• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Partuturon Pada Masyarakat Mandailing Di Kota Medan (Studi Deskriptip Tentang Perubahan Paruturon Mandailing di Kota Medan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perubahan Partuturon Pada Masyarakat Mandailing Di Kota Medan (Studi Deskriptip Tentang Perubahan Paruturon Mandailing di Kota Medan)"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

PERUBAHAN PARTUTURON PADA MASYARAKAT

MANDAILING DI KOTA MEDAN

(Studi Deskriptip Tentang Perubahan Paruturon Mandailing di Kota Medan)

SKRIPSI

Diajukan Guna Memenuhi Salah Satu Syarat

Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Oleh:

DIAN ANGRAINI SIREGAR

NIM. 070905001

DEPARTEMEN ANTOPOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

HALAMAN PERSETUJUAN

Skripsi ini disetujui untuk dipertahankan oleh:

Nama : Dian Angraini Siregar

Nim : 070905001

Departemen : Antropologi

Judul : Perubahan Partuturon Pada Masyarakat Mandailing

di Kota Medan

Pembimbing Ketua Departemen

Drs. Lister Berutu, MA Dr. Fikarwin Zuska

NIP: 19600717 198703 1 005 NIP: 19621220 198903 1 005

Dekan

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universiras Sumatera Utara

Prof. Dr. Badaruddin, M. Si

(3)

PERNYATAAN

PERUBAHAN PARTUTURON PADA MASYARAKAT

MANDAILING DI KOTA MEDAN

SKRIPSI

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Apabila di kemudian hari terbukti lain atau tidak seperti yang saya nyatakan di sini, saya bersedia diproses secara hukum dan siap meninggalkan gelar kesarjanaan saya.

Medan, Mei 2011

(4)

ABSTRAK

Setiap etnis mengenal istilah dan adat sopan santun kekerabatan yang berbeda-beda yang digunakan untuk mengelompokkan, menyebut dan memanggil anggota kerabatnya. Perbedaan ini berhubungan erat dengan berbedanya peranan, dan kedudukan masing-masing anggota kerabat dalam kelompok kekerabatan. Hal ini dikenal dengan partuturon yang menjelaskan tentang istilah, sebutan dan sapaan, nilai budaya dan aturan-aturan adat yang terkait dengan adat sopan santun sistem kekerabatan serta perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dalam berintraksi dengan para kerabat dikenal berbagai aturan dan nilai agar seseorang anggota kerabat dikategorikan beradat. Aturan dan nilai tersebut menjadi pengetahuan umum dan dijadikan sebagai pola atau patron dalam berintraksi. Akibatnya ada intraksi yang harus bersikap sopan, hati-hati, akrab, sungkan dan tidak sungkan (akrab, bebas). Dengan kata lain dalam kekerabatan dan hubungannya dengan istilah yang digunakan ada aturan atau adat sopan santun yang harus di turuti. Fokus penelitian ini adalah ntuk mendeskripsikan perubahan partuturon Mandailing dengan membandingkan partuturon yang ideal sesuai adat Mandailing. pengumpulan data dilakukan dengan observasi (pengamatan) dan wawancara. Peneliti mengamati perubahan partuturon dan bagaimana implementasi

partuturon terhadap sikap dan tingkah lakuHasil penelitian menunjukkan perubahan partuturon pada masyarakat Mandailing, yang menyebabkan perubahan sikap dan tingkah

laku serta tanggung jawab dalam hubungan kekerabatan. Secara sederhana perubahan

partuturon dapat digambarkan melalui sebutan amang (ayah) berubah menjadi bapak, partuturon bapak ini dalam adat mandailing sudah bukan di tujukan kepada ayah melainkan

kepada anak saudara ayah sehingga melalui tutur yang berubah i tanggung jawab dan peran pun akan turut berubah. Perubahan partuturon ini juga membentuk perubahan pada pola aturan pernikahan. Terjadinya penyimpangan aturan pernikahan sehinnga terjadi pernikahan semarga, yang membuat tutur yang seharusnya berubah kea rah tutur yang disesuaikan dengan hubungan pernikahan, hal seperti ini disebut rompak tutur.

(5)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas berkat, kasih dan

rahmad-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Tidak lupa juga dengan segala

kerendahan hati penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang banyak membantu

dalam mendukung dan memberi semangat dalam penulisan skripsi ini.

Pada kesempatan ini, penulis juga menyampaikan terima kasih kepada berbagai pihak

Bapak Prof. Dr. Badaruddin, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,

Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Fikarwin Zuska, sebagai Ketua Departemen

Antropologi FISIP USU dan Bapak Drs. Agustrisno, MSP, sebagai sekretaris Departemen

Antropologi FISIP USU yang telah banyak membantu mulai awal perkuliahan hingga

penulisan skripsi.

Bapak Drs. Yance, M,Si sebagai dosen penasehat akademik yang telah banyak terlibat

dan membantu dari awal perkuliahan hingga penulisan skripsi. Bapak Drs. Lister Brutu, MA,

selaku dosen pembimbing penulis yang telah banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran

untuk membimbing penulis.

Seluruh staf dan pengajar di FISIP USU khususnya Kak Nur dan Kak Sofi,di

Departemen Antropologi dan seluruh guru yang telah sabar mendidik dan membimbing

penulis dari sekolah SDN no. 142603 Mandailing Natal, SLTP Negeri 1 Mandailing Natal,

serta SMA Negeri 1 Mandailing Natal. Terima kasih untuk bekal ilmu yang telah diberikan.

Seluruh masyarakat Mandailing, khususnya yang menjadi informan peneliti. Tidak lupa juga

penulis ucapkan terima kasih banyak kepada Lurah dan kepala lingkungan dan Pejabat Desa

lainnya yang telah memberikan izin melakukan kegiatan penelitian di wilayah tersebut.

(6)

Kepada keluargaku, terima kasih kepada almarhumah ibunda Jumaidah Batubara dan

ayahanda tercinta Saipul Bahri Siregar yang telah membesarkan, mendidik, melimpahi kasih

sayang dengan memberikan pendidikan sampai kejenjang perguruan tinggi. Untuk

almarhumah Ibu terimakasih telah menjadi Ibu yang paling sempurna untuk penulis dan

menjadi inspirasi bagi masa depan penulis, dan juga terimakasih yang tak terhingga kepada

ayahanda yang berjuang sendiri untuk melanjutkan pendidikan penulis. Skripsi ini penulis

persembahkan sebagai awal ucapan terimakasih atas perjuangan, dukungan dan materi yang

telah dikorbankan oleh almarhumah ibunda dan ayahanda penulis yang sangat hebat dan

mulia di mata penulis. Ayah, Ibu perjuanganku masih akan terus berlanjut, berkati

anak-Mu ini ! saya akan memberikan yang terbaik membanggakan kalian.

Terima kasih kepada saudara- saudaraku, abang ku tersayang Edi Suprianto Siregar

terimakasih atas dukungan dan nasehat-nasehat yang membangun adikmu menjadi lebih

bijaksana dan dewasa, Kakak handa Epa pitriani Siregar terima kasih atas dukungan dan

bantuan untuk selalu mengirimkan uang kuliah tepat waktu, dan terimakasih Kepada Kakak

handa Epi Meilina Siregar atas makanan-makanan yang selalu di masakkan untukku, dan

kepada Adikku tercinta Anggi Halomoan Siregar yang telah menjadi adik yang penurut dan

selalu membantu penulis selama ini. Terima kasih atas dukungan dan do’a kalian sehingga

penulis dapat memperoleh gelar sarjana. Terimakasih juga kepada abang ipar penulis

Haryono dan Suretno, serta kakak ipar penulis Silpi yulia yang memberikan dukungan dan

do’a serta menjadi bagian keluarga yang hangat bagi keluarga penulis. Terakhir penulis

ucapkan terima kasih kepada keponakan penulis Athalia Mumtas, Dea Rahmadani Siregar

dan aditya Fitrah yang telah menjadi keponakan yang lucu-lucu dan menghibur penulis.

Terima kasih yang sangat mendalam juga penulis sampaikan kepada Wawan Idrus

(7)

merupakan hal yang paling membahagiakan, ketulusan dan pengorbanan yang diberikan

kepada penulis menjadi penyemangat dan memberikan warna dalam hidup penulis.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Putri Dewi dan Risa Febrina yang telah menjadi

sahabat perjuangan penulis selama empat tahun ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih

kepada teman-teman angkatan 07,Indriani, Nurazizah, Bhita, Fiza,Martha, Junjung, Davi, Sri,

Surya, Rini, Angel, Inggrid, Marni, Arni, Anugerah, Nugraha, Parlaungan, Wahyu, Fino,

Fikri, Tino, Jonathan, Tia, Edi, Fauzi, Ijal, Rendi, Pardin dan lainnya yang tidak dapat penulis

sebutkan satu persatu. Terimakasih penulis ucapkan atas cerita-cerita dan canda yang telah

kita lewati bersama selama empat tahun ini.

Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman-teman satu kos Tiermin, Dermi,

Masda, Juli, Iin, Lina, Nela, Lola, Inun, Siti, Olin yang telah menjadi bagian keluarga kecil

penulis selama tinggal empat tahun ini. Kehangatan dan kekeluargaan yang kita jalin selama

ini tidak akan terlupakan dan merupakan kengan termanis yang dialami oleh penulis.

Terimakasih juga pernulis sampaikan kepada adik handa Wilda Hasanah Matondang yang

telah membantu dan senantiasa mendengarkankan cerita cerita penulis.

Penulis mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnyaatas segala dukungan moral

dan do’a yang telah diberikan oleh semua pihak kepada penulis kiranya Tuhan Yang Maha

Kuasa senantiasa meridoi dan membalas segala kebaikan kalian. Menyadari akan

keterbatasan penulis, maka skripsi atau hasil penelitian ini masih terdapat banyak kekurangan

dan kelemahan. Untuk itu, kritik dan saran dari berbagai pihak guna penyempurnaan hasil

penelitian ini sangat penulis harapkan. Semoga tulisan ini berguna bagi pihak-pihak yang

(8)

Medan, Juni2011

Penulis

(9)

RIWAYAT HIDUP

DIAN ANGRAINI SIREGAR, MAHASISWA

Antropologi pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik di Universitas Sumatera Utara. Penulis lahir

di Malintang pada tanggal 21 September 1988,

beragama Islam, anak ke empat dari lima bersaudara

dari pasangan Ayahanda Saipul Bahri Siregar dan

almarhum Ibunda Jumaidah Batubara.

Penulis dibesarkan di Mandailing Natal. Pendidikan formal penulis Sekolah Dasar

(SD) Negeri 142603 Mandailing Natal, tamat tahun 2001, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama

(SLTP) Negeri 1 Mandailing Natal, tamat tahun 2004, Sekolah Menengah Atas (SMA)

Negeri 1 Mandailing Natal, taman tahun 2007. Pada tahun 2007 mengukuti pendidikan

kesarjanaan I Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas

(10)

KATA PENGANTAR

Penyusunan skripsi ini dilakukan guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh

gelar sarjana sosial dalam bidang Antropologi dari Departemen Antropologi, Fakultas Ilmu

Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul “

Perubahan Partuturon Pada Masyarakat Mandailing Di Kota Medan”.

Skripsi ini menjelaskan secara menyeluruh mengenai Partuturon pada masyarakat

Mandailing di kota Medan. Mulai dari partuturon yang ideal sampai pada perubahan

partuturon yang terjadi pada masyarakat Mandailing di kota Medan. Perubahan tersebut

diuraikan dari bab I sampai bab V. Adapun penguraikan yang dilakukan oleh penulis pada

skripsi ini adalah

BAB I Pendahuluan, menguraikan mengenai garis besar penulisan skripsi secara

menyeluruh, antara lain latar belakang masalah partuturon Mandailing. Perumusan masalah

penelitian sehinnga dapat diketahui apa yang ingin di kemukakan dalam penulisan skripsi ini,

selanjutnya akan diuraikan juga lokasi penelitian, tujuan dan manfaat penelitian tinjauan

pustaka, metode penelitian, dan alat pengumpulan data, serta unit analisis penelitian.

Penguraian pada bab ini, dimaksudkan agar dapat memberikan gambaran secara keseluruhan

mengenai materi penelitian yang dimaksudkan dalam penelitian skiripsi ini.

BAB II Menjelaskan mengenai gambaran umum lokasi penelitian yang mayoritas

penduduknya masyarakat Mandailing untuk menjelaskan tujuan penelitian tentang partuturon

Mandailing, baik dari segi lingkungan geografis maupun sosial yang banyak berkaitan

dengan penduduk. Pada penulisan akan mencakup mengenai sejarah desa, keadaan alam, pola

pemukiman, keadaan penduduk. Penguraian dimaksudkan sebagai suatu penggambaran

(11)

BAB III. Menguraikan partuturon yang ideal pada ketentuan hukum adat Mandailing.

penguraian partuturon ideal ini guna untuk member gambaran dan sebagai perbandingan

bahwa perubahan partuturon itu ada pada masyarakat Mandailing di kota Medan, khususnya

masyarakat Mandailing yang terdapat di beberapa lokasi penelitian.

BAB IV Menjelaskan penyebab terjadinya perubahan pada partuturon masyarakat

Mandailing di kota Medan, mengenai alasan dan latar belakang fokus berubahnya partuturon.

Bagaimana pengaruh dan implementasinya perubahan partuturon terhadap sikap, peran dan

tanggung jawab pada masyarakat Mandailing di kota Medan. Pada akhir bab V, penulis

menyampaikan beberapa saran dan kesimpulan guna memajukan perspektif budaya dan

partuturon masyarakat Mandailing.

Perubahan Partuturon yang terjadi pada masyarakat Mandailing di kota Medan

disebabkan oleh banyak faktor dan perubahan tersebut membawa perubahan dalam hukum

adat Mandailing serta dalam tatanan sosial dalam hubungan kekerabatan. Perubahan

partuturon erat kaitannya dengan berubahnya sebutan dan sapaan, dimana setiap sebutan dan

sapaan berubah maka hak dan tanggung jawab diantara sesame kerabat akan turut berubah.

Penulis menyadari masih banyak terdapat kekurangan baik penulisan maupun isi dari

skripsi ini dan jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik

dan saran yang membangun dari pembaca guna kesempurnaan skripsi ini. Semoga skripsi ini

ke depannya dapat bermanfaat bagi civitas akademik, khususnya Antropologi.

Medan, Juli 2011

Penulis

(12)

DAFTAR ISI 1.1. Latar Belakang Masalah………. 1

1.2. Perumusan Masalah ………... 9

1.3. Lokasi Penelitian ……….. . 10

1.4.Tujuan dan Manfaat Penelitian ……… 11

1.5. Kajian Pustaka ……… 12

1.6. Metode Penelitian ………... 21

1.6.1. Penentuan Inorman ……… 22

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data ………. 25

1.6.3. Teknik Analisa Data……… 27

BAB II GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 2.1. Sejarah Kota Medan ………... 29

2.2. Letak Lokasi dan Keadaan Alam Lokasi Penelitian ………... 32

2.2.1. Wilayah Sei Mati Medan Maimun ………... 33

2.2.2. Wilayah Mariendal (Simpang Limun), Kecamatan Medan Amplas……… 34

2.2.3. Wilayah Sei Agul, Kecamatan Medan Barat …….. 36

(13)

2.2.5. Wilayah Pancing, Medan Tembung ……… 39

2.6. Organisasi Masyarakat ……… 43

2.7. Karakteristik Masyarakat Mandailing di Kota Medan ……… 44

BAB III. PARTUTURON IDEAL PADA MASYARAKAT MANDAILING 3.1. Hukum Adat Mandailing ………. 48

3.3. Kaidah-Kaidah Masyarakat Mandailing ……….. 55

3.4. Pola Perkawinan Masyarakat Mandailing ……… 56

3.4.1. Perkawinan Semarga ………. 56

3.4.2. Pernikahan Sungsang ………. 57

3.4.3. Pernikahan dengan Boru Tulang ……… 57

3.4.4. Pernikahan Sambar Bulung ………. 58

3.5. Unsur Dalihan Na Tolu ……….. 58

3.6. Partuturon Mandailing ……… 61

3.6.1. Ego dengan Keluarga Inti ……… 61

3.6.2. Ego dengan Keluarga Luas………... 64

3.6.3. Ego dengan Kahanggi ……….. 64

3.6.4. Ego dengan Anak Boru ……… 72

(14)

3.7. Sopan Santun Kekerabatan ………. 77

3.7.1. Hubungan Kerabat Akrab ………. 81

3.7.2. Hubungan Kerabat Tabu ……… 83

3.8. Pengaruh Partuturon Terhadap Sikap ………... 84

BAB IV IMPLEMENTASI PARTUTURON ETNIS MANDAILING YANG BERUBAH SERTA KONSEKUENSI YANG DI TIMBULKAN 4.1. Partuturon Berubah Dalam Keberagaman Etnis ………. 89

4.2. Partuturon Berubah Karena Latar Belakang Lingkungan Tempat Dibesarkan ………. 92

4.3. Partuturon Berubah Karena Faktor Didikan dan Bimbingan Orangtua ……… 94

4.4. Partuturon Berubah Karena Faktor Lamanya Menetap…………. 95

4.5. Partuturon Berubah Karena Faktor Kurangnya Kesadaran Etnisitas ……… 96

4.6. Sikap Dalam Partuturon Ynag Berubah ………... 98

4.7. Dalihan Na Tolu Dalam Adat Siriaon………... 102

4.8. Rompak Tutur ………... 104

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ……… … 109

5.2. Saran ……….. 115

DAFTAR PUSTAKA ……….. 118

LAMPIRAN

1. Hasil foto selama Penelitian 2. Daftar Informan

(15)

DAFTAR BAGAN

Halaman

Bagan 1: Bagan yang menggambarkan anggota keluarga inti ……. 51

Bagan 2: Bagan yang menggambarkan anggota keluarga luas……. 54

Bagan 3: Bagan yang menggambarkan kelompok Kahanggi …….. 58

Bagan 4: Bagan yang menggambarkan kelompok Anak boru ……. 61

Bagan 5: Bagan yang menggambarkan kelompok Mora ………….. 64

Bagan 6: Bagan yang menggambarkan hubungan kerabat akrab ….. 69

(16)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1: Sebutan dan sapaan ideal ego pada keluarga inti ………….. 52

Tabel 2: Sebutan dan sapaan ego yang berubah pada keluarga inti …. 53

Tabel 3: Sebutan dan sapaan ego yang ideal pada keluarga luas ……. 55

Tabel 4: Sebutan dan sapaan ego yang berubah pada keluarga luas …. 56

Tabel 5: Sebutan dan sapaan ego yang ideal pada kelompok

Kahanggi ………... 59

Tabel 6: Sebutan dan sapaan ego yang berubah pada kelompok

Kahanggi ……….. 60

Tabel 7: Sebutan dan sapaan ego yang ideal pada kelompok

Anak boru ……… 62

Tabel 8: Sebutan dan sapaan ego yang berubah pada kelompok

Anak boru ……….... 63

Tabel 9: Sebutan dan sapaan ego yang ideal pada kelompok Mora … 65

(17)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1: Monumen Guru Patimpus………. .. 24

Gambar 2: Peta Kota Medan ………. 38

(18)

ABSTRAK

Setiap etnis mengenal istilah dan adat sopan santun kekerabatan yang berbeda-beda yang digunakan untuk mengelompokkan, menyebut dan memanggil anggota kerabatnya. Perbedaan ini berhubungan erat dengan berbedanya peranan, dan kedudukan masing-masing anggota kerabat dalam kelompok kekerabatan. Hal ini dikenal dengan partuturon yang menjelaskan tentang istilah, sebutan dan sapaan, nilai budaya dan aturan-aturan adat yang terkait dengan adat sopan santun sistem kekerabatan serta perubahan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat. Dalam berintraksi dengan para kerabat dikenal berbagai aturan dan nilai agar seseorang anggota kerabat dikategorikan beradat. Aturan dan nilai tersebut menjadi pengetahuan umum dan dijadikan sebagai pola atau patron dalam berintraksi. Akibatnya ada intraksi yang harus bersikap sopan, hati-hati, akrab, sungkan dan tidak sungkan (akrab, bebas). Dengan kata lain dalam kekerabatan dan hubungannya dengan istilah yang digunakan ada aturan atau adat sopan santun yang harus di turuti. Fokus penelitian ini adalah ntuk mendeskripsikan perubahan partuturon Mandailing dengan membandingkan partuturon yang ideal sesuai adat Mandailing. pengumpulan data dilakukan dengan observasi (pengamatan) dan wawancara. Peneliti mengamati perubahan partuturon dan bagaimana implementasi

partuturon terhadap sikap dan tingkah lakuHasil penelitian menunjukkan perubahan partuturon pada masyarakat Mandailing, yang menyebabkan perubahan sikap dan tingkah

laku serta tanggung jawab dalam hubungan kekerabatan. Secara sederhana perubahan

partuturon dapat digambarkan melalui sebutan amang (ayah) berubah menjadi bapak, partuturon bapak ini dalam adat mandailing sudah bukan di tujukan kepada ayah melainkan

kepada anak saudara ayah sehingga melalui tutur yang berubah i tanggung jawab dan peran pun akan turut berubah. Perubahan partuturon ini juga membentuk perubahan pada pola aturan pernikahan. Terjadinya penyimpangan aturan pernikahan sehinnga terjadi pernikahan semarga, yang membuat tutur yang seharusnya berubah kea rah tutur yang disesuaikan dengan hubungan pernikahan, hal seperti ini disebut rompak tutur.

(19)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Indonesia terdiri dari beragam etnis, seperti etnis Jawa, etnis Melayu, etnis Batak,

etnis Minang serta etnis Mandailing. Setiap etnis ini memiliki budaya dan sistem kekerabatan

yang berbeda-beda. Setiap etnis yang terdapat di Indonesia memiliki sistem kekerabatan yang

berbeda. Pada dasarnya kekerabatan terbentuk melalui hubungan genetik atau darah.

Kekerabatan akan membentuk lahirnya garis keturunan, seperti penarikan garis keturunan

secara patrilineal artinya hubungan kekerabatan diperhitungkan menurut garis ayah, garis

keturunan bersifat matrilineal dimana hubungan kekerabatan diperhitungkan menurut garis

ibu. Disamping itu, terdapat juga hubungan kekerabatan yang bersifat bilateral dimana

hubungan kekerabatan diperhitungkan menurut garis ayah maupun menurut garis ibu.

Kekerabatan juga akan membentuk lahirnya sistem istilah kekerabatan, di mana di

dalam masyarakat terdapat istilah-istilah yang berbeda-beda. Istilah dapat dijadikan sebagai

penentu sopan santun diantara sesama kerabat. Dalam istilah kekerabatan terdapat istilah

menyapa (term of address) dan istilah menyebut (term of refrence). Istilah menyapa dipakai

ego untuk memanggil seseorang kerabat apabila ia berhadapan dengan kerabat dalam

pembicaraan langsung. Sebaliknya istilah menyebut dipakai ego apabila ia berhadapan

langsung dengan orang lain ketika berbicara tentang seorang kerabat sebagai orang ketiga.

Istilah kekerabatan juga dapat diklasifikasikan ke dalam Istilah Denotatif; istilah

Designatif; dan istilah Klasifikatori. Istilah Denotatif merupakan istilah yang hanya

(20)

istilah denotatif, karena kecuali satu orang kerabat si ayah itu tidak ada lagi disebutkan

terhadap kerabat yang lain yang disebut dengan istilah itu. Istilah Designatif adalah istilah

yang menunjukkan ke satu tipe kerabat/ lebih dari satu orang kerabat, yang semuanya berada

dalam satu macam hubungan terhadap ego. Istilah sons dalam bahasa Inggris misalnya

menunjukkan kelebih satu orang kerabat ego ( apabila ego mempunyai lebih dari satu orang

laki-laki,tetapi semua sons dari ego itu berada dalam satu macam hubungan kekerabatan

terhadap ego. Istilah Klasifikatoris adalah istilah yang mengklasifikasikan ke dalam lebih dari

satu orang kerabat. Misalnya istilah saudara dalam bahasa Indonesia adalah suatu istilah

klasifikatoris, karena dalam istilah itu diklasifikasikan lebih dari satu orang kerabat seperti

saudara - saudara sekandung laki- laki dari ego yang lebih tua, saudara-saudara sekandung

perempuan dari ego yang lebih tua, saudara-saudara sekandung laki-laki dari ego yang lebih

muda, dan saudara-saudara sekandung perempuan dari ego yang lebih muda dan sebagainya.

(Koentjaraningrat: 1972: 143 ).

Istilah kekerabatan melahirkan adat sopan santun yang menentukan bagaimana orang

seharusnya bersikap terhadap kerabat dan bagaimana hak dan kewajiban untuk bersikap

hormat dan menyayangi di antara sesama kerabat. Adat sopan santun pergaulan dalam

masyarakat pada umumnya memiliki ketentuan bersikap, dimana ada ketentuan adat terhadap

kerabat-kerabat dapat kita perlakukan dengan sikap bebas. Ada ketentuan kepada siapa kita

harus bersikap sangat hormat, yang menyebabkan adanya pantangan-pantangan memandang

muka atau berbicara langsung. Hal ini yang menyebabkan lahirnya ketentuan adat untuk

bersikap sungkan, sikap bergurau serta sikap bergaul pada setiap etnis, begitu juga dengan

etnis Mandailing yang tergolong memiliki adat yang cukup kuat.

Etinis Mandailing adalah salah satu dari sekian ratus etnis asli Indonesia. Dari zaman

(21)

Mandailing menamakan wilayah etnisnya itu Tano Rura Mandailing yang artinya ialah

Tanah Lembah Mandailing. Namanya yang populer sekarang ialah Mandailing, sama dengan

nama suku bangsa yang mendiaminya. Berdasarkankan tradisi masa lalu, wilayah etnis

Mandailing terdiri dari dua bagian, yang masing-masing dinamai Mandailing Godang

(Mandailing Besar), berada di bagian utara dan Mandailing Julu (Mandailing Hulu), berada

di bagian selatan dan berbatasan dengan daerah Provinsi Sumatera Barat.

Marga atau klen etnis Mandailing adalah Nasution, Lubis, Pulungan, Rangkuti,

Batubara, Daulay, Matondang, Parinduri, Hasibuan, dan lainnya. Marga tersebut diperoleh

berdasarkan garis keturunan langsung dari pihak ayah (Patrilineal) sehingga marga yang

diperoleh berdasarkan pemberian tidak berfungsi atau bermakna apapun

Masyarakat Mandailing memiliki sistem kekerabatan Dalihan Na Tolu yang terdiri

dari :

a. Kahanggi, yaitu golongan yang merupakan teman semarga.

b. Anak Boru, yaitu golongan yang diberi boru ( perempuan )

c. Mora, yaitu pihak yang memberi boru ( perempuan )

Kelompok-kelompok kekerabatan yang mewakili peran terhadap partuturon biasanya

berbentuk luas antara lain sebagai berikut jika ego yang ditentukan adalah Ayah :

Kahanggi

Kahanggi merupakan golongan teman semarga yang terdiri dari: adik atau abang

kandung (sebapak), adik atau abang kandung (seibu), adik atau abang dari sepupu, saudara

kandung ayah. Kesemua kelompok Kahanggi ini antara lain kelompok saudara sekandung,

(22)

Mora

Mora merupakan pihak yang memberi boru atau perempuan yang terdiri dari: Ibu

mertua dari perempuan, abang atau adik dari ibu, abang atau adi sepupu ibu, paman ibu,

paman dari keluarga sepupu nenek, mora dari kelompok marga ibu.

Anak Boru

Anak boru merupakan gologan yang diberi boru yang terdiri dari: bapak atau ibu

mertua dari anak, adik atau kakak dari mertua anak, adik atau kakak permpuan bapak, paman

dari suami adik atau kakak. (Said, 2009)

Kekerabatan yang terbentuk melalui marga, perkawinan serta hubungan darah akan

melahirkan istilah-istilah partuturon. Partuturon adalah berisi aturan hubungan antar

perorangan atau unsur dalam dalihan na tolu (etika bertutur), dimana tutur menjadi perekat

bagi hubungan kekerabatan. Partuturon dapat mengatur sistem dan ketentuan kekerabatan

sebagai berikut:

a. Partuturon mengatur dan menentukan bagaimana seseorang bersikap berbicara

terhadap orang lain begitu juga sebaliknya.

b. Partuturon akan menunjukkan sejauh mana hubungan seseorang dengan orang lain

berdasarkan hubungan darah, hubungan kekerabatan, atau hubungan perkawinan.

c. Partuturon merupakan penentu etika, sikap dan tingkah laku. (Pandapotan, 2005)

(23)

“ Jolo tinitip sanggar, Asa binahen huru-huruan,

Jolo sinungkun marga, Asa binoto partuturon”

Pantun tersebut berarti :

Pinpin dipotong rata

Dijadikan sebagai sanggar burung Ditanya dulu marga

Agar diketahui kekerabatan.

Pantun di atas mengingatkan orang untuk martutur agar tidak terjadi komunikasi satu

sama lainnya dengan saling menyebut nama karena terasa kurang etis atau kurang sopan.

Oleh karena itu dalam berkomunikasi tutur dipergunakan. Partuturon dimulai dari

keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum berumah tangga.

Dalam kontek Mandailing disebut Sabagas. Keluarga initi atau sabagas ini dapat

digambarkan sebagai berikut:

Bagai 1

Keluarga Inti

Keterangan:

(24)

Laki-laki

Perempuan

Bagian 1 di atas menggambarkan seorang laki-laki ( ego ) dengan orang tuanya

serta seorang saudara laki-laki dan seorang saudara perempuanya. Contoh sebutan dan sapaan

yang berubah dalam keluarga inti tergambar pada tabel 1 berikut.

sebutan Mandailing yang

Inang Umak, Omak, Mamak, Ibu,

Mama, Mami

Ibu ego

Umak ni sianu, Umak Dek, Mama, Panggil nama Istri ego

Ayah ni sianu, Ayah

ucok/butet,

Ayah, Papa, Abang Suami

Angkang Bang, Panggil nama Abang ego

Anggi Dedek, Adek, Panggil nama Adik ego

Berdasarkan tabel sapaan Mandailing di atas, menunjukkan bahwa seiring berjalannya

waktu partuturon cendrung berubah dalam kekerabatan pada sebagian kelompok masyarakat

Mandailing, terlebih pada masyarakat yang melakukan migrasi khususnya ke kota Medan.

Masyarakat Mandailing mencoba menyesuaikan diri dengan etnis lain dan membentuk suatu

hubungan sosial. Pengaruh lingkungan ini yang terkadang menjadi pemicu berubahnya garis

kekerabatan sehingga Partuturon juga ikut berubah. Dampak dari perubahan Partuturon

(25)

karena setiap tutur berubah maka hubungan kekerabatan juga turut berubah. memberikan

pengaruh terhadap sikap, dan tanggung jawab diantara sesama kerabatnya.

Berdasakan hasil pengamatan sementara saya di lapangan berubahnya partuturon ini

dapat saya gambarkan melalui pernikahan semarga. Terjadinya pernikahan semarga di

kalangan masyarakat migrasi Mandailing, dipicu oleh berubahnya partuturon sehingga mana

kerabat yang boleh dinikahi dan yang tidak boleh dinikahi sudah tidak dapat dibedakan.

Kasus lain yang saya jumpai di lapangan yang memperkuat argumen sementara saya bahwa

partuturon di kalangan migransi Mandailing berubah adalah kasus keluarga Mandailing yang

melakukan pernikahan semarga.

Faktor lain terjadinya perubahan Partuturon disebabkan oleh perkawinan campur.

Perkawinan etnis Mandailing dengan Etnis Jawa misalnya. Keluarga ini justru lebih sering

atau bahkan lebih memahami budaya dan Partuturon Jawa karena lebih dominan

menggunaan tutur Jawa di kesehariannya. Kepada pihak ayah pun yang berasal dari etnis

Mandailing justru .menggunakan tutur sesuai ketentuan tutur Jawa. Hal ini yang membuat

Partuturon Mandailing berubah, bahkan apabila secara terus menerus dibiarkan maka tutur

Mandailing bisa hilang dari masyarakat Mandailing di kota Medan.

Berdasarkan uraian di atas Maka saya merasa Partuturon perlu untuk diteliti.

Partuturon bukan hanya istilah dalam berkomunikasi melainkan penunjuk hubungan

kekerabatan dan penentu sikap serta tanggung jawab diantara sesama kerabat. Partuturon

merupakan suatu jembatan perekat kekerabatan diantara sesama kerabat. Melalui Partuturon

hubungan kekerabatan juga tidak akan pernah hilang. Oleh karena itu untuk tetap menjaga

partuturon Mandailing dan untuk memperbaiki partuturon yang sudah berubah hal ini perlu

untuk diteliti agar menimbulkan kesadaran moral masyarakar Mandailing yang ada di kota

(26)

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dikemukakan perumusan masalah dalam

penelitian ini adalah Partuturon dan perubahan yang terjadi pada masyarakat Mandailing di

kota Medan. Permasalahan tersebut dirinci dalam pertanyaan penelitian sebagai berikut:

A. Bagaimana Partututron yang ideal dalam budaya Mandailing?

B. Bagaimana implementasi Partuturon pada masyarakat Mandailing di kota Medan?

C. Bagaimana perubahan Partuturon pada masyarakat Mandailing serta konsekuensinya

terhadap perubahan status dan peran?

1.3. Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kota Medan, dengan lokasi yang dianggap

merefresentasikan etnis Mandailing di kota Medan. Adapun lokasi tersebut meliputu 1.

Kawasan Seimati, 2. Kawasan Bandar Selamat, 3. Kawasan Simpang Limun, 4. Kawasan Sei

Agul, 5. Kawasan Medan Tembung. Pemilihan lokasi penelitian ini dilakukan dengan

didasarkan atas :

Kota Medan merupakan.

1. Pusat pemerintahan Propinsi Sumatera Utara, sehingga kota Medan adalah bentuk

kota modern yang di huni oleh berbagai masyarakat dalam hal ini yang menjadi fokus

adalah masyarakat Mandailing.

(27)

3. Kawasan Bandar selamat dan Simpang Limun merupakan daerah pusat transportasi

antar daerah di kota Medan yang didiami oleh masyarakat Mandailing. Dimana pada

kawasan Bandar Selamat penelitian ini di lakukan di , Jl. Letjen Sudjono kec. Medan

Tembung . Sedangkan pada kawasan Simpang Limun di , Jl. M. Baasir, kel.

Pangkalan Mashuar

4. Kawasan Sei Mati secara historis kawasan ini merupakan kawasan yang didiami oleh

masyarakat Mandailing pada saat kesultanan Deli berkuasa. Tepatnya penelitian di

kawasan ini dilakukan di Jl. Brigjen Katamso, Kel. Sei Mati, Kec. Medan Maimun.

5. Kawasan Medan Tembung, pada kawasan ini dominan di huni oleh etnis Mandailing.

Sehingga penelitian tepatnya di lakukan di Kawasan Medan Tembung, kompleks

perumahan Indah Berlian Tembung blok V, kec. Percut Sei Tuan kab. Deli Serdang

6. Kawasan Sei Agul, merupakan kawasan alternative yang juga banyak didiami oleh

etnis Mandailing. Penelitian pada kawasan ini di lakukan di , Jl. Karya Setuju Ling.

XVII, kel. Karang Berombak, kec. Medan Barat

Masih terbuka kemungkinan munculnya lokasi lain dalam penelitian ini nantinya. Hal

ini dikarenakan adanya lokasi-lokasi lain yang dapat dianggap sebagai suatu lokasi yang

mewakili beberapa etnik Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan.

1.4. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan penetapan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penelitian ini

adalah:

1. Untuk mengetahui partuturon yang ideal pada masyarakat Mandailing

2. Untuk mengetahui sejauh mana implementasi partuturon pada masyarakat

(28)

3. Untuk mengetahui faktor apa yang menyebabkan berubahnya partuturon etnis

Mandailing dan pengaruhnya terhadap status dan peran dalam hubungan kekerabatan.

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan Masyarakat Mandailing

tentang Istilah partuturon hak dan kewajiban yang terkandung di setiap partuturon tersebut.

Menjadi kesadaran moral juga bagi para migransi Mandailing bagaiman bersikap atau

berintraksi dengan sesama kerabatnya. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberi

kontribusi bagi para masyarakat Mandailing di Medan tentang istilah partuturon .

1.5. Kajian Pustaka

Bachofen dalam Koentjaraningrat, 2007: 38, menyatakan bahwa di seluruh dunia

keluarga manusia berkembang melalui empat tingkat evolusi. Pertama manusia dalam

keadaan promoskuitas, dimana manusia hidup serupa sekawanan binatang . laki-laki dengan

wanita berhubungan dengan bebas dan melahirkan keturunan tanpa ikatan. Dalam hal ini

keluarga inti belum ada. Namun lambat laun manusia sadar akan hubungan antara si ibu

dengan anaknya sebagai suatu kelompok keluarga inti dalam masyarakat, karena

anak-anak hanya mengenal ibunya tetapi tidak mengenal ayahnya. Dalam kelompok-kelompok

keluarga seperti ini, ibulah yang menjadi kepala keluarga. Perkawinan antara ibu dengan anak

laki-laki dihindari, dan dengan demikian timbul adat eksogami.

Kelompok-kelompok keluarga ibu tadi menjadi luas karena garis keturunan

diperhitungkan menurut garis ibu ( Matriarchate ) ini merupakan tingkatan kedua dalam

proses perkembangan manusia. Pada tingkat perkembangan manusia yang ketiga terjadi

karena pria tidak puas dengan keadaan tersebut, sehingga para pria mengambil calon istri

(29)

Dengan demikian keturunan yang dilahirkan juga tetap tinggal dalam kelompok pria. Timbul

kelompok keluarga dimana ayah sebagai kepala keluarga yang disebut Patriarchate.

Dalam tingkat terahir terjadi perubahan yaitu exsogami berubah menjadi endogami .

endogami atau perkawinan di dalam batas-batas kelompok menyebabkan bahwa anak-anak

demikian patriarchate lambat laun hilang, dan berbah menjadi suatu susunan kekerabatan

yang oleh Bachofen disebut susunan Parental.

Freeman dalam Ihromi, 1994: 116, menyatakan keluarga luas merupakan kelompok

kekerabatan yang terdiri labih dari satu keluarga inti., dimana seluruhnya merupakan satu

kesatuan sosial yang erat dan biasanya hidup bersama pada satu tempat atau satu pekarangan.

Diman keluarga luas ini terdiri dari tiga yaitu pertama keluarga luas udrolokal, terdiri dari

satu keluarga inti senior dengan keluarga-keluarga batih anak laki-laki maupun perempuan.

Yang kedua keluarga luas virilokal, terdiri dari keluarga inti senior dengan keluarga inti dari

anak laki-laki. Dan yang terahir keluarga luas uxorilokal, terdiri dari satu keluarga inti senior

dengan keluarga-keluarga batih dari anak-anak perempuan. Keluarga ambilineal kecil,

merupakan kelompok kekerabatan yang terjadi bila suatu keluarga luas mendapat suatu

kepribadian yang disadari oleh para warganya, tidak selama mereka hidup tetapi yang

dinggap ada sejak dua-tiga tingkatan dalam waktu yang lama. Nenek moyang yang

menurunkan kelompok, malahan sering masih hidup sebagai warga senior dari kelompok,

dan masih saling kenal dan tahu akan hubungan kekerabatannya (Ihromi, 1994: 116).

Menurut Keesing garis keturunan adalah suatu kelompok keturunan yang terdiri dari

orang-orang yang secara parilineal atau matrilineal adalah keturunan dari leluhur yang sama.

Kerabat perkawinan yang memiliki ketentuan yang mengharuskan perkawinan di luar suatu

kelompok atau kategori perkawinan diantara sesama mereka tidak diperkenankan ( Keesing,

(30)

Schneider dalam Ihromi,1981:111, berpendapat bahwa sistem simbolik berkaitan

secara tidak langsung dengan seks dan reproduksi, dan masyarakat lain biasanya mempunyai

konseptualisasi yang sangat berbeda mengenai lingkup kekerabatan dari hubungan yang

sama, yang berkaitan secara tidak langsung dengan hubungan yang dianggap sebagai

hubungan orang tua biologis. Bagaimana cara suatu masyarakat memandang pertalian

biologis antara yang dianggap ayah dan anak serta ibu dan anak, hubungan ini adalah

hubungan yang tidak bisa diganggu gugat karena merupakan dasar bagi ikatan kekerabatan.

(Ikhromi, 1994 : 111)

kerabat yang lain dengan dua istilah yang berbeda kalau mereka saling menyebut.

Demikian dalam bahasa Indonesia A menyebut B ( ialah istilah saudara laki-laki ayahnya )

dengan istilah paman, sebaliknya B menyebut A ( istilah anak saudara laki-lakinya ) dengan

istilah lain, ialah kemenakan. Kalau dua orang kerabat termasuk satu tipe kerabat, tentu

prinsip ini tidak terpakai, dan kedua orang itu akan saling sebut-menyebut dengan istilah

yang sama (Koentjaraningrat, 1972: 62).

Murdock dalam Koentjaraningrat, juga membagi istilah kekerabatan kedalam beberapa tipe,

diantaranya adalah :

1. Tipe Hawai ( tipe generation ), dimana semua istilah saudara sepupu berbeda dengan

istilah yang mengacu semua saudara sekandung.

2. Tipe Eskimo, ( tipe lineal ), dimana istilah yang mengacu semua saudara sepupu

berbeda dengan istilah yang mengacu semua saudara sekandung.

3. Tipe Iroquois ( tipe bifurcate merging ), dimana istilah yang mengacu semua saudara

sepupu sejajar sama, kecuali istilah yang mengacu semua saudara sepupu melintang,

(31)

4. Tipe Sudan, ( bifurcate-collateral ), dimana istilah yang mengacu semua saudara

sepupu sejajar berbeda dengan istilah yang mengacu semua saudara sepupu melintang

maupun dengan istilah yang mengacu ke semua istilah untuk saudara sekandung.

5. Tipe Omaha, dimana istilah yang mengacu ke semua saudara sepupu sejajar sama

dengan istilah yang mengacu semua saudara sekandung, dan dimana istilah yang

mengacu semua saudara sepupu melintang patrilateral berbeda dengan istilah

mengacu semua saudara.

6. Tipe Crow, dimana istilah yang mengacu semua saudara sepupu sejajar sama dengan

istilah yang mengacu semua sadara sekandung. Dan dimana istilah yang mengacu

semua saudara sepupu melintang Matrilineal berbeda dengan istilah yang mengacu

semua saudara sepupu (Koentjaraningrat, 1990: 62) kerabat karena keturunan

(Geneologis Khainship ),maupun kerabat karena perkawinan (Affinal Khinship)

(Berutu, 2006: 21)

Kekerabatan adalah unit-unit

hubungan darah atau hubungan perkawinan. Anggota kekerabatan terdiri atas ayah, ibu, anak,

menantu, cucu, kakak, adik, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya. Ada beberapa macam

kelompok kekerabatan dari yang jumlahnya relatif kecil hingga besar seperti

kelompok kekerabatan lain seperti

Istilah kekerabatan (kinship) mengandung pengertian sebuah jaringan hubungan

kompleks berdasarkan hubungan darah atau perkawinan. Berdasarkan hubungan darah dapat

diambil pengertian bahwa seseorang dinyatakan sebagai kerabat bila memiliki pertalian atau

ikatan darah dengan seseorang lainnya. Contoh kongkrit dari hubungan berdasarkan pertalian

(32)

karena perkawinan, yakni seseorang menjadi kerabat bagi yang lain atas ikatan perkawinan

yang dilakukan oleh saudaranya. Contoh kongkrit dari hubungan atas perkawinan misalnya

kakak atau adik ipar, bibi yang dinikahi oleh adik ibu.

Mayor Fortes mengemukakan bahwa sistem kekerabatan atau masyarakat dapat

dipergunakan untuk menggambarkan struktur sosial dari masyarakat yang bersangkutan.

Kekerabatan adalah unit-unit sosial yang terdiri dari beberapa keluarga ynag memiliki

hubungan darah atau hubungan perkawinan . anggota kekerabatan terdiri dari ayah, ibu, anak,

menantu, mertua, cucu, paman, bibi, kakek, nenek dan seterusnya

(http://r4gsblog.blogspot.com diakses /2010/07).

Hamzah, menyebutkan : Hukum adat bukanlah peraturan hukum yang tidak berubah,

yang diam-diam saja. Akan tetapi hukum adat itu berubah karena dipengaruhi oleh pengaruh

dari dalam dan luar karena keadaan sosial juga berubah. Kelakuan-kelakuan manusia dalam

masyarakat berubah juga yang mengakibatkan perubahan dalam hukum adat (Hamzah,1960:

16).

Keberagaman budaya dan rasa sosial yang menuntut setiap masyarakat harus mampu

menyesuaikan diri dengan lingkungan, hal inilah yang terjadi pada masayarakat mandailing.

Mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya bahkan tanpa disadari

proses penyesuaian diri ini lambat laun membuat perubahan pada budayanya bahkan

melupakan nilai budayanya sendiri.

Prins dalam Surojo, 1971: 339 bukunya Adat en Islamitische Plichtenleer in

Indonesia menyebutkan bahwa Proses penyesuaian dengan dunia modern ini menjumpai

suatu problema yang sangat memperlambat jalannya proses, yaitu proses individualisasi

(33)

Kesing menyatakan bahwa kekerabatan berperan sebagai model dasar dalam

hubungan dengan orang lain. Kewajiban antara kerabat dipandang sebagai ikatan moral,

dimana suatu kelompok keluarga batih yang di dasarkan pada ikatan pasangan, incest

dihindarkan, dan pemilikan pangan bersama. Kewajiban kekerabatan melambangkan kolektif

sebagai kebalikan dari individu, kewajiban sosial bukannya memuaskan diri sendiri. Hal-hal

tersebut melambangkan budaya sebagai kontras dari biologis atas dasar warisan tradisional.

( Keesing, 1989: 211.)

Jaringan Ikatan Kekerabatan

Atau = ikatan perkawinan

Hubungan orang tua dengan anak

( disini ayah dengan anak perempuan )

Konvensi Antropologi dalam Melukiskan Hubnugan Kekerabatan

A B C D E F G H I J

(34)

K L M N O P

Q R S T V Y W Z z.1

Pendapat Scheneider ini dijadikan sebagai gambaran hubungan kekerabatn yang terbentuk

melalui hubungan darah yang melahirkan kerabat yang luas dengan acuan ego “M” (Ihromi,

1972: 214).

Tata Interaksi di Lingkungan Keluarga menurut Izarwisma 1989 sebagai berikut:

Tata Interaksi dalam Keluga Inti :

# Interaksi antara Suami dan Istri.

# Interaksi antara suami dengan anak laki-laki

#Pergaulan antara suami dengan anak perempuan.

# Inetraksi antara istri dengan anak laki- laki.

# Interaksi antara istri dengan anak perempuan.

# Interaksi antara anak laki-laki dengan anak laki-laki.

# Interaksi antara anak laki-laki dengan anak perempuan.

# Interaksi antara anak perempuan dengan anak perempuan.

Tata Interaksi Di Luar Keluarga Inti

(35)

# Interaksi anak dengan kerabat ayah:

• Interaksi antara anak dengan saudara-saudara ayah.

• Interaksi antara anak dengan saudara-saudara orangtua ayah.

• Interaksi anak dengan saudara tiri ayah.

# Interaksi anak dengan kerabat ibu:

1. Interaksi antara anak dengan saudara-saudara ibu

2. Interaksi antara anak dengan saudara-saudara orangtua ibu.

3. Interaksi antara anak dengan saudara tiri ibu.

# Interaksi anak dengan saudara-saudara:

1. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara ayah.

2. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara tiri ayah.

3. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara orang tua ayah.

4. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara ibu.

5. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara tiri ibu.

6. Interaksi antar anak dengan anak dari saudara-saudara orangtua ibu.

Berdasarkan pendapat Izarwisma dapat dijadikan sebagai gambaran hubungan

kekerabatan serta ketentuan-ketentuan tata kelakuan berinteraksi dalam sisitem kekerabatan

di antara sesama kerabat . (Izarwisma,1989:56-89)

1.6. Metode Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif.

(36)

yang bersifat factual secara sistematis dan akurat. Penelitian deskiptif dapat pula diartikan

sebagai penelitian yang dimaksudkan untuk memotret fenomena individu, situasi, atau

kelompok tertentu yang terjadi secara kekinian. (Denim, 2002:41 )

1.6.1. Penentuan Informan

Informan adalah subjek yang memahami informasi objek penelitian sebagai pelaku

maupun orang lain yang memahami objek penelitian. (Bungin, 2007:76).

Dalam penelitian ini peneliti membagi informan ke dalam tiga kategori yaitu:

a. Informan Pangkal

Informan pangkal adalah orang yang biasanya ditemui pertama sekali oleh si peneliti dan

dari informan pangkalnya, peneliti dapat banyak informasi mengenai siapa yang dapat

dijadikan sebagai informan kunci. Dalam hal ini yang menjadi informan pangkal penulis

adalah masyarakat Mandailing yang terdapat di lokasi yang sudah saya tentukan sebelumnya

di lima kawasan yang terdapat di kota Medan. Inporman pangkal penulis adalah Bapak

Lurah, Tokoh adat yang dalam adat Mandailing disebut parhata. Informan pangkal tersebut

menjadi petunjuk awal bagi penulis tentang penggambaran lokasi penelitian, serta menjadi

penunujuk informan-informan lainnya yang da[at dijadikan sebagai informan biasa maupun

informan kunci.

b. Informan Biasa

Informan biasa dalam penelitian ini adalah sebagian masyarakat Mandailing yang

terdapat di lima kawasan penelitian tersebut dengan menggunakan teknik snow ball. Teknik

(37)

dari informan sebelumnya. Informan biasa dalam penelitian ini adalah masyarakat

Mandailing yang sudah lama menetap di kota Medan dan juga masyarakat Mandailing yang

masih belum lama menetap di kota Medan. Hal ini dilakukan pada tahap awal untuk

mengetahui perbandingan perubahan budaya dan adat masyarakat Mandailing jika

diperhatikan dari lama waktu menetap di kota Medan. Informan biasa dalam penelitian ini

berjumlah 8 orang, diantaranya adalah Bapak Khoiruddin dan Ibu Sakiah yang merupakan

masyarakat Mandailing yang sudah lama menetap di kota Medan. Bapak Abdul Kholid dan

Ibu Sulastri, Bapak Rido dan Ibu Patimah . Informan selanjutnya adalah Ibu Saodah dan

Reni. Informan tersebut penulis jadikan sebagai informan selanjutnya yang bertujuan untuk

mengumpulkan data yang lebih mendalam tentang masalah penelitian.

c. Informan Kunci

Dalam penelitian ini peneliti membuat suatu pengkategorian siapa yang menjadi

informan kunci dengan melalui beberapa pertimbangan diantaranya :

a. Etnis Mandailing yang melakukan pernikahan dengan etnis Mandailing, hal ini

bertujuan untuk menentukan partuturan yang ideal. Untuk memperoleh informasi tentang

partuturon yang ideal dilakukan wawancara mendalam dengan beberapa informan yang

yang melakukan pernikahan dengan etnis yang sama. diantaranya 3 pasangan yang sudah

lama menetap dikota Medan dan 2 pasangan yang belum lama menetap di kota Medan,

diantaranya Bapak Ali dan Ibu Eka, pasangan Bapak Sawal dan Ibu Hotimah, Bapak Sawal

dan Ibu Rukiah. Bapak ilham dan Ibu Mutiah.

b. Etnis Mandailing yang melakukan pernikahan dengan etnis lain, yang bertujuan untuk

melihat seperti apa tutur yang dipakai oleh keluarga yang dibangun atas dasar dua budaya

yang berbeda. Dalam hal ini penelitian ini dilakukan dengan memilih beberapa informan

(38)

pernikahan antara etnis Mandailing dengan etnis Jawa, pernikahan etnis Mandailing dengan

etnis Minang, pernikahan etnis Mandailing dengan etnis Aceh, yaitu Bapak Abdul dan ibu

Halimah, Bapak Sapii dan Ibu Lianti, pasangan Bapak Darwin dan Ibu Ningsih.

c. Etnis Mandailing yang melakukan pernikahan semarga, hal ini bertujuan untuk melihat

apakah faktor partuturon mempengaruhi terjadinya hubungan semarga di kalangan

masyarakat Mandailing di kota Medan. Informan yang dipilih adalah etnis Mandailing yang

melakukan pernikahan semarga, diantaranya pernikahan marga Nasution dengan Nasution,

pernikahan Marga Lubis dengan marga Lubis, pernikahan marga Rangkuti dengan Rangkuti.

Informan tersebut adalah Bapak Hasan Nasution dan Ibu Laila Nasution, Bapak Burhan

Pulungan dan Ibu salmah Pulungan, Bapak Najamuddin Lubis dengan Ibu Minawati Lubus,

Bapak Aswar Rangkuti dan Ibu Yusnita Rangkuti.

d. Tokoh Masayarakat Mandailing, hal ini bertujuan untuk peneliti agar lebih menambah

pengetahuan tentang adat partuturon Mandailing yang ideal, sehingga mempermudah

peneliti untuk membedakan mana tutur yang ideal dan mana tutur yang berubah. Informan

yang dipilih adalah informan yang menjadi parhata adat dan sekaligus menjadi pinpinan

dalam organisasi perkumpulan marga Nasution. Bapak Sutan nasaruddin sakti Lubis (Petua

adat), Bapak Kholid Nasution (Petua adat),Bapak Arman Nasutian (anggota organisasi

perkumpulan marga Nasution).

1.6.2. Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan agar data yang diperoleh sesuai dengan kebutuhan

penelitian. Sehingga penelitian ini kebenaran datanya dapat dijamin. Adapun teknik

pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

(39)

1. Observasi partisipasi adalah pengumpulan data melalui observasi terhadap objek

pengamatan dengan langsung hidup bersama, merasakan serta berada dalam aktifitas

kehidupan objek pengamatan. Dengan demikian pengamatan betul-betul menyelami

kehidupan objek pengamatan dan bahkan tidak jarang pengamatan kemudian mengambil

bagian dalam kehidupan budaya mereka (Bungin, 2007:161).

Observasi partisipasi dengan melakukan penelitian langsung ke lapangan dan

melakukan observasi langsung dengan masyarkat yang bersangkutan. Observasi ini dilakukan

untuk mengetahui keberadaan masyarakat Mandailing di lokasi penelitian tersebut, dan

tatanan sosial budaya dan adat yang berlaku dilingkungan masyarakat Mandailing. observasi

partisipasi ini penulis gunakan untuk melakukan pendekatan awal dengan objek pengamatan.

Penulis mengamati bagaimana perubahan partuturon pada masyarakat Mandailing dan tutur

seperti apa yang dipergunakan, penulis mengamati perubahan sikap dan tanggung jawab pada

masyarakat Mandailing, serta mengamati perubahan pola pelaksanaan pesta pernikahan

masyarakat Mandailing. peneliti mengamati inplementasi perubahan partuturon terhadap

sikap dan tingkah laku serta tanggungjawab dalam hubungan kekerabatan masyarakat

Mandailing di kota Medan.

2. Wawancara mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian

dengan Tanya jawab sampai bertatap muka antara pewawancara dengan informan atau orang

yang di wawancarai, dengan atau tanpa pedoman ( guide ) wawancara. Dimana pewawancara

dan informan terlibat dalam kehidupan sosial yang relative lama. Dengan demikian ke khasan

wawancara mendalam adalah keterlibatan pewawancara dalam kehidupan informan (Bungin,

2007:108).

Wawancara mendalam ini dilakukan dengan menentukan informan kunci yang

(40)

tidak tahu sebelumnya dapat dikorek melalui pikiran dan kenyataan yang sebenarnya terjadi

dilapangan. Melalui wawancara peneliti memperoleh data yang menyangkut permasalahan

dalam penelitian ini. Peneliti memperoleh perubahan partuturon seperti apa yang terjadi, dan

apa yang melatar belakangi terjadinya perubahan partuturon, peneliti juga mengetahui

perubahan adat dan budaya Mandailing dalam pelaksanaan pesta pernikahan. Peneliti

memeperoleh data tentang inplementasi partuturon yang berubah terhadap sikap yang turut

berubah pada masyarakat Mandailing di kota Medan.

b. Data Sekunder, dapat diperoleh melalui:

Studi kepustakaan yaitu teknik pengumpulan data dengan menggunakan berbagai

literatur seperti, buku, majalah, jurnal, laporan penelitian dan lain-lain

c. Dokumentasi.

Dokumentasi merupakan salah satu metode pengumpulan data yang digunakan dalam

metodologi penelitian sosial. Pada intinya metode dokumentasi adalah metode yang

digunakan untuk menelusuru data histori. (Bungin, 2007:121)

d. Metode penelusuran Data Online

Perkembangan internet yang semakin maju pesat serta telah mampu menjawab berbagai

kebutuhan masyarakat. Para akademis juga menjadikan internet sebagai salah satu medium

atau ranah yang sangat bermanfaat bagi penelusuran berbagai informasi, mulai dari

informasi teoritis maupun data-data primer atau sekunder yang diinginkan oleh peneliti

(41)

1.6.3. Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan proses pengkajian hasil wawancara, pengamatan dan

dokumen yang terkumpul. Proses analisis data dilakukan terus – menerus, baik di lapangan

maupun setelah pengumpulan data. Analisis dilakukan dengan cara mengatur, mengurutkan,

mengelompokkan dan mengkategorikan data. Setelah itu, kemudian dihubungkan antar

kategori yang ada dan di interpretasikan. Dalam penelitian ini unit analisa data adalah

individu dan kelompok. Dimana individu di tujukan kepada Tokoh adat yang dianggap

mengetahui adat Partuturon Mandailing, sedangkan kelompok dikategorikan kepada Mora,

Kahanggi, Anak boru yang dianggap mewakili anggota kerabat dari berbagai pihak

(42)

BAB II

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

2.1. Sejarah Kota Medan

Kehadiran kota Medan sebagai suatu bentuk kota memiliki proses perjalanan yang

panjang dan kompleks, hal ini dibuktikan dengan berkembangnya daerah yang dinamakan

sebagai “ Medan ” ini menuju pada bentuk kota metropolitan. Hari lahir kota Medan adalah 1

Juli 1590, sampai saat ini usia kota Medan telah mencapai 422 Tahun.

Keberadaan kota Medan saat ini tidak lepas dari historis yang panjang, dimulai dari

dibangunnya kampung Medan Puteri tahun 1590 oleh Guru Patimpus, kota Medan

berkembang semenjak Guru Patimbus membangun kampung tersebut, Guru Patimbus adalah

seorang putra Karo bermarga Sembiring Pelawi dan beristrikan seorang puteri Datuk Pulo

Brayan. Dalam bahasa Karo kata Guru berarti “ Tabib “ atau “ Orang Pintar “, kemudian kata

“ Pa “ merupakan sebutan untuk seorang Bapak berdasarkan sifat atau keadaan seseorang,

sedangkan kata “Timpus” berarti bundelan., bungkus atau balut. Dengan demikian, maka

nama Guru Patimpus bermakna sebagai seorang tabib yang memiliki kebiasaan membungkus

sesuatu dalam kain yang diselempangkan di badan untuk membawa barang bawaannya.

(http//id.wikipedia.org/wiki/Medan diakses pada 23/ Januari/ 2011. )

Berkembang menjadi Kesultanan Deli pada tahun 1669 yang diproklamirkan oleh

Tuanku Perungit yang memisahkan diri dari Kesultanan Aceh. Perkembangan kota Medan

selanjutnya ditandai dengan perpindahan Ibukota Residen Sumatera Timur dari Bengkalis

(43)

sejak awal memposisiskannya menjadi jalur lalu lintas perdagangan. Posisinya yang terletak

di dekat pertemuan Sungai Deli dan Batubara, serta adanya kebijakan Sultan Deli yang

mengembangkan perkebunan tembakau dalam awal perkembangannya, yang telah

mendorong berkembangnya kota Medan sebagai Pusat Perdagangan sejak masa lalu :

Gambar 1

(44)

( Sumber Dian Angraini )

Keberadaan kota Medan tidak lepas dari peran para pendatang asing yang datang ke

Medan sebagai pedagang ataupun lainnya, peranan Nienhuys sebagai pemilik modal

perkebunan tembakau yang berkawasan di daerah Marylan telah menjadi cikal-bakal

pertumbuhan Medan. Nienhuys pada proses perkembangan perkebunan tembakau telah

memindahkan pusat peragangan tembakau miliknya ke Medan Putri, yang pada saat sekarang

ini dikenal sebagai Kawasan Gaharu. Proses perpindahan ini telah dapat menciptakan

perkembangan perkembangan kota Medan seperti saat sekarang ini, sedangkan dijadikannya

Medan menjadi Ibukota dari Deli juga telah mendorong Medan berkembang menjadi pusat

pemerintahan. Sampai saat ini selain merupakan suatu wilayah kota juga sekaligus Ibukota

Sumatera Utara.

Gambaran kota Medan merupakan sekilas penjelasan mengenai keberadaan kota

Medan sebagai kawasan yang menjadi fokus lokasi penelitian ini, sebagai pusat pemerintahan

kota Medan yang memiliki 21 daerah kecamatan dan 151 daerah kelurahan

tersebut, hanya beberapa kecamatan saja yang diambil sebagai lokasi penelitian, karena

dianggap lokasi tersebut mewakili keberadaan masyarakat Mandailing beserta dengan

kelengkapan adat istiadatnya oleh karena itu daerah tersebut menjadi pusat lokasi penelitian.

2.2 Letak Lokasi dan Keadaan Alam Lokasi Penelitian

Letak lokasi penelitian berada pada wilayah administratif kotamadya Medan yang

(45)

1. Wilayah Sei Mati, Medan Maimun

2. Wilayah Mariendal ( Simpang Limun ), Medan Amplas

3. Wilayah Sei Agul, Medan Barat

4. Wilayah Bandar Selamat, Medan Tembung

5. Wilayah Pancing, Medan Tembung

Adapun ke-lima wilayah ini merupakan perwakilan dari wilayah masyarakat

Mandailing yang bertempat tinggal di kota Medan. Letak lokasi dan keadaan alam akan

dijelaskan terkait dengan lima wilayah tersebut.

2.2.1. Wilayah Sei Mati, Medan Maimun

Sejarah berdirinya daerah Sei Mati diawali pada zaman penjajahan Belanda, melalui

perkebunan yang dikelola oleh Belanda yang memerlukan tenaga kerja dalam perkebunannya

tersebut. Banyak pekerja yang akhirnya datang ke kota Medan, diantara para pekerja tersebut

banyak pekerja yang berasal dari daerah Mandailing.

Seiring berjalannya waktu para pekerja di perkebunan Belanda tersebut semakin

banyak dibutuhkan dan hal ini juga yang menyebabkan jumlah masyarakat Mandailing

semakin bertambah banyak di kota Medan. Pada masa itu jumlah tenaga kerja mayoritas

berasal dari etnis Mandailing yang beragama Islam. Untuk mencari perlindungan mereka

menghadap Sultan Deli, hal ini dikarenakan mereka berpendapat persamaan agama akan

membuat Sultan Deli mau membantu mereka. Usaha yang dilakukan untuk menghadap

Sultan Deli tidak sia-sia karena beliau memberikan pinjaman wilayah sebagai tempat tinggal

(46)

Pada saat sekarang ini wilayah tersebut dikenal dengan wilayah Sungai Mati di bawah

naunagan kelurahan Medan Maimun. Adapun luas kecamatan Medan Maimun adalah 2,98

km2, pada tahun 2010 kecamatan ini memiliki penduduk sebesar 48.995 jiwa. Dan kepadatan

penduduknya adalah 16. 441,28 jiwa/km ( kecamatan dalam angka 2010 )

Kecamatan Medan Maimun adalah salah satu dari 21 kecamatan yang terdapat di kota

Medan, Sumatera Utatara. Kecamatan Medan Mimun berbatasan dengan Polonia di sebelah

barat, Medan kota di timur, Medan Johor di selatan, dan Medan Petisah di Utara.

Istana peninggalan Kesultanan Deli yang terkenal adalah Istana Maimun, terletak di

kecamatan ini. Kecamatan Medan Maimun memiliki enam kelurahan, yaitu:

1. Sukaraja

2. Aur

3. Jati

4. Hamdan

5. Sei Mati

6. Kampung Baru

2.2.2. Wilayah Mariendal ( Simpang Limun ), Kecamatan Medan Amplas

Daerah Mariendal pada saat ini merupakan suatu istilah untuk menyebutkan daerah

administratif kelurahan Sitirejo. Pada dasarnya daerah ini merupakan pusat transportasi darat

di kota Medan. Daerah ini merupakan suatu tempat berkumpulnya masyarakat yang terdiri

dari berbagai etnis dan golongan, hal tersebut dimungkinkan karena daerah ini merupakan

(47)

Kecamatan Medan Amplas juga terdapat Terminal Terpadu Amplas yang merupakan

terminal keluar masuk mobil angkutan umum antar kota dan proinsi. Sebagai pusat

transportasi, terminal Amplas juga merupakan tempat pertukaran informasi. Pertukaran dan

perpidahan penduduk dari daerah lain. Proses perpindahan penduduk berdampak pada proses

migrasi masyarakat. Proses migrasi didsarkan pada kondisi kota Medan sebagai pusat

pemerintahan Sumatera Utara secara administratif. Pandangan-pandangan terhadap pusat

kota sebagai barometer pembangunan perkembangan yang tercermin dari proses migrasi

yang terjadi di kota Medan, adanya doktrin pada masyarakat yang beranggapan kota Medan

menjanjikan kehidupan yang lebih baik, sehingga hal ini yang membuat banyak para

pendatang yang melakukan migran ke kota Medan, termasuk masyarakat Mandailing.

Kecamata Medan Amplas adalah salah satu dari 21 kecamatan di kota Medan,

Sumatera Utara. Kecamatan Medan Amplas berbatasan dengan Medan Johor di sebelah barat,

Kabupaten Deli Serdang di timur, Kabupaten Deli Serdang di selatan, Medan Kota dan

Medan Denai di utara.

Pada tahun 2010 kecamatan Medan Amplas memiliki penduduk sebesar 88.638 jiwa.

Luasnya adalah 11,19 km2 dan kepadatan penduduknya adalah 7. 921,8 jiwa/km. kecamatan

ini memiliki tujuh kelurahan, diantaranya sebagai berikut:

1. Amplas

2. Sitirejo

3. Sitirejo III

4. Timbang Deli

5. Harjosari

6. Harjosari II

(48)

2.2.3. Wilayah Sei Agul, Kecamatan Medan Barat

Sei Agul merupakan salah satu wilayah yang didiami oleh masyarakat Mandailing di

kota Medan, pemilihan daerah ini didasarkan sebagai daerah alternatif tempat tinggal

yang dikarenakan mayoritas pendududk masyarakat Mandailing di wilayah ini memiliki

mata pencaharian sebagai pedagang. Profesi pedagang ini pada awalnya dilakukan di

Pajak Bundaran atau sekarang ini dikenal dengan Pajak Petisah, di wilaah ini mereka

melakukan proses perdagangan dan perekonomian.

Perdagangan yang dilakukan oleh masyarakat Mandailing adalah berdagang hasil-hasil

alam, seperti sayuran, buah-buahan, maupun hasil kerajinan tangan seperti kain dan

peralatan rumah tangga. Masyarakat Mandailing ini kemudian membentuk suatu tempat

yang dianggap lebih dekat dengan tempat mereka melakukan perdagangan sehingga lebih

memudahkan mereka menuju tempat perdagangan karena jarak yang tidak terlalu jauh

dengan lokasi termpat tinggal. Masyarakat Mandailing memilih tinggal di daerah Sei

Agul karena dianggap wilayah yang lebih dekat dengan lokasi perdagangan yang mereka

lakukan.

Kecamatan Medan Barat adalah salah satu dari 21 kecamatan yang terdapat di kota

Medan, Sumatera Utara. Kecamatan Medan Barat berbatasan dengan Medan Deli di sebelah

barat, Medan Petisah di timur, Medan Timur di selatan, dan Medan Helvetia di utara.

Pada tahun 2010, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar 86.706 jiwa. Luasnya

(49)

Medan Barat adalah salah satu daerah jasa dan perniagaan di kota Medan. Daerah

Medan Barat terdapat sebuah bengkel khusus kreta api yang dimiliki oleh PT. Kreta Api

Indonesia Eksploitasi Sumatera Utara ( PT. KAI.ESU ).

Kecamatan ini mempunyai enam kelurahan, diantaranya :

1. Glugur Kota

2. Karang Berombak

3. Pulo Brayan Kota

4. Sei Agul

5. Silalas

6. Kawasan

2.2.4. Wilayah Bandar Selamat , Kecamatan Medan Tembung

Bandar Selamat pada perkembangannya merupakan pusat transportasi antar kota yang

terdapat di kota Medan, sama hal seperti wilayah Mariendal, kecamatan Medan Amplas.

Terbentuknya wilayah Bandar Selamat sebagai pusat Transportasi kota Medan dipengaruhi

oleh pembangunan jalan tol yang terdapat di wilayah tersebut.

Kebijakan pemerintah kota Medan yang melarang kenderaan berat melintas di dalam

kota, memunculkan pembangunan jalan tol untuk memudahkan perjalanan kenderaan berat

yang ingin melintas di kota Medan.

Pembangunan jalan tol diwilayah Bandar Selamat telah menyebabkan wilayah tersebut

menjadi lokasi perwakilan kenderaan antar kota, baik yang mengangkut barang maupun

penumpang. Lokasi-lokasi perwakilan kendraan antar kota di wilayah ini didominasi oleh

usaha kendraan yang berasal dari daerah Mandailing dan sekitarnya, hal ini kemudian

(50)

wilayah ini terdapat organisasi HIKMA ( Organisasi Keluarga Mandailing ). Organisasi ini

setidaknya menaungi masyarakat Mandailing yang terdiri dari beberapa marga, tujuan

organisasi ini adalah untuk merekatkan hubungan antara masyarakat Mandailing di kota

Medan.

2.2.5. Wilayah Pancing, Medan Tembung

Dalam penelitian ini wilayah pancing Medan Tembung juga merupakan lokasi

penelitian dikarenakan masyarakat Mandailing juga banyak mendiami wilayah ini,wilayah

Sei Agul, wilayah ini juga merupakan daerah alternatif tempat tingal. Adanya faktor jarak

dimana dalam hal ini masyarakat Mandailing yang datang ke kota Medan dengan tujuan

untuk menetap memilih jarak yang dekat dengan pusat transportasi yang menghubungkan

antara tempat tinggal di kota Medan dan perwakilan transportasi serta kampung halaman

mereka.

Kecamatan Medan Tembung adalah salah satu dari 21 kecamatan yang terdapat di kota

Medan, Sumatera Utara. Kecamatan Medan Tembung berbatasan dengan Medan Perjuangan

di sebelah barat, Kabupaten Deli Serdang di Timur, Medan Denai di selatan, dan Kbupaten

Deli Serdang di sebelah Utara. Pada tahun 2010, kecamatan ini mempunyai penduduk sebesar

134.113 jiwa. Luasnya adalah 7,99 km2 dan kepadatan penduduknya adalah 16.785,11

jiwa/km. kecamatan ini memiliki tujuh kelurahan diantaranya :

1. Tembung

(51)

4. Siderejo

5. Siderejo Hilir

6. Bantan

7. Bantan Timur

2.3. Geografis

Koordinat geografis kota Medan Permukaan tanahmya cendrung miring ke utara dan

berada pada ketinggian 2,5-37,5 m atas permukaan laut.

Kota Medan berbatasan dengan Selat Malaka di sebelah utara, sedangkan di sebelah

barat , selatan dan timur berbatasan dengan Kabupaten Deli Serdang. Kota medan sendiri

menjadi kota induk dari beberapa kota satelit di sekitarnya seperti kota Binjai, Lubuk Pakam,

Deli Tua, dan Tebing Tinggi.

Luas kota Medan saat ini adalah 265,10 km2. sebelumnya hingga tahun 1972 Medan

hanya mempunyai luas sebesar 51,32 km2, namun kemudian diedarkan Peraturan Pemerintah

No. 22 tahun 1973 yang memperluas wilayah kota Medan dengan mengintegrasikan sebagai

wilayah Kabupaten Deli Serdang.

2.4. Visi dan Misi Kota Medan

Untuk mewujudkan pembangunan kota Medan yang lebih terarah, terencana,

menyeluruh, terpadu, realistis dan dapat dievaluasi, maka perlu dirumuskan rencana strategik

sebagai broad guide line penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan pembinaan.

Gambar

Gambar 1
Gambar 2
Tabel diatas merupakan gambaran partuturon yang ideal sesuai hukum adat
Tabel di atas merupakan gambaran perubahan partuturon yang terjadi di kota Medan,
+7

Referensi

Dokumen terkait

di dalam hal adat adalah sedikit perubahan aturan nilai-nilai dari kebiasaan adat batak, dimana yang seharusnya dalam kegiatan adat itu yang capek bekerja adalah tugas boru, sekarang

Walaupun dalam budaya ini ada kegiatan berciuman yang dianggap kurang baik dan tidak sesuai dengan moral bangsa Indonesia yang sopan dan santun dan beberapa orang

Lie Tiong menjelaskan bahwa adat masyarakat Tionghoa (tokoh masyarakat adat Tionghoa) di Kecamatan Senapelan menjelaskan bahwa Adat Tionghoa, apabila akan melakukan

Perkawinan pada masyarakat Melayu Hamparan Perak sebagi suatu cara untuk menghasilkan hubungan kekerabatan, masih memegang adat mereka dalam perkawinan tersebut, hal ini dimulai

pesta adat perkawinan yang merupakan bagian dari adat budaya Tapanuli Selatan. Pakaian adat ini memiliki ciri khas

Adat Budaya Mandailing Dalam Tantangan Zaman.. Provinsi Sumatera

Pada wanita istilah homoseks ini lebih dikenal dengan sebutan lesbian ( berasal dari kata Lesbos yang merupakan sebuah pulau dikawasan Yunani, tempat seorang penyair

Tanah-tanah adat atau tanah ulayat di Bali lebih dikenal dengan sebutan tanah desa. Tanah Druwe atau sering disebut juga Druwe Desa adalah tanah yang dimiliki atau