• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisa Perluasan Alat Bukti Dengan Peng

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisa Perluasan Alat Bukti Dengan Peng"

Copied!
6
0
0

Teks penuh

(1)

Analisa Perluasan Alat Bukti Dengan Pengaturan Hukum Acara Di luar KUHAP, Serta Bandingkan Dengan Rancangan KUHAP

Seperti diketahui dalam pembuktian tidaklah mungkin dan dapat tercapai kebenaran mutlak (Absolut) semua pengetahuan kita hanya sifat relatif, yang didasarkan pada pengalaman, penglihatan, dan pemikiran yang tidak selalu pasti benar, jika diharuskan adanya syarat kebenaran mutlak untuk dapat menghukum seseorang, maka tidak boleh sebagian besar dari pelaku tindak pidana pastilah dapat mengharapkan bebas dari penjatuhan pidana. Satu-satunya yang dapat disyaratkan dan yang sekarang dilakukan adalah adanya suatu kemungkinan besar bahwa terdakwa telah bersalah melakukan perbuatan-perbuatan yang dituduhkan, sedangkan ketidak-kesalahannya walaupun selalu ada kemungkinannya merupakan suatu hal yang tidak diterima sama sekali.

Jika hakim atas dasar alat-alat bukti yang sah telah yakin bahwa menurut pengalaman dan keadaan telah dapat diterima, bahwa sesuatu tindak pidana benar-benar telah terjadi dapat terjadi dan terdakwa dalam hal tersebut bersalah, maka terdapatlah bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan menyakinkan.

Didalam KUHAP telah diatur tentang alat-alat bukti yang sah yang dapat diajukan didepan sidang peradilan. Pembuktian alat-alat bukti diluar KUHAP dianggap tidak mempunyai nilai dan tidak mempunyai kekuatan yang mengikat.

Adapun alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut:

a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

(2)

mempermudah hakim dalam mencari pembuktian terhadap terdakwa. Peraturan ITE tersebut diatur dalam Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008. Selain itu, peraturan baru lainnya seperti Undang – Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam rancangan KUHAP pun telah dibuat peraturan alat bukti yang baru yaitu bukti elektronik dan lain-lain.

A. Alat bukti menurut KUHAP

Alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang telah diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP adalah sebagai berikut:

a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Keterangan saksi dalam pasal 1 angka 27 KUHAP adalah suatu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya. Menurut ketentuan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, memberi batasan pengertian keterangan saksi dalam kapasitasnya sebagai alat bukti, adalah “Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.”

(3)

Menurut Pasal 187 KUHAP, Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah:

a. berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangannya itu;

b. surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenal hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;

c. surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi dan padanya;

d. surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dari alat pembuktian yang lain.

Menurut Pasal 188 KUHAP ayat (1), Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, Keterangan terdakwa adalah apa yang terdakwa nyatakan di sidang tentang perbuatan yang dilakukan atau yang ia ketahui sendiri atau ia alami sendiri.

B. Alat bukti menurut di luar KUHAP

(4)

tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, tidak terbatas pada tulisan, suara atau gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, simbol, atau perporasi yang memiliki makna atau yang dapat dipahami atau dibaca.

Dalam praktik, muncul berbagai jenis yang dapat dikategorikan sebagai alat bukti elektronik seperti misalnya e-mail, pemeriksaan saksi menggunakan video conference (teleconference), system layanan pesan singkat/SMS, hasil rekaman kamera tersembunyi (cctv), informasi elektronik, tiket elektronik, data/dokumen elektronik, dan sarana elektronik lainnya sebagai media penyimpanan data.

C. Alat Bukti menurut Rancangan Kitab Undang – undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP)

Alat bukti yang sah menurut pasal 175 ayat (1) mencakup: a. barang bukti;

b. surat-surat; c. bukti elektronik;

d. keterangan seorang ahli; e. keterangan seorang saksi; f. keterangan terdakwa; dan g. pengamatan hakim.

Alat bukti yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus diperoleh secara tidak melawan hukum, hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.

Sedangkan bukti elektronik merupakan seluruh bukti yang dipakai untuk membuktikan suatu tindak pidana yang dilakukan dengan memakai sarana elektronik ( Pasal 176 KUHAP ).

Berdasarkan Pasal 182 ayat (1) dan ayat (2) mengatakan:

a. Pengamatan hakim selama sidang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 175 ayat (1) huruf g adalah didasarkan pada perbuatan, kejadian, keadaan, atau barang bukti yangkarena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri yang menandakan telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya.

(5)

Analisa Perluasan Alat Bukti

Pada umumnya peraturan tentang alat bukti yang sah sebagaimana yang telah dikenal didalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pasal 184 ayat (1) ada 5 antara lain yaitu:

a. Keterangan Saksi;

b. Keterangan ahli;

c. Surat;

d. Petunjuk;

e. Keterangan terdakwa.

Namun dalam seiring perkembangannya zaman peraturan tentang alat bukti yang sah dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana pada pasa 184 ini sudah tidak relevan lagi karena tidak mencukupi kriteria alat bukti terhadap terdakwa. Pada kenyataannya kita membutuhkan alat bukti elektronik yang dapat memudahkan hakim dalam memecahkan permasalahan di persidangan seperti yang diatur dalam Undang – Undang Nomor 11 tahun 2008 dan RKUHAP pasal 175 ayat (1).

Penjelasan Pasal 183 Kitab Undang-Undang Hukum Acara (KUHAP) telah jelas menyatakan bahwa keberadaan alat bukti mutlak harus ada dalam sebuah kasus pidana, jika tidak ada alat bukti hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang atau setidaknya harus ada minimal dua alat bukti, dan apabila hanya 64 terdapat satu alat bukti dalam proses persidangan, maka alat bukti tersebut belum cukup kuat untuk membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana.

Barang bukti sebagaimana yang diatur dalam Pasal 39 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menjelaskan bahwa barang bukti adalah barang atau alat yang secara langsung atau tidak langsung untuk melakukan tindak pidana atau hasil dari tindak pidana serta alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), padahal ini masih bersifat kuantitatif karena sistem teori pembuktian di Indonesia masih menganut sistem teori pembuktian secara negatif (Negatief Wettlijk Stelsel) yaitu salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang.

(6)

(lima) alat bukti yang sah, dan diluar dari alat-alat bukti tersebut tidak dibenarkan untuk dipergunakan sebagai alat bukti dalam membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana, namun untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum yang berkenaan dengan alat bukti teknologi informasi, khususnya yang terkait dengan penggunan alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti petunjuk, hakim dapat melakukan suatu penafsiran ekstensif yang merupakan pemikiran secara meluas dari peraturan perundang-undang yang berlaku positif dalam hal ini, alat bukti petunjuk di perluas, sehingga alat pendeteksi kebohongan (lie detector) dapat dijadikan alat bukti yang sah pada proses peradilan pidana. Penafsiran ekstensif yang dilakukan hakim tidak hanya sebatas pada peraturan-peraturan yang ada di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana melainkan dapat mengacu kepada Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang merupakan dasar hukum dalam penggunan sistem elektronik Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ini lebih memberikan kepastian hukum karena ruang lingkup berlakunya lebih luas, selain itu Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik juga mengakui hasil penggunan sistem elektronik, khususnya mengenai hasil tes penggujian alat pendeteksi kebohongan (lie detector) sebagai alat bukti yang sah, yaitu alat bukti petunjuk.

Berdasarkan penjelasan Pasal 177 Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP), bukti elektronik merupakan informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu, termasuk setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan/atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas maupun yang terekam secara elektronik yang berupa tulisan, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna.

Dalam perubahan-perubahan perluasan alat bukti dalam UUPPLH maupun

Referensi

Dokumen terkait

Untuk mengatasi masalah tersebut, perlu diupayakan penyelesaiannya, dan menurut penulis, Bagian Prodi Kampus STMIK Bina Sarana Global perlu mengembangkan suatu

Hasil pengukuran dapat diterima karena penyimpangan hasil pengukuran yang digambarkan dengan nilai standar deviasi cukup kecil yaitu 1,07% untuk sampel uji 1 dan 1,49% untuk

Hasil sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh sangat nyata (Pvalue = 5,82 x 10 -16 ) yang berarti bahwa peluang untuk membantah konsep

Dari biji tumbuhan ini dihasilkan produk olahan yang dikenal sebagai coklat.Wikipedia Jadi rancangan wisata edukasi kakao adalah proses merancang fasilitas yang melibatkan

2. Al-mashlahah al-mulghah , yaitu sesuatu yang dianggap mashlahah oleh akal pikiran, tetapi dianggap palsu karena kenyataannya bertentang dengan ketentuan

Untuk menghindari adanya salah pengertian tentang konsep- konsep yang akan dikaji dalam penelitian ini, maka diperlukan penjelasan beberapa istilah seperti yang tertuang di

Lompat ke konten Jumat, Maret 17, 2017 About Me Contact me Privacy Policy Disclaimer TOS Sitemap Safara Jogja Safara Jogja Sharing And News Menu About Me Contact me

Semua personel pentadbiran dan pentaksiran yang menguruskan pengendalian instrumen pentaksiran, panduan penskoran, skrip jawapan calon dan perekodan skor calon