PERUBAHAN PARTUTURON PADA MASYARAKAT
MANDAILING DI KOTA MEDAN
(Studi Deskriptip Tentang Perubahan Paruturon Mandailing di Kota Medan)
SKRIPSI
Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat
Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Oleh:
DIAN ANGRAINI SIREGAR
NIM. 070905001
DEPARTEMEN ANTOPOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
HALAMAN PERSETUJUAN
Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:
Nama : Dian Angraini Siregar
Nim : 070905001
Departemen : Antropologi
Judul : Perubahan Partuturon Pada Masyarakat Mandailing
di Kota Medan
Pembimbing Ketua Departemen
Drs. Lister Berutu, MA Dr. Fikarwin Zuska
NIP: 19600717 198703 1 005 NIP: 19621220 198903 1 005
Dekan
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universiras Sumatera Utara
Prof. Dr. Badaruddin, M. Si
PERNYATAAN
PERUBAHAN PARTUTURON PADA MASYARAKAT
MANDAILING DI KOTA MEDAN
SKRIPSI
Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.
Apabila di kemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap meninggalkan gelar kesarjanaan saya.
Medan, Mei 2011
ABSTRAK
Setiap etnis mengenal istilah dan adat sopan santun kekerabatan yang berbeda-beda yang digunakan untuk mengelompokkan, menyebut dan memanggil anggota kerabatnya. Perbedaan ini berhubungan erat dengan berbedanya peranan, dan kedudukan masing-masing anggota kerabat dalam kelompok kekerabatan. Hal ini dikenal dengan partuturon yang menjelaskan tentang istilah, sebutan dan sapaan, nilai budaya dan aturan-aturan adat yang terkait dengan adat sopan santun sistem kekerabatan serta perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dalam berintraksi dengan para kerabat dikenal berbagai aturan dan nilai agar seseorang anggota kerabat dikategorikan beradat. Aturan dan nilai tersebut menjadi pengetahuan umum dan dijadikan sebagai pola atau patron dalam berintraksi. Akibatnya ada intraksi yang harus bersikap sopan, hati-hati, akrab, sungkan dan tidak sungkan (akrab, bebas). Dengan kata lain dalam kekerabatan dan hubungannya dengan istilah yang digunakan ada aturan atau adat sopan santun yang harus di turuti. Fokus penelitian ini adalah ntuk mendeskripsikan perubahan partuturon Mandailing dengan membandingkan partuturon yang ideal sesuai adat Mandailing. pengumpulan data dilakukan dengan observasi (pengamatan) dan wawancara. Peneliti mengamati perubahan partuturon dan bagaimana implementasi
partuturon terhadap sikap dan tingkah lakuHasil penelitian menunjukkan perubahan partuturon pada masyarakat Mandailing, yang menyebabkan perubahan sikap dan tingkah
laku serta tanggung jawab dalam hubungan kekerabatan. Secara sederhana perubahan
partuturon dapat digambarkan melalui sebutan amang (ayah) berubah menjadi bapak, partuturon bapak ini dalam adat mandailing sudah bukan di tujukan kepada ayah melainkan
kepada anak saudara ayah sehingga melalui tutur yang berubah i tanggung jawab dan peran pun akan turut berubah. Perubahan partuturon ini juga membentuk perubahan pada pola aturan pernikahan. Terjadinya penyimpangan aturan pernikahan sehinnga terjadi pernikahan semarga, yang membuat tutur yang seharusnya berubah kea rah tutur yang disesuaikan dengan hubungan pernikahan, hal seperti ini disebut rompak tutur.
UCAPAN TERIMAKASIH
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat, kasih dan
rahmad-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa juga dengan segala
kerendahan hati penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang banyak membantu
dalam mendukung dan memberi semangat dalam penulisan skripsi ini.
Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak
Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Fikarwin Zuska, sebagai Ketua Departemen
Antropologi FISIP USU dan Bapak Drs. Agustrisno, MSP, sebagai sekretaris Departemen
Antropologi FISIP USU yang telah banyak membantu mulai awal perkuliahan hingga
penulisan skripsi.
Bapak Drs. Yance, M,Si sebagai dosen penasehat akademik yang telah banyak terlibat
dan membantu dari awal perkuliahan hingga penulisan skripsi. Bapak Drs. Lister Brutu, MA,
selaku dosen pembimbing penulis yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran
untuk membimbing penulis.
Seluruh staf dan pengajar di FISIP USU khususnya Kak Nur dan Kak Sofi,di
Departemen Antropologi dan seluruh guru yang telah sabar mendidik dan membimbing
penulis dari sekolah SDN no. 142603 Mandailing Natal, SLTP Negeri 1 Mandailing Natal,
serta SMA Negeri 1 Mandailing Natal. Terima kasih untuk bekal ilmu yang telah diberikan.
Seluruh masyarakat Mandailing, khususnya yang menjadi informan peneliti. Tidak lupa juga
penulis ucapkan terima kasih banyak kepada Lurah dan kepala lingkungan dan Pejabat Desa
lainnya yang telah memberikan izin melakukan kegiatan penelitian di wilayah tersebut.
Kepada keluargaku, terima kasih kepada almarhumah ibunda Jumaidah Batubara dan
ayahanda tercinta Saipul Bahri Siregar yang telah membesarkan, mendidik, melimpahi kasih
sayang dengan memberikan pendidikan sampai kejenjang perguruan tinggi. Untuk
almarhumah Ibu terimakasih telah menjadi Ibu yang paling sempurna untuk penulis dan
menjadi inspirasi bagi masa depan penulis, dan juga terimakasih yang tak terhingga kepada
ayahanda yang berjuang sendiri untuk melanjutkan pendidikan penulis. Skripsi ini penulis
persembahkan sebagai awal ucapan terimakasih atas perjuangan, dukungan dan materi yang
telah dikorbankan oleh almarhumah ibunda dan ayahanda penulis yang sangat hebat dan
mulia di mata penulis. Ayah, Ibu perjuanganku masih akan terus berlanjut, berkati
anak-Mu ini ! saya akan memberikan yang terbaik membanggakan kalian.
Terima kasih kepada saudara- saudaraku, abang ku tersayang Edi Suprianto Siregar
terimakasih atas dukungan dan nasehat-nasehat yang membangun adikmu menjadi lebih
bijaksana dan dewasa, Kakak handa Epa pitriani Siregar terima kasih atas dukungan dan
bantuan untuk selalu mengirimkan uang kuliah tepat waktu, dan terimakasih Kepada Kakak
handa Epi Meilina Siregar atas makanan-makanan yang selalu di masakkan untukku, dan
kepada Adikku tercinta Anggi Halomoan Siregar yang telah menjadi adik yang penurut dan
selalu membantu penulis selama ini. Terima kasih atas dukungan dan do’a kalian sehingga
penulis dapat memperoleh gelar sarjana. Terimakasih juga kepada abang ipar penulis
Haryono dan Suretno, serta kakak ipar penulis Silpi yulia yang memberikan dukungan dan
do’a serta menjadi bagian keluarga yang hangat bagi keluarga penulis. Terakhir penulis
ucapkan terima kasih kepada keponakan penulis Athalia Mumtas, Dea Rahmadani Siregar
dan aditya Fitrah yang telah menjadi keponakan yang lucu-lucu dan menghibur penulis.
Terima kasih yang sangat mendalam juga penulis sampaikan kepada Wawan Idrus
merupakan hal yang paling membahagiakan, ketulusan dan pengorbanan yang diberikan
kepada penulis menjadi penyemangat dan memberikan warna dalam hidup penulis.
Terimakasih penulis ucapkan kepada Putri Dewi dan Risa Febrina yang telah menjadi
sahabat perjuangan penulis selama empat tahun ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih
kepada teman-teman angkatan 07,Indriani, Nurazizah, Bhita, Fiza,Martha, Junjung, Davi, Sri,
Surya, Rini, Angel, Inggrid, Marni, Arni, Anugerah, Nugraha, Parlaungan, Wahyu, Fino,
Fikri, Tino, Jonathan, Tia, Edi, Fauzi, Ijal, Rendi, Pardin dan lainnya yang tidak dapat penulis
sebutkan satu persatu. Terimakasih penulis ucapkan atas cerita-cerita dan canda yang telah
kita lewati bersama selama empat tahun ini.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman satu kos Tiermin, Dermi,
Masda, Juli, Iin, Lina, Nela, Lola, Inun, Siti, Olin yang telah menjadi bagian keluarga kecil
penulis selama tinggal empat tahun ini. Kehangatan dan kekeluargaan yang kita jalin selama
ini tidak akan terlupakan dan merupakan kengan termanis yang dialami oleh penulis.
Terimakasih juga pernulis sampaikan kepada adik handa Wilda Hasanah Matondang yang
telah membantu dan senantiasa mendengarkankan cerita cerita penulis.
Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnyaatas segala dukungan moral
dan do’a yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis kiranya Tuhan Yang Maha
Kuasa senantiasa meridoi dan membalas segala kebaikan kalian. Menyadari akan
keterbatasan penulis, maka skripsi atau hasil penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan
dan kelemahan. Untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak guna penyempurnaan hasil
penelitian ini sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang
Medan, Juni2011
Penulis
RIWAYAT HIDUP
DIAN ANGRAINI SIREGAR, MAHASISWA
Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik di Universitas Sumatera Utara. Penulis lahir
di Malintang pada tanggal 21 September 1988,
beragama Islam, anak ke empat dari lima bersaudara
dari pasangan Ayahanda Saipul Bahri Siregar dan
almarhum Ibunda Jumaidah Batubara.
Penulis dibesarkan di Mandailing Natal. Pendidikan formal penulis Sekolah Dasar
(SD) Negeri 142603 Mandailing Natal, tamat tahun 2001, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama
(SLTP) Negeri 1 Mandailing Natal, tamat tahun 2004, Sekolah Menengah Atas (SMA)
Negeri 1 Mandailing Natal, taman tahun 2007. Pada tahun 2007 mengukuti pendidikan
kesarjanaan I Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas
KATA PENGANTAR
Penyusunan skripsi ini dilakukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana sosial dalam bidang Antropologi dari Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul “
Perubahan Partuturon Pada Masyarakat Mandailing Di Kota Medan”.
Skripsi ini menjelaskan secara menyeluruh mengenai Partuturon pada masyarakat
Mandailing di kota Medan. Mulai dari partuturon yang ideal sampai pada perubahan
partuturon yang terjadi pada masyarakat Mandailing di kota Medan. Perubahan tersebut
diuraikan dari bab I sampai bab V. Adapun penguraikan yang dilakukan oleh penulis pada
skripsi ini adalah
BAB I Pendahuluan, menguraikan mengenai garis besar penulisan skripsi secara
menyeluruh, antara lain latar belakang masalah partuturon Mandailing. Perumusan masalah
penelitian sehinnga dapat diketahui apa yang ingin di kemukakan dalam penulisan skripsi ini,
selanjutnya akan diuraikan juga lokasi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian tinjauan
pustaka, metode penelitian, dan alat pengumpulan data, serta unit analisis penelitian.
Penguraian pada bab ini, dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran secara keseluruhan
mengenai materi penelitian yang dimaksudkan dalam penelitian skiripsi ini.
BAB II Menjelaskan mengenai gambaran umum lokasi penelitian yang mayoritas
penduduknya masyarakat Mandailing untuk menjelaskan tujuan penelitian tentang partuturon
Mandailing, baik dari segi lingkungan geografis maupun sosial yang banyak berkaitan
dengan penduduk. Pada penulisan akan mencakup mengenai sejarah desa, keadaan alam, pola
pemukiman, keadaan penduduk. Penguraian dimaksudkan sebagai suatu penggambaran
BAB III. Menguraikan partuturon yang ideal pada ketentuan hukum adat Mandailing.
penguraian partuturon ideal ini guna untuk member gambaran dan sebagai perbandingan
bahwa perubahan partuturon itu ada pada masyarakat Mandailing di kota Medan, khususnya
masyarakat Mandailing yang terdapat di beberapa lokasi penelitian.
BAB IV Menjelaskan penyebab terjadinya perubahan pada partuturon masyarakat
Mandailing di kota Medan, mengenai alasan dan latar belakang fokus berubahnya partuturon.
Bagaimana pengaruh dan implementasinya perubahan partuturon terhadap sikap, peran dan
tanggung jawab pada masyarakat Mandailing di kota Medan. Pada akhir bab V, penulis
menyampaikan beberapa saran dan kesimpulan guna memajukan perspektif budaya dan
partuturon masyarakat Mandailing.
Perubahan Partuturon yang terjadi pada masyarakat Mandailing di kota Medan
disebabkan oleh banyak faktor dan perubahan tersebut membawa perubahan dalam hukum
adat Mandailing serta dalam tatanan sosial dalam hubungan kekerabatan. Perubahan
partuturon erat kaitannya dengan berubahnya sebutan dan sapaan, dimana setiap sebutan dan
sapaan berubah maka hak dan tanggung jawab diantara sesame kerabat akan turut berubah.
Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan baik penulisan maupun isi dari
skripsi ini dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik
dan saran yang membangun dari pembaca guna kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini
ke depannya dapat bermanfaat bagi civitas akademik, khususnya Antropologi.
Medan, Juli 2011
Penulis
DAFTAR ISI 1.1. Latar Belakang Masalah………. 1
1.2. Perumusan Masalah ………... 9
1.3. Lokasi Penelitian ……….. . 10
1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 11
1.5. Kajian Pustaka ……… 12
1.6. Metode Penelitian ………... 21
1.6.1. Penentuan Inorman ……… 22
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data ………. 25
1.6.3. Teknik Analisa Data……… 27
BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Kota Medan ………... 29
2.2. Letak Lokasi dan Keadaan Alam Lokasi Penelitian ………... 32
2.2.1. Wilayah Sei Mati Medan Maimun ………... 33
2.2.2. Wilayah Mariendal (Simpang Limun), Kecamatan Medan Amplas……… 34
2.2.3. Wilayah Sei Agul, Kecamatan Medan Barat …….. 36
2.2.5. Wilayah Pancing, Medan Tembung ……… 39
2.6. Organisasi Masyarakat ……… 43
2.7. Karakteristik Masyarakat Mandailing di Kota Medan ……… 44
BAB III. PARTUTURON IDEAL PADA MASYARAKAT MANDAILING 3.1. Hukum Adat Mandailing ………. 48
3.3. Kaidah-Kaidah Masyarakat Mandailing ……….. 55
3.4. Pola Perkawinan Masyarakat Mandailing ……… 56
3.4.1. Perkawinan Semarga ………. 56
3.4.2. Pernikahan Sungsang ………. 57
3.4.3. Pernikahan dengan Boru Tulang ……… 57
3.4.4. Pernikahan Sambar Bulung ………. 58
3.5. Unsur Dalihan Na Tolu ……….. 58
3.6. Partuturon Mandailing ……… 61
3.6.1. Ego dengan Keluarga Inti ……… 61
3.6.2. Ego dengan Keluarga Luas………... 64
3.6.3. Ego dengan Kahanggi ……….. 64
3.6.4. Ego dengan Anak Boru ……… 72
3.7. Sopan Santun Kekerabatan ………. 77
3.7.1. Hubungan Kerabat Akrab ………. 81
3.7.2. Hubungan Kerabat Tabu ……… 83
3.8. Pengaruh Partuturon Terhadap Sikap ………... 84
BAB IV IMPLEMENTASI PARTUTURON ETNIS MANDAILING YANG BERUBAH SERTA KONSEKUENSI YANG DI TIMBULKAN 4.1. Partuturon Berubah Dalam Keberagaman Etnis ………. 89
4.2. Partuturon Berubah Karena Latar Belakang Lingkungan Tempat Dibesarkan ………. 92
4.3. Partuturon Berubah Karena Faktor Didikan dan Bimbingan Orangtua ……… 94
4.4. Partuturon Berubah Karena Faktor Lamanya Menetap…………. 95
4.5. Partuturon Berubah Karena Faktor Kurangnya Kesadaran Etnisitas ……… 96
4.6. Sikap Dalam Partuturon Ynag Berubah ………... 98
4.7. Dalihan Na Tolu Dalam Adat Siriaon………... 102
4.8. Rompak Tutur ………... 104
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ……… … 109
5.2. Saran ……….. 115
DAFTAR PUSTAKA ……….. 118
LAMPIRAN
1. Hasil foto selama Penelitian 2. Daftar Informan
DAFTAR BAGAN
Halaman
Bagan 1: Bagan yang menggambarkan anggota keluarga inti ……. 51
Bagan 2: Bagan yang menggambarkan anggota keluarga luas……. 54
Bagan 3: Bagan yang menggambarkan kelompok Kahanggi …….. 58
Bagan 4: Bagan yang menggambarkan kelompok Anak boru ……. 61
Bagan 5: Bagan yang menggambarkan kelompok Mora ………….. 64
Bagan 6: Bagan yang menggambarkan hubungan kerabat akrab ….. 69
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1: Sebutan dan sapaan ideal ego pada keluarga inti ………….. 52
Tabel 2: Sebutan dan sapaan ego yang berubah pada keluarga inti …. 53
Tabel 3: Sebutan dan sapaan ego yang ideal pada keluarga luas ……. 55
Tabel 4: Sebutan dan sapaan ego yang berubah pada keluarga luas …. 56
Tabel 5: Sebutan dan sapaan ego yang ideal pada kelompok
Kahanggi ………... 59
Tabel 6: Sebutan dan sapaan ego yang berubah pada kelompok
Kahanggi ……….. 60
Tabel 7: Sebutan dan sapaan ego yang ideal pada kelompok
Anak boru ……… 62
Tabel 8: Sebutan dan sapaan ego yang berubah pada kelompok
Anak boru ……….... 63
Tabel 9: Sebutan dan sapaan ego yang ideal pada kelompok Mora … 65
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1: Monumen Guru Patimpus………. .. 24
Gambar 2: Peta Kota Medan ………. 38
ABSTRAK
Setiap etnis mengenal istilah dan adat sopan santun kekerabatan yang berbeda-beda yang digunakan untuk mengelompokkan, menyebut dan memanggil anggota kerabatnya. Perbedaan ini berhubungan erat dengan berbedanya peranan, dan kedudukan masing-masing anggota kerabat dalam kelompok kekerabatan. Hal ini dikenal dengan partuturon yang menjelaskan tentang istilah, sebutan dan sapaan, nilai budaya dan aturan-aturan adat yang terkait dengan adat sopan santun sistem kekerabatan serta perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dalam berintraksi dengan para kerabat dikenal berbagai aturan dan nilai agar seseorang anggota kerabat dikategorikan beradat. Aturan dan nilai tersebut menjadi pengetahuan umum dan dijadikan sebagai pola atau patron dalam berintraksi. Akibatnya ada intraksi yang harus bersikap sopan, hati-hati, akrab, sungkan dan tidak sungkan (akrab, bebas). Dengan kata lain dalam kekerabatan dan hubungannya dengan istilah yang digunakan ada aturan atau adat sopan santun yang harus di turuti. Fokus penelitian ini adalah ntuk mendeskripsikan perubahan partuturon Mandailing dengan membandingkan partuturon yang ideal sesuai adat Mandailing. pengumpulan data dilakukan dengan observasi (pengamatan) dan wawancara. Peneliti mengamati perubahan partuturon dan bagaimana implementasi
partuturon terhadap sikap dan tingkah lakuHasil penelitian menunjukkan perubahan partuturon pada masyarakat Mandailing, yang menyebabkan perubahan sikap dan tingkah
laku serta tanggung jawab dalam hubungan kekerabatan. Secara sederhana perubahan
partuturon dapat digambarkan melalui sebutan amang (ayah) berubah menjadi bapak, partuturon bapak ini dalam adat mandailing sudah bukan di tujukan kepada ayah melainkan
kepada anak saudara ayah sehingga melalui tutur yang berubah i tanggung jawab dan peran pun akan turut berubah. Perubahan partuturon ini juga membentuk perubahan pada pola aturan pernikahan. Terjadinya penyimpangan aturan pernikahan sehinnga terjadi pernikahan semarga, yang membuat tutur yang seharusnya berubah kea rah tutur yang disesuaikan dengan hubungan pernikahan, hal seperti ini disebut rompak tutur.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Indonesia terdiri dari beragam etnis, seperti etnis Jawa, etnis Melayu, etnis Batak,
etnis Minang serta etnis Mandailing. Setiap etnis ini memiliki budaya dan sistem kekerabatan
yang berbeda-beda. Setiap etnis yang terdapat di Indonesia memiliki sistem kekerabatan yang
berbeda. Pada dasarnya kekerabatan terbentuk melalui hubungan genetik atau darah.
Kekerabatan akan membentuk lahirnya garis keturunan, seperti penarikan garis keturunan
secara patrilineal artinya hubungan kekerabatan diperhitungkan menurut garis ayah, garis
keturunan bersifat matrilineal dimana hubungan kekerabatan diperhitungkan menurut garis
ibu. Disamping itu, terdapat juga hubungan kekerabatan yang bersifat bilateral dimana
hubungan kekerabatan diperhitungkan menurut garis ayah maupun menurut garis ibu.
Kekerabatan juga akan membentuk lahirnya sistem istilah kekerabatan, di mana di
dalam masyarakat terdapat istilah-istilah yang berbeda-beda. Istilah dapat dijadikan sebagai
penentu sopan santun diantara sesama kerabat. Dalam istilah kekerabatan terdapat istilah
menyapa (term of address) dan istilah menyebut (term of refrence). Istilah menyapa dipakai
ego untuk memanggil seseorang kerabat apabila ia berhadapan dengan kerabat dalam
pembicaraan langsung. Sebaliknya istilah menyebut dipakai ego apabila ia berhadapan
langsung dengan orang lain ketika berbicara tentang seorang kerabat sebagai orang ketiga.
Istilah kekerabatan juga dapat diklasifikasikan ke dalam Istilah Denotatif; istilah
Designatif; dan istilah Klasifikatori. Istilah Denotatif merupakan istilah yang hanya
istilah denotatif, karena kecuali satu orang kerabat si ayah itu tidak ada lagi disebutkan
terhadap kerabat yang lain yang disebut dengan istilah itu. Istilah Designatif adalah istilah
yang menunjukkan ke satu tipe kerabat/ lebih dari satu orang kerabat, yang semuanya berada
dalam satu macam hubungan terhadap ego. Istilah sons dalam bahasa Inggris misalnya
menunjukkan kelebih satu orang kerabat ego ( apabila ego mempunyai lebih dari satu orang
laki-laki,tetapi semua sons dari ego itu berada dalam satu macam hubungan kekerabatan
terhadap ego. Istilah Klasifikatoris adalah istilah yang mengklasifikasikan ke dalam lebih dari
satu orang kerabat. Misalnya istilah saudara dalam bahasa Indonesia adalah suatu istilah
klasifikatoris, karena dalam istilah itu diklasifikasikan lebih dari satu orang kerabat seperti
saudara - saudara sekandung laki- laki dari ego yang lebih tua, saudara-saudara sekandung
perempuan dari ego yang lebih tua, saudara-saudara sekandung laki-laki dari ego yang lebih
muda, dan saudara-saudara sekandung perempuan dari ego yang lebih muda dan sebagainya.
(Koentjaraningrat: 1972: 143 ).
Istilah kekerabatan melahirkan adat sopan santun yang menentukan bagaimana orang
seharusnya bersikap terhadap kerabat dan bagaimana hak dan kewajiban untuk bersikap
hormat dan menyayangi di antara sesama kerabat. Adat sopan santun pergaulan dalam
masyarakat pada umumnya memiliki ketentuan bersikap, dimana ada ketentuan adat terhadap
kerabat-kerabat dapat kita perlakukan dengan sikap bebas. Ada ketentuan kepada siapa kita
harus bersikap sangat hormat, yang menyebabkan adanya pantangan-pantangan memandang
muka atau berbicara langsung. Hal ini yang menyebabkan lahirnya ketentuan adat untuk
bersikap sungkan, sikap bergurau serta sikap bergaul pada setiap etnis, begitu juga dengan
etnis Mandailing yang tergolong memiliki adat yang cukup kuat.
Etinis Mandailing adalah salah satu dari sekian ratus etnis asli Indonesia. Dari zaman
Mandailing menamakan wilayah etnisnya itu Tano Rura Mandailing yang artinya ialah
Tanah Lembah Mandailing. Namanya yang populer sekarang ialah Mandailing, sama dengan
nama suku bangsa yang mendiaminya. Berdasarkankan tradisi masa lalu, wilayah etnis
Mandailing terdiri dari dua bagian, yang masing-masing dinamai Mandailing Godang
(Mandailing Besar), berada di bagian utara dan Mandailing Julu (Mandailing Hulu), berada
di bagian selatan dan berbatasan dengan daerah Provinsi Sumatera Barat.
Marga atau klen etnis Mandailing adalah Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti,
Batubara, Daulay, Matondang, Parinduri, Hasibuan, dan lainnya. Marga tersebut diperoleh
berdasarkan garis keturunan langsung dari pihak ayah (Patrilineal) sehingga marga yang
diperoleh berdasarkan pemberian tidak berfungsi atau bermakna apapun
Masyarakat Mandailing memiliki sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu yang terdiri
dari :
a. Kahanggi, yaitu golongan yang merupakan teman semarga.
b. Anak Boru, yaitu golongan yang diberi boru ( perempuan )
c. Mora, yaitu pihak yang memberi boru ( perempuan )
Kelompok-kelompok kekerabatan yang mewakili peran terhadap partuturon biasanya
berbentuk luas antara lain sebagai berikut jika ego yang ditentukan adalah Ayah :
Kahanggi
Kahanggi merupakan golongan teman semarga yang terdiri dari: adik atau abang
kandung (sebapak), adik atau abang kandung (seibu), adik atau abang dari sepupu, saudara
kandung ayah. Kesemua kelompok Kahanggi ini antara lain kelompok saudara sekandung,
Mora
Mora merupakan pihak yang memberi boru atau perempuan yang terdiri dari: Ibu
mertua dari perempuan, abang atau adik dari ibu, abang atau adi sepupu ibu, paman ibu,
paman dari keluarga sepupu nenek, mora dari kelompok marga ibu.
Anak Boru
Anak boru merupakan gologan yang diberi boru yang terdiri dari: bapak atau ibu
mertua dari anak, adik atau kakak dari mertua anak, adik atau kakak permpuan bapak, paman
dari suami adik atau kakak. (Said, 2009)
Kekerabatan yang terbentuk melalui marga, perkawinan serta hubungan darah akan
melahirkan istilah-istilah partuturon. Partuturon adalah berisi aturan hubungan antar
perorangan atau unsur dalam dalihan na tolu (etika bertutur), dimana tutur menjadi perekat
bagi hubungan kekerabatan. Partuturon dapat mengatur sistem dan ketentuan kekerabatan
sebagai berikut:
a. Partuturon mengatur dan menentukan bagaimana seseorang bersikap berbicara
terhadap orang lain begitu juga sebaliknya.
b. Partuturon akan menunjukkan sejauh mana hubungan seseorang dengan orang lain
berdasarkan hubungan darah, hubungan kekerabatan, atau hubungan perkawinan.
c. Partuturon merupakan penentu etika, sikap dan tingkah laku. (Pandapotan, 2005)
“ Jolo tinitip sanggar, Asa binahen huru-huruan,
Jolo sinungkun marga, Asa binoto partuturon”
Pantun tersebut berarti :
Pinpin dipotong rata
Dijadikan sebagai sanggar burung Ditanya dulu marga
Agar diketahui kekerabatan.
Pantun di atas mengingatkan orang untuk martutur agar tidak terjadi komunikasi satu
sama lainnya dengan saling menyebut nama karena terasa kurang etis atau kurang sopan.
Oleh karena itu dalam berkomunikasi tutur dipergunakan. Partuturon dimulai dari
keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum berumah tangga.
Dalam kontek Mandailing disebut Sabagas. Keluarga initi atau sabagas ini dapat
digambarkan sebagai berikut:
Bagai 1
Keluarga Inti
Keterangan:
Laki-laki
Perempuan
Bagian 1 di atas menggambarkan seorang laki-laki ( ego ) dengan orang tuanya
serta seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuanya. Contoh sebutan dan sapaan
yang berubah dalam keluarga inti tergambar pada tabel 1 berikut.
sebutan Mandailing yang
Inang Umak, Omak, Mamak, Ibu,
Mama, Mami
Ibu ego
Umak ni sianu, Umak Dek, Mama, Panggil nama Istri ego
Ayah ni sianu, Ayah
ucok/butet,
Ayah, Papa, Abang Suami
Angkang Bang, Panggil nama Abang ego
Anggi Dedek, Adek, Panggil nama Adik ego
Berdasarkan tabel sapaan Mandailing di atas, menunjukkan bahwa seiring berjalannya
waktu partuturon cendrung berubah dalam kekerabatan pada sebagian kelompok masyarakat
Mandailing, terlebih pada masyarakat yang melakukan migrasi khususnya ke kota Medan.
Masyarakat Mandailing mencoba menyesuaikan diri dengan etnis lain dan membentuk suatu
hubungan sosial. Pengaruh lingkungan ini yang terkadang menjadi pemicu berubahnya garis
kekerabatan sehingga Partuturon juga ikut berubah. Dampak dari perubahan Partuturon
karena setiap tutur berubah maka hubungan kekerabatan juga turut berubah. memberikan
pengaruh terhadap sikap, dan tanggung jawab diantara sesama kerabatnya.
Berdasakan hasil pengamatan sementara saya di lapangan berubahnya partuturon ini
dapat saya gambarkan melalui pernikahan semarga. Terjadinya pernikahan semarga di
kalangan masyarakat migrasi Mandailing, dipicu oleh berubahnya partuturon sehingga mana
kerabat yang boleh dinikahi dan yang tidak boleh dinikahi sudah tidak dapat dibedakan.
Kasus lain yang saya jumpai di lapangan yang memperkuat argumen sementara saya bahwa
partuturon di kalangan migransi Mandailing berubah adalah kasus keluarga Mandailing yang
melakukan pernikahan semarga.
Faktor lain terjadinya perubahan Partuturon disebabkan oleh perkawinan campur.
Perkawinan etnis Mandailing dengan Etnis Jawa misalnya. Keluarga ini justru lebih sering
atau bahkan lebih memahami budaya dan Partuturon Jawa karena lebih dominan
menggunaan tutur Jawa di kesehariannya. Kepada pihak ayah pun yang berasal dari etnis
Mandailing justru .menggunakan tutur sesuai ketentuan tutur Jawa. Hal ini yang membuat
Partuturon Mandailing berubah, bahkan apabila secara terus menerus dibiarkan maka tutur
Mandailing bisa hilang dari masyarakat Mandailing di kota Medan.
Berdasarkan uraian di atas Maka saya merasa Partuturon perlu untuk diteliti.
Partuturon bukan hanya istilah dalam berkomunikasi melainkan penunjuk hubungan
kekerabatan dan penentu sikap serta tanggung jawab diantara sesama kerabat. Partuturon
merupakan suatu jembatan perekat kekerabatan diantara sesama kerabat. Melalui Partuturon
hubungan kekerabatan juga tidak akan pernah hilang. Oleh karena itu untuk tetap menjaga
partuturon Mandailing dan untuk memperbaiki partuturon yang sudah berubah hal ini perlu
untuk diteliti agar menimbulkan kesadaran moral masyarakar Mandailing yang ada di kota
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan perumusan masalah dalam
penelitian ini adalah Partuturon dan perubahan yang terjadi pada masyarakat Mandailing di
kota Medan. Permasalahan tersebut dirinci dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:
A. Bagaimana Partututron yang ideal dalam budaya Mandailing?
B. Bagaimana implementasi Partuturon pada masyarakat Mandailing di kota Medan?
C. Bagaimana perubahan Partuturon pada masyarakat Mandailing serta konsekuensinya
terhadap perubahan status dan peran?
1.3. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di kota Medan, dengan lokasi yang dianggap
merefresentasikan etnis Mandailing di kota Medan. Adapun lokasi tersebut meliputu 1.
Kawasan Seimati, 2. Kawasan Bandar Selamat, 3. Kawasan Simpang Limun, 4. Kawasan Sei
Agul, 5. Kawasan Medan Tembung. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan dengan
didasarkan atas :
Kota Medan merupakan.
1. Pusat pemerintahan Propinsi Sumatera Utara, sehingga kota Medan adalah bentuk
kota modern yang di huni oleh berbagai masyarakat dalam hal ini yang menjadi fokus
adalah masyarakat Mandailing.
3. Kawasan Bandar selamat dan Simpang Limun merupakan daerah pusat transportasi
antar daerah di kota Medan yang didiami oleh masyarakat Mandailing. Dimana pada
kawasan Bandar Selamat penelitian ini di lakukan di , Jl. Letjen Sudjono kec. Medan
Tembung . Sedangkan pada kawasan Simpang Limun di , Jl. M. Baasir, kel.
Pangkalan Mashuar
4. Kawasan Sei Mati secara historis kawasan ini merupakan kawasan yang didiami oleh
masyarakat Mandailing pada saat kesultanan Deli berkuasa. Tepatnya penelitian di
kawasan ini dilakukan di Jl. Brigjen Katamso, Kel. Sei Mati, Kec. Medan Maimun.
5. Kawasan Medan Tembung, pada kawasan ini dominan di huni oleh etnis Mandailing.
Sehingga penelitian tepatnya di lakukan di Kawasan Medan Tembung, kompleks
perumahan Indah Berlian Tembung blok V, kec. Percut Sei Tuan kab. Deli Serdang
6. Kawasan Sei Agul, merupakan kawasan alternative yang juga banyak didiami oleh
etnis Mandailing. Penelitian pada kawasan ini di lakukan di , Jl. Karya Setuju Ling.
XVII, kel. Karang Berombak, kec. Medan Barat
Masih terbuka kemungkinan munculnya lokasi lain dalam penelitian ini nantinya. Hal
ini dikarenakan adanya lokasi-lokasi lain yang dapat dianggap sebagai suatu lokasi yang
mewakili beberapa etnik Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan.
1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan penetapan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini
adalah:
1. Untuk mengetahui partuturon yang ideal pada masyarakat Mandailing
2. Untuk mengetahui sejauh mana implementasi partuturon pada masyarakat
3. Untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan berubahnya partuturon etnis
Mandailing dan pengaruhnya terhadap status dan peran dalam hubungan kekerabatan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan Masyarakat Mandailing
tentang Istilah partuturon hak dan kewajiban yang terkandung di setiap partuturon tersebut.
Menjadi kesadaran moral juga bagi para migransi Mandailing bagaiman bersikap atau
berintraksi dengan sesama kerabatnya. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberi
kontribusi bagi para masyarakat Mandailing di Medan tentang istilah partuturon .
1.5. Kajian Pustaka
Bachofen dalam Koentjaraningrat, 2007: 38, menyatakan bahwa di seluruh dunia
keluarga manusia berkembang melalui empat tingkat evolusi. Pertama manusia dalam
keadaan promoskuitas, dimana manusia hidup serupa sekawanan binatang . laki-laki dengan
wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunan tanpa ikatan. Dalam hal ini
keluarga inti belum ada. Namun lambat laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu
dengan anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat, karena
anak-anak hanya mengenal ibunya tetapi tidak mengenal ayahnya. Dalam kelompok-kelompok
keluarga seperti ini, ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dengan anak
laki-laki dihindari, dan dengan demikian timbul adat eksogami.
Kelompok-kelompok keluarga ibu tadi menjadi luas karena garis keturunan
diperhitungkan menurut garis ibu ( Matriarchate ) ini merupakan tingkatan kedua dalam
proses perkembangan manusia. Pada tingkat perkembangan manusia yang ketiga terjadi
karena pria tidak puas dengan keadaan tersebut, sehingga para pria mengambil calon istri
Dengan demikian keturunan yang dilahirkan juga tetap tinggal dalam kelompok pria. Timbul
kelompok keluarga dimana ayah sebagai kepala keluarga yang disebut Patriarchate.
Dalam tingkat terahir terjadi perubahan yaitu exsogami berubah menjadi endogami .
endogami atau perkawinan di dalam batas-batas kelompok menyebabkan bahwa anak-anak
demikian patriarchate lambat laun hilang, dan berbah menjadi suatu susunan kekerabatan
yang oleh Bachofen disebut susunan Parental.
Freeman dalam Ihromi, 1994: 116, menyatakan keluarga luas merupakan kelompok
kekerabatan yang terdiri labih dari satu keluarga inti., dimana seluruhnya merupakan satu
kesatuan sosial yang erat dan biasanya hidup bersama pada satu tempat atau satu pekarangan.
Diman keluarga luas ini terdiri dari tiga yaitu pertama keluarga luas udrolokal, terdiri dari
satu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batih anak laki-laki maupun perempuan.
Yang kedua keluarga luas virilokal, terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga inti dari
anak laki-laki. Dan yang terahir keluarga luas uxorilokal, terdiri dari satu keluarga inti senior
dengan keluarga-keluarga batih dari anak-anak perempuan. Keluarga ambilineal kecil,
merupakan kelompok kekerabatan yang terjadi bila suatu keluarga luas mendapat suatu
kepribadian yang disadari oleh para warganya, tidak selama mereka hidup tetapi yang
dinggap ada sejak dua-tiga tingkatan dalam waktu yang lama. Nenek moyang yang
menurunkan kelompok, malahan sering masih hidup sebagai warga senior dari kelompok,
dan masih saling kenal dan tahu akan hubungan kekerabatannya (Ihromi, 1994: 116).
Menurut Keesing garis keturunan adalah suatu kelompok keturunan yang terdiri dari
orang-orang yang secara parilineal atau matrilineal adalah keturunan dari leluhur yang sama.
Kerabat perkawinan yang memiliki ketentuan yang mengharuskan perkawinan di luar suatu
kelompok atau kategori perkawinan diantara sesama mereka tidak diperkenankan ( Keesing,
Schneider dalam Ihromi,1981:111, berpendapat bahwa sistem simbolik berkaitan
secara tidak langsung dengan seks dan reproduksi, dan masyarakat lain biasanya mempunyai
konseptualisasi yang sangat berbeda mengenai lingkup kekerabatan dari hubungan yang
sama, yang berkaitan secara tidak langsung dengan hubungan yang dianggap sebagai
hubungan orang tua biologis. Bagaimana cara suatu masyarakat memandang pertalian
biologis antara yang dianggap ayah dan anak serta ibu dan anak, hubungan ini adalah
hubungan yang tidak bisa diganggu gugat karena merupakan dasar bagi ikatan kekerabatan.
(Ikhromi, 1994 : 111)
kerabat yang lain dengan dua istilah yang berbeda kalau mereka saling menyebut.
Demikian dalam bahasa Indonesia A menyebut B ( ialah istilah saudara laki-laki ayahnya )
dengan istilah paman, sebaliknya B menyebut A ( istilah anak saudara laki-lakinya ) dengan
istilah lain, ialah kemenakan. Kalau dua orang kerabat termasuk satu tipe kerabat, tentu
prinsip ini tidak terpakai, dan kedua orang itu akan saling sebut-menyebut dengan istilah
yang sama (Koentjaraningrat, 1972: 62).
Murdock dalam Koentjaraningrat, juga membagi istilah kekerabatan kedalam beberapa tipe,
diantaranya adalah :
1. Tipe Hawai ( tipe generation ), dimana semua istilah saudara sepupu berbeda dengan
istilah yang mengacu semua saudara sekandung.
2. Tipe Eskimo, ( tipe lineal ), dimana istilah yang mengacu semua saudara sepupu
berbeda dengan istilah yang mengacu semua saudara sekandung.
3. Tipe Iroquois ( tipe bifurcate merging ), dimana istilah yang mengacu semua saudara
sepupu sejajar sama, kecuali istilah yang mengacu semua saudara sepupu melintang,
4. Tipe Sudan, ( bifurcate-collateral ), dimana istilah yang mengacu semua saudara
sepupu sejajar berbeda dengan istilah yang mengacu semua saudara sepupu melintang
maupun dengan istilah yang mengacu ke semua istilah untuk saudara sekandung.
5. Tipe Omaha, dimana istilah yang mengacu ke semua saudara sepupu sejajar sama
dengan istilah yang mengacu semua saudara sekandung, dan dimana istilah yang
mengacu semua saudara sepupu melintang patrilateral berbeda dengan istilah
mengacu semua saudara.
6. Tipe Crow, dimana istilah yang mengacu semua saudara sepupu sejajar sama dengan
istilah yang mengacu semua sadara sekandung. Dan dimana istilah yang mengacu
semua saudara sepupu melintang Matrilineal berbeda dengan istilah yang mengacu
semua saudara sepupu (Koentjaraningrat, 1990: 62) kerabat karena keturunan
(Geneologis Khainship ),maupun kerabat karena perkawinan (Affinal Khinship)
(Berutu, 2006: 21)
Kekerabatan adalah unit-unit
hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak,
menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Ada beberapa macam
kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti
kelompok kekerabatan lain seperti
Istilah kekerabatan (kinship) mengandung pengertian sebuah jaringan hubungan
kompleks berdasarkan hubungan darah atau perkawinan. Berdasarkan hubungan darah dapat
diambil pengertian bahwa seseorang dinyatakan sebagai kerabat bila memiliki pertalian atau
ikatan darah dengan seseorang lainnya. Contoh kongkrit dari hubungan berdasarkan pertalian
karena perkawinan, yakni seseorang menjadi kerabat bagi yang lain atas ikatan perkawinan
yang dilakukan oleh saudaranya. Contoh kongkrit dari hubungan atas perkawinan misalnya
kakak atau adik ipar, bibi yang dinikahi oleh adik ibu.
Mayor Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan atau masyarakat dapat
dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan.
Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga ynag memiliki
hubungan darah atau hubungan perkawinan . anggota kekerabatan terdiri dari ayah, ibu, anak,
menantu, mertua, cucu, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya
(http://r4gsblog.blogspot.com diakses /2010/07).
Hamzah, menyebutkan : Hukum adat bukanlah peraturan hukum yang tidak berubah,
yang diam-diam saja. Akan tetapi hukum adat itu berubah karena dipengaruhi oleh pengaruh
dari dalam dan luar karena keadaan sosial juga berubah. Kelakuan-kelakuan manusia dalam
masyarakat berubah juga yang mengakibatkan perubahan dalam hukum adat (Hamzah,1960:
16).
Keberagaman budaya dan rasa sosial yang menuntut setiap masyarakat harus mampu
menyesuaikan diri dengan lingkungan, hal inilah yang terjadi pada masayarakat mandailing.
Mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya bahkan tanpa disadari
proses penyesuaian diri ini lambat laun membuat perubahan pada budayanya bahkan
melupakan nilai budayanya sendiri.
Prins dalam Surojo, 1971: 339 bukunya Adat en Islamitische Plichtenleer in
Indonesia menyebutkan bahwa Proses penyesuaian dengan dunia modern ini menjumpai
suatu problema yang sangat memperlambat jalannya proses, yaitu proses individualisasi
Kesing menyatakan bahwa kekerabatan berperan sebagai model dasar dalam
hubungan dengan orang lain. Kewajiban antara kerabat dipandang sebagai ikatan moral,
dimana suatu kelompok keluarga batih yang di dasarkan pada ikatan pasangan, incest
dihindarkan, dan pemilikan pangan bersama. Kewajiban kekerabatan melambangkan kolektif
sebagai kebalikan dari individu, kewajiban sosial bukannya memuaskan diri sendiri. Hal-hal
tersebut melambangkan budaya sebagai kontras dari biologis atas dasar warisan tradisional.
( Keesing, 1989: 211.)
Jaringan Ikatan Kekerabatan
Atau = ikatan perkawinan
Hubungan orang tua dengan anak
( disini ayah dengan anak perempuan )
Konvensi Antropologi dalam Melukiskan Hubnugan Kekerabatan
A B C D E F G H I J
K L M N O P
Q R S T V Y W Z z.1
Pendapat Scheneider ini dijadikan sebagai gambaran hubungan kekerabatn yang terbentuk
melalui hubungan darah yang melahirkan kerabat yang luas dengan acuan ego “M” (Ihromi,
1972: 214).
Tata Interaksi di Lingkungan Keluarga menurut Izarwisma 1989 sebagai berikut:
Tata Interaksi dalam Keluga Inti :
# Interaksi antara Suami dan Istri.
# Interaksi antara suami dengan anak laki-laki
#Pergaulan antara suami dengan anak perempuan.
# Inetraksi antara istri dengan anak laki- laki.
# Interaksi antara istri dengan anak perempuan.
# Interaksi antara anak laki-laki dengan anak laki-laki.
# Interaksi antara anak laki-laki dengan anak perempuan.
# Interaksi antara anak perempuan dengan anak perempuan.
Tata Interaksi Di Luar Keluarga Inti
# Interaksi anak dengan kerabat ayah:
• Interaksi antara anak dengan saudara-saudara ayah.
• Interaksi antara anak dengan saudara-saudara orangtua ayah.
• Interaksi anak dengan saudara tiri ayah.
# Interaksi anak dengan kerabat ibu:
1. Interaksi antara anak dengan saudara-saudara ibu
2. Interaksi antara anak dengan saudara-saudara orangtua ibu.
3. Interaksi antara anak dengan saudara tiri ibu.
# Interaksi anak dengan saudara-saudara:
1. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara ayah.
2. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara tiri ayah.
3. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara orang tua ayah.
4. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara ibu.
5. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara tiri ibu.
6. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara orangtua ibu.
Berdasarkan pendapat Izarwisma dapat dijadikan sebagai gambaran hubungan
kekerabatan serta ketentuan-ketentuan tata kelakuan berinteraksi dalam sisitem kekerabatan
di antara sesama kerabat . (Izarwisma,1989:56-89)
1.6. Metode Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.
yang bersifat factual secara sistematis dan akurat. Penelitian deskiptif dapat pula diartikan
sebagai penelitian yang dimaksudkan untuk memotret fenomena individu, situasi, atau
kelompok tertentu yang terjadi secara kekinian. (Denim, 2002:41 )
1.6.1. Penentuan Informan
Informan adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku
maupun orang lain yang memahami objek penelitian. (Bungin, 2007:76).
Dalam penelitian ini peneliti membagi informan ke dalam tiga kategori yaitu:
a. Informan Pangkal
Informan pangkal adalah orang yang biasanya ditemui pertama sekali oleh si peneliti dan
dari informan pangkalnya, peneliti dapat banyak informasi mengenai siapa yang dapat
dijadikan sebagai informan kunci. Dalam hal ini yang menjadi informan pangkal penulis
adalah masyarakat Mandailing yang terdapat di lokasi yang sudah saya tentukan sebelumnya
di lima kawasan yang terdapat di kota Medan. Inporman pangkal penulis adalah Bapak
Lurah, Tokoh adat yang dalam adat Mandailing disebut parhata. Informan pangkal tersebut
menjadi petunjuk awal bagi penulis tentang penggambaran lokasi penelitian, serta menjadi
penunujuk informan-informan lainnya yang da[at dijadikan sebagai informan biasa maupun
informan kunci.
b. Informan Biasa
Informan biasa dalam penelitian ini adalah sebagian masyarakat Mandailing yang
terdapat di lima kawasan penelitian tersebut dengan menggunakan teknik snow ball. Teknik
dari informan sebelumnya. Informan biasa dalam penelitian ini adalah masyarakat
Mandailing yang sudah lama menetap di kota Medan dan juga masyarakat Mandailing yang
masih belum lama menetap di kota Medan. Hal ini dilakukan pada tahap awal untuk
mengetahui perbandingan perubahan budaya dan adat masyarakat Mandailing jika
diperhatikan dari lama waktu menetap di kota Medan. Informan biasa dalam penelitian ini
berjumlah 8 orang, diantaranya adalah Bapak Khoiruddin dan Ibu Sakiah yang merupakan
masyarakat Mandailing yang sudah lama menetap di kota Medan. Bapak Abdul Kholid dan
Ibu Sulastri, Bapak Rido dan Ibu Patimah . Informan selanjutnya adalah Ibu Saodah dan
Reni. Informan tersebut penulis jadikan sebagai informan selanjutnya yang bertujuan untuk
mengumpulkan data yang lebih mendalam tentang masalah penelitian.
c. Informan Kunci
Dalam penelitian ini peneliti membuat suatu pengkategorian siapa yang menjadi
informan kunci dengan melalui beberapa pertimbangan diantaranya :
a. Etnis Mandailing yang melakukan pernikahan dengan etnis Mandailing, hal ini
bertujuan untuk menentukan partuturan yang ideal. Untuk memperoleh informasi tentang
partuturon yang ideal dilakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan yang
yang melakukan pernikahan dengan etnis yang sama. diantaranya 3 pasangan yang sudah
lama menetap dikota Medan dan 2 pasangan yang belum lama menetap di kota Medan,
diantaranya Bapak Ali dan Ibu Eka, pasangan Bapak Sawal dan Ibu Hotimah, Bapak Sawal
dan Ibu Rukiah. Bapak ilham dan Ibu Mutiah.
b. Etnis Mandailing yang melakukan pernikahan dengan etnis lain, yang bertujuan untuk
melihat seperti apa tutur yang dipakai oleh keluarga yang dibangun atas dasar dua budaya
yang berbeda. Dalam hal ini penelitian ini dilakukan dengan memilih beberapa informan
pernikahan antara etnis Mandailing dengan etnis Jawa, pernikahan etnis Mandailing dengan
etnis Minang, pernikahan etnis Mandailing dengan etnis Aceh, yaitu Bapak Abdul dan ibu
Halimah, Bapak Sapii dan Ibu Lianti, pasangan Bapak Darwin dan Ibu Ningsih.
c. Etnis Mandailing yang melakukan pernikahan semarga, hal ini bertujuan untuk melihat
apakah faktor partuturon mempengaruhi terjadinya hubungan semarga di kalangan
masyarakat Mandailing di kota Medan. Informan yang dipilih adalah etnis Mandailing yang
melakukan pernikahan semarga, diantaranya pernikahan marga Nasution dengan Nasution,
pernikahan Marga Lubis dengan marga Lubis, pernikahan marga Rangkuti dengan Rangkuti.
Informan tersebut adalah Bapak Hasan Nasution dan Ibu Laila Nasution, Bapak Burhan
Pulungan dan Ibu salmah Pulungan, Bapak Najamuddin Lubis dengan Ibu Minawati Lubus,
Bapak Aswar Rangkuti dan Ibu Yusnita Rangkuti.
d. Tokoh Masayarakat Mandailing, hal ini bertujuan untuk peneliti agar lebih menambah
pengetahuan tentang adat partuturon Mandailing yang ideal, sehingga mempermudah
peneliti untuk membedakan mana tutur yang ideal dan mana tutur yang berubah. Informan
yang dipilih adalah informan yang menjadi parhata adat dan sekaligus menjadi pinpinan
dalam organisasi perkumpulan marga Nasution. Bapak Sutan nasaruddin sakti Lubis (Petua
adat), Bapak Kholid Nasution (Petua adat),Bapak Arman Nasutian (anggota organisasi
perkumpulan marga Nasution).
1.6.2. Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan agar data yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan
penelitian. Sehingga penelitian ini kebenaran datanya dapat dijamin. Adapun teknik
pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :
1. Observasi partisipasi adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek
pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktifitas
kehidupan objek pengamatan. Dengan demikian pengamatan betul-betul menyelami
kehidupan objek pengamatan dan bahkan tidak jarang pengamatan kemudian mengambil
bagian dalam kehidupan budaya mereka (Bungin, 2007:161).
Observasi partisipasi dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan dan
melakukan observasi langsung dengan masyarkat yang bersangkutan. Observasi ini dilakukan
untuk mengetahui keberadaan masyarakat Mandailing di lokasi penelitian tersebut, dan
tatanan sosial budaya dan adat yang berlaku dilingkungan masyarakat Mandailing. observasi
partisipasi ini penulis gunakan untuk melakukan pendekatan awal dengan objek pengamatan.
Penulis mengamati bagaimana perubahan partuturon pada masyarakat Mandailing dan tutur
seperti apa yang dipergunakan, penulis mengamati perubahan sikap dan tanggung jawab pada
masyarakat Mandailing, serta mengamati perubahan pola pelaksanaan pesta pernikahan
masyarakat Mandailing. peneliti mengamati inplementasi perubahan partuturon terhadap
sikap dan tingkah laku serta tanggungjawab dalam hubungan kekerabatan masyarakat
Mandailing di kota Medan.
2. Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian
dengan Tanya jawab sampai bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang
yang di wawancarai, dengan atau tanpa pedoman ( guide ) wawancara. Dimana pewawancara
dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama. Dengan demikian ke khasan
wawancara mendalam adalah keterlibatan pewawancara dalam kehidupan informan (Bungin,
2007:108).
Wawancara mendalam ini dilakukan dengan menentukan informan kunci yang
tidak tahu sebelumnya dapat dikorek melalui pikiran dan kenyataan yang sebenarnya terjadi
dilapangan. Melalui wawancara peneliti memperoleh data yang menyangkut permasalahan
dalam penelitian ini. Peneliti memperoleh perubahan partuturon seperti apa yang terjadi, dan
apa yang melatar belakangi terjadinya perubahan partuturon, peneliti juga mengetahui
perubahan adat dan budaya Mandailing dalam pelaksanaan pesta pernikahan. Peneliti
memeperoleh data tentang inplementasi partuturon yang berubah terhadap sikap yang turut
berubah pada masyarakat Mandailing di kota Medan.
b. Data Sekunder, dapat diperoleh melalui:
Studi kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan berbagai
literatur seperti, buku, majalah, jurnal, laporan penelitian dan lain-lain
c. Dokumentasi.
Dokumentasi merupakan salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam
metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode dokumentasi adalah metode yang
digunakan untuk menelusuru data histori. (Bungin, 2007:121)
d. Metode penelusuran Data Online
Perkembangan internet yang semakin maju pesat serta telah mampu menjawab berbagai
kebutuhan masyarakat. Para akademis juga menjadikan internet sebagai salah satu medium
atau ranah yang sangat bermanfaat bagi penelusuran berbagai informasi, mulai dari
informasi teoritis maupun data-data primer atau sekunder yang diinginkan oleh peneliti
1.6.3. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan proses pengkajian hasil wawancara, pengamatan dan
dokumen yang terkumpul. Proses analisis data dilakukan terus – menerus, baik di lapangan
maupun setelah pengumpulan data. Analisis dilakukan dengan cara mengatur, mengurutkan,
mengelompokkan dan mengkategorikan data. Setelah itu, kemudian dihubungkan antar
kategori yang ada dan di interpretasikan. Dalam penelitian ini unit analisa data adalah
individu dan kelompok. Dimana individu di tujukan kepada Tokoh adat yang dianggap
mengetahui adat Partuturon Mandailing, sedangkan kelompok dikategorikan kepada Mora,
Kahanggi, Anak boru yang dianggap mewakili anggota kerabat dari berbagai pihak
BAB II
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN
2.1. Sejarah Kota Medan
Kehadiran kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses perjalanan yang
panjang dan kompleks, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya daerah yang dinamakan
sebagai “ Medan ” ini menuju pada bentuk kota metropolitan. Hari lahir kota Medan adalah 1
Juli 1590, sampai saat ini usia kota Medan telah mencapai 422 Tahun.
Keberadaan kota Medan saat ini tidak lepas dari historis yang panjang, dimulai dari
dibangunnya kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, kota Medan
berkembang semenjak Guru Patimbus membangun kampung tersebut, Guru Patimbus adalah
seorang putra Karo bermarga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang puteri Datuk Pulo
Brayan. Dalam bahasa Karo kata Guru berarti “ Tabib “ atau “ Orang Pintar “, kemudian kata
“ Pa “ merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang,
sedangkan kata “Timpus” berarti bundelan., bungkus atau balut. Dengan demikian, maka
nama Guru Patimpus bermakna sebagai seorang tabib yang memiliki kebiasaan membungkus
sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya.
(http//id.wikipedia.org/wiki/Medan diakses pada 23/ Januari/ 2011. )
Berkembang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh
Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan kota Medan
selanjutnya ditandai dengan perpindahan Ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis
sejak awal memposisiskannya menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak
di dekat pertemuan Sungai Deli dan Batubara, serta adanya kebijakan Sultan Deli yang
mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembangannya, yang telah
mendorong berkembangnya kota Medan sebagai Pusat Perdagangan sejak masa lalu :
Gambar 1
( Sumber Dian Angraini )
Keberadaan kota Medan tidak lepas dari peran para pendatang asing yang datang ke
Medan sebagai pedagang ataupun lainnya, peranan Nienhuys sebagai pemilik modal
perkebunan tembakau yang berkawasan di daerah Marylan telah menjadi cikal-bakal
pertumbuhan Medan. Nienhuys pada proses perkembangan perkebunan tembakau telah
memindahkan pusat peragangan tembakau miliknya ke Medan Putri, yang pada saat sekarang
ini dikenal sebagai Kawasan Gaharu. Proses perpindahan ini telah dapat menciptakan
perkembangan perkembangan kota Medan seperti saat sekarang ini, sedangkan dijadikannya
Medan menjadi Ibukota dari Deli juga telah mendorong Medan berkembang menjadi pusat
pemerintahan. Sampai saat ini selain merupakan suatu wilayah kota juga sekaligus Ibukota
Sumatera Utara.
Gambaran kota Medan merupakan sekilas penjelasan mengenai keberadaan kota
Medan sebagai kawasan yang menjadi fokus lokasi penelitian ini, sebagai pusat pemerintahan
kota Medan yang memiliki 21 daerah kecamatan dan 151 daerah kelurahan
tersebut, hanya beberapa kecamatan saja yang diambil sebagai lokasi penelitian, karena
dianggap lokasi tersebut mewakili keberadaan masyarakat Mandailing beserta dengan
kelengkapan adat istiadatnya oleh karena itu daerah tersebut menjadi pusat lokasi penelitian.
2.2 Letak Lokasi dan Keadaan Alam Lokasi Penelitian
Letak lokasi penelitian berada pada wilayah administratif kotamadya Medan yang
1. Wilayah Sei Mati, Medan Maimun
2. Wilayah Mariendal ( Simpang Limun ), Medan Amplas
3. Wilayah Sei Agul, Medan Barat
4. Wilayah Bandar Selamat, Medan Tembung
5. Wilayah Pancing, Medan Tembung
Adapun ke-lima wilayah ini merupakan perwakilan dari wilayah masyarakat
Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan. Letak lokasi dan keadaan alam akan
dijelaskan terkait dengan lima wilayah tersebut.
2.2.1. Wilayah Sei Mati, Medan Maimun
Sejarah berdirinya daerah Sei Mati diawali pada zaman penjajahan Belanda, melalui
perkebunan yang dikelola oleh Belanda yang memerlukan tenaga kerja dalam perkebunannya
tersebut. Banyak pekerja yang akhirnya datang ke kota Medan, diantara para pekerja tersebut
banyak pekerja yang berasal dari daerah Mandailing.
Seiring berjalannya waktu para pekerja di perkebunan Belanda tersebut semakin
banyak dibutuhkan dan hal ini juga yang menyebabkan jumlah masyarakat Mandailing
semakin bertambah banyak di kota Medan. Pada masa itu jumlah tenaga kerja mayoritas
berasal dari etnis Mandailing yang beragama Islam. Untuk mencari perlindungan mereka
menghadap Sultan Deli, hal ini dikarenakan mereka berpendapat persamaan agama akan
membuat Sultan Deli mau membantu mereka. Usaha yang dilakukan untuk menghadap
Sultan Deli tidak sia-sia karena beliau memberikan pinjaman wilayah sebagai tempat tinggal
Pada saat sekarang ini wilayah tersebut dikenal dengan wilayah Sungai Mati di bawah
naunagan kelurahan Medan Maimun. Adapun luas kecamatan Medan Maimun adalah 2,98
km2, pada tahun 2010 kecamatan ini memiliki penduduk sebesar 48.995 jiwa. Dan kepadatan
penduduknya adalah 16. 441,28 jiwa/km ( kecamatan dalam angka 2010 )
Kecamatan Medan Maimun adalah salah satu dari 21 kecamatan yang terdapat di kota
Medan, Sumatera Utatara. Kecamatan Medan Mimun berbatasan dengan Polonia di sebelah
barat, Medan kota di timur, Medan Johor di selatan, dan Medan Petisah di Utara.
Istana peninggalan Kesultanan Deli yang terkenal adalah Istana Maimun, terletak di
kecamatan ini. Kecamatan Medan Maimun memiliki enam kelurahan, yaitu:
1. Sukaraja
2. Aur
3. Jati
4. Hamdan
5. Sei Mati
6. Kampung Baru
2.2.2. Wilayah Mariendal ( Simpang Limun ), Kecamatan Medan Amplas
Daerah Mariendal pada saat ini merupakan suatu istilah untuk menyebutkan daerah
administratif kelurahan Sitirejo. Pada dasarnya daerah ini merupakan pusat transportasi darat
di kota Medan. Daerah ini merupakan suatu tempat berkumpulnya masyarakat yang terdiri
dari berbagai etnis dan golongan, hal tersebut dimungkinkan karena daerah ini merupakan
Kecamatan Medan Amplas juga terdapat Terminal Terpadu Amplas yang merupakan
terminal keluar masuk mobil angkutan umum antar kota dan proinsi. Sebagai pusat
transportasi, terminal Amplas juga merupakan tempat pertukaran informasi. Pertukaran dan
perpidahan penduduk dari daerah lain. Proses perpindahan penduduk berdampak pada proses
migrasi masyarakat. Proses migrasi didsarkan pada kondisi kota Medan sebagai pusat
pemerintahan Sumatera Utara secara administratif. Pandangan-pandangan terhadap pusat
kota sebagai barometer pembangunan perkembangan yang tercermin dari proses migrasi
yang terjadi di kota Medan, adanya doktrin pada masyarakat yang beranggapan kota Medan
menjanjikan kehidupan yang lebih baik, sehingga hal ini yang membuat banyak para
pendatang yang melakukan migran ke kota Medan, termasuk masyarakat Mandailing.
Kecamata Medan Amplas adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota Medan,
Sumatera Utara. Kecamatan Medan Amplas berbatasan dengan Medan Johor di sebelah barat,
Kabupaten Deli Serdang di timur, Kabupaten Deli Serdang di selatan, Medan Kota dan
Medan Denai di utara.
Pada tahun 2010 kecamatan Medan Amplas memiliki penduduk sebesar 88.638 jiwa.
Luasnya adalah 11,19 km2 dan kepadatan penduduknya adalah 7. 921,8 jiwa/km. kecamatan
ini memiliki tujuh kelurahan, diantaranya sebagai berikut:
1. Amplas
2. Sitirejo
3. Sitirejo III
4. Timbang Deli
5. Harjosari
6. Harjosari II
2.2.3. Wilayah Sei Agul, Kecamatan Medan Barat
Sei Agul merupakan salah satu wilayah yang didiami oleh masyarakat Mandailing di
kota Medan, pemilihan daerah ini didasarkan sebagai daerah alternatif tempat tinggal
yang dikarenakan mayoritas pendududk masyarakat Mandailing di wilayah ini memiliki
mata pencaharian sebagai pedagang. Profesi pedagang ini pada awalnya dilakukan di
Pajak Bundaran atau sekarang ini dikenal dengan Pajak Petisah, di wilaah ini mereka
melakukan proses perdagangan dan perekonomian.
Perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat Mandailing adalah berdagang hasil-hasil
alam, seperti sayuran, buah-buahan, maupun hasil kerajinan tangan seperti kain dan
peralatan rumah tangga. Masyarakat Mandailing ini kemudian membentuk suatu tempat
yang dianggap lebih dekat dengan tempat mereka melakukan perdagangan sehingga lebih
memudahkan mereka menuju tempat perdagangan karena jarak yang tidak terlalu jauh
dengan lokasi termpat tinggal. Masyarakat Mandailing memilih tinggal di daerah Sei
Agul karena dianggap wilayah yang lebih dekat dengan lokasi perdagangan yang mereka
lakukan.
Kecamatan Medan Barat adalah salah satu dari 21 kecamatan yang terdapat di kota
Medan, Sumatera Utara. Kecamatan Medan Barat berbatasan dengan Medan Deli di sebelah
barat, Medan Petisah di timur, Medan Timur di selatan, dan Medan Helvetia di utara.
Pada tahun 2010, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 86.706 jiwa. Luasnya
Medan Barat adalah salah satu daerah jasa dan perniagaan di kota Medan. Daerah
Medan Barat terdapat sebuah bengkel khusus kreta api yang dimiliki oleh PT. Kreta Api
Indonesia Eksploitasi Sumatera Utara ( PT. KAI.ESU ).
Kecamatan ini mempunyai enam kelurahan, diantaranya :
1. Glugur Kota
2. Karang Berombak
3. Pulo Brayan Kota
4. Sei Agul
5. Silalas
6. Kawasan
2.2.4. Wilayah Bandar Selamat , Kecamatan Medan Tembung
Bandar Selamat pada perkembangannya merupakan pusat transportasi antar kota yang
terdapat di kota Medan, sama hal seperti wilayah Mariendal, kecamatan Medan Amplas.
Terbentuknya wilayah Bandar Selamat sebagai pusat Transportasi kota Medan dipengaruhi
oleh pembangunan jalan tol yang terdapat di wilayah tersebut.
Kebijakan pemerintah kota Medan yang melarang kenderaan berat melintas di dalam
kota, memunculkan pembangunan jalan tol untuk memudahkan perjalanan kenderaan berat
yang ingin melintas di kota Medan.
Pembangunan jalan tol diwilayah Bandar Selamat telah menyebabkan wilayah tersebut
menjadi lokasi perwakilan kenderaan antar kota, baik yang mengangkut barang maupun
penumpang. Lokasi-lokasi perwakilan kendraan antar kota di wilayah ini didominasi oleh
usaha kendraan yang berasal dari daerah Mandailing dan sekitarnya, hal ini kemudian
wilayah ini terdapat organisasi HIKMA ( Organisasi Keluarga Mandailing ). Organisasi ini
setidaknya menaungi masyarakat Mandailing yang terdiri dari beberapa marga, tujuan
organisasi ini adalah untuk merekatkan hubungan antara masyarakat Mandailing di kota
Medan.
2.2.5. Wilayah Pancing, Medan Tembung
Dalam penelitian ini wilayah pancing Medan Tembung juga merupakan lokasi
penelitian dikarenakan masyarakat Mandailing juga banyak mendiami wilayah ini,wilayah
Sei Agul, wilayah ini juga merupakan daerah alternatif tempat tingal. Adanya faktor jarak
dimana dalam hal ini masyarakat Mandailing yang datang ke kota Medan dengan tujuan
untuk menetap memilih jarak yang dekat dengan pusat transportasi yang menghubungkan
antara tempat tinggal di kota Medan dan perwakilan transportasi serta kampung halaman
mereka.
Kecamatan Medan Tembung adalah salah satu dari 21 kecamatan yang terdapat di kota
Medan, Sumatera Utara. Kecamatan Medan Tembung berbatasan dengan Medan Perjuangan
di sebelah barat, Kabupaten Deli Serdang di Timur, Medan Denai di selatan, dan Kbupaten
Deli Serdang di sebelah Utara. Pada tahun 2010, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar
134.113 jiwa. Luasnya adalah 7,99 km2 dan kepadatan penduduknya adalah 16.785,11
jiwa/km. kecamatan ini memiliki tujuh kelurahan diantaranya :
1. Tembung
4. Siderejo
5. Siderejo Hilir
6. Bantan
7. Bantan Timur
2.3. Geografis
Koordinat geografis kota Medan Permukaan tanahmya cendrung miring ke utara dan
berada pada ketinggian 2,5-37,5 m atas permukaan laut.
Kota Medan berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara, sedangkan di sebelah
barat , selatan dan timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Kota medan sendiri
menjadi kota induk dari beberapa kota satelit di sekitarnya seperti kota Binjai, Lubuk Pakam,
Deli Tua, dan Tebing Tinggi.
Luas kota Medan saat ini adalah 265,10 km2. sebelumnya hingga tahun 1972 Medan
hanya mempunyai luas sebesar 51,32 km2, namun kemudian diedarkan Peraturan Pemerintah
No. 22 tahun 1973 yang memperluas wilayah kota Medan dengan mengintegrasikan sebagai
wilayah Kabupaten Deli Serdang.
2.4. Visi dan Misi Kota Medan
Untuk mewujudkan pembangunan kota Medan yang lebih terarah, terencana,
menyeluruh, terpadu, realistis dan dapat dievaluasi, maka perlu dirumuskan rencana strategik
sebagai broad guide line penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan.