ETNOMEDISIN SUKU KARO DI
DESA BINGKAWAN KECAMATAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG
SKRIPSI
KEVIN SEMBIRING 141201127
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2019
ETNOMEDISIN SUKU KARO DI
DESA BINGKAWAN KECAMATAN SIBOLANGIT KABUPATEN DELI SERDANG
SKRIPSI
Oleh:
KEVIN SEMBIRING 141201127
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBER DAYA HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
2019
i
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul : Etnomedisin Suku Karo di Desa Bingkawan Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang
Nama : Kevin Sembiring
NIM : 141201127
Departemen : Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas : Kehutanan
Disetujui, Pembimbing
Yunus Afifuddin, S.Hut., M.Si Ketua
Mengetahui,
Dr. Achmad Siddik Thoha, S.Hut, M.Si Ketua Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan
Tanggal Lulus : 04 Februari 2019
ii
PERNYATAAN ORISINALITAS
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Kevin Sembiring NIM : 141201127
Judul Skripsi : Etnomedisin Suku Karo di Desa Bingkawan Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang
menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil karya sendiri. Pengutipan-pengutipan yang penulis lakukan pada bagian-bagian tertentu dari hasil karya orang lain dalam penulisan skripsi ini, telah penulis cantumkan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah, dan etika penulisan ilmiah.
Medan, 04 Februari 2019
Kevin Sembiring NIM 141201127
iii
ABSTRAK
KEVIN SEMBIRING: Etnomedisin Suku Karo di Desa Bingkawan Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang, dibimbing oleh YUNUS AFIFUDDIN Masyarakat Karo menggunakan tumbuhan sebagai bahan pangan, ramuan obat, dan bahan industri. Masyarakat Karo juga sudah lama menggunakan tumbuhan dalam berbagai upacara adat kebudayaan. Masyarakat Karo mengenal beberapa jenis penyakit dan juga cara pengobatannya secara tradisional. Penelitian yang dilakukan di Desa Bingkawan, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang bertujuan untuk mengetahui kearifan lokal penggunaan obat herbal yang dimanfaatkan masyarakat Suku Karo dan mengidentifikasi spesies dan bagian tumbuhan obat yang digunakan oleh Suku Karo. Metode penelitian dilakukan dengan 3 tahapan, yaitu wawancara, pengambilan spesimen tumbuhan obat, dan studi literatur. Hasil penelitian di Desa Bingkawan yaitu kearifan lokal masyarakat Suku Karo memanfaatkan 5 bagian tumbuhan dan mengolah tumbuhan sesuai dengan kebiasaan turun-temurun. Masyarakat Suku Karo paling banyak memanfaatkan bagian daun. Identifikasi tumbuhan obat yang terdapat di Desa Bingkawan adalah 32 spesies dari 24 famili. Masyarakat paling banyak memanfaatkan tumbuhan sirih (Piper betle), jambu biji (Psidium guajava), kumis kucing (Orthosiphon aristatus), senduduk (Melastoma candidum), dan temulawak (Curcuma xanthorrhiza).
Kata kunci : Etnomedisin, Suku Karo, Tumbuhan Obat.
iv
ABSTRACT
KEVIN SEMBIRING: Ethnomedicine of Karo Tribe at Bingkawan Village, Sibolangit Sub-District, Deli Serdang Regency, Supervised by YUNUS AFIFUDDIN
Karo people use plants as food, medicinal, and industrial ingredients. The karo people has been around for a long time using plants in various cultural ceremonies. They know several diseases and also traditional ways of treatment.
This study conducted at Bingkawan Village, Sibolangit Sub-District, Deli Serdang Regency. The objective of this study is to determine the local wisdom of using herbal medicine used by Karo people and to identify species and parts of medicinal plants used by the Karo people. The research method carried ot in 3 stages, among others are: interview, sampling of the medicinal plants, and study of literature. The results found that the local wisdom of the Karo people at Bingkawan village used five parts of plants and processing the plants according to the customary hereditary. The Karo people mostly used the leaves. The identification of medicinal plants at the Bingkawan village are 32 species from 24 families. The people mostly used the betel (Piper betle), guava (Psidium guajava), kumis kucing (Orthosiphon aristatus), senduduk (Melastoma candidum), and temulawak (Curcuma xanthorrhiza).
Keywords: Ethnomedicine, Karo Tribe, Medicinal plants.
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Kelurahan Kwala Bekala, Kecamatan Medan Johor, Kota Medan, Provinsi Sumatera Utara pada tanggal 08 Februari 1997 dari pasangan Bapak Firman Sembiring dan Ibu Asni Br Ginting. Penulis merupakan anak pertama dari tiga orang bersaudara.
Pada Tahun 2008 penulis lulus dari SD Negeri 047168 Kacinambun.
Penulis kemudian melanjutkan studi ke SMP Santo Xaverius 1 Kabanjahe dan lulus pada tahun 2011. Lalu penulis lulus pada tahun 2014 dari SMA Negeri 2 Kabanjahe. Pada tahun 2014, penulis diterima di Universitas Sumatera Utara melalui jalur Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) sebagai mahasiswa di Program Studi Kehutanan Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis juga mengikuti organisasi Ikatan Mahasiswa Karo (IMKA) FP & FHUT USU dan Ikatan Mahasiswa Karo (IMKA) USU. Pada tahun 2016, penulis mengikuti kegiatan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) selama 10 hari di Kampung Nipah, Sei Naga Lawan. Pada tahun 2017 penulis mendapat beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa (BBM). Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di KPH Mantingan, Rembang, Jawa Tengah pada Januari 2018 selama 30 hari.
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas rahmat dan karunia-Nya Penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul
“Etnomedisin Suku Karo di Desa Bingkawan Kecamatan Sibolangit Kabupaten Deli Serdang”. Penulisan skripsi ini merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
Penyusunan Skripsi ini tidak terlepas dari bantuan, dukungan, dan bimbingan barbagai pihak. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada:
1. Orang tua, Firman Sembiring dan Asni Br Ginting, yang selalu mendoakan, memberikan kasih sayang, nasehat, dukungan dari material serta kasih sayang tanpa batas. Setiap hal yang diberikan kedua orang tua kepada penulis merupakan semangat dalam perjuangan menyelesaikan skripsi ini.
2. Yunus Afifudin, S.Hut, M.Si selaku Komisi Pembimbing yang senantiasa meluangkan waktu untuk membimbing serta memberikan kritik dan saran terhadap penulisan skripsi ini.
3. Siti Latifah, S.Hut., M.Si., Ph.D. selaku Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara.
4. Teman terkasih, Hesly Br Ginting, yang telah banyak membantu dan memberikan motivasi dalam pengerjaan penelitian dan penyelesaian skripsi ini.
5. Teman-teman HUT D dan THH 2014 yang tidak dapat disebutkan satu per satu di sini yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa pembuatan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari segi materi maupun teknik penulisan. Penulis sangat mengharapkan kritik, saran, dan masukan dari pembaca. Semoga penelitian ini akan memberikan manfaat dan menyumbangkan kemajuan bagi ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kehutanan. Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.
Medan, Januari 2019
Kevin Sembiring
vii
DAFTAR ISI
PENGESAHAN SKRIPSI ... i
PERNYATAAN ORISINALITAS ... ii
ABSTRAK ... iii
ABSTRACT ... iv
RIWAYAT HIDUP ... v
KATA PENGANTAR ... vi
DAFTAR TABEL ... viii
DAFTAR GAMBAR ... ix
DAFTAR LAMPIRAN ... x
PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1
Tujuan Penelitian ... 2
Manfaat Penelitian ... 2
TINJAUAN PUSTAKA Ethnomedicine ... 3
Tumbuhan Obat ... 3
Simplisia ... 4
Masyarakat Batak Karo ... 6
Obat Tradisional Karo ... 6
Tumbuhan Obat di Daerah Karo ... 9
METODE PENELITIAN Tempat dan Waktu Penelitian ... 10
Alat dan Bahan ... 10
Prosedur Penelitian Wawancara ... 10
Pengambilan Spesimen Tumbuhan Obat ... 10
Studi Literatur ... 10
HASIL DAN PEMBAHASAN Kearifan Lokal Suku Karo di Desa Bingkawan ... 11
Identifikasi Tumbuhan Obat di Desa Bingkawan ... 16
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 29
Saran ... 29 DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Jenis Tanaman yang Sering Dimanfaatkan Sebagai Obat ... 5 2. Jenis-Jenis Tumbuhan Obat Yang Terdapat di Desa Bingkawan ... 16
ix
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Karakteristik Responden di Desa Bingkawan ... 11 2. Persentase Jenis Penyakit yang Diderita Oleh Masyarakat Desa
Bingkawan ... 12 3. Bagian-bagian Tumbuhan yang Dimanfaatkan Masyarakat Sebagai
Bahan Pengobatan Tradisional ... 13
x
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. Kuisioner Penelitian Etnomedisin Suku Karo (Studi Kasus:
Desa Bingkawan, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli
Serdang) ... 35 2. Karakteristik Responden di Desa Bingkawan, Kecamatan
Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang ... 39 3. Taksonomi Tumbuhan Obat yang Dimanfaatkan Masyarakat
1. Desa Bingkawan ... 40
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Keberadaan 370 suku asli di Indonesia dengan keanekaragaman adat dan budayanya turut memberikan keuntungan bagi khasanah etnomedisin dan budaya bangsa. Perbedaan adat dan kebiasaan antar suku di Indonesia merupakan kekayaan budaya bangsa yang tak ternilai harganya. Kondisi yang demikian juga dapat dicirikan dari keragaman jenis tumbuhan yang digunakan, ramuan obat tradisional dan cara pengobatannya. Kekayaan pengetahuan masyarakat terhadap tumbuhan obat berbeda antara suku yang satu dengan suku yang lainnya (Indrawati dkk., 2014).
Salah satu ciri budaya masyarakat di negara berkembang adalah masih dominannya unsur-unsur tradisional dalam kehidupan sehari-hari. Keadaan ini didukung oleh keanekaragaman hayati yang terhimpun dalam berbagai tipe ekosistem yang pemanfaatannya telah mengalami sejarah panjang sebagai bagian dari kebudayaan. Salah satu aktivitas tersebut adalah penggunaan tumbuhan sebagai bahan obat oleh berbagai suku bangsa atau sekelompok masyarakat yang tinggal di pedalaman. Tradisi pengobatan suatu masyarakat tidak terlepas dari kaitan budaya setempat. Persepsi mengenai konsep sakit, sehat, dan keragaman jenis tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional terbentuk melalui suatu proses sosialisasi yang secara turun temurun dipercaya dan diyakini kebenarannya. Pengobatan tradisional adalah semua upaya pengobatan dengan cara lain di luar ilmu kedokteran berdasarkan pengetahuan yang berakar pada tradisi tertentu (Rahayu dkk., 2006).
Penggunaan tumbuhan sebagai obat tradisional juga semakin banyak diminati oleh masyarakat karena telah terbukti bahwa obat yang berasal dari tumbuhan lebih menyehatkan. Tumbuhan-tumbuhan yang digunakan sebagai obat tradisional juga tidak menimbulkan adanya efek samping jika dibandingkan dengan obat-obatan yang berasal dari bahan kimia. Namun, yang menjadi permasalahan bagi peminat obat tradisional adalah kurangnya pengetahuan dan informasi memadai mengenai berbagai jenis tumbuh-tumbuhan yang biasa
2
digunakan sebagai ramuan obat-obatan tradisional dan bagaimana pemanfaatannya (Sembiring dkk., 2012).
Tumbuhan obat di Desa Bingkawan sangat beragam dan dapat dijumpai pada pekarangan rumah penduduk. Masyarakat Karo di Desa Bingkawan juga memanfaatkan tumbuhan obat yang berasal dari hutan. Tumbuhan obat yang dimanfaatkan mulai dari tingkat semai sampai pohon. Tumbuhan obat yang beraneka ragam jenisnya banyak digunakan oleh masyarakat Karo sebagai obat tradisional karena memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Menurut masyarakat, tumbuhan obat yang ada di desa ini sudah dimanfaatkan sebagai obat tradisional sejak zaman dahulu.
Bingkawan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Desa Bingkawan berpotensi sebagai tempat penelitian mengenai tumbuhan obat karena di desa ini terdapat berbagai macam tumbuhan obat baik di pekarangan rumah maupun di hutan sekitar desa. Masyarakat juga masih mempercayai tradisi yang berasal dari nenek moyang. Masyarakat pribumi yang mendiami daerah ini adalah Suku Karo. Suku Karo telah lama menggunakan tumbuhan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai bahan pangan, ramuan obat, bahan industri, dan digunakan dalam berbagai upacara adat kebudayaan. Masyarakat di Desa Bingkawan masih memiliki pengetahuan yang kurang serta data atau informasi yang belum memadai tentang jenis-jenis tumbuhan yang biasa digunakan sebagai ramuan obat-obatan tradisional sehingga perlu dilakukan penelitian.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui kearifan lokal penggunaan obat herbal yang dimanfaatkan masyarakat Suku Karo di Desa Bingkawan.
2. Mengidentifikasi spesies tumbuhan obat dan bagian yang digunakan oleh Suku Karo di Desa Bingkawan.
Manfaat Penelitian
1. Sebagai informasi pengetahuan, data dan dokumentasi tentang pemanfaatan tumbuhan obat pada masyarakat Suku Karo di Desa Bingkawan.
2. Sebagai bahan referensi peneliti dalam penelitian selanjutnya.
3
TINJAUAN PUSTAKA
Ethnomedicine
Ethnomedicine merupakan cabang dari ethnobotani atau antropologi kesehatan yang mempelajari pengobatan tradisional, tidak hanya yang berhubungan dengan sumber-sumber tertulis (contohnya pengobatan tradisional Cina, Ayurveda) tetapi terutama pengetahuan dan praktek yang secara oral diturunkan selama beberapa abad. Dalam ilmu pengetahuan, ethnomedicine pada umumnya ditandai dengan pendekatan antropologi yang kuat atau pendekatan biomedikal yang kuat, terutama dalam program penemuan obat. Ethnomedicine mempunyai kaitan dengan sistem berbudaya dari menyembuhkan dan parameter teori dari penyakit. Kepercayaan dan praktek yang berkaitan dengan penyakit, merupakan hasil perkembangan kebudayaan asli dan tidak berasal dari kerangka kedokteran modern, merupakan urutan langsung dari kerangka konseptual ahli antropologi (Isniati, 2013).
Ethnomedicine telah memainkan peran yang sangat penting dalam perawatan kesehatan manusia sejak dahulu. Praktek perawatan kesehatan ini didasarkan pada keyakinan dan pengalaman dari setiap etnis yang merupakan bagian dari tradisi dan budaya mereka. Sudah ada peningkatan permintaan obat herbal dalam perdagangan internasional karena obat-obatan herbal lebih murah, lebih efektif, mudah tersedia dan seharusnya tidak memiliki efek samping. Saat ini cabang etnobotani semakin penting di bidang farmakologi sebagai informasi dasar tentang tanaman obat, berbagai jenis cara penggunaan obat tradisional, cara persiapan obat tradisional, dosis, dan cara pengolahan obat-obatan mentah (Rahaman dan Karmakar, 2014).
Tumbuhan Obat
Indonesia dikenal sebagai sumber bahan baku obat-obatan tropis yang dapat dimanfaatkan untuk mengatasi berbagai macam penyakit. Tumbuhan obat adalah seluruh jenis tumbuhan obat yang diketahui atau dipercaya mempunyai khasiat obat. Tumbuhan obat dikelompokkan menjadi tiga kelompok, yakni 1.
Tumbuhan obat tradisional, yaitu: jenis tumbuhan obat yang diketahui atau
4
dipercaya oleh masyarakat mempunyai khasiat obat dan telah digunakan sebagai bahan baku obat tradisional. 2. Tumbuhan obat modern, yaitu: jenis tumbuhan yang secara ilmiah telah dibuktikan mengandung senyawa atau bahan bioaktif yang berkhasiat obat dan penggunaannya dapat dipertanggungjawabkan secara medis. 3. Tumbuhan obat potensial, yaitu: jenis tumbuhan obat yang diduga mengandung senyawa atau bahan aktif yang berkhasiat obat, tetapi belum dibuktikan secara ilmiah atau penggunaannya sebagai obat tradisional sulit ditelusuri (Nursiyah, 2013).
Tumbuhan obat adalah tumbuhan yang salah satu atau seluruh bagian pada tumbuhan tersebut mengandung zat aktif yang berkhasiat bagi kesehatan yang dapat dimanfaatkan sebagai penyembuh penyakit. Bagian tumbuhan yang dimaksud adalah daun, buah, bunga, akar, rimpang, batang (kulit) dan getah (resin). Ada dua cara membuat ramuan obat dari tumbuhan yaitu dengan cara direbus dan ditumbuk (diperas). Sementara itu, penggunaan ramuan obat ada tiga cara yaitu diminum, ditempelkan, atau dibasuhkan dengan air pencuci.
Penggunaan dengan cara diminum biasanya untuk pengobatan organ tubuh bagian dalam, sedangkan dua cara lainnya untuk pengobatan tubuh bagian luar (Sada dan Tanjung, 2010).
Simplisia
Pengertian simplisia menurut Departemen Kesehatan RI adalah bahan alami yang digunakan untuk obat dan belum mengalami perubahan proses apa pun dan kecuali dinyatakan lain umumnya berupa bahan yang telah dikeringkan.
Simplisia merupakan istilah yang dipakai untuk menyebut bahan-bahan obat alam yang berada dalam wujud aslinya atau belum mengalami perubahan bentuk.
Simplisia dibagi menjadi tiga golongan, yakni simplisia nabati, simplisia hewani dan simplisia pelikan atau mineral. Simplisia tanaman obat termasuk dalam golongan simplisia nabati. Bagian tanaman yang dapat digunakan sebagai simplisia adalah kulit batang, batang, kayu, daun, bunga, pucuk, akar, rimpang, buah, biji, kulit buah dan bulbus. Teknologi penyiapan simplisia terstandar tanaman obat berbeda untuk setiap bagian tanaman, misalnya buah; harus dipanen setelah masak fisiologis dengan cara memetik (Hapsoh dan Hasanah, 2011).
5
Pembuatan simplisia terdiri dari empat teknik yang berbeda, yaitu pengeringan, fermentasi, proses khusus, dan penambahan air. Simplisia yang dibuat dengan cara pengeringan harus dilakukan dengan cepat, tetapi pada suhu yang tidak terlalu tinggi. Pengeringan dengan suhu yang terlalu tinggi mengakibatkan perubahan kimia pada kandungan senyawa aktifnya. Simplisia yang dibuat dengan proses fermentasi dilakukan dengan teliti agar proses tersebut tidak berkelanjutan sehingga mengakibatkan pembusukan. Simplisia yang dibuat dengan proses khusus, seperti penyulingan, pengentalan eksudat nabati, pengeringan sari air, dan proses khusus lainnya. Simplisia yang pembuatannya memerlukan air seperti pati dan talk. Air yang digunakan harus bebas dari pestidida, kuman patogen, dan logam berat (Prasetyo dan Inoriah, 2013).
Berikut ini adalah jenis tanaman yang sering dimanfaatkan sebagai obat dan khasiatnya seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Jenis Tanaman yang Sering Dimanfaatkan Sebagai Obat
No. Nama Tanaman Khasiat
1 Daun dewa (Gynura segetum) Menyembuhkan muntah darah, gigitan ular, dan batuk.
2 Seledri Menyembuhkan tekanan darah tinggi
3 Belimbing Menyembuhkan tekanan darah tinggi
4 Kelor Mengobati panas dalam atau demam
5 Daun bayam duri Mengobati kurang darah
6 Kangkung Mengobati insomnia
7 Saga (Abru precatorius) Menyembuhkan batuk dan sariawan
8 Pacar cina Menyembuhkan penyakit gonorrhea
9 Kumis kucing Bersifat deuretik (peluruh air seni) 10 Landep (Barlariae prionitis L.) Menyembuhkan rematik
11 Miana (Coleus antropupureus B.) Menyembuhkan wasir
12 Papaya (Carica papaya L.) Menyembuhkan demam dan disentri 13 Jinten (Coleus ambonicus) Menyembuhkan batuk, mules, dan
Sariawan
14 Pegagan (Centela asiatica Urban) Menyembuhkan sariawan
15 Blustru (Luffa cylindrice Roem) Bersifat deuretik (peluruh air seni) 16 Kemuning (Murraye paniculata) Menyembuhkan penyakit gonorrhea 17 Randu (Ceiba pentandra gaerth) Sebagai obat diare dan berkumur 18 Sirih (Chavica betle L) Menyembuhkan batuk, antiseptik,
dan obat kumur 19 Salam (Eugenia polyantha Wight) Bersifat astrigrensia 20 Jambu biji (Psidium guajava L) Menyembuhkan diare (Agromedia, 2008).
6 Masyarakat Batak Karo
Purba (2011) menyatakan bahwa Suku Karo memilliki sistem kemasyarakatan atau adat yang dikenal dengan marga silima, tutur siwaluh, dan rakut sitelu. Marga atau dalam Bahasa Karo disebut merga tersebut untuk anak laki-laki, sedangkan untuk perempuan disebut beru. Merga atau beru ini disandang di belakang nama seseorang. Merga atau beru dalam masyarakat Karo terdiri dari lima kelompok, kelima marga tersebut adalah Karo-karo, Sembiring, Tarigan, Ginting, dan Perangin-angin. Masyarakat Karo menggunakan berbagai jenis tumbuhan yang dimanfaatkan dalam kehidupan sehari-hari, baik sebagai bahan pangan, ramuan obat, bahan industri dan sudah lama tumbuhan digunakan dalam berbagai upacara adat kebudayaan.
Kearifan lokal merupakan suatu bentuk kearifan lingkungan yang ada dalam kehidupan bermasyarakat di suatu tempat. Kearifan lokal merupakan tata nilai atau perilaku hidup masyarakat lokal dalam berinteraksi dengan lingkungan secara arif. Kearifan lokal adalah semua bentuk pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas ekologis (Suhartini, 2009).
Etnik Karo merupakan salah satu suku di Sumatera Utara yang dalam kehidupan sehari-hari selalu berinteraksi dengan alam sekitar. Masyarakat Karo memanfaatkan tumbuh-tumbuhan untuk kepentingan sehari-hari, seperti kebutuhan pangan, pesta adat dan budaya, serta obat-obatan tradisional.
Masyarakat Karo telah mengenal obat-obatan yang beragam sejak dulu. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat Karo mengenal beberapa jenis penyakit dan juga cara mengobatinya. Pengetahuan ini dikatakan sebagai salah satu kearifan lokal yang masih bertahan hingga saat ini (Situmorang dan Harianja, 2014).
Obat Tradisional Karo
Suku Karo sebagai mayoritas masyarakat yang menempati wilayah Kabupaten Karo telah memiliki hubungan erat dengan alam. Kebudayaan sebagai sistem pengetahuan digunakan untuk menciptakan kearifan lokal dalam memanfaatkan tumbuhan sebagai ramuan pengobatan tradisional. Apalagi wilayah Karo terkenal dengan kesuburan tanahnya sehingga berbagai jenis tumbuhan dapat tumbuh subur di daerah ini. Masyarakat Karo menghasilkan berbagai sistem
7
pengetahuan lokal dalam hal mengolah berbagai tumbuhan yang ada. Pengolahan dan penggunaan obat tradisional ini masih menggunakan cara yang dilakukan secara turun-temurun sejak dahulu oleh nenek moyang masyarakat Karo. Berikut ini merupakan beberapa obat tradisional Karo sebagai bentuk dari kearifan lokal masyarakat Karo dalam memanfaatkan tumbuhan di wilayahnya.
1. Kuning
Kuning atau biasa dikenal dengan param adalah obat yang dibuat dari campuran beberapa tanaman yang sudah digiling halus, kemudian dibentuk menjadi ukuran tertentu dan dijemur di bawah sinar matahari sampai kering.
Pemakaian kuning biasanya dilarutkan dahulu dalam air atau dimakan secara langsung. Manfaat dari kuning adalah mengembalikan kesegaran tubuh, menghangatkan tubuh, menurunkan demam, dan lainnya. Salah satu jenis kuning adalah kuning panas atau biasa disebut kuning melas oleh masyarakat Karo.
Kuning melas memiliki kegunaan untuk menghangatkan tubuh dan menghilangkan pegal linu serta menghilangkan rasa letih yang ada atau memulihkan tenaga (Bangun, 2009).
Rempah-rempah yang digunakan dalam pembuatan kuning melas adalah bawang merah, temu kunci, merica, bawang putih, ketumbar, kencur, rumput angin, temulawak, temu putih, lempuyang gajah, temu hitam, jerangau, kunyit putih, cinggrong, serai, rumput paitan, jejarongan, jahe putih, dan temu giring.
Bahan-bahan tersebut dibersihkan, diparut atau digiling halus, kemudian disaring untuk memisahkan airnya. Bahan yang teah disaring selanjutnya dicampur dengan tepung pulut dan dibentuk bulat-bulat kemudian dijemur. Beberapa pembuat kuning biasanya adalah perempuan Karo baik muda maupun tua, pengobat patah tulang, ataupun pedagang (Pandapotan dkk., 2018).
2. Minyak Karo
Secara turun temurun dapat dipastikan masyarakat Karo telah mampu mengidentifikasi jenis-jenis tumbuhan yang dikenal dan dimanfaatkan untuk bahan obat dan pada umumnya hampir semua obat-obatan tradisional Karo menggunakan tanaman sebagai bahan utamanya. Masyarakat Karo sejak dulu banyak menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai obat tradisional masyarakat Suku Karo. Dalam pembuatan minyak urut Karo, bahan yang digunakan adalah
8
akar-akar tumbuhan hutan, seperti akar pinang (Areca catechu), akar rotan (Calamus diepenhorstii), pakis haji (Cycas rumphii), daun sembung nyawa (Gynura procumbens), daun salam (Syzygium polyanthum), daun pegagan (Centella asiatica), dan lainnya. Manfaat dari minyak urut Karo adalah untuk mengembalikan kebugaran tubuh, mengobati masuk angin, keseleo, patah tulang, dan luka bakar (Siregar, 2017).
3. Oukup
Sinuhaji (2015) mendefinisikan oukup adalah pengobatan tradisional Suku Karo yang memanfaatkan keanekaragaman jenis tumbuhan sebagai ramuan untuk kesehatan ibu pasca melahirkan dan pengobatan berbagai jenis penyakit. Oukup juga disebut sauna atau mandi uap. Uap berasal dari air yang dipanaskan dan dipompakan ke ruangan tertutup sehingga menciptakan panas basah. Tujuannya adalah mengeluarkan racun melalui keringat sekaligus pembersihan kulit.
Tumbuhan-tumbuhan yang dimanfaatkan sebagai oukup yaitu bangle (Zingiber purpureum), cekala (Nicolaia speciosa), jahe (Zingiber officinale), kencur (Kaempferia galanga), lengkuas (Alpinia galanga), temu kunci (Boesenbergia pandurata), jeruk purut (Citrus hystrix), jeruk pagar (Citrus medica), jeruk puraga (Citrus nobilis), lada (Piper nigrum), pandan (Pandanus amaryllifolius), sere wangi (Andropogon citratus), dan beberapa tanaman lainnya.
Jenis-jenis tanaman ini menjadi komponen utama dalam ramuan oukup dan berasal dari famili Zingiberaceae dan Rutaceae. Sesuai denseperti gan kandungannya, keduanya (Zingiberaceae dan Rutaceae) banyak menghasilkan minyak atsiri yang bermanfaat untuk antiseptik, aromaterapi, anti oksidan dan anti mikroba sehingga berguna untuk memulihkan kesehatan ibu pasca melahirkan (Nasution, 2009).
Simarmata dan Sembiring (2015) menyatakan bahwa oukup memiliki beberapa manfaat untuk kesehatan, seperti menghilangkan sakit pinggang, menetralkan kadar gula dalam tumbuh, meningkatkan daya tahan tubuh terhadap ancaman penyakit, memperlancar peredaran darah, menghilangkan masuk angin, menurunkan kadar kolesterol, menurunkan kadar lemak, menyehatkan paru-paru dan jantung, meringankan kepala yang pusing, meringankan flu dan menetralisir kesehatan ibu yang baru melahirkan. Tidak hanya untuk penyakit ringan saja,
9
oukup juga dapat dilakukan bagi pasien kecanduan narkoba untuk mengeluarkan racun-racun dalam tubuh. Bahkan sekarang masyarakat mempergunakan oukup untuk mempercantik diri atau menurunkan berat badan.
Tumbuhan Obat di Daerah Karo
Masyarakat Karo di Kecamatan Berastagi, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara memanfaatkan tumbuhan sebagai obat tradisional melalui oukup.
Bahan-bahan oukup berasal dari beberapa famili tumbuhan, seperti Zingiberaceae, Rutaceae, Apiaceae, Lauraceae dan Poaceae. Bahan oukup yang berasal dari famili Zingiberaceae antara lain Zingiber officinale (jahe), Kaempferia galanga (kencur), Curcuma longa (kunyit), Curcuma zanthorrhiza (temulawak) dan Alpinia galanga (lengkuas). Jenis Rutaceae yang digunakan antara lain Citrus hystrix (jeruk purut), Citrus aurantiifolia (jeruk nipis), Citrus medica (jeruk kayu), Citrus maxima (jeruk malem) dan Citrus nobilis (jeruk kelele). Jenis Apiaceae yang digunakan pada oukup Karo adalah Coriandrum sativum (ketumbar), Cuminum cyminum (jintan putih) dan Centella asiatica (pegagan).
Pada jenis Lauraceae antara lain Cinnamomum burmanii (kayu manis), Persea americana (alpukat) dan Litsea elliptica (pirawas). Jenis Poaceae yaitu Cymbopogon citratus (sereh), Eleusine indica (rumput parang tegoh) dan Chrysopogon zizanioides (akar wangi) (Batubara dkk., 2017).
Silalahi dkk. (2013) menyatakan bahwa Suku Batak Karo di Desa Kaban Tua, Kecamatan Munthe, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara mengenal dan menggunakan 152 spesies yang terdiri dari 61 famili, yang digunakan untuk mengobati sebanyak 21 jenis penyakit. Suku Batak Karo mengunakan spesies dan famili tumbuhan terutama Zingeberaceae, Asteraceae dan Poaceae, Rubiaceae, Malvaceae, Achantaceae, Rutaceae, Myrtaceae dan Arecaceae. Untuk mengatasi gangguan saluran pencernaan seperti sakit perut masyarakat lokal menggunakan galiman (Psidium guajava) dan sibentar bunga (Eupatorium inulaefolium) dan sigara bunga (Lantara camara). Tumbuhan yang digunakan untuk cacar air adalah kacang tanah (Arachis hypogaea), jagung (Zea mays) dan kurtak-kurtak (Physalis angulata). Bagian tumbuhan yang digunakan antara lain daun, batang, akar, kulit batang, getah, bunga, buah, biji dan seluruh bagian. Pemanfaatan bagian tumbuhan disesuaikan dengan tujuan pengobatan.
10
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Desa Bingkawan, Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deliserdang. Waktu penelitian ini dimulai dari bulan Mei – Juni 2018.
Alat dan Bahan
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah tally sheet, alat tulis, panduan wawancara, buku identifikasi tumbuhan obat, dan kamera untuk alat dokumentasi. Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah tumbuhan obat, kantong plastik, label, dan kuesioner.
Prosedur Penelitian 1. Wawancara
Pengumpulan data dilakukan dengan cara wawancara. Wawancara di Desa Bingkawan dilakukan untuk memperoleh data dan informasi mengenai tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Penentuan responden dilakukan dengan teknik purposive sampling. Jumlah responden ditetapkan sebanyak 30 orang.
Informan yang dipilih adalah masyarakat yang mengerti tumbuhan obat dan memanfaatkannya, pengobat kampung, tukang urut, dan lain-lain.
2. Pengambilan Spesimen Tumbuhan Obat
Berdasarkan hasil wawancara, dilakukan dokumentasi tumbuhan obat yang dimanfaatkan oleh warga sebagai obat tradisional. Dokumentasi dilakukan dalam bentuk foto koleksi tumbuhan hidup, koleksi spesimen herbarium, dan semua data lapangan (dicatat dalam buku catatan lapangan).
3. Studi Literatur
Studi literatur atau kajian pustaka dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi yang berkaitan dengan topik penelitian. Studi literatur bersumber dari buku, jurnal, artikel dan lain-lain, sehingga mendukung data penelitian yang diperoleh. Kegiatan studi literatur dilakukan sebelum dan setelah dilakukannya penelitian. Studi literatur dilakukan untuk memperoleh data mengenai kondisi umum lokasi penelitian, kondisi sosial ekonomi masyarakat dan cek silang data yang diperoleh di lapangan.
11
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kearifan Lokal Suku Karo di Desa Bingkawan
Desa Bingkawan merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Sibolangit, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Penduduk asli desa ini bersuku Karo. Fasilitas kesehatan seperti Puskesmas tidak ada di desa ini sehingga masyarakat menggunakan pengobatan secara tradisional. Jumlah responden yang ditetapkan pada penelitian sebanyak 30 orang. Karakteristik responden dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Karakteristik Responden di Desa Bingkawan
Berdasarkan Gambar 1 dapat dilihat bahwa karakteristik responden di Desa Bingkawan terdiri dari responden yang tidak memanfaatkan tumbuhan obat, memanfaatkan tumbuhan obat, pengobat kampung, dan tukang urut. Karakteristik responden dominan di Desa Bingkawan yaitu responden yang memanfaatkan tumbuhan obat dengan nilai 73,33%. Dari 30 responden, terdapat 14 responden yang berprofesi sebagai wiraswasta, 13 sebagai petani, 2 sebagai ibu rumah tangga, dan 1 sebagai honorer. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden, terdapat beberapa jenis penyakit yang pernah diderita oleh masyarakat Desa Bingkawan. Persentase jenis penyakit tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.
12
Gambar 2. Persentase Jenis Penyakit yang Diderita Oleh Masyarakat Desa Bingkawan Berdasarkan Gambar 2 dapat dilihat bahwa penyakit yang dominan diderita oleh masyarakat Desa Bingkawan adalah sakit perut. Penanggulangan yang biasa dilakukan masyarakat yaitu secara medis ataupun tradisional. Namun, cara pengobatan secara tradisional lebih sering dilakukan karena mudah dan biaya lebih ekonomis. Simanjuntak (2016) pada penelitiannya menyatakan tumbuhan sebagai obat tradisional lebih banyak digunakan masyarakat Simalungun untuk mengobati sakit perut.
Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat Suku Karo di Desa Bingkawan menggunakan tumbuh-tumbuhan sebagai obat tradisional bermula dari turun- temurun. Masyarakat di Desa Bingkawan masih menggunakan tumbuhan sebagai obat tradisional hingga kini.
Masyarakat meramu tumbuhan obat diperoleh dari kebiasaan turun- temurun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 32 spesies tumbuhan terdapat 5 bagian yang digunakan sebagai bahan pengobatan tradisional, yaitu daun, rimpang, akar, batang, dan buah. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 3.
13
Gambar 3. Bagian-bagian Tumbuhan yang Dimanfaatkan Masyarakat Sebagai Bahan Pengobatan Tradisional
Berdasarkan Gambar 3, masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan bagian daun lebih banyak daripada bagian lainnya. Hal ini disebabkan oleh bagian daun yang mudah diperoleh daripada bagian lainnya. Handayani (2015) menyatakan daun paling banyak dimanfaatkan sebagai bahan obat. Hal ini dikarenakan jumlah ataupun produktivitas daun yang lebih banyak dan mudah diperoleh. Daun lebih mudah digunakan secara langsung. Masyarakat menggunakan bagian daun karena banyak zat-zat obat di dalamnya. Radam dkk.
(2016) pada penelitiannya menyatakan bagian daun lebih banyak dimanfaatkan sebagai bahan obat tradisional dibanding bagian kulit batang, bunga/buah, akar, rimpang, getah, ataupun semua bagian.
Masyarakat memanfaatkan tumbuhan sebagai bahan obat tradisional dengan cara menggunakan satu atau lebih dari satu bagian dari satu jenis tumbuhan. Rahayu dkk. (2006) pada penelitiannya menyatakan kulit kayu dan daun kayu jawa (Lannea coromandelica) digunakan sebagai penutup luka.
Masyarakat juga menggunakan kulit kayunya untuk perawatan paska persalinan dan obat luka dalam.
Masyarakat Suku Karo di Desa Bingkawan memanfaatkan tumbuhan obat yang hidup di hutan dan dibudidayakan di kebun atau pekarangan. Masyarakat memanfaatkan jenis tumbuhan obat yang bervariasi mulai dari tingkat herba
14
sampai pohon. Berdasarkan hasil wawancara, masyarakat paling banyak memanfaatkan sirih (Piper betle), jambu biji (Psidium guajava), kumis kucing (Orthosiphon aristatus), senduduk (Melastoma candidum), dan temulawak (Curcuma xanthorrhiza).
Sirih (Piper betle) dimanfaatkan masyarakat untuk obat sakit perut, luka luar, sakit kepala, dan gatal-gatal. Masyarakat memanfaatkan bagian daun sirih sebagai bahan obat. Masyarakat memanfaatkan daun sirih untuk obat sakit perut dan sakit kepala. Caranya dengan mengunyah daun kemudian airnya ditelan untuk mengurangi nyeri. Masyarakat memanfaatkan daun sirih untuk luka luar. Caranya dengan menumbuk daun kemudian menempelkannya pada bagian yang luka.
Masyarakat merebus daun sirih dan menjadikan air rebusan sebagai air mandi untuk obat gatal-gatal. Masyarakat menggunakan daun sirih sebagai obat gatal- gatal karena mengandung minyak atsiri dan antiseptik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Putri (2010) bahwa daun sirih mempunyai aroma yang khas karena mengandung minyak atsiri. Fenol yang terkandung dalam minyak atsiri memiliki daya antiseptik 5 kali lebih kuat dibandingkan fenol biasa.
Jambu biji (Psidium guajava) digunakan oleh masyarakat untuk obat sakit perut. Masyarakat memanfaatkan bagian daun jambu biji sebagai bahan obat.
Caranya dengan menumbuk halus daun kemudian dicampur dengan air matang.
Kemudian disaring dan diminum selama tiga kali sehari. Azizah (2008) pada penelitiannya menyatakan daun jambu biji terbukti mampu menghambat pertumbuhan bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Sesuai pernyataan tersebut, daun jambu biji memiliki sifat antidiare.
Kumis kucing (Orthosiphon aristatus) digunakan oleh masyarakat untuk obat sakit pinggang. Masyarakat memanfaatkan daun kumis kucing dengan cara merebus. Daun yang telah direbus kemudian disaring dan diminum dua kali sehari sampai berangsur membaik. Nursiyah (2013) pada penelitiannya menyatakan daun kumis kucing bermanfaat sebagai bahan obat-obatan untuk mengatasi rematik, batuk, masuk angin, sakit pinggang, sembelit, dan asam urat.
Senduduk (Melastoma candidum) dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat sakit perut atau diare. Masyarakat memanfaatkan daun senduduk dengan cara merebusnya. Kemudian meminum air rebusan tersebut sebanyak tiga kali sehari.
15
Hariana (2009) pada penelitiannya menyatakan senduduk memiliki kandungan kimia seperti saponin, flavonoid, dan tanin. Tanaman senduduk berkhasiat sebagai obat penurun panas, mengatasi diare, sariawan dan cacar. Tanaman senduduk sering dijadikan obat kumur untuk mengatasi sakit gigi.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza) digunakan oleh masyarakat sebagai obat sakit perut. Masyarakat memanfaatkan rimpang temulawak dengan cara menumbuk halus. Kemudian rimpang yang telah halus direbus, disaring, dan diminum secara rutin. Dalimartha (2000) pada penelitiannya menyatakan rimpang temulawak mengandung kurkumin, pati, dan minyak atsiri. Rimpang temulawak berkhasiat untuk mengurangi kolik empedu, perut kembung karena gangguan metabolisme lemak, dan menurunkan kadar kolesterol darah.
Berdasarkan hasil penelitian, masyarakat lebih banyak memanfaatkan daun sebagai pengobatan dengan cara merebus. Masyarakat memanfaatkan bagian rimpang dengan cara menumbuk halus kemudian merebus atau mengambil sarinya. Masyarakat memanfaatkan bagian batang bersama bagian daun dan akar tumbuhan terong dengan cara merebus semua bagian. Kemudian air rebusan diusapkan pada bagian tubuh yang mengalami gatal-gatal. Masyarakat memanfaatkan bagian akar pasak bumi sebagai obat sakit perut dan darah tinggi.
Caranya dengan merebus akar pasak bumi. Masyarakat memanfaatkan buah pala dan pinang sebagai obat memar dan luka. Caranya dengan menumbuk halus kemudian diusapkan pada bagian tubuh yang memar atau luka.
Masyarakat menyatakan tidak ada efek yang ditimbulkan oleh obat-obatan tradisional. Masyarakat membutuhkan waktu yang berbeda mulai dari pengobatan sampai penyakit sembuh. Waktu tersebut bergantung dari jenis penyakit yang diderita. Penyakit kategori ringan seperti sakit perut (diare), kurang tenaga, demam, masuk angin, batuk, sakit pinggang, luka luar, hanya membutuhkan waktu 1 sampai 3 hari. Sedangkan penyakit yang bersifat kronis atau menahun seperti darah tinggi, gula, asam lambung, kolesterol, dan asam urat membutuhkan waktu 1 minggu. Masyarakat mengatakan obat tradisional kurang manjur untuk penyakit kronis. Oleh karena itu, masyarakat juga melakukan pengobatan ke Puskesmas Desa Sibolangit. Masyarakat tetap meminum ramuan tumbuhan tradisional sebagai obat selingan.
16
Identifikasi Tumbuhan Obat di Desa Bingkawan
Hasil identifikasi tumbuhan obat di Desa Bingkawan diperoleh dari eksplorasi dan wawancara kepada masyarakat desa untuk mengetahui jenis-jenis tumbuhan obat yang ada di desa ini. Informasi diperoleh dari wawancara dengan 30 masyarakat desa yang merupakan informan terpercaya. Hasil eksplorasi dan wawancara dengan informan terdapat 32 spesies tumbuhan obat di Desa Bingkawan yang dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Jenis-Jenis Tumbuhan Obat Yang Terdapat di Desa Bingkawan
No Nama
tumbuhan Nama ilmiah Familli
Bagian yang digunakan
Kegunaan Gambar
1 Alpukat Persea americana
Lauraceae Daun Obat darah tinggi
2 Besi-besi Justicia gandarusa
Euphorbiaceae Daun Obat demam
3 Bulung besan
Eurycoma longifolia
Simaraubaceae Akar Obat sakit perut, darah tinggi
4 Gagatan harimau
Vitis gracilis Vitaceae Daun Penambah tenaga, obat sakit perut
17
No Nama
tumbuhan Nama ilmiah Familli
Bagian yang digunakan
Kegunaan Gambar
5 Galinggang Cassia alata Caesalpiniceae Daun Obat gatal pada kulit
6 Galunggung Blumea balsanifera
Asteraceae Daun Obat gula
7 Jambu biji Psidium guajava
Myrtaceae Daun Obat sakit perut
8 Kacibeling Strobilanthes crispus
Acanthaceae Daun Obat sakit pinggang, maag
9 Katarak Isotoma longiflora
Campanulaceae Daun Obat sakit mata, gigi
18
No Nama
tumbuhan Nama ilmiah Familli
Bagian yang digunakan
Kegunaan Gambar
10 Kayu putih Melaleuca leucadendron
Myrtaceae Daun Obat masuk angin, gatal
11 Kebal pusuh
Hedyotis corymbosa
Rubiaceae Daun Obat hipertensi, gula
12 Kumis kucing
Orthosiphon aristatus
Lamiaceae Daun Obat sakit pinggang
13 Lempuyang Zingiber zerumbet
Zingiberaceae Daun, rimpang
Obat asam urat
14 Lengkuas Alpinia galanga Zingiberaceae Rimpang Obat demam
19
No Nama
tumbuhan Nama ilmiah Familli
Bagian yang digunakan
Kegunaan Gambar
15 Pala Myristica fragrans
Myristicaceae Buah Obat darah beku
16 Pegagan Centella asiatica Apiaceae Daun Obat asam urat, luka dalam, sariawan
17 Pepaya Carica papaya Caricaceae Daun Obat batuk, demam, darah tinggi
18 Pinang Areca catechu Arecaceae Daun, buah
Obat sakit pinggang, luka
19 Pugun tanoh Picria fel-terrae Scrophulariceae Daun Obat sakit perut, gula, penurun tensi
20
No Nama
tumbuhan Nama ilmiah Familli
Bagian yang digunakan
Kegunaan Gambar
20 Racun biang Rauvolfia serpentina
Apocynaceae Daun Obat flu, diare
21 Salagundi Vitex trifolia Lamiaceae Daun Obat mata, masuk angin
22 Sambung nyawa
Gynura procumbens
Asteraceae Daun Obat hipertensi, gula
23 Sendep- sendep
Equisetum debile
Equisetaceae Daun Obat luka dalam
24 Senduduk Melastoma candidum
Melastomataceae Daun Obat diare
21
No Nama
tumbuhan Nama ilmiah Familli
Bagian yang digunakan
Kegunaan Gambar
25 Singkong Manihot esculenta
Euphorbiaceae Daun Obat batuk
26 Sirap-rap Phyllanthus urinaria
Euphorbiaceae Daun Obat batuk, demam
27 Sirih Piper betle Piperaceae Daun Obat sakit perut, luka, kepala, gatal
28 Sirsak Annona muricata Annonaceae Daun Obat sakit gula, kolesterol
29 Temulawak Curcuma xanthorrhiza
Zingiberaceae Rimpang Obat sakit perut
22
No Nama
tumbuhan Nama ilmiah Familli
Bagian yang digunakan
Kegunaan Gambar
30 Terbangun Coleus amboinicus
Lamiaceae Daun Obat asam lambung, pelancar ASI
31 Terong Solanum melongena
Solanaceae Daun, batang, akar
Obat gatal
32 Tunjuk langit
Helminthostachys zeylanica
Ophiglossaceae Rimpang Obat demam
Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat bahwa di Desa Bingkawan terdapat 32 spesies tumbuhan obat yang dikelompokkan menjadi 24 familli antara lain, Acanthaceae, Annonaceae, Apiaceae, Apocynaceae, Arecaceae, Asteraceae, Caesalpiniceae, Campanulaceae, Caricaceae, Equisetaceae, Euphorbiaceae, Lamiaceae, Lauraceae, Melastomaceae, Myristicaceae, Myrtaceae, Ophiglossaceae, Piperaceae, Rubiacaeae, Scrophulariceae, Simaraubaceae, Solanaceae, Vitaceae, dan Zingiberaceae. Dari hasil yang diperoleh, tumbuhan obat yang paling banyak ditemukan berasal dari famili Zingeberaceae dan Euphorbiaceae sebanyak 3 spesies. Familli Zingeberaceae terdiri dari tumbuhan lempuyang (Zingiber zerumbet), lengkuas (Alpinia galanga), dan temulawak (Curcuma xanthorrhiza). Familli Euphorbiaceae terdiri dari tumbuhan gandarusa (Jatropha multifida), meniran (Phyllanthus urinaria), dan singkong (Manihot esculenta).
23
Berikut ini adalah jenis-jenis tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat Desa Bingkawan.
1. Alpukat (Persea americana Mill.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun alpukat sebagai obat darah tinggi (hipertensi). Anggorowati dkk. (2016) pada penelitiannya menyatakan tanaman alpukat merupakan salah satu obat tradisional. Tanaman alpukat digunakan untuk mengobati sariawan, kencing batu, darah tinggi, kulit muka kering, sakit gigi dan penyakit lainnya. Daun alpukat memiliki rasa yang pahit. Daun alpukat dimanfaatkan sebagai obat karena berkhasiat sebagai diuretik, menghambat pertumbuhan beberapa bakteri, menyembuhkan darah tinggi, kencing batu dan sakit kepala.
2. Besi-besi (Justicia gandarussa)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun gandarusa sebagai obat demam. Ason dkk. (2018) pada penelitiannya menyatakan daun gandarusa dapat dimanfaatkan sebagai obat rematik, patah tulang, sakit kepala, memar, keseleo, mual, dan haid tidak teratur.
3. Bulung Besan (Eurycoma longifolia Jack)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan akar pasak bumi sebagai obat sakit perut dan darah tinggi. Silalahi dan Nisyawati (2015) pada penelitiannya menyatakan pasak bumi dimanfaatkan sebagai obat demam, malaria, sakit perut, dan penambah stamina. Bagian utama dari pasak bumi yang dimanfaatkan sebagai obat adalah daun, biji, dan akar.
4. Gagatan Harimau (Vitis gracilis BL)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun gagatan harimau sebagai obat sakit perut dan penambah tenaga. Siregar (2018) pada penelitiannya menyatakan daun gagatan harimau dimanfaatkan untuk penambah tenaga, obat sakit perut, malaria, mengganjal rasa lapar, dan diabetes.
5. Galinggang (Cassia alata L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun ketepeng cina sebagai obat gatal-gatal. Anwar (2015) pada penelitiannya menyatakan daun ketepeng cina bermanfaat sebagai obat antifungi secara tradisional. Hal ini dikarenakan kandungan bioaktif yang bersifat sebagai antifungi. Kandungan dari daun
24
ketepeng cina yang berfungsi sebagai antifungi ialah antrakuinon yang bekerja dengan cara menghambat proses pemanjangan hifa jamur.
6. Galunggung (Blumea balsamifera L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun sembung sebagai obat gula. Rahardjo (2016) pada penelitiannya menyatakan bagian tanaman sembung yang paling sering digunakan untuk pengobatan adalah daun. Sembung digunakan untuk pengobatan rematik, nyeri haid, influenza, kembung, sakit tulang, diare, sariawan, asma, kolera, sakit perut, tidak nafsu makan, nyeri dada, penyakit jantung, demam, bronkhitis, dan epitaksis. Masyarakat biasa menggunakan daun sembung untuk obat dengan cara memotong daun kecil-kecil, rebus sampai tersisa sebagian, lalu meminumnya.
7. Jambu Biji (Psidium guajava L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun jambu biji sebagai obat sakit perut (diare). Nuryani dkk. (2017) pada penelitiannya menyatakan daun jambu biji telah banyak dimanfaatkan untuk obat diare, mencret, dan sakit kembung. Kandungan daun jambu biji adalah senyawa tanin 9-12%, minyak atsiri, minyak lemak dan asam malat.
8. Kacibeling (Strobilanthes crispus L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun keji beling sebagai obat sakit pinggang dan maag (lambung). Artanti dan Fatimah (2017) pada penelitiannya menyatakan daun keji beling (Strobilanthes crispus) memiliki kandungan polifenol, saponin, alkaloid, kalium dan kalsium. Daun keji beli juga memiliki kandungan kumarin, flavonoid, dan sterol sehingga bermanfaat sebagai bahan obat.
9. Katarak (Isotoma longiflora L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun kitolod sebagai obat sakit mata dan sakit gigi. Hapsari (2016) pada penelitiannya menyatakan tanaman kitolod memiliki khasiat sebagai obat mengatasi gangguan mata seperti katarak, mata minus serta mengobati kebutaan yang disebabkan karena glaukoma, asma, sifilis, antivirus, dan antibakteri. Daun kitolod memiliki kandungan senyawa alkaloid, saponin, flavonoida, dan polifenol.
25 10. Kayu Putih (Melaleuca leucadendron)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun kayu putih sebagai obat masuk angin dan gatal-gatal. Hariana (2009) menyatakan daun kayu putih berkhasiat untuk menghilangkan bengkak dan nyeri (analgetika). Khasiat lain dari daun kayu putih adalah untuk obat radang usus, diare, reumatik, asma, radang kulit ekzema, insomnia dan sakit kepala. Pengobatan dapat dilakukan dengan meremas daun kayu putih kemudian diletakkan pada bagian tubuh yang sakit.
Dapat juga dilakukan dengan meminum rebusan daun kayu putih.
11. Kebal Pusuh (Hedyotis corymbosa L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun rumput mutiara sebagai obat hipertensi dan gula. Sitawati (2010) pada penelitiannya menyatakan rumput mutiara mengandung dua senyawa aktif, yaitu asam ursolat dan asam uleanolat yang terbukti dapat mencegah pembelahan sel kanker. Rumput mutiara telah lama dipakai dalam pengobatan tradisional Cina, dikenal dengan nama shui xian chao.
12. Kumis kucing (Orthosiphon stamineus Benth.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun kumis kucing sebagai obat sakit pinggang. Dalimartha (2000) menyatakan daun kumis kucing yang kering (simplisia) dipakai sebagai obat yang memperlancar pengeluaran air kemih (diuretik) sedangkan di India untuk mengobati rematik. Masyarakat menggunakan kumis kucing sebagai obat tradisional sebagai upaya penyembuhan batuk, encok, masuk angin dan sembelit.
13. Lempuyang Wangi (Zingiber zerumbet L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun dan rimpang lempuyang sebagai obat asam urat. Silalahi (2018) pada penelitiannya menyatakan lempuyang (Zingiber zerumbet) dapat dimanfaatkan untuk obat sakit kepala, pembengkakan, pilek, bisul, luka dan kehilangan nafsu makan, mual dan bahkan ketidaknyamanan menstruasi. Hasil bioessay terhadap rizoma lempuyang menunjukkan terdapat anti-inflamantori, antimikroba, dan antianalgesik.
14. Lengkuas (Alpinia galanga L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan rimpang lengkuas sebagai obat demam. Handajani dan Purwoko (2008) pada penelitiannya menyatakan rimpang lengkuas digunakan secara tradisional untuk obat penyakit panu, kadas,
26
bronkitis, dan reumatik. Senyawa kimia utama lengkuas adalah minyak atsiri yang tersusun atas eugenol, seskuiterpen, pinen, metil-sinamat, kaemferida, galangan, dan galangol.
15. Pala (Myristica fragrans)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan buah pala sebagai obat memar (darah beku). Nurdjannah (2007) menyatakan pala berguna untuk mengurangi flatulensi, meningkatkan daya cerna, mengobati diare dan mual. Pala juga dapat mengobati desentri, maag, menghentikan muntah, mulas, perut kembung, serta obat rematik. Komponen dalam biji pala terdiri dari minyak atsiri, minyak lemak, protein, selulosa, pentosan, pati, resin dan mineral.
16. Pegagan (Centella asiatica)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun pegagan sebagai obat asam urat, luka dalam, dan sariawan. Kartasapoetra (1992) pada penelitiannya menyatakan tumbuhan pegagan memiliki khasiat obat. Pegagan dapat digunakan untuk mengobati penyakit sariawan, asam urat, amara (menambah nafsu makan), astringensia, dan sebagai tonikum.
17. Pepaya (Carica papaya L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun pepaya sebagai obat batuk, demam, dan darah tinggi. Safriyadi dkk. (2017) pada penelitiannya menyatakan tanaman pepaya dimanfaatkan sebagai obat penurun darah tinggi.
Bagian yang dimanfaatkan adalah daunnya. Cara pengolahannya adalah dengan merebus daun pepaya tersebut.
18. Pinang (Areca catechu L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun dan buah pinang sebagai obat sakit pinggang dan luka. Barlina (2007) pada penelitiannya menyatakan biji pinang dapat mengobati cacingan, perut kembung akibat gangguan pencernaan, bengkak karena retensi cairan (edema), rasa penuh di dada, luka, batuk berdahak, diare, terlambat haid, keputihan, beri-beri, dan malaria.
19. Pugun Tanoh (Picria fel-terrae Lour.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun pugun tanoh sebagai obat sakit perut, gula, dan penurun tensi. Juwita (2017) pada penelitiannya menyatakan tumbuhan pugun tanoh berkhasiat sebagai obat cacing untuk anak-
27
anak, sakit perut (mulas mendadak), malaria, menyembuhkan gatai-gatal dan penyakit kulit lainnya, mengatasi batuk dan rasa sesak di dada, meningkatkan nafsu makan, dan sebagai tonikum untuk menguatkan badan. Tumbuhan ini juga digunakan untuk mengobati demam, infeksi herpes, dan inflamasi.
20. Racun Biang (Rauvolfia serpentina L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun pule pandak sebagai obat flu dan diare. Haryudin (2013) pada penelitiannya menyatakan bagian tanaman pule pandak mulai dari akar, batang, dan daun dapat dimanfaatkan sebagai obat. Akarnya berkhasiat untuk mengobati tekanan darah tinggi, sakit kepala, sakit tenggorokan, sakit pinggang, etilepsi, kurang nafsu makan, dan penawar bisa ular atau gigitan serangga. Bagian batang dan daun berkhasiat untuk mengobati influenza, sakit tenggorokan, malaria, tekanan darah tinggi, diare, muntah karena angin, hernia, bisul, dan memar.
21. Salagundi (Vitex trifolia L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun legundi sebagai obat mata dan masuk angin. Parapat (2014) pada penelitiannya menyatakan daun legundi berkhasiat sebagai analgesik, antipiretik, obat luka, peluruh kencing, pereda kejang, germicide (pembunuh kuman), batuk kering, batuk rejan, beri-beri, sakit tenggorokan, muntah darah, obat cacing, demam nifas, sakit kepala, TBC, turun peranakan, tipus dan peluruh keringat.
22. Sambung Nyawa (Gynura procumbens Lour)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun sambung nyawa sebagai obat hipertensi dan gula. Putri dan Tjitraresmi (2017) pada penelitiannya menyatakan tumbuhan sambung nyawa bermanfaat bagi kesehatan seperti, antioksidan, antihipertensi, antidiabetes, antikanker, antikbakteri serta mencegah kerusakan pada jaringan dan organ tubuh.
23. Sendep-sendep (Equisetum debile Roxb.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun greges otot sebagai obat luka dalam. Zaman (2009) pada penelitiannya menyatakan seluruh herba dari tanaman greges otot bermanfaat sebagai obat radang mata, radang usus, influenza, demam, dan hepatitis.
28 24. Senduduk (Melastoma candidum)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun senduduk sebagai obat diare. Novrinawati (2016) pada penelitiannya menyatakan tumbuhan senduduk dapat digunakan sebagai obat disentri, diare, hepatitis, keputihan, sariawan, batuk, luka, antihipertensi, wasir darah, pendarahan rahim dan lainnya.
25. Singkong (Manihot esculenta Crantz)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun singkong sebagai obat batuk. Meilawaty (2013) menyatakan daun singkong memiliki banyak manfaat bagi kesehatan karena memiliki kandungan vitamin C yang cukup tinggi.
Konsumsi vitamin C sangat bermanfaat dalam proses penyembuhan luka dan dapat menurunkan jumlah neutrofil.
26. Sirap-rap (Phyllanthus urinaria L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun meniran sebagai obat batuk dan obat demam. Ason dkk. (2018) pada penelitiannya menyatakan tanaman meniran dapat mengobati berbagai penyakit, seperti radang ginjal, susah kencing yang disertai sakit perut atau sakit pinggang, batu ginjal, disentri, hepatitis, rabun senja, bisul di kelopak mata, rematik, dan epilepsi.
27. Sirih (Piper betle L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun sirih sebagai obat sakit perut, luka, sakit kepala, dan gatal-gatal. Ningtias dkk. (2014) pada penelitiannya menyatakan daun sirih bermanfaat untuk mengobati asam urat, ambeien, batuk rejan, disentri, jantung, keputihan, masuk angin, memperlancar darah, nyeri otot dan persendian, panas dalam, dan stroke.
28. Sirsak (Annona muricata L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun sirsak sebagai obat sakit gula dan kolesterol. Hussaana dkk. (2015) pada penelitiannya menyatakan daun sirsak telah digunakan oleh masyarakat untuk pengobatan kanker. Zat aktif pada daun sirsak diantaranya alkaloid dan acetogenin.
29. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan rimpang temulawak sebagai obat sakit perut. Dewi dkk. (2017) pada penelitiannya menyatakan temulawak
29
bermanfaat untuk meningkatkan nafsu makan, menjaga ketahanan tubuh, mengobati penyakit ginjal, dan mengobati gatal-gatal atau eksem.
30. Terbangun (Coleus amboinicus Lour)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun bangun-bangun sebagai obat asam lambung. Santosa dan Hertiani (2005) pada penelitiannya menyatakan terdapat kandungan minyak atsiri pada daun bangun-bangun. Minyak atsiri bermanfaat sebagai antiseptik dan dapat melawan infeksi cacing. Daun bangun- bangun juga memiliki kandungan vitamin C, vitamin B1, B12, kalsium, asam lemak, asam oksalat, dan serat. Senyawa-senyawa tersebut berpotensi sebagai antioksidan, mencegah kanker, antitumor, antivertigo, antiradang, obat lambung, dan penyakit lainnya.
31. Terong (Solanum melongena L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan daun, batang, dan akar terong sebagai obat gatal-gatal. Hastuti (2007) pada penelitiannya menyatakan terong digunakan sebagai obat tradisional, antara lain obat gatal-gatal pada kulit, obat sakit gigi, wasir, tekanan darah tinggi, dan pelancar air seni. Terong dipercaya dapat memperlancar proses persalinan jika sering dikonsumsi sebelum masa persalinan.
32. Tunjuk Langit (Helminthostachys zeylanica L.)
Masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan rimpang tunjuk langit sebagai obat demam. Hartini (2011) pada penelitiannya menyatakan akar rimpang tunjuk langit dimanfaatkan sebagai obat desentri, katarak, TBC stadium awal, batuk, sipilis, malaria, pegal linu, dan juga sebagai obat cuci perut tonik. Berdasarkan uji fitokimia tumbuhan ini mengandung saponin, flavonoid, dan fenolik.
Sembiring dkk. (2015) pada penelitiannya di kawasan Taman Hutan Raya Tongkoh, Kabupaten Karo menemukan 25 jenis tanaman obat yang terbagi atas 21 famili. Beberapa famili yang ditemukan di Desa Bingkawan juga ditemukan di kawasan Taman Hutan Raya Tongkoh ini, seperti Acanthaceae, Apocynaceae, Arecaceae, Asteraceae, Euphorbiaceae, Lamiaceae, Lauraceae, Melastomaceae, Myristicaceae, Myrtaceae, Piperaceae, Solanaceae, Vitaceae, dan Zingiberaceae..
30
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Kearifan lokal masyarakat Desa Bingkawan memanfaatkan 5 bagian tumbuhan, yaitu daun, rimpang, akar, batang, dan buah. Cara masyarakat mengolah tumbuhan menjadi obat yaitu direbus, dihaluskan kemudian dicampur air matang, dihaluskan atau dikunyah kemudian diambil sarinya, direbus kemudian dijadikan air mandi atau dioleskan, dan dihaluskan kemudian ditempel pada permukaan yang sakit.
2. Identifikasi tumbuhan obat yang terdapat di Desa Bingkawan adalah 32 spesies dari 24 famili.
Saran
Perlu dilakukan upaya untuk melestarikan pengetahuan tentang tumbuhan obat pada generasi muda. Perlu dilakukan peningkatan budidaya tumbuhan yang berpotensi sebagai obat-obatan dan perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai kandungan kimia yang terdapat pada tumbuhan obat yang dimanfaatkan masyarakat Desa Bingkawan.
31
DAFTAR PUSTAKA
Anggorowati, D. A., G. Priandini, dan Thufail. 2016. Potensi Daun Alpukat (Persea americana Miller) Sebagai Minuman Teh Herbal yang Kaya Antioksidan. Industri Inovatif. 6 (1) : 1 – 7.
Anwar, A. N. D. J. 2015. Manfaat Daun Ketepeng Cina (Cassia alata L.) Sebagai Antifungi Pada Tinea Pedis. Jurnal Agromed Unila. 2 (4) : 385 – 388.
Artanti, D. dan S. Fatimah. 2017. Efektivitas Perasan Daun Keji beling (Sericocalyx crispus Linn) Dalam Menghambat Pertumbuhan Staphylococcus aureus. The Journal Of Muhammadiyah Medical Laboratory Technologist. 2 (1) : 78 – 83.
Ason, Y., F. Diba, dan M. S. Anwari. 2018. Identifikasi Jenis Tumbuhan Bawah yang Berkhasiat Obat di Kawasan Arboretum Sylva Universitas Tanjungpura. Jurnal Tengkawang. 8 (1) : 6 – 17.
Azizah, N. N. 2008. Isolasi dan Identifikasi Jamur Endofit dari Daun Jambu Biji (Psidium guajava L.) Penghasil Antibakteri Terhadap Bakteri Escherichia coli dan Staphylococcus aureus. Skripsi. Fakultas Sains dan Teknologi.
Universitas Islam Negeri Malang. Malang.
Bangun, R. S. Br. 2009. “Kuning” Pada Masyarakat Karo (Studi Antropologi Kesehatan di Desa Bunuraya, Kecamatan Tigapanah, Kabupaten Karo).
Skripsi. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Universitas Sumatera Utara.
Medan.
Barlina, R. 2007. Peluang Pemanfaatan Buah Pinang Untuk Pangan. Buletin Palma. (33) : 96 – 105.
Batubara, R. P., E. A. M. Zuhud, R. Hermawan, dan R. Tumanggor. 2017. Nilai Guna Spesies Tumbuhan Dalam Oukup (Mandi Uap) Masyarakat Batak Karo. Media Konservasi. 22 (1) : 79 – 86.
Dalimartha, S. 2000. Atlas Tumbuhan Obat Indonesia. Trubus Agriwidya. Jakarta.
Dewi, M., M. Aries, Hardinsyah, C. M. Dwiriani, dan N. Januwati. Pengetahuan Tentang Manfaat Kesehatan Temulawak (Curcuma xanthorrhiza.) Serta Uji Klinis Pengaruhnya Pada Sistem Imun Humoral Pada Dewasa Obes.
Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 17 (3): 166 171.
Handajani, N. S. dan T. Purwoko. 2008. Aktivitas Ekstrak Rimpang Lengkuas (Alpinia galanga) terhadap Pertumbuhan Jamur Aspergillus spp. Penghasil Aflatoksin dan Fusarium moniliforme. Biodiversitas. 9 (3) : 161 – 164.