplikasi data TRMM telah banyak dilakukan (Mori et al. 2004, Wolff et al. 2005, Ichikawa and Yasunari 2006).

Tabel 1. Jenis sensor TRMM

Jenis Sensor Resolusi

spasial

Lebar

sapuan Kemampuan

Precipitation Radar (PR) 5 km 247 km  menyediakan profil vertikal hujan/salju dari permukaan hingga ketinggian 20 km

 mendeteksi intensitas hujan ringan (sampai 0.7mm/jam)

 mendeteksi intensitas hujan lebat

TRMM Microwave Imager (TMI)

5.1 km 878 km  menghitung kandungan uap air dalam atmosfer dan awan

 menghitung intensitas curah hujan

Visible and Infrared Scanner (VISR)

2 km 720 km Mengetahui kondisi keawanan

Lightning Imaging Sensor (LIS)

4 km 600 km Mengetahui penyebaran dan variabilitas awan

Cloud and Earth Radiant Energy Sensor (CERES)

25 km seluruh bumi

Mengetahui penyebaran dan variabilitas awan

Produk data TRMM setiap 3 jam adalah TRMM 3B42. Data TRMM 3B42 ini merupakan hasil kombinasi data estimasi curah hujan dari satelit TRMM dan dari satelit lain baik dengan sensor microwave maupun inframerah. TRMM 3B42 memberikan informasi setiap 3 jam dengan arsip data sejak 01-01-1998. Cakupan wilayah datanya meliputi Latitude: 50°S - 50°N; Longitude:180°W - 180°E, dengan resolusi spasial 0.25° x 0.25°; dan jumlah pixel baris = 400, pixel kolom = 1440. Contoh data dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Produk TRMM 3B42 pada 20-03-2012 jam 21.00 UTC (Sumber : trmm.gsfc.nasa.gov)

(15)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 7 Tabel 2. Contoh produk data TRMM yang tersedia

Jenis Deskripsi Resolusi Periode

Spasial Temporal

3A11 Khusus curah hujan di atas lautan, diperoleh dari sensor PR.

5.0 x 5.0 bulanan Desember 1997 - sekarang 3A25 Curah hujan di atas daratan

dan lautan, diperoleh dari sensor PR. 5.0 x 5.0 dan 0.5 x 0.5 bulanan Desember 1997 - sekarang 3A26 Curah hujan di atas daratan

dan lautan, diperoleh dari sensor PR.

5.0 x 5.0 bulanan Desember 1997 - sekarang 3A31 Curah hujan di atas daratan

dan lautan, diperoleh dari sensor PR dan TMI.

5.0 x 5.0 bulanan Desember 1997 - sekarang 3A46 Curah hujan di atas daratan

dan lautan, diperoleh dari sensor SSM/I*.

1.0 x 1.0 bulanan Januari 1998 -sekarang 3B42 Curah hujan di atas daratan

dan lautan, diperoleh dari sensor-sensor TRMM dan lainnya (SSM/I, AMSR-E**,

AMSU-B***).

0.25 x 0.25

setiap 3 jam Desember 1997 - sekarang

3B46 Curah hujan di atas daratan dan lautan, diperoleh dari gabungan data 3B42 dan

raingauge.

0.25 x 0.25

setiap 3 jam Januari 1998 - sekarang

*SSM/I: Special Sensor Microwave Imager (satelit Defense Meteorological Satellite

Program)

**AMSR-E: Advanced Microwave Scanning Radiometer - Earth Observing System

(satelit Aqua)

***AMSU-B: Advanced Microwave Sounding Unit – B (satelit NOAA)

Produk data TRMM bulanan yang telah dikalibrasi dengan data curah hujan global dari stasiun pengukur curah hujan adalah TRMM 3B43. Data TRMM 3B43 merupakan kombinasi antara data estimasi curah hujan dari satelit TRMM dan curah hujan dari satelit lain, serta data curah hujan global dari stasiun pengukur hujan (CAMS global data). Data TRMM diproduksi oleh NOAA Climate Prediction Center, sedangkan data curah hujan global dari stasiun pengukur hujan diproduksi oleh Global Precipitation Climatology Center (GPCC). Saat ini data TRMM 3B43 tersedia sejak 01-01-1998 hingga Juni 2011, tim NOAA CPC sedang melakukan kalibrasi terhadap data TRMM 3B43 untuk memperbaiki tingkat akurasi. Cakupan TRMM 3B43 meliputi wilayah Lintang: 50°S - 50°N; Bujur:180°W - 180°E, dengan resolusi spasial 0.25° x 0.25°dan jumlah pixel baris = 400, pixel kolom = 1440. Verifikasi data TRMM 3B43 di Indonesia telah dilakukan oleh Roswintiarti et al, 2009; 2010 yang menunjukkan

(16)

8

Parwati Sofan.

bahwa ada korelasi yang cukup tinggi (r > 0.8) antara data curah hujan TRMM dengan data curah hujan dari stasiun pengamatan di beberapa wilayah di Indonesia yaitu Jawa Barat (Indramayu, Bandung), Bali, Palangkaraya, dan Maros (Sulawesi Selatan).

Kajian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik spasial dan temporal curah hujan berdasarkan data TRMM di wilayah di Indonesia- terkait dengan AA Monsoon dan ITCZ dalam kurun waktu 14 tahun (1998-2011).

2. DATA DAN METODE

Data yang digunakan adalah data TRMM versi 3B43.6 yang mempunyai resolusi spasial 0.25 x 0.25 dan resolusi temporal bulanan selama 1998 – 2011 (198 bulan). Lokasi studi berada pada wilayah 92.50E – 141.25E; 8.00N – 12.0S dengan dimensi pixel 80 x 195 setiap 0.25 derajat (Gambar 4).

Gambar 4. Studi area penelitian

Analisis statistik yang dilakukan adalah nilai rata-rata curah hujan jangka panjang dan musiman (x), standard deviasi (s), nilai rata-rata musiman, dan trend curah hujan di wilayah daratan dan lautan secara regional dan lokal. Jumlah data yang digunakan (n) adalah 198 bulan. Berikut adalah formula rata-rata (mean) dan standar deviasi (Steel and Torrie, 1993) yang dikalkulasi untuk setiap grid data spasial yang terdiri dari 80 baris dan 195 kolom pixel.

(1)

(17)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 9 Selanjutnya pada analisis spasial dilakukan interpolasi terhadap nilai rata-rata bulanan dengan menggunakan metode Inverse Distance Weighted (IDW) yang mengestimasi nilai suatu sel dengan analisis rata-rata terhadap nilai titik sample tetangga terdekat di setiap sel. Rumus umum IDW adalah sebagai berikut (Bonham-Carter, 1994).

(3)

dimana z0 merupakan nilai yang diduga dan zi merupakan sekumpulan nilai

penduga. Nilai pembobot dalam teknik IDW umumnya dihitung dengan rumus umum berikut:

(4) dimana di0 merupakan jarak antara titik pengamatan i dengan titik yang diduga.

Pembobotan nilai dengan melibatkan kuadrat jarak bukanlah ketetapan yang mutlak. Beberapa varian dari penetapan nilai pembobot ini antara lain dengan teknik eksponensial dan teknik decay. Interpolasi IDW tersedia baik pada perangkat lunak ArcView maupun ArcGIS (Trisasongko et al, 2008).

Ekstraksi nilai curah hujan rata-rata juga dilakukan berdasarkan batas administrasi yang bersumber dari hasil pemetaan Bakosurtanal tahun 2000, dimana Indonesia dibagi menjadi 32 provinsi. Hasil ekstraksi diplot dalam grafik untuk melihat pola hujan pada masing-masing provinsi di Indonesia.

Analisis timeseries dan korelasi dilakukan terhadap data TRMM dengan data curah hujan dari stasiun pengamatan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Analisis korelasi dilakukan untuk mengetahui seberapa besar data TRMM dapat merepresentasikan nilai curah hujan aktual di lapangan. Koefisien korelasi dapat diperoleh dengan formula sebagai berikut (Steel and Torrie, 1993):

x, y = Cov (x,y) / (x, y) (5)

dimana -1 ≤ x, y ≤ 1, dan

(6) dalam hal ini x = data TRMM, y = data curah hujan BMKG,  = koefisien korelasi (atau biasa ditulis dalam notasi huruf kecil r), n = jumlah data, i= data ke-i, xy = nilai rata-rata (mean) dari x dan y.

(18)

10

Parwati Sofan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Nilai Statistik Klimatologi Curah Hujan dari Data TRMM

Berdasarkan klasifikasi curah hujan bulanan dari BMKG yang membagi kelas hujan menjadi 4 kelas, yaitu kelas rendah (0-100 mm/bulan), kelas menengah (101-300 mm/bulan), kelas tinggi (301-400 mm/bulan), dan kelas sangat tinggi (> 401 mm/bulan), maka dilakukan klasifikasi curah hujan rata-rata bulanan periode tahun 1998-2011 dari data TRMM. Hasil analisis curah hujan rata-rata bulanan di wilayah Indonesia secara spasial diperoleh bahwa curah hujan sangat tinggi terdapat di sebagian wilayah Papua Tengah, Papua Timur, Papua Barat. Curah hujan kategori tinggi terdapat di sebagian wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (Luwu), Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Selebihnya wilayah Indonesia sebagian besar curah hujannya berada dalam kategori menengah (101-300 mm/bulan), kecuali di wilayah Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara yang termasuk dalam curah hujan kategori rendah (0 – 100 mm/bulan) (Gambar 5).

Gambar 5. Rata-rata curah hujan berdasarkan data TRMM 1998-2011.

Analisis rata-rata curah hujan bulanan dari Januari hingga Desember dapat dilihat pada Gambar 6, dimana dapat dilihat bahwa pada periode bulan Januari-Februari ketika ITCZ berada paling jauh di selatan, Curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) umumnya masih mendominasi sebagian wilayah Indonesia dengan maksimum curah hujan berada pada Sumatera bagian selatan, P. Jawa, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, Sulawesi bagian selatan dan tengah, serta sebagian Papua. Pada bulan Maret-April saat ITCZ menuju ke ekuator dari posisinya di selatan, curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) masih mendominasi sebagian besar wilayah Indonesia dan mempunyai maksimum curah hujan di wilayah Papua, Sulawesi Tengah, Sumatera bagian selatan, sebagian P. Jawa, sebagian Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah.

(19)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 11 Sementara pada bulan Mei-Juni dimana ITCZ bergerak ke utara ekuator, curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) sudah mulai berkurang dan hanya nampak di sebagian Sulawesi, Maluku dan Papua. Pada periode ini nampak curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) berada di wilayah Nusa Tenggara, Bali, dan sebagian Jawa Timur. Pada posisi terjauh di utara ekuator (Juli – Agustus), ITCZ telah menyebabkan berkurangnya curah hujan hampir di seluruh wilayah Indonesia. Curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) hanya nampak di sebagian kecil Papua Barat dan Papua Tengah, sedangkan curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) telah meluas meliputi wilayah Nusa Tenggara, Bali, Jawa, dan Sulawesi bagian selatan.

Selanjutnya ITCZ akan kembali menuju ekuator dan ke bagian selatan ekuator pada periode September - Oktober dan November - Desember yang mengimplikasikan adanya peningkatan curah hujan di wilayah Sumatera bagian utara dan barat, Kalimantan bagian barat, serta Papua. Pada periode bulan Oktober curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) mulai berkurang dan hanya nampak di wilayah Nusa Tenggara. Selanjutnya memasuki bulan November curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) dan tinggi (301-400 mm/bulan) kembali mendominasi wilayah Indonesia dan puncaknya pada bulan Desember di mana curah hujan maksimum banyak terdapat di wilayah Indonesia (Gambar 6). 3.2 Pola Hujan Bulanan di Wilayah Indonesia

Berdasarkan acuan yang digunakan oleh BMKG, curah hujan di wilayah Indonesia pada umumnya dibagi menjadi 3, yaitu: pola hujan Monsoon, pola hujan Ekuatorial, dan pola hujan Lokal. Hasil analisis pola curah hujan bulanan dari data TRMM periode tahun 1998-2011 yang diekstraksi berdasarkan batas provinsi di Indonesia (32 provinsi) dari peta Bakosurtanal tahun 2000 dapat dilihat pada Gambar 7-9.

Pada Gambar 7 ditunjukkan bahwa wilayah provinsi yang memilki pola hujan Monsun adalah Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur. Pada pola hujan ini memiliki perbedaan jelas antara periode musim kemarau, tipe hujan memiliki pola unimodal dengan puncak musim hujan pada bulan Desember-Januari-Februari (DJF), dan musim kemarau pada bulan Juni-Juli-Agustus (JJA). Berdasarkan analisis periode tahun 1998-2011, pada pola hujan monsun periode DJF nilai rata-rata maksimum curah hujannya sekitar 306 mm/bulan, sedangkan nilai rata-rata minimumnya adalah 49 mm/bulan yang terjadi pada periode JJA.

(20)

12

Parwati Sofan.

Gambar 6. Curah hujan bulanan (Januari-Desember) rata-rata periode tahun 1998-2011 berdasarkan data TRMM.

(21)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 13 Berdasarkan nilai standar deviasi yang dianalisis pada masing-masing bulan (Januari – Desember) periode tahun 1998-2011 (Gambar 7) khususnya untuk wilayah yang memiliki pola hujan monsun menunjukkan bahwa umumnya standar deviasi pada musim kemarau atau pada bulan-bulan yang memiliki curah hujan rendah (JJA) bernilai lebih rendah dibandingkan pada musim hujan (DJF). Nilai standar deviasi yang dirata-rata pada wilayah provinsi dengan pola hujan monsun memiliki nilai minimum pada bulan Agustus yaitu sebesar 35 mm/bulan, sedangkan pada musim hujan memiliki nilai standar deviasi yang maksimum pada bulan Desember (80 mm/bulan). Hal ini menunjukkan bahwa pada musim kemarau variasi nilai curah hujannya kecil, sedangkan pada musim hujan variasi nilai curah hujannya besar dimana terjadi nilai maksimum curah hujan dalam periode tersebut.

Pada Gambar 8 ditunjukkan pola hujan Ekuatorial yang dimiliki oleh wilayah Provinsi Bangka Belitung, gorontalo, Bengkulu, Jambi, DI. Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau. Pada pola hujan ekuatorial wilayahnya memiliki distribusi hujan bulanan bimodial dengan dua puncak musim hujan dan hampir sepanjang tahun masuk dalam kriteria musim hujan. Puncak hujan umumnya terjadi pada bulan Maret atau Oktober.

Berdasarkan nilai standar deviasi yang dianalisis pada masing-masing bulan (Januari – Desember) periode tahun 1998-2011 (Gambar 8) khususnya untuk wilayah yang memiliki pola hujan ekuatorial menunjukkan bahwa nilai standar deviasi tertinggi terdapat pada bulan Maret (77 mm/bulan) dan Oktober (89 mm/bulan) yang merupakan puncak musim hujan. Sebaliknya pada musim kemarau atau pada saat curah hujan minimum mempunyai nilai standar deviasi yang rendah, yaitu Januari (61 mm/bulan), Mei (56 mm/bulan), dan November (62 mm/bulan).

(22)

14

Parwati Sofan.

Gambar 7. Pola hujan monsoon di wilayah Indonesia periode tahun 1998-2011 TRMM (nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai standard deviasi ditunjukkan oleh

(23)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 15

Gambar 8. Beberapa contoh pola hujan ekuatorial yang dianalisis dari data TRMM periode 1998-2011 (nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai stadard deviasi

ditunjukkan oleh grafik garis)

Pada Gambar 9 ditunjukkan pola hujan lokal yaitu di wilayah provinsi Papua Barat, Papua Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah. Pola hujan ini memiliki ciri bentuk pola hujan unimodial (satu puncak hujan) dimana puncak hujannya berada dalam bulan JJA. Berdasarkan analisis nilai standar deviasi pada pola hujan lokal, umumnya nilai standar deviasi tertinggi terdapat pada periode bulan JJA dengan nilai maksimum 96 mm/bulan (Agustus). Sedangkan nilai

(24)

16

Parwati Sofan.

standar deviasi terendah terdapat pada bulan Februari dan November dengan kisaran antara 49 – 50 mm/bulan.

Gambar 9. Contoh pola hujan lokal yang dianalisis dari data TRMM periode 1998-2011 (nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai standar deviasi ditunjukkan oleh

grafik garis)

3.3 Validasi dengan Data Lapangan

Analisis timeseries dan korelasi dilakukan antara data curah hujan dari TRMM dan data stasiun klimatologi BMKG. Periode data yang digunakan untuk validasi adalah 1998 – 2007 di wilayah Indramayu dan Bali, Palangkaraya, Bandung, Aceh dan Maros (Sulawesi Selatan). Gambar 10 menunjukkan hasil analisis korelasi dimana nilai koefisien korelasi (r) di wilayah kajian mencapai lebih dari 0.8. Oleh karenanya data TRMM dapat merepresentasikan kondisi curah hujan lokal di sebagian besar wilayah Indonesia.

(25)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 17 0 100 200 300 400 500 600 1 23 4 56 7 8 910 11 121 2 3 45 6 78 9 10 1112 1 23 4 5 67 8 9 1011 12 12 3 4 56 7 89 10 11 121 2 34 5 6 78 9 1011 12 1 23 4 56 7 8 910 11 12 12 3 45 6 7 89 10 1112 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 R a in fa ll (m m /m o n th ) r = 0.807

Indramayu - West Java (1998 - 2004)

Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based 0 100 200 300 400 500 600 700 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 R a in fa ll (m m /m o n th ) r = 0.779

Palangkaraya - Central Kalimantan (1998 - 2007)

Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based 0 100 200 300 400 500 600 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1998 1999 2000 R a in fa ll (m m /m o n th ) r = 0.807 Aceh (1998 - 2000) Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based 0 100 200 300 400 500 600 1 2 3 4 5 6 7 8 91011 121 2 3 4 5 67 8 910 11121 2 3 4 5 6 78 910 11 121 2 3 4 5 6 7 8 910 11 1212 3 4 5 6 7 8 910 11 121 23 4 5 6 7 8 910 11 121 2 34 5 6 7 8 910 11 121 2 3 45 6 7 8 910 11 12 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 R a in fa ll (m m /m o n th ) r = 0.881 Bali (1998 - 2005) Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based 0 100 200 300 400 500 600 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 R a in fa ll (m m /m o n th ) r = 0.838

Bandung - West Java (1998 - 2006)

Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based -100 100 300 500 700 900 1100 1300 1500 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 R a in fa ll (m m /m o n th ) r = 0.940

Maros - South Sulawesi (1998 - 2007)

Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based

(26)

18

Parwati Sofan.

Gambar 10. Grafik timeseries antara TRMM dan curah hujan stasiun di Indramayu, Palangkaraya, Aceh, Bali, Bandung, dan Maros periode tahun 1998 - 2007

0 100 200 300 400 500 600 1 23 45 67 89 1011 121 23 45 67 89 1011 121 23 45 67 89 1011 121 23 45 67 89 1011 121 23 45 67 89 1011 121 23 45 6789 1011 121 23 45 67 89 1011 12 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 R a in fa ll (m m /m o n th ) r = 0.807

Indramayu - West Java (1998 - 2004)

Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based 0 100 200 300 400 500 600 700 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 R a in fa ll (m m /m o n th ) r = 0.779

Palangkaraya - Central Kalimantan (1998 - 2007)

Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based 0 100 200 300 400 500 600 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1998 1999 2000 R a in fa ll (m m /m o n th ) r = 0.807 Aceh (1998 - 2000) Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based 0 100 200 300 400 500 600 1 2 3 4 5 6 7 8 91011 121 2 3 4 5 67 8 910 11121 2 3 4 5 6 78 910 11 121 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 1212 3 4 5 6 7 8 910 11 121 23 4 5 6 7 8 910 11 121 2 34 5 6 7 8 910 11 121 2 3 4 5 6 7 8 910 11 12 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 R a in fa ll (m m /m o n th ) r = 0.881 Bali (1998 - 2005) Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based 0 100 200 300 400 500 600 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 R a in fa ll (m m /m o n th ) r = 0.838

Bandung - West Java (1998 - 2006)

Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based -100 100 300 500 700 900 1100 1300 1500 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 R a in fa ll (m m /m o n th ) r = 0.940

Maros - South Sulawesi (1998 - 2007)

Rainfall_TRMM Rainfall_Ground Based

(27)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 19 4. KESIMPULAN

Berdasarkan analisis bulanan data curah hujan dari TRMM periode tahun 1998 – 2011 (198 bulan) diketahui bahwa:

 Rata-rata curah hujan sangat tinggi (> 401 mm/bulan) terdapat di sebagian wilayah Papua Tengah, Papua Timur, Papua Barat. Curah hujan kategori tinggi (301-400 mm/bulan) terdapat di sebagian wilayah Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, Sulawesi Selatan (Luwu), Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Curah hujan rendah (0-100 mm/bulan) terdapat di wilayah Maluku, Bali, dan Nusa Tenggara. Selebihnya wilayah Indonesia termasuk dalam curah hujan kategori menengah (101 – 300 mm/bulan).

 Wilayah provinsi yang memilki pola hujan Monsun adalah Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa timur, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Banten, Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

 Pola hujan Ekuatorial dimiliki oleh wilayah Provinsi Bangka Belitung, gorontalo, Bengkulu, Jambi, DI. Aceh, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Riau.

 Pola hujan lokal yaitu di wilayah provinsi Papua Barat, Papua Tengah, Maluku, Maluku Utara, dan Sulawesi Tengah.

 Curah hujan maksimum pada pola hujan monsun terjadi pada periode Desember-Januari-Februari (DJF), pola hujan ekuatorial memiliki puncak hujan pada bulan Maret dan Oktober, sedangkan pola hujan lokal memiliki hujan maksimum pada periode Juni-Juli-Agustus (JJA).

DAFTAR REFERENSI

Bonham-Carter GF. 1994. Geographic inforation systems for geoscientists. Pergamon, Kidlington, UK. 398p.

Geogonline G3a Climatic hazard. 2013. Tropical Region - Summary Explanatory

Descriptions of Main Climate Types.

http://www.geogonline.org.uk/g3a_ki3.2.htm. Disunting pada tanggal 10 September 2013

Hastenrath, S. 1990. The relationship of highly reflective clouds to tropical climate anomalies. J.Climate, 3, 353-365.

Ichikawa, Hiroki, Tetsuzo Yasunari, 2006: Time–Space Characteristics of Diurnal Rainfall over Borneo and Surrounding Oceans as Observed by TRMM-PR. J.

Climate, 19, 1238–1260. Shige et al. 2007.

Mori, S., H. Jun-Ichi, Y.I. Tauhid, M. D. Yamanaka, N. Okamoto, F. Murata, N. Sakurai, H. Hashiguchi, T. Sribimawati, 2004: Diurnal land–sea rainfall peak migration over Sumatra Island, Indonesian Maritime Continent, observed by TRMM satellite and intensive rawinsonde soundings. Mon. Wea. Rev, 132, 2021–2039.

(28)

20

Parwati Sofan.

Roswintiarti, O. 1999. Statistical Analysis and Numerical Simulations of the Intertropical Convergence Zone during Normal and ENSO Years. Dissertation. Marine, Earth and Atmospheric Sciences. North Carolina State University.

Roswintiarti, O., S. Parwati, A. Zubaidah. 2009. Pemanfaatan Data TRMM dalam Mendukung Pemantauan dan Prediksi Curah Hujan Di Indonesia. Berita Inderaja Volume VIII, No. 14, Juli.

Roswintiarti, O., dan P. Sofan. 2010. The Relationship between the Indonesian and Indian Monsoon Based on TRMM Rainfall Data. Proceedings of the International Symposium on Equatorial Monsoon System. Jakarta, July 28-29, 2010. BMKG.

Steel, R. G. D.. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika. PT. Gramedia

Pustaka Utama, Jakarta.

Trisasongko, B.H, DR Panuju, Harimurti, AF Ramly, H Subroto. 2008. Kajian spasialkesetimbangan air pada skala DAS. Publikasi Teknis DATIN, Kementrian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta

TRMM Background. http://trmm.gsfc.nasa.gov. Disunting pada 10 Agustus 2013.

Waliser, D. E., and C. Gautier, 1993: A satellite-derived climatology of the ITCZ.

J.Climate, 6, 2162-2174.

Wolff, David B., D. A. Marks, E. Amitai, D. S. Silberstein, B. L. Fisher, A. Tokay, J. Wang, J. L. Pippitt, 2005: Ground Validation for the Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM). J. Atmos. Oceanic Technol., 22, 365–380.

Word Bank Atlas, 2003. Atlas Of Global Development. World Bank.

http://www.bmkg.go.id/BMKG_Pusat/Klimatologi/Informasi_Hujan_Bulanan.bmkg Zhang, C., 1993: Large-scale variability of atmospheric deep convection in relation to sea

surface temperature in the tropics. J. Climate, 6, 1898-1913.

(29)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 21 BIOGRAFI PENULIS

Parwati Sofan, S.Si., M.Sc.

Penulis menyelesaikan studi S1 pada Program Studi Agrometeorologi, Jurusan Geofisika dan Meteorologi FMIPA-IPB tahun 1999. Sejak tahun 2002 bekerja di Pusat Pemanfaatan Penginderaan Jauh – Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) sebagai peneliti bidang lingkungan dan mitigasi bencana alam. Tahun 2008 penulis menyelesaikan Program Master pada program studi Remote Sensing and GIS Applications di International School of Beihang University of Aeronautics and Astronautic (BUAA), di Beijing-China. Penelitian yang sudah dilakukan antara lain adalah aplikasi data satelit penginderaan jauh untuk analisis cuaca dan iklim, bencana alam (kekeringan, banjir, kebakaran hutan, letusan gunung berapi), pertanian (pertumbuhan padi, produktivitas padi). Penulis aktif menuliskan papernya baik pada jurnal nasional maupun internasional. Pada tahun 2011, penulis diberi kesempatan oleh Asia-Pacific Space Cooperation Organization (APCSO) untuk mengajar pada Training Course on Environment and Disaster Monitoring

Through Space Technology baik materi maupun praktek pengolahan data dengan

tema “Space Applications – Drought” yang dilaksanakan di Dhaka, Bangladesh tanggal 26-30 November 2011. Penulis juga pernah menjadi Technical Suporter periode tahun 2009-2011 pada kegiatan Voluntary Project :

Space Applications for Environment (SAFE) Prototype on Potential Drought Monitoring bersama dengan Universitas Tokyo dan Geo-Informatics Center,

(30)
(31)

23

Pemanfaatan Data Tropical Rainfall

Measuring Mission (TRMM) dalam Verifikasi

Peningkatan Akurasi Keluaran Model Curah

Hujan Coupled Model Intercomparison

Project Phase 3 (CMIP3) Menggunakan Data

Sinar Kosmik di Indonesia Berbasis Jaringan

Syaraf Tiruan

(32)

24 Jalu Tejo Nugroho, dkk.

Pemanfaatan Data Tropical Rainfall Measuring Mission

(TRMM) dalam Verifikasi Peningkatan Akurasi Keluaran

Model Curah Hujan Coupled Model Intercomparison Project

Phase 3 (CMIP3) Menggunakan Data Sinar Kosmik di Indonesia

Berbasis Jaringan Syaraf Tiruan

Jalu Tejo Nugroho1, Safwan Hadi1, Bayong Tjasyono1, dan The Houw Liong2

1Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, ITB

2Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, ITB

E-mail: imeljalu@yahoo.com Abstrak

Telah dilakukan penelitian untuk meningkatkan akurasi keluaran model curah hujan Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) di wilayah Indonesia dengan memanfaatkan data Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) sebagai verifikator. Hasil simulasi jaringan syaraf tiruan (JST) dua masukan, yaitu data CMIP3 dan data sinar kosmik pada wilayah dengan klaster II terbukti meningkatkan koefisien korelasi (R) data latih dan data uji masing-masing sebesar 31,8% dan 5,6% dibandingkan simulasi dengan satu masukan. Hasil ini melengkapi bukti yang telah ada sebelumnya tentang pengaruh sinar kosmik yang intensitasnya di atmosfer bumi dimodulasi oleh aktivitas matahari pada curah hujan di wilayah Indonesia. Mekanisme yang melatarbelakangi hubungan tersebut adalah kelistrikan global di atmosfer yang mempengaruhi inti kondensasi awan di lapisan troposfer.

Kata kunci: model curah hujan CMIP3, Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), sinar kosmik, jaringan syaraf tiruan (JST)

Abstract

In this study we have successfully to improve the accuracy of rainfall global model namely Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) in Indonesia region by using Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) data as verification. The addition of cosmic rays parameter as an input of artificial neural network (ANN) have increased the correlation coefficient (R) of training and testing data up to 31.8% and 5.6% respectively for cluster II region. This result supports the previous study about effects of solar activity on rainfall in Indonesia region. The mechanism underlying this relationship is global electricity in the atmosphere that affect cloud condensation nuclei in the troposphere.

Keywords: CMIP3 model, Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM), cosmic

(33)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 25 1. PENDAHULUAN

Sistem iklim di permukaan bumi saling berinteraksi satu sama lain sehingga menyebabkan mekanismenya menjadi sangat kompleks dan sulit dipahami. Untuk mengatasi tuntutan ini para ahli menciptakan model numerik dari sistem bumi yang mengacu pada model kesetimbangan energi yang telah berevolusi selama beberapa dekade terakhir. Pada dasarnya, model iklim berusaha untuk mereplika proses sistem iklim di bumi (sebagai contoh termodinamika, dinamika fluida, dan proses ekosistem) yang memungkinkan kita untuk bereksperimen dengan parameter-parameter sistem dan menarik kesimpulan tentang bagaimana sumber yang berbeda menciptakan sifat/karakter yang berbeda. Dalam hal ini dikenal istilah model sirkulasi global yang mengintegrasikan beberapa model yang telah ada sebelumnya, seperti model atmosfer, dinamika awan, permukaan tanah, serta model-model lainnya. Salah satu model iklim yang telah banyak digunakan adalah World Climate Research Programme (WCRP) Coupled Model

Intercomparisan Project Phase 3 (CMIP3) oleh Meehl et al. (2007) yang berbasis

pada proyeksi iklim yang digunakan oleh Intergovermental Panel on Climate

Change (IPCC). Salah satu dari model iklim global untuk curah hujan tersebut

adalah CSIRO-Mk3.SRES 0 A1B yang merupakan model downscaled menggunakan metode bias-correction/spatial.

Untuk studi karakteristik dan mekanisme curah hujan di daerah tropis satelit

Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) merupakan wahana yang tepat.

Ichikawa dan Yasunari (2006) menggunakan data TRMM untuk mengetahui karakteristik ruang dan waktu dari siklus diurnal curah hujan di Kalimantan. Mereka menyimpulkan bahwa komponen baratan (timuran) troposfer bawah berhubungan dengan periode konveksi aktif (tidak aktif) di atas pulau yang berkaitan dengan gangguan atmosfer intramusiman yang diakibatkan oleh

Madden Julian Osillation (MJO). Meneghini et al. (2004) dengan menggunakan

metode Surface Reference Technique (SRT) dan metode Hitschfeld–Bordan telah meneliti profil curah hujan global menggunakan data TRMM dari sensor PR. Dari perhitungan selama dua minggu diperoleh bahwa 90% estimasi kejadian hujan di sepanjang lautan masih berada dalam rentang nilai yang dapat ditoleransi.

Siklus harian curah hujan dan variasi regional di Sumatera, Indonesia juga telah diteliti oleh Mori et al. (2004) menggunakan data TRMM dari sensor yang sama. Dengan kemampuan sensor dalam mendeteksi hujan secara langsung terlepas dari kondisi permukaan dan awan mereka mengemukakan bahwa curah hujan konvektif banyak mendominasi wilayah Sumatera pada waktu lokal 15.00 sampai

dengan 20.00.

As-syakur dan Prasetia (2010) menyebutkan adanya tingkat korelasi yang sedang sampai kuat antara data satelit TRMM dengan data obserasi dari Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) di Indonesia. Data satelit tersebut dapat memberikan informasi sebaran spasial temporal curah hujan di

(34)

26 Jalu Tejo Nugroho, dkk.

Indonesia. Data curah hujan TRMM juga dapat dijadikan untuk memverifikasi keluaran model curah hujan global. Satiadi (2009) membandingkan antara curah hujan konvektif hasil simulasi model sirkulasi umum atmosfer dengan data TRMM. Hasil perbandingan menunjukkan pola distribusi yang secara umum mengikuti pola data TRMM. Analisis validasi yang dilakukan oleh As-syakur et al. (2011) di wilayah Bali menunjukkan bahwa data TRMM memiliki korelasi yang sangat baik dengan data pengukuran pada rentang waktu bulanan dibandingkan dengan data harian selama kurun waktu 1998 sampai dengan 2002. Data TRMM di wilayah ini diketahui memiliki nilai yang lebih rendah (under

estimated) dibandingkan dengan data pengukuran.

Aktivitas matahari dalam berbagai literatur telah terbukti ikut berperan pada variabilitas iklim di permukaan bumi, termasuk di dalamnya curah hujan. Sinar kosmik telah diketahui berkorelasi negatif dengan aktivitas matahari yang dikarakterisasi oleh bilangan bintik matahari (sunspot). Pada saat aktivitas matahari maksimum maka intensitas sinar kosmik yang mencapai permukaan bumi akan menjadi minimum dan sebaliknya. Secara umum dikatakan apabila fluks sinar kosmik yang mencapai atmosfer bumi maksimum maka tutupan awan di atmosfer pun menjadi maksimum yang dapat berdampak pada peningkatan intensitas curah hujan di bumi oleh Svensmark dan Friis-Christensen (1997) serta Gernowo (2009).

Menurut Rosenfeld (2006) dan Tinsley et al. (2007), mekanisme antara intensitas sinar kosmik yang masuk ke atmosfer bumi dengan variabilitas curah hujan di permukaan bumi adalah melalui kelistrikan global di atmosfer melalui proses ionisasi, dimana ionisasi oleh sinar kosmik menjadikan atmosfer sebagai plasma penghantar listrik sehingga arus listrik melewati ionosfer menuju atmosfer bawah yang pada akhirnya mempengaruhi inti kondensasi awan. Konsentrasi droplet inti kondensasi awan ini akan mengontrol reflektivitas awan dan efisiensi curah hujan pada awan rendah (Carslaw et al, 2002).

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk memanfaatkan data TRMM sebagai verifikator dalam peningkatan akurasi keluaran model curah hujan di wilayah Indonesia dengan melibatkan faktor sinar kosmik sebagai masukan (input) jaringan syaraf tiruan.

2. DATA DAN METODE PENELITIAN

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah data bulanan TRMM tipe 3B43 yang dapat diperoleh dari http://disc.sci.gsfc.nasa.gov/ TRMM mulai dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010 dengan resolusi 0,25o x 0,25o

dan dalam satuan mm/jam. Data sinar kosmik bersumber dari observatorium Beijing, Cina diunduh dari: ftp.ngdc.noaa.gov/ dalam satuan hourly counting

rate, mulai dari bulan Januari 1993 s.d Juni 2010. Data keluaran model iklim

(35)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 27 dipilih adalah data CSIRO-Mk3.SRES 0 A1B. Data tersebut merupakan data bulanan grid global tiap 0,5o x 0,5o berturut-turut untuk lintang dan bujur. Data

yang dipergunakan dalam penelitian dipilih untuk wilayah Indonesia dengan posisi bujur dan lintang masing-masing adalah 95,25oBT-141,75oBT dan

9,75oLU-11,75oLS dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010.

Metode penelitian yang digunakan adalah jaringan syaraf tiruan (JST) propagasi mundur (backpropagation) yang terdiri atas satu neuron pada lapisan masukan dan satu neuron pada lapisan keluaran. Mengacu pada Kusumadewi (2004), arsitektur jaringan menggunakan dua lapisan tersembunyi, masing-masing dengan sepuluh neuron pada lapisan tersembunyi pertama dengan fungsi aktivasi tansig dan lima neuron pada lapisan tersembunyi kedua dengan fungsi aktivasi

logsig. Pada lapisan keluaran digunakan fungsi aktivasi purelin. Sebelum

dilakukan proses propagasi mundur terlebih dulu dilakukan proses preprocessing dan propagasi maju (feedfordward propagation).

Dengan asumsi data masukan (data keluaran model curah hujan dan sinar kosmik) disimpan pada matriks p dan target (data curah hujan observasi) pada matriks t, maka:

[pn, meanp, stdp, tn, meant, stdt] = prestd (P,T) (1) dimana pn dan tn masing-masing adalah matriks masukan dan keluaran yang ternormalisasi, meanp dan meant berturut-turut adalah rata-rata (mean) pada matriks masukan (p) dan keluaran (t), stdp dan stdt adalah deviasi standar pada matriks masukan (p) dan keluaran (t), dan prestd adalah fungsi untuk mengubah data ke bentuk normal dengan rata-rata = 0 dan deviasi standar = 1. Tahap selanjutnya dibangun jaringan dengan metode pembelajaran traingdm:

net = newff(minmax(pn), [10 5 1], {'tansig' 'logsig' 'purelin'}, 'traingdm') (2) dengan newff adalah fungsi yang digunakan untuk membangun jaringan backpropagation, minmax(pn) adalah fungsi untuk menentukan skala masukan dan keluaran, serta traingdm adalah fungsi untuk menghitung gradien serta memperbaiki nilai bobot pada setiap pengoperasian data masukan. Proses pembelajaran dilakukan dengan perintah:

net = train(net, pn, tn) (3)

Selanjutnya dilakukan pengujian (simulasi) terhadap data-data yang ikut dilatih:

an = sim(net, pn) (4)

dengan an adalah vektor yang digunakan untuk menyimpan hasil simulasi jaringan. Selanjutnya keluaran jaringan dan target dianalisis dengan regresi linear

(36)

28 Jalu Tejo Nugroho, dkk.

yang menghasilkan persamaan garis serta koefisien korelasi dengan menggunakan fungsi postreg.

[m, a, r] = postreg(a, T) (5)

dimana m, a, dan r berturut-turut adalah gradien hasil regresi linear, titik perpotongan dengan sumbu-y, dan koefisien korelasi antara keluaran jaringan dengan target.

Pengelompokan wilayah yang menjadi lingkup penelitian ini dilakukan menggunakan metode pengklasteran samar (fuzzy clustering). Teknik ini dapat menentukan klaster optimal dalam suatu ruang vektor yang didasarkan pada bentuk normal Euclidian untuk jarak antar vektor. Fuzzy c-means (FCM) adalah suatu teknik pengklasteran data dimana keberadaan tiap-tiap titik data dalam suatu klaster ditentukan oleh derajat keanggotaan. Konsep dasar FCM adalah menentukan pusat klaster, yang akan menandai lokasi rata-rata untuk tiap-tiap klaster. Dengan cara memperbaiki pusat klaster dan derajat keanggotaan tiap-tiap titik data secara berulang, maka akan dapat dilihat bahwa pusat klaster akan bergerak menuju lokasi yang tepat.

Mengacu pada Kusumadewi (2006), masukan data X yang akan diklaster dapat dinyatakan sebagai matriks berukuran n x m yang dituliskan dengan: Xij = data

sampel ke-i (i = 1,2,3,..., n), atribut ke-j (j = 1,2,3,..., m), dengan n adalah jumlah sampel data dan m adalah atribut tiap data. Langkah selanjutnya adalah menentukan jumlah cluster (c), pangkat (w), maksimum iterasi (MaxIter), galat terkecil yang diharapkan (), fungsi obyektif awal (Po= 0), dan iterasi awal (t =1). Bilangan random μik, dengan i = 1,2,...,n dan k = 1,2,...,c dibangkitkan sebagai

elemen-elemen matriks partisi awal U. Jumlah setiap kolom (atribut) dihitung menggunakan persamaan:

(6) dengan j = 1,2,...,m. Pusat cluster ke- k: Vkj dapat dihitung sebagai berikut:

(7)

dengan k = 1,2,...,c dan j = 1,2,...,m. Tahap selanjutnya adalah menghitung fungsi obyektif pada iterasi ke-t, Pt:

P𝑡 = ∑𝑖=1𝑛 ∑𝑘=1𝑐 ([∑𝑚𝑗=1(𝑋𝑖𝑗− 𝑉𝑖𝑗)2] (𝜇𝑖𝑘)2) (8)

 c k ik j Q 1

   n i w ik n i ij w ik kj X V 1 1 ) ( * ) (

(37)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 29

PtPt1

serta perubahan matriks partisi:

(9)

dengan i = 1,2,...,n dan k = 1,2,...,c. Kondisi berhenti tercapai jika atau (t>MaxIter). Jika tidak maka: t = t + 1, yang berarti mengulang langkah-langkah sebelumnya.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahap pertama penelitian ini adalah mengaplikasikan metode pengklasteran untuk mengklasifikasikan daerah di Indonesia berdasarkan kesesuaian data yang dianalisis, yaitu data keluaran model curah hujan serta data TRMM dengan jumlah klaster yang dipilih sebanyak tiga klaster. Gambar 1 merupakan hasil pengklasteran data bulanan keluaran model curah hujan tahun 2000 sementara Gambar 2 adalah hasil pengklasteran data bulanan TRMM untuk tahun yang sama. Pemilihan tahun 2000 dalam penentuan klaster dengan pertimbangan bahwa tahun tersebut bersesuaian dengan kondisi aktif matahari yang merupakan puncak siklus ke- 23 aktivitas matahari. Diharapkan agar pada saat identifikasi pengaruh masukan parameter aktivitas matahari di dalam jaringan syaraf tiruan (JST) guna peningkatan akurasi keluaran model curah hujan akan dapat diperoleh hasil yang maksimal.

Perhitungan koefisien korelasi statistik (R) antara data keluaran model curah hujan dengan data TRMM dari bulan Januari 1998 sampai dengan bulan Desember 2010 untuk masing-masing klaster telah dilakukan. Tabel 1 memuat nilai R tertinggi yang diperoleh pada daerah dengan klaster II, baik untuk data TRMM maupun data keluaran model curah hujan. Gambar 3 menunjukkan plot dari kedua data tersebut.

Langkah yang selanjutnya dilakukan adalah mengaplikasikan metode JST untuk merekonstruksi serta memprediksi data keluaran model curah hujan dengan menjadikan data TRMM sebagai data untuk mengecek akurasinya. Pemilihan klaster serta rentang waktu data yang akan diuji mengacu pada data yang mempunyai nilai korelasi linear tertinggi antara data keluaran model curah hujan dengan data TRMM, yaitu klaster II data keluaran model curah hujan dengan klaster II data TRMM untuk keseluruhan bulan.



                          c k w m j kj ij w m j kj ij ik V X V X 1 1 1 2 1 1 1 2 1

(38)

30 Jalu Tejo Nugroho, dkk.

Gambar 1. Hasil pengklasteran data keluaran model curah hujan tahun 2000. Klaster I, II, dan III, masing-masing ditandai dengan area berwarna biru tua (I), biru muda (II),

dan coklat (III).

Gambar 2. Hasil pengklasteran data TRMM tahun 2000. Klaster I, II, dan III, masing-masing ditandai dengan area berwarna coklat (I), hijau (II), dan biru (III). Tabel 1. Nilai Koefisien korelasi data keluaran model curah hujan dan data

TRMM untuk keseluruhan bulan Januari 1998 sampai Desember 2010 untuk setiap klaster

TRMM

Klaster I Klaster II Klaster III

Mo d el CH Klaster I 0.05 0.16 0.12 Klaster II -0.20 0.57 0.04 Klaster III -0.21 0.40 -0.06

(39)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 31 y = 0.0244x - 0.0086 R² = 0.3275 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.45 0.5 0 4 8 12 16 TR M M ( m m /jam )

Keluaran Model Curah Hujan (mm/hari)

Gambar 3. Plot persamaan linear dan koefisien korelasi antara data keluaran model curah hujan dengan data TRMM untuk keseluruhan bulan mulai dari Januari 1998

sampai dengan Desember 2010

Data yang menjadi masukan pada proses simulasi menggunakan JST dengan satu masukan adalah data bulanan keluaran model curah hujan, mulai dari Januari 1998 sampai dengan Juni 2010. Data yang menjadi target yaitu data TRMM dengan rentang yang sama. Jumlah data yang digunakan sebanyak 150 data, 100 data pertama merupakan data pelatihan dan sisanya menjadi data pengujian. Nilai optimum R antara data pengujian dengan data target sebesar 0,58 yang tercapai pada saat epoch 12000. Gambar 4 merupakan plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target hasil simulasi JST dengan satu masukan. Rekonstruksi data pengujian terhadap data target untuk kasus ini ditampilkan dalam Gambar 5.

Untuk meningkatkan akurasi data keluaran model curah hujan yang menjadi input jaringan terhadap data TRMM sebagai data acuan secara hipotesis dapat dilakukan dengan memperhitungkan parameter lain yang telah terbukti secara fisis ikut berkontribusi pada variabilitas curah hujan sebagai input tambahan. Peningkatan akurasi tersebut ditandai dengan adanya peningkatan nilai koefisien korelasi antara data pengujian dengan data target.

Berdasarkan perhitungan R antara data bilangan bintik matahari dengan data TRMM klaster II diperoleh hasil korelasi yang negatif sebesar 0,05. Sementara R antara data sinar kosmik dengan data TRMM klaster II sebesar 0,39. Dari perhitungan ini maka parameter aktivitas matahari yang dimasukkan sebagai masukan tambahan pada arsitektur JST adalah sinar kosmik. Data yang menjadi masukan JST dengan dua masukan adalah data bulanan keluaran model curah hujan serta data sinar kosmik sementara yang menjadi target yaitu data TRMM. Interval data dimulai dari Januari 1998 sampai dengan Juni 2010. Dengan demikian, arsitektur yang yang dibangun terdiri atas dua neuron pada lapisan

(40)

32 Jalu Tejo Nugroho, dkk.

Gambar 4. Plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target untuk satu masukan

Gambar 5. Rekonstruksi data pengujian terhadap data target pada jaringan dengan satu masukan

input dan satu neuron pada lapisan keluaran. Dari simulasi diperoleh nilai optimal R antara data pelatihan dengan data target sebesar 0,87 dan untuk data pengujian dengan data target sebesar 0,62 yang tercapai pada saat epoch 12000. Gambar 6 merupakan plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target sementara plot data pengujian terhadap data target untuk kasus ini ditampilkan dalam Gambar 7.

(41)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 33

Gambar 6. Plot persamaan linier serta R antara data pengujian dengan data target untuk dua masukan dengan nilai epoch optimal 12000.

Gambar 7 Rekonstruksi data pengujian terhadap data target untuk dua input pada nilai epoch optimal 12000

Diperoleh hasil bahwa nilai R jaringan dengan dua masukan (yaitu data keluaran model curah hujan dan data sinar kosmik), baik untuk data pelatihan maupun untuk data pengujian mengalami peningkatan terhadap data target (yaitu data TRMM) dibandingkan pada jaringan dengan hanya satu masukan saja (data keluaran model curah hujan saja). Tabel 2 menampilkan persentase kenaikan nilai R terhadap penambahan masukan JST. R11, R12, R21, dan R22 berturut-turut menyatakan R data pelatihan terhadap data target untuk satu masukan, data pelatihan terhadap data target untuk dua masukan, data pengujian terhadap data

(42)

34 Jalu Tejo Nugroho, dkk.

target untuk satu masukan, dan data pelatihan terhadap data target untuk dua masukan.

Tabel 2. Persentase kenaikan nilai koefisien korelasi (∆R) terhadap penambahan input pada epoch optimal

R11 R12 R21 R22

0,66 0,87 0,587 0,62

% ∆R 31,8% 5,6%

Dari Tabel 2 di atas terlihat adanya peningkatan nilai R, baik untuk data latih maupun data uji pada hasil simulasi JST dengan dua masukan dibandingkan terhadap JST dengan satu masukan. Dengan penambahan masukan berupa parameter sinar kosmik pada simulasi JST telah dapat meningkatkan akurasi keluaran model curah hujan untuk wilayah Indonesia dengan klaster II dengan menggunakan data TRMM sebagai verifikator hasil prediksi yang diperoleh. Hasil penelitian ini dapat melengkapi bukti-bukti sebelumnya tentang pengaruh sinar kosmik pada variabilitas curah hujan di berbagai wilayah di permukaan bumi. Zherebtsov et al. (2005) mengatakan bahwa tingkat dan korelasi antara intensitas sinar kosmik dan keawanan global bergantung pada posisi lintang, karakter permukaan (daratan atau lautan) serta karakteristik tutupan awan.

4. KESIMPULAN

Dengan penambahan faktor yang ikut berkontribusi terhadap variabilitas curah hujan di permukan yaitu sinar kosmik telah dapat meningkatkan akurasi keluaran model curah hujan Coupled Model Intercomparison Project Phase 3 (CMIP3) di wilayah Indonesia dengan memanfaatkan data Tropical Rainfall Measuring

Mission (TRMM) sebagai verifikator. Peningkatan akurasi yang diperoleh

ditunjukkan dengan peningkatan nilai koefisien korelasi (R) simulasi menggunakan metode jaringan syaraf tiruan (JST) baik antara data latih maupun data uji yang dibandingkan terhadap data acuannya.

Dari metode pengklasteran diperoleh nilai R optimal antara data TRMM dengan data CMIP3 sebesar 0,57 untuk wilayah dengan klaster II. Hasil simulasi JST dengan dua masukan menunjukkan adanya peningkatan nilai R, baik untuk data latih dan data uji masing-masing sebesar 31,8% dan 5,6% dibandingkan dengan hasil simulasi satu masukan. Hasil ini melengkapi bukti yang telah ada sebelumnya tentang pengaruh sinar kosmik yang intensitasnya dimodulasi oleh aktivitas matahari pada curah hujan di wilayah Indonesia.

(43)

Bunga Rampai Penginderaan Jauh Indonesia 2013 35 DAFTAR REFERENSI

As-syakur, A.R., dan R. Prasetia, 2010. Pola Spasial Anomali Curah Hujan Selama

Maret Sampai Juni 2010 di Indonesia; Komparasi Data TRMM Multisatellite Precipitation Analysis (TMPA) 3B43 dengan Stasiun Pengamat Hujan, Prosiding

Penelitian Masalah Lingkungan di Indonesia, pp. 505-516, Universitas Udayana As-syakur, A.R., Tanaka, T., Prasetia, R., Swardika, I.K., dan Kasa, I.W., 2011,

Comparison of TRMM multisatellite precipitation analysis (TMPA) products and daily-monthly gauge data over Bali, International Journal of Remote Sensing, Vol. 32, No. 24, 8969–8982

Carslaw, K. S., Harison R. G., dan Kirkby J., 2002, Cosmic Rays, Clouds, and Climate, Science, 298, 1732-1737

Didi Satiadi, 2009, Perbandingan Curah Hujan Hasil Simulasi Model Sirkulasi Umum Atmosfer dengan Data Observasi Satelit TRMM, Majalah Sains dan Teknologi Dirgantara Vol. 4 No. 1, hal. 31-40

Gernowo R., 2009, Dinamika Atmosfer Curah Hujan Ekstrim dan Evaluasi Awal

Teknologi Modifikasi Cuaca Sistem Statis di DKI Jakarta (Disertasi), Institut

Teknologi Bandung

Ichikawa H. And T. Yasunari, 2006. Time – Space Characteristics of Diurnal Rainfall

over Borneo and Surrounding Oceans as Observed by TRMM-PR. Journal of

Climate: Vol. 19, No. 7, pp. 1238-1260

Kusumadewi, S., 2004, Membangun Jaringan Syaraf Tiruan Menggunakan Matlab dan

Excel Link, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta

Kusumadewi, S., 2006, Multi-Attribute Decision Making (FMADM), Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta

Meehl, G. A., C. Covey, T. Delworth, M. Latif, B. McAvaney, J. F. B. Mitchell, R. J. Stouffer, and K. E. Taylor: The WCRP CMIP3 multi-model dataset: A new era in climate change research, Bulletin of the American Meteorological Society, 88, 1383-1394, 2007.

Meneghini, R., J. A. Jones, T. Iguchi, K. Okamoto and J. Kwiatkowski, 2004. A Hybrid

Surface Reference Technique and Its Application to the TRMM Precipitation Radar.

Journal of Atmospheric and Oceanic Technology: Vol. 21, No. 11, pp. 1645-1658 Mori S., H. Jun-Ichi, Y. I. Tauhid, M. D. Yamanaka, N. Okamoto, F. Murata, N. Sakurai,

H. Hashiguchi, and T. Sribimawati, 2004. Diurnal Land-Sea Rainfall Peak

Migration over Sumatera Island, Indonesian Maritime Continent, Observed by TRMM Satellite and Insentive Rawinsonde, Soundings. Monthly Weather Review:

Vol. 132, No. 8, pp. 2021-2039

Rosenfeld, D., 2006. Aerosol-cloud interactions control of earth radiation and latent heat

release budgets, Space Sci. Rev., 125, 149-157

Svensmark, H. dan Friis-Christensen, 1997, Variation of cosmic ray flux and global cloud

coverage - a missing link in solar-climate relationships, J. Atmos. Solar Terr. Phys.

59, p. 1225-1232

Tinsley B. A., G.B. Burns, Limin Zhou, 2007. The role of the global electric circuit in

solar and internal forcing of clouds and climate, Advances in Space Research 40,

pp. 1126–1139

Zherebtsov G.A., Kovalenko V.A., Molodykh S.I., 2005, The physical mechanism of the

solar variability influence on electrical and climatic characteristics of the troposphere, Advances in Space Research, Volume 35, Issue 8, pp. 1472–1479

Gambar

Gambar 6. Curah hujan bulanan (Januari-Desember) rata-rata periode tahun 1998-2011  berdasarkan data TRMM
Gambar 7. Pola hujan monsoon di wilayah Indonesia periode tahun 1998-2011 TRMM  (nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai standard deviasi ditunjukkan oleh
Gambar 8. Beberapa contoh pola hujan ekuatorial yang dianalisis dari data TRMM  periode 1998-2011 (nilai rata-rata ditunjukkan oleh grafik batang, nilai stadard deviasi
Gambar 10. Grafik timeseries antara TRMM dan curah hujan stasiun di Indramayu,  Palangkaraya, Aceh, Bali, Bandung, dan Maros periode tahun 1998 - 2007
+7

Referensi

Dokumen terkait

KMKO Sipil

Meskipun NDC adalah dokumen yang lebih memfokuskan tindakan ke depan, negara dapat memilih untuk memasukkan informasi adaptasi yang sudah dilakukan, seperti upaya adaptasi dan

Beberapa faktor yang menyebabkan inkonsistensi ini, antara lain: (a) pengembangan petani tidak sesuai dengan rencana induk perkebunan Aceh yang telah diterbitkan sejak

Demikian pula dapat dilakukan penghapusan data video yang sudah tersimpan dalam database dengan terlebih dahulu memilih/menyorot data video pekerjaan pada kotak Data Video

Pasien dan dokter sudah sepakat untuk melakukan dialysis di RSU Bali Royal maka pasien akan mengirimkan data traveling dan data medis melalui email, setelah itu pasien akan di

Hasil penelitian semen segar pada suhu 5 0 C dengan perlakuan tanpa menggunakan pengencer menunjukkan rataan persentase abnormalitas spermatozoa tertinggi pada lama simpan

Pada simulasi, dengan menggunakan nilai parameter kontroler PID konstan pada Tabel 1 dan Tabel 2 diperoleh respon translasi dan rotasi seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11

yang dilakukan oleh peneliti pada saat di rumah sakit tempat mahasiswa praktik, mahasiswa praktik, masih banyak didapatkan pembimbing klinik yang belum optimal dalam masih