ADAPTASI MASYARAKAT TERHADAP PERUBAHAN FUNGSI HUTAN (Studi Deskriptif tentang Kehadiran Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari di
Desa Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara) SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Menyelesaikan Pendidikan Sarjana (S-1) Fakultas Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik
Program Studi Sosiologi
OLEH PRABU TAMBA
060901052
DEPARTEMEN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ABSTRAKSI
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain yang menempati daerah yang cukup luas.Ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup beraneka ragam flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. di desa Tapian Nauli III terjadi tiga kali peralihan funsi hutan yaitu dari hutan ulayat, hutan reboisasi hingga hutan tanaman industri atau yang selanjutnya disebut HTI. HTI adalah sebidang luas daerah yang sengaja ditanami dengan tanaman industri (terutama kayu) dengan tipe sejenis dengan tujuan menjadi sebuah hutan yang secara khusus dapat dieksploitasi untuk kebutuhan industri pulp tanpa membebani hutan alami. Hasil hutan tanaman industri berupa kayu bahan baku pulp dan kertas. Pembangunan HTI mempunyai 3 (tiga) sasaran utama yang dapat dicapai yakni sasaran ekonomi, ekologi dan sosial. Pengusahaan HTI ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta. Tujuan pengusahaan HTI adalah menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha (PP Nomor 7 1990, pasal 2). dengan perubahan fungsi hutan ini maka masyarakat dengan sendirinya beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. dalam penelitian ini peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara kepada masyarakat desa Tapian Nauli III, wawancara dilakukan kepada Tokoh Masyarakat, Pemerintah Desa, dan masyarakat desa Tapian Nauli III. Penelitian deskriptif ini diharapakan dapat memberi gambaran mengenai adaptasi masyarakat terhadap perubahan fungsi hutan yang terjadi di desa Tapian Nauli III Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara.
KATA PENGANTAR
Dengan segala kerendahan hati penulis mengucapkan puji dan syukur kepada
Tuhan Yang Maha Esa, karena kasih dan perlindungan-Nya yang begitu besar pada
penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang berjudul:
“ADAPTASI MASYRAKAT TERHADAP PERUBAHAN FUNGSI HUTAN”.
Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar sarjana dari
Departemen Sosiologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera
Utara.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan pembelajaran dan
hikmad, terutama dalam hal ketekunan, kesabaran, dan disiplin. Dalam penyelesaian
skripsi ini penulis penulis merasakan betapa pentingnya eksplorasi berpikir dan
bertindak, serta mengembangkan penalaran, selain hal tersebut penulis juga
mendapati berbagai hambatan. Hal ini disebabkan keterbatasan pengetahuan,
pengalaman, dan materi penulis. Selama penulisan skripsi ini, penulis banyak
menerima bantuan, kritikan, saran-saran, motivasi, serta dukungan dan doa dari
berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada
semua pihak yang membantu dan memberikan motivasi kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini. Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan dan
mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. DR. Badaruddin, M.Si., selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial Dan
Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
2. Ibu Dra. Lina Sudarwati, M.Si, selaku Ketua Departemen Sosiologi, Fakultas
3. Bapak Drs. Ilham Saladin, M.Sp, selaku Sekretaris Departemen Sosiologi,
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara.
4. Ibu Dra. Ria Manurung, M.Si, selaku Dosen Pembimbing penulis selama
proses penyusunan skripsi yang telah banyak membimbing, memberikan
waktu, tenaga, dan sumbangan pemikiran dalam memberikan saran dan kritik
serta mengevaluasi sehingga skripsi ini dapat selesai dengan baik.
5. Bapak dan Ibu Dosen yang ada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Sumatera Utara, khususnya dosen yang mengajar mata kuliah di
Departemen Sosiologi, atas ilmu yang telah diberikan kepada penulis selama
ini.
6. Para Pegawai di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik yang membantu penulis
dalam menyelesaikan studi selama di Kampus ini.
7. Ayahanda T. Tamba dan Ibunda N. Br.Pardede yang selalu sabar dalam
membimbing dan mengarahkan penulis untuk menjadi seorang sarjana yang
berkompeten. Orang tua yang melahirkan, membesarkan dan selalu
memberikan cinta kasih dan pengertian, dorongan, pengorbanan, dan motivasi
yang tidak ada hentinya kepada penulis terlebih untuk menyelesaiakan
perkuliahan terutama dalam masa penyelesaian skripsi ini.
8. Bapak Marasudin Silitonga, selaku Camat Sipahutar yang telah membantu dan
memberikan izin penelitian kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
9. Bapak Dapot Pardede, selaku Kepala Desa yang telah membantu dan
10. Masyarakat Desa Tapian Nauli III, terkhusus kepada para informan yang
telah meluangkan waktunya untuk penyusunan skripsi ini.
11. Keluarga Besar Op. Pardamean Tamba, Op. Bahagia Pardede, Abang Penulis
S. Tamba dan Adik-adik penulis Rianto Tamba, Sudoyok Tamba, Sri Milka
Tamba, Berkat Tamba dan Dewi Siska Tamba atas dukungan dan doanya
yang senantiasa memotivasi penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
12. Abang dan adik-adik di Departemen Sosiologi serta teman-teman diorganisasi
GMNI dan IMASI. yang telah banyak memberikan masukan kepada penulis
sehingga skripsi ini dapat terselelesaikan.
Ahir kata penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
banyak membantu penulis dalam penyelesaian skripsi ini. Doa dan harapan penulis
kiranya skripsi ini dapat menjadi bahan masukan bagi siapa saja yang membanca.
Medan, Mei 2013
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK... i
KATA PENGANTAR... ... ii
DAFTAR ISI... v
BAB I PENDAHULUAN... 1
1.1 Latar Belakang Masalah... 1
1.2 Perumusan Masalah...11
1.3 Pembatasan Masalah...11
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian...11
1.4.1 Tujuan Penelitian...11
1.4.2 Manfaat Penelitian...12
1.5 Defenisi Konsep...12
BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 14
2.1 Solidaritas Sosial...15
2.2 Mobilitas Sosial...17
2.3 Adaptasi Sosial...20
BAB III METODE PENELITIAN...24
3.1 Jenis Penelitian...24
3.2 Lokasi Penelitian...24
3.3 Unit Analisis Data dan Informan... 25
3.3.1 Unit Analisis... 25
3.4 Teknik Pengumpulan Data...26
3.4.1 Data Primer... 26
3.4.2 Data Sekunder ...27
3.5 Interpretasi Data...27
3.6 Tabel Jadwal Kegiatan ...28
3.7 Keterbatasan Penelitian ...28
BAB IV DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN...30
4.1 Deskriptif Lokasi Peneltian ...30
4.1.1 Sejarah Singkat DesaTapian Nauli III ...30
4.1.2 Pola-Pola Hubungan Sosial Masyarakat Di Desa Tapian Nauli III ...33
4.1.3Sejarah Singkat PT. Toba Pulp Lestari (PT. TPL) ... 35
4.2 Penyajian dan Interpretasi Data...38
4.3 Profil Informan...38
4.3.1 Informan Kunci...38
4.3.2 Informan Biasa...40
4.4 Sikap Masyarakat Terhadap Kehadiran Hutan Tanaman Industri …. ………... 41
4.5 Adaptasi Jenis Pekerjaan Terhadap Perubahan Fungssi Hutan... 43
4.7 Hubungan( Interaksi Sosial ) Sesama Masyarakat Desa Tapian
Nauli III Setelah Masuknya Hutan Tanaman Industri
PT. Toba Pulp Lestari... 50
4.8 Kondisi Nilai Sosial Setelah Perubahan Fungsi Hutan ( Masuknya HTI PT. TPL )... 58
4.9 Kondisi Norma Sosial Setelah Perubahan Fungsi Hutan ( Masuknya HTI PT. TPL )... 67
BAB V PENUTUP... 72
5.1 Kesimpulan ... 72
5.2 Saran ...73
ABSTRAKSI
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi kumpulan tumbuhan dan juga tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain yang menempati daerah yang cukup luas.Ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup beraneka ragam flora dan fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan global. di desa Tapian Nauli III terjadi tiga kali peralihan funsi hutan yaitu dari hutan ulayat, hutan reboisasi hingga hutan tanaman industri atau yang selanjutnya disebut HTI. HTI adalah sebidang luas daerah yang sengaja ditanami dengan tanaman industri (terutama kayu) dengan tipe sejenis dengan tujuan menjadi sebuah hutan yang secara khusus dapat dieksploitasi untuk kebutuhan industri pulp tanpa membebani hutan alami. Hasil hutan tanaman industri berupa kayu bahan baku pulp dan kertas. Pembangunan HTI mempunyai 3 (tiga) sasaran utama yang dapat dicapai yakni sasaran ekonomi, ekologi dan sosial. Pengusahaan HTI ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1990 tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta. Tujuan pengusahaan HTI adalah menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha (PP Nomor 7 1990, pasal 2). dengan perubahan fungsi hutan ini maka masyarakat dengan sendirinya beradaptasi dengan perubahan lingkungan yang terjadi di sekitarnya.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif. dalam penelitian ini peneliti melakukan pengumpulan data dengan cara melakukan wawancara kepada masyarakat desa Tapian Nauli III, wawancara dilakukan kepada Tokoh Masyarakat, Pemerintah Desa, dan masyarakat desa Tapian Nauli III. Penelitian deskriptif ini diharapakan dapat memberi gambaran mengenai adaptasi masyarakat terhadap perubahan fungsi hutan yang terjadi di desa Tapian Nauli III Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara.
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Hutan adalah sebuah kawasan yang ditumbuhi kumpulan tumbuhan dan juga
tanaman, terutama pepohonan atau tumbuhan berkayu lain yang menempati daerah
yang cukup luas.Ekosistem hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti
penyedia sumber air, penghasil oksigen, tempat hidup beraneka ragam flora dan
fauna, dan peran penyeimbang lingkungan, serta mencegah timbulnya pemanasan
global.
Dinas Kehutanan Indonesia pada tahun 1950 pernah merilis peta hutan. Peta
yang memberikan informasi bahwa dulunya sekitar 84 persen (84%) luas daratan
Indonesia atau sekitar 162.290.000 hektar tertutup hutan primer dan sekunder,
termasuk seluruh tipe perkebunan. Dalam peta hutan pada tahun 1950 juga
menyebutkan luas hutan per pulau secara berturut-turut sebagai berikut: Kalimantan
memiliki areal hutan seluas 51.000.000 hektar, Irian Jaya seluas 17.700.000 hektar,
Sumatera seluas 37.370.000 hektar, Sulawesi seluas 17.050.000 hektar, Maluku
seluas 7.300.000 hektar, Jawa seluas 5.070.000 hektar dan terakhir Bali dan Nusa
Tenggara Barat serta Nusa Tenggara Timur seluas 3.400.000 hektar. Namun Luas
hutan Indonesia terus menciut, sebagaimana Departemen Kehutanan mengeluarkan
data luas penetapan kawasan hutan secara berturut-turut sebagai berikut: Tahun 1950
terdapat kawasan hutan seluas 162,2 juta hektar, pada tahun 1992 terdapat kawasan
hektar, dan pada tahun 2005 terdapat kawasan hutan seluas 93,92 juta hektar.
Perincian kawasan hutan Indonesia yang mencapai 93,92 juta
sebagai berikut:
1. Hutan tetap : 88,27 juta ha.
2. Hutan konservasi : 15,37 juta ha.
3. Hutan lindung : 22,10 juta ha.
4. Hutan produksi terbatas : 18,18 juta ha.
5. Hutan produksi tetap : 20,62 juta ha.
6. Hutan produksi yang dapat dikonversi : 10,69 juta ha.
7. Areal Penggunaan Lain (non-kawasan hutan) : 7,96 juta ha.
(diakses 13 Oktober)
Menurut Dinas Perhutani Bandung Selatan ada 7 fungsi hutan yang sangat
membantu kebutuhan dasar (basic needs) kehidupan manusia, yaitu :
1. Hidrologis, maksudnya adalah hutan merupakan tempat penyimpanan air dan
tempat menyerapnya air hujan maupun embun yang pada akhirnya akan
mengalirkannya ke sungai-sungai melalui mata air-mata air yang ada di hutan.
Dengan adanya hutan, air hujan yang berlimpah dapat diserap dan disimpan di
dalam tanah dan tidak terbuang percuma.
2. Keberadaan hutan sangat berperan melindungi tanah dari erosi dan longsor.
3. Hutan merupakan tempat memasaknya makanan bagi
tanaman-tanaman, dimana di dalam hutan ini terjadi daur unsur hara (nutrien, makanan
bagi tanaman) dan melalui aliran permukaan tanahnya dapat mengalirkan
4. Fungsi penting hutan lainnya adalah sebagai pengatur iklim, melalui
kumpulan pohon-pohonnya dapat memproduksi Oksigen (O2) yang
diperlukan bagi kehidupan manusia dan dapat pula menjadi penyerap
karbondioksida (CO2) sisa hasil kegiatan manusia, atau menjadi paru-paru
wilayah setempat bahkan jika dikumpulkan areal hutan yang ada di daerah
tropis ini, dapat menjadi paru-paru dunia. Siklus yang terjadi di hutan, dapat
mempengaruhi iklim suatu wilayah.
5. Fungsi hutan yang lain adalah sebagai area yang memproduksi embrio-embrio
flora dan fauna yang bakal menambah keanekaragaman hayati. fungsi hutan
ini dapat mempertahankan kondisi ketahanan ekosistem disatu wilayah.
6. Fungsi Hutan berikutnya adalah mampu memberikan sumbangan alam yang
cukup besar bagi devisa negara, terutama dibidang industri, selain kayu hutan
juga menghasilkan bahan-bahan lain seperti damar, kayu putih, rotan serta
tanaman-tanaman obat.
7. Hutan juga mampu memberikan devisa bagi kegiatan turisme, yaitu sebagai
penambah estetika alam bagi bentang alam yang kita miliki.
Dari jenisnya hutan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis, diantaranya
adalah :
1. Hutan dibedakan menurut asalnya
a) Hutan Primer
b) Hutan Sekunder
2. Hutan berdasarkan susunan jenis tanamannya
Berdasarkan susunan jenis tanamannya hutan dibedakan menjadi 2 yaitu :
a) Hutan Sejenis
b) Hutan Campuran
3. Hutan berdasarkan letak geografisnya
4. Hutan berdasarkan Pembuatannya
5. Hutan berdasarkan jenis pohon yang dominan
6. Hutan berdasarkan pengelolaannya
Hutan produksi adalah hutan yang dikelola untuk menghasilkan kayu ataupun
hasil hutan bukan kayu, salah satu hutan produksi adalah Hutan Tanaman Industri
atau yang selanjutnya disebut HTI. HTI adalah sebidang luas daerah yang sengaja
ditanami dengan tanaman industri (terutama kayu) dengan tipe sejenis dengan tujuan
menjadi sebuah hutan yang secara khusus dapat dieksploitasi untuk kebutuhan
industri pulp tanpa membebani hutan alami.Hasil hutan tanaman industri berupa kayu
bahan baku pulp dan kertas. Pembangunan HTI mempunyai 3 (tiga) sasaran utama
yang dapat dicapai yakni sasaran ekonomi, ekologi dan sosial. Berdasarkan
sasarannya, maka pembangunan HTI tentunya akan memberikan pengaruh positif
terhadap kehidupan ekonomi, sosial, dan lingkungan masyarakat disekitar kawasan
HTI. Dalam mewujudkan pembangunan HTI maka banyak pihak yang terlibat, salah
pembangunan HTI maka secara langsung masyarakat disekitar kawasan HTI tersebut
tentu akan terkena pengaruh atau dampaknya baik dari segi sosial maupun ekonomi.
Pengusahaan HTI ini diatur dalam Peraturan Pemerintah No 7 Tahun 1990
tentang Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) yang melibatkan Badan
Usaha Milik Negara (BUMN) dan pihak swasta. Gambaran ini dapat dilihat dengan
maraknya industri-industri bubur kertas (pulp) yang notabene bahan bakunya dari
kayu. Hal tersebut telah mampu menarik banyak investor karena memiliki nilai
ekonomi (benefit) yang tinggi sehingga pengelolaannya dilakukan oleh swasta
(pengusaha), pemerintah hanya sebagai regulator (Dinas Perhutani).Tujuan
pengusahaan HTI adalah menunjang pengembangan industri hasil hutan dalam negeri
guna meningkatkan nilai tambah dan devisa, meningkatkan produktivitas lahan dan
kualitas lingkungan hidup, serta memperluas lapangan kerja dan lapangan usaha (PP
Nomor 7 1990, pasal 2).
Menurut sejarah, Industri pulp dan kertas pertama kali di Indonesia adalah
N.V. Papier Fabriek Padalarang yang didirikan pada tahun 1923, selanjutnya pada
tahun 1939 N.V. Papier Fabriek Padalarang mendirikan anak perusahaan yaitu pabrik
kertas Letjes. Setelah itu Pemerintah mendirikan pabrik kertas Siantar di Sumatera
Utara dan pabrik kertas Martapura di Kalimantan, pada tahun 1961 di pulau jawa
didirikan PN Kertas Blabak, kemudian diikuti dengan didirikannya Perum Kertas
Gowa pada tahun 1967 di pulau Sulawesi dan PN Kertas Basuki Rahmat di Pulau
Jawa pada tahun 1971. (sumber: APKI sejarah-industri-pulp-dan-kertas diakses 30
Semenjak didirikannya industri pulp dan kertas pada tahun 1923 Sampai saat
ini industri pulp dan kertas di indonesia terus mengalami perkembangan, sekitar 80
industri pulp dan kertas yang tersebar di wilayah Indonesia, diantaranya adalah
sebagai berikut:
N
o
Nama Perusahaan Lokasi
1 PT. Indah Kiat Pulp & Paper
2012)
Riaudan Serang,Banten
2 PT. Pabrik Kertas Tjiwi Kimia
diakses 30 Mei 2012)
Jakarta,dan
4 PT. Lontar Papyrus Pulp & Paper Industry
Jambi
5 PT. The Univenus
(http://www.paperworld.com/firmeninfo.php?sprache=uk&menue=10&keyfirma=26 33337 diakses 30 Mei 2012)
Tangerang
6 PT. Ekamas Fortuna
Malang, Jawa Timur
7 PT. Purinusa Ekapersada
Menteng, Jakarta
8 PT. Musi Hutan Persada (MHP)
)
Palembang, Sumatera Selatan 9 PT. Tanjung Enim Lestari
11 PT. Intiguna Primatama
13 PT. Wirajaya
(http://www. /wira-jaya-foam_tangerang_4112725.htm diakses 30 Mei 2012)
Tangerang, Banten 14 PT. Garuda Kalimantan Lestari
Kabupaten BaritoKuala, Kalimantan Selatan 15 PT. Kaltim Prima Pulp & Paper
Kapuas, Kalimantan Tengah 16 PT. Perusahaan Kertas Leces
Jakarta
17 PT. Kertas Padalarang
19 PT. Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP)
diakses
PT. Toba Pulp Lestari,Tbk yang berlokasi di desa Sosor Ladang, Kecamatan
Porsea Kabupaten Toba Samosir yang berjarak kira-kira 220 Km dari sebelah selatan
kota Medan merupakan salah satu Industri Pulp milik swasta yang turut mendukung
program Pemerintah dalam meningkatkan ekspor non migas. Berdirinya PT. Toba
Pulp Lestari, Tbk yang dulunya bernama PT. Inti Indorayon Utama, Tbk adalah demi
pemenuhan kebutuhan akan kertas dan rayon dalam negeri yang sebelumnya masih
diimpor dari berbagai negara. Sebagai sebuah pabrik pulp dengan proses kraft bahan
baku yang digunakan PT. Toba Pulp Lestari, Tbk adalah Eucalyptus yang merupakan
hasil Hutan Tanaman Industri (HTI) yang membutuhkan waktu tumbuh sekitar 4-5
tahun. PT. Toba Pulp Lestari (PT.TPL) mempunyai hutan tanaman industri (HTI)
dan keseluruhan hutan ini tersebar dibeberapa daerah kabupaten seperti di Kabupaten
Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan,
Kabupaten Samosir, Kabupaten Dairi serta Kabupaten Simalungun.
diakses tanggal 30 November 2011 Penulis: Erixon Ambarita)
Melalui observasi awal dan pra survei yang dilakukan peneliti di desa Tapian
Nauli III, Kecamatan Sipahutar yang terletak di Kabupaten Tapanuli Utara, PT. Toba
Pulp Lestari (PT. TPL) juga memiliki Hutan Tanaman Industri (HTI). Hutan
Tanaman Industri (HTI) di daerah ini merupakan konversi dari hutan reboisasi dinas
perhutani yang pada awalnya merupakan tanah ulayat masyarakat yang diserahkan
kepada negara. Penyerahan tanah ulayat dari masyarakat kepada negara untuk
kepentingan reboisasi ini terjadi dalam 4 kali tahapan penyerahan yaitu :
1. Pada surat penyerahan tanah Tanggal 6 Februari 1975 tanah
perladangan yang dinamakan Sibongbong di siharbangan seluas 500
Ha.
2. Tanggal 19 Agustus 1975, tanah Panontoran di Siharbangan seluas
1.000 Ha.
3. Tanggal 22 Mei 1976 tanah di Sibongbong daerah Siharbangan seluas
800 Ha.
4. Tanggal 16 Januari 1979 tanah di Siharbangan seluas 1.145 Ha.
(Sumber: Arsip Desa Tapian Nauli III tahun 2012)
Pada tahun 1992 tanah tersebut telah mengalami pengalihan fungsi dan
PT. Toba Pulp Lestari mendapat izin dengan SK HPHTI No.493/KTS-II /1992 untuk
membangun Hutan tanaman industri ekaliptus guna kepentingan ekonomi perusahaan
tersebut. dengan SK HPHTI tersebut PT. Toba Pulp Lestari menebang dan memanen
semua tanaman pinus hasil reboisasi kemudian secara berkelanjutan menanam
tanaman ekaliptus untuk dipanen setiap 4-5 tahun sekali hingga saat ini.
Lahan merupakan aset yang sangat penting bagi masyarakat desa Tapian
Nauli III, hal ini dikarenakan lahan merupakan salah satu sumber harapan untuk
bertahan hidup bagi masyarakat pedesaan. Dengan demikian, lahan sering kali
dijadikan indikator tingkat kesejahteraan masyarakat desa. Beberapa hasil penelitian
mengungkapkan bahwa luas pemilikan lahan berkorelasi positif dengan pendapatan
rumah tangga (Wiradi dan Manning, 1984).
Dari hasil observasi dan wawancara pada pra survei peneliti dengan penduduk
desa Tapian Nauli III, kondisi hutan di desa Tapian Nauli III mengalami 3 kali
pergantian fungsi yaitu hutan ulayat, hutan reboisasi dan kemudian berganti menjadi
hutan tanaman industri. Ketika hutan masih menjadi hutan ulayat, masyarakat
memanfaatkan hutan ini menjadi lahan pencaharian yaitu tempat mencari hasil hutan
seperti hewan buruan, rotan damar dan kemenyan (haminjon), namun ditahun 1975
seperti yang dipaparkan di atas sebagian besar hutan mengalami peralihan fungsi
yaitu menjadi hutan reboisasi yang ditanami pinus oleh dinas perhutani. Setelah
menjadi hutan reboisasi, masyarakat tidak lagi mengandalkan hutan sebagai
salah-satu sumber ekonomi. Masyarakat lebih menggiatkan pertanian dan perkebunan
hutan mengalami peralihan fungsi lagi yaitu dari hutan reboisasi menjadi hutan
tanaman industri, tepatnya HTI milik PT. Toba Pulp Lestari.
Adaptasi sosial merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri dalam
lingkungan sosial untuk memenuhi syarat-syarat dasar agar tetap dapat
melangsungkan kehidupan. Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11)
memberikan beberapa batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni:
1) Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
2) Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.
3) Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
4) Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
5) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan
dan sistem.
6) Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah.
Sesuai dari penjabaran tentang adaptasi sosial di atas, maka dari hasil
observasi awal peneliti dapat digambarkan ada pergeseran pola-pola didalam
lingkungan desa Tapian Nauli III. Diantaranya dari segi pekerjaan yaitu dari petani
menjadi wiraswasta dan karyawan serta kontraktor (mitra usaha PT. Toba Pulp
Lestari). Bergesernya pekerjaan ini merupakan adaptasi masyarakat terhadap
perubahan lingkungan yang ada disekitar mereka, tepatnya perubahan fungsi hutan
dimana dulunya lingkungan mereka adalah hutan reboisasi yang berubah fungsi
menjadi hutan tanaman industri yang menyediakan peluang kerja baru. Adaptasi yang
masyarakat terhadap nilai kepemilikan lahan, status tenaga kerja, pendapatan, nilai
sosial, status sosial dan interaksi sosial di dalam masyarakat.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian
mengenai bagaimana adaptasi masyarakat terhadap perubahan fungsi hutan di desa
Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan pada latar belakang masalah di atas,
maka yang menjadi perumusan masalah dalam penelitian ini adalah:
“Bagaimana adaptasi masyarakat terhadap perubahan fungsi hutan di desa
Tapian Nauli III, Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara?”
1.3 Pembatasan Masalah
Agar pembahasan tidak terlampau meluas yang menyebabkan tujuan penelitian
ini tidak tercapai dan pembahasan menjadi ambigu dan tidak original, maka penulis
membuat pembatasan masalah yaitu, proses adaptasi masyarakat di desa Tapian Nauli
III, kecamatan Sipahutar, kabupaten Tapanuli Utara terhadap perubahan fungsi hutan
yang terjadi, penilaian masyarakat terhadap nilai-nilai sosial setelah terjadinya
perubahan fungsi hutan.
1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.4.1 Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka yang menjadi tujuan dari
penelitian ini adalah:
“Untuk mengetahui Bagaimana adaptasi masyarakat terhadap perubahan fungsi
1.4.2 Manfaat Penelitian
Setiap penelitian diharapkan mampu memberikan manfaat baik bagi diri sendiri
maupun orang lain, terlebih lagi untuk perkembangan ilmu pengetahuan. Oleh karena
itu, yang menjadi manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih dan kontribusi
bagi kajian sosiologi, khususnya mengenai perubahan sosial, sosiologi lingkungan,
struktur sosial serta nilai sosial masyarakat yang berada disekitar daerah industri
padat modal.
2. Manfaat Praktis
Manfaat praktis dari penelitian ini harapannya adalah selain meningkatkan
kemampuan dan wawasan penulis dalam menulis karya ilmiah serta penerapan ilmu
di tengah-tengah masyarakat.
1.5 Defenisi Konsep
Dalam sebuah penelitian defenisi konsep sangat diperlukan dalam mempermudah
dan memfokuskan penelitian. Konsep adalah kerangka acuan penelitian di dalam
desain instrumen penelitian. Konsep digunakan agar masyarakat akademik atau
masyarakat ilmiah maupun konsumen penelitian atau pembaca laporan penelitian ini
mengetahui kerangka acuan dan batasan dalam penelitian ini. Konsep yang digunakan
1. Adaptasi Sosial
Adaptasi sosial merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri dalam lingkungan
sosial untuk memenuhi syarat-syarat dasar agar tetap dapat melangsungkan
kehidupan.
2. Perubahan Fungsi Hutan
Perubahan Fungsi Hutan adalah berubahnya kegunaan atau peruntukan hutan
tersebut menjadi kegunaan lain dikarenakan adanya hal-hal yang harus dipenuhi
terkait kebutuhan. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah berubahnya fungsi
hutan mulai dari hutan ulayat, menjadi hutan reboisasi hingga menjadi hutan
tanaman industri terkait kebutuhan perusahan Toba Pulp Lestari akan kayu
sebagai bahan baku produksi perusahaan tersebut.
3. Hutan Tanaman Industri
Hutan Tanaman Industri adalah sebidang luas daerah yang sengaja ditanami
dengan tanaman industri (terutama kayu) dengan tipe sejenis dengan tujuan
menjadi sebuah hutan yang secara khusus dapat dieksploitasi untuk kebutuhan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Secara tradisional hubungan masyarakat dan hutan meliputi multi aspek yaitu
sosial (termasuk religi), ekonomi dan ekologi sehingga hubungan hutan dan
masyrakat sekitar hutan memiliki kaitan dan interaksi yang tidak pernah putus dan
saling ketergantungan satu dengan yang lainnya. Pengelolaan ataupun pemanfaatan
sumber daya alam yang dilakukan oleh masyarakat memang selayaknya diakui ada
nilai positif dan negatifnya. Nilai positif yang didapat dari sumber daya alam untuk
masyarakat lokal tentu saja adalah terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari baik dari
hasil pertanian, perkebunan ataupun dari hasil hutan. dampak negatif dari pengelolaan
ataupun pemanfaatan sumber daya alam yang dilakukan masyarakat seperti punahnya
fauna, tanah gundul, serta tanah longsor.
Untuk mempertahankan hubungan masyarakat sekitar hutan dengan hutan
serta untuk menghindari pengrusakan hutan oleh oknum yang tidak bertanggung
jawab maka pemerintah mengeluarkan undang tentang hutan, yaitu
Undang-undang No. 41 tahun 1999. Berdasarkan pasal 69 dan 70 Undang-Undang-undang No. 41
tahun 1999 tentang Kehutanan, disebutkan bahwa masyarakat berkewajiban ikut serta
dalam menjaga hutan dari gangguan perusakan, berperan aktif dalam rehabilitasi,
turut berperan serta dalam pembangunan kehutanan dan pemerintah wajib mendorong
peran serta masyarakat yang terkait langsung dengan berbagai upaya dalam rangka
lahan, sehingga lestari danberkesinambungan. Dasar hukum penting lainnyabagi
peran serta atau partisipasi
masyarakat diakomodir dalam intruksi Mentari Kehutanan No. 31/Kpts-II/2001,
tentang Pengelolaan Hutan Berbasis Masyarakat (Community based forest
management) yang ditekankan untuk mempromosikan peran serta masyarakat lokal
dalam pengelolaan hutan.
Tingginya permintaan industri terutama industri kertas terhadap bahan baku
kayu pada saat ini menyebabkan hutan alam atau bahkan hutan reboisasi mulai
menyempit dikarenakan adanya peralihan fungsi hutan menjadi hutan tanaman
industri guna memenuhi kebutuhan industri kertas tersebut terhadap bahan baku kayu
tertentu. Seperti yang terjadi di daerah Tapanuli Utara tepatnya Desa Tapian Nauli III
di kecamatan Sipahutar yang merupakan daerah penelitian skripsi ini. Perubahan
fungsi hutan ini pastinya berpengaruh dengan kondisi sosial masyarakat sekitar
dikarenakan dengan adanya hutan tanaman industri ini maka membuka peluang kerja
baru buat masyarakat sekitar seperti karyawan perusahan, kontraktor (usaha mitra
perusahan) bahkan buruh harian lepas (BHL).
2.1 Solidaritas Sosial
Salah seorang sosiolog yang menaruh perhatian dan menjadikan fokus teoritis
dalam membaca masyarakat adalah Emile Durkheim. Bahkan, persoalan solidaritas
sosial merupakan inti dari seluruh teori yang dibangun Durkheim. Ada sejumlah
istilah yang erat kaitannya dengan konsep solidaritas sosial yang dibangun Sosiolog
berkebangsaan Perancis ini, diantaranya integrasi sosial (social integration) dan
situasi keadaan hubungan antar individu atau kelompok yang didasarkan pada
perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama yang diperkuat oleh
pengalaman emosional bersama. Durkheim membagi dua tipe solidaritas yaitu
solidaritas mekanik dan solidaritas organik.
1. Solidaritas Mekanik
Solidaritas mekanis didasarkan pada suatu tingkatan homogenitas tinggi
dalam kepercayaan, sentimen, pekerjaan, dan lain-lain. Masyarakat yang ditandai
oleh solidaritas mekanis menjadi satu dan padu karena orang adalah generalis. Ikatan
dalam masyarakat seperti ini terjadi karena mereka terlibat dalam aktifitas yang sama
dan memiliki tanggung jawab yang sama. Individu dalam masyarakat seperti ini
cenderung homogen dalam banyak hal. Keseragaman tersebut berlangsung terjadi
dalam seluruh aspek kehidupan, baik sosial, politik bahkan kepercayaan atau agama.
Doyle Paul Johnson (dalam Lawang, 1994), secara terperinci menegaskan indikator
sifat kelompok sosial/masyarakat yang didasarkan pada solidaritas mekanik, yakni:
1. Pembagian kerja rendah.
2. Kesadaran kolektif kuat.
3. Hukum represif domina.
4. Individualitas rendah.
5. Konsensus terhadap pola normatif penting.
6. Adanya keterlibatan komunitas dalam menghukum orang yang menyimpang.
7. Secara relatif sifat ketergantungan rendah.
8. Bersifat primitif atau pedesaan.
Solidaritas organis muncul karena pembagian kerja bertambah banyak,
pertambahan pembagian kerja menimbulkan tingkat ketergantungan, sehingga hal itu
akan sejalan dengan bertambahnya spesialisasi di bidang pekerjaan kemudian
bertambahnya spesialisasi menyebabkan terjadinya perbedaan-perbedaan individu.
Masyarakat yang ditandai oleh solidaritas organis bertahan bersama justru dengan
perbedaan yang ada di dalamnya, karena adanya rasa ketergantungan antara satu
dengan yang lain. Dengan fakta bahwa semua orang memiliki pekerjaan dan tangung
jawab yang berbeda-beda.
Doyle Paul Johnson (dalam Lawang, 1994), secara terperinci menegaskan indikator
sifat kelompok sosial/masyarakat yang didasarkan pada solidaritas organik, yakni:
1. Pembagian kerja tinggi;
2. Kesadaran kolektif lemah;
3. Hukum restitutif/memulihkan dominan;
4. Individualitas tinggi;
5. Konsensus pada nilai abstrak dan umum penting;
6. Badan-badan kontrol sosial menghukum orang yang menyimpang;
7. Saling ketergantungan tinggi; dan
8. Bersifat industrial perkotaan.
Dengan pemaparan model solidaritas di atas maka karakteristik yang terdapat
pada masyarakat desa Tapian Nauli III masih belum menunjukkan karakteristik dari
masyarakat organik sepenuhnya, hali ini ditandai dengan masih ditemukan adanya
beberapa karakteristik dari masyarakat yang mekanik.
Menurut Horton dan Hunt (dalam Narwoko, 2007) mobilitas sosial menunjuk
pada gerakan dari satu kedudukan atau tingkat sosial ke yang lainnya. Hal ini
mungkin berupa naik ke atas dalam tangga sosial, memanjat ke puncak, atau terjun ke
bawah. Mobilitas dapat terjadi misalnya ketika suatu Negara mengalami
industrialisasi, Manusia cenderung bersifat dinamis. Selalu ada perubahan yang
terjadi pada diri manusia. Semakin meningkatnya kebutuhan hidup sedangkan sumber
daya alam yang tersedia semakin menipis dan lahan kerja yang tidak memadai,
keterbatasan lahan untuk migrasi, pemerataan pembangunan dan penghematan biaya
produksi menyebabkan munculnya keinginan untuk menciptakan satu hal baru yang
dapat meningkatkan taraf hidup menjadi lebih baik dengan mengubah pola hidupnya.
Perubahan paling sederhana yang tampak secara spasial adalah alih fungsi lahan
pertanian menjadi kawasan industri dan kawasan perumahan yang tentu berdampak
pada beralihnya profesi masyarakat petani ke profesi lain. Hal ini mempunyai
pengaruh pada pola hidup, mata pencaharian, perilaku maupun cara berpikir.
Sehingga dalam masyarakat industri memungkinkan masyarakat kelas bawah dapat
mengalami perkembangan dan kemungkinan mereka untuk naik menjadi masyarakat
kelas menengah.
Jenis-jenis Mobilitas Sosial
1. Mobilitas Vertikal
Mobilitas vertikal adalah pergerakan atau perpindahan orang atau kelompok
ke atas atau ke bawah dalam sebuah pelapisan sosial. Mobilitas vertikal berarti
gerakan ke atas atau ke bawah dalam skala sosial ekonomi.
Mobilitas horizontal (lateral) menunjuk pada gerakan seseorang atau
kelompok dari satu kedudukan sosial ke kedudukan sosial lain yang masih berada
pada satu ranking sosial. Dapat pula berupa perpindahan seseorang atau kelompok
secara geografis dari satu tempat tinggal, kota atau wilayah ke tempat tinggal, kota
atau wilayah lain. Oleh karena itu, mobilitas ini sering disebut juga sebagai mobilitas
geografis.
3. Mobilitas Intragenerasi
Mobilitas intragenerasi adalah perpindahan status yang dialami oleh seseorang
dalam masa kehidupannya. Adapula yang berpendapat bahwa mobilitas intragenerasi
adalah perubahan kedudukan sosial seseorang selama kehidupan dewasanya. naik
dalam satu generasi.
4. Mobilitas Antargenerasi
Mobilitas antargenerasi adalah perubahan status yang dicapai seseorang yang
berbeda dari status orang tuanya. Dalam mobilitas antargenerasi, yang berubah adalah
status anak-anak jika dibandingkan dengan status orang tuanya.
Menurut Horton dan Hunt (dalam Narwoko, 2007) mencatat ada dua faktor
yang mempengaruhi tingkat mobilitas pada masyarakat modern, yakni:
1. Faktor struktur
Faktor struktur adalah faktor yang menentukan jumlah dari kedudukan
tinggi yang harus diisi dan kemudahan untuk memperolehnya. Faktor ini terdiri atas:
(a) struktur pekerjaan,
(b) struktur ekonomi,
(d) penghambat dan penunjang mobilitas.
2. Faktor individu
Faktor-faktor individual akan banyak berpengaruh dalam menentukan
siapa yang akan mencapai kedudukan tinggi. Faktor-faktor individual mencakup:
(a) perbedaan bakat/kemampuan;
(b) perilaku yang berorientasi pada mobilitas; dan
(c) kemujuran.
2.3 Adaptasi Sosial
Robert K. Merton (Beryer, terjemahan Mohammad Oemar) melihat struktur sosial tidak hanya menghasilkan perilaku yang konformis, tapi juga perilaku yang
menyimpang. Struktur sosial menghasilkan pelanggaran terhadap aturan sosial dan
menekan orang tertentu ke arah perilaku yang nonkonform (tidak sesuai dengan nilai
dan norma sosial yang berlaku di dalam masyarakat). Dalam struktur sosial dan
budaya, ada tujuan atau sasaran budaya yang disepakati oleh anggota masyarakat.
Tujuan budaya adalah sesuatu yang “pantas diraih”. Untuk mencapai tujuan tersebut,
struktur sosial dan budaya mengatur cara yang harus ditempuh dan aturan ini bersifat
membatasi. Merton menyatakan bahwa perilaku menyimpang terjadi karena tidak
adanya kaitan antara tujuan dengan cara yang telah ditetapkan dan dibenarkan oleh
struktur sosial. Lebih jauh Merton mengidentifikasikan ada empat tipe cara adaptasi
individu terhadap situasi tertentu. tiga diantara empat tipe itu merupakan perilaku
menyimpang. keempat tipe cara adaptasi tersebut adalah sebagai berikut:
Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang mengikuti cara dan tujuan yang telah
ditetapkan oleh masyarakat.
2. Cara adaptasi inovasi (innovation)
Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang mengikuti tujuan yang ditentukan
masyarakat. Akan tetapi ia memakai cara yang dilarang oleh masyarakat.
3. Cara adaptasi ritualisme (ritualism)
Pada cara adaptasi ini, perilaku seseorang telah meninggalkan tujuan budaya,
tetapi tetap berpegang pada cara yang telah ditetapkan oleh masyarakat.
4. Cara adaptasi retreatisme (retreatism)
Bentuk adaptasi ini, perilaku seseorang tidak mengikuti tujuan dan cara yang
dikehendaki. Pola adaptasi ini menurut Merton dapat dilihat pada orang yang
mengalami gangguan jiwa, gelandangan, pemabuk, dan pada pecandu obat bius.
Orang-orang itu ada di dalam masyarakat, tetapi dianggap tidak menjadi bagian
dari masyarakat.
Dari keseluruhan tipe-tipe yang disebutkan di atas, tipe adaptasi yang pertama
(adaptasi konformitas) merupakan bentuk perilaku yang tidak menyimpang.
Sementara empat tipe selanjutnya merupakan bentuk perilaku yang menyimpang.
Adaptasi adalah suatu penyesuaian pribadi terhadap lingkungan, penyesuaian
ini dapat berarti mengubah diri pribadi sesuai dengan keadaan lingkungan, juga dapat
berarti mengubah lingkungan sesuai dengan keinginan pribadi (Gerungan,1996:55).
Menurut Suparlan (Suparlan,1996:20) adaptasi itu sendiri pada hakekatnya adalah
suatu proses untuk memenuhi syarat-syarat dasar untuk tetap melangsungkan
1. Syarat dasar alamiah-biologi (manusia harus makan dan minum untuk menjaga
kesetabilan temperatur tubuhnya agar tetap berfungsi dalam hubungan harmonis
secara menyeluruh dengan organ-organ tubuh lainya).
2. Syarat dasar kejiwaan (manusia membutuhkan perasaan tenang yang jauh dari
perasaan takut, keterpencilan gelisah).
3. Syarat dasar sosial (manusia membutuhkan hubungan untuk dapat melangsungkan
keturunan, tidak merasa dikucilkan, dapat belajar mengenai kebudayaanya, untuk
dapat mempertahankan diri dari serangan musuh).
Menurut Soerjono Soekanto (Soekanto, 2000: 10-11) memberikan beberapa
batasan pengertian dari adaptasi sosial, yakni:
1) Proses mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
2) Penyesuaian terhadap norma-norma untuk menyalurkan ketegangan.
3) Proses perubahan untuk menyesuaikan dengan situasi yang berubah.
4) Mengubah agar sesuai dengan kondisi yang diciptakan.
5) Memanfaatkan sumber-sumber yang terbatas untuk kepentingan lingkungan
dan sistem.
6) Penyesuaian budaya dan aspek lainnya sebagai hasil seleksi alamiah.
Dari batasan-batasan tersebut, dapat disimpulkan bahwa adaptasi merupakan
proses penyesuaian. Penyesuaian dari individu, kelompok, maupun unit sosial
terhadap norma-norma, proses perubahan, ataupun suatu kondisi yang diciptakan.
Lebih lanjut tentang proses penyesuaian tersebut dilakukan dengan tujuan-tujuan
a. Mengatasi halangan-halangan dari lingkungan.
b. Menyalurkan ketegangan sosial.
c. Mempertahankan kelanggengan kelompok atau unit sosial.
d. Bertahan hidup.
Di dalam adaptasi juga terdapat pola-pola dalam menyesuaikan diri dengan
lingkungan. pola adalah suatu rangkaian unsur-unsur yang sudah menetap mengenai
suatu gejala dan dapat dipakai sebagai contoh dalam hal menggambarkan atau
mendeskripsikan gejala itu sendiri. Dari definisi tersebut diatas, maka dalam
penelitian ini peneliti ingin menggambarkan atau mendeskripsikan bagaimana proses
dan pola-pola adaptasi masyarakat desa Tapian Nauli III dalam menyikapi peralihan
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian kualitatif dapat diartiakan sebagai
penelitian yang menghasilkan data, tulisan dan tingkah laku yang di dapat dari apa
yang diamati (Maleong, 2006 : 6). Pendekatan deskriftif merupakan penelitian yang
berusaha menggambarkan dan menginterpretasi objek sesuai dengan apa adanya dan
secara sistematis baik fakta maupun karakteristik objek dan subjek yang diteliti.
Penelitian deskriptif ini diharapakan dapat memberi gambaran mengenai adaptasi
masyarakat terhadap perubahan fungsi hutan yang terjadi di desa Tapian Nauli III
Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara.
3.2 Lokasi Penelitian
Lokasi penelitian ini dilakukan di desa Tapian Nauli III Kecamatan Sipahutar,
Kabupaten Tapanuli Utara. Rasionalisasi pemilihan lokasi ini adalah karena pada
daerah ini Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari (HTI PT. TPL) memiliki
areal yang luas bahkan hutan reboisasipun telah berubah fungsi menjadi hutan
tanaman industri yang menyebabkan masyarakat beradaptasi dengan kondisi yang ada
dengan berubah mata pencaharian. selain itu daerah ini mudah dijangkau oleh
3.3 Unit Analisis dan Informan 3.3.1 Unit Analisis
Adapun yang menjadi unit analisis dalam penelitian ini adalah masyarakat desa
Tapian Nauli III kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara.
3.3.2 Informan
Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah masyarakat desa Tapian
Nauli III yang mengetahui dan merasakan perubahan fungsi hutan yang terjadi.
diantaranya adalah Perangkat Pemerintah Desa, Tokoh Masyrakat setempat,
Masyarakat yang mengalami perubahan mata pencaharian seperti menjadi Karyawan
PT. Toba Pulp Lestari, Kontraktor (Pemilik Usaha Mitra Perusahaan) serta
masyarakat awam.
1. Informan Kunci
Adapun yang menjadi informan kunci dalam penelitian ini adalah:
1. Perangkat Pemerintah Desa sebanyak 1 orang
2. Tokoh masyarakat sebanyak 1 orang
3. Masyarakat yang mengalami perubahan mata pencaharian dengan hadirnya Hutan
Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari (HTI PT. TPL) di desa Tapian Nauli III
Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara seperti:
a. Karyawan PT. Toba Pulp Lestari sebanyak 1 orang
b. Pemilik Usaha Mitra Perusahaan (Kontraktor) sebanyak 1 orang
2. Informan Biasa
3.4 Teknik Pengumpulan Data
Dalam menjawab masalah maka pengambilan data dilakukan melalui:
3.4.1 Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh atau dikumpulkan langsung oleh orang
yang melakukan penelitian atau yang bersangkutan yang memerlukannya. Untuk
mendapatkan data primer dalam penelitian ini akan dilakukan dengan cara:
1. Observasi
Observasi adalah kegiatan keseharian manusia dengan menggunakan pancaindera
mata. Sebagai alat bantu utamanya selain pancaindera lainnya atau kemampuan
seseorang untuk menggunakan pengamatannya melalui hasil kerja pancaindera mata
serta dibantu oleh pancaindera lainnya. Dalam observasi ini yang diamati adalah
bagaimana cara masyarakat beradaptasi terhadap perubahan fungsi hutan.
2. Wawancara
Wawancara dilakukan dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara
pewawancara dengan informan atau orang yang di wawancarai dengan atau tanpa
menggunakan pedoman wawancara (Burhan, Bungin, 2007 : 108). Salah satu bentuk
wawancara adalah wawancara mendalam (depp interview), wawancara mendalam
yang dimaksud adalah peneliti mengadakan tanya jawab secara langsung. Agar
wawancara terarah digunakan berupa pedoman wawancara (interview guide) yakni
urutan-urutan daftar pertanyaan sebagai acuan bagi peneliti untuk memperoleh data
yang diteliti. Wawancara dilakukan untuk mengetahui bagaimana cara masyrakat
3.4.2 Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh secara tidak langsung dari objek
penelitian atau sember lain. Pengumpulan data dapat diambil dengan cara penelitian
kepustakaan dan pencatatan dokumen dari beberapa literatur seperti buku-buku
referensi, surat kabar, majalah, karya ilmiah, jurnal dan internet yang berkaitan
langsung dengan masalah penelitian dan di anggap relevan dengan masalah yang
diteliti. Oleh karena itu, sumber data skunder diharapkan berperan membantu
mengungkap data yang diharapkan, membantu memberi keterangan sebagai
pelengkap dan bahan perbandingan (Bungin, 2001 : 129).
3.5 Interpretasi Data
Interpretasi data adalah pencarian pengertian yang lebih luas tentang data yang
telah di analisis. Atau dengan kata lain, interpretasi data adalah penjelasan yang terinci tentang arti yang sebenarnya dari data yang telah dianalisis atau dipaparkan.
Dengan demikian interpretasi data berarti memberikan arti yang lebih luas dari data
penelitian (Hasan, 2002: 137).
Interpretasi data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia, yaitu
pengamatan dan wawancara mendalam yang sudah ada dalam catatan lapangan. Data
tersebut akan dipelajari dan ditelaah untuk mencari apa yang ingin diteliti. Setelah itu,
data direduksi yang dilakukan dengan jalan membuat abstraksi. Abstraksi merupakan
usaha untuk membuat rangkuman yang inti, proses sehingga tetap berada di dalam
fokus penelitian. Setelah semua terkumpul, data dianalisis kemudian diinterpretasikan
berdasarkan dukungan teori dan kajian pustaka yang telah disusun, hingga pada
3.6. Jadwal Kegiatan
No. Kegiatan
Bulan ke
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1 Pra Observasi X
2 ACC Judul X
3 Penyusunan Proposal Penelitian X X X
4 Seminar Proposal X
5 Revisi Proposal X
6 Penelitian ke Lapangan X X X
7
Pengumpulan Data dan interpretasi
data X X X
8 Bimbingan Skripsi X X X X
9 Penulisan Laporan Akhir X X X X
10 Sidang Meja Hijau X
3.7 Keterbatasan Penelitian
Dalam melaksanakan penelitian ini penulis mengalami beberapa kendala dan
keterbatasan yaitu:
1. Dalam memilih informan, peneliti kesulitan dalam menemui para informan
yang akan diwawncarai. Susahnya dalam menentukan dan menemui informan
2. Untuk mewawancarai para informan, peneliti harus mencari waktu yang tepat
sesuai dengan keinginan para informan. Hal ini dilatar belakangi karena
sibuknya informan dalam aktifitas sehari-harinya sehingga sangat sedikit
BAB IV
DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA PENELITIAN
4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian
4.1.1. Sejarah Singkat Desa Tapian Nauli III
Dari data wawancara dengan Tokoh Masyarakat dilapangan maka didapatkan
sejarah desa Tapian Nauli III adalah sebagai berikut: Leluhur masyarakat Desa
Tapian Nauli III awalnya berasal dari Balige yaitu Op. Pagar Batu/Op. Diharbangan
Pardede dan Raja Pangumban Bosi Simanjuntak kemudian kedua leluhur ini
membuka perkampungan di daerah Parlombuan yang merupakan cikal bakal desa
Tapian Nauli III. Op. Pagar Batu Pardede membuka perkampungan di Lumban Ri
dan Raja Pangumban Bosi Simanjuntak membuka perkampungan di huta Aek Nauli.
namun kedua perkampungan itu sudah berubah menjadihutan tanaman industri
(eucalyptus), saat ini situs makam kedua leluhur ini masih terdapat di perkampungan
yang mereka buka tersebut, Keturunan marga ini selanjutnya memperluas
perkampungan tersebut dan menguasai areal di sekitarnya serta membuka
perkampungan-perkampungan yang baru. lebih kurang telah 13 generasi hingga
sekarang Turunan Op. Pagar Batu / Op. Diharbangan Pardede dan Raja Pangumban
Bosi Simanjuntak mendiami daerah ini, sehingga mayoritas marga di Daerah ini
adalah Marga Pardede dan Marga Simanjuntak. (wawancara pada November 2012)
Sekitar tahun 1975–1979 Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara
desa Tapian Nauli III menyerahkan tanah ulayat ( tanah Adat ) kepada Pihak
Pemerintah dalam proses penyerahan tanah ini dinas kehutanan memberikan sejenis
biaya ganti rugi (pago–pago/piso-piso) kepada masyarakat, yakni:
1. Tanggal 6 Februari 1975, tanah perladangan yang dinamakan Sibongbong di
Siharbangan seluas 500 Ha diserahkan kepadaDinas Kehutanan
Kabupaten Tapanuli Utara, dengan pago-pago Rp.330,-/Ha = Rp.165.000,-
2. Tanggal 19 Agustus 1975, tanah Panontoran di Siharbangan seluas 1.000 Ha
diserahkan kepadaDinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli Utara untuk
reboisasi dengan pago-pago/ piso-piso Rp.440,-/Ha = Rp.440.000,-
3. Tanggal 22 Mei 1976 tanah di Sibongbong daerah Siharbangan seluas 800
Ha diserahkan ke Dinas Kehutanan, oleh Dinas Kehutanan Kabupaten
Tapanuli Utara dijadikan hutan reboisasi, dengan pago-pago Rp.800,-/Ha =
Rp.640.000,-
4. Tanggal 16 Januari 1979 tanah di Siharbangan seluas 1.145 Ha diserahkan
ke Dinas Kehutanan oleh Dinas Kehutanan Kabupaten Tapanuli
Utaradijadikan hutan reboisasi, dengan pago-pago Rp.3500,-/Ha =
Rp.4.007.500,-. (Sumber: Kantor Kecamatan Sipahutar, 2012)
Pada tahun 1992 tanah yang diserahkan Masyarakat Tapian Nauli III kepada
Dinas Kehutanan Tapanuli Utara tersebut telah mengalami perngalihan fungsi dan
penguasaan yaitu dari Pemerintah kepada PT. Toba Pulp Lestari dengan bukti yaitu
PT. Toba Pulp Lestari mendapat izin dengan SK HPHTI No.493/KTS-II /1992 untuk
membangun Hutan Tanaman Industri ekaliptus guna kepentingan ekonomi
dan memanen semua tanaman pinus hasil reboisasi kemudian secara berkelanjutan
menanam tanaman ekaliptus untuk bahan baku industri hingga saat ini.
Batas-batas desa Tapian Nauli III adalah sebagai berikut:
1. Sebelah utara berbatasan dengan Naga Saribu
2. Sebelah selatan berbatasan dengan Janji Maria
3. Sebelah timur berbatasan dengan Sabuhan Ni Huta Opat
4. Sebelah barat berbatasan dengan Tapian Nauli II
Penduduk di desa Tapian Nauli III berjumlah 105 kepala keluarga (KK) dengan
keseluruhan beretnis batak toba dengan mayoritas marga Pardede dan Simanjuntak,
jikapun ada marga lain di luar marga tersebut pada umumnya mereka adalah menantu
dari kedua marga tersebut.
Dari segi agama, penduduk desa Tapian Nauli III adalah Kristen Protestan. Hal
ini didukung dengan hanya rumah peribadatan (gereja) Kristen Protestan saja yang
dapat ditemui di desa Tapian Nauli III diantaranya adalah Gereja Pentakosta
Indonesia (GPI), Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) dan Gereja Kristen Protestan
Indonesia (GKPI).
Jika dari tingkat pendidikan masyarakat desa Tapian Nauli III rata-rata tamatan
Sekolah Tingkat Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Atas (SMA) hal ini
dikarenakan fasilitas pendidikan di desa Tapian Nauli III hanya ada Sekolah Dasar
(SD). Jika ingin melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih tinggi maka para siswa
harus sekolah ke kecamatan yang jaraknya sangat jauh dari desa tersebut sehingga
para usia sekolah merasa malas untuk melanjutkan tingkat pendidikannya kejenjang
Untuk bidang mata pencaharian, mata pencaharian utama masyarakat adalah
bertani walaupun pada saat-saat tertentu seperti pada saat lahan pertanian tidak
membutuhkan perawatan khusus para penduduk desa memanfaatkannya dengan
bekerja sebagai buruh harian lepas (BHL) di hutan tanaman industri milik PT. Toba
Pulp Lestari. Selain petani, masyarakat juga ada yang bermata pencaharian sebagai
Pegawai Negeri Sipil (PNS), Kontraktor atau pemilik usaha mitra perusahaan yang
bekerja sama dengan PT. Toba Pulp Lestari. Kontraktor di desa Tapian Nauli III
berjumlah delapan dengan nama-nama usaha sebagai berikut: CV. Parulian, CV.
Mida, CV. Sihol Mardongan, CV. Dolok Jaya, CV. Maharani, CV. Maju Parulian,
CV. Riadi Gunawan, CV. Parsulang Padot Saroha.
4.1.2. Pola-Pola Hubungan Sosioal Masyarakat Di Desa Tapian Nauli III
Penduduk desa Tapian Nauli III yang mayoritas adalah Suku Batak Toba
merupakan keturunan dari marga Pardede dan marga Simanjuntak yang pertama kali
membuka perkampungan di daerah ini. Budaya Batak Toba masih terlihat melekat
pada masyarakat yang saat ini tinggal di desa Tapian Nauli III. Pada kehidupan
sehari-hari masyarakat di desa ini tetap memegang dan menjalankan konsep Dalihan
Natolu yaitu Somba Marhula-Hula, Manat Mardongan Tubu dan Elek Marboru yang
merupakan kebudayaan masyarakat Batak Toba. Adapun konsep Dalihan Natolu
yang dijalankan masyarakat tersebut adalah sebagai berikut :
1. Somba Marhula-Hula
Hula-Hula dalam adat Batak Toba adalah keluarga laki-laki dari pihak istri
atau ibu, yang lazimnya disebut tunggane oleh suami dan tulang oleh anak, dan
istri dikarenakan pihak istri telah mau memberikan putrinya untuk menjadi istri yang
akan memberikan anak penerus generasi satu-satu marga ( patriakat ).
2. Manat Mardongan Tubu
Dongan Tubu dalam adat Batak Toba adalah kelompok masyarakat dalam
satu rumpun marga. Manat mardongan tubu artinya harus bersikap sopan, hati-hati,
dan saling menghargai satu dengan yang lainnya.
3. Elek Marboru
Boru ialah kelompok orang dari saudara perempuan kita, dan pihak marga
suaminya atau keluarga perempuan dari marga kita. Dalam kehidupan sehari-hari
sering kita dengar istilah elek marboru yang artinya agar saling mengasihi supaya
mendapat berkat ( pasu-pasu). istilah boru dalam adat batak tidak memandang status,
jabatan, dan kekayaan, oleh sebab itu mungkin saja seorang pejabat harus sibuk
dalam suatu pesta adat Batak karena posisinya pada saat itu adalah sebagai boru. Dari
pengamatan peneliti penerapan budaya masyarakat yaitu budaya Batak Toba terlihat
dari interaksi masyarakat melalui tutur kata, seperti pemakain sebutan dalam sapaan
bagi setiap orang yang masih tetap berdasarkan budaya leluhur masyarakat Batak
Toba sesuai dengan aturan adat istiadat yang ada. Masyarakat desa Tapian Nauli III
tetap menjalankan budaya tersebut. Pada acara atau kegiatan-kegiatan sehari-hari,
keterlibatan dari ketiga pihak yang ada dalam dalihan natolu tersebut merupakan
suatu keharusan, baik itu acara adat, acara syukuran dan kegiatan yang lainnya.
Dalam hal hubungan sosial masyarakat pada pengusahaan atau pengelolaan
lahan pertanian di desa ini, masyarakat masih megenal dan menjalankan sistem bagi
mengusahakan ataupun mengelola lahan pertanian milik orang lain biasanya adalah
pasangan suami istri yang memiliki lahan sempit atau tidak memiliki lahan sama
sekali. Dalam kesepakatan ini segala biaya dalam mengelola lahan pertanian adalah
tanggung jawab dari petani penggarap lahan orang lain. Dalam pembagian hasil
panen, petani yang mengelola lahan orang lain mendapatkan setengah dari hasil
panen yang didapatkan dan setengahnya lagi hasil panen tersebut menjadi bagian dari
pemilik lahan.
4.1.3. Sejarah Singkat PT. Toba Pulp Lestari
PT. Toba Pulp Lestari,Tbk yang berlokasi di desa Sosor Ladang, Kecamatan
Porsea Kabupaten Toba Samosir yang berjarak kira-kira 220 Km dari sebelah Selatan
kota Medan merupakan salah satu Industri Pulp milik swasta yang turut mendukung
program Pemerintah dalam meningkatkan ekspor non migas.
Berdirinya PT. Toba Pulp Lestari, Tbk yang dulunya bernama PT. Inti
Indorayon Utama, Tbk adalah demi pemenuhan kebutuhan akan kertas dan rayon
dalam negeri yang sebelumnya masih diimpor dari berbagai negara. PT. Toba Pulp
Lestari, Tbk adalah sebuah pabrik pulp dengan proses kraft yang terletak di Pulau
Sumatera, Indonesia. Bahan baku serat utamanya adalah Eucalyptus yang merupakan
hasil Hutan Tanaman Industri yang membutuhkan waktu tumbuh sekitar 4-5 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh FAO pada bulan Juli tahun
1954, ditemukan dan direkomendasikan beberapa tempat strategis yang layak untuk
tempat mendirikan pabrik pulp di Indonesia, salah satunya adalah desa Sosor Ladang,
Porsea, yang hingga kini merupakan tempat berdirinya PT. Toba Pulp Lestari, Tbk.
yang salah satunya ada di desa Sosor Ladang, Porsea dan dengan adanya peningkatan
terhadap kebutuhan kertas dan rayon, serta adanya keinginan pemerintah dalam
meningkatkan Hutan Tanaman Industri (HTI) dan pengefektifan hasil reboisasi di
luar pulau Jawa (misalnya Hutan Pinus Sumatera Utara), akhirnya menghasilkan
rencana pendirian pabrik pulp di desa Sosor Ladang, Porsea yang bernama PT. Inti
Indorayon Utama, Tbk (PT IIU) yang merupakan salah satu anak perusahaan Raja
Garuda Emas (RGM).
Berdirinya PT. Inti Indorayon Utama, Tbk ini diawali dengan menyusun dan
membuat kelayakan pabrik pulp yang dilakukan oleh Sanwel (Kanada) dan Joko
Perry (Finlandia). Kemudian pada tanggal 21 Februari 1986 dilakukan peletakan batu
pertama oleh Menteri Perindustrian dan Menteri Tenaga Kerja, sedangkan Konstruksi
dan Pembangunan dimulai pada bulan mei 1986. Uji coba pabrik dilakukan sampai
pada bulan September 1988 dan akhirnya pada tanggal 12 September 1988, pabrik
mulai beroperasi.Perusahaan ini berdiri berdasarkan akte notaris
Mirsahadi/Wilartama, SH No. 329 pada tanggal 26 April 1983 di Jakarta serta
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. C-25130-HT 01 tahun 1993.
Populasi dan Perencanaan yang dihasilkan memenuhi Surat Keputusan Bersama
Menteri Riset dan Teknologi bersama Menteri Kependudukan dan Lingkungan Hidup
(KLH) No. 43/MNKLH/II/1986 sedangkan izin usaha dari Badan Koordinasi
Penanaman Modal No. 269/i/PMDN/1983 pada tanggal 22 Desember 1983 dan No.
573/III/PMDN/1987. keseluruhan fasilitas yang dimiliki oleh PT. Inti Indorayon
Utama ini adalah Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) dengan investasi sebesar
dalam negeri. Kemudian pada Bulan Mei 1990 perusahaan ini melakukan “Go
Publik” dan fasilitas yang dimiliki berubah menjadi Penanaman Modal Asing (PMA)
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Investasi/Ketua Badan Koordinasi Penanaman
Modal No. 07/V/1990. Saham Perusahaan ini telah dijual di Bursa Saham Jakarta dan
Surabaya sejak 1992 dan di New York Stock Exchange (NYSE).
Kegiatan produksi PT. Inti Indorayon Utama, Tbk berhenti beroperasi pada
tahun 1998 dan tidak beroperasi selama kurang lebih 4 tahun. Suhu politik dalam
negeri yang meningkat akibat adanya transisi kepemimpinan turut mempengaruhi
situasi di dalam maupun di sekitar perusahaan. Pada tanggal 6 Februari 2003
perusahaan ini beroperasi kembali dan berganti nama mejadi PT. Toba Pulp Lestari,
Tbk, dengan paradigma baru. Adapun yang dimaksud dengan paradigma baru
tersebut adalah:
1. Menggunakan teknologi yang ramah lingkungan.
2. Pengelolaan sumber daya hutan yang berkelanjutan dan melakukan manajemen
hutan yang akan menjaga ekosistem alam melalui hutan tanaman industri.
3. Mempunyai tanggung jawab kepada masyarakat.
a. Mengutamakan putra daerah.
b. Melakukan kerja sama dan kemitraan bisnis dengan masyarakat lokal.
c. Menyisihkan dana kontribusi sosial untuk pengembangan masyarakat sebesar 1%
dari net sales (hasil penjualan bersih) per tahun.
4. Menerima lembaga independen untuk mengawasi paradigma baru perseroan.
PT. Toba Pulp Lestari, Tbk memiliki lokasi penting dalam menjalankan
operasinya, yaitu areal usaha PT. Toba Pulp Lestari, Tbk terdiri dari dua bagian yaitu
Mild Section dan Forest Section. Pabrik pembuatan pulp (Mild Section)
termasuk Chemical Plant sebagai pusat produksi berlokasi di desa Sosor Ladang,
Kecamatan Parmaksian, Kabupaten Tobasa, Sumatera Utara. PT. Toba Pulp Lestari,
Tbk dibangun di atas tanah seluas ±200 ha, termasuk perumahan karyawan dan Tree
Inprovement (pembibitan pohon) ±10 hektar.Sedangkan areal hutan (forest section)
saat ini meliputi 8 kabupaten yaitu, kabupaten Simalungun, Dairi, Karo, Tapanuli
Utara, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Samosir, dan Tobasa. Desa Tapian Nauli
III yang berada di kecamatan Sipahutar merupakan lokasi yang mengalami peralihan
fungsi hutan dari hutan tanaman reboisasi menjadi Hutan Tanaman Industri PT. Toba
Pulp Lestari (HTI PT. TPI). Desa ini masuk sektor Habinsaran milik PT. Toba Pulp
Lestari.
4.2 Penyajian Dan Interpretai Data 4.3 Profil Informan
Profil informan dalam penelitian adalah masyarakat Desa Tapian Nauli III
Kecamatan Sipahutar, Kabupaten Tapanuli Utara.
4.3.1 Informan Kunci 1. DP (Lk, 35 tahun)
DP adalah seorang laki-laki berusia 35 tahun dengan etnis Batak Toba dan
beragama Kristen Protestan. Informan DP lahir di desa Tapian Nauli III, Informan DP
telah berumah tangga dan dikaruniai 4 (empat) orang anak. Tingkat pendidikan
Pada saat ini pekerjaan Informan DP adalah sebagai perangkat pemerintah desa,
tepatnya sebagai Kepala Desa Tapian Nauli III. Selain itu Informan DP juga
merupakan seorang kontraktor mitra usaha perusahaan sebagai penyedia tenaga kerja
harian yang bekerja pada hutan tanaman industri milik PT. Toba Pulp Lestari.
2. BP (Lk, 35 tahun)
BP adalah seorang laki-laki berusia 35 tahun dengan etnis Batak Toba dan
beragama Kristen Protestan. Informan BP lahir di desa Tapian Nauli III dan kini telah
berumah tangga serta memiliki 4 (empat) orang anak. Anak sulung Informan BP
sekarang duduk di Sekolah Menengah Pertama (SMP) di Kabupaten Tapanuli Utara
dan tinggal di Rumah saudara Informan BP. Tingkat pendidikan informan BP sampai
Sekolah Tingkat Kejuruan (SMK).
Informan BP saat ini bekerja sebagai pengelola salah satu usaha mitra
perusahan yang didirikan pada tahun lalu dengan dana kongsi (patungan) antara
informan BP dengan saudara-saudaranya yang merantau di pulau jawa.
3. JP (Lk, 39 tahun)
JP adalah seorang laki-laki berusia 39 tahun dengan etnis Batak Toba dan
beragama Kristen Protestan. Bapak BP lahir di desa Tapian Nauli III dan kini telah
berumah tangga serta memiliki 5 (lima) orang anak. Anak sulung Informan BP
sekarang tidak bersekolah lagi, anak informan ini putus sekolah pada kelas 1 (satu)
Sekolah Menengah Pertama (SMP) di kota kecamatan. Setelah putus sekolah, anak
sulung informan JP ini memilih untuk ikut salah satu keluarga ayahnya ke Pulau
Informan JP saat ini bekerja sebagai salah satu karyawan PT. Toba Pulp Lestari
(PT. TPL) yaitu sebagai operator alat berat perusahaan.
4. AP (Lk, 72 tahun)
AP adalah seorang laki-laki dengan umur 72 tahun, informan AP merupakan
salah-satu penatua desa (Tokoh Masyarakat) di desa Tapian Nauli III sekaligus
seorang tokoh agama (Pendeta) pada salah satu gereja yang ada di desa Tapian Nauli
III. Informan AP bermata pencaharian sebagai petani.
4.3.2 Informan Biasa 1. H (Lk, 37 tahun)
H adalah seorang laki-laki berusia 35 tahun dengan suku bangsa Nias dan
beragama Kristen Protestan. Informan H lahir di Nias, pertama kali informan H
sampai ke desa Tapian Nauli III adalah sebagai buruh harian lepas pada PT. Toba
Pulp Lestari. Informan H telah menetap di desa Tapian Nauli III selama 15 (tahun)
sampai saat ini. Informan H telah berumah tangga dengan salah satu warga desa
Tapian Nauli III dan menjadi warga desa Tapian Nauli III buah dari pernikahannya
informan H telah dikaruniai 3 (Tiga) orang anak. Tingkat pendidikan terakhir
informan H adalah Sekolah Menengah Atas (SMA)
Pada saat ini pekerjaan informan H adalah sebagai petani, namun jika informan
H tidak memiliki kesibukan atau persawahan tidak membutuhkan perawatan khusus,
maka Bapak H memilih bekerja sebagai Buruh Harian Lepas (BHL) untuk PT. Toba
Pulp Lestari (PT. TPL) melalui jasa salah satu usaha mitra perusahaan (kontraktor)
4.4 Sikap Masyarakat Terhadap Kehadiran Hutan Tanaman Industri.
Pembangunan industri yang pada awalnya ditujukan untuk
mendorongkemajuan perekonomian berpengaruh pula secara sosial terhadap
perkembanganmasyarakat. Pengaruh industri terhadap masyarakat sangat banyak,
salah satunya adalah terbukanya kesempatan kerja yang besar yang menyerap
penganguran yang ada disekitar lokasi industri.
Munculnya Hutan Tanaman Industri PT. Toba Pulp Lestari di desa Tapian Nauli
III merupakan salah satu industrialisasi yang terjadi di daerah ini, munculnya Hutan
Tanaman Industri tersebut menjadikan berubahnya fungsi hutan disekitar masyarakat.
Perubahan Fungsi Hutan adalah berubahnya kegunaan atau peruntukan hutan tersebut
menjadi kegunaan lain dikarenakan adanya hal-hal yang harus dipenuhi terkait
kebutuhan. Dalam hal ini yang dimaksudkan adalah berubahnya fungsi hutan mulai
dari Hutan Ulayat, menjadi Hutan Reboisasi hingga menjadi Hutan Tanaman Industri
terkait kebutuhan perusahan Toba Pulp Lestari akan kayu sebagai bahan baku
produksi perusahaan tersebut.
Masuknya sebuah modernisasi pada suatu daerah seperti yang terjadi di desa
Tapian Nauli III umumnya disambut gembira oleh masyarakat, hal ini dikarenakan
masuknya modernisasi diharapkan membawa perubahan yang lebih baik bagi
kehidupan masyarakat sekitarnya. seperti yang diutarakan salah satu tokoh
masyarakat yang menjadi Informan dari penelitian ini yaitu AP (Lk, 72 tahun)
sebagai berikut :
dengan adanya hutan tanaman industri ini kondisi masyarakat akan lebih baik lagi dan kondisi desa berkembang.”
Hal senada juga diutarakan oleh informan DP (Lk, 35 tahun):
“Kami sangat gembira awal masuknya Hutan Tanaman Industri ini ke desa kami, hal ini dikarenakan ada harapan desa ini semakin berkembang dengan adanya perusahaan disekitar desa kami.”
Hal ini tidak jauh berbeda dengan penuturan informan JP (Lk, 39 tahun):
“Pastinya senanglah, apalagi waktu itu kami masih usia-usia awal produktif kerja jadi pada saat itu saya merasa ada lapangan kerja baru selain bertani.”
Sedangkan informan BP (Lk, 35 tahun) menuturkan sebagai berikut:
“Saat masuknya hutan tanaman industri ke desa ini saya pada saat itu masih merantau di pulau jawa. namun karena disana kondisi pekerjaan juga tidak mendukung kemudian saya pulang karena menganggap bakal ada pekerjaan baru yang bisa dikerjakan dikampung.”
Hal lainnya dikatakan oleh H (37 tahun), informan ini menuturkan sebagai
berikut: