• Tidak ada hasil yang ditemukan

EPISTEMOLOGI PENCAPAIAN ILMU AL GHAZALI (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EPISTEMOLOGI PENCAPAIAN ILMU AL GHAZALI (1)"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

EPISTEMOLOGI PENCAPAIAN ILMU (AL-GHAZALI)

Abstrak: Sifat dasar ilmu pengetahuan itu berkembang, meskipun begitu masih diperlukan strategi pengembangan ilmu agar ilmu itu sesuai dengan tujuan yang ada dan juga kaidah penerapan ilmu. Al-Ghazali membagi kaidah-kaidah penerapan ilmu menjadi tujuh dan strategi pengembangan ilmu menjadi enam strategi. Hal ini tidak lepas dari tanggung jawab ilmu, ilmuwan dan juga masyarakatnya. Karena ketiga-tiganya saling berkaitan. Dari enam strategi pengembangan ilmu tersebut pada dasarnya semua ilmu itu sudah mempunyai strategi-strategi itu.

Kata Kunci: penerapan, pengembangan, pencapaian ilmu, al-Ghazali

PENDAHULUAN

Orang-orang yang mempelajari bahasa Arab mendapat sedikit kebingungan tatkala menghadapi kata “ilmu”. Dalam bahasa Arab kata al-‘ilm berarti pengetahuan(knowledge), sedangkan kata “ilmu” dalam bahasa Indonesia biasanya merupakan terjemahan science. Ilmu dalam arti science itu hanya sebagian al-‘ilm dalam bahasa Arab. Ilmu telah menjadi sekelompok pengetahuan yang terorganisir dan tersusun secara sistematis.

Tugas ilmu menjadi lebih luas, yakni bagaimana ia mempelajari gejala-gejala sosial lewat observasi dan eksperimen. Keinginan-keinginan melakukan observasi dan eksperimen sendiri, dapat didorong oleh keinginannya untuk membuktikan hasil pemikiran filsafat yang cenderung spekulatif ke dalam bentuk ilmu yang praktis. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dapat diartikan sebagai keseluruhan lanjutan system ilmu pengetahuan manusia yang telah dihasilkan oleh hasil kerja filsafat kemudian dibukukan secara sistematis dalam bentuk ilmu yang telah terteorisasi, kebenaran ilmu dibatasi hanya sepanang dalam pengalaman dan sepanjang pemikiran, sedangkan filsafat menghendaki pengetahuan yangg komprehensif, yakni yang luas, umum, dan universal (menyeluruh) dan itu tidak dapat dan iu tidak dapat diperoleh dalam ilmu.

Ilmu bersifat pasteriori: kesimpulannya ditarik setelah melakukan pengujian-pengujian secara berulang-ulang. Untuk kasus tertentu, ilmu bahkan menuntut untuk diadakannya percobaan dan pendalaman untuk mendapatkan esensinya. Antara ilmu dan dan filsafat serta cara kerja ilmuwan dan filosof memang mengandung sejumlah persamaan, yakni sama-sama mencari kebenaran. Ilmu memiliki tugas melukiskan sedangkan filsafat bertugas untuk menafsirkan kesemestaan. Aktivitas ilmu digerakkan oleh pertanyaan bagaimana menjawab pelukisan fakta, sedangkan filsafat menjawab pertanyaan lanjutan bagaimana sesungguhnya fakta itu, darimana awalnya dan akan kemana akhirnya.

(2)

PEMBAHASAN

METODOLOGI PENCAPAIAN ILMU Pengertian metodologi

Metodologi berasal dari kata metode dan logos. Metodologi bisa diartikan ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Kata metode berasal dari kata yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju, melalui, mengikuti, sesudah) dan kata benda hodos (jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri berarti: penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu.1 Pengertian metode berbeda dengan metodologi. Metode adalah suatu, jalan, petunjuk pelaksanaan atau petunjuk teknis, sehingga memiliki sifat yang praktis.

Adapun metodologi disebut juga science of methods, yaitu ilmu yang membicarakan cara, jalan atau petunjuk praktis dalam penelitian, sehingga metodologi penelitian membahas konsep teoretis berbagai metode. Dengan kata lain dapat dipahami bahwa metodologi bersangkutan dengan jenis, sifat dan bentuk umum mengenai cara-cara, aturan dan patokan prosedur jalannya penyelidikan, yang menggambarka bagaimana ilmu pengetahuan harus bekerja.2 Ada beberapa prinsip menurut Rene Descartes dalam suatu metode umum yang memiliki kebenaran yang pasti.3 sebagai berikut:

1. Membicarakan masalah ilmu-ilmu yang diawali dengan menyebutkan akal sehat (common sense) yang pada umumnya dimiliki semua orang.

2. Menjelaskan kaidah-kaidah pokok tentang metode yang akan dipergunakan dalam aktivitas ilmiah.

3. Menyebutkan beberapa kaidah moral yang menjadi landasan bagi penerapan sebagai berikut:

a. Mematuhi undang-undang dan adat istiadat negeri, sambil berpegangan pada agama yang diajarkan sejak masa kanak-kanak.

b. Bertindak tegas dan mantap, baik pada pendapat yang paling meyakinkan maupun yang paling meragukan.

c. Berusaha lebih mengubah diri sendiri dari pada merombak tatanan dunia. 4. Menegaskan pengabdian pada kebenaran yang acap kali terkecoh oleh indra. 5. Menegaskan perihal dualisme dalam diri manusia, yang terdiri atas dua

substansi yaitu res cogitans (jiwa bernalar) dan res extensa (jasmani yang meluas).

6. Dua jenis pengetahuan, yaitu spekulatif dan pengetahuan praktis.

Metode Keilmuan

Terdapat suatu anggapan yang luas bahwa ilmu pada dasarnya adalah metode induktif-empiris dalam memperoleh pengetahuan. Memang terdapat beberapa alasan untuk mendukung penilaian yang populer ini, karena ilmuan mengumpulkan fakta-fakta yang tertentu, melakukan pengamatan, dan mempergunakan data indrawi. Analisis yang mendalam terhadap metode keilmuan akan menyingkapkan kenyataan, bahwa apa yang yang di lakukan oleh ilmuan dalam usahanya mencari pengetahuan lebih tepat di gambarkan sebagai suatu kombinasi antara prosedur dan rasional. Epistemologi keilmuan adalah rumit dan penuh

1 Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat, hlm. 10.

(3)

kontroversi, namun akan di usahakan di sini, untuk memberikan analisa filosopis yang singkat dari metode keilmuan, sebagai suatu teori pengetahuan yang termuka.

Secara sederhana, dapat dikatakan bahwa metode keilmuan adalah satu cara dalam memperoleh pengetahuan. Suaru rangkaian prosedur yang tertentu harus di ikuti untuk mendapatkan jawaban yang tertentu dari pernyataan yang tertentu pula. Munkin epistemologi dari metode keilmuan akan lebih mudah di bacakan, jika kita mengarahkan perhatian kita kepada sebuah rumus yang mengatur langkah-langkah proses berpikir, yang diatur dalam satu urutan tertentu.4 Kerangka dasar prosedur ini dapat di uraikan dalam enam langkah sebagai berikut:

1. Sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah

Manusia menciptakan masalah dan mengajukan sesuatu yang menurut pikirannya adalah pertanyaan yang dapat dijawab. Tanpa adanya suatu masalah yang didefinisikan secara jelas. Manusia tak akan mempunyai jalan untuk mengetahui fakta apa yang harus dikumpulkan. Metode keilmuan pada permulaan ini menekankan kepada pertanyaan yang jelas dann tepat dari sebuah masalah.

2. Pengamatan dan pengumpulan data yang relevan

Tahap ini merupakan sesuatu yang paling dikenal dalam metode keilmuan. Disebabkan oleh banyaknya kegiatan keilmuan yang diarah kepada pengumpulan data ini. Maka banyak orang yang menyamakan keilmuan dengan pengumpulan fakta. Pengamatan yang teliti yang dimungkinkan oleh terdapatnya berbagai alat, yang dibuat manusia dengan penuh akal, memberikan dukungan yang dramatis terhadap konsep keilmuan sebagai suatu prosedur yang pada dasarnya adalah empiris dan induktif.

3. Penyusunan atau klasifikasi data

Tahap metode keilmuan ini menekankan kepada penyusunaan fakta dalam kelompok-kelompok, jenis-jenis dan kelas-kelas. Dalam semua cabang-cabang ilmu, usaha untuk mengidentifikasikan, menganalisis, membandingkan dan membedakan fakta-fakta yang relevan tergantung kepada adanya sistem klasifikasi ini disebut taxonomi, dan ilmuwan modern terus berusaha untuk menyempurnakan taxonomi khusus bidang keilmuan mereka.

4. Perumusan hipotesis

Hipotesis adalah pernyataan sementara tentang hubungan antar a benda-benda. Hubungan hipotesis ini diajukandalam bentuk dugaan kerja, atau teori, yang merupakan dasar dalam menjelaskan kemungkinan hubungan tersebut.hipotesis diajukan secara khas dengan dasar coba-coba(trial-an error).5 Hipotesis hanya merupakan dugaan yang beralasan, atau mungkin merupakan perluasan dari hipotesis terdahulu yang telah teruji kebenarannya, yang kemudian diterapkan pada data yang baru. Kedua hal diatas, hipotesis berfungsi untuk mengikat data sedemikian rupa, sehingga hubungan yang diduga dapat kita gambarkan, dan penjelasan yang mungkin dapat kita ajukan. Sebuah hipotesis biasanay dinyatakan dalam bentuk pernyataan” jika X, maka Y”. Jika kulit manusia kekurangan pigmen maka kulit itu mudah terbakar bila disinari matahari secara langsung. Hipotesis ini memberikan penjelasan paling tidak tentang beberapa hubungan antara pigmentasi dengan sinar matahari. Hipotesis ini juga mengungkapkan kepada kita syarat mana yang harus dipenuhi dan

(4)

pengamatan apa yang diperlukan jika kita ingin menguji kebenaran dari dugaan kerja tersebut.

5. Deduksi dan hipotesis

Ilmu adalah metode yang semata-mata yang berpegang teguh kepada jalan pikiran induktif, yang melangkah secara langsung dari fakta kepada penjelasan, harus memperhatikan secara seksama peranan dari hipotesis. Hipotesis menyusun pernyataan logis yang menjadi dasar untuk penarikan kesimpulan atau deduksi mengenai hubungan antara benda-benda tertentu yang sedang diselidiki.

6. Tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesa

pengujian kebenaran dalam ilmu berarti mengetes alternatif-alternatif hipotesis dengan pengamatan kenyataan yang sebenarnya atau lewat percobaan. Jika fakta tidak mendukung satu hipotesis maka hipotesis yang lain dipilih dan proses diulangi kembali. Hakim yang terahir dalam hal ini adalah data empiris; kaidah yang bersifat umum, atau hukum, haruslah memenuhi persyaratan pengujian empiris. Tetapi kau rasionalis tidak menyerah dalam tahap pengujian kebenaran ini. Mereka mengemukakan bahwa suatu hipotesis hanya baru bisa diterima secara keilmuan bila dia konsisten dengan hipotesis-hipotesis yang sebelumnya telah disusun dan teruji kebenarannya.

Cara mencapai Ilmu menurut Al- Ghozali

Ilmu yang muncul dalam qolbu manusia diperoleh dengan dua cara yaitu daruri,6 dan bukan daruri yakni ilmu-ilmu perolehan baru. Jenis pertama ada dalam diri manusia sejak lahir secara potensial, tetapi baru muncul secara aktual ketika akal telah sempurna, dan ketika muncul copy objek empiri-sensual dalam hayal yang dilihat akal. Jenis kedua muncul dengan dua cara, yaitu : (a) Hujumi (spontanous) tanpa diusahakan melainkan dicampakkan kedalam qolbu dari arah yang tidak diketahui yang bersangkutan. Macam ini terbagi dua model, yaitu wahyu kepada nabi, yakni yang diketahui sebab darimana ilmu diperoleh berupa menyaksikan malaikat yang mencampakkan ilmu kedalam qolbu, dan ilham kepada para wali dan orang-orang suci, yaitu yang tidak diketahui bagaimana dan darimana terhasilkannya ilmu itu. (b) iktisab(usaha langsung), baik berupa istidlal(mencari petunjuk) atau nazr(penalaran, penelitian, dan penyimpulan), maupun berupa ta’allum (belajar). Ilmu yang diperoleh melalui cara itu sama dalam esensi, tempat, dan sebabnya, yaitu hilangnya hijab (tabir) antara qalbu dan Lauh Mahfûz yang padanya tercantum esensi semua yang muncul dalam realitas aktual.7

Teori diatas merupakan putusan akhir Al-Ghozali setelah menganalisis secara cermat dan akurat ilmu-ilmu dan metodologi yang berkembang sampai masanya yang ketika hukum kausalitas dan potensi-potensi diri manusia. Ini terlihat misalnya dalam ihya’ dan Mizan al-Amal. Dalam kedua kitab ini, Al-Ghozali mendiskripsikan dua teori pencapaian ilmu, yaitu teori iktisabi, yakni bahwa ilmu diperoleh dengan cara belajar dan penelitian, dan teori ilhami yakni bahwa ilmu diperoleh melalui ilham dengan proses mujahadah (perjuangan spiritual), yaitu takhliyah(membersihkan diri dari segala sifat tercela) dan tahliyah (mengisinya dengan sifat-sifat terpuji). Para ahli nalar memilih teori pertama tanpa enolak yang kedua, sedang kaum sufi lebih menyukai teori kedua sehingga tidak tertarik dengan studi, analisis dan riset-riset ilmiah.

6Abd al-Jabbar , Syar al-Usul al-Khamsah, hlm. 48.

(5)

Al-Ghozali menegaskan pula bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai semua ilmu dengan sendiri saja secara langsung tanpa guru, kecuali apabila ia memperoleh sedikit dengan waktu yang cukup lama, sehingga pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan tidak pesat. Sekiranya ilmu kedokteran, misalnya, belum mapan dan belum tersusun dengan temuan-temuan yang akumulatif dan saling mendukung dalam proses waktu yang panjang, tentu untuk mengetahui terapi satu penyakit saja, manusia yang paling genius pun memerlukan umur panjang, apalagi untuk mengetahui seluruhnya.8

Menurut pandangan Al-ghozali ilmu itu lebih mudah dari pada amal. Oleh karena itu Al-Ghazali mulai dulu untuk mendapatkan ilmu mereka dengan cara menela’ah kitab-kitab mereka, seperti kitab “Qutul Qulub” oleh Abi Thalib Al-makki Ramihullaoh dan beberapa kitabnya Al-Harit Al-Muhasibi beserta berbagai karangan terkenal yang berhasil di karang oleh Imam Junaid, Asy Syibli, Abu Yazid Al Busthami dan lain-lainnya, yang terdiri dari pembicaraan guru-guru mereka, hingga Al Ghazali benar-benar berhasil melihat dan menela’ah secara mendalam mengenai hakikat maksud keilmuan mereka.9 Di samping itu Al ghazali juga telah berhasil meraih apa yang bisa Al Ghazali dapatkan dari metode mereka dengan cara belajar dan mendengarkan.

                    

“dan diantara mereka ada orang yang mendengarkan perkataan sehingga apabila mereka keluar dari sisimu mereka berkata kepada orang yang telah diberi ilmu pengetahuan(sahabat-sahabat nabi)” Apakah yang dikatakannya tadi?”mereka itulah orang-orang yang dikunci mati hati mereka oleh Allah dan mengikuti hawa nafsu mereka”. (muhammad:16).

Tujuan ilmu

Tentang tujuan ilmu pengetahuan, ada beberapa perbedaan pendapat antara filosof dengan para ulama. Sebagian berpendapat bahwa pengetahuan sendiri merupakan tujuan pokok bagi orang yang menekuninya, dan mereka ungkapkan tentang hal ini dengan ungkapan, ilmu pengetahuan untuk ilmu pengetahuan, seni untuk seni, satra untuk satra dan lain sebagainya. Menurut mereka ilmu pengetahuan hanyalah sebagai objek kajian untuk mengembangkan ilmu pengetahuan sendiri. Sebagian yang lain, cenderung berpendapat bahwa tujuan ilmu pengetahuan merupakan upaya para peneliti atau ilmuwan menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk menambahkan kesenangan manusia dalam kehidupan yang sangat terbatas di muka bumi ini. Menurut pendapat kedua ini, ilmu pengetahuan itu untuk meringankan beban hidup manusia atau untuk membuat manusia senang, karena dari ilmu pengetahuan itulah yang nantinya akan melahirkan teknologi. Teknologi jelas sangat dibutuhkan oleh manusia untuk mengatasi berbagai masalah, seperti kebutuhan pangan, sandang, energi, kesehatan, dan lain sebagainya. Sedangkat pendapat yang lain cenderung menjadikan ilmu pengetahuan sebagai alat untuk meningkatkan kebudayaan dan kemajuan bagi umat manusia secara keseluruhan.10

8 Al-Ghazali, Mizan al-Amal, hlm. 227.

9 Marzuki Aqmal,Terjemah Al-Munqidz Minadlalaal, hal. 66

(6)

Tujuan utama kegiatan keilmuan adalah mencari pengetahuan yang bersifat umum dalam teori, hukum, kaidah, asas dan sebagainya.11 Proses dan metode untuk mendapatkan pengetahuan keilmuan dalam semua bidang ilmu adalah sama.

Perkembangan ilmu

Perkembangan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini tidaklah berlangsung secara mendadak, melainkan terjadi secara bertahap. Penemuan demi penemuan yang dilakukan oleh manusia hingga jaman sekarang ini tidaklah berpusat di satu tempat atau wilayah tertentu. Penemuan-penemuan yang menyebar dari Babilonia, Mesir, Cina, India, Irak, Yunani hingga ke daratan Eropa membuktikan bahwa manusia selalu dihadapkan pada tantangan alam, situasi dan kondisi yang memacu daya kreativitasnya.12

Pada masa sekarang kita melihat bahwa Eropa merupakan sentral atau gudang ilmu pengetahuan, maka dalam sejarah perkembangan ilmu terbukti bahwa sumbangsih Dunia Timur bagi kemajuan ilmu pengetahuan hingga seperti sekarang ini sangatlah besar. Banyak penemuan yang terjadi di dunia timur yang baru dikembangkan belakangan di Dunia Barat. Namun, perkembangan pemikiran secara teoritis senantiasa mengacu kepada peradaban Yunani. Oleh karena itu, periodesasi perkembangan ilmu yang disusun di sini dimulai dari peradaban Yunani, kemudian diakhiri pada penemuan pada jaman kontemporer.13

Pada awalnya ilmu yang ada yakni ilmu animisme, yakni percaya kepada hal-hal ghaib. Setelah itu akhirnya muncullah ilmu empiris, karena lambat laun manusia menyadari bahwa gejala alam dapat diterangkan alasannya. Ilmu teoritis muncul kemudian, dimana hubungan dan gejala yang ditemukan dalam ilmu empiris diterangkan dengan dasar suatu kerangka pemikiran tentang sebab-musabab sebagai langkah untuk meramalkan dan menentukan cara untuk mengontrol kegiatan agar hasil yang diharapkan dapat dicapai.14

Sejauh apa pun ilmu pengetahuan berkembang, ternyata tetap terikat bahwa manusia sebagai pendukung (subjek) ilmu pengetahuan. Tegasnya, bagaimanapun ilmu itu tetap dari manusia, oleh manusia dan untuk kepentingan manusia. Semua itu bermuara pada kepentingan manusia dalam usahanya mempertahankan dan mengembangkan kehidupan untuk mencapai tujuan kebahagiaan.

Strategi pengembangan ilmu al-Ghazali

Kegiatan keilmuan dan pengembangan ilmu memerlukan dua pertimbangan, yakni objektivitas dan nilai-nilai hidup kemanusiaan. Objektivitas yang tertuju kepada kebenaran merupakan landasan tetap yang menjadi pola dasarnya, nilai-nilai hidup kemanusiaan merupakan pertimbangan pada tahap pra-ilmu dan pasca-ilmu. Nilai-nilai kemanusiaan merupakan dasar, latar belakang dan tujuan dari kegiatan keilmuan.15

CA Van Peursen berpandangan, bahwa dalam meninjau perkembangan ilmu pengetahuan secara menyeluruh tidak terlepas dari tiga pembahasan, yakni teori pengetahuan, teknik dan etik. Ketiga persoalan ini harus dibahas secara bersama, karena teori pengetahuan melahirkan teknik, dan teknik bersentuhan langsung dengan pertimbangan nilai etik.16

Ibnu Khaldun menyusun metode pengembangan sains falsafiyah, dengan membatasai pada hal-hal yang ada dengan menggunakan tiga tingkat kecerdasan manusia, yaitu mengamati, membuat percobaan dan menyusun teori. Kemudian teori itu digunakan untuk

11 Jujun, S Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009), 19 12 Tim dosen filsafat ilmu fakultas filsafat UGM, filsafat ilmu; sebagai dasar pengembangan ilmu pengetahuan, (Yogyakarta, Liberty, 2003), 63

13 Tim dosen filsafat ilmu fakultas filsafat UGM, filsafat ilmu, 63.

14 Jujun, S Suriasumantri, Ilmu dalam Perspektif, (Jakarta, Yayasan Obor Indonesia, 2009), 87-96 15Tim dosen filsafat ilmu fakultas filsafat UGM, filsafat ilmu, 86.

(7)

menerangkan kejadian-kejadian nyata, proses-proses, dan gejala-gejala yang dapat diamati di dalam alam fisik maupun sosial.

Al-Ghazali memiliki beberapa strategi dalam mengembangkan ilmu, yakni:17

1. Prinsip integralisme. Dengan adanya prinsip ini, maka tidak akan terjerumus ke dalam tiga bentuk dikotomisme, yakni pemisahan agama dengan filsafat dan ilmu, pemutusan kaitan antara epistemologi, ontologi dan aksiologi, dan pelepasan kaitan antara satu disiplin dengan yang lainnya.

2. Trilogi pengembangan ilmu. Trilogi itu diantaranya dimensi ontologinya yakni fakta atau data, dimensi epistemologinya adalah teori atau metode, dan dimensi aksiologisnya yaitu nilai-nilai etis-yuridis.

3. Prinsip memperluas kawasan kemungkinan. Prinsip ini merupakan salah satu karakteristik umum pemikiran al-Ghazali. Hal ini dapat dilihat pada, hokum kausalitas yang masih mengakui mukjizat dan hal-hal supranatural lain sebagai “kemungkinan” rasional, pengakuan kemungkinan diperolehnya ilmu dengan jalan mukasyafah yang di luar hukum kausalitas natural, dan bahwa hasil temuannya yang transdental diakui sebagai “kemungkinan” rasional sepanjang tidak irasional, prinsip probabilitas ilmu-ilmu inferensial yang dihasilkan dengan penelitian empirik-induktif.

4. Prinsip mengutamakan falsifikasi Al-Ghazali juga menganut prinsip mengutamakan falsifikasi daripada verifikasi. Seperti dapat dilihat, penolakannya terhadap beberapa konsep metafisika neo-platonik dari sudut falsifikasi, lebih banyak menetapkan akidah dengan metode dialektik, yaitu dengan cara mengklaim tesis-tesis tertentu, kemudian memfalsifikasikan tesis-tesis sebaliknya, bukan memverifikasikan tesisnya lebih dahulu engan menjelaskan argument-argumennya, memfalsifikasikan konsep-konsep teologi dan politik isma’iliyah/ta’limiyah, dalam kode etik takwil, ia lebih banyak menetapkan kaidah-kaidah falsifikasi daripada verifikasi, terutama dalam kaitannya dengan kaidah pengkafiran.

Esensi falsifikasi al-Ghazali yakni penyangkalan suatu tesis atau teori dengan cara menjelaskan segi-segi kelemahannya. Terma-terma falsifikasinya yakni mu âlabahṭ (penuntutan argument atau bukti sebagai bentuk terendah), muqâbalah (menghadapkan problem dengan problem dan argument dengan argument), mu’âradah, radd, inkâr (penentangan, pembantahan, atau penyangkalan dengan cara menjelaskan dan menunjukkan kelemahan dan kesalahan suatu tesis atau teori), ib âlṭ atau hadam (pembatalan, penumbangan dengan macam-macam argument dan pembuktian yang menyangkal).18

5. Meminimalisasi pengkafiran dan memperluas rahmat. Mukmin adalah setiap orang yang berpegang teguh kepada dua kalimat syahadat dan meyakini kebenarannya, membenarkan apa yang dibawa rasul. Sehingga, kafir hanyalah mengingkari salah satu dari dasar-dasar agama yang tiga secara total sebagai pangkal, yaitu keimanan kepada Allah, kerasulan nabi Muhammad SAW dan akhirat, atau menolak apa yang diketahui secara mutawatatir sebagai ajaran agama islam.

a. Al-Ghazali memperluas medang jihad, yakni bukan hanya dalam bidang hokum, akan tetapi juga dalam bidang teologi sepanjang dalil-dalilnya tidak pasti

b. Memperluas takwil baik segi medan maupun segi makna takwilnya, baik mengenai teologi maupun hukum

c. Yang menolak ijma’ dan hukum-hukum yang didasarkan kepadanya tidak menjadi kafir karenanya

(8)

d. Dalam konsep teologinya, meskipun menolak filosof dan mu’tazilah mengenai prinsip simplisitas tersebut dan implikasi-implikasinya, ia dengan tegas menolak pengkafiran mereka

e. Semua non-muslim yang belum mendengar dakwah islam dan yang mendengar, tetapi masih dalam proses pencarian kebenaran secara tulus dan serius sesuai prinsip-prinsip ilmiah, kemudian wafat sebelum menemukan kebenaran itu, ia diampuni allah dan mendapatkan rahmatnya.

6. Prinsip substansialitas-utilitas. Pada substansinya ilmu itu bebas nilai sehingga semua ilmu itu dapat dikembangkan, akan tetapi ilmu itu juga dapat tidak bisa dikembangkan jika ilmu itu tidak terpuji ketika sudah masuk ke masyarakat. Menurut al-Ghazali alasan ilmu itu tidak boleh dikembangkan karena fungsinya, yakni membahayakan diri sendiri dan orang lain, membahayakan diri sendiri dan orang lain pada umumnya, seperti astrologi yang bisa menjerumuskan kepada syirik, tidak menghasilkan sesuatu yang berguna secara sosio-kultural akan tetapi menghasilkan umur tanpa makna.

Sifat dasar ilmu itu yakni berkembang, sehingga dari sifat dasar inilah semua ilmu pengetahuan pasti dan harus mempunyai enam strategi pengembangan ilmu tersebut.

Kaidah-kaidah penerapan ilmu dalam praksis

Ilmu itu sendiri bersifat netral, ilmu tidak mengenal sifat baik dan buruk, dan si pemilik pengetahuan itulah yang harus mempunyai sikap. Netralitas ilmu hanya terletak pada dasar epistemologisnya saja, sedangkan secara ontologis dan aksiologis ilmuwan harus mampu menilai antara yang baik dan buruk, yang pada hakikatnya mengharuskan dia menentukan sikap.19

Penerapan ilmu pengetahuan yang telah dihasilkan oleh para ilmuwan, apakah itu berupa teknologi, maupun teori-teori emansipasi masyarakat dan sebagainya, mestilah memperhatikan nilai-nilai kemanusiaan, nilai agama, nilai adat dan sebagainya. Ini berarti, ilmu pengetahuan tersebut sudah tidak bebas nilai. Karena ilmu sudah berada di tengah-tengah masyarakat luas dan masyarakat akan mengujinya. Jadi, netralitas ilmu hanya terletak pada epistemologinya, sedangkan secara ontologis dan aksiologi tidak.20

Proses dan prosedur pencapaian ilmu

Al-Ghazali menyebutkan prosedur pencapaian ilmu dengan istilah “Sistem Sembilan Tahap” yang terbagi menjadi tiga fase diantaranya :

1. Fase Pra Penelitian

Fase ini terdiri dari tiga tahap, yaitu identifikasi masalah, penetapan tujuan penelitian, dan penetapan prinsip-prinsip ilmiah tertentu.

a. Tahap pertama, identifikasi masalah, terkandung tiga unsur : adanya masalah, urgensi masalah dan studi yang telah dilakukan. Dengan demikian penelitian dan ilmu yang dihasilkannya berpangkal pada adanya masalah. Timbulnya masalah dilatarbelakangi oleh dua faktor : faktor subjektif, yaitu adanya daya kritis pada orang yang bersangkutan, dan faktor objektif antara lain adanya kesenjangan antara teori atau informasi dengan realitas. Dari kedua faktor ini timbul hasrat ingin mengetahui realitas objek yang sedalam-dalamnya, sekaligus terputusnya ikatan taklid dan proposisi warisan dari orang tua, guru, atau lingkungan. Masalah yang hendak dikaji atau diteliti itu haruslah masalah yang penting bagi kehidupan manusia, setidaknya bagi pribadi yang bersangkutan, dan studi yang telah 19 Ibid, 35

(9)

dilakukan belum memuaskan atau belum ada yang melakukan, sehingga statusnya bisa menjadi fardhu ‘ain (kewajiban individual) bagi yang melihat dan mempunyai kesanggupan untuk menelitinya.21

b. Tahap kedua, penetapan tujuan penelitian yaitu tercapainya ilmu yang dalam konteks tujuan yang hendak dicapai adalah ilmu yang meyakinkan (ilmu yaqi>ni>).

c. Tahap ketiga adalah tahap intropeksi dan penancapan prinsip-prinsip ilmiah tertentu yang diatasnya ilmu harus dibangun, sehingga ia tumbuh dan berkembang secara sehat, kokoh dan subur. Prinsip yang paling menonjol adalah “panca prinsip”, yaitu prinsip skeptik metodis dan anti taklid, prinsip objektif faktual dan terbuka, prinsip rasional kritis, prinsip komprehensif dan sintetik-intregalistik, dan prinsip ikhlas.

2. Fase penelitian

Fase ini tercakup dalam sistem logika Al-Ghozali yang dibagi menjadi empat tahap : a. Tahap keempat : asumsi dasar (Daruriyat)

Al-Ghozali memakai kerangka dasar logika sebagai muqaddimah dalam ilmu. Metodologi rasional Al- Ghozali secara umum sama dengan metodologi rasional para filosof lain yang lebih didominasi oleh logika peripatetik seperti Al-Farabi dan Ibn Sina. Bangunan ilmu merupakan sebuah sistem pernyataan ilmiah yang tersusun dari serangkaian proposisi, assent atau konklusi (tas}diq, nati>jah atau ilmu) yang satuannya berpijak pada sedikitnya dua konsepsi (tas}awwur). Dengan demikian, bangunan ilmu pada akhirnya berakar dan bermuara pada konsepsi. b. Tahap kelima : proses kajian rasional

Pada tahap ini, objek yang dianalisis dengan metode ilmiah tertentu yang disebut hujjah atau burhan (argumen). Ada tiga macam hujjah :

1) Qiyas (Silogisme)

Qiyas hanya menghasilkan konklusi yang benar secar kompulsif bila memenuhi persyaratan, baik pada materi yaitu premis-premis, maupun pada bentuknya. Meskipun bukan termasuk syarat qiyas bahwa premis-premisnya secara substansial diterima (benar), bila ia secara formal diakui harus pula diakui konklusinya. Kualitas konklusi qiyas ditentukan oleh kualitas premis-premisnya.

2) Istiqra’ (induksi)

Al-Ghozali, Al-Farabi dan ibn Sina mengenal dua macam istiqra’ yaitu istiqra’ yaitu isiqra’ tamm (induksi sempurna) dan istiqra’ naqis (induksi kurang). Jenis pertama adalah penelitian induktif terhadap semua data partikular yang tercakup dalam suatu universal. Untuk kesempurnaan istiqra’, tidak hanya cukup meneliti data yang dipandang mendukung hukum, bila dimungkinkan terdapat pengecualian. Istiqra’ Naqis adalah yang tidak meliputi semua partikular dalam universalnya. Seperti meneliti banyak pembuat sesuatu di dunia fisis, yang semuanya bersifat fisis. Dari data partikular-partikular ini ditarik generalisasi bahwa sifat fisis merupakan sifat esensial pembuat, sehingga ditetapkan hukum bahwa setiap pencipta bersifat fisif.

3) Tamsil (analogi)

Analogi merupakan salah satu metode ilmiah yang cukup vital, dan telah membentuk konsep-konsep esensial semua bidang dan aliran. Al- Ghozali meluruskan penggunaan metode analogi mengenai bidang operasi dan tata cara pengoperasiannya sendiri. Menurutnya, analogi tidak bisa dipakai dalam

(10)

teologi metafisika, dalam arti untuk memperoleh ilmu yang meyakinkan mengenai esensi zat, sifat, dan perbuatan Allah akhirat dan alam ghaib lain. 4) Tahap keenam : penyimpulan

Tahap ini sudah tercapai fase ilmu. Hakikat ilmu adalah putusan akal yang pasti atau terhasilkannya “copy” objek pada akal sebagaimana realitas objek sendiri berdasarkan metode ilmiah tertentu. Ilmu praksis dipandang final karena dipandang yang qat’i tetap qat’i yang d{anni tetap d{anni. Dalam maslah-masalah d{anni Allah tidak menentukan hukum tertentu. Selain itu ilmu amali bukanlah tujuan tapi alat untuk beramal dan amal sendiri hanyalah sarana untuk menuntaskan ilmu yang belum final menuju tercapainya kebahagiaan abadi. 3. Fase Epistemologi

Fase ini terdiri dari tiga tahap :

a. Tahap ketujuh : pengamalan ilmu praksis

Semua ilmu yang dihasilkan dengan epistemologi adalah ilmu praksis, dalam arti bahwa ilmu teoritis yang pasti dan tentatif merupakan landasan, sedang hukum merupakan kaidah formal perbuatan praksis manusia, dan etika merupakan ilmu praksis dari sudut internal.

b. Tahap kedelapan : tercapainya kasyf

Menurut Al-Ghozali, ilmu kasyf bukan merupakan hasil usaha langsung, melainkan karunia Allah yang didahului oleh persiapan diri berupa mujahadah dan riyadah tersebut. Cara kasyf pun bermacam-macam. Kadang dengan cara ilham yakni tiba-tiba ilmu itu muncul tanpa diketahui sebabnya. Kadang lewat mimpi yang benar, dan kadang dalam keadaan terjaga dengan cara tersingkapnya makna-makna dengan simbol-simbol seperti dalam tidur.

c. Tahap kesembilan : tercapainya kebahagiaan abadi

Kasyf merupakan kebahagiaan. Akan tetapi yang dimaksud kebahagiaan denagn tercapainya wus}ul (sampai) yakni berada sedekat mungkin dengan Allah sejak dunia sampai akhirat. Artinya derajat kedekatan dengan Allah dan kebahagiaannya serta ketertutupan dan kesengsaraannya yang dicapai didunia, itulah pula yang diperoleh diakhirat.

Mengenai kaidah penerapan ilmu, al-Ghazali juga memiliki tujuh prinsip yakni:

1. Objektivitas-kontekstualitas, ilmu dalam dimensi aksiologisnya harus mempertimbangkan konteks dan implikasi-implikasinya sesuai tuntutan norma-norma etis-yuridis.22 Dengan kata lain, objektivitas ilmu dibatasi oleh nilai-nilai etis-yuridis yang mengacu kepada kesejahteraan-kebahagiaan yang merupakan tujuan akhir dari pada ilmu. Ilmu dalam ontologi dan epistemologinya bebas nilai sedangkan dalam aksiologinya sudah terikat dengan nilai, sehingga tidak semua ilmu faktual dapat diimplikasikan dan semua fakta dapat diungkapkan.

2. Ilmu untuk amal dan kebahagiaan, landasan ilmu amali yakni ilmu-ilmu faktual dasar, sedangkan metode praktisnya dalam rangka mencapai kebahagiaan abadi yakni dengan amal.23 Orientasinya dapat kita lihat dalam sistem atau etika pendidikannya, baik pada komponen guru dan murid, materi, proses dan tujuannya.

3. Prioritas, prinsip ini perlu diperhatikan dalam penerapan ilmu. Dalam penerapan ilmu harus mendahulukan kepentingan individual dari kewajiban

22 Saeful anwar, Filsafat Ilmu al-Ghazali; Dimensi Ontology dan Aksiologi, (Bandung, pustaka setia, 2007), 329

(11)

komunal, mengutamakan mayoritas daripada minoritas, dan mengutamakan yang lebih penting atau mendesak.

4. Proporsionalitas, ilmu harus ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya, yakni yang pasti pada kepastiannya dan yang tidak pasti pada ketidakpastiannya.

5. Ikhlas

6. Tanggung jawab moral dan profesional. Hal ini sesuai dengan pemaparan tanggung jawab ilmuwan di atas.

7. Kerja sama ilmu dengan politik. Bagi al-Ghazali, otoritas dan objektivitas ilmiah tidak dapat dicampuri oleh otoritas dan kepentingan politik apapun, dan ilmu bukan untuk kekuasaan. Ilmu dan politik saling menunjang. Ilmu merupakan asa, sedangkan otoritas politik sebagai penjaga. Otoritas politik hanya terbatas pada dimensi aksiologisnya, karena hanya merupakan alat untuk melindungi, mengembangkan, dan merealisasikan ilmu.24

Contoh-Contoh Fase Epistemologi

1. Cara Memperoleh Pengetahuan Sain

Perkemabangan sain di dalam paham Humanisme. Humanisme adalah paham filsafat yang mengajarkan bahwa manusia mampu mengatur dirinya dan alam. Humanisme telah muncul pada zaman Yunani Lama (Yunani Kuno).

Manusia juga perlu aturan untuk mengatur alam. Pengalaman manusia menunjukkan bila alam tidak di atur maka alam itu akan menyulitkan kehidupan manusia. Sementara itu manusia tidak mau dipersulit oleh alam. Bahkan sebaiknya – kalau dapat –manusia ingin alam itu mempermudah kehidupannya. Karena itu harus ada aturan untuk mengatur alam.

Itu dibuat berdasarkan agama atau mitos,maka akan sulit sekali menghasilkan aturan yang disepakati. Pertama, mitos itu tidak mencakupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur manusia, dan kedua, mitos itu amat tidak mencukupi untuk dijadikan sumber membuat aturan untuk mengatur alam.

Menurut mereka aturan itu harus dibuat berdasarkan dan bersumber pada sesuatu yang ada pada manusia.alat itu ialah akal. Pertama, karena akal dianggap mampu, kedua, karena akal pada setiap orang bekerja berdasarkan aturan yang sama. Aturan itu ialah logika alami yang ada pada akal setiap manusia. Akal itulah alat dn sumber yang paling dapat disepakati. Maka, Humanisme melahirkan rasionalisme.25

Rasionalisme adalah paham yang mengatakan bahwa akal itulah alat pencari dan pengukur pengetahuan. Pengetahuan di cari dengan akal, temuannya di ukur dengan akal pula.Yang diperoleh ialah berfikir logis tidak menjamin diperolehnya kebenaran yang di sepakati. Padahal, aturan itu seharusnya disepakati. Kalau begitu di perlukan alat lain .alat itu ialah empirisisme.

Empirisisme ialah paham filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar ialah yang logis dan ada bukti empiris. Menurut empirisisme yang benar adalah bergerak, sebab secara empiris dapat dibuktikan bahwa anak panah itu bergerak.

Empirisme inilah aturan (untuk mengatur manusia dan alam) itu dibuat. Empirisme masih memiliki kekurangan. Kekurangan Empirisme ialah karena ia belum terukur. Empirisisme hanya sampai pada konsep-konsep yang umum. Kata empirisisme, air kopi yang baru diseduh ini panas, nyala api ini lebih panas, besi yang mendidih ini sangat panas. Kata Empirisime, kelereng ini kecil, bulan lebih besar,

(12)

bumi lebih besar lagi, matahari sangat besar. Demikianlah seterusnya. Empirisisme hanya menemukan konsep yang sifatnya umum.konsep itu belum operasional, karena belum terukur. Jadi masih di perlukan alat lain. Alat lain itu ialah positivisme.

Positivisme mengajarkan bahwa kebenaran ialah yang logis, ada bukti empirisnya, yang terukur. “terukur” ialah sumbangan penting positivisme. Positivisme sudah dapat disetujui untuk memulai upaya membuat aturan untuk mengatur manusia dan mengatur alam. Kata positivisme ajukan logikanya, ajukan bukti empirisnya yang terukur Alat lain itu ialah metode ilmiah. Metode ilmiah sebenarnya tidak mengajukan sesuatu yang baru; metode ilmiah hanya mengulangi ajaran positivisme, tetapi lebih operasional. Metode ilmiah mengatakan untuk memperoleh pengetahuan yang benar lakukan langkah berikut: logico-hypothetico-verificartif. Maksutnya, mula-mula buktikan bahwa itu logis, kemudian ajukan hipotesis (berdasarkan logika itu), kemudian lakukan pembuktian hipotesis itu secara empiris.

Dengan rumus metode ilmiah inilah kita membuat aturan itu. Metode ilmiah itu secara teknis dan rinci di jelaskan dalam satu bidang ilmu yang disebut Metode Riset. Metode Riset menghasilkan model-model penelitian. Model-model penelitian inilah yang menjadi instansi terakhir-dan memang operasional- dalam membuat aturan (untuk mengatur manusia dan alam). Dengan menggunakan model penelitian tertentu kita mengadakan penelitian. Hasil-hasil penelitian itulah yang kita warisi sekarang berupa tumpukan pengetahuan sain dalam berbagai bidang sain. Inilah sebagian dari isi kebudayaan manusia. Isi kebudayaan yang lengkap ialah pengetahuan sain, filsafat dan mistik. Urutan dalam proses terwujudnya aturan seperti yang di uraikan di atas ialah sebagai berikut:

Humanisme

Rasionalisme

Empirisme

Positivisme

Metode Ilmiah

Metode Riset

Model-model Penelitian

Aturan untuk mengatur manusia Aturan untuk mengatur Alam

(13)

Pengetahuan mistik itu tidak diperoleh melalui indera dan tidak juga dengan menggunakan akal rasional. Pengetahuan mistik diperoleh melalui rasa. Immanual Kant mengatakan itu melalui moral, ada yang mengatakan melalui intuisi, ada juga yang mengatakan melalui insight, Al-ghozali mengataka melalui dhomir, atau qolbu. Kata kaum sufi, anda harus menghilangkan sebanyak munkin unsur nasut pada diri anda dan memperbesar unsur lahut. Unsur nasut ialah unsur jasmani, unsur lahut ialah unsur rohani. Bila kita tidak lagi terlalu banyak di pengaruhi unsur nasut, maka unsur lahut itu akan dapat berkomunikasi dengan Tuhan, yang Tuhan itu semuanya lahut.26

Untuk menghilangkan atau mengurangi unsur nasut itu manusia harus membersihkan rohaninya, membersihkan dari nafsu-nafsu jasmaniah. Ia harus memperkuat rohaninya. Rohaninya akan sensitif atau peka. Caranya antara lain seperti yang diajarkan oleh kaum sufi. Thariqot dalam hal ini adalah cara dalam membersihkan diri. Thariqot dalam hal ini merupakan epistemologi untuk memperoleh pengetahuan mistik. Pada umumnya cara memperoleh pengetahuan mistik adalah latihan yang disebut juga riyadhoh. Dari riyadhoh itu manusia memperoleh pencerahan, memperoleh pengetahuan yang dalam tasawuf di sebut ma’rifah. Umumnya latihan itu adalah latihan batin. Palet dan santet juga di peroleh juga dengan metode yang sama. Dapatlah disimpulakan-sekalipun kasar- bahwa epistemologi pengetahuan mistik ialah pelatihan batin.

Kritik terhadap Metode Keilmuan

1. Metode keilmuan membatasi secara begitu saja mengenai apa yang dapat diketahui manusia, yang hanya berkisar pada benda-benda yang dapat dipelajari dengan alat dan teknik keilmuan.

2. Ilmu memperkenankan tafsiran yang banyak terhadap suatu benda atau kajian. Tiap tafsiran mungkin saja benar sejauh apa yang di kemukakan.

3.Ilmu menggambarkan hakekat mekanistis- bagaimana benda-benda berhubungan satu sama lain secara sebab akibat –namun ilmu tidak mengemukakan apakah hakekat benda itu, apa bila mengapa benda itu ada seperti itu.

4. Pengetahuan keilmuan, meskipun sangat tepat,tidaklah berarti bahwa hal ini merupakan keharusan , universal maupun tanpa persaratan tertentu. Pengetahuan keilmuan hanyalah pengetahuan yangn mungkin dan secara tetap harus terus menerus berubah.karena ilmu mengakui bahwa dia tidak mampu untuk menyediakan pengetahuan yang pasti dan lengkap,kita mempunyai alasan untuk berpaling kepada metode-metode yang lain, dalam mengesi pengetahuan yang tidak terjangkau oleh kegiatan keilmuan.

PENUTUP

Dari pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa :

1. Metodologi bisa diartikan ilmu yang membicarakan tentang metode-metode. Kata metode berasal dari kata yunani methodos, sambungan kata depan meta (menuju,melalui,mengikuti,sesudah) dan kata benda hodos(jalan, perjalanan, cara, arah) kata methodos sendiri berarti: penelitian, metode ilmiah, hipotesis ilmiah. Metode ialah cara bertindak menurut sistem aturan tertentu.

2. Al-Ghozali mendiskripsikan dua teori pencapaian ilmu, yaitu teori iktisabi, yakni bahwa ilmu diperoleh dengan cara belajar dan penelitian, dan teori ilhami yakni bahwa ilmu diperoleh melalui ilham dengan proses mujahadah (perjuangan spiritual),

(14)

yaitu takhliyah(membersihkan diri dari segala sifat tercela) dan tahliyah (mengisinya dengan sifat-sifat terpuji).

3. Unsur-unsur metodologi adalah interpretasi, induksi dan deduksi,koherensi intern, holistis, kesinambungan historis, idealisasi, komparasi, heuristika, analogikal, dan deskripsi.

4. Metode Keilmuannya adalah sadar akan adanya masalah dan perumusan masalah, pengamatan dan pengumpulan data yang relevan, penyusunan dan klasifikasi data, perumusan hipotesis, dan tes dan pengujian kebenaran (verifikasi) dari hipotesa. 5. Kritik terhadap Metode Keilmuan antara lain: Metode keilmuan membatasi mengenai

apa yang dapat diketahui manusia, yang hanya berkisar pada benda-benda yang dapat dipelajari dengan alat dan teknik keilmuan, ilmu memperkenankan tafsiran yang banyak terhadap suatu benda atau kajian, ilmu menggambarkan hakekat mekanistis-bagaimana benda-benda berhubungan satu sama lain secara sebab akibat –namun ilmu tidak mengemukakan apakah hakekat benda itu, apa bila mengapa benda itu ada seperti itu, pengetahuan keilmuan hanyalah pengetahuan yangn mungkin dan secara tetap harus terus menerus berubah.

DAFTAR PUSTAKA

Adib, Mohammad. 2010. Filsafat Ilmu; ontologi, Epistemologi, Aksiologi dan logika Ilmu pengetahuan.Yogyakarta:Pustaka Pelajar.

Anwar, Saeful.2007. Filsafat Ilmu Al-Ghozali. Bandung : Pustaka Setia.

Aqmal, Marzuqi. 2005. Bahaya Aliran Sesat dan Upaya Keluar Dari Kesesatan. Gresik: Putra Pelajar.

Bakhtiar, Amsal.2011.Filsafat ilmu.Jakarta:Raja gravindo persada.

Hadi, Hardono. 2000. Epistemologi Filsafat Pengetahuan. Yogyakarta: Kanisius.

Nasoetion, Andi Hakim.1989. Pengantar ke Filsafat Sauns. Bogor:Litera Antar Nusa.

Sumarna, Cecep. 2006. Filsafat Ilmu. Bandung: Bani Quraisy.

Surajiyo. 2010. Filsafat Ilmu dan perkembangannya di Indonesia. Jakarta: PT. Bumi Aksara.

Suriasumantri, Jujun. 1978 . Ilmu Dalam Perspektif. Jakarta: PT. Gramedia.

Suriasumantri, Jujun S..1996. Filsafat Ilmu; sebuah pengantar popular. Jakarta:Pustaka Sinar Harapan.

Tafsir, Ahmad. 2004. Filsafat Ilmu. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pengujian hipotesis penelitian (Uji t) menunjukkan nahwa terdapat pengaruh yang signifikan variabel kemampuan (X3) terhadap kinerja guru SMA Negeri di Kabupaten

Bagi pembolehubah kualitatif pula, penulis akan menanda (√) jika terdapat pengawalseliaan berdasarkan pembolehubah yang telah ditetapkan ke atas bank

kokurikuler yang dikelola secara integritas dalam mencapai tujuan kurikulum. 3) Meningkatkan relevansi dan efektivitas pembelajaran sesuai dengan kebutuhan. peserta didik

Dari tabel 4.3 secara keseluruhan dari hasil pengujian dengan menggunakan variabel perubahan jumlah node pada masing-masing node pedestrian, cars dan tram serta

Pengendalian ion-ion dalam air boiler tersebut pada sistem boiler dilakukan dengan membuang sebagian dari air boiler secara kontinyu dandisebut sebagai blow-down; Tujuan

Data keluaran yang dihasilkan dari sistem ini adalah hasil diagnosis melalui de- teksi kelainan tumbuh kembang pada anak yang digunakan oleh para tenaga medis khu- susnya spesialis

semakin nilai error suhu menjauhi dari setpoint dalam keadaan suhu dalam ruangan turun maka proses fuzzy pada relay ke motor DC sebagai penggerak dimmer lampu pemanas

Usaha dan upaya untuk senantiasa melakukan yang terbaik atas setiap kerja menjadikan akhir dari pelaksanaan penelitian yang berwujud dalam bentuk penulisan skripsi