KEBAIKAN DAN KEBURUKAN MENURUTZOROASTRIANISME (MENGENAL AJARAN MORALZARATHUSTRA)
Ahmad Kholil
Fakultas Humaniora dan Budaya UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Jalan Gajayana 50 Malang. Telp. 081807765237
e-mail. Khumi2005@yahoo.com
Abstract
Religions always have two values, which are very distinctive, i.e.
the goodness and the badness. Al Quran describes these two
qualities with varioususlubrelated to Arabic culture:al hasanatand
al sayyi’at. The goodness and the badness are always “in a war”
until the end of the world. As religions, both Islam and Zoroaster
rely on the faith toward God to edify their followers for performing
the goodness and leaving the badness. This paper reviews to some
extent–some commonalities between the moral teachings of Islam
and those of Zoroaster (excluding few shared concepts of theology
and creation process of the first living man). Moslems are required
to apply the concept of amar ma’ruf nahi munkar, while
Zoroastrians are called to implement the four principles of moral
attitude: putting the weapon down, ending any quarrel, exploring the
independence, and performing good attitude.
Key words: Islam,Zoroaster, theology, morality, culture
Secara theologis-filosofis, kebaikan, kesempurnaan, keindahan,
kesucian, kekuatan, kemandirian dan segala kualifikasi nilai yang menunjuk kepada
hal yang serupa merupakan kualitas ontologis (ى د ﻮ ﺟ و ﺮ ﻣ ا). Sedangkan kualifikasi yang
sebaliknya, seperti keburukan, kekurangan, kecacatan, kejelekan, kekotoran,
kelemahan, dan ketergantungan kepada yang lain adalah kualitas-kualitas yang relatif
dan tiada secara objektif. Dengan kata lain, yang pertama itu mewujud dalam
eksistensi yang utuh dan mandiri, sedangkan yang kedua tidak utuh dan terikat
dengan eksistensi yang lain. Sesuatu dikatakan baik karena padanya telah terpenuhi
beberapa kualifikasi yang dibutuhkan untuk disebut baik. Sedangkan dikatakan jelek
karena ada kualifikasi yang tidak terpenuhi padanya untuk disebutnya sebagai baik.
Dalam tradisi kefilsafatan, pembahasan tentang apa yang baik dan apa
yang buruk ini lazim dipahami dengan istilah etika. Dalam tradisi tersebut, etika
dianggap sebagai usaha manusia dengan akal budinya untuk mendapatkan teori
tentang penyelenggaraan hidup yang baik. Persoalan ini mucul ketika moralitas
seseorang atau suatu masyarakat mulai dirasa perlu untuk ditinjau kembali secara
kritis. Paul W. Taylor, seperti dikutip Komaruddin Hidayat dalam artikel Yayasan
Paramadina yang membahas ajaran al Quran dan relevansinya dalam kehidupan
modern, mengatakan bahwa moralitas itu berkenaan dengan tingkah laku manusia
yang konkrit praktis, sedangkan etika beroperasi pada level teoritis. Adapun
nilai-nilai etis yang dipahami, diyakini, dan berusaha diwujudkan dalam kehidupan nyata
di tengah masyarakat seringkali disebut ethos. Etika dalam pengertian yang umum
biasa juga disebut denganakhlaq.
Etika sebagai cabang filsafat, memandang tindakan manusia ini dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu tindakan objektivisme dan tindakan
bersifat objektif, terletak pada substansi tindakan itu sendiri. Paham ini melahirkan
apa yang disebut denganmadzhab rasionalisme dalam etika. Menurut kelompok ini,
suatu tindakan disebut baik bukan karena si pelaku senang melakukannya, atau
tindakan tersebut sejalan dengan kehendak masyarakat, melainkan semata karena
keputusan rasionalisme universal yang mendorong untuk melakukan tindakan
tersebut. Tokoh utama pendukung aliran ini ialah Immanuel Kant, sedangkan dalam
Islam, pada batas tertentu, ialah kaum Mu'tazilah, yang dikenal sebagai kelompok
rasionalis awal dalam Islam.Madzhabkedua adalah subjektivisme. Menurutmadzhab
ini suatu tindakan disebut baik apabila sejalan dengan kehendak atau pertimbangan
subjek tertentu. Subjek tersebut bisa saja berupa subjektivisme kolektif seperti
kelompok tertentu atau masyarakat atau juga Tuhan. Dalam Islam, paham demikian
direpresentasikan oleh golongan Asy'ariyah. Menurut paham Asy'ariyah, nilai
kebaikan suatu tindakan bukannya terletak pada objektivitas nilainya, melainkan pada
ketaatannya pada kehendak Tuhan (Makdisi, 2005: 50). Bila telah diketahui suatu
tindakan itu baik, manusia berkewajiban secara moral untuk melakukannya (Misbah,
2006: 51).
Terlepas dari beberapa perbedaan mengenai pandangan terhadap nilai
sebuah perbuatan, apa yang hendak ditulis pada makalah ini adalah sebuah perspektif
yang berusaha menyoroti doktrin keagamaan yang berhubungan dengan amal
perbuatan manusia, tentang moralitas. Islam sebagai agama akhlak sangat
mengedepankan moral sosial-religius dalam segala tindakan umatnya dalam wujud
memerintah kepada yang baik dan mencegah dari yang munkar (QS Ali Imron: 104).
Ibadah sebagai wujud pengabdian manusia kepada Tuhannya, dalam pandangan
Islam, bukan hanya dalam wujud ritual saja, namun menyangkut seluruh aktivitas,
aktivitas itu adalah ibadah meniscayakan kehadiran Tuhan di manapun sang hamba
berada. Dengan demikian, ia tidak punya ruang kosong untuk berlaku kafir atau
berkhianat atas "kepercayaan" yang telah diberikan Tuhan kepadanya. Dengan
ungkapan lain, sang hamba dituntut untuk selalu berbuat baik. Senada dengan ini,
para penganut Zoroaster, dengan keyakinannya akan eksistensi Tuhan harus rela
berbaiat dengan suara lantang agar menjunjung pikiran yang baik, perkataan yang
baik, dan perbuatan yang baik (Assagaf, 2009: 140).
Dalam ensiklopedi Funk and Wagnalls disebutkan bahwa penganut
Zoroaster di dunia saat ini ada sekitar 140.000 orang, dengan sebaran di Iran, India,
Timur Tengah dan Timur Dekat (Assagaf, 2009: 163). Sementara Putu Putra dalam
artikel "Zoroaster" menyebut sekitar 125.000 orang. Sebelum jauh menelisik ke
keyakinan tempo dulu Persia dalam sorot pandang etika, ada baiknya dikenalkan
lebih dulu situasi aktual Iran yang dulu menjadi basis munculnya agamaZoroaster, di
samping keberadaannya yang menjadi basis kajian Filsafat Islam dari dulu hingga
saat ini.
Persia Dari Klasik Hingga Modern
Persia wilayah yang di diami Bangsa Iran memiliki sejarah peradaban
yang sangat gemilang sejak ribuan tahun sebelum Masehi. Wilayah yang terdiri dari
gunung-gunung bersalju, lembah hijau dan padang pasir yang tandus ini telah dihuni
manusia lebih dari 100 ribu tahun yang silam (Smith, 2009: 4-9). Iran klasik, yang
dikenal dengan sebutan Persia adalah sebuah wilayah kerajaan besar yang meliputi
Babylonia, Palestina, Suriah, seluruh Asia Kecil bahkan hingga ke Mesir. Kejayaan
itu berlangsung hingga tahun 330 SM di mana kerajaan Romawi di bawah kendali
proses Hellenisme, bertemunya semangat budaya Barat dan Timur. Pada masa-masa
berikutnya, kawasan ini menjadi medan perebutan kekuasaan sejumlah suku penakluk
(Assagaf, 2009: 21).
Bangsa Arab, dengan semangat Islamnya berhasil memasuki wilayah ini
pada tahun 637 M, yaitu melalui perang Qadisiyyah, di mana imperium Persia takluk
kepada kaum muslimin yang dipimpin oleh Amir al Mukminin, Khalifah Umar bin al
Khattab. Pada tahun 641 M, setelah melalui peperangan Nehavand, seluruh imperium
Persia yang waktu itu dipimpin oleh Raja Yazdajird jatuh ke tangan kaum muslimin.
Sejak itulah, seluruh kawasan Persia yang semula menganut ajaran agama Zoroaster
beralih ke agama Islam. Dinasti dan pemerintahan yang memimpin Persia silih
berganti pasca-Khulafa' Rasyidun, mulai Dinasti Umawiyah (661-750 M), Abbasiyah
(750-1258 M), dinasti-dinasti lokal yang mengelilingi pemerintahan Abbasiyah
seperti: Tahirids (820-872 M) di Khurasan, Samanids (900-994 M) di
Transoxiana-Khurasan, dan Saffarids (867-909 M) di Kirman-Khurasan (Ensiklopedi Islam, 1994:
242).
Mayoritas penduduk Persia bermadzhab Syi'ah, hal ini mungkin
dikarenakan akumulasi sejarah yang sangat kompleks, sebagian di antaranya akibat
kekecewaan politik orang-orang Persia terhadap Bangsa Arab, juga adanya pertemuan
kultural antara Arab-Persia yang dilembagakan melalui pernikahan antara Hussain
putra Ali bin Abi Thalib dengan putri Kaisar Persia. Andil yang sangat besar dalam
persoalanmadzhabini adalah ketika dinasti Safawiyah berkuasa di mana secara resmi
penerapan ortodoksi agama dilakukan dengan menganut sufisme dengan corak
Syi'ahnya. Apa yang dilakukan Dinasti Safawi ini merupakan upaya politik untuk
membedakan wilayah kekuasaannya dengan wilayah-wilayah Sunni di sekitarnya,
Pada tahun 1219 Jengis Khan dari Mongol menyerbu wilayah ini dan 37
tahun berikutnya kekuasaan diserahkan kepada cucunya Hulagu Khan yang dikenal
dengan dinasti Ilkhanids. Keturunan Mongol berkuasa di wilayah ini hingga tahun
1335 M. Setelah masa kekuasaan Mongol itu, orang-orang Turki yang tergabung
dalam kelompok Black Sheep Turkeman dan White Sheep Turkemen juga pernah
menikmati kekuasaan di sini hingga 1500-an (Lapidus, 2000: 21). Sebelum mendapat
campur tangan Eropa, terutama Inggris saat kekuasaan dipegang Dinasti Qajar mulai
tahun 1779 sampai 1925 M, telah banyak kekuasaan yang turut andil membentuk
karakter Bangsa Persia-Iran ini. Dalam pembentukan sebagai negara modern bisa
dicatat beberapa dinasti dan kekuasaan yang mengatur kawasan ini, yakni Safawiyah
(1507-1772 M), Afgans Mahmud-1722 M, Nadir Shah-1736-1747 M,
Zands-1747-1779 M, dan baru kemudian dinasti Qajar-Zands-1747-1779-1925 M (Ensiklopedi Islam, 1994:
31-33).
Sejak 11 Februari 1979, melalui revolusi Islam yang dipimpin ulama
terkemuka Ayatullah Khomeini, sistem kerajaan yang telah ratusan tahun berlaku di
Iran dihapus dan diganti dengan sistem pemerintahan modern dengan sebutan
Republik Islam Iran. Di samping ada pemerintahan dan parlemen yang menjalankan
dan mengawasi pemerintahan, ada juga para faqih atau ulama karismatik yang ikut
mengontrol perjalanan pemerintahan dan kehidupan sosial-keagamaan penduduk.
Lembaga ini disebut Wilayah al Faqih yang sejak awal berdirinya, tahun 1979
tersebut dipimpin Imam Khomeini. Sebagai pemimpin atau Wali Faqih, Imam
Khomeini tidak duduk dalam jajaran eksekutif, melainkan hanya sebagai pembimbing
dan pengontrol. Setelah Sang Imam wafat posisinya digantikan para ulama karismatik
lainnya. Baru pada 4 Juni 1989, untuk menghindari konflik, kedudukan sebagai
Dalam sistem pemerintahan Iran dikenal juga istilah eksekutif, legislatif,
dan yudikatif. Kepala Pemerintahan dipegang oleh seorang presiden. Pemilu
dilakukan 4 tahun sekali untuk memilih 290 anggota parlemen. Sejak tahun 2000, Iran
memasuki babak baru dengan sistem multipartai. Sebelumnya, pemilu Iran hanya
diikuti tiga kontestan, yaitu: Majma'e Rouhaniyoun Mobarez, Jame'e Rouhaniyrt
Mobarez, dan Partai Pelaksana Pembangunan (Thohir, 2009: 192). Saat ini yang
memegang tampuk pimpinan di lembaga eksekutif adalah Mahmoud Ahmadi Nejad.
Ia telah memenangkan pemilu presiden untuk yang kedua pada 3 Agustus 2009.
Pada aspek sosial-budaya, penduduk asli Iran adalah Arya-Iran yang
berasal dari padang rumput Kaukasian dan diperkirakan telah mendiami kawasan ini
sejak 1500 SM. Di samping orang-orang Arya ada juga beberapa suku yang lain
sesuai dengan asal-usul leluhurnya. Etnik terbesar saat ini memang Arya seperti
Medes dan Parsa (orang-orang Persia), namun demikian ada juga etnik lain seperti
Kurdi yang terdapat di sebelah barat Azerbaijan, Kurdistan, dan wilayah Kermanshah,
yakni Suku Lur dan Suku Bakhtiari. Bahasa Persia dipakai oleh 80% populasi
penduduk Iran. Selebihnya Lur dan Bakhtiari memakai Bahasa Luri dan Suku Kurdi
memakai Bahasa Kurdis (Thohir, 2009: 193).
Berbeda dengan dunia Islam lainnya, Iran dengan madzhab resmi Syi'ah
memiliki para anggota Imam yang terdiri dari para Mujtahid dan Mullah. Mereka
itulah yang mempunyai otoritas untuk menafsir al Quran dan mengontrol
penerapannya dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam tradisi
intelektual-ilmiyah, Iran juga memiliki karakter tersendiri, di saat dunia Islam secara meluas
dilanda kevakuman, mereka terus melakukan kerja-kerja kreatif dengan
mengembangkan warisan-warisan intelektual muslim. Oleh karena itu, tidak aneh
tradisi ilmiyah yang khas terutama filsafat Islam terus tumbuh di Bumi Persia dengan
munculnya Theosofi Isyraqiyah oleh Suhrawardi al Maqtul, Shadhr al Din al Syirazi
yang lebih dikenal Mulla Shadra hingga ke Haidar Amuli. Pada periode modern dapat
disaksikan lahirnya tokoh-tokoh berkelas seperti Thabathaba'i, Mutohhari, dan Ali
Syari'ati.
Pada dasawarsa pertama abad ke-21 ini, di saat banyak atau bahkan
seluruh dunia/negara Islam tidak mampu berdiri tegak melawan keangkuhan Barat,
Iran adalah satu-satunya yang tetapistiqamah pada Islamnya dan tidak gentar dengan
gertakan, bahkan mampu membalas dengan sikap kritis sambil membawa bukti
penguasaan ilmu dan teknologi. Iran memang tidak menutup diri dari sains dan
teknologi, melainkan tetap pro aktif dengan pola relasi mengambil isi membuang
kulitnya, menerima dan mengembangkan hal-hal yang baik dari sains dan teknologi
tetapi yang kotor-kotor dibuang. Dari sini dapat disaksikan bagaimana "keperkasaan"
negara yang bahasa resminya banyak menghiasi warisan-warisan klasik khazanah
pengetahuan Islam ini.
Moralitas: Antara Islam dan Zoroastrian
Sebenarnya tidak mudah untuk menentukan suatu perspektif ketika sesuatu
tersebut belum disepakati batasan-batasannya. Demikian juga dalam tulisan ini, ketika
penulis mencantumkan suatu kategori "Islam", misalnya. Dalam benak pembaca pasti
muncul pertanyaan Islam yang mana, karena kenyataannya Islam telah terbagi dalam
beberapa madzhab. Hal yang sama mestinya juga terjadi ketika suatu kelompok
berkehendak menerapkan syari'ah Islam dalam tata sistem kenegaraan dan sosial di
wilayah yang multikultural ini. Mengapa demikian? Hal itu, mungkin karena pada
tunggal tetapi, telah menjelma ke dalam berbagai madzhab.Madzhab-madzhabfiqih,
seperti yang telah diketahui berbeda pendapat dalam satu kasus yang sama sekalipun.
Supaya tidak menimbulkan kesalahpahaman, penulis memberi batasan seperti
yang dipahami penulis terhadap Islam. Seperti yang dipahami bukan berartisembrono
tanpa bertanggungjawab, akan tetapi sesuai yang penulis ketahui berdasarkan sumber
tadwini (tertulis) maupun takwini (realitas alam). Pemahaman atas dasar yang
diketahui sudah tentu subjektif sesuai pengalaman dan referensi yang dirujuk penulis.
Kesubjektivan pandangan sebagai konsekuensi akal yang dianugerahkan Tuhan
kepada manusia bukanlah suatu aib, melainkan wujud apresiasi dan pemanfaatan
"nikmat Allah" berupa akal yang perlu dihargai. Dalam sebuah ungkapan, yang
dipublikasikan oleh Sirri al Syaqathi, ada pula yang menganggapnya Hadits,
disebutkan bahwa " " (bertafakkur dengan merenungkan
segala apa yang terjadi sesaat lebih utama daripada beribadah seribu tahun). Betapa
tingginya Allah menghargai buah pemikiran manusia, karena itu sungguh sebuah
perbuatan yang tidak terpuji kalau hasil pemikiran itu dicela, apalagi disesat-sesatkan
seolah hanya dia yang mencela itu yang benar.
Bertafakkur membutuhkan suasana tertentu yang kondusif, agar tidak
bercampur antara buah pikiran yang jernih dengan buah godaan nafsu yang mengajak
kepada kekotoran. Di antara contoh yang diberikan Nabi dalam tafakkur ini adalah
berkhalwat ( ﺤ ﺘ ﻟ ا) di Gua Hira, sedang para sufi mengajarkannya lewat uzlah
(menjauh) dari hiruk-pikuk duniawi (al Qusyairi, tt: 102). Namun, hal ini jangan
dipahami bahwa khalwat atau uzlah itu merupakan jalan penyelesaian masalah
satu-satunya. Ia tidak lain hanyalah sarana untuk menemukan solusi. Setelah ditemukan
solusi, tiada yang lebik baik selain mempraktikkannya dengan mencoba dan
keluar dari Gua Hira, demikian pula yang dilakukan para sufi, keluar dari Khaniqa
(tempat belajar) setelah dianggap lulus oleh gurunya.
Islam adalah agama hanif yang menuntut kepasrahan penganutnya kepada
tatanan (sistem) yang telah diciptakan Allah. Keislaman seseorang harus dinyatakan
dengan tegas lewat kalimat "syahadah". Kepercayaan seseorang terhadap adanya
Tuhan tanpa adanya pernyataan syahadah tidak bisa menjadikannya sah disebut
sebagai seorang muslim. Begitu juga, kebaikan macam bagaimanapun, tanpanya
(syahadah) akan tetap menjadikannya sebagai bukan Islam. Meskipun demikian,
ketidakislaman itu bukan berarti menutup dia untuk disebut sebagai orang yang baik.
Demikian pula hal itu tidak menghalanginya untuk bisa kembali ke sisi Tuhan dengan
baik-baik. Itulah spirit yang mesti dimiliki seorang muslim hanif, sehingga ia bisa
bergaul bebas dengan berbagai madzhab dan keyakinan keagamaan yang berbeda,
tanpa mengurangi keimanaannya kepada Allah (al Zuhaili dalam al Munir pada surat
al A'raf: 199).
Kebaikan yang tertulis pada judul artikel ini bermaksud menarasikan
ajaran-ajaran etika dalam Islam dan Zoroaster, yaitu etika yang berhubungan dengan
kehidupan sosial kemasyarakatan. Dengan mengetengahkan nilai kebaikan dari
ajaran-ajaran moral kedua keyakinan itu sudah tentu juga tersangkut yang sebaliknya
yaitu keburukan. Karena berbicara hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan sosial,
sudah tentu ia merupakan ajaran mengenai tindakan nyata yang dapat diukur dan
diamati, tanpa menelisik jauh ke dasar keimanan yang merupakan urusan hati. Pada
dasarnya Islam adalah agama akhlak (moral), baik dan buruk keislaman seseorang
diukur dengan moralitas yang dimunculkannya dalam tindakan keseharian (Imam
Malik, al Muatho' dalam Maktabah Syamilah). Demikian juga ajaran orisinil agama
yaitu berbuat baik terhadap sesama dan alam sekitar . Hanya saja, seperti juga Islam
yang mengalami perkembangan dan perubahan, dari ajaran moral yang menata hati
dan tingkah laku sosial itu kemudian terdistorsi oleh faktor sosial politik ke arah yang
menekankan pada ibadah ritual saja,Zoroasterjuga demikian (Antony, 2006: 11-3).
Perubahan-perubahan akibat perjalanan sejarah yang terjadi pada hampir
semua ajaran keagamaan sudah merupakan kelumrahan akibat kepentingan kelompok
yang terimplementasi dalam kekuatan sosial politik yang menjelma lewat kursi
kekuasaan. Kesejatian moralitas Islami yang diajarkan dan dicontohkan Nabi,
berkembang dengan nilai lebih dan kurang seiring pasang-surut moral pemimpinnya.
Dalam perjalanan sejarah tersebut terbukti bahwa bukan hanya nilai agama dan
budaya yang membentuk orang atau masyarakat, tapi juga bisa terjadi sebaliknya,
orang atau masyarakat juga bisa membentuk nilai agama dan budaya. Keterlibatan
nilai budaya dalam mewarnai ajaran agama itu, dalam sejarah perdaban Islam masuk
melalui jalur kekuasaan politik (Antony, 2006: 422). Yang terjadi padaZoroasterjuga
demikian (Anthony, 2006: 113).
Islam danZoroasterada kemiripan. Dalam kitab suciZoroaster(Zend Avesta)
disebutkan bahwa penciptaan alam semesta seisinya ini terbagi dalam enam masa.
Seperti agama-agama samawi yang lain, agama ini juga mempercayai adanya
kehidupan setelah mati. Demikian juga mengenai manusia yang pertama, menurut
ajaran Zoroaster manusia pertama adalah satu pasang, yaitu Mosyya dan Mosyyana
(Anthony, 2006: 162). Ini adalah di antara kemiripan kandungan ajarannya yang
berhubungan dengan sejarah penciptaan dan moral. Namun demikian, bukan sisi ini
yang hendak disorot penulis, melainkan pada aspek moralitas, yaitu ajaran etika yang
Karena Zoroaster lahir dan berkembang di tengah kehidupan masyarakat
agraris di masa Persia kuno, ajaran-ajarannya berhubungan dengan kehidupan
pertanian. Orang saleh dalam pandangan Zoroaster adalah mereka yang dapat
menanam pohon yang berguna, menyalurkan air ke tanah-tanah pertanian yang
kering, menyingkirkan binatang-binatang yang berbahaya, dan melakukan segala
pekerjaan demi keselamatan lingkungan (Smith, 2009: 4). Di atas telah disinggung
sabda Nabi yang menghimbau umatnya agar bertafakkur untuk melakukan yang baik
dan bermanfaat. Pada bagian lain Nabi memberi wejangan agar umatnya mampu
memberi kontribusi nyata pada kemanusiaan, " ". Sementara itu,
Zaratustra,nabinya kaumZoroastrianmenegaskan bahwa orang yang menabur benih
di lahan dengan cermat dan rajin, mendapatkan pahala yang lebih besar daripada yang
dapat diperolehnya dengan hanya mengulang sepuluh ribu doa (Assagaf, 2009: 164).
Teologi Zaratustra dipahami secara samar oleh orang asing bahkan juga oleh
penganutnya sendiri. Namun siapa pun akan terpaku oleh kesederhanaan falsafah
pemujaan Persia. Dalam sejarah awal kelahiran ajarannya, Zarasturian menolak
penggunaan kuil, altar dan patung-patung sebagai tempat dan wujud peribadatan.
Sungguh tidak benar kalau diyakini bahwa para dewa berasal, atau mempunyai tempat
tinggal di alam manusiawi. Puncak dari kebaikan sebagai persembahan manusia ada
pada kesediaannya untuk berkorban, yaitu berkorban dengan hati yang tulus untuk
kemaslahatan. Kaum Zarasturianbukanlah penyembah alam seperti bumi, api, angin,
air, matahari serta bulan. Akan tetapi, objek-objek itu, terutama matahari, cahaya dan
api yang mereka sebut Mithra adalah objek yang perlu dihormati karena dianggap
sebagai simbol yang paling murni dan mulia serta paling kuat dari kekuasaan Tuhan
Pada setiap agama bisa ditemukan jejak tauhid yang mengandung ajaran
monotheism, namun seringkali hal itu dikaburkan oleh perjalanan sejarah dan
intervensi politik oleh kekuasaan yang mencengkeram saat tertentu. Setiap agama
pasti menuntut ketaatan manusia dengan perintah mempraktikkan pengabdian kepada
Tuhan. Perintah itu harus dihormati dengan memasukkan kewajiban moral yang dapat
diibaratkan sebagai perintah hati sendiri. Itulah basis moral ajaranAhura Mazda yang
menganugerahkan kebebasan kepada manusia dengan memberikan kekuasaan untuk
memilih perbuatannya sendiri, yaitu diberi kehendak bebas sehingga dapat memilih
antara yang baik dan yang buruk.
Dalam Zoraster, manusia memiliki kewajiban moral untuk berbuat adil,
berbelas kasih terhadap sesama dengan sikap kedermawanan. Hanya dengan
mewujudkan sikap-sikap demikian orang bisa melepaskan diri dari cengkraman
Ahriman, yaitu roh jahat yang selalu mengajak kepada keburukan. Apabila kewajiban
moral itu telah terpenuhi orang akan bisa hidup dalam kekekalan dan penuh berkat,
dimana derajat kebahagiaan sebanding dengan kebajikan dan kesalehan yang
dijalankan (Assagaf, 2009: 152).
Dalam penghormatan terhadap ahli agama, pendeta atau magi, yaitu ulama,
guru atau mursyid dalam termonologi sufisme, Zoroaster menuntut hal yang sama
seperti murid kepada guru. Edward Gibbon, dalamThe Declin and Fall of the Roman
Empire,seperti dikutip Muhammad Hasyim Assagaf mengatakan:
"Walaupun pekerjaan kamu yang baik melebihi jumlah daun pohon-pohonan, tetesan hujan,
bintang di langit, atau pasir di pantai, semua itu tidak akan menguntungkan kamu, apabila kamu
tidak diterima oleh pendeta. Untuk mendapatkan penerimaan bimbingan ke arah keselamatan,
engkau harus dengan jujur membayar pajak keagamaan atas segala yang kau miliki, dari harta,
engkau akan mendapatkan pujian di dunia dan akan mendapatkan kebahagiaan di alam yang akan
datang" (Assagaf, 2009: 154).
Para Magi di Persia adalah pemegang otoritas di bidang pendidikan.
Ucapan mereka cermat, berkesan dan sangat membekas di kalangan rakyat. Para
Magi itu adalah para jenius dan dikenal sebagai pemikir spekulatif, dengan tradisi
turun-temurun suka memelihara dan menyelidiki rahasia-rahasia falsafah Timur.
Dengan keunggulan itu, ada komentar dari sejarawan Yunani, Plinius (23-79 M),
mengatakan bahwa para Magi menguasai masyarakatnya dengan tiga ikatan:
agama, kejiwaan, dan astronomi. Situasi Persia yang seperti itu terjadi di masa
pemerintahan Ardasyir, dimana nasihat-nasihat ordo kependetaan banyak
mengarahkan kebijakan-kebijakan raja dalam menetapkan aturan-aturan (Assagaf,
2009: 155).
Zaratustrasebagai pembawa dan penyebar teologiZoroastrianawal hidup
di tengah masyarakat agraris. Konteks sosio-budaya yang seperti itu
menginspirasinya untuk memberikan ajaran-ajaran moral yang berkaitan dengan
alam pertanian. Karena itu, kebaikan dan kesalehan dari sisi pandang praktis
Zaratustra terletak pada upaya pembudidayaan tanah, upaya menghasilkan padi
dan sayur-sayuran, menyiangi gulma yang mengganggu tanaman, mengairi lahan
pertanian yang kering, mengurusi hewan yang bermanfaat, seperti sapi yang amat
berguna dalam pengolahan tanah. Dari beberapa ajaran yang dikandung dalam
doktrin Zoroastrian ini dapat disimpulkan bahwa orang baik akan selalu setia
pada kebenaran dan benci terhadap kebatilan. Sebaliknya, orang yang jahat adalah
orang yang membiasakan diri dengan hal-hal yang buruk, tidak pernah menaruh
perhatian atas pekerjaan. Sifat demikian ini yang disenangi oleh Ahriman¸ yaitu
Dalam al Quran, gambaran sifat-sifat buruk yang menjadi lawan kebaikan
itu ada pada ciri-ciri orang munafik. Orang-orang munafik, menurut al Quran,
yang laki-laki maupun yang perempuan, semuanya mereka itu adalah sama,
mereka menyuruh kepada perbuatan-perbuatan yang munkar dan melarang yang
ma'ruf "فوﺮﻌﻤﻟا ﻦﻋ نﻮﮭﻨﯾو ﺮﻜﻨﻤﻟﺎﺑ نوﺮﻣﺄﯾ". Terhadap harta yang dimiliki, mereka
"menggenggamkan tangannya", yaitu berlaku kikir. Mereka enggan membantu
sesama, mereka telah lupa kepada Allah. Oleh karena itu Allah pun melupakan
mereka. Orang-orang munafik itu tidak lain adalah orang-orang yang fasik, yaitu
orang yang telah tahu aturan etika tapi tidak mau mengamalkannya dalam
kehidupan nyata (QS at Taubah: 67).
Pada Islam dikenal Hadits Nabi yang menganjurkan umatnya untuk
mandiri dengan bekerja keras untuk menopang hidupnya. Dikatakan pula bahwa
seorang muslim/beriman yang kuat lebih dicintai Allah daripada yang lemah. Nabi
menganjurkan umatnya untuk bekerja, bukan meminta-minta (Qardhawi, 1985:
124). Islam memang menghargai usaha dan kekuatan. Hal yang sama juga ada
pada Zoroaster. Sayyed Taghi Nasr, seperti yang dikutip Assagaf mengatakan
bahwa meminta-minta dalam pandangan etika-religius Zoroaster dianggap
sebagai kejahatan besar. Barang siapa menabur gandum, ia menabur kebaikan,
yang berarti ia memajukan agama. Bukan hanya itu, ajaran tentang kebersihan
juga mendapatkan porsi yang cukup besar. Dalam Avesta ada kalimat yang
menegaskan bahwa kebersihan adalah kebaikan kedua yang perlu diperhatikan
setelah kelahiran. Kesucian adalah hukum Mazda. Kesucian itu berarti suci dalam
pikiran, perkataan dan perbuatan (Assagaf, 2009: 166).
Sebagai keyakinan yang telah organized, sehingga membentuk sistem
denganMajusioleh kaum muslimin yang masuk pertama kali ke Persia dikatakan
sebagai ahlu kitab, sebagaimana Yahudi dan Kristen. Murtadha Mutthahari,
sebagaimana dikutip Assagaf berpendapat bahwa Zoroaster dapat digolongkan
sebagai agama tauhid, yakni penganut monoteisme. Aneka ragam syirik yang
hadir mengiringi perkembangannya, seperti dualisme (Ahura Mazda dan
Ahriman), pemujaan api dan lain sebagainya merupakan bid'ah-bid'ah yang
datang dari luar merasuki kemurnian ajarannya. Dengan tidak ditemukannya
secara pasti unsur non-monoteis ajaran Zoroaster asli, tidak ada halangan untuk
memandangnya sebagai agama monoteisme seperti yang lain.
Simpulan
Dalam sejarah intelektual Islam di masa keemasannya (رﺎھدزﻻا ﺮﺼﻋ), tidak ada
perbedaan antara filusuf (failusuf) dan alim atauulama dalam tradisi Indonesia.Para
filusuf pendahulu yang dikenal dikalangan kaum muslimin sebenarnya adalah seorang
intelektual yang ahli di bidang ilmu agama yang secara otomatis juga ahli di bidang
ilmu bahasa. Filusuf atau alim adalah pemikir di bidang keagamaan dan ilmu-ilmu
lain sekaligus. Sebagai pemikir mereka berkewajiban memikirkan apa saja yang
terjadi dan dilihat, kemudian menuliskan hasil refleksinya atas peristiwa tersebut agar
menjadi tuntunan untuk orang atau generasi berikutnya. Namun demikian, pada
penggal kesejarahan tertentu, ada yang membedakan antar filusuf dengan alim.
Filusuf dipahami sebagai orang yang bebas tanpa kendali dalam berpikir, sampai
rambu-rambu Kitab Suci pun dilanggar, sedangkan alim kebalikannya.
Untuk menghindari debat yang tak urgen mengenai kebahasaan itu, barangkali
lebih tepat di sini, dalam konteks pembahasan etika, mereka disebut saja sebagai
sebagai acuan dalam bertindak. Ajaran moral ini terdapat dalam Hadits "
" atau dalam kitab al Muwattha' karya Imam Malik yang mengatakan
bahwa Nabi memerintahkan kepada moralitas yang mulia ( ). Memang
telah banyak para ahli adab menulis risalah yang sarat dengan ajaran moral. Telah
jelas pula bahwa pedoman pokok ajaran Islam, al quran dan al Hadits pada dasarnya
adalah pegangan tentang etika Islam.
Kepustakaan adab Islam, menurut George A. Makdisi dalam The Rise of
Humanism in Classical Islam and the Christian West bermula dengan kemunculan
Ibnu al Muqaffa yang mengenalkan pemikiran India ke dunia Islam melalui
terjemahan dongeng-dongeng Bidpa dalam bukunya Kalilah wa Dimnah, dan
pemikiran moral Persia melalui bukunya al Adab al Kabir dan al Adab al Shagir ke
dalam Bahasa Arab. Karena itu, pengenalan pemikiran India dan Persia mendahului
pengenalan pemikiran Yunani dalam bidang etika dan Filsafat Moral (Makdisi, 2005:
536). Tradisi yang berasal dari kebudayaan luar itu kemudian segera disesuaikan
dengan standard moralitas Islam, dan diadopsi oleh Ibnu Qutaybah (w. 276 H/890 M)
dalam karyanya Uyun al Akbar. Kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh para
filosof muslim yang kesohor seperti Ibnu Miskawaih, al Ghazali, Ibnu Rusydi dan lain
sebagainya.
Kebaikan adalah kebenaran itu sendiri dalam wujudnya yang mandiri. Ia bisu
dan sering dalam kesunyian, seperti "surga" yang kata Nabi selalu diliputi hal-hal
yang kurang disuka. Dalam Islam, kebaikan itu ada pada wahyu yang tertulis dan
tidak tertulis. Pada yang tertulis, terdapat anjuran untuk melihat dan mengambil nilai
baik dari mana saja, sedang pada yang tidak tertulis manusia dianjurkan untuk terus
belajar dari realitas yang teramati agar ajakan kepada kebaikan itu mendapat respons.
terang dan gelap, adanya yang melihat dan yang buta, adanya yang sempurna dan
kurang, adanya yang benar dan yang salah, dan begitu seterusnya, dua entitas yang
tampak berlawanan tapi sebenarnya bersandingan untuk menguji batas kecerdasan
akal dan hati manusia dalam memilih.
DAFTAR PUSTAKA
Alhadar, Smith. Peny. 2009. Iran Tanah Peradaban. Jakarta: Kedutaan Besar
Republik Islam Iran.
Al Qardhawi, Yusuf. 1985.Al Halal wa al Haram Fi al Islam.Dar al Ma’rifah.
Assagaf, Muhammad Hasyim. 2009. Lintasan Sejarah Iran: Dari Dinasti
Achaemania Sampai Revolusi Islam. Jakarta: The Cultural Section of
Embassy of The Islamic Republic of Iran.
Black, Anthony. 2006. Pemikiran Politik Islam. Terjemahan oleh Abdullah Alu dan
Mariana Ariestyawati. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Lapidus, Ira M. 2000. Sejarah Sosial Umat Islam. Terjemahan oleh Gufron A.
Mas’adi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Maksidi, George A. 2005. Cita Humanisme Islam. Terjemahan oleh A.Syamsu Rizal
dan Nur Hidayah. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
Thorir, Ajid. 2009.Studi Islam Kawasan.Jakarta: Rajawali Press.
Tim Redaksi Ensiklopedi Islam. 1994. Ensiklopedi Islam. Jakarta: PT. Ichtiar Baru
Van Hoeve.
Yazdi, M.T. Misbah. 2006. Meniru Tuhan. Terjemahan oleh Ammar Fauzi Heriyadi.