• Tidak ada hasil yang ditemukan

III. TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Penelitian Geografi Dialek

Penelitian geografi dialek di Indonesia bisa dikatakan masih kurang mengingat bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia jumlahnya mencapai 700-an Nadra (2009). Negara kesatuan Idonesia terdiri dari ribuan pulau hal tersebut dapat mengakibatkan pertumbuhan dialek pada suatu bahasa. Geografi dialek mempunyai hubungan yang erat dengan linguistik bandingan dan geografi dialek mengkaji unsur bahasa menurut geografi. Geografi dialek merupakan perkembangan dari studi bandingan dan berfungsi memetakan lokasi bahasa secara positif. Jadi, penelitian geografi dialek diperlukan di Indonesia.

Bahasa daerah merupakan kebanggaan daerah tersebut di samping dapat dijadikan sumber pengayaan perbendaharaan kata bahasa Indonesia. Dalam kitab UUD 1945 pada pasal 36 bahagian penjelasan, dikatakan bahwa bahasa daerah dilindungi, dipelihara, dan dilestarikan. Sesuai pokok pikiran yang dituangkan dalam kitab UUD 1945 tersebut maka sudah layak bahasa Karo dibina, dipelihara, dan dilestarikan. Salah satu usaha untuk mendukung pokok pikiran tersebut peneliti tertarik meneliti geografi dialek bahasa Karo.

Di Indonesia ada beberapa penelitian geografi dialek yang dilakukan oleh pakar bahasa, misalnya Geografi Dialek Sunda di Kabupaten Bogor oleh Agus Suriamiharja pada tahun 1982, Geografi Dialek Banyuwangi oleh Soetoko pada tahun 1981, Bahasa Sunda di Daerah Cirebon oleh Ayatrohaedi pada tahun 1978, Geografi

Dialek Bahasa Jawa di Kabupaten Jepara oleh Dirgo Sabariyanto pada tahun 1985. Akan tetapi penelitian geografi dialek bahasa–bahasa daerah di Sumatera Utara, menurut pengetahuan peneliti belum ada yang diterbitkan. Penelitian geografi dialek yang dilakukan di Pulau Jawa menunjukkan bahwa bahasa Jawa sudah mempunyai beberapa dialek.

Bahasa-bahasa daerah di Sumatera Utara sudah banyak diteliti oleh para pakar bahasa, tetapi tidak penelitian tentang geografi dialek. Bahasa daerah di Sumatera Utara adalah (1) Bahasa Batak Toba, (2) Bahasa Batak Pakpak, (3) Bahasa Batak Karo, {4} Bahasa Batak Simalungun, (5) Bahasa Batak Mandailing, (6) Bahasa Nias, (7) Bahasa Melayu, (8) Bahasa Cina, (9) Bahasa Jawa, dan lain-lain.

Tarigan dan Tarigan (1997:3) dalam Geoff Woollams (2004:7) mengatakan bahwa bahasa Karo mempunyai dialek Gunung-gunung dan dialek Jahe-jahe. Dialek Gunung-gunung dipakai di Kabupaten Karo dan dialek Jahe-jahe dipakai di Kabupaten Deli Serdang dan Langkat. Dikatakan secara umum memang di dalam bahasa Karo sudah ada gejala dialek. Misalnya di daerah Jahe-Jahe kata kakek

disebutkan [bolaŋ] sedangkan di Gunung-Gunung disebutkan [bulaŋ]. Kata nenek di Jahe-Jahe disebutkan [nondoŋ] sedngkan di Gunung-Gunung disebutkan [nini].

Nothofer (1993:169) mengatakan untuk penelitian geografi dialek diperlukan daerah titik pengamatan. Di anatara titik pengamatan atau dari satu titik pengamatan ke titik pengamatan yang berdekatan diperlukan garis diagonal. Garis diagonal ditarik tidak boleh saling berpotongan. Dengan demikian, maka garis diagonal yang menghubungkan satu titik pengamatan dengan titik pengamatan yang lebih dekat

dapat dijadikan sebagai tolok ukur dalam hal penentuan perbedaan yang menjurus ke dialek suatu bahasa, subdialek suatu bahasa, perbedaan suatu bahasa ataupun masih merupakan beda wicara.

Ayatrochaedi (1983) mengatakan bahwa istilah dialek berasal dari kata Yunani ‘dialektos’. Pada mulanya ‘dialektos’ ini dinyatakan tehadap bahasa Yunani yang mempunyai sedikit perbedaan saja. Peneliti geografi dialek suatu bahasa diharuskan menemukan perbedaan-perbedaan unsur bahasa dalam bahasa yang sedang diteliti. Selanjutnya, Ayatrohaedi (1983), Lauder (1993), dan Mahsun (2005) mengatakan bahwa peneliti diwajibkan mendeskripsikan variasi dialek bahasa yang sedang diteliti. Peneliti dianjurkan untuk mencatat temuan-temuan yang merupakan unsur bahasa yang merupakan pembeda dari suatu daerah titik penmgamatan dengan daerah titik pengamatan lainnya. Penelitian variasi dialek bahasa Karo di ketiga daerah ini akan difokuskan pada perbedaan fonologi dan leksikon. Perbedaan unsur bahasa yang ditemukan merupakan ciri dialek dalam bahasa tersebut. Dalam hal ini dapat ditemukan contoh-contoh yang dipakai oleh penutur bahasa Karo pada saat mereka berkomunikasi. Perbedaan tersebut dapat saja terjadi pada kata kerja, kata sifat, maupun kata benda. Umpamanya, untuk suatu benda akan disebutkan berbeda sesuai daerahnya. Misalnya benda yang serupa diberi nama berbeda.

Contoh: (1) Timba

Di daerah Deli Serdang kata benda ‘timba’ diberi nama tong [toŋ], sedangkan di daerah Kabupaten Karo mereka sebut ember [εmbεr].

(2) Anjing

Di daerah Deli Serdang dan Kabupaten Langkat kata benda ‘anjing’ diberi nama mopi [mopi] dan asuhen [asuhən], sedangkan di daerah Kabupaten Karo disebut biang [biyaŋ].

Sebaliknya, dapat juga ditemukan bahwa untuk benda yang berbeda disebut dengan nama yang sama.

Contoh: (1) Dedak

Di daerah Kabupaten Langkat kata benda ‘dedak’ disebutkan segal [ s∂gal ], sementara di daerah Kabupaten Karo disebut kedep [k∂d∂p].

(2) Bunga durian

Di daerah Kabupaten Deli Serdang kata benda ‘bunga durian’ disebut [g∂nta], sementara di daerah Kabupaten Karo dan Langkat disebut [kaliaga].

Peta variasi dialek

Ayatrohaedi (1983), Allen (1986), Lauder (1993), dan Mahsun (2005) mengatakan bahwa untuk menunjukkan perbedaan yang dapat dianggap merupakan variasi dialek suatu bahasa, perlu dibuat suatu atlas sesuai penyebaran pada lokasi penelitian. Untuk itu, berikut ini diberikan beberapa contoh untuk pemberian label pada atlas pemakaian kata yang merupakan bukti variasi dialek. Berikut ini diberikan contoh pemberian nomor titik pengamatan di lokasi penelitian. Mereka mengatakan bahwa untuk memberikan nomor pada atlas tidak boleh sesuka hati, melainkan harus mengikuti metode tertentu, yaitu seperti digambarkan berikut ini.

A B C

Setiap contoh di atas ( A, B, dan C) menunjukkan bahwa arah anak panah mempunyai arah yang teratur, yaitu dimulai dari angka 1 dan berahir pada angka 9. Peneliti sudah melabel titik tempat pengamatan dari angka 1 sampai dengan 18. Penomoran titik tempat pengamatan sudah mempunyai aturan sesuai anjuran dialektoloh, Ayatrohaedi.

Ciri-ciri pembeda dialek

Ayatrohaedi (1983) mengatakan bahwa ciri-ciri pembeda dalam kajian variasi dialek suatu bahasa bisa saja dijumpai beraneka ragam.

Misalnya:

(1) Kata ‘jangan’ di daerah Kabupaten Karo ada ditemukan tiga macam ucapan, yaitu [ula], [oula], dan [aula].

(2) Kata bilangan ‘sepuluh’ di daerah Kabupaten Karo ditemukan dua variasi, yaitu di daerah Kecamatan Kuta Buluh disebut [s∂puloh], sementara di daerah Kecamatan lainnya diucapkan [s∂puluh].

(3) Kata ‘ada’ di daerah Kabupaten Deli Serdang dan Langkat disebut [lət], tetapi di daerah Kabupaten Karo disebut [lit].

1 2 3 4 5 6 7 8 9 3 4 9 2 5 8 1 6 7 4 3 2 5 1 6 9 8 7

(4) Kata ‘padi’ di ketiga daerah penelitian ada ditemukan tiga variasi, yaitu [pag], [pagai], dan [pagei].

Sesuai data yang diperoleh di atas, ciri-ciri variasi dialek dapat digambarkan sebagai berikut:

Pada data (1) ditemukan variasi ucapan [u] ~ [o] ~ [au]. Pada data (2) ditemukan variasi ucapan [u] ~ [o].

Pada data (3) ditemukan variasi ucapan [i] ~ [∂ ]. Pada data (4) ditemukan variasi ucapan []

~

[ai] ~ [ei].

Edwards (1985) mengatakan bahwa ada bermacam-macam alasan mengapa terjadi variasi dialek dalam suatu bahasa, antara lain pengaruh bahasa tetangga, pengaruh kebudayaan tetangga, dan pengaruh geografis. Sesuai pernyataan Edwards (1985) bahwa di daerah Kabupaten Karo untuk sementara waktu dapat diasumsikan sebab terjadinya suatu variasi dialek diakibatkan oleh pengaruh bahasa tetangga. Sebagai contoh di Kecamatan Juhar dan Lau Baleng ditemukan ucapan [ku] berkorespondensi dengan [tu] yang artinya ‘kepada’ dan ‘ke’.

Contoh:

[tu ĵa kna law∂s] ‘Ke mana kalian pergi?’ di tempat lain [ku ĵa kna law∂s]

Tafsir sementara untuk menyatakan terjadinya variasi ujaran [ku] menjadi [tu] di daerah kecamatan tersebut adalah pengaruh dari bahasa tetangga, yaitu bahasa Batak Toba. Penutur bahasa Batak Toba mengatakan [tu is do imana maŋoli] yang artinya

‘Dengan siapakah dia kawin?’ dan [tu dia do ho lao tulaŋ] yang artinya ‘Ke manakah kamu pergi, Paman?’

Ibu kota kecamatan yang menggunakan [tu] ialah Juhar dan Lau Baleng. Kedua daerah Kecamatan ini berada di pinggir jalan yang menghubungkan Kota Cane dengan Beras Tagi. Di antara Kota Cane ada beberapa desa yang penduduknya berasal dari penutur asli bahasa Batak Toba. Mereka selalu berkomunikasi pada hari pekan dan berada dalam bus yang sama sewaktu berpergian ke Medan atau Pematang Siantar. Hal inilah yang menyebabkan penutur bahasa Karo di daerah tersebut telah dipengaruhi oleh ucapan [tu] tersebut.

Penelitian yang berkenaan dengan bahasa Karo dan masyarakat suku Karo sudah dilakukan oleh beberapa pakar. Penelitian tersebut berkenaan dengan sosiolinguistik. Sepanjang pengetahuan peneliti, penelitian dialektologi yang berkenaan dengan geografis belum ada. Masyarakat Karo sering mengatakan bahwa sudah ada beberapa dialek yang terjadi di dalam bahasa Karo. Pernyataan ini berasal dari kaum awam, bukan dari linguis melalui publikasinya. Kalau demikian tidak dapat diterima karena mereka belum mengadakan suatu penelitian. Kaum awam ada mendengar satu atau dua kata yang berbeda di suatu daerah dengan daerah lain menganggap sudah cukup untuk menyatakan suatu perbedaan yang menentukan dialek suatu bahasa. Pernyataan tersebut belum memenuhi syarat untuk menetapkan nama dialek bahasa Karo. Tarigan (1979) mengatakan bahwa bahasa Karo yang dipakai oleh masyarakat penutur asli bahasa Karo di Kabupaten Karo disebut dialek bahasa Karo Gugung-Gunung. Bahasa Karo yang digunakan oleh masyarakat penutur

bahasa Karo di daerah Kabupaten Deli serdang dan Kabupaten Langkat disebut dialek bahasa Karo Jahe-jahe. Pernyataan tersebut belum dapat diterima karena sesuai data yang ditemukan oleh peneliti di daerah Kabupaten Karo sudah terdapat variasi. Pernyataan ini juga belum dapat diterima.

Bila ditemukan unsur bahasa dituturkan oleh kelompok penutur bahasa itu sendiri berbeda karena tempat mereka berdomisili berlainan maka hal itu dapat dipandang sebagai sutu gejala munculnya dialek dikarenakan oleh perbedaan geografis. Petyt (1980:119–121) dan Trudgill (1990:50–52) menyatakan perbedaan unsur bahasa yang penggunanya berbeda oleh para penuturnya karena perbedaan tempat tinggal merupakan kajian dalam suatu disiplin ilmu yang disebut dialektologi.Kadang-kadang dapat juga kita jumpai pada suatu masyarakat pengguna suatu bahasa bahwa perbedaan unsur bahasa tersebut digunakan berbeda oleh sub- kelompok yang berbeda status, maka perbedaan tersebut dikaji dengan cabang linguistik, sosiolinguistik.

Kridalaksana (1993:42) menyatakan bila bahasa yang sama digunakan oleh penuturnya berbeda sewaktu berkomunikasi maka bahasa tersebut sudah mempunyai variasi. Jika variasi tersebut timbul diakibatkan oleh status sosial para pengguna bahasa tersebut maka dialek pada bahasa tersebut akan dikaji oleh sosiolinguistik, tetapi unsur bahasa yang digunakan oleh penuturnya di tempat yang berbeda, maka pengkajian disebut dialek geografi.

Wardaugh (1988:42) mengatakan bahwa suatu bahasa bisa mempunyai dialek diakibatkan oleh tempat para penggunanya berbeda menurut geografi. Untuk kejadian

semacam ini dijumpai pada sutu bahasa maka peristiwa tersebut dikaji dalam kajian geografi dialek. Selanjutnya, geografi dialek berusaha untuk mendeskripsikan setiap unsur yang menunjukkan perbedaan dalam bahasa itu sendiri. Melalui interpretasi unsur atau aspek yang menunjukkan perbedaan tadi peneliti akan dapat menggam- barkan perbedaan dalam peta.

Bloomfield (1995:333–334) dan Collins (1986:75) mengatakan bahwa sewaktu meneliti dialek suatu bahasa diperlukan suatu batasan terhadap aspek yang akan diteliti. Kegiatan serupa ini akan dapat membantu peneliti dialek bahasa dalam hal pengumpulan data serta pengkajiannya.

Lauder (1990) menganjurkan agar untuk meneliti suatu geografi dialek perlu diadakan penyelidikan pada semua tataran linguistik, yaitu fonologi, morfologi, leksikon, dan sintaksis. Tetapi penelitian geografi dialek yang sedang dilakukan ini mempunyai ruang lingkup pada fonologi, morfologi, dan leksikon. Hal tersebut membernarkan peneliti mengambil data yang berhubungan dengan fonologi, morfologi, dan leksikon dalam bentuk ujaran kata.

Untuk menghitung unsur bahasa yang berbeda, Lauder (1990) menyatakan bahwa jarak peta yang dibandingkan berdasarkan segitiga ataupun diagonal yang menghubungkan antardesa yang masyarakatnya mempunyai kemungkinan berkomu- nikasi. Jadi, daerah titik pengamatan yang dibandingkan hanya titik-titik pengamatan yang berdasarkan letaknya masing-masing mempunyai kemungkinan berkomunikasi secara langsung. Selanjutnya, setiap daerah titik pengamatan satu dengan yang lain di

mana masyarakatnya mempunyai kemungkinan berkomunikasi yang garis diagonal dapat ditarik.

Mengingat sejarahnya yang pertama sekali mengkaji dialek suatu bahasa ialah Wenker. Beliau mengkaji dialek bahasa Jerman. Pengkajiannya dilakukan melalui data bahasa yang dia peroleh dari 50.000 orang responden. Kepada responden dikirim angket untuk diisi serta dikembalikan. Wenker yakin bahwa angket akan dikembalikan oleh para responden karena Wenker memilih guru sebagai informannya. Seluruh responden berprofesi guru dan bertempat tinggal di Jerman. Ternyata angket yang tadinya disebarkan bejumlah 50.000 eksemplar, dikembalikan kepada Wenker sebanyak 45.000. Ketika angket diteliti ulang oleh Wenker maka dia dapat menyadari bahwa hal yang dia lakukan kurang tepat karena hasilnya tidak dapat menunjukkan unsur yang bervariasi dalam bahasa Jerman. Kesalahan tersebut diakibatkan oleh karena para responden tidak mengerti/memahami cara menggu- nakan simbol fonetik. Sebagai lanjutannya, Gillieon berusaha memperbaiki kelemahan Wenker sewaktu meneliti bahasa Jerman tersebut. Jadi, Gillieon mempersiapkan daftar tanyaan untuk dijawab oleh para informan. Angket tersebut tidak dikirimkan kepada para responden, melainkan dibawa langsung ke lapangan serta ditanyakan sendiri. Semua ujaran penutur bahasa tersebut merupakan data untuk bahan analisis. Daftar tanyaan tersebut digunakan Gillieon untuk meneliti bahasa Perancis. Jadi, semua unsur bahasa sebagai padanan kata yang sudah didaftarkan merupakan data untuk dikaji. Kegiatan Wenker dan Gillieon tersebut dapat memberikan masukan kepada peneliti lain untuk dipedomani sewwaktu mengambil

data. Jika peneliti tidak turun langsung ke lapangan maka kata yang dituliskan sama, tetapi dilafalkan berbeda akan tidak terjaring. Akibatnya akan membawa hasil yang tidak dapat menunjukkan keabsahan terhadap hasil kajian.

Ayatrohaedi (1983) mengatakan bahwa perkembangan suatu bahasa mem- punyai beberapa kategori. Satu, protobahasa dapat dikatakan sudah berkembang menjadi dua bahasa atau lebih jika perbedaan di antara bahasa yang diteliti sudah mempunyai perbedaan leksikal sebanyak 81% ke atas. Dua, jika jumlah perbedaan pada bahasa yang dibandingkan tidak mencapai 81%, maka perbedaan menunjukkan adanya dialek di antara bahasa tersebut. Tiga, perbedaan yang menunjukkan angka 31% hingga 50% suatu petunjuk bahwa di dalam bahasa tersebut ada subdialek. Empat, jumlah perbedaan ditemukan di antara 21% hingga 30%, maka perbedaan tersebut menunjukkan perbedaan wicara saja. Kategori tersebut dapat diringkas sebagai berikut:

Tabel 8

Rentangan Perbedaan Unsur Bahasa Secara Leksikal

Jumlah perbedaan Kategori

81% - 100% Perbedaan bahasa

51% - 80% Perbedaan dialek

31% - 50% Perbedaan subdialek

21% - 30% Perbedaan wicara

Tabel 9

Rentangan Perbedaan Unsur Bahasa Secara Fonologis

Jumlah perbedaan Kategori

17% ke atas Perbedaan bahasa

12% - 16% Perbedaan dialek

8% - 11% Perbedaan subdialek

4% - 7% Perbedaan wicara

0% - 3% Dianggap perbedaan tidak siknifikan

Sembiring (1998) sudah meneliti variasi bahasa Karo yang digunakan pada saat upacara pemakaman. Pada tahun 1999 Sembiring meneliti variasi bahasa Karo yang digunakan pada saat acara peminangan. Data menunjukkan bahwa beberapa leksikal yang digunakan berbeda di suatu daerah dengan daerah yang lain. Kedua penelitian tersebut tidak meneliti dialek menurut geografis melainkan sosiolinguistik. Data sebagai bahan analisis diambil dari informan yang mempunyai latarbelakang sosial yang berbeda.

Contoh:

Pada acara peminangan di kalangan masyarakat Karo untuk menentukan mahar bagi orang yang dianggap mampu berbeda dengan mereka yang kurang mampu. Jadi saat acara berlangsung dapat dilihat variasi bahasa yang digunakan.

Pada acara pemakaman ditemukan variasi bahasa di antara orang yang dianggap mampu dengan orang yang kurang mampu. Jadi, variasi dialek diaplikasikan adalah sosiolinguistik.

Dengan demikian peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang variasi dialek bahasa Karo di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat menurut geografis. Edwards (1985) mengatakan bahwa setiap bahasa akan selalu berkembang, kecuali terhadap bahasa yang sudah mati (beku). Tidak dapat lagi disangkal bahwa suatu bahasa akan berkembang sesuai dengan kemajuan kebudayaan masyarakat penutur bahasa tersebut. Sesuai dengan perkembangan tersebut dapat diasumsikan bahwa bahasa Karo sudah selayaknya mempunyai variasi dialek. Ayatrohaedi (2002) mengatakan bahwa A. Teew sudah berhasil mengadakan penelitian tentang atlas dialek Pulau Lombok pada tahun 1951. Beliau mengatakan bahwa untuk menjelaskan dialek suatu bahasa harus disertakan peta daerah pemakaian dialek tersebut. Peneliti dalam hal ini setuju dengan pemberian peta daerah pemakaian bahasa Karo di ketiga kabupaten.

Bahkan Orton (1962:15) dalam penelitiannya mengenai Dialek Inggris berpendapat bahwa pria lebih sering konsisten, dan asli memakai dialeknya dibandingkan dengan wanita. Wanita dianggap kurang tepat sebagai informan kebahasaan karena sikap kebahasaan mereka dianggap cenderung hiperkorek, sehingga para peneliti bahasa tidak dapat merekam lafal dialek setempat sebagaimana adanya. Pendapat ini merupakan penelitian dialek setempat di Amerika yang

dilakukan Fischer (1946) di wilayah New England dan Labow (1973) di wilayah New York.

Masalah keandrogenan wanita di dalam berbagai domain kebahasaan sudah banyak dibahas oleh para ahli sosiolinguistik dan psikolinguistik. Antara lain oleh

Morse (1980) dan Baumrind (1980). Di dalam masyarakat Timur khususnya dalam masyarakat Cina, penggunaan wanita sebagai informan kebahasaan juga dihindari. Alasannya, karena adat perkawinan setempat mengharuskan kaum prianya untuk memperistri wanita dari desa tetangga. Wanita Cina (yang telah menikah) dianggap kurang layak untuk dijadikan informan kebahasaan karena dianggap tidak menyimpan khazanah kebahasaan tempat dia bermukim.

Selain kedua kelompok yang bertentangan itu, ada pula kelompok ahli lainnya yang berpendapat bahwa tidak ada alasan untuk meragukan bahwa wanita tidak sebaik pria sebagai informan kebahasaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh

Samarin (1967:31–32) dan juga Kurath (1972:12) yang sebelumnya pada tahun 1939 berusaha menghindari pemakaian informan wanita.

Pada saat proposal ini di seminarkan, banyak sekali peserta wanita yang merasa kurang enak dan tersinggung mendengarkan pernyataan yang dibuat bahwa penelitian ini menggunakan hanya informan pria. Ditambah dengan keterangan bahwa pria dianggap lebih akurat dalam hal pemberian informasi daripada wanita tentang kebahasaan.

Kurath (1972) menegaskan bahwa informan yang dijadikan sebagai sumber data dalam penelitian kebahasaan wanita tidak sebaik pria. Laki-laki yang lebih tepat

dijadikan menjadi informan kebahasaan, peneliti memberikan salah satu contoh yang berkaitan dengan kebudayaan dan kebiasaan ditengah-tengah masyarakat Karo. Hampir 95% masyarakat Karo jika berumah tangga atau menikah, pengantin wanita selalu dibawa ke desa pengantin laki-laki. Dengan demikian dapat diperkirakan bahwa bahasa yang dibawa si pengantin wanita tadi tidak lagi seasli bahasa yang dimiliki oleh pengantin laki-laki.

Di kalangan masyarakat Karo memang ‘Merga’ yang diwariskan oleh ayah dan ibu kepada anaknya, tetapi di salah satu sisi ada ‘Merga’ ibu tidak dipakai. Misalnya, seseorang anak perempuan lahir pada satu pasangan suami istri (si Amir Sembiring dengan si Siti Br. Bangun ) maka si anak wanita tadi mempunyai ciri kekeluargaan beru Sembiring bere Bangun. Kemudian ketika dia menikah dengan seorang pria yang bermarga Tarigan, maka si Ani mendapat panggilan baru, yaitu nyonya Tarigan. Dengan demikian dapat dilihat di sana bahwa pengaruh pria lebih besar daripada wanita. Laki-laki tidak pernah disebut suami Sembiring.Untuk itu peneliti dalam hal menetapkan informan keseluruhannya laki-laki, karena ingin mendapatkan informasi yang akurat untuk dijadikan sebagai bahan analisis.

Ayatrohaedi (1979 dan 2002) menemukan bahwa suku Jawa yang tinggal di Cirebon tidak menerima bahwa bahasa yang mereka gunakan di sana dalam kehidupannya sehari-hari adalah bahasa Jawa, dialek Jawa, tetapi mereka percaya dan yakin bahwa bahasa yang mereka pakai itu adalah bahasa Cirebon. Selanjutnya, dapat diasumsikan bahwa bahasa-bahasa Batak sudah lama berpisah dari protobahasa

J. Akun Danie sudah mengakan penelitian geogrfi dialek di Minahasa Timur Laut pada tahun 1991 dan hasilnya menunjukkan bahwa dari segi leksikal dan variasi fonologi di antara Ts (Tonesea), Tbl (Tombulu), dan Tlr (Tolour) sudah berada dalam tingkat dialek dari satu bahasa. Ketiga daerh tersebut bila dibandingkan dengan daerah Btk (Bantik) sudah mencapai perbedaan bahasa.

Raminah Baribin sudah meneliti Geografi Dialek Bahasa Jawa Kabupaten Pekalongan pada tahun 1987 dan menemukan hasil bahwa bahasa Jawa di pekalongan tidak memperlihatkan perbedaan yang besar dengan bahasa Jawa Wewaton.

I Made Denes (1985) menyatakan bahwa bahasa Bali pada tahun 1985 menemukan bahwa dalam bahasa Bali terdapat variasi dalam bentuk morfofonemik.

Agus Suriamiharja sudah meneliti Geografi Dialek Sunda Kabupaten Bogor pada tahun 1984 dan hasil yang dia temukan bahwa di Kabupaten Bogor terdapat tiga buah bahasa yang dipakai oleh masyarakat, yaitu bahasa Sunda, bahasa Indonesia, dan kedwibahasaan Sunda-Indonesia dan Sunda-Melayu Jakarta. Walau pun demikian dapat ditemukan dalam penelitian itu bahwa bahasa Sunda yang mereka gunakan adalah bahasa Sunda Lulugu.

Marjusman Maksan meneliti Geografi Dialek Bahasa Minangkabau pada tahun 1984. Hasil yang ditemukan hanya pada tingkat perbedaan wicara. Data yang dianalisis adalah data fonologis, morfologis, dan leksikal.

Pada tahun 1988 Matius C.A. Sembiring telah mengadakan penelitian sosiolinguistik, yaitu tentang dialek bahasa Karo yang digunakan oleh masyarakat suku Karo pada saat melakukan upacara pemakaman. Sebagai hasil dapat ditemukan

bahwa ada perbedaan sesuai tingkat ekonomi. Selanjutnya pada tahun 1999 dilanjutkan dengan penelitian variasi bahasa Karo yang digunakan oleh masyarakat suku Karo pada saat peminangan dilaksanakan. Di situ juga dapat ditemukan perbedaan menurut keadaan ekonomi yang meminang dan yang akan dipinang. Kedua hasil penelitian tersebut belum ada yang diterbitkan oleh suatu penerbit.

Dokumen terkait