• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tinjauan dibatalkannya UU No.7 Tahun 200

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Tinjauan dibatalkannya UU No.7 Tahun 200"

Copied!
12
0
0

Teks penuh

(1)

Tinjauan dibatalkannya UU No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber

Daya Air oleh Mahkamah Konstitusi. Serta kaitannya dengan

disahkannya UU No.37 Tahun 2014 Tentang Konservasi Tanah

dan Air.

PENDAHULUAN

UU No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air ini dikeluarkan untuk menggantikan UU No.11 Tahun 1974 Tentang Pengairan. Adapun yang menjadi bahan pertimbangan dikeluarkannya Undang-Undang ini dijelaskan pada butir a hingga e konsideran ‘Menimbang’ pada UU No.7 Tahun 2004 tersebut. Yang berbunyi sebagai berikut:

a. Bahwa sumber daya air merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan manfaat untuk mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dalam segala bidang;

b. Bahwa dalam menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang cenderung menurun dan kebutuhan air yang semakin meningkat, sumber daya air wajib dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan ekonomi secara selaras;

c. Bahwa pengelolaan sumber daya air perlu diarahkan untuk mewujudkan sinergi dan keterpaduan yang harmonis antarwilayah, antarsektor, dan antargenerasi;

d. Bahwa sejalan dengan semangat demokratisasi, desentralisasi, dan keterbukaan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, masyarakat perlu diberi peran dalam pengelolaan sumber daya air;

e. Bahwa Undang-undang Nomor 11 Tahun 1974 tentang Pengairan sudah tidak sesuai dengan tuntutan perkembangan keadaan, dan perubahan dalam kehidupan masyarakat sehingga perlu diganti dengan undang-undang yang baru.

Ditjen Sumber Daya Air pada Lokakarya di Bali 2 Oktober 2003 yang bertajuk Peran Budaya Lokal Dalam Menunjang Sumber Daya Air Yang Berkelanjutan memaparkan beberapa alasan mengapa UU No.11/1974 perlu dirubah antara lain:

 Menyesuaikan dg pergeseran paradigma penyelenggaraan

pemerintahan: Sentralistik. Desentralistik & memberi peluang kepada masyarakat utk berperandalam pengelolaan SDA

(2)

 Penyeimbangan antara pengaturan untuk konservasi SDA dengan pengaturan pendayagunaan SDA

 Mengakomodasi penerapan prinsip-prinsip good governance, a.l demokratisasi, transparansi, akuntabilitas dlm pengelolaan SDA

 Mengantisipasi ekses perkembangan nilai ekonomis air (komersialisasi)

air yg semakin kuat

Namun pada gilirannya ketika UU No.7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air yang disahkan atas persetujuan bersama oleh DPR-RI dan Presiden RI banyak menuai penolakan oleh elemen masyarakat, baik yang mengatasnamakan organisasi kemasyarakatan maupun individu-individu masyarakat itu sendiri. Bahkan sebenarnya penolakan ini sudah dilakukan saat Undang-Undang ini ini masih berupa Rancangan Undang-Undang (RUU).

Seperti yang dapat kita baca dalam beberapa link berita berikut ini: 1. RUU Sumber Daya Air ditolak di Semarang:

http://news.liputan6.com/read/63728/ruu-sumber-daya-air-ditolak-di-semarang

2. Pernyataan Sikap Bersama "Menolak Privatisasi dan Komersialisasi Sumberdaya Air Serta Campur Tangan Asing Dalam RUU Sumberdaya Air”

http://permalink.gmane.org/gmane.org.region.indonesia.mahawarma n/577

3. Walhi Jawa Timur Tolak Privatisasi Air

http://www.balipost.co.id/balipostcetak/2003/9/23/n1.htm

4. Statemen menolak pengesahan RUU air dan undangan aksi http://osdir.com/ml/org.region.indonesia.mahawarman/2004-02/msg00095.html

(3)

komersialisasi air. UU ini dianggap mengandung muatan penggunaan air bagi kepentingan komersial sehingga air dinyatakan sebagai komoditas komersial tidak sejalan dengan amanat UUD RI 1945 khususnya pasal 33 ayat (2) dan ayat (3). “(2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara; (3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat”.

PERMOHONAN UJI MATERIEL PERTAMA

Pada Tahun 2004 dan 2005 beberapa elemen masyarakat pernah mengajukan uji materiel UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air ini. Hal ini dapat dilihat pada pemohon-pemohon berikut ini:

1. Pemohon dalam Perkara Nomor 058/PUU-II/2004:

Munarman, S.H., pekerjaan Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), alamat jalan Diponegoro No. 74, Jakarta, dkk, sebanyak 53 orang; terakhir Ahmad Frantagore, pekerjaan Wiraswasta, alamat Desa Air Dingin, Kecamatan Rimbo Pengadang Kabupaten RejangnLebong, Bengkulu

2. Pemohon dalam Perkara Nomor 059/PUU-II/2004:

Longgena Ginting, pekerjaan Ketua Yayasan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), alamat jalan Tegal Parang Raya Utara No.14 Jakarta 12790, dkk, sebanyak 16 orang; terakhir Henry Saragih, pekerjaan Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Petani Indonesia, beralamat di Jl. SMA No. 15A RT. 04/04 Dewi Sartika Jakarta Timur13640

3. Pemohon dalam Perkara Nomor 060/PUU-II/2004:

Zumrotun, pekerjaan petani, alamat Tandomulyo Rt.08/Rw.04, Kel. Tondomulyo, Kec. Jakenan, Kab. Pati, dkk, sebanyak 868 orang; terakhir Pdt. Serdy R. Pratastik, pekerjaan Pendeta, alamat Citra Indah Blok A.7 No.36, Sukamaju Jonggol

4. Pemohon dalam Perkara Nomor 063/PUU-II/2004:

Suta Widhya, pekerjaan Swasta, beralamat di Jl. Mangga No.16A Rt.4/5 Jakarta Timur

5. Pemohon dalam Perkara Nomor 008/PUU-III/2005:

(4)

P.Siburian, alamat Desa Serdang Kecamatan Beringin Deli Serdang Sumatera Utara

Seluruh pemohon mengajukan materi perkara yang sama yaitu Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Tetapi keputusan Anggota Majelis Mahkamah Konstitusi “Menolak permohonan Para Pemohon”. Dalam keputusan ini ada 2(dua) hakim yang memiliki Pendapat Berbeda (Dissenting Opinion) yaitu Hakim Konstitusi A. Mukthie Fadjar dan Maruarar Siahaan.

Sesungguhnya Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 058-059-060-063/PUU-II/2004 dan Putusan Nomor 008/PUU-III/2005 tersebut memberikan pedoman (guidance) bagaimana seharusnya UU No. 7 Tahun 2004 ditafsirkan dan dijalankan oleh pemerintah. Dalam kedua putusan tersebut, MK telah memberikan tafsir dan pendapat bahwa pemerintah mempunyai kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak masyarakat atas air. Untuk itu Pemerintah haruslah mengutamakan pemenuhan hak asasi atas air dibandingkan dengan kepentingan lain, karena hak asasi atas air adalah hak yang utama.

Hasil putusan Mahkamah Konstitusi tersebut ternyata tidak dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh pemerintah, yang pada prakteknya menimbulkan liberalisasi izin kepada swasta terutama perusahaan asing, baik itu berupa izin atas hak guna usaha air maupun izin pengusahaan sumber daya air yang menutup akses masyarakat terhadap air.

(5)

PERMOHONAN UJI MATERIEL KEDUA

Setelah diabaikannya Putusan Mahkamah Konstitusi No. 058-059-060-063/PUU-II/2004. dan Putusan No. 008/PUU-III/2005 terkait uji materiel UU Sumber Daya Air oleh pemerintah, maka mulailah beberapa elemen masyarakat kembali mengajukan Pengujian Undang-Undang No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Air terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Tercatat ada 11 Pemohon yang mengajukan kembali Uji Materiel UU No. 7 Tahun 2004 ini yaitu:

1. Pimpinan Pusat Muhammdiyah yang diwakili oleh Ketuanya Prof.DR.H.M. Din Syamsuddin, M.A

2. Al Jami’yatul Wasliyah, diwakili oleh Ketuanya Drs. HA. Aris Banadji

3. Solidaritas Juru Parkir, Pedagang Kaki Lima, Pengusaha dan Karyawan (SOJUPEK) diwakili oleh koordinatornya Lieus Sungkharisma

4. Perkumpulan Vanaprastha, diwakili oleh ketuanya Gembong Tawangalung

5. Drs. H. Amidhan, Warga Negara RI 6. Marwan Batubara, Warga Negara RI 7. Adhyaksa Dault, Warga Negara RI 8. Laode Ida, Warga Negara RI

9. M. Hatta Taliwang, Warga Negara RI

10. Rachmawati Soekarnoputri, Warga Negara RI 11. Drs. Fahmi Idris, M.H, Warga Negara RI

(6)

Pasal 49 ayat (1); Ketigabelas, Pasal 80; Keempatbelas, Pasal 91; dan Kelimabelas, Pasal 92 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3). Namun ketika sidang pendahuluan, majelis hakim memberikan nasehat agar PP Muhammadiyah selaku pemohon dapat memohon agar keseluruhan Pasal dalam UU No. 7 Tahun 2004 dibatalkan keseluruhannya atau dicabut, sehingga dalam perbaikan permohonan PP Muhammadiyah salah satu poinnya meminta pencabutan UU No. 7 Tahun 2004.

ALASAN PEMOHON MENGAJUKAN PERMOHONAN UJI MATERIL KEMBALI

Dalam isi putusan sidang No. 85/PUU-XI/2013 terdapat beberapa alasan pemohon untuk mengajukan Permohonan Pengujian Kembali UU No. 7 Tahun 2004 Tentang Sumber Daya Alam. Secara garis besar alasan-alasan tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Bahwa air adalah kebutuhan yang vital bagi kehidupan seluruh makhluk hidup dan oleh karenanya dibutuhkan pengaturan yang adil dalam hal peruntukkan dan penggunaannya.

2. Bahwa meskipun Mahkamah Konstitusi telah memberikan putusan terhadap UU No.7/2004 Tentang SDA melalui Putusan Mahkamah Konstitusi No. 058-059-060-063/PUU-II/2004. dan Putusan No. 008/PUU-III/2005, namun penjabaran terhadap putusan MK tersebut dipandang oleh pemohon tidak dijalankan sepenuhnya, ini terlihat dalam kelonggaran terhadap modal asing dalam melakukan pengelolaan terhadap sumber daya air.

Hal ini yang menjadi dalil atau landasan diperkenankannya kembali pengajuan uji materi terhadap UU No.7/2004 tentang SDA oleh Mahkamah Konstitusi.

Dalam amar putusan MK tersebut pada halaman 495 tertulis ,

(7)

tertutup kemungkinanuntuk diajukan pengujian kembali (conditionally constitutional)”.

3. Adanya fakta historis yang melatar belakangi terbentuknya UU No.7/2004 akibat tekanan pihak asing dalam hal ini Dana Moneter Internasional (IMF) karena kebutuhan pemerintah dalam hal pengucuran dana untuk menghadapi krisis yang dihadapi bangsa Indonesia saat itu. Sehingga ketika nota kesepahaman antara RI – IMF ditandatangani, ada sejumlah persyaratan yang dikaitkan dengan SDA dan lingkungan hidup, diantaranya berkaitan dengan konglomerasi dan pengaturan perdagangan.

4. Dalam kenyataanya telah terjadi pergeseran makna air yang sebelumnya merupakan barang publik berubah menjadi komoditas yang lebih mementingkan aspek ekonomi yang akhirnya berorientesi pada mencari keuntungan. Pergeseran makna ini terlihat dalam pengaturan mengenai hak guna air yang diberikan kepada swasta yang tampak dalam Pasal 9 ayat (1), Pasal 11 ayat (30 dan Pasal 14 UU No.7/2004 Tentang SDA.

Dalam arti UU ini mengandung muatan yang memposisikan bahwa air condong digunakan untuk kepentingan komersial.

5. UU No.7/2004 Tentang SDA mengandung muatan penguasaan dan monopoli sumber-sumber daya air yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dikuasi oleh negara dan diperguankan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

6. UU No.7/2004 Tentang SDA dianggap menghilangkan tanggung jawab negara dalam pemenuhan kebutuhan air. Pasal 9 ayat (1) menyatakan “Hak guna usaha air dapat diberikan kepada perseorangan atau badan usaha...”

Secara garis besar dalam salinan putusannya, Mahkamah berpendapat 1. Menerima pengujian konstitusional kembali UU No.7/2004 Tentang

(8)

2. UU No.7/2004 Tentang SDA mengandung muatan penguasaan dan monopoli atas sumber daya air yang bertentangan dengan prinsip dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

3. UU No.7/2004 Tentang SDA mengandung muatan yang memposisikan penggunaan air condong untuk kepentingan komersial.

4. UU No.7/2004 Tentang SDA mengandung muatan yang memicu konflik horizontal.

5. UU No.7/2004 Tentang SDA menghilangkan tanggungjawab negara dalam pemenuhan air.

6. UU No.7/2004 Tentang SDA merupakan Undang-Undang yang diskriminatif.

Dan pada akhirnya Mahkamah Konstitusi mengeluarkan amar keputusan sebagai berikut:

1. Pada butir (3) menyatakan bahwa UU No.7/2004 Tentang SDA bertentangan dengan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 2. Pada butir (4) menyatakan bahwa UU No.7/2004 Tentang SDA tidak

memiliki kekuatan hukum mengikat.

3. Pada butir (5) menyatakan bahwa UU No.11 Tahun 1974 Tentang Pengairan berlaku kembali.

DAMPAK DARI PEMBATALAN UU NO.7 TAHUN 2004 DAN

KELUARNYA UU No.37 TAHUN 2014 TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR.

(9)

untuk menghindari terjadinya kekosongan hukum (rechtvacuum) yang dapat berakibat terjadinya kekacauan hukum (rechtsverwarring).

Di samping itu di dalam pertimbangan hukumnya MK menyatakan sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) sebagai pelaksanaan dari UU SDA tidak memenuhi 6 (enam) prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air, yaitu: Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2005 tentang Pengembangan Sistem Penyediaan Air Minum, Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2006 tentang Irigasi, Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sumber Daya Air, Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2008 tentang Air Tanah, Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2011 tentang Sungai; dan Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2013 tentang Rawa.

Keenam prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air yang dijadikan sebagai dasar MK untuk membatalkan UU SDA dan sejumlah PP sebagaimana disebutkan di atas adalah: (1) setiap pengusahaan atas air tidak boleh menggangu, mengesampingkan, apalagi meniadakan hak rakyat atas air; (2) negara harus memenuhi hak rakyat atas air, karena akses terhadap air adalah salah satu hak asasi tersendiri; (3) untuk menjamin kelestarian lingkungan hidup sebagai salah satu hak asasi manusia; (4) air merupakan cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak yang harus dikuasai oleh negara; (5) air merupakan sesuatu yang sangat mengusai hajat hidup orang banyak, maka prioritas utama yang diberikan penguasaan atas air adalah Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah; (6) apabila setelah semua pembatatasan tersebut sudah terpenuhi dan ternyata masih ada kesediaan air, Pemerintah masih dimungkinkan untuk memberikan izin kepada usaha swasta untuk melakukan pengusahaan atas air dengan syarat-syarat tertentu dan ketat.

(10)

Pembatalan UU SDA dan sejumlah PP sebagaimana yang disebutkan di atas didasarkan pada 6 (enam) prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Hal ini paling tidak membawa 2 (dua) implikasi hukum.

Pertama; semua jenis peraturan perundang-undangan yang telah dikeluarkan sebagai pelaksanaan dari UU SDA dan PP yang telah dibatalkan tersebut (misalnya: Peraturan Menteri atau Peraturan Daerah) secara hukum menjadi tidak memiliki kekuatan mengikat sepanjang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Begitu pula Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2014 tentang Hak Guna Air sebagai pelaksanaan dari Pasal 10 UU SDA, meskipun tidak dipertimbangkan MK dalam putusannya. Hal itu hanya semata karena PP tersebut dikeluarkan setelah MK mengakhiri sidangnya. PP tersebut tidak memiliki kekuatan mengikat apabila bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.

Kedua; berbagai jenis perizinan yang telah diterbitkan berdasarkan rezim UU SDA tetaplah harus diakui legalitasnya sampai berakhirnya masa berlakunya izin. Hal ini sejalan dengan asas penerapan hukum yang tidak boleh berlaku surut (retroaktif). Namun, dalam melakukan aktivitas itu tetap tidak diperkenankan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air. Oleh karena itu, instansi/pejabat yang berwenang menerbitkan izin sudah seharusnya bersikap proaktif untuk melakukan evaluasi terhadap berbagai izin yang telah diterbitkan yang secara mutatis mutandis disesuaikan dengan prinsip-prinsip dasar pembatasan pengelolaan sumber daya air.

KELUARNYA UU No.37 TAHUN 2014 TENTANG KONSERVASI TANAH DAN AIR.

(11)

mandeg. RUU ini sudah tiga kali masuk dalam program legislasi nasional (Proglenas), yaitu periode 2000-2004, 2005-2009 dan 2010-2014. Pada awalnya RUU KTA ini merupakan inisiasi pemerintah, namun akhirnya DPR mengambil alih RUU ini dan menjadi inisiasi DPR.

Ketika masih berupa Rancangan Undang-Undang (RUU), kehadiran RUU KTA ini pada awalnya banyak dikuatirkan akan bertabrakan atau

redundant dengan pengaturan dalam UU No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (sebelum dibatalkan). Namun jika dikaji lebih mendalam sesungguhnya masing-masing undang-undang mengatur hal yang berbeda.

UU SDA lebih mengatur kepada menjaga kelestarian air yang sudah terkumpul dalam sumber-sumber air seperti danau, situ, mata air maupun sumber air lainnya atau dikenal sebagai blue water maupun yang terdapat pada, ataupun di bawah permukaan tanah. Konservasi sumber daya air dalam UU SDA diartikan sebagai upaya memelihara keberadaan serta keberlanjutan keadaan, sifat, dan fungsi sumber daya air agar senantiasa tersedia dalam kuantitas dan kualitas yang memadai untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup, baik pada waktu sekarang maupun yang akan datang Pasal 1 angka 18 UU SDA).

(12)

masih ada tanah walaupun tertutup oleh bangunan atau fisik gedung tetap dapat dilakukan konservasi tanah dan air dengan metode dan teknik konservasi khusus, seperti yang telah banyak diinstruksikan di perkotaan dengan sistem pembuatan sumur resapan (contoh dalam Perda DKI Nomor 20 Tahun 2013 tentang Sumur Resapan).

Referensi

Dokumen terkait

Sebagai manajer, kepala sekolah melakukan tugasnya melalui orang lain (siswa, guru dan staf). Dengan kemampuan konseptual, kepala sekolah dapat memfasilitasi siswa, guru dan staf

Disinilah peran psikologi umum yang mampu mengajarkan bagaimana seorang pendidik mampu memahami kondisi psikologis dan menciptakan suasana pembelajaran

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa manfaat informasi harga pokok produksi pesanan adalah untuk menentukan harga jual, memantau realisasi biaya,

Dalam hal ini, kelompok eksperimen yaitu kelompok siswa yang dalam pembelajaran menggunakan alat peraga jam sudut menunjukkan kondisi yang lebih baik dibandingkan

Kutipan dari sumber kedua  mengutip yang dikutip orang lain dalam suatu naskah... Prinsip-prinsip

Sehingga dapat disimpulkan bahwa penilaian portofolio efektif terhadap hasil belajar matematika materi pokok relasi dan fungsi pada peserta didik kelas VIII MTs NU Nurul

Data penelitian ini berupa data sekunder yaitu Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Alokasi Umum (DAU), Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran dan Belanja Modal (BM) yang terdapat

Kajian telah dijalankan dalam menguji nilai-nilai teras dalam beberapa konstruk yang mempengaruhi prestasi organisasi seperti kepimpinan, budaya, pengurusan perubahan serta