• Tidak ada hasil yang ditemukan

Persinggungan Hukum Pidana dan Hukum Adm

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Persinggungan Hukum Pidana dan Hukum Adm"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

1

PERSINGGUNGAN HUKUM PIDANA DAN HUKUM ADMINISTRASI NEGARA

DALAM PENYELESAIAN PERKARA KORUPSI1

Ali Rido Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Islam Indoensia (PSHK FH UII),

Jl. Lawu No. 01, Kotabaru, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia.

Pendahuluan

Mewujudkan negara yang sejahtera, adil dan makmur merupakan suatu kegiatan yang memerlukan waktu panjang dan terencana dengan melibatkan semua pihak, baik administrasi negara maupun rakyat. Tujuan bernegara Indonesia yang tercantum jelas dalam Alinea IV

Pembukaan UUD 19452 sesungguhnya menunjukkan ciri negara modern

(warefare state atau social service-state), yaitu pemerintah wajib

menyelenggarakan bestuurzorg (kesejahteraan umum).3 Untuk mencapai

tujuan tersebut, kepada pejabat negara diberikan

kewenangan-kewenangan berdasarkan peraturan perundang-undangan, yang

diwujudkan dalam bentuk hak dan kewajiban. Wewenang inilah yang menjadi dasar tindakan pemerintah untuk melakukan berbagai tindakan

hukum di bidang hukum publik (publiekrechtshandeling) dan

pembangunan dalam berbagai bidang.4

Proses pembangunan dapat menimbulkan kemajuan dalam kehidupan masyarakat, selain itu dapat juga mengakibatkan perubahan kondisi sosial masyarakat yang memiliki dampak sosial negatif, terutama menyangkut masalah peningkatan tindak pidana yang meresahkan masyarakat. Salah satu tindak pidana yang dapat dikatakan cukup fenomenal adalah masalah korupsi. Tindak pidana ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tapi juga merupakan pelanggaran terhadap

hak-hak sosial dan ekonomi5 masyarakat serta menyebabkan

lembaga-lembaga publik terpuruk sehingga dapat menurunkan kepercayaan

masyarakat.6 Walaupun Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah

1 Makalah dipersiapkan untuk diskusi mingguan Forum Kajian Hukum dan Kebijakan Daerah, di Daerah Istimewa Yogyakarta.

2 Dalam teks asli Alinea IV Pembukaan Undnag-Undang Dasar 1945 dinyatakan, “...memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan

ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial...”

3 SF Marbun, et.al, Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Press, 2001, hlm 144.

4 Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Cetakan Ke-8, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2013, hlm. 122.

5 Evi Hartanti, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, hlm 1.

6 Laporan International Corruption Watch (ICW) menunjukan bahwa akibat perilaku koruptif aparat negara seperti di Hongkong, Nigeria, Banglades dan India telah lama menjadi sarang koruptor, menimbulkan instabilitas dalam sistem pemerintahan, merosotnya ekonomi, politik dan sosial budaya sebagai pilar dalam kehidupan bernegara. Lihat selengkapnya dalam

Syamsul Halim, “Paradigma Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”, Tesis,

(2)

2

dibentuk sebagai “the guardian of corruption act”,7 beserta sejumlah sanksi

pidana yang berat, namun korupsi ternyata masih menjadi masalah paling utama bagi para pelaku bisnis dalam menjalankan usaha di Indonesia.

Di samping itu, sungguhpun ketentuan pidana telah mencantumkan sanksi pidana yang berat namun pada kenyataannya, fenomena korupsi masih menjadi aspek yang sulit dihilangkan. Apabila melihat pada

ketentuan pidana di dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 junto

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), setidaknya terdapat 11 pasal berkenaan sanksi pidan yang tersebar ke dalam pasal-pasal sebagai berikut: Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, dan Pasal 13. Namun demikian, potret korupsi tetap menjadi

sindrom yang sepertinya sulit dihilangkan. Salah satu yang

menggambarkan atas fenomena tersebut, adalah dari jumlah perkara korupsi berdasarkan pada jenis perkara dalam tabel berikut:

Berdasarkan tabel di atas menunjukan; pertama, sanksi pidana yang

diproyeksikan sebagai ultimum remidium pada kenyataannya belum bisa

memberikan efek jera bagi pelaku korupsi. Koruptor seolah tidak merasa takut akan keberadaan pidana maupun denda yang telah disebutkan di

dalam UU Tipikor. Kedua, bahwa titik rawan terjadinya korupsi dimulai

dari penyimpangan dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah. Kasus korupsi dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah yang ditangani KPK, ternyata ditemukan sejumlah fakta menarik dari penelitian yang

dilakukan KPK terhadap kasus tersebut yaitu:8

1. 90 persen pada kasus pengadaan barang/jasa di antaranya akibat

penunjukkan langsung tanpa melewati prosedur tender;

7Ibid, hlm. 19.

(3)

3

2. penunjukan panitia pengadaan dan pimpinan proyek, mayoritas

dilakukan bukan atas dasar profesionalisme dan integritas, tetapi

berdasarkan adanya faktor kedekatan, seperti hubungan

kekeluargaan antara pemimpin lembaga dan pegawai yang bersangkutan;

3. mayoritas proyek pengadaan barang dan jasa pemerintah dilakukan

bukan karena memang proyek itu sungguh-sungguh dibutuhkan, melainkan karena proyek itu dijinjing dan dititipkan dari "atas"; dan

4. lelang yang seharusnya dilakukan secara fair, terbuka, dan

berdasarkan kompetensi, banyak yang dilakukan sebagai proforma dan persekongkolan.

Di sisi lain, munculnya istilah kriminalisasi jabatan atau kebijakan, juga menjadi fakta yang seolah penerapan hukum pidana sebagai alat menyelesaian korupsi dipandang tidak tepat. Hal tersebut, tidaklain karena dalam kasus korupsi yang khususnya melibatkan pejabat negara mengetengahkan tiga unsur penting yang dijadikan alat untuk mengukur pejabat negara di dakwa melakukan korupsi. Ketiga unsur tersebut meliputi „melawan hukum‟ dan „menyalahgunakan wewenang‟ yang dibarenagi „merugikan keuangan negara‟. Dari ketiga unsur tersebut lah yang dijadikan dasar untuk mendakwa pejabat melakukan tindak pidana. Namun yang menjadi catatan, penerapan tiga unsur tersebut seringkali

ditempatkan pada kerangka (framework) hukum pidana, tanpa

mempertimbangkan bahwa ketika pejabat melakukan aktivitasnya berada pada lingkup hukum administrasi negara.

Kemudian, aspek „merugikan keuangan negara‟ sesungguhnya

merupakan dampak dari perbuatan yang dilakukan oleh pejabat negara sehingga sangat tidak logis bilamana seseorang yang menggunakan keuangan negara tanpa melawan hukum kemudian didakwa telah merugikan keuangan negara. Terhadap hal itu, lagi-lagi tidak ada kerangka pikir bahwa pejabat negara dalam menggunakan keuangan negara merupakan aktivitas administrasi dari pejabat yang sesungguhnya diperintahkan oleh undang-undang.

(4)

4

Analisis Hukum Penyelesaian Perkara Korupsi yang Melibatkan Pejabat Negara

Sebagaimna diterngkan dimuka, bahwa pengenaan atau dakwaan terhadap kasus korupsi didasarkan pada tiga unsur, yaitu melawan hukun, menayalahgunakan wewenang, dan merugikan keuangan negara. Mengingat tiga unsur itulah yang menjadi dasar, maka menjadi penting untuk dielaborasi terlebih dahulu ketiga unsur tersebut.

1. Unsur Melawan Hukum

Ridwan HR dalam melakukan analisis unsur tersebut, pada intinya

menyebutkan9 bahwa seorang pejabat di samping sebagai wakil jabatan

(vertegenwoordiger) yang melakukan tindakan untuk dan atas nama jabatan (ambthshalve) yang dalam hal ini berlaku norma pemerintahan dan membawa konsekuensi tanggungjawab jabatan, juga sebagai manusia (natuurlijke person) yang tunduk pada norma perilaku aparat dan berpotensi melakukan tindakan maladministrasi yang mebawa konsekuensi tanggungjawab pribadi. Sanksi pidana baik berupa

penjara maupun denda diterapkan terhadap pejabat secara pribadi (in

person) yang melakukan tindakan maladministrasi.

Dengan demikian, menurut Ridwan suatu perbuatan pejabat dapat dikategorikan memenuhi unsur “melawan hukum” dalam arti formil (formele wederrechtelijkheid) ketika tindakannya itu dalam kapasitas sebagai wakil jabatan dan berkenaan dengan norma pemerintahan. Sedangkan suatu perbuatan pejabat dapat dikategorikan memenuhi unsur “melawan hukum” dalam arti materiil (materiele wederrechtelijkheid) ketika pejabat yang bersangkutan melakukan

tindakan maladministrasi. Konsekuensi yuridis tindakan

maladministrasi adalah tanggungjawab pribadi.10 Berdasarkan paparan

di atas, bahwa untuk menilai pejabat melawan hukum harus menggunakan norma-norma hukum yang digunakan oleh pejabat ketika melakukan aktivitasnya, yakni hukum administrasi bukan dengan parameter hukum pidana.

2. Unsur Penyalahgunaan Wewenang

Hadjon menyatakan, bahwa dalam mengukur apakah telah terjadi penyalahgunaan wewenang, haruslah dibuktikan secara nyata bahwa pejabat telah menggunakan wewenangnya untuk tujuan lain. Terjadinya penyalahgunaan wewenang bukanlah karena suatu kealpaan. Penyalahgunaan wewenang dilakukan secara sadar yaitu mengalihkan tujuan yang telah diberikan kepada wewenangnya itu. Pengalihan tujuan didasarkan atas interest pribadi, baik untuk

(5)

5

kepentingan dirinya sendiri ataupun untuk orang lain.11 Mengingat

penyalahgunaan wewenang karena didasarkan kesadaran dan kepentingan pribadi, maka dalam mengukurnya harus menggunakan

asas pemerintahan yang juga diakomodir di dalam hukum

administrasi, yaitu asas motivasi. Dengan demikian, aspek hukum administrasi menjadi penting untuk batu ujinya dibanding dengan menggunakan hukum pidana.

Adapun tujuan pembuktian adanya penyalahgunaan wewenang, menurut Lotulung adalah sebagai berikut:

“Pembuktian adanya detournement de pouvoir pada hakikatnya merupakan usaha untuk mencari latar belakang apa yang

sesungguhnya mendorong si pejabat yang bersangkutan

mengeluarkan beshickking. Apakah tidak ada maksud/tujuan lain dari si pejabat yang bersangkutan dalam mempergunakan wewenang yang diberikan kepadanya.”

Penyalahgunaan wewenang hanya mungkin dilakukan oleh mereka yang memperoleh wewenang atas dasar atribusi dan delegasi. Dalam hal mandate, pihak yang mungkin menyalahgunakan wewenang adalah mandans (pemberi tugas) dan bukan mandataris (pelaksana tugas). Pihak yang diberi dan yang menyalahgunakan wewenang adalah pihak yang dibebani tanggungjawab hukum. Hal ini sejalan dengan asas geen bevoegheid zonder verantwoordelijkhedi dan geen veroontwoordelijkheid zonder verantwoording (tidak ada kewenangan tanpa pertanggungjawaban dan tidak ada pertanggungjawaban tanpa

kewajiban). Pihak pelaksana tugas (mandataris) tidak dilekati

wewenang, karena itu tidak mungkin menyalahgunakan wewenang dan

karena itu pula tidak dibebani tanggungjawab hukum.12

Berdasarkan hal di atas, tampak bahwa konsep penyalahgunaan wewenang itu berkenaan dengan organ pemerintahan yang diberi wewenang itu bukan dengan organ pemerintah yang diberi wewenang dan menggunakan wewenang itu untuk tujuan yang tidak sesuai dengan tujuan diberikannya wewenang tersebut. dengan demikian, parameter untuk menguji ada tidaknya penyalahgunaan wewenang adalah asas spesialitas, yakni asas yang menentukan bahwa setiap wewenang itu diberikan kepada organ pemerintahan dnegan tujuan

tertentu.13

11 Philipus M. Hadjon, et.al, Pengantar Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2002, hlm. 26.

12 Ridwan, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta: FH UII Press, 2014, hlm. 181.

(6)

6

3. Unsur Merugikan Keuangan Negara

Menurut Sumaryanto,14 kerugian keuangan negara adalah suatu

kerugian yang terjadi karena perbuatan (perbuatan melawan hukum). Dalam kaitan ini, faktor-faktor lain yang menyebabkan kerugian Negara adalah penerapan kebijakan yang tidak benar, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Adapun faktor yang menimbulkan kerugian negara, setidaknya ada tiga kemungkinan terjadinya kerugian negara tersebut sebagai berikut, yaitu:

a. Terdapat pengadaan barang-barang dengan harga yang tidak

wajar karena jauh di atas harga pasar, sehingga dapat merugikan keuangan Negara sebesar selisih harga pembelian dengan harga pasar atau harga yang sewajarnya.

b. Harga pengadaan barang dan jasa wajar. Wajar tetapi tidak

sesuai dengan spesifikasi barang dan jasa yang dipersyaratkan. Kalau harga barang dan jasa murah, tetapi kualitas barang dan jasa kurang baik, maka dapat dikatakan juga merugikan keuangan negara.

c. Terdapat transaksi yang memperbesar utang Negara secara tidak

wajar, sehingga dapat dikatakan merugikan keuangan

negarakarena kewajiban Negara untuk membayar utang

semakin bear.15

Berkenaan dengan pejabat negara dalam pelaksanaan tugas melakukan kerugian negara, maka tepat bila diterapkan instrumen hukum administrasi. Hal ini didasarkan bahwa pejabat Negara atau pegawai negeri telah melakukan penyalagunaan wewenang. Bahkan melakukan kesewenang-wenangan dalam rangka pelaksanaan tugas yang bersumber dari jabatan itu. Penyalagunaan wewenang atau melakukan kesewenang-wenangan bukan merupakan perbuatan melawanan hukum.

Berdasarkan penggunaan instrument hukum administrasi, bila terjadi kerugian negara yang dilakukan oleh pejabat negara tidak boleh

digunakan pertanggungjawaban pribadi in casu pertanggung jawaban

pidana. Kecuali dalam pelaksanaan wewenang terdapat upaya untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi. Apabila yang demikian, maka kemudian boleh diterapkan pertanggungjawaban pidana.

Berdasarkan pada uraian di atas, pertanyaan hukum mana yang akan dijadikan batu uji bagi aktivitas pejabat telah jelas, yakni hukum

administrasi, yang di dalamnya memuat norma pemerintahan

(bestuurnorm) dan norma perilaku aparat (gedragsnorm), mengingat pejabat itu dalammelakukan aktivitasnya mereka tunduk dan diatur oleh

14 A. Djoko Sumaryanto, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana Korupsi dalam

(7)

7 norma hukum administrasi. Hanya saja karena penegakan hukum terhadap pejabat ini ditempuh melalui Peradilan Umum, yang kompetensi absolutnya hanya dalam bidang pidana dan perdata, sehingga dapat dimaklumi jika para penegak hukum baik jaksa maupun hakim

menggunakan kerangka rujukan (frame of reference) atau pola piker

hukum pidana atau hukum perdata terhadap perkara-perkara yang

substansinya hukum administrasi.16

Hubungan Hukum Pidana dan Hukum Administrasi Sebagai Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi

Upaya mencegah dan memberantas korupsi, tidak mungkin dilakukan sendiri oleh KPK, atau Kepolisian atau Kejaksaan Agung, ataupun Badan-badan pengadilan. Akan tetapi Pemberantasan dan Pencegahan Korupsi harus dilaksanakan secara serentak, bersama-sama dan berdasarkan pada suatu strategi yang sistemik, holistis dan integral. Dengan kata lain, pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan secara pendekatan sistem. Dalam pendekatan sistem hukum, ada tiga komponen utama sistem hukum yang menjadi pilar untuk mendukung tercapinya tujuan hukum dalam memberantas tindak pidana korupsi. Dalam hal ini, penulis dengan memposisikan 2 konsep hukum yang saling bersinggungan sebagai jalan penyelesaian perkara korupsi, yaitu hukum pidana dan hukum administrasi negara.

Pertama, dari segi hukum administrasi, maka yang perlu diimpelementasikan adalah menciptakan iklim kerja yang sehat dalam lingkup tugas pemerintahan, baik di tingkat pusat maupun di tingkat

daerah melalui prinsip good governance. Arti kata ”good” dalam good

governance mengandung dua pengertian sebagai berikut: Pertama, nilai yang menjunjung tinggi keinginan atau kehendak rakyat, dan nilai yang dapat meningkatkan kemampuan rakyat dalam pencapaian tujuan nasional, kemandirian, pembangunan berkelanjutan dan keadilan sosial. Kedua, aspek fungsional dari pemerintahan yang efektif dan efisien dalam pelaksanaan tugasnya untuk mencapai tujuan tersebut. Berdasarkan

pengertian ini, maka good governance berorientasi pada:17

1.

Orientasi ideal Negara yang diarahkan pada pencapaian tujuan

nasional. Orientasi ini bertitik tolak pada demokratisasi dalam kehidupan bernegara dengan elemen konstituennya seperti: legitimasi (legitimacy), akuntabilitas (accountability), jaminan atas hak asasi manusia (securing of human right), otonomi dan devolusi kekuasaan (autonomy and devolution of power), dan jaminan adanya

pengawasan dari masyarakat (assurance of civilian control).

2.

Pemerintahan yang berfungsi secara ideal, yaitu yang secara efektif

dan efisien melakukan upaya untuk mencapai tujuan nasional.

16 Ridwan HR, Hukum Administrasi...Op. Cit, hlm. 377.

17Sedarmayanti, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) Dalam Rangka Otonomi

(8)

8 Orientasi kedua ini tergantung pada sejauhmana pemerintah mempunyai kompetensi, dan sejauhmana struktur serta mekanisme politik serta administratif berfungsi secara efektif dan efisien.

United Nations Development Programme (UNDP) mendefinisikan good governance sebagai hubungan yang sinergis dan konstruktif di antara Negara, sektor swasta dan masyarakat. UNDP kemudian mengajukan

karakteristik good governance yang saling memperkuat dan tidak dapat

berdiri sendiri, sebagai berikut:18

1.

Participation. Setiap warga Negara mempunyai suara dan hak yang sama dalam pembuatan keputusan, baik secara langsung maupun

melalui intermediasi institusi terlegitimasi yang mewakili

kepentingannya. Partisipasi seperti ini dibangun atas dasar kebebasan berasosiasi dan berbicara serta berpartisipasi secara konstruktif.

2.

Rule of law. Kerangka hukum yang dibangun oleh negara harus adil dan dilaksanakan tanpa perbedaan, terutama hukum hak asasi manusia.

3.

Transparency. Transparansi dibangun atas dasar kebebasan arus informasi. Proses lembaga dan informasi secara langsung dapat diterima oleh mereka yang membutuhkan. Selain itu, informasi ini juga dapat dipahami dan dapat dipantau.

4.

Responsiveness. Lembaga dan penyelenggaraan pemerintahan harus mencoba melayani setiap stakeholders dengan mengedepankan sifat tanggap kebutuhan rakyat.

5.

Consensus orientation. Good governance menjadi perantara kepentingan yang berbeda untuk memperoleh pilihan terbaik bagi kepentingan yang lebih luas, baik dalam hal kebijakan maupun prosedur.

6.

Effectiveness and efficiency. Lembaga dan penyelenggeraan negara harus menghasilkan produk/kebijakan yang sesuai dengan apa yang telah digariskan dengan menggunakan sumber yang tersedia sebaik mungkin.

7.

Accountability. Para pembuat keputusan dalam pemerintahan, sektor swasta dan masyarakat sipil (civil society) bertanggungjawab kepada publik dan lembaga stakeholders. Akuntabilitas ini tergantung pada organisasi dan sifat keputusan yang dibuat, apakah keputusan tersebut untuk kepentingan internal atau eksternal organisasi.

8.

Strategic vision. Para pemimpin dan publik harus mempunyai

prespektif good governance dan pengembangan manusia yang luas

serta jauh ke depan sejalan dengan apa yang diperlukan untuk pembangunan.

Philipus M. Hadjon dkk, mengidentikkan prinsip good governance

sebagai “algemene beginselen van berhoorlijk bestuur”19 asas-asas umum

18Ibid., hlm. 4.

(9)

9 pemerintahan yang baik (ABBB) atau asas-asas umum pemerintahan yang layak (AAUPL). Ada juga yang menyebutnya sebagai asas-asas umum pemerintahan yang baik (AUPB). Asas-asas tersebut merupakan norma-norma hukum tidak tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah atau dengan bahasa lain asas-asas hukum tidak tertulis, dimana untuk keadaan-keadaan tertentu dapat ditarik aturan-aturan hukum yang dapat diterapkan meliputi:

1.Asas persamaan, asas bahwa hal-hal yang sama harus diperlakukan sama, dipandang sebagai salah satu asas hukum yang paling mendasar dan berakar didalam kesadaran hukum, khusus mengenai pemahaman kebijaksanaan ialah menunjukan perwujudan asas perlakuan yang sama atau asas persamaan;

2.Asas kepercayaan, asas kepercayaan termasuk di dalam asas-asas hukum yang paling mendasar dalam hukum publik dan hukum perdata, dalam hukum administrasi dianut sebagai asas bahwa harapan-harapan yang ditimbulkan sedapat mungkin harus dipenuhi. Asas ini sebagai dasar yuridis dari janji-janji, keterangan-keterangan, aturan-aturan kebijakasanan dan bentuk-bentuk rencana (yang tidak diatur dengan perundang-undangan);

3.Asas kepastian hukum, asas yang memiliki dua aspek, yang satu lebih bersifat hukum material, yang lain bersifat formil. Asfek hukum materil berhubungan erat pada asas kepercayaan, asas kepastian hukum menghalangi badan pemerintah untuk menarik kembali suatu ketetapan atau mengubahnya untuk kerugian yang berkepentingan.

4.Asas kecermatan, asas ini mengadung arti bahwa suatu keputusan harus dipersiapkan dan diambil dengan cermat. Atau dapat diartikan sebagai suatu keputusan harus mengandung arti, bahwa suatu keputusan harus dipersiapkan dan diambil dengan cermat.

5.Asas pemberian alasan (motivasi), adalah suatu keputusan harus

dapat didukung oleh alasan-alasan yang dijadikan dasarnya.

6.Larangan „detournement de pouvoir‟ (penyalahgunaan wewenang), adalah suatu wewenang tidak boleh digunakan untuk tujuan lain selain untuk tujuan yang diberikan.

7.Larangan bertindak sewenang-wenang.20

Atas dasar uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa wujud good governance adalah penyelenggaraan pemerintahan Negara yang solid dan bertanggungjawab, serta efisien dan efektif, dengan menjaga kesinergisan interaksi yang konstruktif diantara ketiga domain: Negara,

swasta dan masyarakat. Oleh karena good governance meliputi sistem

administrasi Negara, maka upaya mewujudkan good governance juga

menyimpang dari undang-undang; (2) Bagi warga masyarakat sebagai pencari keadilan, AAUPL dapat digunakan sebagai dasar gugatan sebagaimana disebutkan dalam pasal 53 UU No. 5 Tahun 1986; (3) Bagi hakim tata usaha negara dapat digunakan sebagai alat menguji dan membatalkan keputusan yang dikeluarkan badan atau pejabat tata usaha negara; (4) Selain itu AAUPL tersebut juga berguna bagi badan legislatif dalam merancang suatu undang-undang. Lihat dalam SF. Marbun, ,Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press, 2001, hlm. 210-211.

(10)

10

merupakan upaya melakukan penyempurnaan pada sistem

administrasi Negara yang berlaku pada suatu Negara secara menyeluruh.

Dilihat dari ketiga domain dalam good governance, terlihat bahwa

domain negara (state) menjadi domain yang paling memegang peranan penting (dominant) dalam mewujudkan good governance, karena fungsi pengaturan yang memfasilitasi domain sektor swasta dan masyarakat, serta fungsi administratif penyelenggaraan pemerintahan melekat pada domain ini. Peran pemerintah melalui kebijakan publiknya sangat penting dalam memfasilitasi berjalannya mekanisme pasar yang benar sehingga penyimpangan yang terjadi di dalam pasar dapat dihindari.

Oleh karena itu, upaya perwujudan ke arah good governance dapat

dimulai dengan membangun landasan demokratisasi penyelenggaraan

negara dan dilakukan upaya pembenahan penyelenggara

pemerintahan.

Agar good governance dapat tercapai, perencanaan pembangunan

yang top-down harus diganti dengan yang bottom-up sehingga

pemerintah tidak lagi mengelola urusan publik tanpa

mempertimbangkan secara serius kondisi dan kebutuhan setempat. Selain itu, dibutuhkan juga komitmen dan keterlibatan semua pihak

baik pemerintah maupun masyarakat.21 Good governance yang efektif

menuntut adanya alignment (koordinasi) yang baik dan integritas,

profesional serta etos kerja dan moral yang tinggi. Dengan demikian, penerapan konsep good governance dalam penyelenggaraan kekuasaan pemerintah negara merupakan aktivitas yang dilakukan pra dan pasca pelaksanaan sebuah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah dan swasta.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah, keharusan untuk mengimplementasikan beberapa asas-asas penyelenggaraan negara sebagaimana dijelaskan oleh Ridwan, yang diantaranya adalah

sebagai:22

1. Asas bertindak cermat;

2. Asas kepastian hukum;

3. Asas kebijaksanaan;

4. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan;

5. Asas keadilan dan kewajaran;

6. Asas penyelenggaraan kepentingan umum;

7. Asas keseimbangan;

Pada prinsipnya, asas-asas tersebut sesungguhnya secara materiel telah terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan. Karena

21Ibid., hlm. 2.

(11)

11 itu asas Umum Pemerintahan Yang Baik tersebut, tidak saja mempunyai kekuatan mengikat secara moral dan doktrinal tetapi lebih dari asas umum pemerintahan yang baik juga mempunyai kekuatan mengikat secara hukum, dan merupakan salah satu sumber Hukum

Administrasi Negara (HAN) formal.23 Berkenaan dengan hal tersebut,

agar lebih memberikan perwujudan nyata dari implementasi asas tersebut sebagai pedoman penyelesaian perkara korupsi (pencegahan) maka dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Asas bertindak cermat. Dalam mengambil tindakan Pejabat

administrasi negara harus bertindak dengan hati-hati agar tidak menimbulkan kerugian bagi warga masyarakat. Artinya,

pemerintah sebelum membuat kebijakan publik harus

melakukan kajian terhadap semua fakta yang relevan dan memasukan pula semua kepentingan yang relevan ke dalam pertimbangnnya.

2. Asas kepastian hukum. Administrasi negara dalam mengambil

keputusan harus berdimensi pada kepastian hukum, dalam arti keputusannya tidak mengandung ketidakjelasan hukum yang justru akan merugikan pengambil keputusan tersebut.

3. Asas tidak mencampuradukkan kewenangan. Dalam hal ini

administrasi negar adalam mengambil keputusan harus pandai memilih dan memilah mana yang menjadi wewenang yang melekat kepadanya. Administrasi tidak dibolehkan mengambil keputusan yang dari segi hukum bukan merupakan domain kewenangannya.

4. Asas keadilan dan kewajaran. Pejabat administrasi dalam

mengambil keputusan tidak boleh didasarkan pada kesewenang-wenangan yang berdampak pada hilangnya keadilan yang seharusnya menjadi sendi dalam setiap keputusan publik. Oleh karenanya, pejabat administrasi perlu membuat pertimbangan-pertimbangan yang matang sebelum diambilnya sebuah keputusan.

5. Asas penyelenggaraan kepentingan umum. Pejabat administrasi

dalam mengambil keputusan harus diproyeksikan untuk kepentingan umum. Artinya, keputusan tersebut bukan diorientasikan pada kepentingan pribadi atau menguntungkan entitas tertentu.

Sebagai bagian asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB), maka asas di atas sudah seharusnya dijadikan pedoman dalam penyelenggaraan pemerintahan. sebagaimana dijelaskan Hadjon bahwa AAUPB harus dipandang sebagai norma-norma hukum yang tidak

(12)

12

tertulis, yang senantiasa harus ditaati oleh pemerintah.24 Oleh

karenanya, pejabat juga seharusnya bukan hanya tunduk pada ketentuan yang tertulis tetapi juga pada ketentuan yang tidak tertulis seperti AAUPB tersebut. Dengan memegang teguh asas-asas tersebut, maka pejabat administrasi negara dalam menjalankan kewenangannya akan senantiasa tunduk pada aturan hukum dan taat pada mekanisme penyelenggaraan negara yang baik, yang artinya secara tidak langsung telah berupaya mencegah diri untuk melakukan tindak pidana korupsi. Kedua, dari hukum pidana dan/atau sanksi pidana, dalam hal ini, sanksi pidana seharusnya dijadikan sebagai alat terkahir untuk menjerakan koruptor atau sebagai strategi represif. Hal ini sesuai dengan karakter hukum pidana itu sendiri yang memposisikan diri

sebagai ultimum remedium. Sebagaimana disebutkan oleh Wirjono

Prodjodikorobahwa bahwa sifat sanksi pidana adalah sebagai senjata

pamungkas atau ultimum remedium jika dibandingkan dengan sanksi

perdata atau sanksi administrasi.25 Sifat ini sudah menimbulkan

kecenderungan untuk menghemat dalam mengadakan sanksi pidana.

Dari hal tersebut, maka dapat diketahui bahwa ultimum remedium

merupakan istilah yang menggambarkan suatu sifat sanksi pidana.

Selanjutnya, Van Bemmelen26 juga mengajukan pendapat bahwa

hukum pidana itu merupakan ultimum remedium atau obat terakhir.

Sedapat mungkin dibatasi, artinya kalau bagian lain dari hukum itu tidak cukup untuk menegakan norma-norma yang diakui oleh hukum, barulah hukum pidana diterapkan.

Berdasarkan paparan di atas, maka dapat diuraikan bahwa peranan hukum pidana adalah sebagai jalan terakhir untuk memberikan hukuman bagi koruptor bilamana hukum administrasi yang telah diimplementasikan kepada pejabat pemerintah tidak dipatuhi. Dengan kata lain, bahwa hukum Pidana dapat dipandang sebagai bahan pembantu atau “hulprecht” bagi hukum administrasi negara, karena penetapan sanksi pidana merupakan satu sarana untuk menegakkan hukum tata pemerintahan, dan sebaliknya

peraturan-peraturan hukum di dalam perundang-undangan

administratif dapat dimasukkan dalam lingkungan hukum Pidana.27

Kesimpulan

Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

24 Philipus M. Hadjon, et.al, Pengantar Hukum Administrasi...Op. Cit, hlm. 270. 25 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia, Bandung: Refika Aditama, 2003,hlm. 1-2.

26 Masriani Tiena Yulies, Pengantar Hukum Pidana Indonesia. Cetakan II. Jakarta: Sinar Grafika, 2006, hlm. 14.

27 Deyv CH. Rumambi, "Korupsi Dalam Perspektif Hukum Administrasi Negara", Jurnal

(13)

13

1. Batu uji terhadap penyelesaian perkara korupsi yang melibatkan

aktivitas pejabat sesungguhnya telah jelas, yakni menggunakan hukum administrasi. Adapun alasannya, pertama, di dalam hukum administrasi memuat memuat norma pemerintahan dan norma perilaku aparat. Kedua, mengingat pejabat itu dalam melakukan aktivitasnya mereka tunduk dan diatur oleh norma hukum administrasi, maka seharusnya penyelesaiannya melalui hukum administrasi pula. Namun demikian, karena penegakan hukum terhadap pejabat di Indonesia masih ditempuh melalui Peradilan Umum, yang kompetensi absolutnya hanya dalam bidang pidana dan perdata, sehingga dapat dimaklumi jika para penegak hukum baik jaksa maupun hakim menggunakan paradigm hukum pidana atau hukum perdata terhadap perkara-perkara yang substansinya hukum administrasi

2. Baik antara hukum pidan dan hukum administrasi, sesungguhnya

dapat bisa diposisikan pada kedudukan yang tidak saling bersinggungan dalam mencegah dan menyelesaikan perkara

korupsi. Adapun mekanisme hubungannya adalah dengan

menjadikan hukum administrasi sebagai instrument pencegahnya

melalui internalisasi prinsip good governance bagi pejabat

administrasi. Sementara, hukum Pidana dapat dipandang sebagai bahan pembantu bagi hukum administrasi negara, karena

penetapan sanksi pidana merupakan satu sarana untuk

menegakkan hukum tata pemerintahan, dan sebaliknya peraturan-peraturan hukum di dalam perundang-undangan administratif dapat dimasukkan dalam lingkungan hukum Pidana.

Saran

1. Penegak hukum, khususnya jaksa dan hakim perlu memetakan

mana aspek penyelesaian perkara korupsi, khususnya yang melibatkan pejabat negara dengan instrument hukum apakah ayang akan digunakan. Penegak hukum, tidak boleh memukul rata bahwa penyelesaian perkara korupsi dapat teratasi melalui mekanisme hukum pidana.

2. Pemerintah perlu mengambil langkah segera dalam mewujudkan

keberadan peradilan yang memiliki kompetensi dalam

menyeleasiakn perkara korupsi yang melibatkan pejabat

(14)

14

Daftar Pustaka

Buku-buku

Hadjon, Philipus M., dkk, 2002, Pengantar Hukum Administrasi Negara,

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Hartanti, Evi, 2010, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika

Marbun, SF., dkk, 2001Dimensi-Dimensi Pemikiran Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta, UII Press.

_________, 2001, Dimensi-Dimensi Hukum Administrasi Negara, Yogyakarta: UII Press.

Marbun, SF., dan Moh. Mahfud, 1987, Pokok-pokok Hukum Administrasi

Negara, Yogyakarta: Liberty.

HR., Ridwan, 2013, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Cetakan Ke-8,

Jakarta, Raja Grafindo Persada.

__________, 2014, Diskresi dan Tanggung Jawab Pemerintah, Yogyakarta: FH

UII Press.

Prodjodikoro, Wirjono, 2003, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia,

Bandung: Refika Aditama.

Said, Muhammad Djafar, 2013, Hukum Keuangan Negara, Jakarta : Rajawali

Pers.

Sedarmayanti, 2003, Good Governance (Kepemerintahan yang Baik) Dalam

Rangka Otonomi Daerah, Bandung: Mandar Maju.

Sumaryanto, A. Djoko, 2009, Pembalikan Beban Pembuktian Tindak Pidana

Korupsi dalam Rangka Pengembalian Kerugian Keuangan Negara, Surabaya:Prestasi Pustaka.

Yulies, Masriani Tiena, 2006, Pengantar Hukum Pidana Indonesia. Cetakan II. Jakarta: Sinar Grafika.

Jurnal dan Hasil Penelitian

Rumambi, Deyv CH., 2014, Korupsi Dalam Perspektif Hukum Administrasi

Negara, Jurnal Lex Administratum, Vol. II, No.3, Jul-Okt.

Halim, Syamsul, 2012, Paradigma Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi di Indonesia, Tesis pada Program Pasca Sarjana Universitas Hasanudin, Makasar.

Media

Indonesia Procurement Watch, 2015, Ruwet, Pengadaan Barang dan Jasa

Pemerintah, dalam http://www.iprocwatch.org/berita/opini/78-ruwet-pengadaan-barang-dan-jasa-pemerintah.pdf,, diakses 28 Agustus.

Peraturan Perundang-undangan

Referensi

Dokumen terkait

Organ yang dimaksud adalah organ perusahaan seperti yang sudah diatur dalam Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas pada Pasal 1 ayat (2) dengan

Berdasarkan hasil penelitian dan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa relevansi pencabutan hak dipilih dalam jabatan publik merupakan implementasi dari teori

Dalam konteks ini al-Nursi (2007) melihat bahawa sakit dapat mengajar erti hidup bermasyarakat dan di samping dapat menghapuskan sifat ego dalam diri seseorang kerana

Penambahan perak (Ag) meningkatkan konduktivitas listrik pada film flavonoid berbahan dasar getah pohon Angsana (Pterocarpus indicus Willd)..

Adapun FLAIR adalah teknik yang dikembangkan oleh tim peneliti Hammersmith pada awal 1990-an untuk menghasilkan citra yang lebih jelas dibandingkan dengan citra

Dengan demikian penulis ingin mewujudkan figur John Lennon dengan menyampaikan banyak pesan kehidupan dari sebuah musik yang dapat melahirkan sebuah pikiran-pikiran baru

Adapun yang menjadi alasannya adalah untuk menghindarkan para muzakki yang sekaligus menjadi wajib pajak tidak terkena beban ganda ( double burden ) dan untuk memacu