IMPLIKASI FILSAFAT ILMU DALAM PENDIDIKAN ISLAM Dec 2, '08 6:50 AMfor everyone A. Filsafat ilmu pendidikan Islam
Untuk memahami Sub bahasan Filsafat ilmu pendidikan
Islam ini dapat didekati dari permasalahan pokok tentang apa itu
filsafat, filsafat ilmu, dan pendidikan Islam. Telah diketahui
bahwa filsafat merupakan disiplin dan sistem pemikiran tentang
enam jenis persoalan berhubungan dengan “(1) hal ada, (2)
pengetahuan, (3)metode, (4) penyimpulan, (5) moralitas, dan (6)
keindahan. Keenam jenis persoalan ini merupakan materi yang
dipelajari, dan kemudian menjadi bagian utama studi filsafat
yang terkenal sebagai metafisika, epistemologi, metodologi,
logika, etika dan estetika”.[1]
Sebagai suatu sistem pemikiran menurut M. Dimyathi
maka kegiatan penalaran filosofis dapat dikatagorikan sebagai
kegiatan analisis, pemahaman, diskripsi, penilaian, penafsiran,
dan perekaan. Kegiatan penalaran tersebut bertujuan untuk
mencapai kejelasan, kecerahan, keterangan, pembenaran,
pengertian dan penyatupaduan. Secara keseluruhan filsafat
mempelajari keenam jenis persoalan tersebut berdasarkan
kegiatan penalaran reflektif dan hasil refleksinya terwujud dalam
Pengetahuan filsafati merupakan induk dari Ilmu (science)
dan pengetahuan (knowledge) yang mana keduanya merupakan
potensi esensial pada manusia dihasilakan dari proses berpikir.
Berpikir (na>tiq) adalah sebagai karakter khusus yang
memisahkan manusia dari hewan dan makhluk lainya. Oleh
karena itu keunggulan manusia dari spesies-spesies lainnya
karena ilmu dan pengetahuannya.
Dalam teologi Islam diyakini bahwa manusia dengan
potensi na>tiq memiliki kemampuan filosofis dan ilmiah. Potensi
inilah yang secara spesifik melahirkan daya Filsafat Ilmu. Filsafat
ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap
persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu
maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan
manusia. Filsafat Ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan
campuran yang eksistensinya bergantung pada hubungan timbal
balik dan saling mempengaruhi antara filsafat dan ilmu.
Dengan demikian, Filsafat Ilmu merupakan satu-satunya
medium resmi untuk memperbincangkan ilmu. Dalam kaitannya
dengan ilmu, filsafat tidak lebih dari model pandang atau
perspektif filosofis terhadap ilmu. Karena itu, tidak menawarkan
materi-materi ilmiyah, tetapi sekedar tinjauan filsofis mengenai
meliputi epistimologi, aksiologi, dan ontologi. Dalam ranah
pendidikan Islam, ketiga bidang filsafat ilmu ini perlu dijadikan
landasan filosofis, terutama untuk kepentingan pengokohan dan
pengembangan pendidikan Islam itu sendiri.
Manusia dengan potensi natiqnya mendudukkan sebagai
subyek pemikir keilmuan sekaligus menggambarkan sebagai
individu yang secara epistemologi memiliki kerangka berfikir
keilmuan, dan memiliki dunia kemanusiaan obyektif yang
berlapis. Lapisan pemikiran obyektif tersebut menurut Dimyati
terwujud dalam dunia human, sebagai salah satu wujud ontologis
manusia. Secara ontologis dunia manusia meliputi keberadaan
secara fisik, biotis, psikis, dan human. Pada taraf human ini
dengan tingkatan-tingakatan (1) keimanan, yang
mengitegrasikan bakat kemanusiaan, (b) pribadi, sebagai
pengintegrasi segala aspek jiwa manusia yang internasional, (c)
keakuan, suatu lapis luar kejiwaan yang dinamis, (d) dunia
religius, (e) dunia kebudayaan sebagai ekpresi etis, estetis dan
epistemis.[3]
Obyek filsafat tersebut -dalam filsafat pendidikan Islam
sebagaimana filsafat pada umumnya- menerapkan metode
kefilsafatan yang lazim dan terbuka. Hanya obyek
filsafat. Demikian pula hubungan antara filsafat pendidikan
dengan filsafat pendidikan Islam. Jenis pertama menempatkan
segala yang ada sebagai obyek, sementara yang kedua
mengkhususkan pendidikan dan yang terakhir lebih khusus lagi
pendidikan Islam. Sedangkan filsafat ilmu pendidikan Islam
berarti penerapan metode filsafat ilmu meliputi ontologi,
epistemologi dan aksiologi terhadap keilmuan pendidikan Islam.
Ahmad Tafsir memberi penjelasan tentang perbedaan
antara filsafat dan ilmu (sains), dan filsafat pendidikan Islam.
Menurutnya filsafat ialah jenis pengetahuan manusia yang logis
saja, tentang obyek-obyek yang abstrak. Ilmu ialah jenis
pengetahuan manusia yang diperoleh dengan riset terhadap
obyek-obyek empiris; benar tidaknya suatu teori ilmu ditentukan
oleh logis-tidaknya dan ada-tidaknya bukti empiris. Adapun
filsafat pendidikan Islam adalah kumpulan teori pendidikan Islam
yang hanya dapat dipertanggung jawabkan secara logis dan
tidak akan dapat dibuktikan secara empiris.[4]
Mengaitkan Islam dengan katagori keilmuan, seperti dalam
konsep pendidikan, menurut Mastuhu umumnya berhadapan
dengan pengertian Islam sebagai sesuatu yang final. Dalam
katagori ini, Islam dapat dilihat sebagai kekuatan iman dan
memiliki ciri khas berupa perubahan, perkembangan dan tidak
mengenal kebenaran absolut. Semua kebenarannya bersifat
relatif.[5]
Baik Filsafat ilmu, filsafat pendidikan dan khususnya lagi
filsafat pendidikan Islam sangat penting untuk dikaji, karena
menurut Al-Shayba>ni> setidaknya filsafat pendidikan memiliki
beberapa kegunaan. Diantara manfaat itu ialah (1) dapat
menolong perangcang-perangcang pendidikan dan orang-orang
yang melaksanakannya dalam suatu negara untuk membentuk
pemikiran sehat terhadap proses pendidikan, (2) dapat
membentuk asas yang dapat ditentukan pandangan pengkajian
yang umum dan yang khusus, (3) sebagai asas terbaik untuk
penilaian pendidikan dalam arti yang menyeluruh, (4) sandaran
intelektual yang digunakan untuk membela tindakan pendidikan,
(5) memberi corak dan pribadi khas dan istemewa sesuai dengan
prinsip dan nilai agama Islam.[6]
B. Perspektif Ontologi Pendidikan Islam.
Masalah-masalah pendidikan Islam yang menjadi
perhatian ontologi -menurut Muhaimin[7]- adalah bahwa
dalam penyelenggaraan pendidikan Islam diperlukan
pendirian mengenai pandangan manusia, masyarakat dan
saja potensi yang dimiliki manusia? Dalam Qur’a>n dan
Al-H}adi>th terdapat istilah fit}rah, samakah potensi dengan
fit}rah tersebut? Potensi dan atau fit}rah apa dan dimana
yang perlu mendapat prioritas pengembangan dalam
pendidikan Islam? Apakah potensi dan atau fit}rah itu
merupakan pembawaan (faktor dasar) yang tidak akan
mengalami perubahan, ataukah ia dapat berkembang melalui
lingkungan atau faktor ajar ?
Lebih luas lagi apa hakekat budaya yang perlu
diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya? Ataukah
hanya ajaran dan nilai Islam sebagaimana terwujut dalam
realitas sejarah umat Islam yang perlu diwariskan kepada
generasi berikutnya? Inilah aspek ontologis yang perlu
mendapat penegasan.
C. Perspektif Epistemologi Pendidikan Islam
Analisis epistemologis tentang pendidikan Islam terkait
dengan landasan dan metode pendidikan Islam. Kegiatan
pendidikan tertuju pada manusia, dan oleh karenaya
menyentuh filsafat tentang manusia. Kegiatan pendidikan
adalah kegiatan mengubah manusia sehingga
mengembangkan hakikat kemanusiaan. Kegiatan pendidikan
bertujuan mengembangkan potensi kemanusiaan, dan hal ini
dapat terjadi jika manusia memang “animal educandum,
educabile, dan educans”.
Epistemologis bahwa manusia adalah animal
educandum, educabile dan educans tersebut merupakan hasil
analisis Langeveld, seorang Paedagog Belanda. Analisis
fenomenologis tentang manusia sebagai sasaran tindak
mendidik ini menegakkan paedagogik (ilmu pendidikan)
sebagai disiplin ilmu pengetahuan yang patut
dipertimbangkan. Paedagogik sebagai ilmu pengetahuan
melukiskan bahan pengetahuan pendidikan yang bermanfaat
untuk melakukan pengajaran ilmu pengetahuan di sekolah.
Analisis epistemologis dan metode fenomenologi
tentang kegiatan pendidikan –menurut Dimyati- telah
melahirkan paedagogik sebagai ilmu yang otonom.
Sedangkan analisis epistemologi dengan pragmatismenya
melahirkan philosophy of education sebagai cabang filsafat
khusus. Secara analisis pragmatis, kegiatan pendidikan
dipandang sebagai bagian integral kebudayaan; dalam hal ini
kegiatan pendidikan dipandang sebagai penerapan
pandangan filsafat manusia terhadap anak manusia.[8]
sebagai makhluk rasional, maka kegiatan pendidikan
terhadap manusia adalah membuat manusia menjadi
makhluk yang mampu menggunakan dan mengembangkan
akalnya untuk memecahkan masalah-masalah kebudayaan
manusia.
Jelaslah bahwa telaah lengkap atas tindakan manusia
dalam fenomena pendidikan melampaui kawasan ilmiah dan
memerlukan analisis yang mandiri atas data pedagogi
(pendidikan anak) dan data andragogi (pendidikan orang
dewasa). Adapun data itu mencakup fakta (das sein) dan nilai
(das sollen) serta jalinan antara keduanya. Data faktual tidak
berasal dari ilmu lain tetapi dari objek yang dihadapi
(fenomena) yang ditelaah Ilmuwan itu (pedagogi dan
andragogi) secara empiris. Begitu pula data nilai yang
normatif tidak berasal dari filsafat tertentu melainkan dari
pengalaman atas manusia secara hakiki. Itu sebabnya
pedagogi dan andragogi memerlukan jalinan antara telaah
ilmiah dan telaah filsafat.
Sebaliknya ilmu pendidikan khususnya pedagogik
adalah ilmu yang menyusun teori dan konsep pendidikan.
Oleh sebab itu setiap pendidik tidak boleh ragu-ragu atau
menyerah kepada keragu-raguan prinsipil. Hal ini serupa
kedokteran, ekonomi, politik dan hukum. Oleh karena itu
pedagogik (dan telaah pendidikan mikro) serta pedagogik
praktis dan andragogi (dan telaah pendidikan makro)
bukanlah filsafat pendidikan yang terbatas menggunakan
atau menerapkan telaah aliran filsafat normative yang
bersumber dari filsafat tertentu. Yang lebih diperlukan ialah
penerapan metode filsafat yang radikal dalam menelaah
hakikat peserta didik sebagai manusia seutuhnya dan
sebagainya.
Dalam hal epistemologi -menurut
Muhaimin-pertanyaan-pertanyaan yang dikembangkan adalah
menyangkut hal-hal berikut: untuk mengembangkan potensi
dasar manusia serta mewariskan budaya dan interaksi antara
potensi dan budaya tersebut, apa saja isi kurikulum
pendidikan Islam yang perlu didikkan? Dengan menggunakan
metode apa pendidikan Islam itu dapat dijalankan? Siapa
yang berhak mendidik dan didik dalam pendidikan Islam?
Apakah semua yang ada di alam semesta ini, ataukah hanya
manusia saja, atau hanya Muslim saja yang dapat mendidik
dalam pendidikan Islam?.[9]
Pertanyaan-pertanyaan diatas mengarah pada upaya
berkaitan dengan persoalan dasar dan sekaligus metodologis.
Oleh karena itu jika subtansi pendidikan Islam merupakan
paradigma ilmu, menurut Abdul Munir Mulkhan maka problem
epistemologis dan metodologis pemikiran Islam adalah juga
merupakan problem pendidikan Islam.[10]
Untuk menjawab permasalahan-permasalahan
epistemologis seperti dikemukakan Muhaimin diatas, maka
sangat berhubungan dengan landasan/ dasar dan metode
pendidikan dalam islam. Oleh karenanya, pembahasan berikut
menjelaskan landasan dan metode tersebut.
Demikian pula, al-Sunnah juga sebagai asas pendidikan
Islam, karena ia menjelaskan Al-Qur’a>n. Penjelasan ini
diantaranya terdapat pada ayat berikut:
Artinya: Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’a>n, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka] dan supaya mereka memikirkan.[14]
Yalja>n dalam nukilan Djumransyah menyatakan bahwa
asas pendidikan Islam terdiri dari Al-Qur’a>n, dan sunnah
yang diperluas dengan ijma>’, qiya>s, mas}a>lih
al-Mursalah, shadh al-Dhari>’ah, ‘urf dan istih}sa>n. [15] Hal
ini sejalan dengan pendapat Sa’i>d Isma>’i>l bahwa asas
pendidikan Islam meliputi Al-Qur’a>n, sunnah, qaul sahabat,
mas}alih} al-Mursalah, urf, dan pemikiran Islam.[16]
Adapun pembahasan tentang metode pendidikan islam,
secara umum perhatian para ulama klasik telah tertuju pada
upaya tersebut. Hal ini terbukti dengan munculnya
pemikir-pemikir pendidikan. Menurut Abd al-Ghani> ‘Abu>d mereka
ini secara preodik dimulai dari Shahnun (Wafat 240 H),
Muhammad Ibn Shahnun (wafat 256 H), Ajari ( 360 H),
Al-Khawarizmi (377 H), Al-Qabisi (403 H), Ibn Jazzar Al-Qairawani
(505 H), Zanuji (591 H), Ibn Jama’ah (733 H), Ibn Hajj
Al-Abdari (737 H), Al-Maghrawi (902 H), Ibn Hajar Al-Haithami
(947 H), ditambah para pemikir kontemporer lainya seperti
Burhan Al-Ddin Al-Aqsharani, Al-Qathmuni, Al-‘Amuli, Abi
Yahya Zakariya Al-Ansari, dll.[17]
Mereka ini menurut Abu>d tergolong pemikir
pendidikan murni dari islam, termasuk Ibn Khaldun (732-808
H). Disisi lain Abu>d menggolongkan pemikir (pendidikan)
islam yang terpengaruh dengan model filsafat Yunani,
diantaranya Ibn Sina (370-428 H) dan Ibn Maskawaih
(325-421 H).[18]
Para pemikir pendidikan muslim tersebut mewariskan
khzanah pemikirannya dalam kitab-kitab pendidikan.
Diantaranya yang relevan dengan pendidikan anak; Ta’lim
al-Sibyan wa ahkam al-Mu’alimin (Al-Qabisi), ayyuha al-Walad
(Al-Ghazali), adab Mua’alimin (Ibn Sahnun), Ta’lim
al-Muta’alim (Al-Zanuji), [19] Tahrir Al-Maqal fi adab wa ahkam
wa fawaid yahtaj ilaiha muaddib al-Athfal (Ibn Hajar
Al-Haithami), Jami’ Bayan Al-‘Ilm (Ibn abd Al-Bar),[20] Siyasat
al-Shibyan wa tadbirihim (Ibn Jazzar al-Qairawani), Jami’ Jawami’
Al-Ihtishar (Al-Maghrawi), Tadhkirat al-Sami’ wa al-Mutakallim
Kitab-kitab tersebut secara umum menjelaskan
bagaimana pendidikan islam dilakukan. Sayangnya kitab-kitab
tersebut banyak yang tidak ditemukan. Adapun dalam hal
metode (Tariqah) pendidikan, menurut Ibn Taimiyah yang
dinukil oleh Majid Arsan Kailani ada dua yaitu pertama;
tariqah ‘ilmiah yakni berhubungan dengan bangunan
penyampaian ilmu mencakup media pengajaran, kurikulum
dan keseimbangan antara teoritis dan praktis. Cara (Uslub)
yang digunakan dengan uslub hikmah, al-Mauidah Hasanah
dan jadal al-Hasan. Kedua: tariqah iradah yakni metode untuk
mendorong beramal yaitu dengan cara memahami Al-Qur’an,
bersedekah, meninggalkan perbuatan keji, dan ibadah.[22]
Al-Nahla>wi> menjelaskan tuju model (uslub)
pendidikan. Pertama: model pendidikan dengan materi
percakapan dari qur’an dan hadith (Al-Tarbiyah bi hiwar
al-Qur’ani wa al-Nabawi). Kedua: model cerita dari Qur’an dan
Hadith. Ketiga: model perumpamaan (Al-Amthal). Keempat:
model memberi contoh (Qudwah). Kelima: model latihan dan
pembiasaan (al-Mumarathah). Keenam: model nasehat.
Ketuju: model memotivasi dan menakuti (Targhib wa Tarhib).
Al-Abrash i> menawarkan sepuluh metode pengajaran
(Tariqat Al-Tadris) ialah istiqra’iyah (inductive), qiyasiyah
(deductive), muhadarah (ceramah), hiwariyah (percakapan),
tanqibiyah (penugasan), I’jab (appreciation), ibtikar
(creation), tadrib (drill), dirasat al-irshadiyah (supervised
study) dan ikhtibar (testing).[24]
D. Perspektif Aksiologi Pendidikan Islam.
Dalam bidang aksiologi, masalah etika yang
mempelajari tentang kebaikan ditinjau dari kesusilaan, sangat
prinsip dalam pendidikan Islam. Hal ini terjadi karena
kebaikan budi pekerti manusia menjadi sasaran utama
pendidikan Islam dan karenanya selalu dipertimbangkan
dalam perumusan tujuan pendidikan Islam. Nabi Muh}ammad
sendiri diutus untuk misi utama memperbaiki dan
menyempurnakan kemuliaan dan kebaikan akhlak umat
manusia.
Disamping itu pendidikan sebagai fenomena kehidupan
sosial, kultural dan keagamaan, tidak dapat lepas dari sistem
nilai tersebut. Dalam masalah etika yang mempelajari tentang
karena keindahan merupakan kebutuhan manusia dan
melekat pada setiap ciptaan Allah. Tuhan sendiri Maha Indah
dan menyukai keindahan.
Disamping itu pendidikan Islam sebagai fenomena
kehidupan sosial, kulturan dan seni tidak dapat lepas dari
sistem nilai keindahan tersebut. Dalam mendidik ada unsur
seni, terlihat dalam pengungkapan bahasa, tutur kata dan
prilaku yang baik dan indah.
Unsur seni mendidik ini dibangun atas asumsi bahwa
dalam diri manusia ada aspek-aspek lahiriah, psikologis dan
rohaniah. Hal ini mengisyaratkan bahwa manusia dalam
fenomena pendidikan adalah paduan antara manusia sebagai
fakta dan manusia sebagai nilai. Tiap manusia memiliki nilai
tertentu sehingga situasi pendidikan memiliki bobot nilai
individual, sosial dan bobot moral.
Itu sebabnya pendidikan dalam prakteknya adalah fakta
empiris yang syarat nilai dan interaksi manusia dalam
pendidikan tidak hanya timbal balik dalam arti komunikasi
dua arah melainkan harus lebih tinggi mencapai tingkat
manusiawi. Untuk mencapai tingkat manusiawi itulah pada
intinya pendidikan bergerak menjadi agen pembebasan dari