• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Nilai Anak terhadap Keikutsertaan Keluarga Berencana pada Ibu PUS di Wilayah Kerja Puskesmas Pijorkoling Tahun 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang - Pengaruh Nilai Anak terhadap Keikutsertaan Keluarga Berencana pada Ibu PUS di Wilayah Kerja Puskesmas Pijorkoling Tahun 2012"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indonesia merupakan Negara berkembang merupakan Negara dengan jumlah

penduduk yang sangat tinggi dan sangat padat. Di dunia, Indonesia berada pada posisi

keempat dengan laju pertumbuhan penduduk tertinggi. Menurut laporan Badan Pusat

Statistik (BPS), jumlah penduduk Indonesia tahun 2010 adalah 237,6 juta jiwa

dengan laju pertumbuhan penduduk 1,49. Ini berarti setiap tahunnya terjadi

pertumbuhan penduduk sekitar 3,5 juta lebih per-tahunnya. Jika laju pertumbuhan

tidak ditekan maka diperkirakan jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2045 bisa

menjadi sekitar 450 juta jiwa (BKKBN, 2007). Hal ini berarti satu dari duapuluh

penduduk dunia adalah orang Indonesia.

Kondisi Indonesia dengan jumlah penduduk yang besar, dan pertumbuhan

yang tinggi, serta kualitas yang sangat rendah sangat tidak kondusif bagi

pembangunan berkelanjutan ditanah air dan berpotensi bagi semakin terpuruknya

status sosial dan ekonomi masyarakat sehingga menyulitkan upaya-upaya

pengentasan kemiskinan. Itulah sebabnya sejalan dengan upaya-upaya peningkatan

kualitas penduduk melalui program pendidikan, kesehatan, dan pembangunan

lainnya, tidak kalah pentingnya adalah upaya-upaya untuk melakukan perencanaan

keluarga secara sungguh-sungguh sehingga pertambahan penduduk yang tidak

(2)

keluarganya secara lebih baik dan bertanggung jawab (BKKBN, 2011). Salah satu

upaya yang dapat dilaksanakan untuk menekan laju pertumbuhan penduduk ini

adalah dengan program Keluarga Berencana (KB).

Untuk mengatasi masalah kependudukan yang demikian kompleks, serta

sebagai tindak lanjut dari Undang-Undang No. 52 tahun 2009 tentang Perkembangan

Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Pemerintah membuat semacam grand

design pembangunan kependudukan di Indonesia. Visi dari Grand Design

Pengendalian Kuantitas Penduduk adalah: Terwujudnya keserasian, keselarasan, dan

keseimbangan antara jumlah, struktur, dan persebaran penduduk dengan lingkungan

hidup baik yang berupa daya dukung alam maupun daya tampung lingkungan, tetapi

juga dengan kondisi perkembangan sosial dan budaya masyarakat. Misi dari Grand

Design Pengendalian Kuantitas Penduduk adalah: (1). Membangun komitmen para

pemangku kepentingan dan penentu kebijakan (prime stakeholders) tentang penting

dan strategisnya upaya pengendalian kuantitas penduduk bagi pembangunan

berkelanjutan; (2). Membentuk atau menyempurnakan peraturan

perundang-undangan (regulasi) yang mendukung upaya pengendalian kuantitas penduduk.

Adapun tujuan grand design adalah : (1). Memberikan arah kebijakan bagi

pelaksanaan pengendalian kuantitas penduduk nasional 2010-2035; (2). Menjadi

pedoman bagi penyusunan Road Map pengendalian kuantitas penduduk 2010-2014,

2015-2019, 2020-2024, 2025-2029, dan 2030-2034. (3). Menjadi pedoman bagi

lembaga serta pemerintah daerah dalam perencanaan pembangunan yang berwawasan

(3)

kondisi penduduk optimal yang berkaitan dengan jumlah, struktur/komposisi,

pertumbuhan, serta persebaran penduduk. (5). Mengendalikan pertumbuhan dan

persebaran penduduk sesuai dengan daya dukung alam dan daya tampung lingkungan

secara nasional melalui pengendalian angka kelahiran, penurunan angka kematian,

dan pengarahan mobilitas penduduk (BKKBN, 2011).

Kebijakan Departemen Kesehatan dalam upaya mempercepat penurunan

Angka Kematian Ibu (AKI) pada dasarnya mengacu kepada intervensi strategi

Empat Pilar Safe Motherhood” yaitu keluarga berencana, pelayanan antenatal,

per-salinan yang aman, dan pelayanan obstetri esensial. Dewasa ini, di antaranya program

Keluarga Berencana (KB) sebagai pilar pertama, telah dianggap berhasil (Saifudin,

2002).

Gerakan Keluarga Berencana Nasional (GKBN) telah berjalan lebih kurang

40 tahun dan sudah begitu banyak memberikan hasil dalam pengelolaanya. Bila

dilihat dari banyaknya pasangan Usia Subur (PUS) yang mengikuti GKBN tersebut,

yaitu 26 Juta (PUS) dari 34 Juta PUS yang ada di Indonesia. Disamping itu

berdasarkan sensus penduduk tahun 1990 telah memberikan dampak pada sisi

demografi yang menunjukkan laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,97%

pertahun periode 1980-1990. Jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan penduduk

periode 1971-1990 sebesar 2,34% pertahun, berarti telah berhasil diturunkan

sebanyak 0,34%. Kemudian pada tahun 1993 laju pertumbuhan penduduk turun lagi

menjadi 1,66% pertahun, dan pada SDKI 2000 sampai dengan 2010 Laju

(4)

Oleh karena itu usaha-usaha KB yang sudah dimulai sejak Repelita I terus

ditingkatkan lagi dalam Repelita selanjutnya. Jumlah akseptor baru KB ditingkatkan

setiap tahun. Pembinaan akseptor-akseptor yang ada dipergiat untuk menjaga

kelangsungannya. Selanjutnya pelaksanaan KB diperluas ke luar pulau Jawa dan Bali.

Peningkatan sasaran ini membutuhkan peningkatan kemampuan organisasi dan

administrasi pelaksanaan. Selain daripada itu kegiatan-kegiatan pelayanan medis,

penerangan dan motivasi, pendidikan dan latihan, serta penelitian ditingkatkan

Program KB menentukan kualitas keluarga, karena program ini dapat

menyelamatkan kehidupan perempuan serta meningkatkan status kesehatan ibu

terutama dalam mencegah kehamilan tak diinginkan, menjarangkan jarak kelahiran

mengurangi risiko kematian bayi. Selain memberi keuntungan ekonomi pada

pasangan suami istri, keluarga dan masyarakat, program KB juga membantu remaja

mangambil keputusan untuk memilih kehidupan yang lebih baik dengan

merencanakan proses reproduksinya. Selain itu program KB, bisa meningkatkan pria

untuk ikut bertanggung jawab dalam kesehatan reproduksi mereka dan keluarganya.

Ini merupakan keuntungan seseorang mengikuti program KB.

Menurut hasil sub sistim pencatatan dan pelaporan BKKBN Propinsi

Sumatera Utara (BKKBN, 2011) pencapaian peserta KB baru secara propinsi

Sumatera Utara sebanyak 189.488 peserta atau 50,88% dari target kontrak Kinerja

Propinsi (KKP), Sedangkan jumlah peserta KB aktif di Sumtera Utara pada tahun

2011 adalah sebesar 1.456.460 peserta atau sebesar 96,86% dari perkiraan sebesar

(5)

baru dan KB aktif di propinsi Sumatera Utara secara umum adalah baik, namun hal

tersebut belum menggambarkan secara utuh bagaimana kondisi di Kota dan

Kabupaten yang ada diwilayah Propinsi Sumatera Utara.

Salah satu kendala pelaksanaan program KB, antara lain masih adanya

pemahaman tentang nilai anak yang sempit. Suatu nilai erat berkaitan dengan

kebudayaan yang hidup dalam suatu masyarakat, dan setiap masyarakat memiliki

nilai tertentu mengenai sesuatu yang mereka miliki. Nilai itu umumnya tidak mudah

berubah, karena setiap individu telah disosialisasikan dengan nilai-nilai tersebut.

Melalui proses sosialisasi, setiap individu anggota masyarakat telah di resapi dengan

nilai-nilai budaya yang hidup di dalam masyarakat itu, mulai dari kecil sampai

dewasa sehingga konsep-konsep nilai tersebut berakar dalam jiwanya. Itulah

sebabnya, mengapa suatu nilai budaya sangat sulit untuk begitu saja digantikan

dengan nilai budaya lain.

Koentjaraningrat melihat sistem nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi

yang hidup dalam alam pikiran sebagian besar warga masyarakat mengenai hal-hal

yang mereka anggap bernilai dalam hidup, dan biasanya berfungsi sebagai pedoman

tertinggi bagi individu dalam bertingkah laku (Koentjaraningrat, 1981).

Nilai anak adalah bagian perwujudan dari nilai budaya suatu masyarakat.

Dalam hal ini, nilai anak merupakan suatu penilaian individu atau masyarakat

terhadap arti dan fungsi anak dalam keluarga. Umumnya, anak dianggap sebagai

salah satu kebutuhan orang-tua, baik sebagai kebutuhan ekonomi sosial maupun

(6)

anak bagi orang-tua. Nilai-nilai tertentu yang kita konsepsikan, tercermin dalam

berbagai kebutuhan psikologis tertentu. Nilai-nilai ini juga terikat pada struktur sosial

dan dipengaruhi oleh perbedaan budaya dan perubahan sosial. Maksudnya bahwa

nilai yang dianut oleh suatu masyarakat akan tercermin dalam kehidupan dan

kebiasaan mereka sehari-hari . Begitu juga kebutuhan orang-tua akan perhatian anak

(kebutuhan psikologis). Kebutuhan tersebut sudah tentu akan dipengaruhi pula oleh

aturan/norma yang berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan.

Freedman (1986), seperti dikutip dalam Robinson dan Sarah (1983),

menyatakan bahwa jumlah anak yang dimiliki oleh pasangan suami istri merupakan

masalah yang sangat universal dan penting bagi masyarakat. Maka akan terdapat

penyimpangan sosiologis, apabila tidak diciptakan budaya penyelesaian yang

normatif untuk menyelesaikan masalah ini. Dari segi lain, menurut Easterlin (1977),

sebagaimana di kutip dalam Robinson dan Sarah (1983), mengemukakan bahwa

permintaan akan anak ditentukan oleh karakteristik latar belakang agama, pendidikan,

tempat tinggal, tipe keluarga, serta norma-norma yang mengatur kehidupan pasangan

suami istri. Pada masa yang lalu banyak terdapat pandangan masyarakat tentang

jumlah anak yang tidak sepenuhnya benar. Pendapat tradisional bahwa "Banyak Anak

Banyak Rezeki" dan keluarga besar adalah suatu pelayanan luhur terhadap

masyarakat.

Penelitian Singarimbun (1996) mengenai nilai anak pada masyarakat Jawa

dan Sunda, menemukan adanya variasi nilai anak berdasarkan pandangan

(7)

bervariasi menurut tempat tinggal. Orang-tua yang tinggal di desa mempunyai nilai

yang berbeda terhadap anak, bila dibandingkan dengan orang-tua yang tinggal di

kota.

Hasil survei mengenai nilai anak di Serpong Jawa Barat oleh Kartoyo dan

Munir (1983) memperlihatkan, bahwa penduduk asli di daerah itu (pada umumnya

suku Sunda) menganut pandangan "Loba anak loba ganjaran" (banyak anak

banyak karunia dari Tuhan Yang Maha Esa), dan anak juga membawa kesejahteraan

moral dan meterial bagi orang-tuanya. Tampaknya anak juga mempunyai nilai

psiko-sosial bagi orang-tua mereka. Menurut Hasanuddin (1982), menunjukkan bahwa

salah satu keuntungan mempunyai anak adalah menghindarkan diri dari kesepian,

atau untuk melanjutkan keturunan serta mendapatkan kebahagiaan.

Semua kebudayaan dipengaruhi oleh perubahan 1ingkungan fisik (Hoffman,

1973). Rogers ( 1988) menegaskan, bahwa setiap kebudayaan pasti akan mengalami

perubahan, dan perubahan tersebut berlangsung pada struktur dan fungsi sistem

sosial.

Pada suku batak khususnya yang menganut paham patrilineal, menganggap

nilai anak terutama anak laki-laki lebih tinggi daripada anak perempuan, karena

perannya yang begitu besar dalam meneruskan kelangsungan garis keturunan. Anak

laki menjadi amat penting dalam kehidupan keluarga batak. Kehadiran anak laki-Perubahan masyarakat pun cenderung mempengaruhi bentuk keluarga.

Menurut Goode (1970), dalam masyarakat yang telah mengalami industrialisasi dan

urbanisasi, bentuk keluarga pun mengalami perubahan dan penyesuaian, dari tipe

(8)

laki ditengah-tengah keluarga selalu sangat diharapkan. Belum dirasakan lengkap

dan bahagia bila keluarga belum memiliki anak laki-laki. Dalam setiap keluarga yang

menganut sistem patrilineal, kedudukan laki-laki bersifat dominan, karena

peranannya yang begitu besar dalam meneruskan kelangsungan garis keturunan.

Anak laki-laki menjadi amat penting dalam kehidupan keluarga Batak. Pada

masyarakat Angkola, kuatnya nilai dan norma mengenai pentingnya anak laki-laki

ini, juga tampak dalam kehidupan sehari-hari.

Bagi orang Batak, adat memegang peranan penting. J. Sarumpaet-Hutabarat,

seperti dikutip Pedersen (1975) menegaskan bahwa "Adat adalah sumber identitas

orang Batak, Kami dan adat adalah satu. Begitu dalamnya arti adat dalam hidup

Kami". Hal tersebut dapat menjadi salah satu kendala keikutsertaan KB, jika dalam

sebuah keluarga belum ada anak laki-laki maka si ibu akan terus melahirkan sampai

akhirnya ia mendapatkan anak laki-laki.

Di daerah pedesaan anak mempunyai nilai yang tinggi bagi keluarga. Anak

dapat memberikan kebahagiaan kepada orang tuanya selain itu akan merupakan

jaminan di hari tua dan dapat membantu ekonomi keluarga, banyak masyarakat di Anak merupakan objek perhatian dan kasih sayang setiap orang-tuanya.

Manusia akan mengaktualisasikan dirinya melalui anak. Keluarga mempertahankan

keturunannya melalui anak, dan setiap individu akan menurunkan warisan sosialnya

melalui anak. Demikian pula, kebudayaan dan agama akan mempertahankan tradisi

dan nilai-nilainya melalui anak. Karena itu, nilai pokok seorang anak berada dalam

(9)

desa di Indonesia yang berpandangan bahwa banyak anak banyak rezeki. Dari

penelitian Mohamad Koesnoe di daerah Tengger, petani yang mempunyai tanah luas

akan mencari anak angkat sebagai tambahan tenaga kerja. Studi lain yang dilakukan

oleh proyek VOC (Value Of Children) menemukan bahwa keluarga - keluarga yang

tinggal di pedesaan Taiwan, Philipina, Thailand mempunyai anak yang banyak

dengan alasan bahwa anak memberikan keuntungan ekonomi dan rasa aman bagi

keluarganya. Nilai anak ini merupakan harapan orang tua terhadap anaknya di masa

yang akan datang sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh anak yang meliputi nilai

psikologi, nilai ekonomi dan nilai sosial (Hernawati 2002). Berdasarkan hasil

penelitian Kartino (2005), tidak ada perbedaan persepsi pada orangtua antara anak

laki-laki dan perempuan dalam mempersepsikan nilai anak, baik nilai ekonomi, nilai

psikologi, dan nilai sosial.

Target utama pelaksanaan program KB adalah pasangan usia subur (PUS),

yang secara alamiah potensial dalam kesehatan reproduksi. Tujuannya adalah

meningkatkan kesadaran pasangan usia subur terhadap pentingnya program KB untuk

menjamin kesehatan ibu dan anak serta kebahagiaan keluarga. Permasalahan utama

yang dihadapi dalam pelaksanaan program KB pada umumnya kultur masyarakat

yang masih memegang erat nilai-nilai budaya setempat dan nilai agama.

Kota Padangsidimpuan adalah kota yang letaknya di Propinsi Sumatera Utara,

mayoritas penduduknya adalah suku Angkola merupakan salah satu daerah dengan

kultur masyarakat yang masih memegang erat nilai-nilai budaya setempat dan nilai

(10)

patrilineal yang menganggap nilai anak laki-laki lebih tinggi dari anak perempuan.

Pada suku Angkola masih ada anggapan bahwa banyak anak banyak rezeki, dalam

keluarga harus ada anak laki-laki, dan nilai agama yang menyatakan bahwa program

KB haram. Nilai budaya dan norma agama yang telah lama ada di dalam masyarakat

sedikit banyak akan mempengaruhi Keikutsertaan KB ibu pasangan usia subur.

Akseptor baru dan Pengaruh Persepsi Nilai Anak di Kecamatan Padangsidimpuan

Tenggara Kota Padangsidimpuan sejak tahun 2006-2007 dapat dilihat dari hasil

pendapatan Keluarga Sejahtera yang dilaksanakan setiap tahunnya. Berdasarkan hasil

pendataan dua tahun tersebut dapat dilihat bahwa pencapaian akseptor baru sangat

rendah, yaitu hanya 14,25% pada tahun 2009 dan 13,43% tahun 2010 dengan

pertumbuhan yang sangat rendah pula, yaitu hanya 0,73%. Pencapaian ini masih

dibawah target yang telah ditentukan oleh pemerintah dan tidak sebanding dengan

peningkatan jumlah pasangan usia subur yang ada di Kecamatan Padangsidimpuan

Tenggara tersebut, yaitu 6,88% (Dinkes Padangsidimpuan, 2010).

Rendahnya pencapaian realisasi persentase akseptor baru ini berhubungan

dengan pengaruh persepsi nilai anak terhadap keikutsertaan keluarga berencana.

Selain itu, ibu-ibu yang mengikuti program KB khususnya di Kecamatan

Padangsidimpuan Tenggara ditinjau dari kultur masyarakat masih memegang erat

nilai-nilai budaya yang dikaitkan dengan agama, sehingga program KB tidak mudah

diterima oleh masyarakat tersebut. Ditinjau dari segi adat istiadat masyarakat

Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, khususnya dalam masalah program KB

(11)

umumnya ada rasa malu, takut pada suami, dan sebahagian masyarakat menganggap

bahwa program KB itu adalah haram hukumnya (membunuh bibit keturunan). Ada

juga sebahagiaan masyarakat beranggapan dan berpendapat bahwa banyak anak

banyak rejeki, anak laki-laki lebih “berharga” dari anak perempuan, serta ajaran

agama yang berpendapat bahwa program KB haram, merupakan beberapa faktor

kultural dan agama yang mempengaruhi persepsi pasangan usia subur terhadap

program KB.

Selain itu salah satu kunci kesuksesan program keluarga berencana nasional

adalah adanya keterlibatan semua pihak, baik dari institusi pemerintah, swasta,

masyarakat dan dalam lingkup yang lebih kecil adalah keterlibatan seluruh anggota

keluarga itu sendiri. Pelayanan keluarga berencana ditujukan kepada pasangan usia

subur, yang berarti harus melibatkan kedua belah pihak yakni istri maupun suami.

Namun kenyataannya saat ini hanya perempuan saja yang dituntut untuk

menggunakan alat kontrasepsi. Hal ini dapat dilihat dari data akseptor KB di

Indonesia yang menunjukkan bahwa lebih banyak wanita daripada pria

(Siswosudarmo, dkk, 2007).

Saat ini perlunya peran aktif pria/suami secara tidak langsung harus lebih

ditekankan lagi, yaitu dengan cara suami mendukung istri yang sedang mengikuti

Program KB, karena peran aktif dan perhatian suami kepada istri yang sedang

mengikuti Program KB sangat berpengaruh terhadap keberhasilan Program KB

(BKKBN, 2003). Dalam hal ini suami sebagai kepala keluarga memegang peranan

(12)

memberikan izin dan memberikan perhatian kepada istri dalam mengikuti program

KB (Isti, 2007). Dampak negatif bila suami tidak mendukung keluarga berencana dan

kesehatan reproduksi wanita yaitu bisa menyebabkan terjadinya ketimpangan antara

peran wanita dan pria dalam bidang keluarga berencana. Selain itu perempuan juga

cenderung dijadikan sasaran dalam masalah kesehatan reproduksi. Sikap peduli

terhadap masalah kesehatan reproduksi perempuan selama masa kehamilan,

persalinan, dan pasca persalinan tidak menjadi tanggung jawab perempuan saja,

melainkan menjadi tanggung jawab bersama antara pria dan wanita dalam membina

keluarga sejahtera (Aman, dkk, 2004).

Banyak faktor yang berhubungan dengan dukungan suami terhadap

kepesertaan istri dalam program keluarga berencana, faktor tersebut adalah: faktor

predisposisi (predisposing factors) terdiri dari pengetahuan, sikap, keyakinan, nilai

anak dan keinginan memilikinya, umur, tingkat pendidikan, jumlah anak, pekerjaan,

pendapatan, serta sosial budaya terhadap KB, kemudian yang kedua adalah faktor

pemungkin (enabling factors) terdiri dari program pembangunan, ketersediaan KB,

akses pelayanan KB, dan yang ketiga adalah faktor pendorong (reinforcing factors)

terdiri dari peran tokoh masyarakat, serta peran petugas kesehatan (BKKBN, 2008).

Berbagai temuan tersebut menunjukkan gejala tingginya pengaruh nilai anak

terhadap keinginan keluarga untuk memiliki anak yang disebabkan oleh beberapa

faktor, seperti faktor agama, sosial, ekonomi, psikologis, budaya, perubahan sosial,

dan status sosial ekonomi yang akhirnya berpengaruh terhadap perilaku keluarga

(13)

uraian tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian ilmiah untuk mengetahui

pengaruh nilai anak terhadap keikutsertaan KB di wilayah kerja Puskesmas

Pijorkoling Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara.

1.2.Permasalahan

Permasalahan dan penelitian ini adalah bagaimana pengaruh nilai anak dengan

keikutsertaan keluarga berencana pasangan usia subur di wilayah kerja Puskesmas

Pijorkoling Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan.

1.3.Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis pengaruh nilai anak baik dari

aspek budaya, agama, ekonomi, sosial dan aspek psikologi dengan keikutsertaan

Keluarga Berencana Ibu Pasangan Usia Subur di Wilayah Kerja Puskesmas

Pijorkoling Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara Kota Padangsidimpuan.

1.4.Hipotesis

Nilai anak berpengaruh terhadap keikutsertaan keluarga berencana pasangan

Usia subur di wilayah kerja Puskesmas Pijorkoling Kecamatan Padangsidimpuan

(14)

1.5.Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat sebagai berikut :

1. Sebagai bahan masukan bagi BKKBN Kota Padangsidimpuan khususnya

Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara, wilayah kerja Puskesmas Pijorkoling

untuk dapat meningkatkan cakupan program KB.

2. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kota Padangsidimppuan

dalam meningkatkan keikutsertaan Ibu PUS dalam program KB.

3. Memperkaya konsep atau teori yang menyokong perkembangan ilmu

pengetahuan tentang program KB, di Kecamatan Padangsidimpuan Tenggara

Referensi

Dokumen terkait

Responden dalam penelitian tentang Hubungan Persepsi Pengguna Layanan Tentang Mutu Pelayanan Unit Rawat Inap VIP (Gryatama) Dengan Minat Pemanfaatan Ulang di BRSU

peta kertas yang kurang menarik serta kurang membantu bagi yang ingin mengetahui lokasi dan diskripsi tentang tempat yang dicari. Dengan peta digital pengunjung

Bakteri Lactobacillus sp yang secara alami terdapat pada sayuran sangat berperan dalam pembuatan sayur asin melalui proses fermentasi. Sayur asin yang dihasilkan

Formulasi pengelepasan terkendali I didapatkan dengan mencampurkan larutan shellak 2,5% dengan 10 mL karbofuran 5% (dari bahan aktif karbofuran dengan kemurnian 95%) lalu

Setelah dirawat inap selama 3 hari, dilakukan pembukaan perban dan terlihat luka bekas inisisi pada Boli sudah mulai mengering, tidak ditemukan adanya seroma

Untuk pengolahan pada dataset kelompok pertama memiliki ukuran data KRS oleh kelompok mahasiswa atau data pengambilan mata kuliah oleh kelompok mahasiswa (pada

Metode situasional, dimana materi diangkat dari anak yang sedang menunjukan gambar bangun datar, kemudian guru mengadakan percakapan dengan siswa mengenai bangun datar persegi

Pd., Kepala Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sebelas Maret Surakarta, yang telah memberikan izin