• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEUNTUNGAN DAN TANTANGAN KEIKUTSERTAAN I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "KEUNTUNGAN DAN TANTANGAN KEIKUTSERTAAN I"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL

UNIVERSITAS GADJAH MADA

FAKULTAS HUKUM

Makalah

Untuk melengkapi Persyaratan dalam Menempuh

Mata Kuliah Hukum Perjanjian Internasional

KEUNTUNGAN DAN TANTANGAN KEIKUTSERTAAN INDONESIA DALAM

KONVENSI ORGANISASI PERBURUHAN INTERNASIONAL (ILO) NO. 183

TENTANG PERLINDUNGAN MATERNITAS (2000) DALAM KAITANNYA

DENGAN KESETARAAN GENDER DALAM DUNIA KERJA

Diajukan Oleh :

Mazia Rizqi Izzatika

10/302744/HK/18540

Konsentrasi Hukum Internasional

(2)

Daftar Isi

Halaman Judul ... 1

Daftar Isi... 2

Bab I Pendahuluan ... 3

A. Latar Belakang ... 3

B. Perumusan Masalah... 4

Bab II Tinjauan Pustaka... 5

A. Perjanjian Internasional ... 5

B. Konsep Gender dalam Kaitannya dengan Maternitas...

6

C. Peraturan Nasional Tentang Perlindungan Maternitas dalam

Dunia Kerja...

7 D. Tinjauan Umum Mengenai Konvensi tentang Perlindungan Maternitas (2000)... 11 Bab III Pembahasan ... 13

A. Keuntungan Keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi tentang Perlindungan Maternitas (2000)... 13 B. Tantangan Indonesia dalam Konvensi tentang Perlindungan Maternitas (2000)... 17 Bab IV Penutup ... 20

A. Kesimpulan... ... 20

B. Saran ... 21

Daftar Pustaka... 22

(3)

Perlindungan maternitas merupakan hak asasi manusia yang fundamental. Perlindungan maternitas mendukung perkembangan kesehatan individu bagi ibu dan anak, generasi anak yang sehat adalah aset bagi setiap masyarakat. Perlindungan maternitas adalah hak buruh perempuan seperti yang tertuang dalam Kovenan ECOSOC (Covenant on Economic, Social and Cultural Rights atau Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya), salah satu instrumen bill of rights PBB, yang mewajibkan negara untuk menghormati, melindungi dan menjamin hak-hak buruh, Konvensi ILO No. 183 tentang Perlindungan Maternitas (2000), Undang-undang Ketenagakerjaan No. 13/2003 pasal 82, 83, 84, dan Undang-Undang-undang Jamsostek No. 3/1992.

Buruh perempuan terutama buruh perempuan yang sedang hamil, yang bekerja di sektor industri rentan menjadi korban eksploitasi. Maka, jika terjadi pengabaian terhadap perlindungan maternitas, diasumsikan akan berdampak pada kesehatan ibu dan anak yang buruk hingga pada kematian. Kondisi dimana perusahaan mengabaikan perlindungan maternitas, maka diasumsikan telah terjadi pelanggaran terhadap undang Ketenagakerjaan No.13/2003 dan Undang-undang Jamsostek. Dalam kondisi-kondisi yang demikian diasumsikan telah terjadi diskriminasi terhadap buruh perempuan.

Oleh karena itu buruh perempuan perlu mendapatkan perlindungan kesehatan, terutama kesehatan reproduksinya. Buruh perempuan yang hamil perlu mendapatkan perlindungan maternitas, yakni perlindungan pada saat dia mulai hamil, melahirkan dan menyusui. Buruh perempuan yang hamil juga perlu mendapatkan hak cuti yang dibayar, dalam rangka melindungi janin dan bayi yang dilahirkannya, dan kembali bekerja dengan posisi dan upah yang sama seperti ketika dia belum mengambil cuti melahirkan. Untuk mendapatkan haknya, buruh perempuan, Serikat Buruh, LSM dan pengambil kebijakan perlu memperjuangkan agar Indonesia meratifikasi KILO No. 183 (Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) No. 183) tentang Perlindungan Maternitas.

(4)

‘dihentikan ketika mereka menjadi hamil’1. Beberapa faktor yang melatar-belakanginya adalah tidak adanya kepastian hukum.

Sejak pertama kali diadopsi tahun 1919, Indonesia belum pernah meratifikasi Konvensi ILO tentang perlindungan maternitas. Inilah yang menyebabkan pemahaman masyarakat Indonesia menjadi kurang. Demikian pula pemahaman buruh perempuan di Indonesia yang masih kurang terhadap isu perlindungan maternitas. Pemahaman mereka terhadap perlindungan maternitas hanyalah sebatas pada periode cuti melahirkan dan hak atas upah selama cuti melahirkan. Padahal pemahaman perlindungan maternitas lebih luas dari itu, misalnya terjadinya pemecatan terhadap buruh perempuan yang hamil dan berubahnya status kerja mereka dari buruh tetap menjadi buruh kontrak, dan dengan demikian upah mereka tetap rendah; terjadinya pembagian kerja berdasarkan gender; tidak diimplementasikannya kesehatan dan keselamatan kerja (K3) dengan standar internasional; serta kewajiban buruh untuk melaksanakan program keluarga berencana. Kesemua contoh ini semakin menunjukkan telah terjadi eksploitasi, baik eksploitasi kapitalis maupun eksploitasi patriarki terhadap buruh perempuan, terutama buruh perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui.

Bagi buruh perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui, praktek-praktek yang dilakukan oleh beberapa perusahaan telah mengakibatkan kerugian secara fisik maupun materi. Sedangkan bagi bayi, kerugian yang dideritanya adalah kehilangan hak asasinya untuk mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan penuh. Atau dengan kata lain, kekejaman tidak adanya perlindungan maternitas terhadap bayi adalah merampas hak asasinya untuk mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan penuh.

Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) merupakan merupakan badan PBB yang bertugas memajukan kesempatan bagi laki-laki dan perempuan untuk memperoleh pekerjaan yang layak dan produktif dalam kondisi yang merdeka, setara, aman, bermartabat. Tujuan-tujuan utama ILO ialah mempromosikan hak-hak kerja, memperluas kesempatan kerja yang layak, meningkatkan perlindungan sosial, dan memperkuat dialog dalam menangani berbagai masalah terkait dengan dunia kerja2. Organisasi ini memiliki 183 negara anggota dan bersifat unik di antara badan-badan PBB lainnya karena struktur tripartit yang dimilikinya menempatkan pemerintah,

1 http://www.icem.org/en/71-Gender-Issues/4287-100th-Anniversary-of-International-Women’s-Day diakses 20 Mei 2013

(5)

organisasi pengusaha dan serikat pekerja/buruh pada posisi yang setara dalam menentukan program dan proses pengambilan kebijakan.

Standar-standar ILO berbentuk Konvensi dan Rekomendasi ketenagakerjaan internasional. Konvensi ILO merupakan perjanjian-perjanjian internasional, tunduk pada ratifikasi negara-negara anggota. Rekomendasi tidak bersifat mengikat— kerapkali membahas masalah yang sama dengan Konvensi yang memberikan pola pedoman bagi kebijakan dan tindakan nasional. Hingga akhir 2009, ILO telah mengadopsi 188 Konvensi dan 199 Rekomendasi yang meliputi beragam subyek: kebebasan berserikat dan perundingan bersama, kesetaraan perlakuan dan kesempatan, penghapusan kerja paksa dan pekerja anak, promosi ketenagakerjaan dan pelatihan kerja, jaminan sosial, kondisi kerja, administrasi dan pengawasan ketenagakerjaan, pencegahan kecelakaan kerja, perlindungan kehamilan dan perlindungan terhadap pekerja migran serta kategori pekerja lainnya seperti para pelaut, perawat dan pekerja perkebunan. Lebih dari 7.300 ratifikasi Konvensi-konvensi ini telah terdaftar. Standar ketenagakerjaan internasional memainkan peranan penting dalam penyusunan peraturan, kebijakan dan keputusan nasional.

B. Perumusan Masalah

(6)

Bab II

Tinjauan Pustaka

A.

Perjanjian Internasional

Pengertian perjanjian internasional sangat beraneka ragam. Hal ini karena banyak ahli ketatanegaraan dan sarjana hukum internasional yang memberikan definisi dengan sudut pandang atau tinjauan yang berbedabeda. Beberapa pendapat tentang definisi dan batasan perjanjian internasional seperti berikut.

a. Mochtar Kusumaatmadja, ahli hukum internasional, mendefinisikan perjanjian internasional sebagai berikut. “Perjanjian internasional adalah perjanjian yang diadakan antara anggota masyarakat bangsa-bangsa dan bertujuan untuk mengakibatkan hukum tertentu.”

b. Oppenheim dan H. Lauterpacht, ahli kenegaraan dari Amerika, memberi batasan hukum internasional sebagai berikut. ”Perjanjian internasional adalah konvensi atau kontrak antardua negara atau lebih mengenai beberapa macam kepentingan”.

c. Batasan perjanjian internasional dalam Konvensi Wina Tahun 1986 terdapat dalam pasal 2 ayat (1a) sebagai berikut. “Perjanjian internasional berarti suatu persetujuan internasional yang diatur dengan hukum internasional dan ditandatangani dalam bentuk tertulis, baik antarsatu negara atau lebih maupun antarorganisasi internasional”.

(7)

B. Konsep Gender dalam Kaitannya dengan Maternitas

Gender menurut Mansour Fakih dalam bukunya “Analisis Gender dan Transformasi Sosial” adalah suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural. Atau dengan kata lain, gender adalah atribut sosial terhadap sifat-sifat maskulinitas dan femininitas. Adat, tradisi, kebudayaan, agama, kelas, kasta, ras, media dan sebagainya yang menentukan bagaimana perempuan dan laki-laki berperilaku. Gender adalah perilaku yang dipelajari dan berbeda dengan seks atau jenis kelamin. Jadi, identitas laki-laki dan perempuan dibangun oleh masyarakat yang didasarkan pada karakteristik biologis. Jadi, gender dibangun secara sosial.

Buku tersebut menjelaskan bahwa berdasarkan identitas gender, berbagai peran gender dan pembagian kerja berdasarkan gender dibedakan untuk laki-laki dan perempuan. Masyarakat mengorganisasi dan melegitimasi peran yang dimainkan oleh laki-laki dan perempuan maupun menentukan tugas-tugas yang mereka tampilkan. Peran dan tugas-tugas gender ditampilkan oleh perempuan dan laki-laki yang juga menentukan hubungan kekuasaan yang ada diantara mereka.

Peran reproduktif yang berhubungan dengan masalah keluarga biasanya produktif, yakni mencari nafkah. Tetapi beberapa perempuan yang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk melakukan peran-peran domestik tidak menghasilkan pendapatan atau penghargaan yang sama dengan laki-laki, sehingga produktivitas perempuan menjadi tidak atau kurang bernilai di masyarakat.

(8)

khususnya industri dimana laki-laki dan perempuan bekerja, dan dimana tingkat upah antara laki-laki dan perempuan relatif dapat diterima.

Di dalam buku tersebut juga dijelaskan bahwa di sebagian besar negara, dimana masyarakatnya didominasi oleh laki-laki dan dimana negara mengontrol peran-peran reproduktif perempuan, negara juga memainkan peranan yang berarti dalam memperkuat pembagian kerja berdasarkan gender.

Sebagai perempuan yang memasuki pasar tenaga kerja untuk mendapatkan uang, ini artinya mereka melakukan peran produktif. Tetapi mereka juga tidak mengabaikan peran-peran reproduktif, sehingga mereka tidak dapat mendedikasikan dirinya secara penuh dalam peran-peran reproduktif mereka. Tenaga kerja perempuan, dengan demikian dipandang memiliki nilai kurang dan dianggap inferior dibanding laki-laki.

C. Peraturan Nasional Tentang Perlindungan Maternitas dalam Dunia Kerja

Jika memperhatikan keadaan hukum kerja di zaman prakemerdekaan, tentunya dapat diperkirakan bagaimana riwayat kesehatan kerja ini. Perbudakan, perhambaan, rodi, dan poenale sanksi yang mewarnai hubungan kerja di zaman itu menunjukkan pula kurangnya perhatian pemerintah Hindia Belanda akan kesehatan kerja3. Hal yang dicari pada saat itu adalah pengeksplotasian tenaga kerja secara penuh demi kepentingan pihak penjajah, sedangkan kepentingan tenaga kerja tidak diperhatikan sama sekali. Di Indonesia secara historis peraturan keselamatan dan kesehatan kerja (K3) telah ada sejak pemerintahan Hindia Belanda. Setelah kemerdekaan dan diberlakukannya Undang-undang Dasar 1945, maka beberapa peraturan termasuk peraturan keselamatan kerja yang pada saat itu berlaku yaitu Veiligheids Reglement telah dicabut dan diganti dengan Undag-undang Keselamatan Kerja No.1 Tahun 19704.

Setelah kemerdekaan pula yang pertama-tama menjadi perhatian pemerintah adalah masalah kesehatan kerja. Sewaktu Indonesia masih berbentuk serikat beribu kota di Yogyakarta pada tannga 20 April 1948 mengundangkan Undang-undang No.12 Tahun 1948 tentang kerja. Setelah Indonesia berbentuk Negara kesatuan UU No.12 tahun 1948 ini di berlakukan ke seluruh wilayah Indonesia dengan UU No.2 Tahun 1951. Undang-undang pokok kerja ini memuat aturan dasar mengenai5:

3 Zaeni, Asyhadie. 2007. Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta : Raja Grafindo. hlm. 80

4 Website Departemen Tenaga Kerja

(9)

1. Pekerjaan anak

2. Pekerjaan orang muda 3. Pekerjaan wanita

4. Waktu kerja, istirahat, dan mengaso

5. Tempat kerja dan perumahan buruh, untuk semua pekerjaan tidak membeda-bedakan tempatnya, misalnya di bengkel, di pabrik, di rumah sakit, di perusahaan pertanian, perhubungan, pertambangan, dan lain-lain.

Sejak pertama terbit, Undang-undang Tenaga Kerja Indonesia sudah berbicara masalah hak dan kesehatan reproduksi buruh perempuan. Salah satunya adalah mengenai perlindungan maternitas. Undang-undang Tenaga Kerja pertama mengenai perlindungan maternitas adalah UU No. 12 / 1948 pasal 13 ayat (2), (3) dan (4).

1. Ayat (2) berisi tentang periode cuti melahirkan selama tiga bulan (satu setengah bulan sebelum saatnya menurut perhitungan akan melahirkan dan satu setengah bulan setelah melahirkan anak atau gugur kandungan).

2. Ayat (3) berisi tentang waktu istirahat yang dapat diperpanjang selama tiga bulan jika menurut keterangan dokter diperlukan.

3. Ayat (4) berisi tentang kesempatan bagi buruh perempuan untuk menyusukan anaknya selama jam kerja.

Undang-undang Tenaga Kerja kedua, yakni UU RI No. 22 / 1957 juga memperhatikan masalah perlindungan maternitas yang dituangkan di dalam pasal 86 huruf (d); pasal 99; pasal 101; pasal 104 ayat (2), (3), (4), (5) dan (6); pasal 105; ayat (1) dan (2); sanksi bagi pelanggarnya tercantum dalam pasal 180 huruf (c); pasal 183 huruf a, b, c, dan d. Untuk lebih jelasnya, berikut adalah pasal-pasal yang memuat mengenai perlindungan maternitas6:

1. Pasal 86 huruf d berisi tentang larangan kepada pengusaha memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja yang menikah, hamil, melahirkan atau gugur kandungan.

2. Pasal 99 berisi tentang larangan mempekerjakan perempuan hamil dan/atau menyusui pada waktu tertentu, seperti malam hari untuk menjaga kesehatan dan keselamatannya.

3. Pasal 101 berisi tentang pengaturan lebih lanjut mengenai perempuan hamil.

(10)

4. Pasal 104 ayat (2) berisi tentang hak buruh perempuan untuk mendapatkan kesempatan menyusui bayinya pada jam kerja.

5. Pasal 104 ayat (3) berisi tentang periode cuti melahirkan (satu bulan sebelum saatnya menurut perhitungan dokter / bidan melahirkan anak dan dua bulan sesudah melahirkan).

6. Pasal 104 ayat (4) berisi tentang waktu yang diberikan untuk buruh perempuan yang mengalami gugur kandungan adalah selama satu setengah bulan.

7. Pasal 104 ayat (5) berisi tentang waktu perpanjangan istirahat selama tiga bulan jika dalam suatu keterangan dokter dinyatakan bahwa hal itu perlu untuk menjaga kesehatannya.

8. Pasal 104 ayat (6) berisi tentang ketentuan pelaksanaan waktu istirahat bagi buruh perempuan yang diatur oleh Menteri.

9. Pasal 105 ayat (1) berisi tentang fasilitas bagi buruh perempuan yang menyusui bayinya.

10. Pasal 105 ayat (2) berisi tentang ketentuan mengenai fasilitas untuk menyusui bayi yang diatur oleh Menteri.

11. Pasal 180 huruf (c) berisi tentang sanksi bagi perusahaan yang mempekerjakan buruh perempuan hamil dan / atau menyusui pada malam hari.

12. Pasal 183 berisi tentang sanksi bagi perusahaan yang tidak memberikan kesempatan menyusukan bayinya pada jam kerja, tidak memberi istirahat kepada buruh perempuan sebelum dan/atau sesudah melahirkan, tidak memberikan istirahat kepada buruh perempuan yang mengalami gugur kandungan, dan tidak memberikan perpanjangan istirahat kepada buruh perempuan sebelum saat melahirkan anak.

Undang-undang Tenaga Kerja ketiga yang merevisi undang-undang sebelumnya adalah Undang-undang Ketenaga-kerjaan No. 13 / 2003. Masalah perlindungan maternitas diatur di dalam pasal 76 ayat (2); pasal 82 ayat (1) dan (2); pasal 83, pasal 84 dan pasal 153 huruf (e).

Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pasal demi pasal mengenai perlindungan maternitas sebagai berikut:

(11)

2. Pasal 82 ayat (1) berisi tentang periode cuti melahirkan (satu setengah bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan satu setengah bulan setelah melahirkan anak).

3. Pasal 82 ayat (2) berisi tentang istirahat gugur kandungan selama satu setengah bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan. 4. Pasal 83 berisi tentang hak buruh perempuan menyusui.

5. Pasal 84 berisi tentang upah yang berhak diperoleh secara penuh oleh buruh perempuan selama menyusui.

6. Pasal 153 huruf (e) berisi tentang larangan pemutusan hubungan kerja kepada buruh perempuan yang hamil, melahirkan, gugur kandungan dan menyusui.

Dari ketiga Undang-undang Ketenagakerjaan tersebut dapat dilihat bahwa: pertama, UUK II paling banyak dan lengkap membahas perlindungan maternitas. Kedua, UUK I hanya berisi tiga aspek yang berkaitan dengan perlindungan maternitas, yakni: periode cuti melahirkan, perpanjangan cuti melahirkan dan kesempatan menyusui. Sedangkan UUK II mencakup hampir semua aspek secara detil, yakni: larangan pemutusan hubungan kerja terhadap buruh perempuan hamil, melahirkan dan gugur kandungan; larangan mempekerjakan buruh perempuan hamil dan/atau menyusui pada waktu tertentu / malam hari; hak menyusukan bayinya selama jam kerja; periode cuti melahirkan; waktu istirahat untuk buruh perempuan yang mengalami gugur kandungan; perpanjangan istirahat / cuti melahirkan; fasilitas untuk buruh perempuan yang menyusui bayinya di tempat kerja serta sanksi-sanksi bagi pelanggarnya. Sementara UUK III berisi 6 aspek, yakni: larangan mempekerjakan buruh perempuan hamil pada malam hingga pagi hari; periode cuti melahirkan; istirahat gugur kandungan; hak buruh perempuan untuk menyusui bayinya di tempat kerja; hak buruh perempuan memperoleh upah penuh selama menyusui dan larangan pemutusan hubungan kerja kepada buruh perempuan yang hamil, melahirkan, gugur kandungan dan menyusui.

(12)

memberikan waktu selama satu setengah bulan bila terjadi gugur kandungan. Demikian pula pada UUK ketiga, menentukan waktu istirahat selama satu setengah bulan bila terjadi gugur kandungan. Waktu perpanjangan istirahat sebelum melahirkan pada UUK pertama ditentukan selama tiga bulan. Demikian pula pada UUK kedua adalah tiga bulan.

Keempat, dari ketiga UUK tersebut tidak ada satupun yang menyinggung masalah pemindahan buruh perempuan hamil ke tempat yang jenis pekerjaannya lebih ringan dan masalah diskriminasi, yang berkaitan dengan hak buruh perempuan untuk kembali bekerja pada posisi dan upah yang sama setelah cuti melahirkan.

Dari hasil penelitian tersebut dapat dilihat bahwa UUK kedua (UU RI No. 22 / ’57) mengalami kemajuan setelah UUK pertama (UU RI No. 12 / ’48) mengalami revisi. Namun setelah mengalami revisi untuk kedua kalinya, UUK ketiga (UUK No. 13 / 2003) mengalami kemunduran dalam hal melindungi kepentingan buruh perempuan dan merupakan UUK yang paling tidak melindungi kepentingan buruh perempuan.

D. Tinjauan Umum Mengenai Konvensi tentang Perlindungan Maternitas (2000)

Adanya Konvensi ILO No. 183 tentang Perlindungan Maternitas (2000) adalah karena beberapa alasan. Pertama, kebutuhan buruh perempuan akan perlindungan kesehatan reproduksi, terutama perlindungan maternitas, yakni perlindungan sejak buruh perempuan pertamakali diketahui hamil, melahirkan dan menyusui. Kedua, kebutuhan akan keadilan dan penghapusan diskriminasi di tempat kerja. Ketiga, kebutuhan untuk memperbaiki kualitas fisik dan mental bayi yang dikandung dan dilahirkannya sebagai generasi penerus.

(13)

juga mengenai ketentuan yang menyediakan untuk istirahat menyusui pada waktu yang dibayar, dihitung sebagai waktu kerja. Dalam hal kesehatan juga dianjurkan untuk mendapatkan sertifikat medis untuk memenuhi syarat agar mendapatkan istirahat menyusui, agar tidak ada kesulitan bagi wanita jika menggunakan akses dokter.

Namun Konvensi ILO No. 183 ini juga memiliki ketidakjelasan terkait dengan perlindungan perempuan dari pemecatan karena alasan apapun selain cuti hamil. Konvensi ILO No. 183 memberikan perlindungan lebih lama, tetapi memungkinkan pemecatan karena alasan yang tidak terkait dengan kehamilan. Lamanya hak wanita untuk istirahat menyusui diserahkan kepada hukum dan praktek nasional. Sebelumnya tidak ada durasi yang ditentukan.

(14)

A. Keuntungan Keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi tentang Perlindungan

Maternitas (2000)

Konvensi tentang Perlindungan Maternitas (2000) pada dasarnya sangat berkaitan dengan Konvensi Perserikatan Bangsa Bangsa tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (The United Nations Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women - CEDAW) adalah kunci dari keseluruhan instrumen PBB untuk mempromosikan kesetaraan gender. Konvensi ini diadopsi pada tahun 1979 untuk memerangi diskriminasi yang masih terus berlangsung terhadap perempuan sebab instrumen hak asasi manusia (HAM) terdahulu lebih merefleksikan perspektif dan perhatian laki-laki. CEDAW mengidentifikasi banyak wilayah yang dikenal banyak terdapat diskriminasi terhadap perempuan, sebagai contoh dalam hal hak politik, perkawinan dan keluarga serta pekerjaan.

Konvensi tersebut menyebutkan tujuan jangka panjang yang spesifik dan menetapkan langkah yang harus dilakukan untuk memfasilitasi terciptanya sebuah masyarakat global di mana perempuan menikmati kesetaraan dengan laki-laki, dan karenanya, realisasi hak asasi mereka terjamin secara sepenuhnya.

Kesehatan reproduksi merupakan hak perempuan. Salah satu bentuk hak reproduksi adalah perlindungan maternitas perempuan pekerja atau buruh perempuan. Perlindungan maternitas perempuan pekerja yang diterbitkan ILO dalam bentuk Konvensi No. 183 / 2000 dan Rekomendasi No. 191 / 2000 dibutuhkan untuk mencegah terjadinya diskriminasi terhadap pekerja perempuan, seperti yang ditegaskan dalam pasal 11 (f) CEDAW. Perlindungan maternitas juga dibutuhkan untuk melindungi kesehatan perempuan dan janin yang dikandungnya dan / atau bayi yang dilahirkan dan disusuinya dari kondisi kerja yang tidak aman (berbahaya) dan tidak sehat.

Keuntungan keikutsertaan Indonesia dalam Konvensi ini juga sebagai tambahan untuk hak-hak mendasar perempuan di tempat kerja seperti yang telah dijelaskan di depan, dua standar internasional ketenagakerjaan lainnya penting untuk mengatasi diskriminasi yang terjadi secara luas dan karenanya merupakan hambatan utama bagi para pekerja perempuan :

(15)

2) Pemberian kesempatan yang sama untuk pekerja dengan tanggung jawab keluarga yakni tugas-tugas reproduktif di masyarakat di mana di banyak masyarakat hampir semuanya diberikan kepada perempuan dan anak perempuan.

Bagian ini akan menguraikan implementasi perlindungan maternitas pada fase kehamilan (sebelum melahirkan), ketika melahirkan (cuti melahirkan) dan setelah melahirkan dengan berpedoman pada Konvensi ILO No. 183 / 2000 dan Rekomendasi ILO No. 191 / 2000.

1. Fase Kehamilan (Sebelum Melahirkan):

Konvensi ILO No. 183 / 2000 pasal 3 berbicara tentang perlindungan kesehatan, bahwa perempuan hamil dan menyusui tidak harus melakukan pekerjaan yang telah ditentukan oleh penguasa berwenang yang merugikan kesehatan ibu dan anak, atau dimana penilaian telah ditetapkan risiko signifikan bagi kesehatan ibu dan anaknya.

Rekomendasi No. 191 / 2000 pasal 6 pada intinya menyatakan bahwa perempuan hamil dapat dipindahkan ke jenis pekerjaan yang lebih ringan untuk menghindari bahaya atau risiko terhadap ibu dan bayinya. Sementara itu, di Indonesia UUK No. 13 / 2003 pasal 76 ayat (2) pada intinya melarang pengusaha mempekerjakan buruh perempuan hamil yang akan membahayakan kesehatan dan keselamatan dirinya dan kandungannya. Sementara peraturan perusahaan tidak mengatur mengenai hal ini.

2. Cuti Melahirkan

Konvensi ILO No. 183 / 2000 menetapkan periode cuti melahirkan selama 14 minggu atau 3,5 bulan. Sementara itu Rekomendasi ILO No. 191 / 2000 menetapkan periode cuti melahirkan selama 18 minggu atau 4,5 bulan. UUK No. 13 / 2003 masih menetapkan periode cuti melahirkan selama 3 bulan.

(16)

mereka memiliki cukup waktu untuk menyusui dan mengasuh bayi mereka. Mereka tidak tahu bahwa mereka memiliki hak menyusui pada jam kerja dengan tetap memperhitungkan waktu menyusui itu sebagai jam kerja. Artinya, jika buruh perempuan sudah bekerja kembali tetapi harus menyusui, maka waktu menyusui mereka tetap dibayar.

3. Setelah Melahirkan

Konvensi ILO No. 183 / 2000 pasal 8 dan Rekomendasi ILO No. 191 / 2000 pasal 5 pada intinya merupakan larangan terhadap terjadinya diskriminasi terhadap buruh perempuan yang bekerja kembali setelah cuti melahirkan. Buruh perempuan yang bekerja kembali setelah cuti melahirkan berhak menduduki kembali posisinya dan mendapatkan upah yang sama dengan upah ketika sebelum cuti melahirkan.

4. Masa Menyusui

Konvensi ILO No. 183 / 2000 pasal 10 dan Rekomendasi ILO No. 191 / 2000 pasal 8 dan 9 berisi tentang ibu menyusui, bahwa pekerja atau buruh perempuan yang sedang menyusui berhak menggunakan jam kerjanya untuk menyusui, minimal satu jam sehari dengan tetap mendapat upah. Di Indonesia, masalah menyusui diatur di dalam UUK No. 13 / 2003 pasal 83 dan 84.

5. Jam Kerja dan Kerja Lembur

Konvensi ILO No. 183 / 2000 pasal 3 dan Rekomendasi ILO No. 191 / 2000 pasal 6 berbicara tentang perlindungan kesehatan bagi pekerja / buruh perempuan hamil dan menyusui. Pada UUK No. 13 / 2003 pasal 76 ayat (2) lebih khusus lagi berbicara tentang larangan kerja malam bagi perempuan hamil, Peraturan Perusahaan tidak mengatur mengenai hal tersebut.

Peraturan mengenai jam kerja dan kerja lembur bagi buruh perempuan hamil sangat dibutuhkan, karena perempuan hamil mengalami perubahan pola tidur yang disebabkan terjadinya perubahan pada beberapa bentuk tubuh. Hal ini menyebabkan fisik perempuan menjadi cepat lelah. Itulah sebabnya perempuan hamil tidak boleh bekerja terlalu letih.

(17)

Konvensi ILO No. 183 / 2000 pasal 3 berisi tentang jenis pekerjaan yang tidak wajib dilakukan oleh buruh perempuan hamil dan menyusui. Rekomendasi ILO No. 191 / 2000 pasal 6 ayat 2 (a), (b) dan (c), ayat 3 dan ayat (4) berisi tentang pemindahan buruh perempuan hamil ke tempat-tempat yang jenis pekerjaannya lebih ringan.

Pada fase ini sangat sulit jika perempuan hamil membawa barang berat, karena beban tidak dapat diangkat oleh tubuh. Oleh karena itu, jenis pekerjaan seperti mengangkat barang berat, mendorong-dorong gerobak yang berat harus dihindari, karena perempuan yang melakukan pekerjaan berat di akhir kehamilannya akan membutuhkan pemulihan yang lebih panjang setelah kelahiran bayinya.

7. Waktu Menyusui

Masalah ibu menyusui diatur dalam Konvensi ILO No. 183 / 2000 pasal 10, Rekomendasi No. 191 / 2000 pasal 8 dan 9. Di Indonesia, masalah menyusui diatur di dalam UUK No. 13 / 2003 pasal 83 dan 84.

8. Keguguran

Bagi pekerja wanita yang mengalami keguguran kandungan berhak untuk istirahat 1,5 (satu setengah) bulan sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan. Selama menjalankan istirahat/cuti pekerja tetap berhak menerima upah atau gaji penuh. Pasal 85 Undang-undang No.13 tahun 2003 menentukan beberapa hal lain yang berkaitan dengan cuti/libur :

1. pekerja/buruh tidak wajib bekerja pada hari-hari libur resmi

2. pengusaha dapat mempekerjakan pekerja/buruh untuk bekerja pada hari-hari libur resmi apabila jenis dan sifat pekerjaan harus dilaksanakan tau dijalankan secara terus menerus atau pada keadaan lain berdasarkan kesepakatan antara pekerja/buruh dengan pengusaha.

3. pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh yang melakukan pekerjaan pada hari libur resmi sebagaimana dimaksud wajib membayar upah kerja lembur.

(18)

Pada dasarnya dari beberapa undang-undang yang mengatur tentang Maternitas di Indonesia sudah memiliki keselarasan dengan Konvensi tentang Perlindungan Maternitas (2000). Akan tetapi belum adanya pengaturan mendasar dari pemerintah menyebabkan adanya aturan-aturan yang kabur dalam menguraikan implementasi perlindungan maternitas di mulai dari fase kehamilan (sebelum melahirkan) hingga setelah melahirkan.

B. Tantangan Indonesia dalam Konvensi tentang Perlindungan Maternitas (2000)

Hak asasi manusia yang diuraikan dalam deklarasi-deklarasi dan konvensi internasional berlaku untuk siapa saja dan pemerintah tidak dapat menyangkal hak-hak ini bagi warganegaranya tanpa alasan. Namun, penerapan dari hak-hak asasi manusia yang tertera dalam peraturan internasional dan nasional sering problematik karena hak-hak hanya dapat dipenuhi jika terdapat perangkat perbaikan (remedy) misalnya sebuah undang-undang, peraturan hukum atau prosedur dan sistem hukum yang berjalan (pengadilan dan perangkat penerapannya). Hal ini menjadi masalah di banyak negara. Salah satu dari mekanisme baru yang melindungi kelompok rentan dalam arti melindungi hak asasi mereka adalah dengan dibentuknya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia di banyak negara.

Kadang-kadang terdapat konflik kepentingan dalam menghormati hak. Sebagai contoh, ‘hak untuk berkembang’ dan ‘bebas dari kemiskinan’ untuk seluruh warganegara, tidak dapat dipenuhi oleh banyak pemerintah karena perbedaan politik dari banyak pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pemerintahan tersebut serta kurangnya kesadaran dan ketrampilan di antara kelompok marjinal tersebut untuk menyuarakan hak mereka. Hak asasi perempuan dan hak asasi anak yang terdapat dalam instrumen hak asasi manusia internasional dan hukum nasional seringkali dilanggar karena norma budaya dan sosial memberikan status yang lebih rendah bagi mereka dibandingkan dengan laki-laki.

(19)

buruh perempuan; mengimplementasikan pasal 11 CEDAW tentang penghapusan diskriminasi; dan meskipun Indonesia belum meratifikasi Konvensi ILO No. 183 / 2000 tentang perlindungan maternitas, hal ini perlu ditinjau ulang sebab mengimplementasikan Konvensi ILO No. 183 / 2000 sama dengan mengimplementasikan UUK No. 13 / 2003 dan UU Jamsostek No. 3 / 1992 tentang perlindungan terhadap buruh perempuan ketika hamil, melahirkan dan menyusui secara lebih universal.

Oleh karena itu sebagai bangsa besar yang ikut menjunjung HAM dan menghormati kaum perempuan, maka penting bagi buruh perempuan mendapatkan perlindungan kesehatan, terutama kesehatan reproduksinya. Buruh perempuan yang hamil perlu mendapatkan perlindungan maternitas, yakni perlindungan pada saat dia mulai hamil, melahirkan dan menyusui.

(20)

A. Kesimpulan

Beberapa hal penting yang dapat menguntungkan bagi Indonesia dengan meratifikasi KILO No. 183 (Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) No. 183) tentang Perlindungan Maternitas adalah untuk mempengaruhi kebijakan pemerintah dalam memperjuangkan hak-hak kolektif buruh, seperti hak perlindungan terhadap PHK, dalam konteks penelitian ini adalah PHK terhadap buruh perempuan hamil yang kemudian menjadi buruh kontrak. Bagi buruh perempuan, isu maternitas ini berdampak pada pembagian kerja mereka untuk menjalani kehidupan sehari-hari.

Bagi buruh perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui, ketidak adanya konvensi ini menimbulkan kerugian dari segi finansial karena harus keluar dari pekerjaan dan masuk kembali dengan status baru sebagai buruh kontrak dengan upah yang tetap rendah. Dengan dipecatnya buruh perempuan yang hamil, dia tidak memiliki penghasilan dan akan membuatnya tetap miskin. Kalaupun dia kembali bekerja sebagai buruh kontrak dengan upah yang rendah, mereka tidak dapat memenuhi kebutuhan gizi yang diperlukan untuk merawat kesehatan dirinya dan janin yang dikandungnya dan untuk mempersiapkan kelahiran bayinya.

Untuk memenuhi segala kebutuhan, buruh perempuan yang hamil dan menyusui bersedia bekerja dengan jam kerja yang panjang dengan kondisi kerja yang tidak memenuhi standar K3. Akibatnya, mereka melahirkan bayi dengan berat badan yang kurang atau keadaan bayi yang kurang sehat. Dan, akibat bagi buruh perempuan yang menyusui, mereka tidak memiliki waktu untuk menyusui bayinya di rumahnya. Selama bekerja dengan jam kerja yang panjang di pabrik (mereka tidak tahu bahwa mereka memiliki hak menyusui bayi dengan tetap mendapat upah).

B. Saran

(21)

buruh perempuan dan perlindungan maternitas serta jaminan atau tunjangan-tunjangan yang menjadi hak buruh perempuan yang hamil, melahirkan dan menyusui. Maka sangat direkomendasikan bahwa buruh perempuan mendapatkan waktu kerja yang fleksibel dan cuti menyusui, disamping cuti hamil dan melahirkan. Badan Kesehatan Dunia menganjurkan bayi mendapatkan ASI eksklusif selama enam bulan. Maka sangat direkomendasikan pula bahwa buruh perempuan mendapat cuti menyusui adalah selama enam bulan. Cuti hamil (tiga bulan pada fase pertama kehamilan), melahirkan dan menyusui perlu didukung hukum positif.

DAFTAR PUSTAKA

(22)

Prinst, Darwis. 1994.

Hukum Ketenagakerjaan Indonesia

. Bandung: PT Citra Aditya

Bakti.

Soepomo, Iman. 2003.

Pengantar Hukum Perburuhan

. Jakarta: Djambatan.

Soepomo, Iman. 1988.

Hukum Perburuhan bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan

Hukum)

. Jakarta: Djambatan.

Zaeni, Asyhadie. 2007. Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta : Raja Grafindo.

Dokumen-dokumen:

Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita, 2000.

Konvensi ILO No. 183 tentang Perlindungan Maternitas

Konvensi Wina Tahun 1986

Undang-undang No. 1/1970 tentang Keselamatan Kerja

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional

Undang-undang Republik Indonesia No. 3 / 1992 tentang Jaminan Sosial Tenaga Kerja

Undang-undang No. 12/1948 tentang Ketenagakerjaan Republik Indonesia.

Undang-undang Republik Indonesia No. 25/1997 tentang Tenaga Kerja Indonesia.

Undang-undang Ketenaga-kerjaan No. 13 / 2003.

Referensi

Dokumen terkait

16 Alfyah S.Pd D Bahasa Inggris Kepala SMP 3 Sewon, 5 Endang Sri utami, S.Pd.. 17 Tyas

Untuk proses yang lebih cepat dalam mencari parameter pada citra data masukan, citra masukan awal akan di ubah ukurannya dengan proses resize image dari

Penggunaan kode konvolusi pada sistem Parallel Interference Cancellation Multipengguna aktif Detection melalui kanal flat Rayleigh Fading dengan modulasi QPSK akan

Kawasan Hutan Lindung Nanggala berpotensi untuk dikembangkan program sosial forestry melalui penggalian potensi sumber daya alam melalui peningkatan kualitas dan

Berdasarkan hasil analisis fasies tersebut dapat diketahui bahwa di daerah penelitian merupakan lingkungan pengendapan delta pada zona Transitional Lower Delta

Alasan yang bersifat yuridis dari penundaan tersebut adalah kebijakan presiden yang berlandaskan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2006 tentang Bantuan Timbal Balik

pemilik Home Industry Shasa yaitu dengan tingkat pendidikan yang tergolong tinggi pemilik mampu menciptakan sebuah inovasi yaitu dengan menciptakan hasil olahan

Adapun kewenangan jaksa dalam memulihkan kekayaan Negara yang dimaksud dalam judul penulisan ini adalah jaksa yang mempunyai wewenang dan tugas dalam bidang Perdata dan Tata