• Tidak ada hasil yang ditemukan

Variasi Dialek Bahasa Karo di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Variasi Dialek Bahasa Karo di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat"

Copied!
287
0
0

Teks penuh

(1)

VARIASI DIALEK BAHASA KARO DI

KABUPATEN KARO, DELI SERDANG,

DAN LANGKAT

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam ilmu Linguistik padda Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara di bawah pimpinan Rektor Universitas Sumatera Utara

Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H., Sp.A(K) dipertahankan pada tanggal 19 Oktober 2009

di Medan, Sumatera Utara

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA SEKOLAH PASCA SARJANA

Matius C.A. Sembiring NIM 058107009/Ling

SEKOLAH PASCA SARJANA PROGRAM STUDI LINGUISTIK

(2)

VARIASI DIALEK BAHASA KARO DI

KABUPATEN KARO, DELI SERDANG,

DAN LANGKAT

DISERTASI

Untuk Memperoleh Gelar Doktor dalam ilmu Linguistik padda Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Telah dipertahankan di hadapan Panitia Ujian Doktor Terbuka pada:

Hari : Senin

Tanggal : 19 Oktober 2009 Pukul : 09.00.WIB

Oleh

(3)

Judul Disertasi

: VARIASI DIALEK BAHASA KARO DI

KABUPATEN KARO, DELI SERDANG,

DAN LANGKAT

Nama Mahasiswa : Matius C.A. Sembiring NIM : 058107009

Program Studi : Linguistik

Menyetujui: Komisi Pembimbing,

Promotor

Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. Promotor

Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. Prof. Dr. Jawasi Naibaho, M.Hum.

Co-Promotor Co-Promotor

Ketua Program Studi, Direktur,

(4)

Diuji pada Ujian Akhir Disertaasi (Promosi Doktor)

Tanggal 19 Oktober 2009

PANITIA PENGUJI DISERTASI

Ketua : Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.

Anggota : 1. Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D. 2. Prof. Dr. Jawasi Naibaho, M.Hum. 3. Prof. T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D 4. Prof. Effendi Barus, Ph.D

5. Prof. Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D 6. Prof. Dr. Hj. Nadra, M.S.

Dengan Surat Keputusan

Rektor Universsitas Sumatera Utara

(5)

TIM PROMOTOR:

Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S.

Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D.

(6)

TIM PENGUJI LUAR KOMISI:

Prof. T. Silvana Sinar, M.A.,Ph.D

Prof. Effendi Barus, Ph.D

Prof. Paitoon M. Chaiyanara, Ph.D

(7)

Karya ini saya persembahkan kepada: Ayah dan Ibu: Rakap Sembiring Milala (alm) Dem beru Karo-Karo Sitepu (alm) Istri dan anak: Maslina br Perangin-angin Bangun, SPd. Masrita beru Sembiring Milala, SE dan Valentinus Tarigan, SPd. Boy Sukandi Sembiring Milala, Amd.P. Madelisa beru Sembiring Milala Mungrosuta Sembiring Milala Aminna kai gia Pendahindu tah pe Agamandu

ula kam lupa lima penggurun jelma manusia: Ate, pegu, piah, pusuh, ras bage kepe.

Adi mesera babandu enggeluh, ula kam perpusuh. Ula kam tertaren-taren, gundari pe lengabo melawensa,

emakana labo dalih. Share everything.

Play fair. Don’t hit people.

Put things back where you found them. Clean up your own mess. Don’t take things that aren’t yours. Say sorry when you hurt somebody.

Wash your hands before you eat. Flush.

Warm cookies and cold milk are good for you.

Live a balance life - learn some and think some and draw and paint and sing and dance and play and work every day some.

Take a nap every afternoon.

When you go out into the world, watch out for traffic, hold hands, and stick together. Be aware of wonder.

Remember the little seed in the Styroform cup: the roots go down and the plant goes up and nobody really knows how or why, but we all like that.

Goldfish and hamsteers and white mice and even the little seed in the Styroform cup – they all die.

So do we.

And then remember the Dick and Jane books and the first word you learned

the biggest word of all LOOK.

(8)

Kata Pengantar

Syukur dan puji diucapkan kepada Allah SWT yang Maha Pemurah dan Pengasih atas segala berkat dan rahmat yang diberikan-Nya kepada peneliti, sehingga laporan disertasi ini dapat diselesaikan sebagaimana diharapkan dan direncanakan.

Pertama sekali, peneliti mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Robert Sibarani, M.S. (Promotor), Prof. Amrin Saragih, M.A., Ph.D., (Co-promotor), dan Prof. Dr. Jawasi Naibaho (Co-promotor) atas semua kesabaran, ketelitian, dan pengarahan maupun bimbingan selama penulisan proposal hingga disertasi ini selesai. Tanpa arahan dan bimbingan yang terpadu diberikan kepada peneliti selama ini, tentu disertasi ini tidak akan berakhir pada tahap penyelesaian.

Dalam kesempatan ini peneliti tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM & H, SpA(K), Rektor USU yang telah memberikan waktu, izin, dan subsidi untuk mengikuti program S-3 di Sekolah Pascasarjana USU, Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., M.Sc. (Direktur Sekolah Pascasarjana USU), Prof. Tengku Silvana Sinar, Ph.D., M.A. (Ketua Program Studi Linguistik Sekolah Pascasarjana USU), Wan Syaifuddin, Ph.D. (Dekan Fakultas Sastra USU) atas bantuan moril yang diberikan yang sifatnya dapat menunjang kegiatan perkuliahan hingga penyelesaian disertasi ini.

(9)

Selanjutnya kepada anggota komisi penguji luar, Prof. Dr. Nadra, M.S. diucapkan terima kasih banyak karena beliau telah banyak mengoreksi dan memberikan masukan demi kesempurnaan disertasi ini.

Peneliti juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman seangkatan dalam perkuliahan gelombang pertama, pada program S-3 Linguistik di Sekolah Pascasarjana USU. Dalam hal pelaksanaan penelitian disertasi ini banyak sekali orang yang sudah memberikan bantuan moral ataupun material. Untuk itu, peneliti menyampaikan terima kasih karena tanpa partisipasi mereka disertasi ini tidak akan selesai seperti yang ada sekarang ini.

Di satu sisi, peneliti menyampaikan terima kasih kepada Almarhum Prof. Tengku Amin Ridwan, M.A, Ph.D. atas segala usaha dan jasanya untuk membuka program S-3 linguistik di Sekolah Pascasarjana USU. Perasaan sayang melintas di benak peneliti karena Beliau tidak dapat melihat anak didiknya menyelesaikan studinya. Peneliti tidak lupa berdoa agar arwahnya dapat diterima oleh Allah SWT di tempat yang layak sesuai dengan perbuatan dan jasa selama hidup.

(10)

Kepada istri tercinta (Maslina br Bangun, S.Pd.) dan anak tersayang (Masrita, S.E., Boy Sukandi, Madelisa, dan Mungrosuta) atas partisipasi mereka selama perkuliahan hingga selesai, antara lain meminjam buku dari perpustakaan USU, memfotokopi materi yang diperlukan, mengetik, dan lain-lain yang sifatnya dapat membantu penulisan disertasi ini.

Kepada pegawai BPS (Biro Pusat Statistik) Sumatera Utara atas pelayanan yang baik dan ramah untuk memberikan data yang diperlukan. Selanjutnya, kepada Kepala Desa, para informan di daerah titik pengamatan, juga diucapkan terima kasih. Kepada Bapak Drs. Zubeirsyah, S.U., Drs. Namsyah Hot Hasibuan, M.Ling., dan Dra. Peraturen ukapiring, S.U. tidak lupa diucapkan terima kasih yang sudah meluangkan waktu untuk mengoreksi penggunaan diksi dan EYD dalam disertasi ini.

Dalam kata pengantar serta ucapan terima kasih, akhirnya peneliti berdoa kepada Allah SWT agar diberikanNya rahmat dan berkat kepada mereka sebagai balas jasa dan budi baik yang peneliti terima.

Wasalam peneliti,

(11)

Daftar Isi

DAFTAR ISI

Kata Pengantar i

Daftar isi iv

Abstrak v

Abstract vi

I. 1.1 1.2 1.3 1.4 1.5 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Anggapan Dasar 1 1 5 7 8 9 II. 2.1 2.2 2.3 2.4 2.5 2.6

GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN Masyarakat Karo

Kedudukan Bahasa Karo Daerah Objek Penelitian Kabupaten Karo

Kabupaten Deli Serdang Kabupaten Langkat 11 11 27 28 29 39 49 III. 3.1 3.2 TINJAUAN PUSTAKA Penelitian Geografi Dialek Kajian Teori 55 55 71 IV. 4.1 4.2 METODE PENELITIAN Teknik Pengumpulan Data Teknik Analisis Data

73 73 81 V. 5.1 5.2 5.3 5.4 5.5

HASIL DAN PEMBAHASAN Deskripsi Variasi Fonologis Deskripsi Variasi Leksikal

Pemetaan Variasi Fonologis dan Leksikal Jumlah Dialek Bahasa Karo

Penjelasan Peta 83 83 92 130 222 233

VI. KESIMPULAN 259

DAFTAR PUSTAKA 262

(12)

Abstrak

(13)

Abstract

(14)

Abstrak

(15)

Abstract

(16)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

(17)

Ullman (2006:235) berkata,”Language is rooted in the biology of the brain.” Sesuai pernyataan Ullman dan Descartes bahwa bahasa dan otak dua hal yang tidak dapat dipisahkan dan bila bahasa tidak ada maka manusia pun tidak ada.

Bahasa Karo adalah salah satu bahasa daerah yang termasuk kelompok bahasa Austronesia Barat yang digunakan oleh masyarakat Karo secara umum. Bahasa Karo adalah juga bahasa daerah yang penuturnya juga disebut suku Karo. Suku Karo mayoritas berdomisili di Provinsi Sumatera Utara. Masyarakat yang bukan suku Karo beranggapan bahwa suku Karo hanya tinggal di Kabupaten Karo, tetapi masyarakat suku Karo ada yang tinggal di Deli Serdang, dan Langkat. Di samping itu, dapat dijumpai suku Karo yang berdomisili atau tinggal di Kabupaten Simalungun, Dairi, Tapanuli Utara, Aceh Tenggara, dan Kodya Medan serta di tempat lain di luar daerah Sumatera Utara.

Penelitian dialektologi sangat menarik untuk diterapkan terhadap bahasa Karo. Dapat dipastikan bahwa bahasa-bahasa yang ada di dunia ini pada mulanya mempunyai protobahasa. Bynon (1979:71) dalam Nadra (2006:102) menyatakan bahasa purba (protobahasa) addalah merupakan rakitan teoritis yang dirancang dengan sistem bahasa-bahasa/ dialek-dialek yang mempunyai hubungan kesejarahan melalui rumusan kaidah-kaidah secara singkat. Secara sepintas dapat dikatakan bahwa sebelum kelima bahasa-bahasa Batak menjadi lima bahasa yang berbeda satu dengan lainnya maka dia berada dalam satu bahasa yang merupakan protobahasa

(18)

sekarang ini sudah menjadi suatu protobahasa. Pada awalnya, ada satu bahasa yang diguakan oleh penuturnya untuk berkomunikasi, kemudian menjadi protobahasa

sebab di antara penuturnya sudah terjadi adanya perbedaan wicara yang selanjutnya menjadi perbedaan subdialek, kemudian menjadi dialek, dan ahirnya di waktu mendatang yang belum dapat ditetapkan kapan akan mencapai perbedaan bahasa. Demikian juga bahasa Karo yang merupakan salah satu dari bahasa-bahasa Batak. Bahasa-bahasa Batak ada lima, yaitu bahasa Batak Karo, Batak Mandailing, Batak Simalungun, Batak Pakpak, dan Batak Toba. Hal ini, nama bahasa-bahasa Batak dan penuturnya juga disebut Batak maka dapat diasumsikan bahwa bentuk protobahasa

(bahasa purba) dari bahasa-bahasa Batak itu ada. Sejak kapankah bahasa Batak sudah menjadi protobahasa belum dapat dikethui karena belum pernah diteliti. Nadra (2006) menjelaskan bahwa suatu bahasa akan menjadi protobhasa ketika bahasa tersebut sudah mempunyai dialek atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa perpisahan dialek dalam suatu bahasa akan meninggalkan protobahasa.

Menurut pengetahuan peneliti, belum ada ahli bahasa yang tertarik meneliti geografi dialek bahasa Karo. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk menelitinya. Di samping itu, hal yang belum pernah diteli, berarti topik itu adalah topik baru.

(19)

mempunyai variasi, hanya tingkat perbedaan yang beraneka ragam. Untuk itu maka diberikan suatu tabel yang merupakan ukuran dan patokan untuk menentukan tingkat perbedaan dalam satu bahasa itu. Ayatrohaedi (1979 dan 2002) mengatakan bahwa Meillet memberikan ciri-ciri dialek seperti perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Selanjutnya, perlu juga diketahui bahwa belum ada alasan seseorang untuk mengatakan kapan suatu dialek akan berakhir dan kapan pula suatu bahasa dimulai.

Ada kecenderungan bahwa unsur satu bahasa bisa ditemukan berbeda yang disebabkan oleh faktor geografisnya. Cara penulisan di dalam satu bahasa bisa saja serupa, tetapi cara mengujarkannya bisa berbeda. Hal tersebut merupakan ciri beda fonologis. Antara lain dapat diambil contoh beda fonologis di dalam bahasa Inggris America. Secara umum orang Amerika untuk mengujarkan kata visit ditemukan dua versi, yaitu [visit] dan [vwisit], untuk kata coffee diujarkan [ka:fi] dan [ko:fi], untuk kata pot diujarkan [pot] dan [pa:t], dan lai-lain. Demikian juga di dalam bahasa Karo ada ditemukan untuk kata ‘padi’ diucapkan [pagε], [pagai], dan [pagei]. Untuk bahasa Inggris Amerika tersebut dikatakan bahwa untuk kata visit ucapan [v] adalah koresponsi dengan [vw], untuk kata coffee [a:] adalah koresponsi dengan [o:], untuk kata pot diucapkan ucapan [o] adalah koresponsi dengan [a:]. Dalam bahasa Karo untuk kata ‘padi’ tersebut ucapan [ε] mempunyai variasi [ai] dan [ei].

(20)

(SMP) sebagai mata pelajaran yang bersifat muatan lokal. Hal ini seiring dengan perkembangan teknologi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat pemakainya maka bahasa Karo juga harus dapat mengikuti perkembangan tersebut.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Ayarohaedi (1983) bahwa suatu bahasa bisa saja mengalami dua situasi, yaitu (1) menjadi bahasa baku di kalangan mayarakat pemakai bahasa tersebut dan (2) menjadi punah. Berkenaan dengan kemungkinan situasi tersebut dapat dilihat bahwa bahasa Karo juga sama halnya dengan bahasa daerah lainnya yang ada di Indonesia, yaitu boleh saja mengalami hal yang serupa. Di sini dapat dilihat bahwa bahasa Karo juga sudah berkembang sedemikian rupa sehingga diperkirakan sudah berkembang dengan mengalami variasi, hanya saja sejauhmana variasi tersebut berkembang belum dapat diperkirakan sebelum penelitian ini selesai dilaksanakan.

Penelitian dialektologi bahasa Karo tidak kalah penting dengan penelitian linguistik lainnya karena hasil penelitian ini akan dapat menunjukkan variasi bahasa Karo sesuai pertumbuhan bahasa Karo di ketiga kabupaten. Penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman untuk meneliti bahasa Karo di luar daerah yang sudah diteliti sekarang.

(21)

dapat diketahui bahwa dialek itu adalah perbedaan unsur satu bahasa disebabkan oleh perbedaan daerah penggunanya dalam satu bahasa yang dipakai oleh sekelompok penuturnya berbeda di suatu daerah dengan daerah lain. Perbedaan atau pun variasi bisa saja terjadi dalam bidang fonologi leksikon. Dialek bisa saja dikaji menurut tingkat status sosial pemakainya ataupun menurut letak geografi di mana bahasa tersebut dipakai oleh penuturnya. Jika seseorang akan mengkaji dialek berdasarkan status sosialnya, maka ilmu yang digunakan ialah sosiolinguistik, tetapi bila seseorang mengkaji variasi yang terjadi dalam satu bahasa menurut geografi, maka yang digunakan adalah geografi dialek. Kedua bidang ilmu ini termasuk ke dalam bidang ilmu dialektologi.

1.2 Masalah

(22)

bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi dalam keadaan atau situasi yang tertentu. Umpamanya, sewaktu mereka bepergian ke pusat-pusat perbelanjaan di kota dan mempunyai kepentingan dengan orang yang tidak mengerti bahasa Karo maka mereka menggunakan bahasa Indonesia.

Di dalam buku UUD 1945 BAB XIII pasal 32 butir 21 dinyatakan bahwa Negara menghormati dan memelihara bahasa daerah sebagai kekayaan budaya nasional. Dengan demikian maka penelitian ini juga sudah termasuk salah satu usaha untuk melestarikan bahasa Karo, sebagai salah satu bahasa daerah di Indonesia.

Pusat Bahasa, sebagai suatu lembaga di Indonesia sudah bekerja keras memperpanjang tangannya melalui para peneliti bahasa untuk mencatat jumlah bahasa daerah dan namanya serta aspek–aspek linguistik dalam setiap bahasa itu. Namun demikian, penelitian tersebut sampai saat ini belum juga selesai. Penelitian ini juga termasuk salah satu usaha untuk melestarikan bahasa daerah tersebut.

Bahasa Karo yang digunakan oleh masyarakat suku Karo yang bertempat tinggal di ketiga kabupaten, yaitu Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat bervariasi menurut kajian geografis. Yang menjadi pertanyaan dalam penelitian ini adalah:

(1) Bagaimanakah deskripsi variasi fonologis bahasa Karo di ketiga kabupaten (Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat)?

(23)

(3) Bagaimanakah gambaran peta variasi fonologis dan leksikal bahasa Karo di ketiga kabupaten tersebut?

(4) Ada berapa banyak dialek bahasa Karo di ketiga kabupaten tersebut?

1.3 Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk memetakan bahasa melalui geografi dialek. Suatu penelitian geografi dialek dapat menunjukkan gejala kebahasaan. Penelitian ini dapat menunjukkan daerah yang memakai bahasa Karo di ketiga kabupaten, yaitu Kabupaten Karo, Kabupaten Deli Serdang, dan Kabupaten Langkat sesuai dengan variasi dialek bahasa Karo.

Untuk mencari jumlah dialek bahasa Karo yang digunakan masyarakat penutur asli bahasa Karo di tiga kabupaten tersebut.

(1) Mendeskripsikan variasi fonologis bahasa Karo di ketiga kabupaten tersebut.

(2) Mendeskripsikan variasi leksikal bahasa Karo di ketiga kabupaten tersebut.

(3) Memetakan variasi fonologis dan leksikal yang berbeda ditemukan di setiap titik tempat pengamatan.

(4) Menentukan jumlah dialek bahasa Karo di ketiga kabupaten terebut.

(5) Menganalisis peta variasi fonologis dan leksikal bahasa Karo di ketiga kabupaten terebut.

(24)

Karo yang merupakan ciri khas masyarakat suku Karo. Dapat diketahui bahwa bila penelitian dialek bahasa Karo ini tidak dilakukan secara dini, maka masyarakat suku Karo akan rugi karena mereka tidak dapat mengetahui ciri khas mereka yang berkaitan dengan bahasa dan budaya. Sekarang ini pemerintah sedang giatnya mengembangkan atau memekarkan daerah, untuk itu hasil penelitian geogrfi dilek bahasa Karo dapat dijadikan sebagai salah satu pedoman.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: (1) menambah publikasi mengenai bahasa Karo,

(2) menambah publikasi tentang geografi dialek,

(3) menunjukkan variasi fonologis dan leksikal bahasa Karo secara rinci (fonologi dan leksikon).

(4) memenuhi salah satu pokok pikiran yang termaktub di dalam kitab UUD 1945 yang berisikan tentang bahasa daerah, salah satu di antaranya adalah bahasa Karo, (5) menunjang serta memperkaya kosa kata bahasa Indonesia,

(6) menghilangkan perasaan negatif antarpenutur bahasa Karo,

(7) membantu mereka yang ingin menambah wawasannya mengenai geografi dialek, khususnya dalam bahasa Karo, dan

(8) laporan akhir studi di Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

1. 5 Anggapan Dasar

(25)

pengetahuan yang ada dan tersebar. Pengetahuan ataupun pendapat yang belum pasti ini akan dijawab melalui penelitian ini. Mahsun (2005) mengatakan bahwa suatu penelitian bahasa yang bersifat kualitatif dan deskriptif tidak harus mencantumkan suatu anggapan dasar atau hipotesis terhadap penelitian yang akan dilakukan. Peneliti setuju dengan pendapat Mahsun tersebut, tetapi berhubung individu-individu masyarakat Karo sudah yakin bahwa bahasa Karo sudah mempunyai dialek maka peneliti memberikan suatu hipotesis untuk penelitian ini.

(26)

II. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

2.1 Masyarakat Karo

Masyarakat Karo menggunakan bahasa Karo untuk berkomunikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Jadi, dapat dikatakan bahwa masyarakat etnis Karo adalah penutur asli bahasa Karo. Secara keseluruhan, masyarakat etnis Karo lebih banyak tinggal di luar kabupaten Karo, tetapi bila dilihat dalam satu daerah kabupaten maka di Kabupaten Karolah yang terdapat jumlahnya paling banyak. Sesuai dengan kenyataan, walau di mana pun mereka berdomisili bahwa mereka selalu meng-gunakan bahasa Karo untuk berkomunikasi antarsesama etnis Karo. Kesetiaan mereka untuk menggunakan bahasa Karo memang sangat tinggi.

Masyarakat Karo yang berdomisili di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat mayoritas adalah petani. Mereka menanam sawit, karet, dan palawija. Mereka tidak ada yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan, walaupun mereka tinggal di tepi pantai. Di luar pekerjaan tersebut memang ada juga yang bekerja sebagai PNS, ABRI, dan berdagang.

(27)

Bila ditinjau dari sudut demokrasi ataupun gotong-royong dapat ditemukan bahwa pada masyarakat Karo yang tinggal di daerah Kabupaten Karo lebih tinggi jika dibandingkan dengan mereka yang tinggal di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat karena di kedua kabupaten tersebut tidak ditemukan lagi Aron. Aron artinya ‘sekelompok orang yang mempunyai kepentingan bersama’, atau dengan kata lain ‘mempunyai kepentingan yang hampir bersamaan’. Aron ini mempunyai anggota dalam satu kelompok antara 10 orang hingga 25 orang. Anggota Aron tidak membedakan jenis kelamin. Cara mereka bekerja adalah dengan sistem bergilir. Maksudnya, tanggal 1 pada bulan itu semua anggota akan bekerja bersama-sama di ladang si A selama 4 jam (4 x 60”) untuk satu periode (mulai dari pukul 08.00 pagi sampai dengan pukul 12.00 tengah hari). Selama satu hari mereka mempunyai waktu bekerja dua tahapan, yaitu pagi empat jam dan sore hari selama empat jam (pukul 13.00 sampai dengan pukul 17.00). Bila ladang si A dapat diselesaikan selama satu tahap maka tahap yang lain boleh berpindah ke tempat bekerja lainnya atau ke ladang anggota yang lain. Hal ini biasa dilihat dari situasi dan kondisi ladang para anggota kelompok kerja. Jadi, ketua kelompok beserta anggota kelompok dapat mengetahui keperluan setiap anggota. Perpindahan tempat bekerja untuk setiap tahap akan diatur oleh ketua kelompok.

(28)

Serdang dan Langkat mayoritas adalah Islam, sedangkan di Kabupaten Karo penduduknya mayoritas beragama Kristen.

Masyarakat etnis Karo tidak membenarkan menikah dengan orang yang mempunyai nama keluarga Merga dan Beru yang sama, kecuali Sembiring Miala,

Kembaren, Guru Kinayan, Pelawi, dan Pandia. Umpamanya si Azis Sembiring tidak diperbolehkan menikah dengan seorang wanita yang Beru Sembiring di luar yang terkecuali tersebut. Jadi, dapat dipilih wanita lain yang mempunyai nama keluarga yang berbeda, yaitu sebanyak empat lagi karena semua nama keluarga ada lima jenis. Peraturan ini dibuat karena sistem kekerabatan yang dianut oleh masyarakat etnis Karo adalah paterliniage dan maderliniate sehingga bila ada orang yang mempunyai nama keluarga itu suatu pertanda bahwa mereka berasal dari satu nenek.

Untuk mengenal anggota masyarakat Karo kita harus mengetahui nama keluarga masyarakat Karo yang disebut Merga. Kata Merga di dalam bahasa Karo artinya Meherga (mahal). Merga akan dimiliki oleh setiap individu suku Karo.

(29)

sub-Merga Sembiring, Perangin-angin adalah Merga dan Bangun adalah

sub-Perangin-angin.

(30)
[image:30.612.110.533.146.682.2]

Tabel 1

Merga Sembiring dan Cabang-Cabangnya

No. Merga Sub-Merga Desa asal/ bangunannya

1. Sembiring Milala Depari Busuk Bunuaji Brahmana Colia

Gurukinayan Keling Muham Pandia Pelawi Pandebayang Sinukapor Tekang Keloko Kembaren

Sinulaki Sinupayung

Sarinembah,Biaknampe, Munte Seberaya, Perbesi

Kidupen, Lau Peerimbon Kuta Tonggal, Beganding Kabanjahe, Limang, Perbesi Kubucolia, Seberaya

Gurukinayan Juhar, Raja Tengah Suka, Perbesi Seberaya, Payong Perbaji, Ajijahe

Buluh Naman, Gurusinga Pertumbuken, Sidikalang Kaban

Pergendangen

Sampe Raya, Kuta Mbelin, Kuta Mbaru

(31)
[image:31.612.107.533.167.513.2]

Tabel 2

Merga Perangin-angin dan Cabang-Cabangnya

No. Merga Sub-Merga Desa asal/ bangunannya

2. Perangin-angin Bangun Benjerang Kacinambun Keliat Laksa Manu Namohaji Pencawan Penggarun Perbesi Pinem Sebayang

Batukarang Batukarang Kacinambun Mardingding Juhar

(32)
[image:32.612.107.536.136.633.2]

Tabel 3

Merga Ginting dan Cabang-Cabangnya

No. Merga Sub-Merga Desa asal/ bangunannya

3. Ginting Jadibata Sugihen Garamata Gurupatih Suka Babo Jawak Pase Ajartambun Beras Seragih Capah Tumangger Munte Manik Juhar

Sugihen, Juhar, Kuta Gugung Raja Tonggal, Tongging

Buluh Naman, Sarimunte, Naga,

Lau Kapor

Suka, Lingga Julu, Naman, Berastepu

Gurubenua, Kuta Great, Munte Cingkes

Tidak punya desa asal, karena generasi terputus yang disebabkan oleh tidak adda generaasinya laki-laki Rajamerahe Lau Petundal Lingga Julu Bukit Kidupen, Kemkem

Munte, Kuta Bangun, Dokan, Tongging, Bulanjahe

(33)
[image:33.612.106.537.135.540.2]

Tabel 4

Merga Tarigan dan Cabang-Cabangnya

No. Merga Sub-Merga Desa asal/ bangunannya

4. Tarigan Tua

Gerneng Girsang Gana-gana Jampang Pekan Purba Sibero

Silangit Tambak Tambun Tegur Bondong

Pergendangen Cingkes

Nagasaribu, Berastepu Batukarang

Pergendangen Sukanalu Simalungun

Juhar,Munte,Lingga, Kuta Raja, Tanjung Beringin

Gunung

Kebayakan, Sukanalu Rakut Besi, Binangara Suka

(34)
[image:34.612.119.532.139.615.2]

Tabel 5

Merga Karo-Karo dan Cabang-Cabangnya

No. Merga Sub-Merga Desa asal/ bangunannya

5. Karo-karo Barus

Kaban Sinuhaji Purba Kacaribu Ketaren Sinuraya Sinulingga Sekali Kemit Jung/ ujung Sinukaban Sinubulan Samura Sukapiring Sitepu

Barusjahe,Sipitu Kuta, Serdang, Pernampen, Siberteng, Kabung, Juma Padang, Buntu, Basam, Talimbaru

Kaban, Sumbul, Lau Lingga, Pernantin, Buluh Naman, Bintang Meriah

Ajijahe, Ajijulu, Ajibuhara, Ajimbelang

Kabanjahe, Berastagi, Kinepen, Jandi Meriah, Beganding, Kuta Suah

Kuta Gerat, Kerapat, Kacaribu Sibolangit, Ketaren

Bunuraya, Kandibata, Singgamanik

Lingga, Gunung Merlawan, Linggajulu, Kacaribu, Torong, Surbakti

Seberaya Kuta Male

Kuta Nangka, Batukarang, Perbesi

Pernantin, Kabantua Bulanjulu

Samura Seberaya

Naman, Sukanalu, Gamber, Sigarang-garang, Bakerah, Simacem, Kuta Tengah,

(35)

Masyarakat etnis Karo menggunakan istilah kekerabatan berikut ini dan istilah tersebut diperoleh sesuai dengan posisi seseorang yang tergambar pada skets yang dimuat pada halaman 19.

Istilah Kekerabatan

1 adalah Abi Sembiring perbulangen’ suami’ si 2 (Zuri beru Perangin-angin). 3, 4, dan 5 anak ‘anak’ si 1 dan 2.

3 adalah Aci Sembiring, 4 adalah Zari Beru Sembiring, dan 5 adalah Zai Beru Sembiring.

1 adalah bapa ‘ayah’ si 3, 4, dan 5. 3 adalah turang ‘abang ‘ si 4 dan 5. 4 dan 5 adalah turang ‘adik’ si 3.

6 adalah Rani Beru Ginting ndehara ‘istri’ si 3. 7 adalah Aji Tarigan perbulangen ‘suami’ si 4. 8 adalah Ali Karo-karo perbulangen ‘suami’ si 5. 3 adalah silih ‘abang ipar’ si 7 dan 8.

6 adalah eda ‘kakak ipar’ si 4 dan 5. 1 adalah jinta ‘mertua’ si 6.

2 adalah simetua ‘mertua’ si 6. 5 adalah peragin ‘adik ipar’ si 7. 4 adalah perkakaen ‘kakak ipar’ si 8.

(36)

8 dan 2 adalah mami ‘mertua’ si 7. 7 dan 8 adalah kela ‘menantu’ si 1 dan 2. 9, 10, dan 11 adalah anak ‘anak’ si 3 dan 6.

9 adalah Uli Sembiring, 10 adalah Ani Beru Sembiring, dan 11 adalah Ami Beru Sembiring.

12, 13, dan 14 adalah anak si 4.

7, 15, 16, dan 17 adalah anak si 5 dan 8.

12 adalah Juma Tarigan, 13 adalah Rudi Tarigan, 14 adalah Limah Beru Tarigan, 15 adalah Rebo Beru karo, 16 adalah Siah Beru karo, 17 adalah Mail Karo-karo.

9 sampai dengan 26 adalah kempu ‘cucu’ si 1 dan 2.

1 adalah bulang, laki, bayak, dan bolang ‘kakek’ si 9 sampai dengan 86. 2 adalah nangin, nondong, nini ‘nenek’ si 9 sampai dengan 53.

27 sampai dengan 53 adalah ente ‘cucu’ si 1 dan 2.

Pada suatu saat apabila ‘cucu’ ente [ənt] (27 sd 53) sudah menikah dan mempunyai anak maka semua anaknya adalah ‘cucu’ entah [əntah] 1 dan 2. Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa nama keluarga setiap orang yang merupakan anggota keluarga masyarakat etnis Karo secara sepintas hanya dilihat satu saja, tetapi yang sebenarnya adalah terdiri dari empat komponen. Contoh, nomor 3 dalam skets adalah Aci Sembiring Milala Bere-bere Perangi-angin Bangun. Nomor 4 adalah Zari

(37)

Sembiring Milala diwarisi dari ayahnya, nomor 1, dan Bere-bere Perangin-angin Bangun diwarisi dari ibunya, nomor 2. Hal ini menunjukkan bahwa nomor 1 adalah Abi Sembiring Milala, dan nomor 2 adalah Zuri Beru Perangin-angin Bangun. Milala adalah salah satu cabang Sembiring dan Bangun adalah salah satu cabang

Perangin-angin.

Nomor 12 dan 13 adalah senina sepemeren ‘sepupu’ 17. Hal ini menunjukkan bahwa mereka bersaudara karena Ibu mereka adalah bersaudara kandung. Nomor 14 adalah senina sepemeren ‘sepupu’ dengan 15 dan 16, karena Ibu kandung mereka bersaudara kandung. Nomor 33 adalah senina sembuyak bapa ‘ bersaudara’ dengan 27 dan 29, karena nomor 9 dan 11 adalah bersaudara kandung. Nomor 10 dan 28 adalah senina sembuyak bapa ‘ sepu’ karena ayah mereka bersaudara kandung.

(38)

Skema Kekerabatan Suku Karo

1

2

3

4

5

3

6

4

7

5

8

9

10

11

12

13

14

15

16

17

18

19

20

21

22

23

24

25

26

27

30

33

36

39

42

45

48

51

28

31

34

37

40

43

46

49

52

29

32

35

38

41

44

47

50

53

Keterangan:
(39)

Menurut perundang-undangan masyarakat Karo bahwa orang yang Rebu tidak boleh menari bersama di atas satu panggung. Rebu terdapat di antara menantu dan mertua, kakak ipar dan adik ipar, serta berbesanan. Kakak ipar dan adik ipar ialah abang si istri dan juga istri dari abang istri tersebut. Berbesanan ialah ibu mertua oleh anak kita yang laki-laki. Jadi, di kalangan masyarakat Karo semua hubungan tersebut tergolong tabu, atau Rebu dalam istilah bahasa Karo.

Jumlah penduduk setiap Kabupaten adalah sebagai berikut. - Kabupaten Karo 351.368 - Kabupaten Deli Serdang 1.686.366 - Kabupaten Langkat 1.027.414

(40)
[image:40.612.106.535.144.670.2]

Tabel 6

Jumlah Penduduk Menurut Suku Bangsa

Jumlah penduduk menurut suku bangsa

K abupa te n Desa titik pengamatan K

aro Toba Sim

al ungun M anda ili ng Ja w a M el ayu L ai nnya Jum la h

Nageri 657 657

Kinangkong 1.297 15 4 1.316

Lau Buluh 1.085 8 4 1.097

Selandi 614 2 2 2 620

Seberaya 2.796 2.796

K

aro

Dokan 1.166 10 13 1.189

Sikeben 717 717

Penen 1.100 12 2 19 1.133

Talun Kenas 2.321 23 300 2.644

Namo Rambe 1.799 51 64 102 70 2.086

Pasar 10 2.073 2 4 2.079

D

el

i S

erda

ng

Gunung Tinggi 1.062 12 10 1.084

Telaga 1.865 12 5 4 8 2 1.896

Tj. Merahe 1.472 4 22 549 11 138 2.196

Garunggang 1.340 9 248 52 1.654

Kuta Gajah 1.273 36 12 5 1.032 3 45 2.401

Parangguam 1.370 10 5 439 2 1.826

L

angka

t

(41)
[image:41.612.109.533.131.688.2]

Tabel 7

Jumlah Penduduk dan Agama di Daerah Penelitian. Pemeluk Agama

K

abupa

te

n

Desa titik

pengamatan Islam Protestan Katolik Lainnya Jumlah

Nageri 16 394 227 20 657

Kinangkong 29 658 599 30 1.316

Lau Buluh 53 746 277 21 1.097

Selandi 30 435 105 50 620

Seberaya 20 2097 662 17 2.796

K

aro

Dokan 60 691 389 49 1.189

Sikeben 6 239 467 5 717

Penen 36 269 793 35 1.133

Talun Kenas 182 1.930 478 54 2.644

Namo Rambe 361 1.205 520 2.086

Pasar 10 405 1.272 297 123 2.079

D

el

i S

erda

ng

Gunung Tinggi 23 978 65 20 1.084

Telaga 19 1.473 389 15 1.896

Tj. Merahe 1.823 286 14 73 2.196

Garunggang 579 1.075 1.654

Kuta Gajah 1.584 648 48 121 2.401

Parangguam 895 804 91 36 1.826

L

angka

t

(42)

2.2 Kedudukan Bahasa Karo

Bahasa Karo adalah salah suatu bahasa daerah di Sumatera Utara yang penuturnya disebut masyarakat Karo. Bahasa Karo dipergunakan masyarakat Karo untuk berkomunikasi dalam kehidupannya sehari-hari. Untuk melakukan aktivitasnya, masyarakat Karo menggunakan bahasa Karo. Bahasa Karo memang sangat luas daerah pakainya bila dilihat dari segi geografis karena daerahnya tidak saja di Kabupaten Karo, tetapi sampai ke Kabupaten Dairi, Langkat, Deli Serdang, dan beberapa daerah lainnya.

Penutur asli bahasa Karo dapat dikatakan mempunyai kesetian yang sangat tinggi terhadap bahasa Karo karena walau di mana pun mereka berada, bila berkomunikasi dengan sesama sukunya, bahasa Karo selalu digunakan sebagai medianya. Umpamanya, pada saat mereka mengadakan upacara pun mereka tetap meggunakan bahasa Karo. Penutur asli bahasa Karo sering sekali melakukan alih kode pada saat mereka berinteraksi. Bila dalam grup komunikasi tersebut ada tambahan yang bukan etnis Karo maka mereka akan menggunakan bahasa Indonesia sebagai media. Akan tetapi, bila tidak ada tambahan anggota grup tersebut maka bahasa Karo akan tetap dipakai.

(43)

rumah tangga suku Karo di Kota Medan. Ternyata 99% dari 200 rumah tangga ditemukan menggunakan bahasa Karo di rumah sebagai media.

2.3 Daerah Objek Penelitian

Daerah ataupun lokasi penelitian ini terdapat di ketiga kabupaten yang berbeda, tetapi masih tetap berada di Provinsi Sumatera Utara. Ketiga Kabupaten tersebut adalah Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat. Sebelum dijelaskan secara rinci setiap daerah titik pengamatan di masing-masing kabupaten, kerlebih dahulu diuraikan tentang latar belakang setiap kabupaten. Latar belakang yang dijelaskan meliputi sejarah, geografi, sosial, agama, dan kesehatan penduduk untuk setiap kabupaten. Selanjutnya, dijelaskan juga mengenai desa yang sudah ditetapkan sebagai daerah titik pengamatan untuk mewakili desa lainnya.

Sebagaimana telah dijelaskan pada halaman terdahulu bahwa penelitian ini adalah suatu penelitian lapangan yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data penelitian diperoleh dari sejumlah informan suku Karo yang bertempat tinggal di desa daerah titik pengamatan. Daerah titik pengamatan ada sebanyak 18 desa. Untuk itu, berikut ini dijelaskan mengenai keadaan alam bagi masing-masing daerah penelitian.

(44)

kabupaten, dan kota madya. Misalnya Provinsi Sumatera Utara mempunyai 19 daerah kabupaten dan 7 kota madya. Di antara 19 daerah kabupaten tersebut terdapat 3 daerah kabupaten yang dijadikan sebagai daerah penelitian, yaitu Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat.

2.4 Kabupaten Karo

Kabupaten Karo terletak pada ketinggian 120–1600 meter di atas permukaan laut. Kabupaten Karo terletak di dataran tinggi pegunungan Bukit Barisan dan merupakan daerah mata air sungai. Kabupaten Karo mempunyai areal seluas 2.127,25 km2 atau dapat dikatakan 212.725 hektar. Dapat juga diketahui bahwa daerah Kabupaten Karo adalah 2,97% dari luas seluruh wilayah Provinsi Sumatera Utara. Bila dilihat dari sudut pandang geografis, maka Kabupaten Karo terletak di antara 2o50́'– 3o19' lintang utara dan 97o55'– 98o38' bujur timur.

Di daerah Kabupaten Karo terdapat dua buah gunung berapi yang masih aktif, yaitu Gunung Sibayak dan Gunung Sinabung. Bila dirinci daerah Kabupaten Karo menurut posisinya, maka diketahui bahwa:

(1) 28.606 hektar (13,45%) berada di antara 120–200 meter di atas permukaan laut, (2) 17.856 (8,39%) berada di antara 201–500 meter di atas permukaan laut,

(3) 84.892 hektar (39,91%) berada di antara 501–1.000 meter di atas permukaan laut, (4) 70.774 hektar (33,27%) berada di antara 1.001–1.400 meter di atas permukaan

laut, dan

(45)

Kabupaten Karo berbatasan dengan:

(1) Kabupaten Langkat dan Deli Serdang di sebelah Utara, (2) Kabupaten Dairi dan Toba Samosir di sebelah Selatan,

(3) Kabupaten Simalungun dan Deli Serdang di sebelah Timur, dan (4) Kabupaten Aceh Tenggara di sebelah Barat.

Kabupaten Karo mempunyai dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Suhu udara di Kabupaten Karo berkisar antara 13,8oC–25,8oC. Musim hujan dan kemarau belakangan ini ataupun semenjak banyaknya pohon kayu ditebang secara liar dan tidak terpadu yang mengakibtkan musim kemarau dan hujan tidak dapat diprediksi secara akurat.

Kabupaten Karo pada awal kemerdekaan atau setelah lepas dari cengkeraman Kolonial Belanda terbagi atas tiga daerah kewedanaan. Setelah beberapa tahun Indonesia merdeka maka daerah Kabupaten Karo dibagi lagi menjadi 10 wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Kabanjahe, Tiga Panah, Barus Jahe, Simpang Empat, Payung, Kuta Buluh, Lau Baleng, Tiga Binanga, Juhar, dan Munte. Sekarang, setelah diadakan pemekaran maka yang 10 wilayah kecamatan tadi sudah menjadi 17 wilayah kecamatan. Adapun ketujuh wilayah kecamatan tambahan yang baru ialah Kecamatan Berastagi, Mardingding, Dolat Rakyat, Tiga Nderket, Merek, Merdeka, dan Teran.

Adapun wilayah kecamatan yang dijadikan sebagai daerah penelitian ialah: (1) Kecamatan Juhar,

(46)

(3) Kecamatan Kuta Buluh, (4) Kecamatan Tiga Panah, (5) Kecamatan Payung, dan (6) Kecamatan Merek.

Untuk mendapatkan suatu hasil penelitian yang baik, maka dipilih dan ditetapkan desa daerah titik pengamatan sebagai lokasi tempat pengumpulan data secara baik dan benar. Mahsun (1995:102–103) mengatakan bahwa ada dua pilihan yang dapat diterapkan untuk menetapkan daerah titik pengamatan, yaitu secara kualitatif dan kuantitatif. Adapun kriteria untuk cara kualitatif adalah sebagai berikut: (1) daerah titik pengamatan yang dipilih tidak boleh berdekatan ataupun

bertetangga, serta tidak bertetangga dengan kota besar,

(2) masyarakat desa titik pengamatan tersebut tidak mengalami mobilitas yang tinggi, (3) jumlah penduduk di desa daerah titik pengamatan maksimal 6.000. jiwa, dan (4) desa titik pengamatan tersebut minimal sudah berusia 30 tahun.

(47)

Desa yang ditetapkan sebagai daerah titik pengamatan, satu desa di masing-masing wilayah kecamatan, yaitu Desa Nageri di wilayah Kecamatan Juhar, Desa Kinangkong di wilayah Kecamatan Lau Baleng, Desa Lau Buluh di wilayah Kecamatan Kuta Buluh, Desa Selandi di wilayah Kecamatan Payung, Desa Seberaya di wilayah Kecamatan Tiga Panah, dan Desa Dokan di wilayah Kecamatan Merek. (1) Kecamatan Juhar

Kecamatan Juhar mempunyai wilayah seluas 218,56 km2. Kecamatan Juhar terletak di antara 710–800 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Juhar berbatasan dengan:

(1) Kecamatan Tiga Binanga dan Munte di bagian Utara, (2) Kabupaten Dairi di sebelah Selatan,

(3) Kabupaten Dairi dan Kecamatan Tiga Binanga di sebelah Barat, dan (4) Kecamatan Tiga Panah di sebelah Timur.

(48)

(2) Kecamatan Lau Baleng

Kecamatan Lau Baleng berada dalam ketinggian 600–700 meter di atas permukaan laut. Kecamatan Lau Baleng mempunyai wilayah seluas 252,60 km2. Adapun batas wilayah Kecamatan Lau Baleng adalah:

Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Mardingding, Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Dairi,

Sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Aceh Tenggara, dan Sebelah Timur dengan Kecamatan Tiga binanga.

Wilayah Kecamatan Lau Baleng mempunyai 15 desa, salah satu di antaranya ialah Desa Kinangkong. Desa Kinangkong inilah yang dijadikan sebagai desa tempat titik pengamatan penelitian ini. Luas desa Kinangkong adalah 20,86 km2. Jumlah penduduknya adalah sebanyak 1.316 orang (643 orang laki-laki dan 673 orang perempuan). Jumlah rumah tangga di desa Kinangkong ada sebanyak 331. Masyarakat Kinangkong menganut tiga agama yang berbeda, yaitu Islam, Katolik, dan Kristen lainnya. Pemeluk agama Islam ada sebanyak 314 orang, Katolik ada sebanyak 285 orang, dan Kristen lainnya ada sebanyak 717 orang.

(3) Kecamatan Kuta Buluh

Kecamatan Kuta Buluh mempunyai wilayah seluas 195,70 km2 yang terdiri atas 16 desa. Wilayah ini berada dalam ketinggian 900 meter di atas permukaan laut. Adapun batas wilayah Kecamatan Kuta Buluh ialah:

Sebelah Utara dengan Kabupaten Langkat,

(49)

Sebelah Barat dengan Kecamatan Mardingding, dan Sebelah Timur dengan Kecamatan Payung.

Penduduk Kecamatan Kuta Buluh ada sebanyak 11.853 jiwa. Desa yang ditetapkan sebagai tempat titik pengamatan di Wilayah Kecamatan Kuta Buluh adalah desa Lau Buluh. Desa Lau Buluh mempunyai penduduk sebanyak 1.097 orang (539 laki-laki dan 558 orang perempuan) yang terdiri dari 192 rumah tangga. Di desa Lau Buluh ada terdapat 1 mesjid dan 6 gereja.

(4) Kecamatan Payung

Kata Payung dalam frasa Kecamatan Payung sebenarnya berasal dari kata

Payong. Banyak anggota masyarakat Karo tidak mengerti sejarah kata Payung

(50)

Sewaktu selesai perburuan, mereka memberitakan hal tersebut kepada penduduk Desa Batu Karang. Oleh karena sudah lebih sepuluh tahun masyarakat Desa Batu Karang tidak mengetahui keberadaan Merga Bangun tersebut maka setiap orang yang mendengar berita tersebut berkata payo nge [payo ŋ]. Frasa payo nge sebenarnya bersifat ambigu. Misalnya, seseorang ingin mengetahui kebenaran suatu kejadian, maka dia akan bertanya Payo nge ia i ĵadah? [payo ŋ ia i ĵadah] yang berarti ‘Benar atau betulkah dia di sana?’ Jawaban untuk pertanyaan tersebut adalah [payo ŋ]. Akhirnya terjadilah Desa Payung karena sudah banyak masyarakat dari desa lainnya membuka lahan pertanian di sekeliling ladang Pak Bangun tersebut. Desa Payung berada di lereng kaki Gunung Sinabung.

Kira-kira pada tahun 1901, sebelum Indonesia merdeka karena Kolonial Belanda dan Jepang masih menduduki Indonesia, wilayah Kecamatan Payung dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu:

wilayah Raja Urung Susuk yang berkedudukan di Tiga Nderket,

wilayah Raja Urung Batu Karang yang berkedudukan di Batu Karang, dan wilayah Raja Urung Guru Kinayan yang berkedudukan di Tiga Pancur.

(51)

memutuskan agar daerah-daerah Raja Urung tersebut dijadikan menjadi satu wilayah kecamatan yang berkedudukan di Desa Payung dengan alasan lokasinya berada di tengah-tengah wilayah tersebut. Setelah lima bulan lamanya Asisten Wedana berkantor di desa Payung, maka dipindahkanlah kantor Asisten Wedana ke Desa Tiga Nderket dengan ketentuan bahwa nama tidak berubah yaitu masih tetap Payung. Adapun alasan Bupati untuk memindahkan kantor Asisten Wedana ke Tiga Nderket, berhubung di Desa Payung sangat sedikit sekali penduduknya, sedangkan di Tiga Nderket sangat banyak penduduk.

Tiga Nderket adalah satu frasa dari dua kata Tiga dan Nderket [tiga] dan [ndƏrkƏt]. Tiga artinya ‘pasar’ atau ‘pekan’ dan Nderket adalah nama suatu pohon kayu. Berhubung pohon Nderket tersebut sangat tinggi dan rimbun sehingga di bawahnya sangat teduh, maka di sekitar pohon Nderket tersebutlah masyarakat jadikan pasar. Jadi, Tiga Nderket artinya ‘pasar’ atau ‘pekan’ di bawah pohon Nderket.

(52)

berada pada 850–1.200 meter di atas permukaan laut. Luas Kecamatan Payung adalah 47,24 km2. Adapun batas-batas Kecamatan Payung adalah:

sebelah Utara dengan Kecamatan Tiga Nderket, sebelah Selatan dengan Kecamatan Munte,

sebelah Barat dengan Kecamatan Tiga Nderket, dan sebelah Timur dengan Kecamatan Simpang Empat.

Jarak Kecamatan Payung ke Ibukota Kabupaten Karo, Kabanjahe adalah 17 km dan dengan kota Medan 93 km.

Penduduk Kecamatan Payung sebanyak 10.818 orang (5.300 orang laki-laki dan 5.518 orang perempuan) yang terdiri dari 3.071 rumah tangga. Di wilayah Kecamatan Payung yang telah ditetapkan sebagai daerah tempat titik pengamatan adalah Desa Selandi yang jumlah penduduknya sebanyak 620 orang dan terdiri dari 205 rumah tangga. Masyarakat Desa Selandi mayoritas memeluk agama Kristen, Protestan sebanyak 214 orang, Katolik sebanyak 204 orang, Islam sebanyak 197, dan lainnya sebanyak 5 orang. Mata pencaharian masyarakat Desa Selandi adalah bertani, ada yang menanam tanaman keras dan ada juga yang menanam palawija.

(5) Kecamatan Tiga Panah

(53)

dan lainnya 117 orang. Penduduk Kecamatan Tiga Panah pada umumnya petani. Masyarakat pada umumnya menanam tanaman keras dan palawija.

Di daerah Kecamatan Tiga Panah telah ditetapkan desa Seberaya sebagai tempat titik pengamatan. Desa Seberaya mempunyai penduduk sebanyak 2.796 orang (1.429 orang laki-laki dan 1.369 orang perempuan). Penduduk Desa Seberaya 20 orang memeluk Agama Islam, 2.097 memeluk Agama Protestan, 662 orang memeluk Agama Katolik, dan 17 orang memeluk agama lainnya. Penduduk Desa Seberaya adalah petani dengan menanam tanaman keras dan palawija..

(6) Kecamatan Merek

Kecamatan Merek mempunyai areal seluas 125,51 km2 dan berada pada 1.192 meter di atas permukaan laut. Wilayah Kecamatan Merek berbatasan dengan: Tiga Panah di sebelah Utara,

Kabupaten Dairi di sebelah Selatan, Kecamatan Juhar di sebelah Barat, dan Kabupaten Simalungun di sebelah Timur.

(54)

Dokan memeluk agama Kristen sebanyak 1.000 orang, Katolik sebanyak 180 orang, dan Islam sebanyak 9 orang. Mata pencaharian masyarakat Dokan adalah menanam palawija dan tanaman keras.

2. 5 Kabupaten Deli Serdang

Sebelum Perang Dunia Ke II, atau tegasnya sebelum Proklamasi Kemer-dekaan Republik Indonesia 17-08-1945, Indonesia masih diduduki oleh Kolonial Belanda, Kabupaten Deli Serdang merupakan wilayah kepemimpinan Kesultanan Deli dan Kesultanan Serdang. Kesultanan Deli berkedudukan di Medan dan Kesultanan Serdang berkedudukan di Perbaungan. Kedua wilayah tersebut dalam masa penjajahan Belanda merupakan Keresidenan Sumatera Timur, dan sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, kekuasaan kesultanan sudah berakhir dan struktur pemerintah disesuaikan dengan pemerintah Indonesia dan Kesultanan Deli dan kesultanan Serdang dijadikan sebagai daerah Kabupaten Deli Serdang.

(55)

pembangunan sangat menonjol. Melalui pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Orde Baru dapat menumbuhkan ekonomi diberbagai sektor di Deli Serdang. Misalnya, di sektor pertanian dan perkebunan menjadi pemeran utama bagi penghuni Kabupaten Deli Serdang.

Sejalan dengan lajunya pembangunan di bidang politik berjalan cukup mantap, stabil, dan dinamis. Hal ini tercipta dengan adanya kerjasama yang harmonis di kawasan Deli Serdang. Keadaan tersebut merupakan modal yang tidak terhitung nilainya untuk mewujudkan demokrasi Pancasila. Azas persatuan dan kesatuan selalu menjiwai pemerintah Deli Serdang sehingga kesetabilan politik tetap mantap dan terkendali.

Kabupaten Deli Serdang terletak pada posisi 2o 57’’ Lintang Utara, 3o 16’’ Lintang Selatan, 98o 33’’-99o 27’’ Bujur Timur dengan Luas wilayah 2.497,72 Km2 Batas wilayah Kabupaten Deli Serdang adalah sebagai berikut:

sebelah utara dengan Kabupaten Langkat,

sebelah selatan denganKabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun, sebelah timur dengan Kabupaten Serdang Bedagai, serta

sebelah barat dengan Kabupaten Karo dan Kabupaten Langkat.

(56)

dan Oktober, hujan per-bulan berkisar 9 -23 hari dengan periode hari hujan yang besar pada bulan September–Oktober. Rata-rata kecepatan udara berkisar 2,0 m/dt dengan tingkat penguapan sekitar 4,0 mm/hari. Temperatur udara perbulan minimum 23,9o C dan maksimum 32,4oC.

Pengamatan di Stasiun Gunung Pamela, dapat dilihat bahwa kelembapan udara rata-rata 83%, curah hujan bekisar antara 45 samapai dengan 287 mm perbulan. Sementara rata-rata kecepatan, tingkat penguapan dan temperatur udara tidak dapat diamati.

Peningkatan partisipasi sekolah penduduk tentunya harus diimbangi dengan penyediaan sarana fisik pada pendidikan maupun pada tenaga guru yang memadai. Pada tingkat pendidikan dasar jumlah sekolah ada sebanyak 758 unit yang terdiri dari 619 Sekolah Dasar Negeri/Inpres dan sebanyak 139 Sekolah Dasar Swasta. Jumlah SLTP Negeri sebanyak 40 unit, SLTP Swasta sebanyak 159 unit. Jumlah SMU Negeri sebanyak 10 unit dan SMU swasta sebanyak 74 Unit. Sekolah Menengah Kejuruan Negeri hanya 2 unit dan yang diselenggarakan oleh swasta sebanyak 73 unit.

(57)

ini ditunjukkan dengan lebih banyak jumlah sekolah swasta bila dibandingkan dengan sekolah negeri, khusus di tingkat sekolah menengah.

Dengan fasilitas pendidikan yang demikian, maka jumlah murid yang dapat ditampung adalah sebanyak 194 064 siswa untuk SD, 54 412 siswa untuk tingkat SLTP, 23 885 siswa untuk tingkat SMU dan 21 843 siswa untuk sekolah STM, SMEA,SMKK dan SMK, sedangkan untuk sekolah agama ada terdapat sebayak 13 165 siswa untuk tingkat MI, sebanyak 16 390 siswa untuk tingkat MTs, dan sebanyak 3 092 siswa untuk tingkat MTs, dan sebanyak 3 092 siswa untuk tingkat MA. Bila kita lihat dari tingkat pendidikan tertinggi yang ditamatkan dapat diketahui bahwa dari 1.147.865 penduduk di usia 19 tahun ke atas. Jadi + 330.992 orang atau sekurang-kurangnya telah menamatkan tingkat pendidikan dasar (SD atau sedeajat) atau sekitar 28,83% sudah tamat dan sekitar 23,33% belum tamat SD atau tidak/ belum pernah sekolah, sedangkan selebihnya, yaitu 47,84% telah menamatkan pendidikan pada tingkat SLTP ke atas.

(58)

memberikan pelajaran agama. Di Kabupaten Deli Serdang terdapat imam sebanyak 88 orang, khotib ada sebanyak 574 orang, dan ulama sebanyak 1010 orang.

Ketersediaan sarana kesehatan berupa rumah sakit di Kabupaten Deli Serdang ada sebanyak 11 unit, masing-masing berada di Kecamatan Tanjung Morawa (2 unit), Kecamatan Lubuk Pakam (3 unit), Kecamatan Deli Tua (2 unit), Kecamatan Labuhan Deli (1 unit). Kapasitas tempat tidur seluruhnya sebanyak 470 tempat tidur. Di setiap wilayah kecamatan sudah ada puskesmas dan puskesmas pembantu. Sarana penunjang kesehatan tersebut didukung oleh sebanyak 91 apotik dan depot obat yang tersebar di beberapa kecamatan lain.

Di Kabupaten Deli Serdang sudah ditetapkan enam desa sebagai daerah titik pengamatan. Keenam desa tersebut berada di dalam enam wilayah kecamatan yang berbeda. Adapun keenam kecamatan tersebut adalah:

(1) Kecamatan Sibolangit

Luas Kecamatan Sibolangit sekitar 174,92 Km2 dan tinggi dari permukaan laut antara 350 m s/d 700m serta terletak pada 20o – 59o Lintang Utara dan 50o – 98o Bujur Selatan

(59)

musim kemarau pada bulan April sampai deengan bulan Agustus pada setiap tahunnya.

Batas-Batas :

sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Pancurbatu, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Karo,

sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Kutalimbaru, dan

sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Namo Rambe, Kecamatan Biru-Biru. (2) Kecamatan STM Hilir

Pada masa penjajahan Belanda, Kecamatan STM Hilir disebut VAN.N. Senembah Tanjung Muda Hulu yang dipimpin oleh perbapaan bermarga Barus dan tunduk kepada Sultan Serdang di Perbaungan. Sejak Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia 17 Agustus 1945, VAN.N. Senembah Tanjung Muda Hulu disebut Sinembah Tanjung Muda Hulu, pusat pemerintahannya berkedudukan di Desa Tadukan Raga. Setelah penyerahan kedaulatan/penghapusan Negara Sumatera Timur sekitar tahun 1945/1949, Sinembah Tanjung Muda dibagi menjadi 2 wilayah Kecamatan yaitu Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hulu dan Kecamatan Sinembah Tanjung Muda Hilir yang berkedudukan di Desa Talun Kenas terdiri dari 38 Desa dan pada tahun 1991 diperkecil menjadi 15 Desa.

(60)

Kecamatan STM Hilir beriklim sedang. Di sebelah selatan kecamatan tersebut ditemukan beberapa bukit kecil. Letak kecamatan di atas permukaan laut tingginya berkisar 190 sampai dengan 500 m. Iklim di wilayah Kecamatan STM Hilir sangat bergantung kepada dua arah angin, yaitu angin dri arah laut dan angin dari arah pegunugan. Curah hujan yang menonjol pada bulan Januari sampai dengan Agustus. Musim kemarau terjadi pada bulan September sampai dengan Desember. Batas-batas wilayah Kecamatan STM Hilir ialah:

Utara berbatasan dengan Kecamatan Patumbak, Selatan berbatasan dengan Kecamatan STM Hulu,

Timur berbatasan dengan Kecamatan Bangun Purba dan STM Hulu, dan Barat berbatasan dengan Kecamatan Biru-Biru.

(3) Kecamatan Biru-biru

(61)

Katolik yang satu sama lainnya hidup harmonis dan mampu memelihara adat istiadat masing-masing. Sumber mata pencarian penduduk umumnya bertani.

Adapun batas-batas Kecamatan Biru-Biru ialah:

Sebelah Utara : Berbatasan dengan Kecamatan Deli Tua, Sebelah Timur : Berbatasan dengan Kecamatan Patumbak,

Sebelah Barat : Berbatasan dengan Kecamatan Namo Rambe, dan Sebelah Selatan : Berbatasan dengan Kec. STM Hilir.

(4) Kecamatan Namo Rambe

(62)

Tanah usaha yang dapat dikelola untuk lahan pertanian Tanaman Pangan dan lainnya antara 51 sampai dengan 400 meter atau sekitar 92,24% dari luas wilayah Kecamatan. Tanah usaha yang dapat dikelola untuk lahan perkebunan Rakyat/Tanaman Keras antara 401 sampai dengan 499 meter diatas permukaan laut yang luasnya 483 Ha atau sekitar 7,76% dari wilayah kecamatan.

(5) Keacamatan Kutalimbaru

Daerah ini pada masa penjajahan Belanda bernama Hofd Perbapaan Sebernaman yang sekarang dinamakan Kecamatan Kutalimbaru. Hofd Perbapaan Kutalimbaru tunduk ke daerah yang bernama Coetoeleur Van Boven yang sekarang Pancurbatu (Aremania). Hofd Perbapaan Sebernaman membawahi 6 Perbapaan dan dijabat oleh Tangkas Sinulingga dan ke penghuluan sebanyak 80 kepenghuluan. Pada zaman Pemerintahan Jepang, Pemerintah Kutalimbaru terbagi atas 80 Komico, yang tunduk ke Daerah Guntebu yang di jabat oleh Bunsisco. Pada zaman Pemerintahan Republik Indonesia (1945) daerah ini berstatus kecamatan yang membawahi 80 kepenghuluan dan organisatoris pemerintahan untuk ke Kabupaten sampai tahun 1946. Pada waktu itu Kecamatan Kutalimbaru tunduk ke Kewedaan Deli Hulu yang berkedudukan di Pancur Batu, yang berada dalam wilayah Kewedaan Deli Hulu terdiri dari beberapa wilayah kecamatan, yaitu Kecamatan Kutalimbaru, Kecamatan Sibolangit. Kecamatan Namo Rambe, dan Kecamatan Biru-Biru.

(63)

Pada masa Negara Kesatuan (1950) status pemerintahan di daerah ini kembali ke Kecamatan Kutalimbaru yang dijabat oleh Kelang Sinulingga dan Kewedanan di Pancur Batu yang dijabat oleh Keras Surbakti (Kewedanaan Deli Hulu) terus berlangsung sampai penghapusan Wilayah Kewedanaan Deli Hulu pada tahun 1957. Setelah penghapusan Kewedanaan, maka status pemerintah berubah menjadi Kecamatan Kutalimbaru dengan Ibu Kota Kecamatan yang Berdomisili di Desa Kutalimbaru.

(6) Kecamatan Pancur Batu

Kecamatan Pancur Batu mempunyai wilayah seluas 122,53 km2 (12.253 hektar).

Di Kecamatan Pancur Batu ada terdapat dua puluh lima desa dan seratus delapan dusun. Kecamatan Pancur Batu berbatasan dengan :

Kota Medan di sebelah Utara,

Kecamatan Sibolangit di sebelah Selatan, Kecamatan Namo Rambe di sebelah Timur, dan Kecamatan Kutalimbaru di sebelah Barat.

(64)

pengamatan yang sudah ditetapkan di wilayah Kecamatan Pancur Batu adalah desa Gunung Tinggi. Desa penduduknya 1.804 jiwa (laki-laki 907 orang dan 897 orang perempuan) dengan 454 rumah tangga. Penduduk desa Gunung Tinggi memeluk agama Islam sebanyak 858 orang, Kristen 695 orang, Katolik 20, dan yang lainnya 231 orang.

2.6 Kabupaten Langkat

Pada saat Indonesia masih di bawah kekuasaan kolonial Belanda daerah Kabupaten Langkat masih berstatus kesultanan yang dipimpin oleh Morry Agesten. Residen ini berkedudukan di Binjai. Jadi pada saat itu dibagi dua oleh kolonial Belanda. Urusan orang asing di bawah Morry Agesten dan orang pribumi diatur oleh sultan Langkat. Sistem ini berlangsung sejak 1865 hingga akhir penjajahan Belanda di Indonesia, yaitu 1942.

(65)

Setelah Indonesia merdeka atau terlepas dari penjajahan kolonial Belanda, maka wilayah kesultanan ini tadi sudah berkembang menjadi dua wilayah yang dipimpin oleh seorang Bupati yang kemudian menjadi kota Madya yang dipimpin oleh seorang Wali Kota, dan selebihnya dijadikan menjadi satu daerah Kabupaten yang disebut Kabupaten Langkat dan dipimpin oleh seorang Bupati.

Bila ditinjau dari sudut pandang geografi, Kabupaten Langkat terletak pada 3”14’ dan 4”3’ lintang Utara, 93”51’ dan 98”45’ bujur timur. Kabupaten Langkat berbatasan dengan:

Selat Malaka dan D.I. Aceh di sebelah Utara, Kabupaten Karo di sebelah Selatan,

Kabupaten Deli Serdang di sebelah Timur, dan Aceh Tengah di sebelah Barat.

Kabupaten Langkat mempunyai areal seluas 6.263,29 km atau 626.329 hektar. Di daerah Kabupaten Langkat telah ditetapkan enam desa sebagai daerah titik pengamatan. Keenam desa daerah titik pengamatan tersebut berada dalam enam wilayah Kecamatan yang berbeda. Adapun keenam Kecamatan tersebut ialah: Kecamatan Sei Bingei, Selesai, Kuala, Kuta Mbaru, Salapian, dan Bahorok. Desa tempat titik pengamatan adalah Telaga, Tanjung Merahe, Garunggang, Kuta Gajah, Parangguam, dan Lau Damak.

(1) Kecamatan Sei Bingei

(66)

Binjai di sebelah Utara,

Kabupaten Karo di sebelah Selatan,

Kecamatan Salapian dan Kuala di sebelah Barat, dan Kabupaten Deli Serdang di sebelah timur.

Kecamatan Sei Bingei mempunyai penduduk sebanyak 46.499 jiwa yang terdiri dari 41.849 orang suku Karo, 1.860 orang suku Melayu, 930 orang suku Jawa, 930 orang suku Mandailing, 465 orang suku Toba, 465 orang suku Simalungun, dan 10 orang suku lainnya. Pemeluk Agama Islam di Kecamatan Sei Bingei adda 28.203 orang, Kristen 17.973 orang, dan Katolik sebanyak 2.323 orang.

(2) Kecamatan Selesai

Kecamatan Selesai mempunyai wilayah seluas 15.208 hektar (152,08 km2). Kecamatan Selesai mempunyai tigabelas desa. Jumlah penduduknya ada sebanyak 67.226 jiwa (14.867 rumah tangga). Kecamatan selesai berbatasan dengan Kecamatan:

Stabat di sebelah Utara,

Sei Bingei dan Kuala di sebelah Selatan, Wampu dan Bahorok di sebelah Barat, dan Kodya Binjai di sebelah Timur.

(67)

(3) Kecamatan Kuala

Wilayah Kecamatan Kuala ada seluas 19.476 hektar (194, 76 km2). Di Kecamatan Kuala ada terdapat delapanbelas desa. Jumlah penduduk di Kecamatan Kuala adalah 44.079 jiwa (10.557 rumah tangga). Kecamatan Kuala berbatasan dengan Kecamatan:

Selesai di sebelah Utara, Sei bingei di sebelah Selatan, Salapian di sebelah Barat, dan Sei Bingei di sebelah timur.

Desa titik pengamatan di Kecamatan Kuala yaitu desa Garunggang. Desa Garunggang penduduknya 1.340 orang suku Karo, 248 orang suku Jawa, Toba 9 orang, Mandailing 5 orang, dan 52 orang suku lainnya. Di desa Garunggang terdapat 392 rumah tangga dengan jumlah penduduk 1.654 orang. Pemeluk Agama Kristen ada sebanyak 1.075 orang dan 579 orang beragama Islam.

(4) Kecamatan Salapian

Kecamatan Salapian luasnya 51,112 hektar (511,12 km2). Kecamatan Salapian sebelumnya mempunyai 25 desa dengan jumlah penduduk 51.114 orang (12.378 rumah tangga). Semenjak pertengahan tahun 2008 Kecamatan Salapian dimekarkan menjadi tiga Kecamatan, yakni Kecamatan Salapian, Kuta Mbaru, dan Serapit Daerah penelitian di Salapian dan Kuta Mbaru. Kecamatan Salapian berbatasan dengan:

(68)

Kabupaten Karo di sebelah Selatan, Kecamatan Bahorok di sebelah Barat, dan Kecamatan Kuala di sebelah timur.

Desa yang ditetapkan sebagai daerah titik pengamatan di Kecamatan Salapian ialah desa Parangguam. Jumlah penduduk di Desa Parangguam 1.340 orang suku Karo, 248 orang suku Jawa, Toba 9 orang dan 2 orang suku lainnya. Sedangkan di Kecamatan Kuta Mbaru ditetapkan desa Kuta Gajah sebagai daerah titik pengamatan. Desa Kuta Gajah penduduknya 1.273 orang, suku Karo. 1.032 orang, suku Jawa, suku Melayu 3 orang, suku Toba 36 orang, suku Mandailing 12 orang, dan 45 orang suku lainnya. Penduduk Kuta Gajah yang memeluk agama Islam 1.584 orang, 648 orang memeluk agama Kristen Protestan, yang memeluk agama Katolik 48 orang , dan 121 orang memeluk agama lainnya.

(6) Kecamatan Bahorok

Kecamatan Bahorok seluas 955,10 km2 dengan jumlah desa 22. Kecamatan Bahorok penduduknya 45.547 jiwa dan 11.359 rumah tangga. Kecamatan Bahorok berbatasan dengan:

Kecamatan Batang Serangan di sebelah Utara, Kabupaten Karo di sebelah selatan,

Kabupaten Aceh Tenggara di sebelah Barat, dan Kecamatan Salapian di sebelah Timur.

(69)
(70)

III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Penelitian Geografi Dialek

Penelitian geografi dialek di Indonesia bisa dikatakan masih kurang mengingat bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia jumlahnya mencapai 700-an Nadra (2009). Negara kesatuan Idonesia terdiri dari ribuan pulau hal tersebut dapat mengakibatkan pertumbuhan dialek pada suatu bahasa. Geografi dialek mempunyai hubungan yang erat dengan linguistik bandingan dan geografi dialek mengkaji unsur bahasa menurut geografi. Geografi dialek merupakan perkembangan dari studi bandingan dan berfungsi memetakan lokasi bahasa secara positif. Jadi, penelitian geografi dialek diperlukan di Indonesia.

Bahasa daerah merupakan kebanggaan daerah tersebut di samping dapat dijadikan sumber pengayaan perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Dalam kitab UUD 1945 pada pasal 36 bahagian penjelasan, dikatakan bahwa bahasa daerah dilindungi, dipelihara, dan dilestarikan. Sesuai pokok pikiran yang dituangkan dalam kitab UUD 1945 tersebut maka sudah layak bahasa Karo dibina, dipelihara, dan dilestarikan. Salah satu usaha untuk mendukung pokok pikiran tersebut peneliti tertarik meneliti geografi dialek bahasa Karo.

(71)

Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Jepara oleh Dirgo Sabariyanto pada tahun 1985. Akan tetapi penelitian geografi dialek bahasa–bahasa daerah di Sumatera Utara, menurut pengetahuan peneliti belum ada yang diterbitkan. Penelitian geografi dialek yang dilakukan di Pulau Jawa menunjukkan bahwa bahasa Jawa sudah mempunyai beberapa dialek.

Bahasa-bahasa daerah di Sumatera Utara sudah banyak diteliti oleh para pakar bahasa, tetapi tidak penelitian tentang geografi dialek. Bahasa daerah di Sumatera Utara adalah (1) Bahasa Batak Toba, (2) Bahasa Batak Pakpak, (3) Bahasa Batak Karo, {4} Bahasa Batak Simalungun, (5) Bahasa Batak Mandailing, (6) Bahasa Nias, (7) Bahasa Melayu, (8) Bahasa Cina, (9) Bahasa Jawa, dan lain-lain.

Tarigan dan Tarigan (1997:3) dalam Geoff Woollams (2004:7) mengatakan bahwa bahasa Karo mempunyai dialek Gunung-gunung dan dialek Jahe-jahe. Dialek Gunung-gunung dipakai di Kabupaten Karo dan dialek Jahe-jahe dipakai di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat. Dikatakan secara umum memang di dalam bahasa Karo sudah ada gejala dialek. Misalnya di daerah Jahe-Jahe kata kakek

disebutkan [bolaŋ] sedangkan di Gunung-Gunung disebutkan [bulaŋ]. Kata nenek di Jahe-Jahe disebutkan [nondoŋ] sedngkan di Gunung-Gunung disebutkan [nini].

(72)

dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam hal penentuan perbedaan yang menjurus ke dialek suatu bahasa, subdialek suatu bahasa, perbedaan suatu bahasa ataupun masih merupakan beda wicara.

Ayatrochaedi (1983) mengatakan bahwa istilah dialek berasal dari kata Yunani ‘dialektos’. Pada mulanya ‘dialektos’ ini dinyatakan tehadap bahasa Yunani yang mempunyai sedikit perbedaan saja. Peneliti geografi dialek suatu bahasa diharuskan menemukan perbedaan-perbedaan unsur bahasa dalam bahasa yang sedang diteliti. Selanjutnya, Ayatrohaedi (1983), Lauder (1993), dan Mahsun (2005) mengatakan bahwa peneliti diwajibkan mendeskripsikan variasi dialek bahasa yang sedang diteliti. Peneliti dianjurkan untuk mencatat temuan-temuan yang merupakan unsur bahasa yang merupakan pembeda dari suatu daerah titik penmgamatan dengan daerah titik pengamatan lainnya. Penelitian variasi dialek bahasa Karo di ketiga daerah ini akan difokuskan pada perbedaan fonologi dan leksikon. Perbedaan unsur bahasa yang ditemukan merupakan ciri dialek dalam bahasa tersebut. Dalam hal ini dapat ditemukan contoh-contoh yang dipakai oleh penutur bahasa Karo pada saat mereka berkomunikasi. Perbedaan tersebut dapat saja terjadi pada kata kerja, kata sifat, maupun kata benda. Umpamanya, untuk suatu benda akan disebutkan berbeda sesuai daerahnya. Misalnya benda yang serupa diberi nama berbeda.

Contoh: (1) Timba

(73)

(2) Anjing

Di daerah Deli Serdang dan Kabupaten Langkat kata benda ‘anjing’ diberi nama mopi [mopi] dan asuhen [asuhən], sedangkan di daerah Kabupaten Karo disebut biang [biyaŋ].

Sebaliknya, dapat juga ditemukan bahwa untuk benda yang berbeda disebut dengan nama yang sama.

Contoh: (1) Dedak

Di daerah Kabupaten Langkat kata benda ‘dedak’ disebutkan segal [ s∂gal ], sementara di daerah Kabupaten Karo disebut kedep [k∂d∂p].

(2) Bunga durian

Di daerah Kabupaten Deli Serdang kata benda ‘bunga durian’ disebut [g∂nta], sementara di daerah Kabupaten Karo dan Langkat disebut [kaliaga].

Peta variasi dialek

(74)

A B C

Setiap contoh di atas ( A, B, dan C) menunjukkan bahwa arah anak panah mempunyai arah yang teratur, yaitu dimulai dari angka 1 dan berahir pada angka 9. Peneliti sudah melabel titik tempat pengamatan dari angka 1 sampai dengan 18. Penomoran titik tempat pengamatan sudah mempunyai aturan sesuai anjuran dialektoloh, Ayatrohaedi.

Ciri-ciri pembeda dialek

Ayatrohaedi (1983) mengatakan bahwa ciri-ciri pembeda dalam kajian variasi dialek suatu bahasa bisa saja dijumpai beraneka ragam.

Misalnya:

(1) Kata ‘jangan’ di daerah Kabupaten Karo ada ditemukan tiga macam ucapan, yaitu [ula], [oula], dan [aula].

(2) Kata bilangan ‘sepuluh’ di daerah Kabupaten Karo ditemukan dua variasi, yaitu di daerah Kecamatan Kuta Buluh disebut [s∂puloh], sementara di daerah Kecamatan lainnya diucapkan [s∂puluh].

(3) Kata ‘ada’ di daerah Kabupaten Deli Serdang dan Langkat disebut [lət], tetapi di daerah Kabupaten Karo disebut [lit].

1 2 3 4 5 6 7 8 9

3 4 9 2 5 8 1 6 7

4 3 2 5

(75)

(4) Kata ‘padi’ di ketiga daerah penelitian ada ditemukan tiga variasi, yaitu [pag], [pagai], dan [pagei].

Sesuai data yang diperoleh di atas, ciri-ciri variasi dialek dapat digambarkan sebagai berikut:

Pada data (1) ditemukan variasi ucapan [u] ~ [o] ~ [au]. Pada data (2) ditemukan variasi ucapan [u] ~ [o].

Pada data (3) ditemukan variasi ucapan [i] ~ [∂ ]. Pada data (4) ditemukan variasi ucapan []

~

[ai] ~ [ei].

Edwards (1985) mengatakan bahwa ada bermacam-macam alasan mengapa terjadi variasi dialek dalam suatu bahasa, antara lain pengaruh bahasa tetangga, pengaruh kebudayaan tetangga, dan pengaruh geografis. Sesuai pernyataan Edwards (1985) bahwa di daerah Kabupaten Karo untuk sementara waktu dapat diasumsikan sebab terjadinya suatu variasi dialek diakibatkan oleh pengaruh bahasa tetangga. Sebagai contoh di Kecamatan Juhar dan Lau Baleng ditemukan ucapan [ku] berkorespondensi dengan [tu] yang artinya ‘kepada’ dan ‘ke’.

Contoh:

[tu ĵa kna law∂s] ‘Ke mana kalian pergi?’ di tempat lain [ku ĵa kna law∂s]

(76)

‘Dengan siapakah dia kawin?’ dan [tu dia do ho lao tulaŋ] yang artinya ‘Ke manakah kamu pergi, Paman?’

Ibu kota kecamatan yang menggunakan [tu] ialah Juhar dan Lau Baleng. Kedua daerah Kecamatan ini berada di pinggir jalan yang menghubungkan Kota Cane dengan Beras Tagi. Di antara Kota Cane ada beberapa desa yang penduduknya berasal dari penutur asli bahasa Batak Toba. Mereka selalu berkomunikasi pada hari pekan dan berada dalam bus yang sama sewaktu berpergian ke Medan atau Pematang Siantar. Hal inilah yang menyebabkan penutur bahasa Karo di daerah tersebut telah dipengaruhi oleh ucapan [tu] tersebut.

(77)

bahasa Karo di daerah Kabupaten Deli serdang dan Kabupaten Langkat disebut dialek bahasa Karo Jahe-jahe. Pernyataan tersebut belum dapat diterima karena sesuai data yang ditemukan oleh peneliti di daerah Kabupaten Karo sudah terdapat variasi. Pernyataan ini juga belum dapat diterima.

Bila ditemukan unsur bahasa dituturkan oleh kelompok penutur bahasa itu sendiri berbeda karena tempat mereka berdomisili berlainan maka hal itu dapat dipandang sebagai sutu gejala munculnya dialek dikarenakan oleh perbedaan geografis. Petyt (1980:119–121) dan Trudgill (1990:50–52) menyatakan perbedaan unsur bahasa yang penggunanya berbeda oleh para penuturnya karena perbedaan tempat tinggal merupakan kajian dalam suatu disiplin ilmu yang disebut dialektologi.Kadang-kadang dapat juga kita jumpai pada suatu masyarakat pengguna suatu bahasa bahwa perbedaan unsur bahasa tersebut digunakan berbeda oleh sub-kelompok yang berbeda status, maka perbedaan tersebut dikaji dengan cabang linguistik, sosiolinguistik.

Kridalaksana (1993:42) menyatakan bila bahasa yang sama digunakan oleh penuturnya berbeda sewaktu berkomuni

Gambar

Tabel  1 Merga Sembiring dan Cabang-Cabangnya
Tabel  2
Tabel  3 Merga Ginting dan Cabang-Cabangnya
Tabel  4 Merga Tarigan dan Cabang-Cabangnya
+6

Referensi

Dokumen terkait

Menurut kepercayaan lama masyarakat Karo (yang belum beragama) di Kabupaten Langkat, orang yang meninggal cawir metua apabila tidak dilakukan upacara adat yang layak pada

terutama dalam kehidupan orang Karo bahwa yang satu marga dengan mereka akan. lebih dekat dan semakin mempeerat

Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan bagaimanakah Kontribusi Radio Turang FM dalam Mensosialisasikan Lagu-lagu Pop Karo di Desa Raya Berastagi Kabupaten Karo sebagai

Luhut Hamonangan (Universitas Sumatera Utara) dalam penelitiannya yang berjudul “ Prospek Pembangunan Pertanian Sektor Pertanian Kabupaten Karo ’’ mengemukakan bahwa produksi

Dalam Pluralitas Musik Etnik Batak Toba, Mandailing, Melayu, Pakpak-Dairi, Angola, Karo, Simalungun, Pusat Dokumentasi, dan Pengkajian Kebudayaan Batak, Medan: Universitas

Salah satu komoditi pertanian yang subur di Kabupaten Karo adalah komoditi.. hortikultura, baik hortikultura semusim maupun tahunan yang

Etnik Karo adalah salah satu dari lima subetnik Batak yang sudah.. memiliki kebudayaan sendiri sejak

Tujuan penelitian (1) mendeskripsikan klasifikasi istilah kekerabatan tiga generasi di atas dan tiga generasi di bawah ego dalam bahasa Batak Karo Jahe di desa