• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Hukum P3B dengan Hukum Domestik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Analisis Hukum P3B dengan Hukum Domestik"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS HUKUM PERJANJIAN PENGHINDARAN PAJAK BERGANDA (P3B) DENGAN HUKUM DOMESTIK TERKAIT

PERPAJAKAN DI INDONESIA

MAKALAH

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk Mata Kuliah Perpajakan Internasional

Dosen Pengampu: Wisamodro Jati S.Sos., M.Int.Tax.

NATHASYA MARTA NINGRUM (1406621065) NUR ATIKASARI (1406621001)

Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Program Studi Ilmu Administrasi Fiskal

(2)

Transaksi antarnegara membuat dunia semakin menyatu dan mengecil yang disebabkan oleh adanya saling terkait dan saling bergantung satu sama lain. Hal ini menyebabkan iklim perekonomian internasional menjadi tidak kondusif karena setiap negara memiliki hukum untuk negaranya sendiri, terutama aturan mengenai pengenaan pajak. Permasalahan pajak antarnegara terkait dengan perbedaan azas-azas perpajakan yang dianut sehingga menimbulkan adanya pemungutan pajak yang lebih dari satu kali di negara yang berbeda. Maka, dalam meminimalisasi pajak berganda, diperlukan perjanjian penghindaran pajak berganda (selanjutnya disebut P3B). Di Indonesia, perjanjian internasional dalam hal P3B menganut aliran mengenai hubungan antara hukum internasional dan undang-undang nasional monoist. Hal ini didukung oleh hukum pada Pasal 32A UU PPh.

Kata Kunci:

(3)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...i

ABSTRAK...ii

DAFTAR ISI...iii

DAFTAR GRAFIK...iv

DAFTAR TABEL...v

BAB 1 PENDAHULUAN...1

1.1 Latar Belakang...1

1.2 Pokok Permasalahan...2

BAB 2 KERANGKA TEORI...3

2.1 Hubungan Hukum Nasional terhadap Hukum Internasional...4

2.2 Pajak Berganda Internasional...6

2.3 Sistem Perpajakan Internasional dan Sistem Perpajakan Indonesia...9

2.4 Penerapan Hukum Internasional dalam P3B...9

2.5 Hubungan antara P3B dengan Hukum Domestik ...11

BAB 3 ANALISIS...14

3.1 Analisis Hukum P3B dengan Hukum Domestik di Indonesia...14

BAB 4 PENUTUP...18

4.1 Simpulan...18

4.2 Saran...18

(4)
(5)

DAFTAR TABEL

(6)

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pendapatan Negara Indonesia paling besar sampai saat ini berdasarkan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (selanjutnya disebut APBN) merupakan pajak. Pajak merupakan suatu kontribusi wajib masyarakat untuk negara yang diatur dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945). Bentuk pengesahan hukum ini sebagai wujud agar pajak tidak dianggap sebagai pencurian atas kekayaan pribadi yang mampu melanggar hak asasi manusia. Hal ini pun sejalan dengan motto Amerika dan Inggris sejak abad 108 menyatakan “tax without representation is a robbery”. Oleh sebab itu, pajak merupakan suatu persetujuan dari masyarakat untuk ‘memajaki’ dirinya sendiri di negara tersebut

Keberadaan pajak menjadi suatu masalah ketika adanya transaksi antarnegara. Transaksi antarnegara membuat dunia semakin menyatu dan mengecil yang disebabkan oleh adanya saling terkait dan saling bergantung satu sama lain, seperti pertukaran barang, migrasi sumberdaya manusia, transaksi jasa lintas perbatasan, arus modal serta pembiayaan antarnegara, dan arus informasi1. Peningkatan perdagangan internasional Negara Indonesia dapat dilihat dari kenaikan ekspor dan impor yang telah dirangkum dalam Grafik 1.

(7)

2

Grafik 1. Angka Ekspor dan Angka Impor Tahun 1994 dan Tahun 1995 (dalam jutaan US$)

sumber: Gunadi (2007), diolah kembali oleh penulis

Disisi lain, adanya pertimbangan ekonomis dalam melakukan transaksi antarnegara, yaitu keduabelah pihak mendapatkan manfaat serta keuntungan dan ini sesuai dengan prinsip ekonomi menyatakan “trade can make everyone better off because trade allows each person to specialize in the activities he or she does best”2.

Transaksi antarnegara menyebabkan iklim perekonomian internasional menjadi tidak kondusif karena setiap negara memiliki hukum untuk negaranya sendiri, terutama aturan mengenai pengenaan pajak karena pajak dikenakan atas setiap aktivitas manusia, seperti penghasilan yang diterima atau diperoleh dan transaksi perdagangan.

1.2 Pokok Permasalahan

Timbulnya transaksi internasional didorong karena adanya aspek pajak antar kedua belah negara atas satu transaksi. Indonesia adalah negara berdaulat yang mempunyai kewenangan untuk mengatur orang, barang, atau obyek yang berada didalam kekuasaannya, tak terkecuali yuridiksi terkait dengan pemungutan pajak yang merupakan konsekuensi dari negara yang berdaulat3. Yuridiksi domestik dilandasi pada azas-azas perpajakan yang dianut negara tersebut4. Permasalahan

2 N. Gregory Mankiw, Principles of Economy, Cengage Learning, Boston, 2016, hlm. 173. 3 Knechtle, Basic Problems in International Fiscal Law, Kluwer, Deventer, 1979, hlm. 3.

4 Anang Mury Kurniawan, Tax Treaty: Memahami Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda

(8)

pajak antarnegara terkait dengan perbedaan azas-azas perpajakan yang dianut sehingga menimbulkan adanya pemungutan pajak yang lebih dari satu kali di negara yang berbeda. Pajak berganda dapat muncul apabila berdasarkan undang undang domestik di masing-masing negara seseorang dianggap menjadi penduduk di kedua negara (dual resident)5. Maka, dalam meminimalisasi pajak berganda, diperlukan suatu persetujuan bersama antarnegara terkait dengan yuridiksi pemajakan negara asal dengan negara yang melakukan transaksi melalui perjanjian penghindaran pajak berganda (selanjutnya disebut P3B).

(9)

BAB 2

KERANGKA TEORI

2.1 Hubungan Hukum Nasional terhadap Hukum Internasional

Tahun 1969, dalam buku International Law, Cases, and Material yang ditulis oleh Pugh Henkin menyatakan aturan-aturan hukum kebiasaan internasional dikodifikasi dan dirumuskan dalam Konvensi Wina tentang Hukum Traktat (Hukum Perjanjian Internasional) yang ditandatangani tanggal 23 Mei 1969 dan mulai berlaku tanggal 27 Januari 1980 sehingga pada Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyatakan bahwa Konvensi Wina merupakan petunjuk yang otoratif untuk hukum dan praktek traktat sampai saat ini6. Traktat pada Pasal 2 Konvensi Wina adalah suatu persetujuan antara dua negara atau lebih negara mengadakan atau bermaksud mengadakan suatu hubungan timbal balik menurut hukum internasional. Maka traktat merupakan instrumen utama untuk memulai atau mengembangkan kerjasama internasional sehingga tujuan traktat adalah untuk meletakkan kewajiban-kewajiban yang mengikat bagi negara-negara peserta. Dalam hukum nasional, para warganegara dapat memilih dari antara sekian banyak instrumen untuk melakukan suatu perbuatan hukum atau mengadakan suatu transaksi secara internasional7.

Hukum nasional dan hukum internasional saling mempengaruhi dan membutuhkan satu sama lain, karena8:

1. Hukum internasional akan lebih efektif bila telah di transformasikan ke dalam hukum nasional,

2. Hukum internasional akan menjembatani ketika hukum nasional tidak dapat di terapkan di wilayah negara lain,

3. Hukum internasional akan mengharmonisasikan perbedaan-perbedaan dalam hukum nasional,

6 Sumitro, Pengantar Hukum Internasional 2, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1989, hlm. 117. 7 Sumitro, loc. cit.

8 Sefriani, Hukum Internasional: Suatu Pengantar, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm. 98.

(10)

4. Hukum internasional banyak tumbuh dari praktik hukum nasional negara-negara,

5. Meskipun negara mempunyai prescription jurisdiction (kewenangan untuk membuat autran perundang-undangan dalam hukum nasionalnya) namun dalam praktiknya negara tidak bisa membuat aturan perundang-undangan itu sendiri tanpa melihat pada hukum internasional yang telah ada.

Asif Hasan Quereishi menyatakan ada dua aliran mengenai hubungan antara hukum internasional dan undang-undang nasional, yaitu tunggal (monist) dan nasional merupakan dua kesatuan hukum dari satu sistem hukum yang lebih besar, yaitu hukum pada umumnya sehingga kemungkinan timbulnya konflik antara hukum internasional dan hukum nasional sangat besar karena terletak didalam satu sistem hukum10.

Disisi lain, hubungan tersebut dualist ketika hukum internasional memiliki kedudukan yang sama dengan hukum nasional sehingga jika terjadi perbedaan antara keduanya, pengadilan akan memenangkan undang undang nasional. Hubungan yang bersifat dualist salah satunya di negara-negara anggota Amerika. Di Amerika, hukum internasional (treaty) mempunyai kedudukan yang sama dengan undang undang nasional karena menggunakan prinsip les posterior derogate lex priori. Sifat treaty di Amerika adalah self-executing, yaitu secara otomatis akan menjadi bagian dari undang undang domestik apabila ketentuan treaty tidak bertentangan dengan undang undang federal. Namun, apabila ada permasalahan terkait dengan pelanggaran atas suatu treaty maka akan dilakukan ditingkat pengadilan domestik. Hal ini juga dinyatakan dalam teori dualisme yang menyatakan jika terjadi konflik perbedaan antara hukum internasional dengan hukum nasional maka perbedaan itu menurut Anzilotti ditarik dari dua prinsip 9 Rachmanto Surahmat, loc. cit.

(11)

6

yang fundamental, yaitu hukum nasional berbasis pada prinsip aturan negara (state legislaion) yang harus dipatuhi, sedangkan menurut John O’Brien, hukum internasional berbasis pada prinsip perjanjian antarnegara dimana harus menghormati sesuai dengan prinsip pacta sunt servada11. Maka, pada aliran monoist, hukum internasional hanya dapat diberlakukan setelah ditransformasikan ke dalam hukum nasional, begitu juga sebaliknya.

2.2 Pajak Berganda Internasional

Pajak berganda dapat muncul apabila berdasarkan undang undang domestik di masing-masing negara seseorang dianggap menjadi penduduk di kedua negara (dual resident)12. Secara definitif, menurut Knechtle yang dikutip oleh Gunadi, pajak berganda dibedakan dalam arti luas maupun arti sempit13. Definisi pajak berganda dalam arti luas meliputi setiap bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda (double taxation) atau lebih (multiple taxation) atas suatu fakta fiskal (subyek dan/atau obyek pajak) sehingga tidak mempertimbangkan penyebab dari pembebanan ganda atau beberapa kali tersebut berasal dari kombinasi antara pajak dan pungutan lainnya atau karena kombinasi dari berbagai jenis pajak atau disebabkan oleh pembebanan pajak secara bersamaan oleh administrasi pajak yang sama atau berbeda. Namun, dalam arti sempit, semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subyek dan/atau obyek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama disebabkan oleh pemajakan secara vertikal (pemerintah pusat dan daerah), horizontal (antarpemerintah daerah), atau diagonal (pemerintah kota atau kabupaten dengan provinsi lainnya). Pemajakan atas aspek internasional termasuk dalam pengertian secara luas dari pajak berganda.

Ada dua penyebab terjadinya pajak berganda internasional, yaitu secara ekonomis dan secara yuridis 14. Pajak berganda internasional yang disebabkan secara ekonomis terjadi ketika suatu penghasilan yang sama dikenakan pajak lebih dari satu kali di negara tersebut dan/atau oleh lebih dari satu negara, contohnya

11 Ibid., hlm. 87.

12 Rachmanto Surahmat, loc. cit. 13 Gunadi, op. cit., hlm. 110-111.

(12)

pengenaan atas keuntungan perusahaan. Keuntungan perusahaan (net income) dikenakan pajak penghasilan atas badan yang kemudian net income after tax dibagikan kepada pemilik saham perusahaan tersebut. Apabila pemilik saham berada di luar negeri maupun di negara itu sendiri, dividen yang berasal dari net income tax akan dikenakan pajak penghasilan atas dividen. Namun, Miller menyatakan bahwa fokus dari pajak berganda internasional disebabkan atas yuridiksi. Pajak berganda internasional yang disebabkan secara yuridis terjadi ketika pajak atas satu transaksi antarnegara dikenakan lebih dari satu negara. Hal ini terkait dengan penentuan yuridiksi pemajakan atas azas sumber atau azas domisili (residence).

Perbedaan azas-azas perpajakan yang dianut yuridiksi domestik dalam transaksi antarnegara menimbulkan adanya pemungutan pajak yang lebih dari satu kali di negara yang berbeda. Ada tiga jenis konflik yuridiksi yang melatarbelakangi terjadi pengenaan pajak berganda secara internasional, yaitu15: a) Konflik antara azas domisili dengan azas sumber

Azas domisili merupakan pengenaan pajak oleh negara karena orang pribadi atau badan tersebut berdomisili di negara yang bersangkutan atau karena status kewarganegaraannya sedangkan azas sumber menyatakan negara berhak mengenakan pajak karena orang pribadi atau badan memperoleh penghasilan yang berasal dari negara tersebut16. Konflik ada ketika satu negara menganut azas domisili dan negara lainnya menganut asas sumber

b) Konflik karena perbedaan definisi penduduk

Konflik ini terjadi ketika pribadi atau badan dalam melakukan transaksi internasional dianggap sebagai penduduk di kedua negara tersebut. Konflik mengenai kependudukan ganda (dual resident) ini biasanya terjadi atas orang pribadi sedangkan pengurus badan hukum biasanya berada di negara pada saat badan tersebut didirikan. Konflik ini terkait dengan azas domisili seseorang atau badan di kedua negara tersebut.

c) Perbedaan definisi tentang sumber penghasilan

15 Rachmanto Surahmat, op. cit., hlm. 21-23.

16 Haula Rosdiana dan Edi Slamet Irianto, Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di

(13)

8

Apabila dua negara atau lebih memperlakukan satu jenis penghasilan sebagai penghasilan yang bersumber dari wilayahnya. Konflik ini terkait dengan azas sumber yang diberlakukan di kedua negara tersebut.

Konflik yang mengakibatkan terjadinya tambahan jumlah pajak yang harus dipikul ini memicu adanya tindakan penghindaran pajak berganda. Akibat dari penghindaran pajak berganda adalah tiap negara yang melakukan transaksi internasional melakukan eliminasi terhadap pajak berganda internasional melalui beberapa pendekatan, yaitu17:

- Unilateral (sepihak)

Unilateral merupakan pencantuman ketentuan penghindaran pajak berganda internasional didalam undang undang domestiknya untuk setiap negara yang mengenakan pajak atas penghasilan luar negeri yang diperoleh atau diterima subyek dalam negeri, seperti pembebasan pajak atas penghasilan luar negeri atau mengecualikan dari pajak atas penghasilan luar negeri. Pendekatan ini cenderung hanya memberikan keringanan pajak berganda internasional secara sepihak. - Bilateral (antardua negara)

Pendekatan ini didasarkan pada kesepakatan antarnegara pemegang yuridiksi pemajakan. Kesepakatan tersebut dirumuskan dalam suatu bentuk perjanjian yang ditandatangani oleh pemerintah kedua negara. Apabila adanya keringanan pada perjanjian internasional dibandingkan undang undang domestik maka yang berlaku adalah perjanjian internasional tersebut.

- Multilateral (beberapa negara secara serempak)

Multilateral hampir menyerupai bilateral namun diterapkan lebih dari dua negara. Penerapan pendekatan multilateral ini biasanya digunakan untuk negara-negara yang berada dalam satu kawasan, seperti Uni-Eropa.

2.3 Sistem Perpajakan Internasional dan Sistem Perpajakan Indonesia

Pada undang undang domestik setiap negara memiliki aspek pajak internasional terkait dengan orang atau badan yang melakukan aktivitas ekonomi lintas batas negara (cross-border transaction). Menurut De Leon, pajak dipungut

(14)

berdasarkan kedaulatan setiap negara sehingga adanya perbedaan sistem perpajakan internasional antarnegara18. Negara-negara dalam transaksi internasional cenderung menganut asas teritorial (sumber), yaitu penghasilan yang bersumber di suatu negara dikenakan pajak pada negara yang memberikan sumber penghasilan tersebut maka undang undang negara tersebut yang berlaku19.

Indonesia merupakan salah satu negara yang tidak terbatas dengan penggunaan asas sumber saja melainkan juga mengaplikasikan asas domisili (residence). Dalam sistem perpajakan internasional, terdapat suatu norma yang diterima dan diikuti secara global termasuk Indonesia, seperti yang dinyatakan oleh Gunadi, yaitu

“....untuk menyerahkan pemajakan utama (primary taxing rights) kepada negara sumber penghasilan yang mempunyai pertalian teritorial dan mempertahankan kewenangan pemajakan residual (residual tax claim) terhadap negara domisili dengan pertalian personal. Selain itum Indonesia akan memberikan kredit atas pajak penghasilan yang terutang atau dibayar di luar negeri dan hanya jumlah selebihnya saja, kalau ada, dari pajak penghasilan Indonesia atas pajak penghasilan mancanegara diatas pajak luar negeri atas penghasilan dimaksud yang akan dipungut oleh Indonesia.”20

2.4 Penerapan Hukum Internasional dalam P3B

Sejak abad ke-19, tiap negara sudah melakukan perjanjian bilateral dengan tujuan menghindari pajak berganda. Awalanya, hanya negara-negara federal yang melakukan perjanjian ini, seperti antara Prussia dan Saxony terkait dengan pajak langsung (direct taxes), Austria dengan Hungaria terkait dengan pajak atas keuntungan bisnis, dan sebagainya lalu setelah perang dunia pertama, adanya peningkatan jumlah tax treaties dan menyebar luas di Eropa. Studi komprehensif mengenai konsekuensi dari pajak berganda ditemukan oleh empat ahli ekonomi

18 Ibid., hlm 183.

19 Richard Doernberg, International Taxation in a Nutshell, West Publishing, United States of America, 2012, hlm. 8.

(15)

10

dan studi ini dimasukkan dalam Report on Double Taxation yang disampaikan dalam Financial Committee of The League of Nation di tahun 192321.

Menurut Amatucci dkk, dasar dalam mendefinisikan P3B (tax treaty, double taxation treaty) terkait dengan dua sifat mendasar, pertama, suatu perjanjian internasional yang diadakan dua negara dalam mengelola yuridiksi fiskal (fiscal yuridiction) dan kedua, perjanjian internasional menjadi bagian dalam hukum pajak kedua negara yang melakukan perjanjian dengan cara langsung dimasukkan pada undang undang domestik atau perlu adanya proses hukum untuk masuk dalam undang undang domestik22. Maka, tujuan utama dari pengelolaan yuridiksi fiskal menurut Holmes adalah23:

“avoiding double taxation which would otherwise arise from an international transaction or event if each country imposed its own tax on the same income or capital; alocating the tax imposed between the governments that are parties to tax treaty; and preventing the evation of taxation on those international transaction or events.”

Kedudukan hukum P3B dalam undang undang domestik terkait dengan pembagian hak pemajakan antara dua negara. P3B tidak memberikan hak pemajakan baru kepada negara yang mengadakan P3B melainkan hak masing-masing negara tersebut dihilangkan atau dibatasi berdasarkan persetujuan dalam pembatasan hak pemajakan yang tercantum di P3B24. Penerapan ketentuan P3B dan undang undang domestik terlihat dalam Tabel 1.

Tabel 1. Ketentuan yang Diterapkan antara P3B dan Undang Undang Domestik

Ketentuan UU Domestik Ketentuan P3B Ketentuan yang Diterapkan

Mengatur Mengatur P3B

Mengatur Tidak mengatur Undang Undang Domestik

Tidak mengatur Mengatur

Tidak mengatur Tidak mengatur

sumber: Kurniawan (2012), diolah kembali oleh penulis

21 Andrea Amatucci, Eusebio González, dan Christoph Trzaskalik, International Tax Law, Kluwer Law International, Belanda, 2006, hlm. 150.

22 Ibid., hlm. 149.

23 Kevin Holmes, International Tax Policy and Double Tax Treaties: An Introduction to Principles

(16)

Ada tiga hak pemajakan dalam menentukan hukum P3B dalam undang domestik25, yaitu:

a) Hak Pemajakan Penuh (exclusively taxing rights)

Suatu negara diberikan hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan penduduk negara lainnya yang bersumber dari negaranya sepenuhnya sesuai dengan undang undang domestik negara tersebut tanpa adanya pembatasan. Maka, tarif pajak dan tata cara pemajakan sepenuhnya tunduk pada undang undang domestik negara tersebut.

b) Pemberian Hak Pemajakan Terbatas (limited taxing rights)

Negara sumber penghasilan diberikan hak untuk mengenakan pajak atas suatu penghasilan penduduk negara lainnya yang bersumber dari negara tersebut namun dengan pembatasan tarif. Apabila tarif pajak undang undang domestik lebih tinggi dari tarif yang ditentukan dalam P3B maka tarif pajak yang diterapkan adalah tarif pajak menurut ketentuan P3B.

c) Pelepasan Hak Pemajakan (relinquished taxing rights)

Suatu negara melepaskan hak pemajakan atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut dan merelakan penghasilan tersebut dipajakai negara lainnya. Maka, tarif pajak yang diterapkan adalah tarif pajak menurut undang undang domestik negara lainnya yang bukan negara sumber penghasilan.

Dalam pembuatan P3B melewati beberapa tahapan, yaitu26:

1. Tahap Penjajakan: dilakukan untuk melihat apakah Indonesia perlu mempunyai P3B dengan suatu negara.

2. Tahap Perundingan: pemerintah indonesia berpedoman pada kepentingan nasonal dan berdasarkan prinsip-prinsip persamaan kedudukan, saling menguntungkan, dan memperhatikan baik hukum nasional maupun hukum internasional.

3. Perumusan Masalah 4. Tahap Penerimaan

5. Tahap Penandatanganan: proses persetujuan atas naskah P3B atau merupakan pernyataan untuk mengikat diri secara definitf sesuai dengan kesepakan para pihak.

(17)

12

Setelah proses penandatangan selesai, P3B semata-mata tidak dapat langsung diberlakukan karena setiap negara harus memastikan bahwa P3B dapat diterapkan dalam hukum domestiknya.

2.5 Hubungan antara P3B dengan Hukum Domestik

P3B harus sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah disepakati dalam Vienna Convention on the Law of Treaties. Bentuk penandatanganan P3B menandakan bahwa kedua negara harus mematuhi P3B diatas undang undang domestik dalam mengadakan perjanjian. Negara-negara penganut monistic principle tidak mensyaratkan P3B harus dituangkan kedalam bentuk undang-undang terlebih dahulu (atau dengan kata lain P3B diberlakukan secara otomatis), contohnya adalah negara Belanda, Jepang, Luxemburg, Spanyo, Portugal dan Swiss sedangkan, bagi negara yang menganut dualistic principle maka P3B harus dijadikan hukum domestik terlebih dahulu melalui proses legislasi, contohnya negara Inggris, Australia, Kanada, Denmark, India, Israel, Selandia baru, Nowergia, dan Swedia27. Dengan demikan, ada dua tipe negara dalam memperlakukan P3B dengan undang undang domestik28, yaitu:

a) Langsung (direct effect): aturan P3B dapat langsung menjadi bagian dari undang undang domestik baik secara langsung melalui penandatangan presiden atau melalui ratifikasi oleh parlemen

b) Tidak Langsung (indirect effect): aturan P3B dapat menjadi bagian dari undang undang domestik apabila melalui proses legislasi dalam pembuatan undang undang

Ada tiga langkah implemntasi P3B pada undang udang domestik yang dinyatakan oleh M. Edwardes Ker dalam menentukan hubungan antara P3B dengan undang undang domestik29, yaitu langkah pertama, undang undang domestik pada negara tersebut diimplementasikan untuk menentukan jika undang undang domestik dapat memberikan potensi untuk menambah beban pajak. Apabila beban pajak tidak meningkat maka P3B tidak dapat diberlakukan namun langkah kedua menyatakan apabila adanya peningkatan beban pajak maka P3B

27 Ibid., hlm. 56-57

(18)
(19)

BAB 3 ANALISIS

3.1 Analisis Hukum P3B dengan Hukum Domestik di Indonesia

Secara konseptual teoritis, Negara Indonesia menghargai adanya hukum internasional meskipun tidak dicantumkan dalam UUD 1945 melainkan dinyatakan dalam Pasal 1 dan Pasal 5 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri;

“Hubungan luar negeri adalah setiap kegiatan yang menyangkut regional dan internasional yang dilakukan oleh pemerintah di tingkat pusat dan daerah, atau lembaga-lembaganya, lembaga negara, badan usaha, organisasi politik, organisasi masyarakat, lembaga swadaya masyarakat, atau warga negara Indonesia.” (Pasal 1)

“Hubungan luar negri diselanggarakan sesuai dengan politik luar negeri, peraturan perundang-undangan nasional dan hukum serta kebiasan internasional. Ketentuan ini berlaku bagi semua penyelnggara hubungan luar negeri, baik pemerintah maupun non pemerintah.” (Pasal 5 Ayat (1)) Sedangkan, perjanjian internasional antara Negara Indonesia dan negara lain diatur dalam aturannya lainnya, yaitu di Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (selanjutnya disebut UU PI). UU PI mengatur perjanjian internasional yang memerlukan dan tidak memerlukan persetujuan khusus dari Dewan Perwakilan Rakyat (selanjutnya disebut DPR) dalam pengesahaannya untuk digabungkan dalam hukum nasional. Perjanjian internasional yang memerlukan persetujuan khusus dari DPR tercantum dalam Pasal 10 UU PI, yaitu:

a) Masalah politik, perdamaian, dan pertahanan serta keamanan.

b) Perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah Republik Indonesia. c) Kedaulatan atau hak berdaulat negara.

d) Hak asasi manusia dan lingkungan hidup. e) Pembentukan kaidah hukum baru.

(20)

Disisi lain, Pasal 11 UU PI menegaskan bahwa pengesahan perjanjian internasional yang materinya tidak termasuk materi sebagaimana dimaksud Pasal 10 UU PI, dilakukan dengan Keputusan Presiden. P3B merupakan perjanjian internasional yang mengacu pada UU PI terkait dengan prosedur formal pengesahan (ratifikasi) P3B. Di keenam poin tersebut tidak ada elemen yang terkait dengan pajak sehingga P3B sebagai perjanjian internasional dapat disahkan melalui Keputusan Presiden dan dapat secara langsung digabungkan dalam hukum nasional melalui Keputusan Presiden sesuai dengan pernyataan Pasal 11 UU PI.

P3B yang dapat digabungkan secara langsung dalam hukum nasional melalui Keputusan Presiden sesuai dengan tipe negara menurut Andrea Amatucci dkk adalah direct effect, yaitu aturan P3B dapat langsung menjadi bagian dari undang undang domestik baik secara langsung melalui penandatangan presiden atau melalui ratifikasi oleh parlemen. Tipe negara ini juga dapat menyatakan aliran mengenai hubungan antara P3B dengan undang-undang nasional, yaitu monoist. Hubungan monist adalah hukum internasional dengan hukum nasional merupakan bagian dari undang undang domestik. Aliran hubungan monoist meletakkan hukum internasional diatas hukum nasional sehingga P3B mempunyai tingkat yang lebih tinggi dibandingkan undang undang domestik terkait pajak atas transaksi internasional antarnegara yang bersepakat dan hal ini didukung oleh hukum pada Pasal 32A Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan (selanjutnya disebut UU PPh) yang menyatakan bahwa,

“Pemerintah berwenang untuk melakukan perjanjian dengan pemerintah negara lain dalam rangka penghindaran pajak berganda dan pencegahan pengelakan pajak.”

Maka, P3B Indonesia bersifat lex specialis derogat lex generali (dua peraturan yang secara hierarki sederajat dan mengatur mengenai materi yang sama namun peraturan khusus lebih diprioritaskan dibandingkan peraturan yang lebih umum30) dari UU PPh dan apabila ada konflik antara P3B dengan hukum domestik maka yang berlaku adalah P3B (tax treaty superceeding domestic laws).

(21)

16

menguntungkan, dan sebagainya. Hal ini dilakukan karena P3B merupakan persetujuan untuk mengikatkan diri secara definitif antarnegara sehingga tiap negara yang bersepakat dalam melakukan transaksi internasional harus mematuhi aturan yang ada dalam P3B dan menerima konsekuensi yang ada dalam perjanjian tersebut. Pasal 28 Model P3B Indonesia menyatakan bahwa P3B akan mulai berlaku pada hari berikutnya setelah tanggal masing-masing Pemerintah saling memberitahukan secara tertulis melalui saluran diplomatik bahwa formalitas yang diperlukan di masing-masing negara pihak telah di penuhi. P3B akan berlaku efektif dalam hal pajak dipotong pada sumber penghasilan yang diperoleh pada atau setelah tanggal 1 Januari (di tahun berikutnya sesudah P3B mulai berlaku) dan dalam hal pajak atas penghasilan lainnya di tahun pajak yang dimulai pada atau setelah tanggal 1 januari (di tahun berikutnya sesudah P3B mulai berlaku). Apabila ingin mengakhiri P3B, Pasal 29 Model P3B Indonesia menyatakan dapat menyampaikan alasan menghentikan perjanjian tersebut secara tertulis melalui saluran diplomatik pada atau sebelum tanggal 30 bulan Juni setiap tahun takwin berikutnya setelah jangka waktu 5 tahun dari tahun dimana P3B diberlakukan.

Rachmanto menyatakan bahwa pasal-pasal yang ada didalam P3B pada hakikatnya adalah distributive rules, yaitu membagi hak pemajakan antarnegara yang mengadakan perjanjian. Negara Indonesia memiliki variasi dalam kewenangan untuk mengelola pajak pada P3B dengan negara lain, yaitu hak pemajakan penuh, pemberian hak pemajakan terbatas, dan pelepasan hak pemajakan, dengan contoh sebagai berikut:

a) Hak Pemajakan Penuh (exclusively taxing rights)

(22)

mengenai tarif dan tata cara pemajakan sehingga penghasilan sewa rumah tersebut menggunakan ketentuan UU PPh.

b) Pemberian Hak Pemajakan Terbatas (limited taxing rights)

Pasal 11 Ayat (1) P3B Indonesia – Singapura mengatur bahwa “Bunga yang berasal dari suatu Negara pihak pada Persetujuan dan dibayarkan kepada penduduk Negara pihak lainnya pada Persetujuan dapat dikenakan pajak di Negara pihak lainnya pada Persetujuan tersebut” yang selanjutnya disebutkan dalam Pasal 11 Ayat (2) P3B Indonesia – Singapura mengatur bahwa “Namun demikian, bunga tersebut dapat juga dikenakan pajak di Negara pihak pada Persetujuan tempat bunga itu berasal, dan sesuai dengan perundang-undangan Negara tersebut, akan tetapi apabila penerima dan pemilik bunga adalah pemberi pinjaman yang menikmati bunga itu, maka pajak yang dikenakan tidak akan melebihi 10 persen dari jumlah bruto bunga”, sebagai contoh bunga yang dibayarkan oleh Mama Dede (warga negara Indonesia) atas pinjaman dari Koko Xiao (warga negara Singapura) dikenakan maksimal 10% dari jumlah bruto bunga. Bunga tersebut merupakan penghasilan yang bersumber dari Indonesia sehingga Koko Xiao dinyatakan sebagai subyek pajak luar negeri namun tidak dapat diterapkan tarif 20% seperti yang tercantum dalam Pasal 26 UU PPh karena P3B memiliki kekuatan hukum yang lebih tinggi.

c) Pelepasan Hak Pemajakan (relinquished taxing rights)

(23)

BAB 4 PENUTUP

4.1 Simpulan

Ketentuan P3B merupakan rekonsiliasi dari dua hukum pajak yang berbeda yang kedudukannya berada diatas undang-undang pajak nasional masing-masing negara. Di Indonesia, perjanjian internasional dalam hal P3B menganut aliran mengenai hubungan antara hukum internasional dan undang-undang nasional monoist karena P3B sebagai perjanjian internasional dapat disahkan melalui Keputusan Presiden dan dapat secara langsung digabungkan dalam hukum nasional melalui Keputusan Presiden sesuai dengan pernyataan Pasal 11 UU PI. Aliran hubungan monoist meletakkan hukum internasional diatas hukum nasional sehingga P3B mempunyai tingkat yang lebih tinggi dibandingkan undang undang domestik terkait pajak atas transaksi internasional antarnegara yang bersepakat dan hal ini didukung oleh hukum pada Pasal 32A UU PPh.

Keuntungan dari adanya P3B adalah mencegah adanya pengenaan pajak berganda yang disebabkan oleh transaksi antarngera dengan dua yuridiksi perpajakan yang berbeda, terjaminnya kepastian hukum bagi para investor, pendorong masuknya investasi asing yang favourable, dan dalam jangka panjang membantu mengamankan penerimaan pajak31. Disisi lain, ketidaksiapan hukum pada suatu negara dalam menghadapi arus globalisasi akan mengakibatkan memiliki keuntungan seimbang sehingga mampu melawan praktik produk Base Erotion Profit Shifting (BEPS)32.

31 Rachmanto Surahmat, op.cit., hlm. 4-5.

32 M. Efril Maulana, “Siapkah Indonesia Menerapkan Mandatory Disclosure Rule”, Danny Darussalam Tax Centre News, 14 Februari 2017, diakses dari

(24)

DAFTAR PUSTAKA

I. Buku

Amatucci, Andrea, Eusebio González dan Christoph Trzaskalik. International Tax Law. Belanda: Kluwer, 2006. Introduction to Principles and Application. Amsterdam: IBFD, 2007. Knechtle. Basic Problems in International Fiscal Law. Deventer: Kluwer, 1979. Kurniawan, Anang Mury. Tax Treaty: Memahami Persetujuan Penghindaran

Pajak Berganda (P3B) Melalui Studi Kasus. Jakarta: Bae Media Indonesia, 2012.

Mankiw, N. Gregory. Principles of Economy. Boston: Cengage Learning, 2016. Miller, Angharad dan Lynne Oats. Principles of International Taxation. West

Sussex: Bloomsbury Professional, 2012.

Rosdiana, Haula dan Edi Slamet Irianto. Pengantar Ilmu Pajak: Kebijakan dan Implementasi di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2013. Sefriani. Hukum Internasional: Suatu Pengantar. Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2011.

Sumitro. Pengantar Hukum Internasional 2. Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1989.

Surahmat, Rachmanto. Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda: Sebuah Pengantar. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011.

II. Publikasi Elektronik

Maulana, M. Efril. “Siapkah Indonesia Menerapkan Mandatory Disclosure Rule.” 14 Februari 2017. Danny Darussalam Tax Centre News.

(25)

20

http://news.ddtc.co.id/artikel/9345/analisis-perencanaan-pajak-siapkah-indonesia-menerapkan-mandatory-disclosure-rule/. 19 Februari 2017. United Nations. “Report of The International Law Commission.” 1 Mei – 9 Juni

dan 3 Juli – 11 Agustus 2016. General Assembly.

III. Peraturan-Peraturan

Undang-Undang Dasar Tahun 1945

Gambar

Grafik 1. Angka Ekspor dan Angka Impor Tahun 1994 dan Tahun 1995
Tabel 1. Ketentuan yang Diterapkan antara P3B dan Undang Undang Domestik

Referensi

Dokumen terkait

Sena$a dapat bersentuhan langsung dg kulit #mata dan menimbulkan efek toksik :. - 1ritasi %reersibel -

Segi produk dapat dilihat dari kandungan gizi yang dimiliki susu sapi tersebut, kualitas gizi yang baik, memiliki varians rasa yang banyak, pengemasan yang menarik

Hasil perhitungan estimasi marjin kotor atas biaya tidak tetap fungsi produksi dengan menggunakan pejan- tan Garut menunjukkan bahwa sampai dengan masa bobot sapih, maka usaha

Prinsip ini menyatakan, perusahaan farmasi selalu dianggap bertanggung jawab pada informasi obat yang diiklankan, perusahaan farmasi harus dapat membuktikan kalau

Desain pit yang dibuat berdasarkan beberapa parameter, seperti geometri lereng tambang, nilai nisbah pengupasan (stripping ratio) ekonomis = 4,29 dan lantai lapisan batubara

Menambah kapasitas akomodasi di area kerja PTFI dengan cara membangun unit akomodasi baru atau dengan menerapkan konsep mining town secara terbatas.. Menunda Ekspansi -

Publikasi KECAMATAN RUMBAI PESISIR DALAM ANGKA 2016 ini merupakan usaha kami sebagai Koordinator Statistik Kecamatan Rumbai Pesisir dalam upaya melengkapi

Mengingat jadwal rapat-rapat Pansus pada Masa Persidangan IV Tahun Sidang 2010- 2011 baru memasuki pembahasan di tahap PANJA, maka Pansus harus melaporkan pembahasan Pansus pada