BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan Negara berkembang merupakan Negara dengan jumlah
penduduk yang sangat tinggi dan sangat padat. Di dunia, Indonesia berada pada posisi
keempat dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi. Menurut laporan Badan Pusat
Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 237,6 juta jiwa
dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49. Ini berarti setiap tahunnya terjadi
pertumbuhan penduduk sekitar 3,5 juta lebih per-tahunnya. Jika laju pertumbuhan
tidak ditekan maka diperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2045 bisa
menjadi sekitar 450 juta jiwa (BKKBN, 2007). Hal ini berarti satu dari duapuluh
penduduk dunia adalah orang Indonesia.
Kondisi Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, dan pertumbuhan
yang tinggi, serta kualitas yang sangat rendah sangat tidak kondusif bagi
pembangunan berkelanjutan ditanah air dan berpotensi bagi semakin terpuruknya
status sosial dan ekonomi masyarakat sehingga menyulitkan upaya-upaya
pengentasan kemiskinan. Itulah sebabnya sejalan dengan upaya-upaya peningkatan
kualitas penduduk melalui program pendidikan, kesehatan, dan pembangunan
lainnya, tidak kalah pentingnya adalah upaya-upaya untuk melakukan perencanaan
keluarga secara sungguh-sungguh sehingga pertambahan penduduk yang tidak
keluarganya secara lebih baik dan bertanggung jawab (BKKBN, 2011). Salah satu
upaya yang dapat dilaksanakan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk ini
adalah dengan program Keluarga Berencana (KB).
Untuk mengatasi masalah kependudukan yang demikian kompleks, serta
sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang No. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan
Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Pemerintah membuat semacam grand
design pembangunan kependudukan di Indonesia. Visi dari Grand Design
Pengendalian Kuantitas Penduduk adalah: Terwujudnya keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan antara jumlah, struktur, dan persebaran penduduk dengan lingkungan
hidup baik yang berupa daya dukung alam maupun daya tampung lingkungan, tetapi
juga dengan kondisi perkembangan sosial dan budaya masyarakat. Misi dari Grand
Design Pengendalian Kuantitas Penduduk adalah: (1). Membangun komitmen para
pemangku kepentingan dan penentu kebijakan (prime stakeholders) tentang penting
dan strategisnya upaya pengendalian kuantitas penduduk bagi pembangunan
berkelanjutan; (2). Membentuk atau menyempurnakan peraturan
perundang-undangan (regulasi) yang mendukung upaya pengendalian kuantitas penduduk.
Adapun tujuan grand design adalah : (1). Memberikan arah kebijakan bagi
pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk nasional 2010-2035; (2). Menjadi
pedoman bagi penyusunan Road Map pengendalian kuantitas penduduk 2010-2014,
2015-2019, 2020-2024, 2025-2029, dan 2030-2034. (3). Menjadi pedoman bagi
lembaga serta pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan yang berwawasan
kondisi penduduk optimal yang berkaitan dengan jumlah, struktur/komposisi,
pertumbuhan, serta persebaran penduduk. (5). Mengendalikan pertumbuhan dan
persebaran penduduk sesuai dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan
secara nasional melalui pengendalian angka kelahiran, penurunan angka kematian,
dan pengarahan mobilitas penduduk (BKKBN, 2011).
Kebijakan Departemen Kesehatan dalam upaya mempercepat penurunan
Angka Kematian Ibu (AKI) pada dasarnya mengacu kepada intervensi strategi
“Empat Pilar Safe Motherhood” yaitu keluarga berencana, pelayanan antenatal,
per-salinan yang aman, dan pelayanan obstetri esensial. Dewasa ini, di antaranya program
Keluarga Berencana (KB) sebagai pilar pertama, telah dianggap berhasil (Saifudin,
2002).
Gerakan Keluarga Berencana Nasional (GKBN) telah berjalan lebih kurang
40 tahun dan sudah begitu banyak memberikan hasil dalam pengelolaanya. Bila
dilihat dari banyaknya pasangan Usia Subur (PUS) yang mengikuti GKBN tersebut,
yaitu 26 Juta (PUS) dari 34 Juta PUS yang ada di Indonesia. Disamping itu
berdasarkan sensus penduduk tahun 1990 telah memberikan dampak pada sisi
demografi yang menunjukkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,97%
pertahun periode 1980-1990. Jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk
periode 1971-1990 sebesar 2,34% pertahun, berarti telah berhasil diturunkan
sebanyak 0,34%. Kemudian pada tahun 1993 laju pertumbuhan penduduk turun lagi
menjadi 1,66% pertahun, dan pada SDKI 2000 sampai dengan 2010 Laju
Oleh karena itu usaha-usaha KB yang sudah dimulai sejak Repelita I terus
ditingkatkan lagi dalam Repelita selanjutnya. Jumlah akseptor baru KB ditingkatkan
setiap tahun. Pembinaan akseptor-akseptor yang ada dipergiat untuk menjaga
kelangsungannya. Selanjutnya pelaksanaan KB diperluas ke luar pulau Jawa dan Bali.
Peningkatan sasaran ini membutuhkan peningkatan kemampuan organisasi dan
administrasi pelaksanaan. Selain daripada itu kegiatan-kegiatan pelayanan medis,
penerangan dan motivasi, pendidikan dan latihan, serta penelitian ditingkatkan
Program KB menentukan kualitas keluarga, karena program ini dapat
menyelamatkan kehidupan perempuan serta meningkatkan status kesehatan ibu
terutama dalam mencegah kehamilan tak diinginkan, menjarangkan jarak kelahiran
mengurangi risiko kematian bayi. Selain memberi keuntungan ekonomi pada
pasangan suami istri, keluarga dan masyarakat, program KB juga membantu remaja
mangambil keputusan untuk memilih kehidupan yang lebih baik dengan
merencanakan proses reproduksinya. Selain itu program KB, bisa meningkatkan pria
untuk ikut bertanggung jawab dalam kesehatan reproduksi mereka dan keluarganya.
Ini merupakan keuntungan seseorang mengikuti program KB.
Menurut hasil sub sistim pencatatan dan pelaporan BKKBN Propinsi
Sumatera Utara (BKKBN, 2011) pencapaian peserta KB baru secara propinsi
Sumatera Utara sebanyak 189.488 peserta atau 50,88% dari target kontrak Kinerja
Propinsi (KKP), Sedangkan jumlah peserta KB aktif di Sumtera Utara pada tahun
2011 adalah sebesar 1.456.460 peserta atau sebesar 96,86% dari perkiraan sebesar
baru dan KB aktif di propinsi Sumatera Utara secara umum adalah baik, namun hal
tersebut belum menggambarkan secara utuh bagaimana kondisi di Kota dan
Kabupaten yang ada diwilayah Propinsi Sumatera Utara.
Salah satu kendala pelaksanaan program KB, antara lain masih adanya
pemahaman tentang nilai anak yang sempit. Suatu nilai erat berkaitan dengan
kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat, dan setiap masyarakat memiliki
nilai tertentu mengenai sesuatu yang mereka miliki. Nilai itu umumnya tidak mudah
berubah, karena setiap individu telah disosialisasikan dengan nilai-nilai tersebut.
Melalui proses sosialisasi, setiap individu anggota masyarakat telah di resapi dengan
nilai-nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat itu, mulai dari kecil sampai
dewasa sehingga konsep-konsep nilai tersebut berakar dalam jiwanya. Itulah
sebabnya, mengapa suatu nilai budaya sangat sulit untuk begitu saja digantikan
dengan nilai budaya lain.
Koentjaraningrat melihat sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi
yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal
yang mereka anggap bernilai dalam hidup, dan biasanya berfungsi sebagai pedoman
tertinggi bagi individu dalam bertingkah laku (Koentjaraningrat, 1981).
Nilai anak adalah bagian perwujudan dari nilai budaya suatu masyarakat.
Dalam hal ini, nilai anak merupakan suatu penilaian individu atau masyarakat
terhadap arti dan fungsi anak dalam keluarga. Umumnya, anak dianggap sebagai
salah satu kebutuhan orang-tua, baik sebagai kebutuhan ekonomi sosial maupun
anak bagi orang-tua. Nilai-nilai tertentu yang kita konsepsikan, tercermin dalam
berbagai kebutuhan psikologis tertentu. Nilai-nilai ini juga terikat pada struktur sosial
dan dipengaruhi oleh perbedaan budaya dan perubahan sosial. Maksudnya bahwa
nilai yang dianut oleh suatu masyarakat akan tercermin dalam kehidupan dan
kebiasaan mereka sehari-hari . Begitu juga kebutuhan orang-tua akan perhatian anak
(kebutuhan psikologis). Kebutuhan tersebut sudah tentu akan dipengaruhi pula oleh
aturan/norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.
Freedman (1986), seperti dikutip dalam Robinson dan Sarah (1983),
menyatakan bahwa jumlah anak yang dimiliki oleh pasangan suami istri merupakan
masalah yang sangat universal dan penting bagi masyarakat. Maka akan terdapat
penyimpangan sosiologis, apabila tidak diciptakan budaya penyelesaian yang
normatif untuk menyelesaikan masalah ini. Dari segi lain, menurut Easterlin (1977),
sebagaimana di kutip dalam Robinson dan Sarah (1983), mengemukakan bahwa
permintaan akan anak ditentukan oleh karakteristik latar belakang agama, pendidikan,
tempat tinggal, tipe keluarga, serta norma-norma yang mengatur kehidupan pasangan
suami istri. Pada masa yang lalu banyak terdapat pandangan masyarakat tentang
jumlah anak yang tidak sepenuhnya benar. Pendapat tradisional bahwa "Banyak Anak
Banyak Rezeki" dan keluarga besar adalah suatu pelayanan luhur terhadap
masyarakat.
Penelitian Singarimbun (1996) mengenai nilai anak pada masyarakat Jawa
dan Sunda, menemukan adanya variasi nilai anak berdasarkan pandangan
bervariasi menurut tempat tinggal. Orang-tua yang tinggal di desa mempunyai nilai
yang berbeda terhadap anak, bila dibandingkan dengan orang-tua yang tinggal di
kota.
Hasil survei mengenai nilai anak di Serpong Jawa Barat oleh Kartoyo dan
Munir (1983) memperlihatkan, bahwa penduduk asli di daerah itu (pada umumnya
suku Sunda) menganut pandangan "Loba anak loba ganjaran" (banyak anak
banyak karunia dari Tuhan Yang Maha Esa), dan anak juga membawa kesejahteraan
moral dan meterial bagi orang-tuanya. Tampaknya anak juga mempunyai nilai
psiko-sosial bagi orang-tua mereka. Menurut Hasanuddin (1982), menunjukkan bahwa
salah satu keuntungan mempunyai anak adalah menghindarkan diri dari kesepian,
atau untuk melanjutkan keturunan serta mendapatkan kebahagiaan.
Semua kebudayaan dipengaruhi oleh perubahan 1ingkungan fisik (Hoffman,
1973). Rogers ( 1988) menegaskan, bahwa setiap kebudayaan pasti akan mengalami
perubahan, dan perubahan tersebut berlangsung pada struktur dan fungsi sistem
sosial.
Pada suku batak khususnya yang menganut paham patrilineal, menganggap
nilai anak terutama anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan, karena
perannya yang begitu besar dalam meneruskan kelangsungan garis keturunan. Anak
laki menjadi amat penting dalam kehidupan keluarga batak. Kehadiran anak laki-Perubahan masyarakat pun cenderung mempengaruhi bentuk keluarga.
Menurut Goode (1970), dalam masyarakat yang telah mengalami industrialisasi dan
urbanisasi, bentuk keluarga pun mengalami perubahan dan penyesuaian, dari tipe
laki ditengah-tengah keluarga selalu sangat diharapkan. Belum dirasakan lengkap
dan bahagia bila keluarga belum memiliki anak laki-laki. Dalam setiap keluarga yang
menganut sistem patrilineal, kedudukan laki-laki bersifat dominan, karena
peranannya yang begitu besar dalam meneruskan kelangsungan garis keturunan.
Anak laki-laki menjadi amat penting dalam kehidupan keluarga Batak. Pada
masyarakat Angkola, kuatnya nilai dan norma mengenai pentingnya anak laki-laki
ini, juga tampak dalam kehidupan sehari-hari.
Bagi orang Batak, adat memegang peranan penting. J. Sarumpaet-Hutabarat,
seperti dikutip Pedersen (1975) menegaskan bahwa "Adat adalah sumber identitas
orang Batak, Kami dan adat adalah satu. Begitu dalamnya arti adat dalam hidup
Kami". Hal tersebut dapat menjadi salah satu kendala keikutsertaan KB, jika dalam
sebuah keluarga belum ada anak laki-laki maka si ibu akan terus melahirkan sampai
akhirnya ia mendapatkan anak laki-laki.
Di daerah pedesaan anak mempunyai nilai yang tinggi bagi keluarga. Anak
dapat memberikan kebahagiaan kepada orang tuanya selain itu akan merupakan
jaminan di hari tua dan dapat membantu ekonomi keluarga, banyak masyarakat di Anak merupakan objek perhatian dan kasih sayang setiap orang-tuanya.
Manusia akan mengaktualisasikan dirinya melalui anak. Keluarga mempertahankan
keturunannya melalui anak, dan setiap individu akan menurunkan warisan sosialnya
melalui anak. Demikian pula, kebudayaan dan agama akan mempertahankan tradisi
dan nilai-nilainya melalui anak. Karena itu, nilai pokok seorang anak berada dalam
desa di Indonesia yang berpandangan bahwa banyak anak banyak rezeki. Dari
penelitian Mohamad Koesnoe di daerah Tengger, petani yang mempunyai tanah luas
akan mencari anak angkat sebagai tambahan tenaga kerja. Studi lain yang dilakukan
oleh proyek VOC (Value Of Children) menemukan bahwa keluarga - keluarga yang
tinggal di pedesaan Taiwan, Philipina, Thailand mempunyai anak yang banyak
dengan alasan bahwa anak memberikan keuntungan ekonomi dan rasa aman bagi
keluarganya. Nilai anak ini merupakan harapan orang tua terhadap anaknya di masa
yang akan datang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh anak yang meliputi nilai
psikologi, nilai ekonomi dan nilai sosial (Hernawati 2002). Berdasarkan hasil
penelitian Kartino (2005), tidak ada perbedaan persepsi pada orangtua antara anak
laki-laki dan perempuan dalam mempersepsikan nilai anak, baik nilai ekonomi, nilai
psikologi, dan nilai sosial.
Target utama pelaksanaan program KB adalah pasangan usia subur (PUS),
yang secara alamiah potensial dalam kesehatan reproduksi. Tujuannya adalah
meningkatkan kesadaran pasangan usia subur terhadap pentingnya program KB untuk
menjamin kesehatan ibu dan anak serta kebahagiaan keluarga. Permasalahan utama
yang dihadapi dalam pelaksanaan program KB pada umumnya kultur masyarakat
yang masih memegang erat nilai-nilai budaya setempat dan nilai agama.
Kota Padangsidimpuan adalah kota yang letaknya di Propinsi Sumatera Utara,
mayoritas penduduknya adalah suku Angkola merupakan salah satu daerah dengan
kultur masyarakat yang masih memegang erat nilai-nilai budaya setempat dan nilai
patrilineal yang menganggap nilai anak laki-laki lebih tinggi dari anak perempuan.
Pada suku Angkola masih ada anggapan bahwa banyak anak banyak rezeki, dalam
keluarga harus ada anak laki-laki, dan nilai agama yang menyatakan bahwa program
KB haram. Nilai budaya dan norma agama yang telah lama ada di dalam masyarakat
sedikit banyak akan mempengaruhi Keikutsertaan KB ibu pasangan usia subur.
Akseptor baru dan Pengaruh Persepsi Nilai Anak di Kecamatan Padangsidimpuan
Tenggara Kota Padangsidimpuan sejak tahun 2006-2007 dapat dilihat dari hasil
pendapatan Keluarga Sejahtera yang dilaksanakan setiap tahunnya. Berdasarkan hasil
pendataan dua tahun tersebut dapat dilihat bahwa pencapaian akseptor baru sangat
rendah, yaitu hanya 14,25% pada tahun 2009 dan 13,43% tahun 2010 dengan
pertumbuhan yang sangat rendah pula, yaitu hanya 0,73%. Pencapaian ini masih
dibawah target yang telah ditentukan oleh pemerintah dan tidak sebanding dengan
peningkatan jumlah pasangan usia subur yang ada di Kecamatan Padangsidimpuan
Tenggara tersebut, yaitu 6,88% (Dinkes Padangsidimpuan, 2010).
Rendahnya pencapaian realisasi persentase akseptor baru ini berhubungan
dengan pengaruh persepsi nilai anak terhadap keikutsertaan keluarga berencana.
Selain itu, ibu-ibu yang mengikuti program KB khususnya di Kecamatan
Padangsidimpuan Tenggara ditinjau dari kultur masyarakat masih memegang erat
nilai-nilai budaya yang dikaitkan dengan agama, sehingga program KB tidak mudah
diterima oleh masyarakat tersebut. Ditinjau dari segi adat istiadat masyarakat
Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, khususnya dalam masalah program KB
umumnya ada rasa malu, takut pada suami, dan sebahagian masyarakat menganggap
bahwa program KB itu adalah haram hukumnya (membunuh bibit keturunan). Ada
juga sebahagiaan masyarakat beranggapan dan berpendapat bahwa banyak anak
banyak rejeki, anak laki-laki lebih “berharga” dari anak perempuan, serta ajaran
agama yang berpendapat bahwa program KB haram, merupakan beberapa faktor
kultural dan agama yang mempengaruhi persepsi pasangan usia subur terhadap
program KB.
Selain itu salah satu kunci kesuksesan program keluarga berencana nasional
adalah adanya keterlibatan semua pihak, baik dari institusi pemerintah, swasta,
masyarakat dan dalam lingkup yang lebih kecil adalah keterlibatan seluruh anggota
keluarga itu sendiri. Pelayanan keluarga berencana ditujukan kepada pasangan usia
subur, yang berarti harus melibatkan kedua belah pihak yakni istri maupun suami.
Namun kenyataannya saat ini hanya perempuan saja yang dituntut untuk
menggunakan alat kontrasepsi. Hal ini dapat dilihat dari data akseptor KB di
Indonesia yang menunjukkan bahwa lebih banyak wanita daripada pria
(Siswosudarmo, dkk, 2007).
Saat ini perlunya peran aktif pria/suami secara tidak langsung harus lebih
ditekankan lagi, yaitu dengan cara suami mendukung istri yang sedang mengikuti
Program KB, karena peran aktif dan perhatian suami kepada istri yang sedang
mengikuti Program KB sangat berpengaruh terhadap keberhasilan Program KB
(BKKBN, 2003). Dalam hal ini suami sebagai kepala keluarga memegang peranan
memberikan izin dan memberikan perhatian kepada istri dalam mengikuti program
KB (Isti, 2007). Dampak negatif bila suami tidak mendukung keluarga berencana dan
kesehatan reproduksi wanita yaitu bisa menyebabkan terjadinya ketimpangan antara
peran wanita dan pria dalam bidang keluarga berencana. Selain itu perempuan juga
cenderung dijadikan sasaran dalam masalah kesehatan reproduksi. Sikap peduli
terhadap masalah kesehatan reproduksi perempuan selama masa kehamilan,
persalinan, dan pasca persalinan tidak menjadi tanggung jawab perempuan saja,
melainkan menjadi tanggung jawab bersama antara pria dan wanita dalam membina
keluarga sejahtera (Aman, dkk, 2004).
Banyak faktor yang berhubungan dengan dukungan suami terhadap
kepesertaan istri dalam program keluarga berencana, faktor tersebut adalah: faktor
predisposisi (predisposing factors) terdiri dari pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai
anak dan keinginan memilikinya, umur, tingkat pendidikan, jumlah anak, pekerjaan,
pendapatan, serta sosial budaya terhadap KB, kemudian yang kedua adalah faktor
pemungkin (enabling factors) terdiri dari program pembangunan, ketersediaan KB,
akses pelayanan KB, dan yang ketiga adalah faktor pendorong (reinforcing factors)
terdiri dari peran tokoh masyarakat, serta peran petugas kesehatan (BKKBN, 2008).
Berbagai temuan tersebut menunjukkan gejala tingginya pengaruh nilai anak
terhadap keinginan keluarga untuk memiliki anak yang disebabkan oleh beberapa
faktor, seperti faktor agama, sosial, ekonomi, psikologis, budaya, perubahan sosial,
dan status sosial ekonomi yang akhirnya berpengaruh terhadap perilaku keluarga
uraian tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian ilmiah untuk mengetahui
pengaruh nilai anak terhadap keikutsertaan KB di wilayah kerja Puskesmas
Pijorkoling Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara.
1.2.Permasalahan
Permasalahan dan penelitian ini adalah bagaimana pengaruh nilai anak dengan
keikutsertaan keluarga berencana pasangan usia subur di wilayah kerja Puskesmas
Pijorkoling Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan.
1.3.Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh nilai anak baik dari
aspek budaya, agama, ekonomi, sosial dan aspek psikologi dengan keikutsertaan
Keluarga Berencana Ibu Pasangan Usia Subur di Wilayah Kerja Puskesmas
Pijorkoling Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan.
1.4.Hipotesis
Nilai anak berpengaruh terhadap keikutsertaan keluarga berencana pasangan
Usia subur di wilayah kerja Puskesmas Pijorkoling Kecamatan Padangsidimpuan
1.5.Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :
1. Sebagai bahan masukan bagi BKKBN Kota Padangsidimpuan khususnya
Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, wilayah kerja Puskesmas Pijorkoling
untuk dapat meningkatkan cakupan program KB.
2. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Padangsidimppuan
dalam meningkatkan keikutsertaan Ibu PUS dalam program KB.
3. Memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu
pengetahuan tentang program KB, di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara