• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBAGIAN KERJA SECARA SEKSUAL DI MASYAR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBAGIAN KERJA SECARA SEKSUAL DI MASYAR"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBAGIAN KERJA SECARA SEKSUAL DI MASYARAKAT JAWA Oleh Dra. Dad Murniah, M.Hum

(Badan Bahasa, Jakarta) Abstrak

Masyarakat Jawa dikenal sangat kental dengan budaya patriarki. Hal tersebut dipengaruhi oleh sistem masyarakat Jawa yang patrilineal, yaitu hubungan keluarga yang didasarkan pada garis ayah/laki-laki. Anak gadis yang terlahir dari keluarga Jawa pasti merasakan ketika dididik menjadi perempuan Jawa yang terbatasi dengan nilai-nilai patriarki. Dalam budaya patriarki tidak hanya keluarga saja yang berhak untuk mendidik perempuan, tetapi juga lingkungan, keluarga besar, bahkan tetangga pun seakan-akan punya hak. Ada pembagian kerja secara seksual, di mana perempuan berada di ranah domestik dan laki-laki di sektor publik. Makalah ini disusun berdasarkan studi pustaka dan bersifat deskriptif-analitis.

I. Latar Belakang

Pembagian kerja secara seksual merupakan suatu gejala sosiologis dalam masyarakat sejak zaman dulu dan tetap aktual sampai sekarang. Perempuan berada di ranah domestik dan laki-laki di sektor publik. Banyak orang menganggap bahwa hal ini merupakan sesuatu yang alamiah, terberi, dan harus diterima begitu saja tanpa ada komentar apapun.

Teori nature beranggapan bahwa pembagian kerja secara seksual yang memosisikan perempuan di ranah domestik dan laki-laki di sektor publik disebabkan oleh faktor-faktor biologis. Faktor-faktor itu adalah anggapan secara psikologis bahwa perempuan itu emosional, pasif, dan submisif; sedangkan laki-laki lebih perkasa, aktif, dan agresif. Karena itu wajarlah perempuan tinggal dalam rumah, membesarkan anak-anak, memasak, dan memberi perhatian kepada suaminya. Sedangkan laki-laki, sesuai dengan struktur biologisnya itu, pergi ke luar rumah untuk mencari makanan atau sumber penghidupan bagi keluarga. Jadi teori nature mengesahkan pandangan bahwa daerah perempuan adalah domestik dan wilayah laki-laki adalah publik.

(2)

Berdasarkan dua teori di atas, nampak bahwa ada jurang yang begitu besar di antara keduanya. Masalah yang ditimbulkan oleh teori nature adalah subodinasi perempuan yang dikurung dalam rumah dan ketidakmandirian perempuan. Jika perempuan hanya terkurung di rumah, maka ia tidak mampu secara ekonomi dan bergantung pada laki-laki. Dengan teorinya, kaum nurture merupakan pendobrakan patriarki yang justru dilegalkan oleh teori nature.

Dalam perkembangan sosiologi, ternyata dalil teori nurture bahwa pembagian kerja secara seksual disebabkan faktor pembiasaan dari lingkungan sangat tepat. Citra seorang perempuan memang dibentuk oleh masyarakat dan bukan terberi secara alamiah. Maksudnya, banyak perempuan masa kini mulai merasa dirugikan oleh pembagian kerja itu dan mereka juga mulai mengkaji kembali “kodrat” perempuan sebagaimana yang diberikan oleh teori nature.

Di Indonesia yang paling tampak dengan budaya patriarki kental adalah pada masyarakat Jawa. Hal tersebut dipengaruhi oleh sistem masyarakat Jawa yang patrilineal, yaitu hubungan keluarga yang didasarkan pada garis ayah/laki-laki. Perempuan yang terlahir dari keluarga Jawa pasti merasakan dididik menjadi perempuan Jawa yang terbatasi dengan nilai-nilai patriarki. Jika dilihat dari pengertiannya menurut bahasa Jawa, perempuan atau wanita memiliki arti wani

(berani) dan tata (diatur) atau juga bisa berarti nata (mengatur). Wanita (berani diatur) berarti wanita tidak sepenuhnya memiliki dirinya sendiri, karena ia diatur. Dalam pengertian wanita (berani mengatur), mengindikasi bahwa wanita harus mendapatkan pendidikan yang tinggi agar bisa menjalankan perannya tersebut. Akan tetapi, pada kenyataannya justru perempuan dalam artian berani diaturlah yang saat ini banyak terjadi.

(3)

Persepsi seperti itu tidak saja mengesampingkan peran perempuan dalam keluarga tetapi di sisi lain membebani kaum laki-laki dengan tanggung jawab mutlak terhadap ekonomi keluarga. Atau sebaliknya, karena peran mutlak yang dibebankan kepada suami/ayah sebagai pencari nafkah, sehingga peran lain seperti pengasuhan dan pendidikan anak, serta peran-peran domestik lainnya menjadi peran mutlak ibu/istri. Ketidakadilan pembagian kerja secara seksual ini tentu saja sangat merugikan perempuan dan tentu saja menguntungkan laki-laki. II. Relasi Gender dalam Budaya Jawa

Masyarakat Jawa merupakan masyarakat yang memiliki pembatasan-pembatasan tertentu dalam relasi gender yang memperlihatkan kedudukan dan peran laki-laki yang lebih dominan dibanding perempuan. Dalam budaya Jawa yang cenderung patriarkis, laki-laki memiliki kedudukan yang istimewa.

Perempuan Jawa diharapkan dapat menjadi seorang pribadi yang selalu tunduk dan patuh pada kekuasaan laki-laki, yang pada masa dulu terlihat dalam sistem kekuasaan kerajaan Jawa (keraton). Perempuan Jawa lebih banyak menjadi sasaran ideologi gender yang hegemonik yang menimbulkan subordinasi terhadap perempuan.

Mulai dari awal pemilihan pasangan hidup, laki-laki Jawa biasanya disarankan untuk tidak memilih perempuan yang memiliki status sosial dan ekonomi yang lebih tinggi. Selanjutnya dalam perkawinan, istilah kanca wingking, yakni bahwa perempuan adalah teman di dapur akan mewarnai kehidupan perkawinan pasutri Jawa.

Selain itu bagi masyarakat Jawa, perempuan sejati adalah perempuan yang tetap tampak lembut dan berperan dengan baik di rumah sebagai ibu maupun istri, di dapur maupun di tempat tidur. Masyarakat Jawa berharap perempuannya bersikap dan berperilaku halus, rela menderita, dan setia. Ia diharapkan dapat menerima segala sesuatu bahkan yang terpahit sekalipun.

Berkaitan dengan prinsip hormat, sedapat mungkin perempuan Jawa tidak tampil dalam sektor publik karena secara normatif perempuan tidak boleh melebihi suami. Kalaupun kemungkinan untuk tampil tersedia, perempuan Jawa diharapkan tidak menggunakan kesempatan itu jika dapat mengganggu harmoni kehidupan keluarga. Dalam konteks ini, istri tidak boleh mempermalukan suami. Istri harus selalu menghormati dan menghargai suami, menempatkan suami begitu tinggi, dan memenuhi segala kebutuhan suami.

(4)

seakan-akan punya hak. Berbagai pandangan dan aturan mereka berikan, yang seakan justru mengerdilkan perempuan, karena kontruksi sosial dan budaya patriarki. Dampaknya perempuan tersubordinasi dianggap anggota masyarakat kelas kedua (second class), baik dalam bidang politik maupun hak mengenyam pendidikan tinggi sebagai akses untuk menaikan kualitas hidupnya. Terutama bagi perempuan yang terlahir dari keluarga menengah ke bawah.

Perempuan dianggap tidak penting sekolah tinggi-tinggi, karena ujung-ujungnya mengurus dapur dan rumah tangga. Perempuan dianggap kanca wingking yang kerjanya di dapur, sumur, dan kasur yang bisanya hanya masak

(memasak), macak (dandan), manak (melahirkan). Mereka juga jarang diikutkan dalam membuat keputusan besar dalam keluarganya, karena dianggap tidak memiliki hak dan tidak memiliki kecakapan dalam hal tersebut. Jika pun perempuan mengeluarkan pendapatnya, bisa-bisa balik dicela (kamu itu tidak tahu apa-apa, perempuan tidak usah ikut campur). Hal itu kemungkinan masih terjadi pada keluarga Jawa yang masih konservatif. Tidak hanya berhenti di situ jika seorang anak susah diatur maka suami tidak jarang akan menyalahkan istri karena dianggap tidak bisa mendidik. Padahal suami juga punya peran sebagai ayah yang tugasnya juga mendidik anak, tidak hanya mencari nafkah.

Kita tentu pernah mendengar ungkapan Jawa swarga manut, neraka tumut(surga dan neraka ikut suami), seperti itulah hubungan antara suami dan istri yang tergambar dalam nilai-nilai patriarki budaya Jawa. Suami bisa dianggap wakil dari dewa, jadi apa yang dikatakan harus dituruti. Hal-hal semacam itu membuat perempuan tidak diberi ruang berpendapat, hak kebebasan untuk mengatakan pilihanya. Ia hanya bisa terkukung oleh budaya yang terkadang berlawanan dengan hati nuraninya.

Dalam Kitab Clokantara disebutkan:

Tiga ikang abener lakunya ring loka/ iwirnya/ ikang iwah/ ikang udwad/ ikang janmasri// yen katelu/ wilut gatinya// yadin pweka nang istri hana satya budhinya/ dadi ikang tunjung tumuwuh ring cila//

(Tiga yang tidak benar jalannya di bumi yaitu sungai, tanaman melata, dan perempuan. Ketiganya berjalan berbelit-belit. Jika ada perempuan yang lurus budinya, akan ada bunga tunjung tumbuh di batu).

(5)

Sedangan dalam Serat Paniti Sastra disebutkan:

Wuwusekang wus ing ngelmi/ kaprawolu wanudyo lan priyo/ Ing kabisan myang kuwate/ tuwin wiwekanipun/.

(Kata mereka yang telah selesai menuntut ilmu, perempuan hanya seperdelapan dibanding pria dalam hal kepandaian dan kekuatan serta kebijaksanaannya).

Pada kenyataannya, perempuan Jawa selain sebagai individu (manusia), juga sebagai istri dan ibu bagi anak-anaknya. Dalam konteks budaya Jawa, perempuan sebagai istri memilki tugas dan persyaratan fisik-psikis dan sosial yang amat berat. Perempuan dalam budaya Jawa diibaratkan sebagai bunga. Ia indah dipandang dan selalu memancarkan bau harum mewangi. Ia adalah ratu yang bertahta dengan agung di dalam rumah tangganya. Dalam hal ini, budaya Jawa seringkali menerangkan tiga sifat wanita sebagai ratu rumah tangga yang baik, yakni merak ati, gemati, dan luluh. Merak ati dimaknai pandai menjaga kecantikan lahir dan batin, pandai bertutur sapa dengan santun, pandai mengatur pakaian yang pantas, murah senyum, luwes gerak-geriknya dan lumampah anut wirama, bertindak sesuai irama. Gemati atinya menunaikan kewajiban sebagai istri dengan sebaik-baiknya. Sebagai istri seorang perempuan harus bertugas sebagai perawat rumah tangga dan mengatur keuangan sebaik-baiknya. Ia bertugas mendidik anak dengan naluri keibuannya yang terasah. Sedangkan luluh

artinya penyabar, tidak keras kepala, menerima segala masalah dengan hati lapang.

Banyak dasar-dasar nilai patriarki dalam masyarakat Jawa yang menempatkan posisi laki-laki lebih tinggi dari pada perempuan. Segala keputusan yang berkait dengan diri perempuan seakan-akan diputuskan oleh laki-laki entah ayahnya, pamannya, suaminya, ataupun saudara lakinya. Dibandingkan laki-laki perempuan diberi aturan ketat, ia dibatasi dengan kata kodrat perempuan. Kodrat perempuan harus beginilah-begitulah. Perempuan yang ideal itu adalah yang bisa masak, macak, dan manak. Ketika ketidakadilan dan ketidaksetaraan tadi berubah menjadi pemicu kekerasan, maka dianggap sebagai kewajaran yang biasa terjadi. Celakanya, di mata masyarakat perempuan tetap pada posisi yang salah karena dianggap pemicu masalah, karena tidak bisa menjadi istri atau ibu yang baik sehingga suaminya melakukan kekerasan

III. Ketidakadilan Pembagian Kerja Secara Seksual

(6)

kultural. Ini jelas berbeda dengan konsep jenis kelamin yang lebih berkonsentrasi pada anatomi biologi manusia dan memang telah ditentukan secara terberi (given). Konsep gender ini berkaitan dengan dua hal, yaitu femininitas dan maskulinitas. Perempuan selalu digambarkan dengan kedamaian, keteduhan, lemah lembut, emosional, dan lebih mengandalkan insting. Sedangkan laki-laki dikaitkan dengan citra kuat, jantan, bersifat sebagai pelindung, dan rasional. Perempuan juga sering mendapatkan stigma-stigma atau label-label yang merugikan kaum perempuan dari masyarakat, misalnya: emosional, tukang ngrumpi, tidak rasional, cerewet, pesolek, genit, penakut sehingga beberapa pekerjaan atau posisi penting tidak diberikan kepada perempuan karena takut gagal.

Konsep gender ini merupakan hasil konstruksi sosial dan budaya. Ia bukanlah harga mati yang kita dapat dari lahir sebagai manusia, sehingga tidak menutup kemungkinan laki-laki dan perempuan saling bertukar peran gender. Terbentuknya perbedaan gender dikarenakan oleh banyak hal di antaranya dibentuk, disosialisasikan, diperkuat, bahkan dikonstruksi secara sosial atau kultural melalui ajaran keagamaan maupun negara. Melalui proses panjang, sosialisasi gender tersebut akhirnya dianggap seolah-olah ketentuan Tuhan. Sebaliknya melalui dialektika konstruksi sosial gender secara evolusional dan perlahan-lahan memengaruhi biologis masing-masing.

Perbedaan perilaku antara laki-laki dan perempuan selain biologis, sebagian besar justru terbentuk melalui proses sosial dan kultural. Oleh karena itu gender berubah dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat bahkan dari kelas ke kelas, sementara jenis kelamin biologis (seks) akan tetap tidak berubah. Gender dalam pengertian ilmu sosial diartikan sebagai pola relasi lelaki dan perempuan yang didasarkan pada ciri sosial masing-masing. Tercakup di dalamnya pembagian kerja, pola relasi kuasa, perilaku, peralatan, bahasa, persepsi yang membedakan lelaki dengan perempuan dan banyak lagi. permasalahannya). Perempuan juga sering mendapatkan stigma-stigma atau label-label yang merugikan kaum perempuan dari masyarakat, misalnya : emosional, tukang ngrumpi, tidak rasional, cerewet, pesolek, genit, penakut sehingga beberapa pekerjaan atau posisi penting tidak diberikan kepada perempuan karena takut gagal. Sementara itu, sesungguhnya keadaan seperti di atas biasanya terjadi sebagai akibat dari ketidakadilan yang ditanggung oleh perempuan.

(7)

Kita mungkin masih ingat ketika mulai tumbuh remaja, anak perempuan selalu ‘dicekoki’ dengan berbagai macam nilai-nilai dan norma kesopanan, terutama dari pihak ibu. Kebetulan meskipun lahir di Pontianak dari ibu Dayak Maanyan dan ayah Jawa, tetapi saya dibesarkan di Sragen dan Purbalingga, sehingga mengenal konsep unggah-ungguh (sopan santun) dalam masyarakat Jawa. Bagi masyarakat Jawa, anak perempuan harus memahami apa arti kesopanan, meskipun siapa yang berhak menetapkan standar arti kesopanan ini pun juga masih rancu. Apakah orang tua pada umumnya, orang tua perempuan, orang tua laki-laki (baca: ayah, paman, kakek, dan sebagainya), atau awalnya hanya didorong oleh orang tua laki-laki saja.

Bahwa masyarakat Jawa merupakan masyarakat dengan adat dan budaya yang sangat patriarkis, tentu telah kita ketahui. Bagi anak perempuan, ‘diharamkan’ untuk tertawa lebar sampai terlihat seluruh giginya, apalagi berteriak-teriak. Pamali! Sebaliknya, ia harus duduk manis dan menuruti apa yang dikatakan ayah ibunya. Lingkungan lebih luas, seperti keluarga besar dan tetangga pun seolah-olah juga merasa memiliki kewajiban untuk turut serta ‘mendidik’ anak perempuan.

Budaya patriarki inilah yang berperan besar untuk terus menyudutkan perempuan dengan peran gendernya, di mana tampaknya sudah ditentukan sepenuhnya oleh konstruksi sosial dan kultural yang patriarkal. Dalam masyarakat, mereka (perempuan) menjadi the second sex -- suatu konsep subordinasi yang terus-menerus dibangun oleh masyarakat patriarki. Padahal Tuhan sendiri tidak pernah menjadikan perempuan sebagai makhluknya sebagai kelas kedua dan kehadirannya pun bukan semata-mata sebagai pelengkap laki-laki. Akibatnya, perempuan kurang memiliki akses untuk peningkatan kualitas hidupnya, seperti akses untuk pendidikan, ekonomi, sosial, politik, dan bidang-bidang lainnya.

(8)

dicitrakan sebagai kanca wingking, sama sekali tidak berhak mengurusi masalah-masalah publik, yang (katanya) hanya wilayah laki-laki.

Hal ini tentu saja bertentangan dengan semangat yang dibangun oleh Caroline Mosser, bahwa persoalan perempuan adalah menyangkut tiga peran (the triple role), yaitu domestik, publik, dan sosial. Bahwa perempuan memiliki hak untuk berperan di ketiga wilayah tersebut.

Perbedaan gender dan konsep patriarki sering membawa perempuan ke arah konflik dengan laki-laki, konflik yang semata-mata menempatkan perempuan ke dalam posisi sebagai korban (victim). Misalnya dalam masalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), atau yang sekarang ini telah banyak terjadi, kekerasan dalam pacaran (KDP). Posisi yang (dianggap) tidak setara, menjadikan perempuan tidak memahami akan hak-haknya dan menganggap bahwa kekerasan dan pelecehan yang mereka alami merupakan suatu hal yang wajar. Celakanya, ketika kekerasan yang mereka alami mengakibatkan luka fisik dan psikologis yang serius, perempuan cenderung masih memilih untuk bungkam. Bagi mereka, mengungkapkan peristiwa kekerasan dan pelecehan merupakan sesuatu yang memalukan dirinya dan (terutama) keluarganya. Tidak mengherankan jika perempuan memikul beban ganda yang begitu berat, selain harus memikul kehormatan dirinya, ia juga harus menanggung kehormatan keluarganya.

Dari sudut pandang agama, masalah gender dan perempuan juga masih menjadi problematika yang masih dipertentangkan. Kelompok konservatif masih memegang erat tradisi penafsiran kitab suci dan ajaran agama yang didominasi oleh semangat patriarkis. Mereka menafsirkan perintah Tuhan dan nabi hanya dengan pendekatan teologis, bukan pendekatan sosiologis. Tak dapat disangkal bahwa pada mulanya, penafsiran ajaran-ajaran agama Ibrahimik, yaitu Yahudi, Kristen, dan Islam, hanya didominasi oleh kalangan agamawan laki-laki. Sehingga hasil penafsiran mereka sangat kental dengan nafas patriarki dan mendiskriminasikan perempuan..

(9)

diperlakukan sebagai komoditas, begitu juga perlakuan terhadap kaum perempuan yang berada di sektor domestik, tidak mendapatkan penghargaan apapun.

Sejarah pembagian kerja secara seksual menunjukkan bahwa pada suatu masa kaum perempuan pernah lebih “berkuasa” dibandingkan dengan kaum laki-laki. Arief Budiman mengutip pendapat Ernestine Friedl, seorang ahli anthropologi sebagai berikut: “di dalam masyarakat primitif, perempuan lebih penting daripada laki-laki. Pada masyarakat primitif, ketika manusia hidup masih mengembara dalam kelompok-kelompok kecil, bahaya yang paling besar adalah musnahnya kelompok itu karena matinya anggota kelompok ini satu-satu. Karena itu, jumlah anggota kelompok harus sedapat-dapatnya diperbesar, dengan melahirkan bayi-bayi baru.”

Karena kebutuhan untuk mempertahankan kesinambungan kehidupan kelompok, maka kaum perempuan dianggap relatif lebih penting daripada kaum laki-laki. Karena tugasnya untuk melahirkan, kaum perempuan mendapatkan perlindungan dan dibebaskan dari kewajiban-kewajiban untuk melakukan pekerjaan berbahaya, dan karena itu harus tinggal di rumah. Inilah pembagian kerja berdasarkan seksual yang pertama-tama, di mana kaum laki-laki harus bekerja di luar rumah, dan kaum perempuan bekerja di dalam rumah tanggal yang relatif aman.

Sejatinya, sejarah juga mencatat bahwa pembagian kerja seksual lebih disebabkan oleh kebutuhan keluarga dan masyarakat, bukan disebabkan oleh faktor kekuasaan kaum yang satu terhadap kaum yang lain. Seperti dikatakan oleh Guettel, “pada waktu itu pembagian kerja secara seksual merupakan sesuatu yang tidak bersifat eksploatatif, dalam pengertian bahwa tidak ada pihak yang diuntungkan karena adanya pembagian kerja seperti itu.”

Pembagian kerja secara seksual menjadi bersifat eksploitatif terjadi sejak sistem masyarakat kapitalis. Dalam sistem masyarakat kapitalis, mereka yang menguasai faktor-faktor produksi memiliki kekuasaan dan karena itu kedudukan sosial dalam masyarakat menjadi kuat. Sistem masyarakat kapitalis menemukan

peak performance dengan kehadiran revolusi industri. Dalam konteks pekerjaan, revolusi industri memisahkan secara tegas antara rumah sebagai tempat tinggal, sementara kantor dan pabrik adalah tempat kerja yang sesungguhnya.

(10)

Saat ini kita memang sudah hidup di era yang disebut oleh Bill Gates sebagai web lifestyle (gaya hidup internet) dan web workstyle (gaya kerja internet). Teknologi informasi dan komunikasi mendukung siapa saja (termasuk kaum perempuan) untuk bekerja di rumah. Meskipun demikian, karena sistem masyarakat kapitalis masih dominan, perubahan persepsi tentang pembagian kerja secara seksual seolah-olah berjalan di tempat. Padahal pembagian kerja secara seksual dalam masyarakat Jawa yang sangat merugikan perempuan memang harus diubah menjadi lebih adil.

Pemikiran yang membebaskan, terutama dengan konsep pengarusutamaan gender (gender mainstream, karena itu menjadi tuntutan yang mendesak untuk dilakukan. Seluruh masyarakat harus dididik untuk lebih peka gender, untuk kemudian mengubah sikap dan pemikiran mereka yang masih berlatar patriarkis. Suatu hal yang membanggakan ketika sekarang ini banyak bermunculan gerakan, organisasi, yang concern terhadap permasalahan kaum perempuan. Mereka banyak yang berangkat dari kalangan agamawan, akademisi, dan para aktivis mahasiswa, yang kemudian dengan lantang meneriakkan “kesetaraan gender

(gender equality)”, dengan cara mereka masing-masing. IV. Penutup

A. Kesimpulan

Pembagian kerja secara seksual dalam masyarakat Jawa, di mana perempuan di wilayah domestik dan laki-laki di ranah publik semakin memperkuat dominasi laki-laki atas perempuan. Ideologi patriarki tumbuh subur dalam lembaga keluarga yang menganut sistem patrilineal, di mana laki-laki menjadi tokoh penting dan dominan dalam keluarga pada berbagai bidang, baik kekuasaan maupun dalam aksesnya terhadap aset-aset ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan.

Akibatnya kehidupan perempuan menjadi sangat tergantung kepada laki-laki. Dalam keluarga patrilineal-patriarkis, laki-laki juga mengontrol daya kerja perempuan secara formal dan informal.

Dalam kehidupan rumah tangga, sejak dulu kala, perempuan Jawa lebih banyak mengerjakan pekerjaan pada ruang domestik, sedangkan laki-laki mendominasi ruang publik. Misalnya laki-laki bertanggung jawab pada masalah keamanan dan keselamatan keluarga, mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, keamanan, politik, dan kegiatan sosial kemasyarakatan.

(11)

demikian memang dibentuk oleh nilai-nilai budaya dan pengalaman masa lalu yang kemudian tersosialiasi dalam kehidupan keluarga dan masyarakat. Akibatnya, bahkan hingga sekarang ini, budaya patriarki, secara umum dianggap sebagai “budaya” yang tidak bisa diubah. Bahkan hal itu dianggap sebagai bagian dari “kodrat” kaum perempuan.

B. Rekomendasi

Komitmen Pemerintah Provinsi Jawa Tengah untuk memberikan prioritas tinggi pada kesejahteraan dan perlindungan perempuan adalah keputusan bernilai strategis dan investasi jangka panjang terpenting untuk pencapaian dan kelanggengan kondisi sebagaimana digambarkan dari visi tersebut. Tentu saja yang dibutuhkan oleh Pemerintah Provinsi Jawa Tengah selanjutnya adalah menerjemahkan komitmen tersebut menjadi suatu sistem penyelenggaraan perlindungan dan pemberdayaan perempuan melalui upaya yang terencana, sistematis, dan terukur.

Sudah saatnya disusun suatu acuan normatif yang dapat menjadi panduan dalam mengintegrasikan seluruh sumber daya pemerintah daerah dan masyarakat, sehingga penyelenggaraan perlindungan dan pemberdayaan perempuan di Jawa Tengah dapat segera beralih dari cara-cara yang responsif, sporadis, diskontinyu, dan fragmental menjadi lebih sistemik.

DAFTAR PUSTAKA

Budiman, Arief. 1982. Pembagian Kerja Secara Seksual. Jakarta: PT Gramedia. Boserup, E. Women's Role in Economic Development. London: George Allen and Unwin

Creese, Helen. 2012. Perempuan Dalam Dunia Kakawin. Denpasar: Pustaka Larasan.

Fakih, Mansour. 1996. Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Kumar, Ann. 2008. Prajurit Perempuan Jawa: Kesaksian Ihwal Istana dan Politik Jawa Akhir Abad ke-18. Jakarta: Komunitas Bambu. Magnis-Suseno, Frans. 1984. Etika Jawa. Jakarta: PT Gramedia.

Mangunwijaya, Y.B. 2008. Rara Mendut: Sebuah Trilogi. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

(12)

Referensi

Dokumen terkait

imunomodulator dengan menggunakan fraksi polar (etanol 70%) dari ekstrak etanol 70% kulit buah manggis, serta menggunakan berbagai konsentrasi yang mempunyai potensi

Donny Suryo Purnomo Suryo pumomo@yahoo.com Program Pasca Sarjana Universitas Terbuka Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pelatihan dan motivasi kerja terhadap

Sebagaimana perihal dimaksud dalam tajuk surat di atas, maka Kami, panitia Kejuaraan Karate “SIRKUIT KARATE ANTAR DOJO Se-Jakarta dan Sekitarnya”, meminta kepada

Peneliti berharap penggunaan REA dalam perancangan basis data akan memberikan manfaat bagi PT Werkudara Nirwana Sakti dalam mengatasi masalah operasional

Minggu ke-14; Diskusi dan studi kasus-kasus manajemen Bencana (Disester) yang mencakup pengertian dan urgensi manajemen disester dalam manajemen sumberdaya,

Pada optimasi proses mikroenkapsulasi, titik optimum terjadi pada perlakuan yang memiliki rasio maltodekstrin dan natrium kaseinat (3 : 1), konsentrasi bahan penyalut 10%,

litura berhenti makan dengan beberapa macam tabir surya yang ditambahkan ke isolat SlNPV JTM 97 C (Tabel 1) menunjukan jika perlakuan penambahan kaolin, sunblock

2) Perguruan Tinggi Luar Negeri dengan melampirkan bukti penyetaraan ijazah dan surat keterangan yang menyatakan predikat kelulusannya setara Cumlaude Perguruan Tinggi