• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsep Perdagangan Pengaruh Trading in I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konsep Perdagangan Pengaruh Trading in I"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

Konsep Perdagangan Pengaruh (

Trading in Influence)

di Indonesia

Brigita P. Manohara dan Surastini Fitriasih (Pembimbing)

Hukum dan Sistem Peradilan Pidana, Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta Pusat, 10440, Indonesia.

E-mail: brigitamanohara@yahoo.com

Abstrak

Tesis ini membahas tentang konsep trading in influence yang ketentuannya terdapat dalam Pasal 18 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC). Indonesia sebagai salah satu negara yang ikut menandatangani konvensi ini belum meratifikasi aturan mengenai trading in influence dalam hukum positifnya. Padahal dalam perkara korupsi di Pengadilan Tipikor beberapa diantaranya teridentifikasi sebagai perbuatan

trading in influence seperti suap impor daging sapi dengan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq dan Ahmad Fatanah.

Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian yang dilakukan terhadap peraturan perundang-undangan dan kepustakaan hukum serta doktrin yang berkaitan dengan konsep trading in influence.

Tesis ini juga membandingkan ketentuan mengenai trading in influence di beberapa negara. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa konsep trading in influence memiliki unsur yang hampir sama dengan suap dan gratifikasi sehingga aturan mengenai suap dan gratifikasi dapat digunakan untuk menjerat pelaku trading in influence.

Walaupun belum ada delik tersendiri yang mengatur konsep ini, namun pelaku dapat dijerat dengan Pasal 55 KUHP yang dijunctokan dengan pasal mengenai suap atau gratifikasi. Kondisi ini menunjukkan adanya korelasi antara trading in influence dan penyertaan.

Trading In Influence Concept in Indonesia

Abstract

This thesis discusses the concept of trading in influence that contained in Article 18 United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) . Indonesia as one of the countries that signed the convention has not ratified the rules on trading in influence has not ratified the rules on trading in influence in their positive law. Whereas in the case of corruption in the corruption court, some of which have been identified as the act of trading in influence such bribes beef import quota by the defendant Luthfi Hasan Ishaaq and Ahmad Fathanah. The research uses normative research method that is a study of legislation and legal literature and doctrine relating to the concept of trading in influence. This thesis also compared the provisions on trading in influence in some countries. The study concluded that the concept of trading in influence has elements similar to bribery and graft so that the rules regarding bribery and graft can be used against trading in influence. Consequently, although there is no separate set offence, the offender can be charged with Article 55 of the Penal Code in conjunction with Article regarding bribes or gratuities. These condition indicate the existence of the correlation between trading in influence and participation.

(2)

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji serta ditelaah oleh banyak ilmuwan dan filosof1. Mulai Aristoteles hingga Machiavelli merumuskan apa yang dikenal dengan korupsi moral (moral corruption2)3. Korupsi belakangan merupakan kejahatan yang begitu menarik perhatian banyak negara di dunia tidak terkecuali Indonesia. Korupsi tidak saja akan menggerus struktur kenegaraan secara perlahan tetapi juga menghancurkan sendi penting dalam negara4.

Di Indonesia, korupsi seperti penyakit kanker pada stadium yang tidak bisa disembuhkan. Kita tinggal menunggu matinya sang penderita yakni Republik Indonesia5. Pernyataan ini selaras dengan tulisan Sjahrir6 yang merujuk data dari Political and Economic Risk Consultancy (PERC) bahwa pada tahun 2012 silam skor Indonesia adalah 9,92. Nilai ini berarti Indonesia adalah negara paling korup di Asia, karena angka 10 dalam penilaian ini merupakan nilai tertinggi untuk negara terkorup7.

Norma utama yang dijadikan acuan dan diratifikasi banyak negara di dunia mengenai korupsi dikeluarkan oleh United Nations Convention Against Corruption (UNCAC). Konvensi ini menjelaskan sejumlah bentuk tindakan yang masuk dalam tindak pidana korupsi. Ke sebelas tindakan yang merupakan korupsi adalah8 : 1.Bribery; 2.Extortion; 3.Facilitation Payment; 4.Collution; 5.Fraud; 6.Obstruction of Justice; 7.Embezzlement, misappropriation or other diversions of property by a public official; 8.Trading Influence; 9.Abuse of Function; 10.Illicit enrichment; 11.Money Laundering. Dari sebelas tindakan itu, trading influence menjadi salah satu perbuatan yang kerap

1 Albert Hasibuan, Titik Pandang Untuk Orde Baru, (Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997), hlm 342-347.

2 Moral corruption dijelaskan sebagai korupsi moral. Dalam tulisan Albert Hasibuan dijelaskan sebagai tindakan pembentukan konstitusi yang sudah melenceng sehingga para penguasa rezim yang termasuk dalam sistem demokrasi tidak lagi dipimpin oleh hukum tetapi mereka hanya berupaya melayani (berusaha menguntungkan) dirinya sendiri.

3 Ibid.

4 Ibid hlm 203.

5 Sjahrir, ‘Korupsi di Indonesia Kanker Terminal’ dalam Surga Para Koruptor, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, Desember 2004, hlm. 39.

6 Sjahrir, mengutip Pojok Kompas edisi Selasa 12 Maret 2002. 7 Ibid.

(3)

diperdebatkan. Di berbagai literatur terdapat sejumlah pola perbuatan trading in influence, yakni pola vertikal, pola vertikal dengan perantara dan pola horizontal.

Indonesia sebagai salah satu negara yang menandatangani konvensi ini belum meratifikasi Pasal 18 mengenai trading in influence ke dalam hukum positifnya. Hal ini menimbulkan perdebatan karena sebagian pihak menilai konsep ini tidak perlu diratifikasi. Sementara pihak lainnya bersikukuh untuk mengatur perbuatan ini dalam delik tersendiri.

Meski belum ada aturan mengenai trading in influence, namun sejumlah peristiwa yang dinilai merupakan bentuk perbuatan trading in influence, pelakunya telah dipidana. Dalam menjerat pelaku, penegak hukum menggunakan Pasal 55 tentang penyertaan yang diyunctokan dengan pasal pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan mengenai korelasi konsep trading in influence dengan ajaran penyertaan terutama tentang pasal yang mengatur penyertaan apakah sudah dapat menjangkau seluruh pelaku perbuatan trading in influence dalam berbagai pola.

B. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian yang dirumuskan, yaitu:

1. Bagaimana lingkup konsep Trading in Influence ?

2. Bagaimana korelasi antara ajaran penyertaan dengan konsep trading in influence? 3. Apakah peristiwa/fakta beberapa perkara di Pengadilan Tipikor yang menjadi objek

penelitian dapat dikategorikan sebagai trading in influence ?

C. Tujuan Penelitian

(4)

Tinjauan Teoritis

Korupsi masih menjadi permasalahan yang menarik perhatian masyarakat. Hal ini dikarenakan besarnya dampak yang ditimbulkan serta para pelaku yang merupakan pejabat dan penyelenggara negara. Pada proses pembentukan dan penegakan hukum, kebijakan kriminal menjadi faktor penting. Sebagai negara hukum yang berkiblat pada ajaran civil law maka pada kegiatan penegakan hukum, semuanya didasarkan pada peraturan yang berlaku. Dalam hal ini, peraturan disusun melalui proses legislasi yang diselenggarakan oleh legislator (DPR) bekerja sama dengan eksekutif (pemerintah). Dalam salah satu buku karangan Mardjono Reksodiputro, istilah kebijakan kriminal dan politik kriminal memiliki pemahaman yang sama. Istilah ini diartikan “the explicit or implicit standing plan than an organization or government uses as a guide to action”9. Kata aksi yang dimaksud pada kalimat tersebut adalah dalam rangka menanggulangi terjadinya kejahatan. Dimana pada umumnya berbentuk prinsip sebagai tujuan dan memuat program guna mewujudkan tujuan yang telah ditetapkan10. Lebih lanjut, kebijakan kriminal oleh Prof. Mardjono dijelaskan sebagai komponen yang diperlukan selain strategi sosial untuk menjaga agar angka kriminalitas masih berada pada batas toleransi masyarakat.11 Kebijakan kriminal dapat didefinisikan dalam arti sempit, lebih luas dan yang paling luas, yakni12 :

1. Dalam arti sempit adalah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

2. Dalam arti lebih luas adaah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi;

3. Dalam arti paling luas adalah keseluruhan kebijakan dilakuakan melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi yang bertujuan untuk menegakkannorma sentral dari masyarakat.

Marc Ancel merumuskannya sebagai the rational organization of the control of crime by society13 sedangkan Hoefnagels menjelaskan criminal policy sebagai14 : a) the science of responses; b) the science of crime prevention, c) a policy of designating human behaviour as crime; d) a rational total response of crime. Berdasar pendapat Hoefnagels,

9 Prof. Mardjono Reksodiputro, SH, MA, Jaminan Konstitusi Tentang Proses Hukum Yang Adil, Bahan Bacaan Wajib Perkuliahan Manajemen Sekuriti Swakarsa, Jakarta, Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, 2013, hal 26.

10 Ibid.

11 Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007, hal 92

12 Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung : Alumni, 1981), hlm. 113-114.

13 Marc Ancel, Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, (London : Routledge & Kogan Paul, 1965), hlm. 209.

14 G. Peter Hoefnagels, The Other Side of Criminology An Intervention of The Concept of Crime,

(5)

kebijakan kriminal terdiri atas kebijakan penal (kebijakan hukum pidana) dan non penal (kebijakan tanpa melibatkan hukum pidana) 15. Apabila merujuk pada Kebijakan hukum pidana (penal policy), jenis kebijakan ini dilaksanakan melalui tahap-tahap konkretisasi/operasionalisasi/fungsionalisasi hukum pidana yang terdiri dari16 : a) kebijakan formulatif/legislatif17; b) kebijakan aplikatif/yudikatif18; c) kebijakan administratif/eksekutif19.

Adalah hal yang wajar, ketika tiap pemerintahan memiliki suatu kebijaksanaan atau policy tersendiri yang menjadi acuan guna merealisasikan program kerjanya. Tentu dalam hal ini ada kebebasan dari masing-masing era untuk menetapkan arah policy-nya yang berdampak pada keputusan memidanakan suatu penyimpangan atau kejahatan di masyarakat. Politik hukum pidana (kebijakan kriminal) memungkinkan negara untuk diberi kewenangan merumuskan atau menentukan suatu perbuatan yang dapat dikategorikan sebagai tindak pidana, dan kemudian dapat menggunakannya sebagai tindakan represif terhadap setiap orang yang melanggarnya. Inilah salah satu fungsi penting hukum pidana yakni memberikan dasar legitimasi bagi tindakan represif negara terhadap seseorang atau kelompok orang yang melakukan perbuatan yang mana perbuatan itu telah dirumuskan sebagai tindak pidana. 20

Dalam tindak pidana korupsi, Syeid Hussein Alatas seperti dikutip Surastini menyatakan, salah satu ciri yang menonjol dari tindak pidana ini adalah bahwa perbuatan yang terjadi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang21. Salah satu perbuatan dalam tindak pidana korupsi yang populer adalah tindak pidana suap. Tindak pidana suap merupakan delik kualitas yang mensyaratkan adanya kulifikasi khusus terhadap pelakunya. Selain itu, tindak pidana ini merupakan penyertaan mutlak perlu (noodzakelijke deelneming).

Trading in influence, sebagai salah satu bentuk tindak pidana korupsi merupakan bagian dari tindak pidana suap apabila merujuk pada pendapat Prof. Indriyanto Seno Adji

15Hadi Syahroni, Kebijakan Kriminal Dalam Sistem Negara Hukum Indonesia, http://lbh-inpartit.org/kebijakan-kriminal-dalam-sistem-negara-hukum-indonesia, diakses pada sabtu 17 Desember 2014 pkl.11.10 wib.

16 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2010), hlm. 24.

17 Kebijakan formulatif/legislatif merupakan tahap perumusan/ penyusunan hukum pidana. 18 Kebijakan aplikatif/yudikatif merupakan tahap penerapan hukum pidana.

19 Kebijakan administratif/eksekutif merupakan tahap pelaksanaan hukum pidana.

20 Yesmil Anwar dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana : Reformasi Hukum, (Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008), hlm. 58-59.

(6)

sehingga ketentuan mengenai delik kualitas dan penyertaan mutlak perlu digunakan dalam perbuatan trading in influence.

Metode Penelitian

Dalam penelitian ini, peneliti akan menelaah konsep Trading in Influence dan penerapannya dalan kasus tindak pidana korupsi yang terjadi di Indonesia sehingga dalam prosesnya, peneliti akan melakukan kajian tentang peraturan hukum, konsep dasar, dan putusan pengadilan yang telah menggunakan konsep Trading in Influence dalam menjerat para terdakwa kasus korupsi. Untuk itulah peneliti akan menggunakan pendekatan Undang-Undang (Statue Approach) dan melengkapinya dengan hasil wawancara para ahli hukum guna menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini yakni mengenai Trading in Influence. Guna mendapat jawaban dari pertanyaan penelitian pada penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan kualitatif sehingga menghasilkan penelitian dalam bentuk deskriptif analitis, yaitu metode dalam meneliti keadaan suatu kelompok manusia, pemikiran dan suatu peristiwa yang terjadi.22 Merujuk pada pendekatan yang akan digunakan, maka penelitian ini dapat dikategorikan ke dalam jenis penelitian normatif. Sebagai penelitian normatif, tentu saja akan dilakukan studi dokumen dengan obyek utama berupa bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.

Guna memperdalam bahasan mengenai trading in influence yang sudah diterapkan di beberapa negara di dunia, peneliti juga melakukan studi komparatif melalui bahan-bahan kepustakaan dan literatur mengenai implementasi konsep ini di negara Perancis, Belgia, Spayol, dan Hungaria. Selain itu, peneliti melakukan studi kasus terhadap putusan pengadilan yang terindikasi merupakan bentuk trading in influence. Putusan yang digunakan dalam penelitian ini adalah nomor register perkara 38/PID.SUS/TPK/2013/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq, nomor putusan 39/Pid.Sus/TPK/2013/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Ahmad Fatanah, nomor putusan 23/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST atas nama terdakwa Andi Alfian Mallarangeng, nomor putusan 112/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST atas nama Muhtar Ependy dan nomor putusan 16/Pid.Sus/TPK/2014/PN.JKT.PST atas nama Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias TB. Chaeri Wardhana B. Bus alias Wawan.

(7)

Pembahasan

1. Konsep trading in influence

Korupsi seperti yang termaktub dalam Lexicon Webster Dictionary dijelaskan sebagai berikut23:

“The act of corruption, or the state og being corrupt; putrefactive decomposition, putrid matter; moral perversion; depravity, perversion of integrity; corrupt or dishonest proceedings, bribery; perversion from a state of purity; debasement, as of a language, a debased from a word.”24

Piers Beirne dan James Messerchmidt25 memandang korupsi sebagai sesuatu yang erat kaitannya dengan kekuasaan sehingga mereka menjelaskan ada empat tipe korupsi yakni political bribery, political kickbacks, election fraud, dan corrupt campaign practices. Sementara Benveniste26 menjelaskannya dalam berbagai aspek, lalu menggolongkannya atas empat jenis, yakni discretionary corruption, illegal corruption, mercenery corruption, ideological corruption. Mikhlos Hollan27 dalam salah satu tulisannya menyatakan bahwa criminalization of corruption offences was traditionally limited to passive or active form of bribery.

Sebagai perbuatan yang merupakan tindak pidana korupsi, suap atau bribery dijelaskan sebagai berikut28:

“Bribery is the most familiar among corrupt process: it consist of payments by individuals of firms to public officials in order to influence administrative decisions under their responsibility. Bribery covers a wide range of administrative decisions, determined by the scope of goverment regulations and activity. If frequently overlaps with the other two corruption categories through the collution of briber and bribee.29

23Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Edisi Revisi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2006), hlm. 5.

24 Terjemahan bebasnya : tindakan korupsi atau negara yang korup: dekomposisi yang menyebabkan pembusukan akibat material yang tidak baik; penyimpangan moral; kebobrokan, penyimpangan interas korup atau tidak jujur terhadap proses yang ada, suap ; penyimpangan dari keadaan yang semestinya ; penghinaan, sebagai suatu bahasa dengan ketentuan yang kemudian arinya justru direndahkan.

25 Ermansjah Djaja, Meredesain Pengadilan Tindak Pidana KORupsi, (Jakarta : Sinar Grafika, 2010), hlm. 17-18.

26 Ermansjah Djaja , ibid hlm. 18-20.

27 Miklos Hollan, Trading in Influence : Requirements of the Council of Europe Convention and the Hungarian Criminal Law, Acta Juricica Hungarica Budapest 52 No. 3, 2011, hllm.235.

28 Jose G. Vargas – Hernandes, The Multiple Faces of Corruption : Typology, Forms, and Levels,

http://ameppa.org/upload/typology.pdf, diakses pada Kamis 24 November 2015.

(8)

Tidak jauh berbeda dengan pengertian diatas, Jose menjelaskan suap adalah: 30

“Bribery is committed when a public servant is offered, promised, or granted an in return for an action already carried out or is to be expected. Bribery can be initiated by the person soliciting the bribe or the person offering the bribe.31 Ketentuan mengenai Suap terdapat dalam Pasal 15 dan Pasal 16 UNCAC. Subjek hukum dari tindak pidana suap adalah pejabat publik, penyelenggara negara dan penegak hukum. Guna menjerat pihak ketiga dan orang yang secara aktif maupun pasif ‘memperdagangkan pengaruhnya’, UNCAC juga menambahkan pasal mengenai trading in influence. Willeke Singerland merangkum pernyataan sejumlah pakar yang mengulas trading in influence. Kutipan itu yakni32 :

“By Trading in Influence, or influence peddling referral is being made to : the situation where a person misuses his influence over the decision-making process for a third party (person, institution or government) in return for his loyalty, money or any other material or immaterial undue advantage.”33

Perbuatan trading in influence diatur dalam UNCAC khususnya Article 18 yang berbunyi:34

“Each State Party shall consider adopting such legislative and other measures as may be necessary to establish as criminal offences, when committed intentionally:

1) The promise, offering or giving to a public official or any other person, directly or indirectly, of an undue advantage in order that the public official or the person abuse his or her real or supposed influence with a view to obtaining from an administration or public authority of the State Party an undue. advantage for the original instigator of the act or for any other person.

2) The solicitation or acceptance by a public official or any other person,directly or indirectly, of an undue advantage for himself or herself or for another person in order that the public official or the person abuse his or her real or supposed influence with a view to obtaining from an administration or public authority of the State Party an undue advantage.”35

korupsi lainnya, yakni kolusi antara penyuap dan penerima suap.” 30 Jose G. Vargas – Hernandes, ibid.

31 Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut “suap merupakan perbuatan dimana pejabat publik atau pegawai pemerintah ditawarkan, dijanjikan, atau diberikan imbalan atas tindakan yang sudah dilakukan atau yang diharapkan untuk dilakukan. Suap dapat diawali dengan permintaan atau penawaran pemberian imbalan. “

32Willeke Slingerland, Trading In Influence : Corruption Revisited, http://www.researchgate.net, diunggah pada Maret 2011, diakses pada Rabu, 16 September 2015.

33 Apabila diterjemahkan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, maka memiliki pengertian “perdagangan pengaruh atau menjajakan pengaruh yang tengah dimilikinya : merupakan situasi dimana seseorang menyalahgunakan pengaruhnya atas proses pengambilan keputusan untuk pihak ketiga (orang, lembaga, atau pemerintah) dengan imbalan beripa loyalitasnya, uang atau bentuk keuntungan material atau imaterial yang tidak semestinya didapatkan.”

34 Naskah UNCAC hlm. 18. 35Terjemahannya sebagai berikut :

“setiap negara pihak dapat mempertimbangkan untuk mengambil tindakan legislatif dan tindakan-tindakan lain, sejauh diperlukan, untuk menetapkan sebagai tindak pidana, apabila dilakukan dengan sengaja :

(9)

Dari pengaturan konsep trading in influence dalam UNCAC dapat ditarik beberapa elemen yakni36:

1. “Setiap negara pihak dapat mempertimbangkan....” frasa ini menunjukkan bahwa tindakan yang dikriminalisasi sebagai trading in influence bersifat non mandatory offences sehingga tidak ada kesepakatan di antara state party untuk mengkriminalisasi tindakan ini sebagai tindak pidana korupsi karena pilihan untuk mengadopsi atau tidak diserahkan secara penuh kepada negara yang meratifikasinya.

2. Pada pasal 18 huruf (a) yang menyatakan “The promise, offering or giving to a public official or any other person....” menunjukkan pasal ini merupakan bentuk active trading in influence. Sementara pada pasal 18 huruf (b) terdapat frasa “The solicitation or acceptance by a public official or any other person,...” yang menjadikan pasal ini sebagai aturan untuk passive trading in influence. 3. Pada kedua ayat terdapat frasa “directly or indirectly,...” yang apabila dikaitkan

dengan konsep trading in influence maka ini merupakan gambaran derajat kesengajaan dari suatu tindakan.

4. Subjek hukum yang dapat dipidana dari pasal ini tidak hanya pejabat publik, namun juga mengikat pada setiap orang baik yang mempunyai hubungan dengan pejabat publik maupun tidak. Hal ini nampak pada frasa “a public official or any other person,....”. Rumusan ini menunjukkan adanya perluasan pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku yang ‘memperdagangkan pengaruh’. Jika merujuk pada frasa ini maka mereka yang dapat dipidana tidak hanya para pejabat publik37 namun juga orang lain seperti ‘broker’. Frasa ini menunjukkan digunakannya ajaran penyertaan.

atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata, atau yang diperkirakan, dengan maksud untuk memperoleh dari otoritas administrasi atau otoritas publik dari negara peserta, suatu keuntungan yang tidak semestinya bagi si penghasut asli tindakan tersebut atau untuk orang lain;

b. Permohonan atau penerimaan oleh seorang pejabat publik atau orang lain, secara langsung atau tidak langsung, suatu keuntungan yang tidak semestinya untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain agar pejabat publik itu, atau orang itu menyalahgunakan pengaruhnya yang nyata atau yang diperkirakan dimilikinya, dengan maksud memperoleh dari otoritas administrasi atau otoritas publik dari negara peserta atau keuntungan yang tidak semestinya.”

36 Donal Fariz, Almas Sjafrina, Era Purnama Sari, Wahyu Handang Herawan, Kajian Implementasi Trading In Influence Dalam Hukum Nasiona, Jakarta : Indonesia Corruption Watch, 2012, hlm. 18-19.

(10)

5. Frasa “undue advantage...” menjelaskan cakupan yang luas dari insentif yang dijanjikan atau ditawarkan kepada pejabat publik atau orang lain.38 Cakupan keuntungan (advantage) dalam frasa ini begitu luas, namun secara umum hal ini merupakan sesuatu yang dapat dihitung nilainya seperti uang atau objek lainnya. Sementara standart tidak semestinya (undue) sampai saat ini masih belum dapat diformulasikan bentuknya karena ini tidak berwujud.

6. Dalam kaitannya dengan mens rea, pelaku tindak pidana ini seharusnya memiliki keterkaitan antara niat menerima keuntungan dengan upaya untuk menggunakan wewenangnya secara tidak sah.

Meskipun erat dikaitkan dengan tindak pidana suap, namun penyimpangan yang dilakukan oleh pemilik kewenangan dalam bentuk trading in influence oleh beberapa ahli dinilai merupakan perwujudan dari gratifikasi. Padahal ada perbedaan antara trading in influence, suap dan gratifikasi. Hasil evaluasi GRECO diantaranya menyatakan:39

“The difference...between (trading in influence) and bribery is that the influence peddleris no required to ‘act or refrain from acting’ as would a public official. The recipient of the undue advantage assists the person providing the undue advantage by exerting or proposing to exert an improper influence over the third person who may perform (or abstain from performing) the requested act.”40 Apabila merujuk pada pengaturan dan subjek hukumnya, maka perbedaan antara trading in influence, suap dan gratifikasi dapat dijelaskan dalam tabel berikut:

Trading in influence Suap Gratifikasi

38 Julia Phillip, The Criminalisation Trading in Influence in International Anti Corruption Laws,

Disertasi University of the Western Cape, Jakarta, Oktober 2009, hlm. 35.

39Explanatory Report, Criminal Law Convention on Corruption,

http://conventions.coe.int/treaty/en/reports, diunggah pada 1998, diakses pada Rabu 11 November 2015 pkl. 15.00 wib.

(11)

11, UU No. 31 Tahun belum diratifikasi tetapi ada beberapa pasal pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang secara implisit mengatur konsep trading in influence. Menurut Indriyanto Seno Adji, sebagai Perbuatan Melawan Hukum (PMH), trading in influence berkaitan erat dengan bribery sehingga trading in influence sebagai unsur dari perbuatan (tindak pidana) tidak selalu berdiri sendiri dan tentu berkaitan dengan delik pokoknya yakni bribery (suap). Suap yang dimaksud tidak hanya kepada pegawai negeri sipil, atau pejabat publik atau penyelenggara negara saja tetapi juga para penegak hukum karena pada Pasal 6 disampaikan mengenai upaya untuk mempengaruhi proses penegakan hukum. Tentunya, tidak menutup kemungkinan pasal mengenai gratifikasi juga dapat digunakan untuk menjerat pelaku trading in influence.

(12)

berdampak pada tidak dapat dijeratnya pihak ketiga yang tidak memiliki kualitas sebagaimana diatur dalam pasal mengenai suap dan gratifikasi. Kondisi inilah yang menyebabkan dibutuhkannya ajaran penyertaan untuk dapat digunakan bersama dengan pasal mengenai suap dan gratifikasi, sehingga pihak ketiga yang bertugas sebagai perantara atau calo atau trader dapat dimintakan pertanggungjawaban. Namun terdapat satu persyaratan mutlak yang wajib dipenuhi agar pelaku dapat dijerat dengan pasal mengenai suap dan gratifikasi. Syarat tersebut adalah keharusan telah terjadinya ‘transaksi’ antara pemberi dan penerima karena apabila hal ini tidak terealisasi maka jeratan yang dapat dikenakan kepada pelaku hanya sebatas permufakatan jahat.

Keberadaan pasal yang mengatur mengenai perdagangan pengaruh sudah diupayakan untuk diadopsi dalam RUU- KUHP versi pemerintah. Pada pasal 691 RUU dapat diklasifikasikan sebagai terjemahan ketentuan yang ada pada UNCAC41. Ketentuan mengenai trading in influence di RUU PTPK terdapat pada Pasal 3. Namun apabila merujuk pada pendapat mantan Pemimpin KPK, Muh. Yasin, maka Pasal 10 dan Pasal 11 RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga merupakan ketentuan untuk trading in influence.

Dari berbagai literatur yang ada, dapat disimpulkan adanya beberapa pola dalam konsep trading in influence, yaitu : 42

1. Pola Vertikal;

Dapat dijelaskan dengan gambar berikut :

2. Pola Vertikal dengan broker;

Dapat dijelaskan dengan gambar berikut :

3. Pola Horizontal.

Dapat dijelaskan dengan gambar berikut :

41Shinta Agustina, Trading in Influence: Peluang dan Tantangan Penerapannya di Indonesia, (Jakarta, 2013), hlm. 4.

42 Donal Fariz, Almas Sjafrina, Era Purnama Sari, Wahyu Handang Herawan, Op Cit hlm. 29 – 35.

orang berpengaruh

klien/ pihak yang berkepentingan

orang berpengaruh

calo/ perantara/ makelar

(13)

Beberapa negara telah menerapkan aturan mengenai trading in influence dalam hukum positif mereka, diantaranya Perancis, Belgia, Spanyol dan Hungaria.

a. Perancis

Perancis telah menerapkan konsep ‘trading in influence’ atau memperdagangkan pengaruh dalam rumusan Undang-Undang. Sejak tahun 1994, negara ini memiliki the Nouveau Code Penal (NCP) yang mengatur tentang trading in influence aktif dan pasif. Terdapat Dua bentuk trading in influence berdasarkan lingkup kewenangan pelakunya, yakni43: pertama, perdagangan pengaruh terjadi di area pemerintahan, kedua adalah ketika pelaku dan klien-nya merupakan pihak swasta. Dalam perkembangannya, hingga tahun 2007, otoritas di Perancis masih menganut aturan mengenai subjek yang memiliki pengaruh dan tidak boleh menyalahgunakan kewenangan yang dimilikinya secara ilegal adalah mereka yang berada pada lembaga legislatif, administratif (eksekutif), dan judikatif. Guna menjerat mereka yang memperdagangkan pengaruhnya, otoritas Perancis memperkenalkan Article 433-1, 433-2-1, 434-9, 435-4, 435-7, 435-10, 435-11. pasal 435 – 3 dan 435-9 yang merupakan jenis perbuatan korupsi aktif dan pasal 435-1 serta 435-7yang tergolong dalam jenis perbuatan korupsi pasif maka dapat dikatakan legislator di Perancis telah memperluas lingkup tindak pidana memperdagangkan pengaruh terhadap tawaran atau penerimaan untuk mempengaruhi pejabat publik atau orang yang menjabat di organisasi internasional seperti Uni Eropa, PBB, NATO, dan lembaga/ organisasi lainnya.

b. Belgia

Di Belgia, terdapat ketentuan anti korupsi yang telah mengalami perubahan fundamental dan modernisasi yang ditetapkan menjadi Undang-Undang pada tanggal 10 Februari 1999. Penetapan ini dilakukan dalam rangka memenuhi komitmen internasionalnya yang muncul dari konvensi CoE. Beberapa pasal yang diperkenalkan sebagai wujud perubahan itu adalah Pasal 247 ayat (4). Pasal ini mengkriminalisasi pejabat publik yang menerima suap dalam menggunakan pengaruh yang timbul karena posisinya untuk mendapatkan perilaku tertentu dari otoritas publik. Badan legislatif

43 Julie Phillip, Op Cit hlm. 32.

pihak yang berpengaruh

(merangkap calo) otoritas pejabat publik

(14)

Belgia memasukkan aturan tentang perdagangan pengaruh sebagai kejahatan jenis baru melalui pasal di atas. Terlepas dari suap yang melibatkan sah (ayat 1) atau tidak sah (ayat 2) yang dilakukan pejabat publik44, ayat 4 mengkriminalisasi perdagangan pengaruh dengan menggunakan pendekatan hukum yang sama dan pada dasarnya berbagi elemen yang sama seperti penyuapan aktif dan pasif. Meski tidak mengatur suap dan trading in influence pada sektor privat, namun Belgia memiliki ketentuan suap bagi pejabat asing dan petinggi organisasi internasional. Ketentuan ini terdapat pada Pasal 250 yang mengatur tentang arbiter dan juri asing. Selain itu, Belgia juga membuat aturan mengenai perbuatan suap termasuk trading in influence yang dilakukan warganya di luar negeri dalam Article 10 quarter of the introductory part of the Code of criminal Procedure (IP CCP)

c. Spanyol

Pada KUHP Spanyol terdapat tiga versi mengenai perdagangan pengaruh yang terdapat pada Pasal 428 – 430 Bab ke Enam (6) dengan judul ‘del traficio de influencias’(on influence peddling)45. Pasal mengenai perdagangan pengaruh ini mencakup pelanggaran yang sifatnya aktif dan pasif namun hanya berfokus pada perdagangan pengaruh pasif46. Meski hanya mengatur perdagangan pengaruh pasif namun terdapat penggolongan terhadap perbuatan ini. Golongan yang pertama yakni pada Pasal 428 dan Pasal 429 yang mengatur tentang penggunaan pengaruh tidak tepat oleh pejabat publik dan masing-masing perorangan yang memiliki ‘pengaruh’. Sementara golongan selanjutnya diatur dalam Pasal 430 yang lebih menekankan pada situasi dimana manfaat yang diminta atau diterima pejabat publik atau perorangan dalam rangka untuk memperluas atau mempertahankan pengaruhnya. Tidak seperti Pasal 428 dan 429, Pasal 430 tidak mengacu pada ‘keuntungan ekonomi’. Sayangnya, dalam KUHP Spanyol, hanya perdagangan pengaruh pasif-lah yang dapat dihukum.

d. Hungaria

KUHP pertama Hungaria di tahun 1878 sudah mengatur mengenai penyuapan terhadap pejabat publik merupakan bentuk tindak pidana korupsi. Pada mulanya, peraturan mengenai suap di negara ini berbeda dengan regulasi trading in influence yang mulai dikenalkan pada tahun 1942. Barulah di tahun 1971 konsep trading in

44 Pejabat publik yang dimaksud dalam Pasal 247 memiliki pengertian yang luas karena mengacu pada setiap orang yang melakukan tugas publik terlepas dari status resminya.

45 Julie Phillip, Op Cit hlm. 37.

(15)

influence dituangkan dalam hukum positif Hungaria dengan mulai subyek hukum adalah organ negara dan perusahaan yang bergerak di bidang ekonomi. Pemidanaan ini terjadi selama era sosialis. Perkembangan pemerintahan dan ilmu hukum di Hungaria mencetuskan Hungarian Criminal Code (HCC) tahun 1978. Dalam HCC Title VII mengenai Crimes Against the Purity of Public Life terdapat sub terma mengenai bribery. Ketentuan mengenai trading in influence diatur pada Section 256. Menguatnya dorongan untuk mengatur tentang active trading in influence, maka pemerintah Hungaria menambahkan ketentuan ini dalam Section 256/A. Regulasi ini menjangkau trading in influence pada pejabat publik, pengusaha di bidang ekonomi dan lembaga swadaya masyarakat.

Dalam penerapannya, ketentuan mengenai trading in influence diperngaruhi oleh kegiatan lobi yang terdapat di negara maju. Di Inggris, ada dua ungkapan yang digunakan sebagai sinonim dari kegiatan lobi, dua frasa tersebut adalah public affairs dan government relations. 47 Konsep mengenai lobbying dapat digambarkan dengan diagram dibawah ini:

Konsep Lobbying

Kegiatan lobi kerap diidentikkan dengan perbuatan suap. Padahal kedua tindakan ini memiliki perbedaan. Sejumlah perbedaan antara bribing dan lobbying, yakni:48

“Bribing and Lobbying differ in important dimensions. First, lobying is a legal and regulated activity in many countries, while bribing is not. Second, a change in the rule as a result of lobbying often affects all firms, while the return to bribing as more firm specific. Third, a government that ponders a change in the rule might have quite different concerns than a bureaucrat considering bribe.”49

47 Valts Kalnins, Parliamentary Lobbying between Civil Rights and Corruption,

http://www.providus.lv, diakses pada Jumat 20 November 2015 pkl.14.00 wib. 48 Ibid.

(16)

Dari penjelasan itu dapat disimpulkan bahwa suap dan kegiatan lobi merupakan dua kegiatan yang berbeda. Para pelobi sadar bahwa suap merupakan tindakan korup, tetapi dalam kenyataannya masih ada yang menggunakan teknik ini dalam melobi.

2. Korelasi Ketentuan Penyertaan dengan Tindak Pidana Korupsi dan Trading In Indluence

Perlu diingat kembali bahwa tindak pidana korupsi khusunya suap yang merupakan delik pokok trading in influence dilakukan oleh lebih dari satu orang sehingga ajaran penyertaan digunakan dalam tindak pidana ini. Bentuk penyertaan dalam KUHP diatur dalam pasal 5550 dan 56, yakni: 51

1. “menyuruh melakukan”52 2. “turut melakukan”53

3. “menganjurkan untuk melakukan/menggerakkan untuk melakukan”54

50 Pasal 55 KUHP berbunyi :

1. Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:

1) Mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan perbuatan; 2) Mereka yang dengan memberi dan menjanjikan sesuatu dengan menyelahgunakan kekuasaan atau

martabat, dengan kekerasan, ancaman atau penyesatan, atau dengan memberi kesempatan, sarana atau keterangan, sengaja menganjurkan orang lain supaya melakukan perbuatan. (lihat Ishana Hanifaf, Op Cit hlm. 432)

2. Terhadap penganjur, hanya perbuatan yang sengaja dianjurkan sajalah yang diperhitungkan, beserta akibat-akibatnya.

51 Loebby Loqman, Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana (Buku 2), (Jakarta : Unicersitas Tarumanegara – UPT Penerbitan, 1996), hlm. 60.

52 Merupakan terjemahan dari doen plegen. Dapat dijelaskan sebagai membuat orang laun yang tidak dapat dipidana mewujudkan delik. Dalam bentuk penyertaan ini terdapat seseorang yang ingin m elakukan suatu tindak pidana, akan tetapi dia tidak melaksanakannya secara mandiri, melainkan menyuruh orang lain untuk melaksanakannya. Syarat terpenting dalam bentuk menyuruh melakukan adalah orang yang disuruh adalah orang yang tidak dapat dipertanggungjawabkan (Lihat Loqman Op Cit hlm. 63). Sehingga orang yang menyuruh sama sekali tidak melakukan secara langsung tindak pidana yang dikehendaki. Sebaliknya yang melakukan adalah orang yang disuruhnya padahal otang yang disuruh tidak dapat dimintakan pertanggungjawaban. Definisi yang dibuat MvT memperlihatkan beberapa unsur “menyuruh melakukan”, yakni : (1) ada seseorang atau sesuatu manusia yang dipakai sebagai alat; (2) orang yang dipakai sebagai alat ini berbuat; (3) orang yang diakai sebagai alat ini tidak dapat dipertanggungjawabkan menurut hukum pidana sehingga tidak dapat dihukum (Lihat Surastini Fitriasih, Op Cit hlm 106 – 107).

53 Turut melakukan merupakan terjemahan dari medeplegen. Terdapat perbedaan pendapat di kalangan sarjana dalam memberikan pengertian mengenai medeplegen. Pertentangan yang terjadi bisa digambarkan sebagai berikut, ada pendapat yang menyatakan bahwa suatu medeplegen hanya dapat dianggap ada apabila tindakan tiap peserta di dalam suatu tindak pidana dapat dianggap sebagai telah menghasilkan suatu daderschap

secara sempurna (Lihat Lamintang, Op Cit hlm. 617). Sementara pendapat lain menyatakan apab ila perbuatan seorang medepleger ternyata telah memenuhi semua unsur delik, maka dengan sendirinya perbuatan medepleger

akan menghasilkan suatu daderschap sebagaimana yang dimaksud dalam KUHP (Lihat P.A.F. Lamintang,

Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia (Bab XV), (Bandung : Sinar Baru, 1990),hlm. 617). Syarat medepleger

berdasar jurisprudensi Mahkamah Agung adalah ikut serta para peserta tidak harus memenuhi semua unsur tindak pidana (putusan MA tanggal 26 Juni 1971 Nomor 15/k/Kr/1970). Berdasar Hoge Raad, unsur turut melakukan adalah : (1) antara peserta ada satu kerjasama yang diinsyafi (bewuste samenwaking); (2) para peserta bersama telah melaksanakan (gezamenlijke uitvoering).

(17)

4. “turut membantu/membantu melakukan”55

Bentuk penyertaan yang pada umumnya terjadi pada tindak pidana korupsi adalah turut dan membantu melakukan tetapi tidak menutup kemungkinan penggerakkan untuk melakukan juga terjadi.

Dalam hal tindak pidana korupsi, delik ini merupakan delik khusus yang mensyaratkan unsur tertentu pada pelaku delik. Kualifikasi terhadap pelaku delik inilah yang disebut dengan delik kualitas56. Namun mengenai kualitas terhadap pelaku – peserta, Simons dan Von seperti dikutip Andi Hamzah menyatakan:57

“seseorang yang ikut mewujudkan delik tetapi tidak mempunyai kualitas khusus atau sifat yang harus dimiliki oleh pembuat atau pelaku hanya dapat dikualifikasikan sebagai pembantu.”

Tindak pidana korupsi merupakan bagian dari delik jabatan, dimana konsep penyertaan khususnya turut melakukan pada delik jabatan terjadi perbedaan pendapat diantara para sarjana: 1) pendapat klasik mengatakan orang yang turut serta melakukan harus memenuhi kualitas yang disyaratkan; 2)pendapat yang lebih modern berpendapat sebaliknya, yaitu orang yang turut melakukan tidak perlu memiliki, memenuhi kualitas yang disyaratkan.58 Sementara mengenai penyertaan khususnya menggerakkan, lebih lanjut dijelaskan syarat penggerakan yang dapat dipidana adalah: a) ada kesengajaan

hukum yang dapat dipertanggungjawabkan pidananya (lihat Loqman, Op Cit. Hlm 72 ). KUHP menentukan beberapa cara penggerakan secara limitatif yang dapat dijelaskan sebagai berikut : a) memberikan sesuatu artinya orang yang digerakkan diberi sesuatu. Sesuatu dapat berupa uang atau benda yang mempunyai nilai ekonomis; b) memberikan janji artinya memberikan janji-janji berupa uang atau benda maupun kenaikan pangkat, jabatan ataupun pekerjaan dan sebagainya; c) menyalahgunakan kekuasaan hal ini dimungkinkan terjadi dalam lingkup hubungan atasan bawahan. Walaupun begitu juga dimungkinkan adanya penyalahgunaan kekuasaan pada hubungan orang tua dan anak; d) menyalahgunakan martabat, upaya ini juga dikenal dengan penyalahgunaan pengaruh. Akan tetapu, dengan sistem pemerintahan saat ini adanya penyalahgunaan yang dilakukan mereka yang punya wewenang tidak termasuk sebagai penyalahgunaan martabat, melainkan kekuasaan (lihat Loqman Op Cit hlm. 72-73).

55 Membantu melakukan diatur dalam Pasal 56 KUHP, yang mempunyai perbedaan dengan bentuk penyertaan sebelumnya. Pihak yang dikenakan bentuk penyertaan pasal 56 KUHP digolongkan sebagai pembantu tindak pidana. Terdapat dua perbedaan antara pembantu dengan pembuat tindak pidana: 1) membantu hanya dapat dihukum dalam hal kejahatan sedangkan pembuat dapat dihukum dalam hal kejahatan maupun pelanggaran; 2) mengenai pembantuan, pembantu tidak menpunyai kehendak atau tujuan agar terselesaunya suatu delik (Lihat E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, cetakan 3, (Surabaya : Pusataka Tirta Mas, 1986), hlm 78). Apabila dikaitkan dengan ‘turut melakukan’ maka yang membedakan dengan ‘membantu melakukan’ dalam hal membantu melakukan seorang pembantu tidak harus ada kesadaran untuk bekerja sama. Membantu melakukan berdasar pasal 56 KUHP dibedakan menjadi: a) membantu ‘melakukan kejahatan’, dan b) membantu ‘untuk melakukan kejahatan’ (Lihat Surastini Fitriasih, Op Cit hlm 132).

56 Jan Remmelink, Hukum Pidana , (Jakarta, PT. Gramedia Pustaka Utama, 2003), hlm. 72. 57 Ibid.

(18)

menggerakkan orang lain untuk melakukan tindak pidana; b) menggerakkan dengan upaya-upaya yang ada dalam Pasal 55 ayat (1) butir ke-2 : pemberian, janji, penyalahgunaan kekuasaan atau pengaruh, kekerasan, ancaman, tipu daya, memberi kesempatan, alat, keterangan.59 Vos seperti dikutip Van Bemmelen menyatakan bahwa: 60

“seorang yang bukan pegawai negeri dapat saja dijatuhi pidana sebagai doen pleger (pembuat pelaku/penyuruh) delik jabatan asalkan pembuat materieelnya berstatus pegawai negeri.”

Salah satu jenis perbuatan yang awam dikenal dalam tindak pidana korupsi adalah suap. Perbuatan Suap merupakan salah satu perbuatan yang baru merupakan delik apabila pelakunya lebih dari satu orang.61 Konsep ini dikenal dengan konsep penyertaan mutlak perlu (Noodzakelijke Deelneming).62 Penyertaan mutlak perlu adalah :63

“penyertaan ini bukan merupakan penyertaan dalam arti yang telah diatur dalam Pasal 55 dan PAsal 56 KUHP, melainkan suatu bentuk tindak pidana yang dirumuskan sedemikian rupa dimana untuk mewujudkan tindak pidana itu diperlukan lebih dari 1(satu) pembuat.”

Meskipun yang melakukan tindak pidana adalah pelaku namun dengan adanya ajaran penyertaan maka pertanggungjawaban pidananya diperluas ke peserta-peserta lain sehingga setiap perbuatan peserta tetap harus dikaitkan dengan delik pokok yang dilakukan oleh pelaku. Pernyataan bahwa tindak pidana suap merupakan penyertaan yang perlu terdapat dalam tulisan A.Z. Abidin dan Andi Hamzah yakni :64

“syarat untuk dipidananya ialah pengetahuan (sengaja dalam tiga corak). Jika tidak ada kesengajaan salah satu pihak, maka berarti tidak ada pula kesengajaan bersama dan oleh karena itu tidak terjadi medeplegen (turut melakukan) menurut pengertian undang-undang. Yang terdapat medewerking atau turut bekerja atau membantu. Demikian pula halnya delik menurut Pasal-Pasal 238, 149, 209, 401, 397, dan 102 KUHP serta artikel 326 ter Ned. WvS. Yaitu menyogok orang yang tidak berstatus pegawai negeri.”

59 Ibid.

60 Van Bemmelen, Hukum Pidana I, CEtakan Pertama, (Indonesia : Bina Cipta, Desember 1984)hlm. 175.

61 Surastini Fitriasih, Loc Cit. 62 Ibid.

63 Adami Chawawi, PElajaran Hukum PIdana BAgian I, (Jakarta : Raja Grafindo PErsada, 2002), hlm. 160.

(19)

Namun muncul pertanyaan lanjutan mengenai pelaku yang tidak memiliki kualitas untuk dapat dijerat dengan delik mengenai suap, pertanyaan ini kemudian dijawan oleh Hazenwikel – Suringa yang sependapat dengan Langemeijer dan Pompe bahwa: :65

“justru pranata penyertaan seharusnya berfungsi dalam hal salah seorang peserta tidak memiliki kualitas konstitutif yang bersifat pribadi (misalnya ia bukan pegawai negeri).”

Trading in influence yang erat dengan kedudukan sebagai perantara dalam tindak pidana korupsi khususnya suap atau gratifikasi, pada hakikatnya tidak dapat dipisahkan dengan penyertaan pada penyertaan (deelneming aan deelneming). Meski masih terdapat pro dan kontra terhadap ajaran ini, namun dapat diidentifikasi hubungan antara keduanya. Adery mengutip J.E. Jonkers mengenai putusan R.V.J Semarang 20 Desember 1937, T 147 halaman 842 telah memberikan pertimbangan mengenai kualifikasi perantara dalam suatu tindak pidana.66

“ Dit werd gemotiveerd met de overweging, dat de strawet voor mogelijke schuldigverklaring aan uitlokking slechts eischt, da teen beoogd feit gevolgd is, waarbij het system der wet toelaat, dat de uitgelokte als dader (waaronder ook valt de uitlokker) dan wel als medeplichtige aan dit feit wordt gestraft.”67

Dari pertimbangan itu maka dapat diketahui bahwa bukan merupakan suatu masalah mengenai kedudukan dari seorang perantara tindak pidana. Hal ini disebabkan karena kualifikasi setiap peserta akan selalu dikaitkan dengan delik yang dilakukan oleh pelaku langsung.

Untuk dapat memahami lebih lanjut tentang korelasi penyertaan dan tindak pidana korupsi khususnya trading in influence maka sejumlah kasus akan ditelaah lebih lanjut pada poin selanjutnya.

3. Perkara di Pengadilan Tipikor yang Terindikasi Merupakan Perbuatan Trading In Influence

a. Kasus suap kuota impor daging sapi dengan terdakwa Luthfi Hasan Ishaaq

Luthfi Hasan Ishaaq yang merupakan Presiden PKS bersama-sama dengan Ahmad FAtanah berupaya mempengaruhi Menteri Pertanian Suswono yang merupakan kader PKS

65 Ibid.

66 J.E. Jonkers dalam Adery Ardhan Saputro, Tinjauan Yuridis Bentuk PEnyertaan Pada PEnyertaan (Deelneming Aan Deelneming) (Studi KAsus Antasari Azhar), (Skripsi, Universitas Indonesia, Jakarta, 2015), hlm. 82.

67 Hasil terjemahan Tim Bina Aksara seperti dikutip Adery :

(20)

untuk memberikan rekomendasi impor daging sapi kepada PT. Indoguna Utama. Luthfi didakwa dengan dakwaan yang disusun secara alternative-kumulatif. Luthfi didakwa dengan Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP; Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 TAhun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Pencucian Uang jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP; Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 TAhun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP .

Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 16 (enam belas) tahun dan denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah)apabila tidak dibayar diganti dengan pidana. Atas putusan ini, Luthfi Hasan mengajukan banding. Pengadilan Tinggi DKI Jakarta hanya memperbaiki lamanya subsider denda yaitu satu tahun kurungan menjadi enam bulan kurungan. Namun ketika mengajukan kasasi, vonis terhadap Luthfi Hasan diperberat menjadi 18 tahun penjara serta mencabut hak politiknya untuk dipilih dalam jabatan publik.

Dalam kasus suap kuota impor daging sapi, perbuatan Luthfi Hasan terindikasi sebagai perbuatan trading in influence dengan pola horizontal yang digambarkan dalam gambar berikut :

b. Kasus suap kuota impor daging sapi dengan terdakwa Ahmad Fatanah

Sebagai orang dekat Luthfi Hasan Ishaaq, Ahmad Fatanah dalam fakta dipersidangan terbukti telah berupaya melakukan perbuatan suap kepada Menteri Pertanian dengan bantuan Luthfi Hasan Ishaaq. Ahmad Fatanah sebagai perantara PT. Indoguna Utaa, berusaha mendapatkan rekomendasi impor daging sapi dengan bantuan Luthfi yang menjabat Presiden PKS. Ahmad Fatanah didakwa dengan dakwaan secara alternative-kumulatif. Fatanah didakwa dengan PAsal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 TAhun 2001 jo. PAsal

Luthfi Hasan Ishaaq

(Presiden PKS) Menteri Pertanian

(21)

55 ayat (1) ke-1 KUHP; Pasal 3 Undang-Undang Nomor 8 TAhun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak pidana Pencucian Uang jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP; Pasal 5 Undang-Undang Nomor 8 TAhun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP .

Ahmad FAthanah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan tindak pidana pencucian uang sebagai perbuatan perbarengan sehingga dijatuhi hukuman pidana penjara 14 (empat belas ) tahun dan pidana denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah). Atas putusan yang dijatuhkan padanya, Ahmad Fathanah mengajukan banding. Pada tahap Pengadilan Tinggi, hukuman Ahmad Fatanah divonis 16 (enam belas) tahun pidana penjara dan denda senilai Rp.1.000.000.000,00(satu miliar rupiah). Sementara untuk pengajuan kasasi di tingkat Mahkamah Agung, MA menolak perkara Fathanah sehingga vonis di tingat pengadilan tinggi tetap dilaksanakan.

Perbuatan Ahmad Fatanah teridentifikasi sebagai bentuk perbuatan trading in influence dengan pola vertical dengan perantara yang dapat digambarkan dengan gabar berikut:

c. Kasus Korupsi P3SON Kemenpora dengan terdakwa Andi Mallarangeng

Andi Mallarangeng sebagai Menpora didakwa telah menerima uang untuk memperkaya dirinya sendiri dari pemenang tender. Uang itu diberikan Wafid Muharram atas permintaan adiknya Choel Mallarangeng. Andi Mallarangeng didakwa dengan dakwaan alternative, dimana hakim kemudian memilih dakwaan alternative kedua. Terdakwa didakwa melanggar ketentuan Pasal 3 Jo. Pasal 18 Undang-Undang No, 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke – 1 Jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP. Andi Alfian Mallarangeng terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan Tindak Pidana ‘Korupsi secara bersama-sama’ sehingga dijatuhi pidana penjara selama : 4 (empat) tahun dan pidana denda sebanyak Rp. 200.000.000,00

Luthfi Hasan agar mempengaruhi Menteri Pertanian

Ahmad Fathanah sebagai perantara

(22)

(dua ratus juta rupiah). Atas putusan ini Andi Mallarangeng mengajukan banding, namun Pengadilan Tinggi menolak permohonan banding dan menguatkan putusan tingkat pertama. Sedangkan di tingkat kasasi, Mahkamah Agung menolak permohonan kasasi mantan menpora Andi Mallarangeng.

Perbuatan Andi MAllarangeng tidak teridentifikasi merupakan perbuatan trading in influence. Tetapi apa yang telah dilakuan oleh adiknya, Choel Mallarangeng berdasarkan fakta di persidangan menunjukkan perbuatan trading in influence pola vertical dengan perantara. Perbuatan itu dapat digambarkan dalam gambar berikut ini :

d. Kasus Suap Hakim MK dengan terdakwa Muhtar Ependy

Muhtar Ependy yang mengaku dekat dengan Ketua Mahkamah Konstitusi, Akil Moechtar telah mempengaruhi keterangan saksi terhadap dirinya ketika dimintai keterangan mengenai suap terhadap Akil terkait Pemilukada Kabupaten Lebak, Banten. Terdakwa didakwa dalam bentuk dakwaan kumulatif yaitu dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana KORupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP; Pasal 22 jo Pasal 35 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang RI Nomor 21 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Muhtar Ependy terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara dan dijatuhi pidana penjara selama 5 (lima) tahun dan denda sebesar Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah).

Fakta di persidangan menunjukkan bahwa Muhtar sebenarnya telah melakukan trading in influence. Muhtar sebagai perantara mengusahakan pihak yang bersengketa untuk dapat terhubung dengan Akil Moechtar selaku hakim yang tengah menangani kasus itu. Perbuatan Muhtar sebenarnya bisa dijerat dengan pasal suap kepada hakim yakni Pasal 6 UU No. 20 tahun 2001 yang merupakan perubahan dari UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 KUHP. Perbuatan Muhtar Ependy dapat

Andi Mallarangeng sebagai Menpora

Choel Mallarangeng (perantara ) merupakan adik dari Menpora

(23)

dikategorikan sebagai perbuatan trading in influence pola vertical dengan perantara yang digambarkan sebagai berikut :

e. Kasus Suap Hakim MK dengan terdakwa Tubagus Chaeri Wardhana

Tubagus Chaeri Wardhana bersama-sama dengan Susi Tur Andayani telah berupaya memberikan suap kepada Akil Moechtar melalui Muhtar Ependy untuk penanganan kasus Pilkada Kabupaten Lebak, Banten. Dalam perkara ini, terdakwa didakwa dalam bentuk dakwaan kumulatif yaitu dakwaan Kesatu melakukan tindak pidana korupsi yang diancam pidana sebagaimana dimaksud dalam Dakwaan kesatu Pasal 6 ayat (1) huruf a Undang-Undang nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan dakwaan Kedua melakukan tindak pidana korupsi yang diancam pidana sebagaimana dimaksud Pasal 13 Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No.20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo. Pasal 64 ayat (1) KUHP. Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias TB. Chaeri Wardhana B. Bus alias Wawan telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi dan dijatuhi hukuman pidana penjara selama 5 (lima) Tahun dan pidana denda sebesar Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). Atas putusan ini, Wawan mengajukan banding. Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan pada tingkat pertama. Sementara untuk kasasi yang diajukan ke Mahkamah Agung, majelis hakim yang diketuai Artidjo Alkostar menolaknya.

Dalam kasus ini, Wawan tidak teridentifikasi melakukan trading in influence. Ia hanya melakukan suap kepada hakim MK yang tengah menangani sengketa Pilkada Lebak, Banten.

Dari kelima kasus yang dibahas dalam penelitian ini, terlibat bahwa Pasal 55 KUHP tentang Penyertaan digunakan untuk menjerat pelaku trading in influence sehingga ajaran ini sudah dapat menjangkau pelaku yang selama ini

Akil Moechtar sebagai Hakim MK

Muhtar Ependy sebagai perantara/calo

(24)

Kesimpulan

Berdasarkan analisis terhadap permasalahan dalam penelitian ini, dapat disimpulkan hal-hal sebagai berikut:

1. Konsep Trading in Influence yang merupakan aturan dalam Pasal 18 UNCAC merupakan bagian dari suap. Aturan mengenai trading in influence yang sudah ada di sejumlah negara identik dengan tindak pidana suap. Meski demikian ada perbedaan dalam hal subjek hukum antara pelaku tindak pidana suap dan trading in influence. Beberapa negara yang sudah menjadikan trading in influence sebagai sebuah delik tersendiri ternyata belum mengatur tentang perbuatan trading in influence aktif. Hal ini dikarenakan adanya kegiatan lobbying di negara-negara maju. Di Indonesia, Pasal 18 UNCAC memang belum diratifikasi namun pada pola tertentu, ketentuan yang ada pada Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yakni UU No. 31 tahun 1999 jo. UU No. 20 tahun 2001 dapat digunakan untuk menjerat pelaku trading in influence. Pasal yang dimaksud adalah Pasal mengenai suap dan gratifikasi. Konstruksi dakwaan pada perbuatan trading in influence adalah dengan menjuctokan Pasal mengenai suap atau gratifikasi dengan Pasal 55 KUHP.

2. Terdapat korelasi antara ajaran penyertaan dengan konsep trading in influence. Korelasi ini muncul karena dalam tindak pidana korupsi pelaku tidak dapat melakukannya seorang diri. Ajaran penyertaan juga digunakan untuk menjerat pelaku trading in influence pada pola tertentu dimana Pasal 55 KUHP diyunctokan dengan Pasal mengenai suap, gratifikasi atau Pasal 3 UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tentunya penggunaan pasal tersebut disesuaikan dengan fakta/peristiwa pidana yang terjadi.

(25)

Saran

Berdasarkan kesimpulan di atas, peneliti memberikan beberasa saran:

1. Penerapan konsep trading in influence dalam ketentuan UNCAC memang tidak seluruhnya diratifikasi oleh negara yang menandatangani konvensi ini karena sifat non mandatory –nya. Rumusan yang ada dibeberapa negara tentang aturan trading in influence kadang kala mengalami tumpang tindih dengan ketentuan mengenai suap. Apabila Indonesia hendak mengatur konsep trading in influence dalam sebuah delik tersendiri maka perlu rumusan delik yang tepat dan terperinci agar nantinya delik tentang trading in influence tidak menjadi pasal ‘karet’.

2. Mengenai korelasi antara konsep penyertaan dan konsep trading in influence, sejauh penggunaannya sesuai dengan peristiwa pidana yang terjadi maka hal ini telah dapat menjangkau pelaku perbuatan trading in influence. Para ahli hukum pidana di Indonesia sudah merumuskan ketentuan mengenai trading in influence dalam RUU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan RUU KUHP tetapi perlu ditelaah lebih lanjut tentang rencana penerapan aturan ini terutama mengenai batasan delik ini.

3. Peristiwa/ fakta dalam sejumlah perkara yang ada di Pengadilan Tipikor menunjukkan bahwa perbuatan trading in influence ini ada di sekitar kita. Belum dirumuskannya ketentuan mengenai konsep trading in influence membuat para penegak hukum menggunakan pasal yang merupakan delik pokok dari perbuatan trading in influence yakni suap. Tentu hal ini menuntut kejelian dari penyidik dan penuntut dalam mengkonstruksikan dakwaan agar dapat dibuktikan di persidangan. Berkaitan dengan kondisi ini, kembali peneliti menyarankan agar penegak hukum lebih jeli dalam mengkonstruksikan dakwaan pada kasus yang terindikasi merupakan trading in influence agar perbuatan pelaku dapat dibuktikan di persidangan.

Daftar Referensi A. Buku

(26)

Ancel, Marc , Social Defence, A Modern Approach to Criminal Problems, ( London : Routledge & Kogan Paul, 1965.

Anwar Yesmil dan Adang, Pembaharuan Hukum Pidana : Reformasi Hukum, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 2008.

Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2010.

Bemmelen, J.M. Van. Hukum Pidana 1. Cetakan Pertama. Indonesia : Binacipta. Desember 1984.

Chawawi, Adami. Pelajaran Hukum PIdana Bagian I. Jakarta : Raja Grafindo Persada. 2002.

Djaja, Ermansyah. Meredesain Pengadilan Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : PT. Sinar Grafika. 2010.

Fitriasih, Surastini, Penerapan Ajaran Penyertaan Dalam Peradilan Pidana Indonesia (Studi terhadap Putusan Pengadilan), Dsertasi Doktor Universitas Indoensia, Jakarta. 2006.

Hamzah, Andi, Pemberantasan Korupsi Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional. Edisi Revisi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2006.

Hasibuan, Albert , Titik Pandang Untuk Orde Baru, Jakarta : Pustaka Sinar Harapan, 1997.

Hoefnagels, G. Peter , The Other Side of Criminology An Intervention of The Concept of Crime, Holland : Kluwer – Deventer, 1963.

Lamintang, P.A.F. Dasar – dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 1997.

Loqman, Loebby , Percobaan, Penyertaan dan Gabungan Tindak Pidana (Buku 2), Jakarta : Unicersitas Tarumanegara – UPT Penerbitan, 1996.

Reksodiputro, Mardjono, Jaminan Konstitusi Tentang Proses Hukum Yang Adil, Bahan Bacaan Wajib Perkuliahan Manajemen Sekuriti Swakarsa, Jakarta, Program Magister Kajian Ilmu Kepolisian Universitas Indonesia, 2013.

--- ,Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta : Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum (Lembaga Kriminologi) Universitas Indonesia, 2007.

Remmelink, Jan. Hukum Pidana. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 2003.

(27)

Sjahrir, ‘Korupsi di Indonesia Kanker Terminal’ dalam Surga Para Koruptor, Jakarta : Penerbit Buku Kompas, Desember 2004.

Soekanto Soerjono, Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, Jakarta : Rajawali Press, 1995.

Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung : Alumni, 1981.

Tim Peneliti ICW(Donal FAriz, Almas Sjafrina, Era Purnama Sari, WAhyu Nanadang Herawan), Kajian Implementasi Trading in Influence Dalam Hukum Nasional, Jakarta : Indonesia Corruption Watch. Maret 2014.

E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana II, cetakan 3, Surabaya : Pusataka Tirta Mas, 1986.

B. Undang-undang

Indonesia. Pemberantasan Tindan Pidana Korupsi, UU Nomor 31 Tahun 1999. LN RI Nomor 140 tahun 1999. TLN RI Nomor 3874.

Indonesia. Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan TIndak Pidana Korupsi., UU Nomor 20 Tahun 2001. LN RI Nomor 134 tahun 2001. TLN RI Nomor 4120.

Indonesia. PengesahanUnited Nations Convention Against corruption, UU Nomor 7 Tahun 2006. LN RI Nomor 32 tahun 2006. TLN RI Nomor 4620

C. Internet

Defining Corruption, http://track.unodc.org/IBA, diakses pada Rabu, 16 September 2015 . Explanatory Report, Criminal Law Convention on Corruption,

http://conventions.coe.int/treaty/en/reports, diunggah pada 1998, diakses pada Rabu,

11 November 2015.

Hadi Syahroni, Kebijakan Kriminal Dalam Sistem Negara Hukum Indonesia,

http://lbh-inpartit.org/kebijakan-kriminal-dalam-sistem-negara-hukum-indonesia, diakses pada

sabtu 17 Desember 2014.

Hollan, Miklos. Trading In Influence : Requirements of The Council of Europe Convention and The Hungarian Criminal Law. http://akademiai.com, diunggah pada Agustus 2011, diakses 19 Desember 2015.

Kalnins, Valts, Parliamentary Lobbying between Civil Rights and Corruption,

http://providus.lv/article_files/1882, diakses pada 18 Desember 2015.

(28)

Willeke Slingerland, Trading In Influence : Corruption Revisited,

http://www.researchgate.net, diunggah pada Maret 2011, diakses pada Rabu, 16

Referensi

Dokumen terkait

Semakin besar pengungkapan informasi sosial yang dilakukan perusahaan, maka dapat menarik perhatian investor terlebih bila didukung dengan profitabilitas yang tinggi,

Kadar sari air dan alko- hol cukup tinggi ini menunjukkan bahan aktif yang terkandung dalam simplisia tidak banyak yang hilang selama proses pengeringan matahari selama

Dalam beberapa hal, tersebab ia mengerjakan sejumlah proyek pembangunan patung monumental, dan elemen estetik yang berkait dengan arsitektur, ia melibatkan murid-murid-nya

Sampel penelitian ini adalah sebanyak 44 mahasiswa program pendidikan matematika (calon guru matematika) FKIP Universitas Islam Sultan Agung. Penelitian ini hanya dibatasi pada

Adanya faktor genetik pada keluarga tertentu akan menyebabkan keluarga itu mempunyai risiko menderita hipertensi. Hal ini berhubungan dengan peningkatan kadar sodium

pembangunan ekonomi yang amat ambisius yang pernah mereka lakukan, dan sekaligus merupakan kekeliruan yang amat besar. Pada tahun 1970-an, pemerintah Brazil merencanakan membangun

Sesuai dengan data yang didapatkan dari bagian keuangan pelaksanaan pembuatan laporan untuk manajemen tingkat atas ini membutuhkan pembentukan panitia yang mana harus

Keterangan: Bilangan pada setiap tabel pengamatan diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan uji BNT 5%; tn : tidak nyata Tabel 6 Interaksi Bobot Umbi