• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK WARIS BAGI PEMOHON EUTHANASIA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HAK WARIS BAGI PEMOHON EUTHANASIA PERSPEKTIF HUKUM ISLAM"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

PERSPEKTIF HUKUM ISLAM

Abd. Rouf

Fakultas Syari’ah UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Email: rouf_elmuadz85@yahoo.com

Abstrak

This study aims at answering the problem of inheritance rights for the euthanasia applicant. In its legal istinbâth, researcher used killing act law that contains in hadithب ر ق أ ه ث ا ر و ف و ا ﺮ ـ ــ ﺛ ه ل ن ك ي م ل و ﺈ ــ ﻧ ﺶـــﯾءل ﺎ ـ ــ ﺗ ق ل ل س ي ل ا ﻲ ـ ــ ﺋ ش ل ﺎ ـ ــ ﺗ ق ﻻ ث ر ي ﻮ ـ ـ ﻟ ه ي ل إ ﺎ ــ ﺳ ﻼ ـ ــ ﻧas Al-Aslu by deciding Illat within the hadith that is killing (killing motive). The original law contained in the Hadith is unlawful for the murderer to inherit from the person who has been killed and its al-far'u is passive euthanasia. From the result of this research, it is concluded that the legal status of the applicant's rights to inheritance for passive euthanasia, it is hindered for the applicant to inherit property from the heir to the respondent.

Penelitian ini adalah untuk menjawab permasalahan hak waris bagi pemohon euthanasia.. Dalam istinbâth hukumnya, peneliti menggunakan hukum tindakan pembunuhan yang terdapat dalam hadits

ا ﻲ ـ ــ ﺋ ش ل ﺎ ـ ــ ﺗ ق ﻻ ث ر ي ﻮ ـ ـ ﻟ ه ي ل إ ﺎ ـ ـ ﺳ ﻼ ـ ــ ﻧ ب ر ق أ ه ث ا ر و ف و ا ﺮ ـ ــ ﺛ ه ل ن ك ي م ل و ﺈ ــ ﻧ ﺶـــﯾءل ﺎ ـ ــ ﺗ ق ل ل س ي ل sebagai al-Ashlu dengan menetapkan ‘illatyang terkandung di dalamnya yaitu menghilangkan nyawa (adanya motif pembunuhan). Adapun hukum asal yang terdapat dalam hadits tersebut adalah haram hukumnya bagi pembunuh mewarisi dari orang yang dibunuhnya dan al-far’uadalah euthanasia pasif. Dari hasil penelitian tersebut, maka diperoleh kesimpulan bahwa status hukum hak waris bagi pemohon euthanasia pasif adalah pemohon euthanasia terhalangi haknya untuk mewarisi harta dari pewaris yang menjadi termohon.

Kata Kunci:Euthanasia, pemohon, hak waris.

Pendahuluan

Islam adalah agama sempurna yang mampu menyelaraskan ajarannya dengan kehidupan masya-rakat pada umumnya, keselarasan tersebut tampak dari sikap masyarakat yang menerima segala ajaran yang diterapkan oleh Islam. Banyak sekali berbagai per-masalahan dan problematika yang sering muncul di tengah-tengah kehidupan masyarakat yang semakin berkembang dan tidak sedikit dari mereka yang kesulitan untuk mengatasi problematika dan mengon-trol perkembangan tersebut.

Contoh konkrit dalam dinamika kehidupan yang mengalami perkembangan yang sangat pesat adalah perkembangan dalam bidang ilmu kedokteran, ini terbukti dengan terjadinya perubahan yang sangat cepat dalam masalah kehidupan sosial budaya manusia. Karena perkembangan teknologi di bidang kedokteran inilah, para dokter dan para petugas kesehatan yang lain menghadapi sejumlah masalah yang cukup berat jika ditinjau dari sudut pandang etis dan yuridis. Masalah yang dihadapi mereka antara lain: transplantasi organ

masih banyak yang lainnya. Dari permasalahan di atas, euthanasia merupakan pilihan yang sangat sulit bagi tenaga medis dan yang bersangkutan secara langsung. Sampai sekarang permasalahan ini masih terus menjadi bahan perdebatan baik dari para ahli di bidang agama, medis dan etis yang masih belum ada satu kesepakatan.

Dengan adanya pengetahuan yang canggih dan modern, dokter dapat memprediksi penyakit yang ada pada seseorang untuk bisa sembuh total, lebih lama sembuh, tidak mungkin sembuh atau bahkan tidak dapat ditolong lagi. Ketika prediksi tersebut menya-takan bahwa penyakit yang diderita oleh seorang pasien tidak dapat disembuhkan, maka timbul dalam pikiran bahwa usaha apapun yang akan dilakukan akan menjadi sia-sia dan hanya akan menghabiskan biaya, sehingga menyebabkan timbulnya keinginan untuk mengakhiri hidupnya. Usaha-usaha atau tindakan-tindakan untuk mempercepat kematian guna mengakhiri penderitaan karena penyakit itulah yang disebut dengan istilah Euthanasia.1

manusia, kloning, bayi tabung, aborsi, euthanasia, dan

1 M. Quraish Shihab,Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab, (Bandung: Penerbit

(2)

56

~ Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 3, Nomor 1, Juni 2012, hlm 55-68

Ada beberapa pendapat tentang euthanasia, di-antaranya adalah ada yang menyatakan bahwa eutha-nasia adalah suatu pembunuhan yang terselubung dan sebuah tindakan yang bertentangan dengan kehendak Tuhan. Dikarenakan dalam hal ini manusia tidak mempunyai kewenangan untuk memberi hidup dan atau menentukan kematian seseorang, seperti yang dijelaskan di dalam al-Qur’an:

ESÈ\Bm"OjV XT0k-cXT qVfXSF

mewaris ada 3: (1) Berbeda Agama, (2). Pembunuhan, dan (3) Budak.4

Dalam al-Qur’an Allah mengungkapkan

ke-tentuan hukum kewarisan dengan ungkapan yang sangat jelas dan rinci, berikut semua kemungkinan implikasi penerapannya. Ayat-ayat mawaris tersebut ditutup dengan ancaman yang keras bagi orang yang melawan Allah dan Rasul-Nya dengan melanggar ketentuan yang digariskan-Nya. Ironisnya, justru ayat ini sering luput dan diabaikan oleh umat Islam itu sendiri.5

Dia-lah yang menghidupkan dan mematikan

dan hanya kepada-Nya-lah kamu dikembalikan.2 \ic VSyXqXT ̼c ¦W% jTiO ^ "

Pendapat ini beralasan bahwa sesungguhnya hidup dan matinya seseorang adalah hak prerogatif

\

IjÙ ÚÏ \\ m \I5] \I)UV"C% tmH

0 =\B

Tuhan yang tak seorang manusia atau institusi mana pun berhak mencabutnya.

Lain dari pendapat di atas, pendapat lain yang

¨ÈWc ¦W%XT §ª¬¨ 2jÀ\È wS[Ý ^

VlXT

mengatakan bahwa euthanasia dilakukan dengan tujuan baik yaitu untuk menghentikan penderitaan

\

IkÙ

\\ q \ic P\jTiP i\ÈW*WcXT VSyXqXT

pasien. Salah satu prinsip yang menjadi pedoman pendapat ini adalah kaidah manusia tidak boleh di-paksa untuk menderita. Para pendukung euthanasia ini berargumentasi bahwa memaksa seseorang untuk melanjutkan kehidupan penuh derita adalah sesuatu yang irasional.3

Euthanasia bisa terjadi karena permintaan dari pasien sendiri, tim medis atau berasal dari pihak keluarga pasien. Meski tindakan tersebut secara lahiriyah sepertinya dapat membantu meringankan/ menghilangkan penderitaan pasien, akan tetapi di-karenakan menggunakan cara-cara yang tidak benar dan akan mempunyai potensi untuk menghilangkan nyawa seseorang maka hal itu termasuk kategori pembunuhan.

Bagaimana jika euthanasia tersebut dilakukan atas dasar persetujuan pihak keluarga, dalam per-soalan dan implikasi hukumnya terhadap kewarisan. Dalam sistem hukum kewarisan Islam terdapat beberapa aturan tentang syarat-syarat, rukun-rukun dan sebab-sebab yang menentukan siapa saja yang berhak menerima waris serta hal-hal yang menjadi penghalang seseorang untuk dapat mewarisi. Dalam keterkaitannya kasus di atas maka akan dibahas mengenai hal-hal yang menjadi penghalang bagi se-seorang dalam menerima harta warisannya. Halangan

§ª­¨ÚÜI%8 [kWà V XT

(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke-dalam syurga yang mengalir dike-dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. Dan Barangsiapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan langgar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah me-masukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di

dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.6

Al-Qur’an telah menerangkan cukup jelas

tentang hukum-hukum kewarisan, keadaan masing-masing pewaris bersama nilai-nilai yang akan di-dapatkannya dengan cukup sempurna. Hanya sedikit saja hukum-hukum pusaka yang ditetapkan dengan sunnah, ijma, atau dengan ijtihad sahabat. Salah satu masalah kewarisan yang tidak secaraqoth’idijelaskan

dalam al-Qur’an ialah masalah pembunuhan yang

disepakati oleh parafuqoha’sebagai salah satu

peng-halang seseorang untuk mendapatkan warisan. Melihat dari realita di atas, maka peneliti akan memaparkan tentang status hukum hak waris bagi pemohon euthanasia dalam perspektif hukum Islam.

Mizan, 1999), h. 207.

2 Q.S. Yunus (10): 56,Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama Republik Indonesia

3 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka Dalam Beragama, (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h. 168.

4 Muhammad Jumali Ruslan,Risalah fi fiqh al-Mawarits,(Jombang:Ma’had

Nurul Qur’an, 1999), h. 8

5 Muhammad Ali Al-Sabouni,Hukum Kewarisan Menurut Al-Qur’andan

Sunnah(Jakarta, Dar Al-Kutub Al-Islamiyah, 2005), h. 274

(3)

Kewarisan Dalam Islam

Hukum waris Islam merupakan aturan yang mengatur pengalihan harta dari seseorang yang me-ninggal dunia kepada ahli warisnya. Hal ini berarti

irtsan - wa mîrâtsan, yang memiliki arti mewarisi.9

Seperti yang terdapat dalam firman Allah SWT berikut ini.

menentukan siapa-siapa yang menjadi ahli waris, porsi masing-masing bagian ahli waris, menentukan

R<-Æ

harta peninggalan dan harta warisan bagi orang yang meninggal dimaksud.

Berangkat dari suatu pemikiran bahwa adanya

X

sebuah hubungan maka akan menimbulkan akibat hukum, dan juga mempunyai implikasi bahwa akan ada hak dan kewajiban masing-masing. Diantara ke-wajiban yang harus dipenuhi oleh seorang ahli waris adalah merawat, menjaga dan menjadi fasilitator ketika seorang calonMuwâritssedang dalam keadaan

sakit, sedangkan hak yang akan didapatkan seorang ahli waris jikaMuwâritsnya sudah meninggal dunia

§ª¯¨ÛÜ - #²[Ý

“DanSulaiman telah mewarisi Daud.10dan dia

berkata:“Haimanusia, kami Telah diberi pengertian

tentang suara burung dan kami diberi segala sesuatu. Sesungguhnya (semua) Ini benar-benar suatu kurnia yang nyata.

dan ada Maurûtsnya adalah menerima warisan dari

apa yang telah ditinggalkan olehMuwârits, baik

be-^)VÙ \IW*W

j

ÈW%

1Wm¼ RWcm C% X= QFU 1[ XT

rupa harta, tanah, maupun hak-hak lain yang sah. Pengertian hak disini ialah sesuatu yang me-rupakan milik atau Kepunyaan sah,7 yang dapat

di-= Zk V Y 2FiÈW C% CV # 2 1I< _ W%

miliki ahli waris yang diperoleh dari hasil pembagian waris disebabkan karena adanya sebuah hubungan. Hak ini hanya dapat dipenuhi dengan memenuhi semua kewajibannya terlebih dahulu atau akan terhapus se-andainya ada sesuatu yang menjadi penghalangnya.

Islam memberikan perlindungan sepenuhnya atas kebendaan yang dimiliki seseorang, baik ketika seseorang tersebut hidup maupun telah meninggal dunia. Ketika seseorang tersebut masih hidup, hak propertinya mampu dilindungi oleh dirinya sendiri secara personal maupun dengan bantuan pihak lain, tidak jauh berbeda ketika seseorang tersebut telah meninggal dunia, hak-hak yang dimilikinya tetap di-lindungi dengan cara melimpahkan properti (harta yang dimiliki) kepada pihak-pihak yang berhak diberi limpahan hak tersebut.

Perpindahan hak kebendaan atas harta yang di-miliki oleh seseorang yang telah meninggal dunia kepada orang lain (ahli waris) ini diatur dalam ilmu mawârits, yang menjadi bagian dari ilmu fikih Islam

(cabang dari syari’ah Islam).8

Hukum Waris Islam dan Euthanasia

Dalam bahasa arab, kata almîrats “ﻼﻤﯾرﺎـــــﺛ“

adalah bentuk masdar dari kata waritsa yaritsu

-7 Burhani MS-Hasbi Lawrens, Kamus Ilmiah Populer, Jombang: Lintas Media

8 Muhammad Zuhaily, Al Faroidl wa al Mawarits wa al Washayah (Damsyik: Darul Kalam al-Thayyib, 2001), h. 17

§®±¨ÚÜ2q XS CVZ8

“Dan berapa banyaknya (penduduk) negeri

yang telah kami binasakan, yang sudah bersenang-senang dalam kehidupannya; Maka Itulah tempat kediaman mereka yang tiada di diami (lagi) sesudah mereka, kecuali sebahagian kecil. dan kami adalah

Pewaris(nya)”.11

Ditinjau dari segi bahasa, pengertian al-mîrats

adalah perpindahan sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari satu kaum kepada kaum lain. Sedangkan ditinjau dari segi istilah ilmu farâidh, pengertian al-mîrats adalah perpindahan hak

pemilikan dari mayit (orang yang meninggal dunia) kepada ahli warisnya yang masih hidup, baik pe-milikan tersebut berupa harta, tanah, maupun hak-hak yang lain yang sah.12

Adapun ilmu yang berkaitan dalam hal ini disebut

ilmu farâidh, yaitu ilmu yang membahas tentang

warisan dan orang-orang yang berhak menerima warisan untuk menyampaikan suatu hak kepada yang berhak menerimanya.13

9 Ali Al-Sabouni,Hukum Kewarisan,h. 41

10 Q.S. An-Naml (27): 16. Maksudnya adalah Nabi Sulaiman menggantikan kenabian dan kerajaan Nabi Daud a.s. serta mewarisi ilmu pengetahuannya dan kitab Zabur yang diturunkan kepadanya.

11 Q.S. Al-Qashshash (28): 58. Maksudnya: sesudah mereka hancur, tempat itu sudah kosong dan tidak dimakmurkan lagi, hingga Kembalilah ia kepada pemiliknya yang hakiki Yaitu Allah.

(4)

58

~ Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 3, Nomor 1, Juni 2012, hlm 55-68

Kata ﻼ ﻓ ر ﺎ ﺌ ـ ـ ـ ـ ـ ــ ﺿ (al-farâidh atau diindonesiakan

menjadi faroidh- pen.) adalah bentukjama’darijama’

ﻼﻓﺮﯿـــــــﺿة (al-farîdhah) yang bermakna ﻼ ﻤ ﻓ ر ﻮ ـ ـ ـ ـ ـ ﺿ ة (

al-mafrûdhah) atau sesuatu yang diwajibkan. Artinya,

pembagian yang telah ditentukan kadarnya,14 dalam

konteks kewarisan adalah bagian para ahli waris, yaitu bagian 1/2, 1/4, 1/8, 1/3, 2/3 dan 1/6.15

Euthanasia secara etimologi adalah kematian yang baik atau kematian yang menyenangkan. Seutonius dalam bukunya Vitaseasarum yang

me-rumuskan bahwaeuthanasiaadalah mati cepat tanpa

derita.16

Sedangkan secara terminologi euthanasia di-definisikan sebagai“pembunuhandengan belaskasih”

terhadap orang sakit, luka-luka dan lumpuh yang tidak ada harapan sembuh dan didefinisikan pula sebagai pencabutan nyawa dengan sebisa mungkin tidak menimbulkan rasa sakit seorang pasien yang men-derita penyakit parah dan mengalami kesakitan yang sangat menyiksa.17 Euthanasia dapat terjadi karena

dengan pertolongan dokter atas permintaan dari pasien ataupun keluarganya, karena pendereritaan yang sangat hebat dan tiada akhir, ataupun tindakan mem-biarkan saja oleh dokter kepada pasien yang sedang sakit tanpa menentu tersebut, tanpa memberikan per-tolongan pengobatan seperlunya.18

Yusuf Qardhawi dalam fatwa-fatwa kon-temporernya menyebutkan definisi euthanasia dengan menggunakanQatlu ar-Rahmah atauTaisir al-Maut

ialah tindakan memudahkan kematian seseorang dengan sengaja tanpa merasa sakit karena kasihan dan untuk meringankan penderitaan si sakit, baik dengan cara positif maupun negatif.19

Dengan melihat definisi di atas dapat dikatakan bahwa Euthanasia mencakup hal-hal yaitu (1) Kematian dengan cara memasukkan obat dengan atau tanpa permintaan eksplisit dari si pasien. (2) Keputusan untuk menghentikan perawatan yang dapat memperpanjang hidup pasien dengan mempercepat kematian. (3) Penanggulangan rasa sakit dengan cara memasukkan obat bius dalam dosis besar, dengan mempertimbangkan timbulnya resiko kematian,

14 Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar Mesir. Hukum Waris (Jakarta: Senayan Abadi Publishing, 2004), h. 11

15 Muhammad Jumali Ruslan,Risalah fi fiqh,h. 11

16 Adami Chazawi,Malpraktik Kedokteran(Malang: Bayumedia Publishing, 2007), h. 124

17 Muhammad Yusuf, Kematian Medis (Mercy Killing) Isu-Isu Hukum

tetapi tanpa ada niatan eksplisit untuk menimbulkan kematian pada pasien. (4) Pemberian obat bius dalam jumlah yang overdosis atau penyuntikan cairan yang mematikan dengan tujuan mengakhiri hidup si pasien.20

Setelah melihat rumusan-rumusan dari pengertian euthanasia yang telah peneliti jelaskan di atas, maka peneliti dapat mengambil kesimpulan bahwa euthanasia adalah segala macam tindakan untuk mengakhiri hidup seseorang atau mempercepat proses kematian seseorang dengan cara membebaskan penderitaannya dengan kematian demi kepentingan pasien sendiri dengan atas persetujuan dari berbagai pihak baik dari pasien, pihak keluarga atau pun dari dokter yang ahli dibidangnya dengan segala per-timbangan yang matang.

Macam-macam Euthanasia

Dilihat dari orang yang berkehendak, euthanasia bisa muncul dari keinginan pasien sendiri, pemintaan dari keluarga dengan persetujuan pasien (bila pasien sadar), atau tanpa persetujuan pasien (bila pasien tidak sadar). Tetapi tidak pernah ditemukan euthanasia yang dikehendaki oleh dokter tanpa persetujuan pasien maupun pihak keluarga, karena hal itu berkaitan dengan kode etik kedokteran.21 Di dalam kode etik

kedokteran memuat ketentuan dan petunjuk, bagai-mana dan apa yang harus dilakukan, dan apa yang harus dihindarkan, supaya dapat dikatakan, seorang dokter yang baik, beretik dan terhormat. Sampai-sampai diberi petunjuk, bahwa seorang dokter harus berpakaian bersih rapih, bermuka jernih, berbudi bahasa dan tutur kata yang menawan hati.22

Dilihat dari kondisi pasien, euthanasia dapat dikategorikan menjadi dua macam yaitu, euthanasia aktif dan euthanasia pasif. Selanjutnya euthanasia aktif dibagi menjadi dua bagian yaitu euthanasia aktif secara langsung dan euthanasia aktif secara tidak langsung.23

Euthanasia aktif

Suatu peristiwa di mana dokter atau tim medis lainnya secara sengaja melakukan tindakan, baik dengan memberikan suntikan maupun melepaskan alat-alat pembantu medika, seperti melepaskan saluran asam, melepaskan alat pemicu jantung dan sebagainya, untuk mempercepat atau mengakhiri

Kontemporer dari jenggot hingga Keperawanan, (Yogyakarta: Penerbit

Teras, 2009), h. 63

18 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto,Euthanasia Hak Asasi Manusia

dan Hukum Pidana(Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1984), h. 55

19 Yusuf Qardhawi,Fatwa-Fatwa Kontemporer,Jilid 2 (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), h. 749

20 Muhammad Yusuf,Kematian Medis, h. 64 21 Muhammad Yusuf,Kematian Medis, h. 65

22 Jef Leibo,Bunga Rampai Hukum dan Profesi Kedokteran Dalam Masyarakat

Indonesia(Yogyakarta: Liberti, 1986), h. 52

(5)

kehidupan si pasien atau mempercepat proses ke-matian. Yang termasuk tindakan mempercepat proses kematian di sini adalah jika kondisi pasien berdasarkan ukuran dan pengalaman medis masih menunjukkan ada harapan untuk hidup. Dengan kata lain, tanda-tanda kehidupan masih terdapat pada penderita ketika

Di sisi lain, euthanasia aktif yang berakibat mengakhiri hidup seseorang walaupun dengan alasan

“kemanusiaan”,pada hakikatnya adalah mereka telah

berputus asa dari rahmat Allah SWT.29Padahal secara

tegas al-Qur’an telah menyatakan:

tindakan itu dilakukan.24

Sungguh, jika kita melihat kembali atas apa

[Tq C%

W c

Y O5 [Tq C% S W c YXT

yang telah ditetapkan oleh Allah SWT tentang per-masalahan memudahkan proses kematian (Euthanasia aktif) tidaklah diperkenankan oleh ajaran Islam, sebab dengan melalui Euthanasia aktif berarti mereka telah dengan jelas melakukan pembunuhan, padahal mereka sama sekali tidak berhak melakukan itu, mereka secara tidak langsung telah mengambil hak Allah SWT yang sudah menjadi ketetapanya. Di dalam al-Qur’an disebutkan:

§±°¨WDTmÝ V 3SV Y

Dan jangan kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya tiada berputus asa dari rahmat Allah, melainkan kaum yang kafir.30

Ikhtiar merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan oleh setiap manusia sebelum ia menyerah-kan sepenuhnya kepada tuhan. Tidak ada alasan untuk berputus asa atas segala sesuatu, untuk itu pengobatan

V¼\\Y =%U% #) Wc DU C%U- E W%XT atau berobat hukumnya adalah wajib bagi orang yang

menderita penyakit.

Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah

(tidak sengaja)”.25

\

U Y W3m\O³/ ` Ý= S) V"YXT

Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang di-haramkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.26

Islam mengakui hak seseorang untuk hidup dan mati, namun hak tersebut merupakan anugerah Allah Swt kepada manusia dan hanya Dia-lah yang dapat menjadi penentu kapan seseorang dilahirkan dan di-cabut nyawanya.27 Dalam ajaran Islam pembunuhan

adalah termasuk salah satu dosa besar, baik terhadap orang lain (kecuali dengan alasan yang dibenarkan oleh agama) maupun terhadap dirinya sendiri (bunuh diri) dengan alasan apa pun sebagaimana firman-Nya dalam al-Qur’an:

Dalam euthanasia aktif terdapat dua cara dalam pelaksanaannya,31(1) Euthanasia aktif secara

langsung adalah dokter atau tim medis lainnya sengaja melakukan suatu tindakan medis untuk mengakhiri penderitaan pasien atau penderita, misalnya dengan

suntikan “overdosis” morfin yang mengakibatkan

matinya pasien. (2) Euthanasia aktif secara tidak langsung adalah dokter atau tim medis lainnya tanpa memperpendek atau mengakhiri hidup pasiennya dengan melakukan tindakan medis untuk meringankan penderitaan pasien dengan adanya resiko bahwa tindakan medis tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien.

Euthanasia pasif

Suatu tindakan dokter dan tim medis berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras atau secara sengaja tidak memberikan bantuan medis lainnya terhadap pasien yang dapat memperpanjang hidupnya atau melakukan tindakan membiarkan pasien atau penderita karena menurut

§«²¨ -jOXq1 WD D 1 _ Ý5U S) YXT pengalaman medis sudah tidak ada harapan hidup atau

tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya.32

Dan janganlah kamu membunuh dirimu;

Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu.”28

Akibat dari semua itu akan semakin mempercepat ke-matian pasien.

Proses kematian dengan cara demikian ini sering diistilahkan dengan Qatlu ar-rahmah (membiarkan

24 Muhammad Yusuf,Kematian Medis. h. 66 25 Q.S. An-Nisâ’(4): 92

26 Q.S. Al-Isra’(17): 33

27 Alwi Shihab, Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (Bandung: Penerbit Mizan, 1997), h. 170.

28 Q.S. An-Nisa; (4) : 29

29 M. Quraish Shihab,Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab Seputar Wawasan

Agama(Bandung: Penerbit Mizan, 1999), h. 208

30 Q.S. Yusuf (12) : 87

(6)

60

~ Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 3, Nomor 1, Juni 2012, hlm 55-68

perjalanan menuju kematian karena belas kasihan) yakni dalam kategori praktek penghentian pengobatan (Euthanasia pasif), bukan termasuk dan berbeda dengan kategori Euthanasia aktif, karena dalam kasus ini tidak didapati tindakan aktif dari dokter maupun orang lain, hal ini juga didasarkan pada keyakinannya bahwa pengobatan yang dilakukan tidak ada gunanya serta tidak memberikan harapan bagi si sakit.33

Alasan yang juga lazim dikemukakan adalah karena keadaan ekonomi pasien yang terbatas, semen-tara dana yang dibutuhkan untuk biaya pengobatan cukup tinggi dan fungsi pengobatan yang menurut perhitungan dokter sudah tidak efektif lagi.

IPTEK dalam kedokteran telah mengalami kemajuan yang sangat pesat, namun kemampuan IPTEK juga terbatas dan selalu masih mempunyai kekurangan. Oleh karena itu, jika kemajuan IPTEK ini sudah tidak dapat memberikan harapan penyem-buhan dan membantu pengobatan pasien, hendaknya semuanya dikembalikan kepada Tuhan yang Maha Esa. Ini berarti dengan alasan kemajuan IPTEK bukan berarti diperbolehkan melakukan tindakan aktif untuk menghilangkan nyawa manusia. Hal itu terjadi karena kemajuan ilmu dan teknologi kedokteran adalah berangkat dari tujuan tidak mau membiarkan pasien meninggal dan tidak menyisakan tempat atau peluang terjadinya kematian.34 Setidaknya mengamankan

manusia dari kematian yang dapat dihindarkan.

Tujuan euthanasia

Suatu faktor yang sangat vital dalam hal meng-hadapi persoalan euthanasia adalah problem dari hak untuk menentukan nasib sendiri (self determination).35

Dalam pengertian bahwa ketika manusia dalam situasi sulit di mana dalam keadaan comma atau

sekarat berkepanjangan, sudah tidak ada harapan dan ia sangat menderita baik secara psikis maupun fisik, kehidupannya sudah tidak lagi dapat dihayati sebagai suatu nilai.

Mengakhiri hidup seseorang yang sedang menerima cobaan Tuhan tentunya tidak dibenarkan. Sebaliknya ada pendapat yang menyatakan bahwa terpaksa melakukan tindakan tersebut atas dasar pri-kemanusiaan. Mereka tidak tega melihat penderitaan yang dialami oleh pasiennya, yang telah berulang kali meminta kepadanya agar penderitaanya diakhiri saja.36

33 Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, h. 752 34 Muhammad Yusuf,Kematian Medis, h. 61 35 Muhammad Yusuf,Kematian Medis, h. 73

36 Djoko Prakoso dan Djaman Andhi Nirwanto, Euthanasia Hak Asasi

Manusia, h. 82-83

Untuk memperoleh pemahaman dalam pem-bahasan ini, maka peneliti akan paparkan beberapa contoh kasus sebagai berikut:

Seorang pasien terbaring di ruang perawatan intensif (ICU) selama tiga minggu dalam keadaan tidak sadarkan diri (comma). Dari mulutnya

men-julur sepotong selang sebesar jari telunjuk yang di-hubungkan ke alat bantu pernafasan (respirator) di

kiri dan kanan lengannya terpasang alat infus yang meneteskan cairan secara teratur. Pada dadanya terpasang lempengan tipis dengan kabel penghubung ke alat monitor yang memberi gambaran denyut jantung. Pasian tersebut ditempatkan di ruang khusus berdinding kaca dengan dilengkapi soundsystem

sebagai alat bantu berkomunikasi di saat pasien sadar. Berdasarkan perhitungan dokter kesempatan hidup pasien secara normal sangat kecil. Hidup pasien tersebut benar-benar tergantung kepada alat penopang hidupnya itu. Dia sudah dalam kenyataan

in persistent vegetative state, yakni hanya dapat hidup

dengan bantuan aparaturlife support syistem. Apabila

alat tersebut dicabut, hidup vegetatifnya pun segera berhenti. Apakah dengan penerapan alatlife support

syistem itu masih dianggap manusiawi? Bukannya

dengan alat itu penderitaannya justru semakin berat? belum lagi biaya pemasangan alat-alat itu yang men-capai kira-kira $200.000 pertahun.37

Pasien lainnya menderita kanker ganas. Hampir setiap malam dia meraung kesakitan dan men-jerit-jerit. Dengan pertolongan obat tertentu rasa sakitnya hilang sejenak. Akan tetapi, setelah be-berapa saat reaksi obat tersebut hilang akan disusul oleh rasa sakit berikutnya. Penderita tersebut telah mengalami perawatan yang cukup lama dan telah menghabiskan berbagai macam obat yang cukup mahal. Harta kekayaan pasien (keluarganya) se-makin terkuras untuk membayar biaya perawatan yang terasa cukup memberatkan itu. Apakah masih lebih baik mengurusnya (secara intensif) pasien tersebut yang sebetulnya penyakitnya sudah tidak dapat disembuhkan? Sedangkan keluarga tersebut semakin terlantar, anak istri/suami semakin kurang mendapatkan perhatian, karena sibuk mengurus pasien tersebut. Apakah justru lebih manusiawi untuk mengurus anak istri/suami, yang masih mempunyai harapan hidup lebih baik (produktif) dari pasien itu sendiri.

Keadaan di atas merupakan situasi yang sering menjadi masalah bagi para dokter, perawat maupun

(7)

keluarga pasien. Hal itu juga sering menjadi dilema yang cenderung mendorong seseorang untuk men-cari jalan pintas sepragmatis mungkin untuk mem-bebaskan diri dari keadaan yang mencekam. Dari sini terlihat secara jelas bahwa tujuan pokok dari eutha-nasia adalah pembunuhan berdasarkan belas kasihan (mercy killing).

Sampai saat ini, euthanasia merupakan per-masalahan etika yang sangat berat dan menjadi proble-matika di bidang kedokteran di berbagai belahan dunia, khususnya di Indonesia. Terlebih problem ini sudah menjadi permasalahan hukum dan agama. Di satu sisi euthanasia dapat merampas hak hidup se-seorang, meskipun di sisi lain itu dapat membantu menghilangkan penderitaan secara terus-menerus yang dialami pasien maupun keluarganya.

Istinbâth Hukum Dalam Penetapan Hak Waris

Bagi Pemohon Euthanasia Pasif Perspektif Hukum Islam “Qiyas”

Kematian mempunyai indikasi terhadap

ke-membutuhkanmanhâjatau metode untuk menentukan

dan mengetahui secara pasti bagaimana hukum dari tindakan euthanasia yang dilakukan atas permohonan ahli waris dan kemudian dapat ditentukan ahli waris yang terlibat dalam permohonan euthanasia, apakah masih berhak mendapat hak warisan.

Membicarakanistinbâthhukum di dalam metode qiyâs, berarti tidak akan terlepas dari rukun-rukun

atau unsur-unsurnya. Rukunqiyâssebagaimana telah

disebutkan adalah al-ashlu (asal), hukum asal,furû’ (cabang) dan ‘illat.

Pada dasarnyaal-ashluadalah dalilnashbaik itu

dari al-Qur’anmaupun hadis yang mempunyai

keter-kaitan erat dengan permasalahan ini, maka dari itu peneliti menemukan sebuah hadits yang relevan untuk dijadikan sebagai sandaran qiyâs, yang kemudian

peneliti tetapkan bahwa tindakan pembunuhan yang terdapat dalam hadits ini sebagai al-ashlu dalam

permasalahan hak waris bagi pemohon euthanasia ini. Hadits tersebut adalah:

warisan dikarenakan meninggalnya seseorang dan

harta yang ditinggalkannya akan menjadi hak bagi

ل ِ◌ ِ◌�اق َ◌ل ْ◌ ِ◌ل

س َ◌ ْ◌ي َ◌ل م َ◌ َ◌ّ◌لس َ◌

orang yang ditinggalkannya (ahli waris). Disamping

itu hak ahli waris dapat dicabut jika terbukti mem-

س ِ◌

ا َ◌ّ◌ﻼـــﻧ

ب ُ◌

ر َ◌

bunuh pemilik harta warisan tersebut, lebih kongkritnya dapat dikatakan bahwa ahli waris mutlak

38

ا ً◌ئ ْ◌ي

ش َ◌

ل ُ◌ ِ◌�اق َ◌ ْ◌ﻻ

ث ُ◌ ر ِ◌ َ◌ي ﻻ َ◌و َ◌

ه ِ◌ ْ◌

ي َ◌ل ِ◌إ

tidak berhak atas harta yang ditinggalkan si mayit. Dalam permasalahan ini para ulama’ sepakat bahwa

status seseorang karena sebab membunuh, berbeda agama dan perbudakan merupakan penghalang terjadinya pewarisan.

Salah satu contoh kasuistik dari berbagai

per-Rasulullah bersabda pembunuh tidak men-dapatkan apa-apa dari harta warisan dan jika dia tidak memiliki ahli waris maka warisannya diberikan kepada orang yang terdekat dengannya dan pembunuh

tidak mendapatkanharta warisan”.

masalahan di atas adalah euthanasia. Berbagai ahli

di bidang kedokteran menyatakan bahwa euthanasia

د ٍ◌

ع ْ◌

dibagi menjadi dua yaitu euthanasia aktif dan

eutha-nasia pasif. Dalam hal ini yang akan peneliti tetapkan

ن ْ◌

ع َ◌

status hukumnya adalah euthanasia pasif yang

(8)

62

~ Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 3, Nomor 1, Juni 2012, hlm 55-68umum, kasus euthanasia yang dilakukan

keluarga korban atau atas permohonan secara

ter-39

.ثر ِ◌ َ◌ي ﻻ َ◌

ل ُ◌ ِ◌�اق َ◌ ْ◌ﻻ

struktur didapati kemungkinan adanya ambisi keluarga

korban untuk secepatnya memperoleh harta warisan. Dengan demikian eutahanasia dapat dijadikan dalih untuk mencapai maksud tersebut.

Sedangkan secara khusus, tidak ada dalil yang menyebutkan tentang larangan euthanasia. Dalil-dalil yang terdapat dalam al-Qur’an dan hadits masih be

r-sifat umum dan tidak secara eksplisit mengarah pada pengharaman dilakukannya euthanasia, sehingga

38 Shidqî Muhammad Jamil,Sunan Abî Dâwud,Kitab diyat, bab Diyat al-A’dha’,no. 4563, (Lebanon: Dâr al-Fikr, 2003), 190-191. Diriwayatkan juga

olehal-Nasa’i,Kitab al-Qisâmah, dzikrul al-Ikhtilâfi‘alâKholidi al-Khodzâi 4815, diriwayatkan oleh Ibnu Majah,kitab al-Diyat, bab Diyat al-Khottho’

2630. hadis marfu’, dengan periwayat yang berkualitas tinggi. Jika dilihat

dari aspek kualitasnya, maka hadis ini berkualitas shahih, karena seluruh rawinya merupakan rawi yangtsiqah, dan dari apek ketersambungannya, hadits ini merupakan hadits yang muttasil.

39 Al-Dârimî,kitab al-Faraidl ‘anRasulillah,Kitab Mâ jâ fi Ibathal

al-Mirats, No. 2035. lihat juga dalam Sunan ibn majah,kitab al-diyat,no.

2635 dankitab al-faraidl,No. 2725. hadis ini dinilai muttasil dari aspek ketersambunganya. Sedangkan dari aspek kualitasnya, hadis ini merupakan hadishasan, karena Ishaq ibn Abdilah ibn Abi Farwah dinilai tidaktsiqah,

(9)

Muhammad bin Rumhi al-Mishri menceritakan

kepada kami, al-Laits binSa’dmemberitakan kepada

kami dari Ishaq bin Abi Farwah dari Ibnu Syihab dari Humaid dari Abi Hurairah bahwa Rasulullah

Saw bersabda: pembunuh tidak dapat mewarisi”.

Al-Far’u adalah suatu perkara yang belum

ada ketentuan hukum darinash. Dan di dalam

pem-bahasan ini far’unya adalah pemohon euthanasia

pasif yakni suatu tindakan ahli waris yang memohon kepada dokter atau tim medis berupa penghentian pengobatan pasien yang menderita sakit keras atau secara sengaja tidak memberikan bantuan medis lainnya terhadap pasien yang dapat memperpanjang hidupnya dengan melakukan tindakan membiarkan pasien atau penderita karena menurut pengalaman medis sudah tidak ada harapan untuk hidup atau tanda-tanda kehidupan tidak terdapat lagi padanya.40

Masalik al-‘Illah

Diantara Masalik Al-’illah (metode pencarian ‘illat) yang peneliti gunakan adalah Sabru waTaqsîm.

Dalam sabru wa taqsîm ini, peneliti akan paparkan

semua sifat-sifat yang terdapat pada tindakan eutha-nasia, kemudian memisahkan atau memilih diantara sifat-sifat tersebut yang relevan untuk dijadikan sebagai‘illathukum.

Sifat-sifat yang terdapat dalam tindakan eutha-nasia adalah pertamamenghilangkan nyawa. Dalam

Islam, masalah jiwa sangatlah diperhatikan, seperti apa yang telah difirmankan oleh Allah dalam al-Qur`an yang secara tegas melarang perbuatan yang dapat menghilangkan nyawa seseorang atau meng-hilangkan nyawanya sendiri. Allah berfirman dalam Al-Qur’an sebagai berikut:

Dimungkinkan permasalahan yang terjadi di dalam euthanasia pasif adalah karena salah satu organ

ÚÜ\È Ý= ` Ý=

D SMnÙ 1MnQ R<W)[ XT

pentingnya sudah rusak atau lemah seperti: bocornya pembuluhdarah yang menghubungkankeotak(stroke)

C Dl] El]XT 5] \ 5] ÛÜ\È

yang mengakibatkan tekanan darah terlalu tinggi dan tidak berfungsinya jantung. Euthanasia pasif berarti

X

SI O ;i_¡V" C\-VÙ © _¡ \[TmH C

membiarkan si sakit mati secara alamiah tanpa bantuan alat apapun, padahal dia membutuhkannya

W$Ws5U \- 1 Vf 2V CW%XT QXqÝ

untuk mempertahankan hidup.

Adapun hukumsyara’yang terdapat padaashal

adalah haram hukumnya bagi pembunuh untuk me-warisi apa yang ditinggalkan dari orang yang di-bunuhnya.

Jika seorang pembunuh tersebut tidak di-gugurkan haknya untuk mewarisi harta orang yang dibunuh, niscaya akan ada banyak orang yang akan membunuh kaum kerabatnya untuk memiliki harta mereka. Akibatnya akan menimbulkan kekacauan dan dapat merusak pranata sosial baik dari segi ketertiban, keamanan dan ketentraman masyarakat. Maka dari itu, ditetapkan bahwa akibat dari pembunuhan ter-hadap nyawa seseorang yang masih ada hubungan kekerabatan adalah berakibat hilangnya hak waris terhadap harta yang akan ditinggalkan oleh pewaris yang telah dibunuhnya.

§­®¨WDS- À 1F \ V T

“Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka

di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yangzalim”.42

Ayat ini secara tegas melarang melakukan pem-bunuhan dengan ancaman hukuman qishâsh bagi

yang melakukannya, sebagaimana dinyatakan juga dalam Q.S. al-Baqarah ayat 179:

Dari sisi yang lain, pembunuhan itu sendiri adalah suatu perbuatan biadab (kejahatan yang sangat keji). Akal yang sehat dan hukumsyara’tentu tidak

dapat menerima kalau perbuatan keji ini menjadi

1 \È W ] r T Wc QSXj

© _¡ rÛ 1 V XT

§ª°²¨WDS *V"

suatu cara seseorang meraih kemewahan, memiliki dan menikmati serta memanfaatkan harta orang yang menjadi korbannya.41

“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan

ke-langsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang

berakal, supaya kamu bertakwa”.43

40 Muhammad Yusuf,Kematian Medis, h. 67 41 Ali Al-Sabouni,Hukum Kewarisan,h. 53-54

(10)

64

~ Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 3, Nomor 1, Juni 2012, hlm 55-68

CW% \U Y W3m ³/ ` Ý= S ) Y

. XjOU XT_1 W%U XSF O5U XT

om d ZVÙ = V¼ y Ok XS X=\È\B iV

%SÀ #) “Danbahwasanya Dialah yang mematikan dan

menghidupkan”.48

. qS¡=W%WD[ O5 #)V rÛ

“Danjanganlah kamu membunuh jiwa yang

di-haramkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar. Dan barangsiapa dibunuh secara zalim, maka sesungguhnya kami telah mem-beri kekuasaan kepada ahli warisnya, tetapi jangan-lah ahli waris itu melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia adalah orang yang mendapat

per-tolongan”.44

Keduamenyakiti, dalam konteks manusia,

peri-laku yang menyakiti diri adalah sebuah ungkapan yang banyak digunakan secara konseptual dari be-berapa jenis tindakan destruktif. Dalam hal ini me-nyakiti memiliki sifat yang mencirikan beberapa jenis tindakan diri sendiri atau tindakan yang ditimbulkan orang lain, baik kepada diri sendiri maupun kepada orang lain yang bersifat merusak. Di dalam al-Qur’an

disebutkan:

\U Y W3m ³/ >Ý= S * YXT

D S= OU RV M- rQ cicU S "YXT

. WÛÜ= U- Vf

“Danjanganlah kamu membunuh jiwa yang

di-haramkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan

sesuatu (sebab) yang benar”.45

Mengomentari ayat di atas, Abu Ja’far

Muhammad bin Jarir Ath-Thabari menjelaskan bahwa maksud dari ق ا ﻻ ب ﻻ adalah pembunuhan

yang dibenarkan oleh Allah SWT itu seperti merajam pelaku zina untuk menjaga manusia, atau membunuh orang yang murtad dari agamanya.46 Dari sebab

itulah sebab dibolehkannya membunuh seseorang yang sebenarnya membunuh jiwa orang-orang yang beriman adalah haram. Orang-orang tersebut adalah

“Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu

sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang

yang berbuat baik”.49

Meskipun ayat ini diturunkan untuk menjelaskan keadaan orang-orang yang menolak mengeluarkan zakat, namun pengambilan konklusi adalah berdasar-kan umumnya teks, buberdasar-kan khususnya sebab.50

Se-hingga ayat ini dapat dijadikan dalil untuk melarang manusia menyakiti diri sendiri atau menyakiti orang lain. Dalam ayat lain Allah SWT berfirman:

termasuk dalam salah satu kategori halal darahnya menurut Islam.

. -jOXq1 WD [ D 1 _ Ý5 S) "V YXT

Tindakan pembunuhan atau bunuh diri dilarang oleh Islam karena untuk memelihara jiwa seseorang. Hanya Allah lah yang berhak melakukan tindakan

“Dan janganlah kamu membunuh dirimu,

Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang

kepadamu”.

51 mengambil nyawa seseorang, bukan orang lain atau

dirinya sendiri. Hal ini dinyatakan dalam Q.S. al-Hijr ayat 23:

Seburuk-buruk orang adalah orang menyakiti dirinya sendiri, terutama apabila dia melakukan per-buatan bunuh diri atau membunuh orang lain. Balasan bagi orang yang membunuh dirinya dan orang lain

. WDS2q XS CVZ8 0k-5XT ³X8 CUX=

5 adalah neraka jahanam dan kekal di dalamnya. Seperti yang telah dijelaskan oleh Allah di dalam al-Qur’an:

“Dan Sesungguhnya benar-benar Kami-lah

yang menghidupkan dan mematikan dan Kami

(pulalah) yang mewarisi”.47

\2<\I PVWs\HVÙ i-\ÈW*% <%U% #) CW%XT

[k O iWÃU OX=\ÈV XT OkQ _ ²[Î SMnÙ

44 Q.S. Al-Isra’(17): 33 45 Q.S. Al-an’am (6): 151

46 AbuJa’farMuhammad bin Jarir Ath-Thabari,Tafsir At-Thabari, jilid 10 (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), h. 680-681

47 Q.S. Al-hijr (15): 23

48 Q.S. An-najm (53): 44 49 Q.S. Al-baqarah (2): 195

50 Ahmad al-Mursi Husain Jauhar,MaqashidSyari’ah (Jakarta: AMZAH, 2009), h. 23

(11)

. -jÀWÃ

“Dan barangsiapa yang membunuh seorang

mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan

azab yang besar baginya”.52

Ketiga tergesa-gesa, seseorang yang

mencipta-kan perantara untuk mendapatmencipta-kan sesuatu yang amencipta-kan

menjadi haknya, sementara syari’at telah memiliki

ketentuan tersendiri yang berbeda dengan cara yang ia lakukan, maka hak yang seharusnya dia peroleh akan menjadi terhalang akibat sifat terburu-burunya. Sebagaimana telah termaktub dalam kaidah fiqhiyyah:

itu tidak ada seorang pun yang tidak memahami bahwa hak hidup itu adalah hak untuk setiap insan dan tidak seorang pula yang tidak tau bahwa terhadap sesamanya berkewajiban untuk saling menghormati dan saling menghargai.

Di dalam Islam, hak pertama dan paling utama yang diperhatikan adalah hak hidup, hak yang di-sucikan dan tidak boleh dihancurkan kemuliannya. Manusia adalah cipataan Allah,56

\- nm\\ O5 ij[ # ]CV "U s \Ì<

.ES\ÈÝV"

“(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat

dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; Sesungguhnya Allah

Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.57

ه ِ◌ ِ◌ﺎــﻧم َ◌ر ْ◌ ِ◌

م َ◌

Adalah sangat jelas hikmah Allah dalam

men-Barangsipa yang mempercapat sesuatu sebelum waktunya maka sanksinya adalah keharamannya (tidak mendapat sesuatu tersebut).53

Tergesa-gesa (‘ajlih) adalah melakukan sesuatu

sebelum masa semestinya. Sikap seperti ini ber-sumber dari syetan, karena, Seperti disinyalir oleh

ciptakan manusia dengan fitrah yang diciptakan-Nya untuk manusia, lalu dia menjadikan, menyempurnakan kejadian dan menjadikan (susunan tubuh)nya se-imbang dalam bentuk apa saja yang Dia kehendaki. Dialah yang telah menyusun tubuhnya.58

Ibnu Qayyim, tergesa-gesa merupakan sikap gegabah dan ceroboh dalam diri manusia yang dapat

meng-RWÓ²%VRV Q \È X= Q \bVÙRV Q VR[ݼ= X= Q \\ 22

hilangkan ketenangan dan kesabaran, mendorong tindakan yang inproporsional, bahkan dapat

men-22 -VP

]

2 ÀV

È W5S_ V VÙ - VÀÃ VRWÓ²- X= Q \bVÙ

dorong hal-hal negatif dan menjauhkan hal-hal yang positif.54

WÛÜ Vc C_

O [ XqW W)VÙ Wm\ \\ O W5

W 6U

Ditambahkan oleh Imam al-Ghazali, tergesa-gesa termasuk hal yang dapat menghilangkan sifat

wara’ (menjaga diri dari hal yang tidak pantas

di-lakukan). Padahal sikap wara’ merupakan pondasi

setiap ibadah. sikap wara’ sendiri harus didasari

dengan pengamatan sempurna dan pertimbangan matang terhadap objek yang diamati. Jika seseorang melakukan sesuatu dengan tergesa-gesa, maka ia tidak akan dapat mengalami kondisi ideal untuk melakukan pengamatan dan penelitian dengan baik. Dan pada

“Kemudianair mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka maha suci Allah,

pencipta yang paling baik”.59

KemudianAllah mengaruniakan nikmat-nikmat-Nya, lalu memuliakan dan memilih manusia.

akhirnya, tergasa-gesa seringkali mendorongnya

ter-gelincir pada jurang kesalahan.55 mUW

n\ rÛ1I R<X+[SXTW3\j Xij B

R

<%m iV V XT

Keempatmelanggar hak hidup, hak hidup adalah

hak yang bersifat kodrati yang dianugrahkan Allah SWT kepada setiap insan sejak lahir. Oleh karena

nm9 rQ" 2I X=²VÙXT0 W j¼ ¦% 1I R< \wXqXT

Zj²ÝV" R< Q \\C-%

52 Q.S.An-Nisa (4):93

53 Jazuli, Kaidah-kaidah Fikih, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010), h. 202

54 Abdul Haq, Ahmad mubarok, AgusRo’uf,Formulasi Nalar Fiqh,Buku Dua, (Surabaya: Khalista, 2005), h. 280

55 Abdul Haq,Formulasi Nalar Fiqh

56 Ahmad al-Mursi,Maqashid Syari’ah, h. 22 57 Q.S. An-Naml (27): 88

58 Ahmad al-Mursi,Maqashid Syari’ah,h. 23

(12)

66

~ Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 3, Nomor 1, Juni 2012, hlm 55-68

“DanSesungguhnya telah Kami muliakan

anak-anakAdam”.60kami angkut mereka di daratan dan di

lautan[862], kami beri mereka rezki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang Sempurna atas kebanyakan makhluk yang Telah

kami ciptakan”.

Lebih jauh lagi, bahwa setiap makhluk Tuhan di

Sejarah terjadinya pembunuhan pertama adalah pembunuhan yang dilakukan oleh anak Adam a.s. Yaitu Qabil terhadap Habil (saudaranya). Hal ini sebagaimana dijelaskan oleh Allah SWT dalam al-Qur’ansurat al Mâidah ayat 27 sampai dengan ayat

31. Dalam ayat 30 antara lain disebutkan.

alam raya ini akan selalu berusaha mempertahankan hidupnya semaksimal mungkin, lebih-lebih manusia

]

C%\ZW U V W*V VÙOj\ #)V O Ý O 0WÃSV¼VÙ

mempunyai akal dan rasa untuk menghayatinya. Setiap manusia merasa yakin bahwa mempertahankan hidupnya merupakan kewajiban yang paling esensial apabilamerekapunyakeyakinanpadaagamatertentu.61

Oleh karena itu, jika seseorang melakukan praktek euthanasia, itu berarti ia telah mengambil hak atau kesempatan seseorang untuk hidup, dan ini dianggap melanggar hak asasi manusia karena kita semua harus menghargai dan menghormati semua hak-hak yang dimiliki oleh setiap manusia tanpa terkecuali.

Dari sifat-sifat yang telah peneliti jelaskan di atas, sifat yang paling tinggi kedudukannya dan pantas untuk dijadikan ‘illat adalah menghilangkan nyawa,

dikarenakan melindungi jiwa merupakan pokok ter-kodifikasikannya semua hukum Islam (maqashidu as-syari’ah).

Masalik Al-’illah (metode pencarian ‘illat)

yang lain adalah Tanqihul Manath. Adapun dalam

menetapkan sifat-sifat yang terdapat dalam ashal

. ÚÏn Vc

“Maka nafsu (Qabil) mendorongnya untuk

membunuh saudaranya, kemudian dia pun (benar-benar) membunuhnya, maka jadilah dia termasuk

orang yang rugi”.64

Tindakan penganiayaan terhadap jiwa seseorang yang dilakukan dengan cara membunuhnya meru-pakan perbuatan keji dan bertentangan dengan ajaran-ajaran yang telah diajarkan oleh Islam, me-nodai sesuatu yang dimuliakan dan dilindungi oleh Allah SWT, memerangi fitrah yang diciptakan Allah untuk jiwa tersebut, serta mencabut ketaatan dan penghambaan kepada Tuhan semesta alam, dan apa-bila pembunuhan tersebut tanpa alasan terhadap sese-orang maka dia seperti membunuh manusia secara keseluruhan. Dalam al-Qur’an difirmankan sebagai

berikut:

untuk dijadikan ‘illat hukum setelah meneliti

kepantasannya. Maka peneliti dapat menetapkan bahwa sifat yang layak digunakan sebagai ‘illat di

C O5U #cÄ¢Xn ³B r"QWà R<W) \ #BU C%

dalam hukum ashal adalah Menghilangkan nyawa

(adanya motif pembunuhan). Sifat tersebut dianggap

\

-5U [ ºq] rÝ Ûj _ VÙT nmWÓ Ý #W)V

paling dominan pengaruhnya terhadap ahli waris yang membunuh sehingga berakibat hilangnya hak

X

artinya me- matikan. Sedangkan dalam pengertian istilah menurut Abdul Qadir Audah, pembunuhan adalah perbuatan manusia yang menghilangkan nyawa manusia dengan sebab perbuatan manusia yang lain.62 Sedangkan dalam bahasa Indonesia

pembunuhan adalah proses, perbuatan atau cara membunuh. Lain dari itu terdapat lagi kata membunuh yang mempunyai makna me- matikan, menghilangkan (mencabut, menghabisi) nyawa.63

“Oleh karena itu tetapkan (sesuatu) bagi Bani isrol, bahwa barang siapa yang membunuh seseorang, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dibumi, maka seaka-akan dia telah membunuh semua manusia. Barang siapa yang memelihara semua kehidupan manusia, sehingga Rasul kami telah datang kepada mereka (membawa)keterangan-keterangan yang jelas kemudian banyak diantara mereka setelah itu

melampaui batas dibumi”.65

60 Q.S. Al-Isra’(17): 70

61 Muhammad Yusuf,Kematian Medis,h. 81

62 Ahmad Wardi Muslich,Hukum Pidana Islam(Jakarta: Sinar Grafika, 2005), h. 136-13

63 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,Kamus Besar Bahasa Indonesia

(Jakarta: Balai Pustaka, 1989), h. 138 64 Q.S. Al Mâidah (5) : 30.

(13)

Pada prinsipnya, segala upaya atau perbuatan yang berkaitan dengan matinya seseorang, baik di-sengaja maupun tidak didi-sengaja, di dalam ajaran Islam tidak dapat dibenarkan, kecuali dengan tiga alasan se-bagaimana disebutkan dalam hadist di bawah ini:

yang akan diberikan oleh Allah SWT kepadanya, yakni berupa kepasrahan diri yang senantiasa harus ia persembahkan kepada Tuhan-Nya.

Kesimpulan

Bahwa dalam menetapkan status hukum hak

ه

ِ◌ ْ◌

ي َ◌ل

ع َ◌

ُ◌ﺎـــﮫﻠﻟ

ى َ◌ّ◌لص َ◌

ِ◌ﺎـــﮫﻠﻟ

ل ُ◌و ْ◌

س ُ◌ر َ◌

ل َ◌ ا َ◌ق : ل َ◌ َ◌قا

،د ِ◌و ْ◌ع ُ◌س ْ◌ م َ◌

ن ِ◌ ْ◌ﺎـــﺑ

ن ِ◌ ع َ◌

waris bagi pemohon euthanasia pasif, peneliti menggunakan qiyâs sebagai manhâjnya. Dan

ا َ◌ّ◌لا ِ◌ا ه َ◌ َ◌ل ِ◌إ َ◌ﻻ ن ْ◌ َ◌ا

د ُ◌ه َ◌ش ْ◌ َ◌ي م ِ◌ ِ◌لس ْ◌ م ُ◌

ئ ِ◌ر ِ◌م ْ◌

ا م ُ◌د َ◌

ل ُ◌ ّ◌ ِ◌ي َ◌ َ◌ﻻ

: م َ◌ َ◌ّ◌لس َ◌و َ◌

Istinbâthhukum di dalam metodeqiyâs tentang hak

waris bagi pemohon euthanasia pasif Al- Ashlunya

،ن ْ◌ ِ◌از َ◌ ّ◌ﻻ ب ُ◌ ِ◌ّ◌يثث ّ◌ َ◌ﻻ : ث ِ◌ ل َ◌ َ◌� ىد َ◌

ح ْ◌ ء ِ◌ا ِ◌ب َ◌ّ◌اﻻ ِ◌ا ، ِ◌ﺎـــﮫﻠﻟ ل َ◌و ْ◌س ُ◌ر َ◌

ن ْ◌

ّ◌

ِ◌ َ◌

او َ◌

adalah tindakan pembunuhan yang terdapat dalam hadits di bawah ini:

هاور( ة ِ◌ع َ◌ام َ◌ج ِ◌ ل ْ◌ ِ◌ل ق ُ◌ر ِ◌

اف َ◌ ُ◌ﺎــﻣﻟ ه ِ◌ ِ◌ن ْ◌يد ِ◌ ِ◌ل ك ُ◌ر ِ◌ا َ◌ّ◌لـــﺗاو َ◌

،س ِ◌ ف ْ◌ثن ّ◌ َ◌لا ِ◌ب

س ُ◌ ف ْ◌ثن ّ◌ َ◌لاو َ◌

)ﺎــﺟﻠﻣﺎﻌھ

ب ُ◌ ر َ◌ثق ْ◌ َ◌أ

ه ُ◌ ُ◌�ر ِ◌او َ◌ث� َ◌ ث ٌ◌

ر ِ◌او َ◌

ه ُ◌ َ◌ل ن ْ◌

ك ُ◌ َ◌ي

ل ْ◌ َ◌

ن ْ◌

ِ◌إ

و َ◌

ء ٌ◌

ي ْ◌

ش َ◌

ل ِ◌ ِ◌�اق َ◌ل ْ◌ ِ◌ل

س َ◌ ْ◌ي َ◌ل

“Dari Ibnu Mas’ud, ia berkata, “Rasulullah

.ا ً◌

ئ ْ◌ي

ش َ◌

ل ُ◌ ِ◌�اق َ◌ ْ◌ﻻ

ث ُ◌ ر ِ◌ َ◌ي ﻻ َ◌و َ◌

ه ِ◌ ْ◌ي َ◌ل ِ◌إ

س ِ◌ ا َ◌ّ◌ﻼــﻧ

Saw bersabda, ‘Tidaklah halal darah seseorang

muslim yang bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang haq selain Allah dan bahwa Aku adalah utusan Allah, kecuali karena tiga hal, (yaitu): orang yang berzina yang sudah menikah, orang yang membunuh dengan sengaja kemudian ia dibunuh, dan orang meninggalkan agamanya lagi memisahkan diri dari

Jama’ah (kaum muslimin)” (HR. Jama’ah)”.66

Masalik Al-’illah(metode pencarian‘illat) yang

lain adalah Tahqîqul Manâth. Adapun dalam proses

mengamati akan adanya ‘illat pada salah satu

per-masalahan furû’iyah yakni permasalahan yang

ter-dapat dalam euthanasia, yang kemudian diqiyâskan

dengan‘illatyang terdapat padaashal.

‘Illat yang terdapat dalam permasalahan

furû’iyah adalah dengan adanya tindakan euthanasia

maka akan ada potensi penghilangan nyawa se-seorang yang dalam bahasa lain dapat diartikan dengan pembunuhan. Sehingga dapat diqiyâskan

dengan‘illatyang ada padaashalyakni adanya motif

pembunuhan yang akhirnya pihak dari ahli waris itu akan terhalangi hak warisnya, sesuai dengan hadits Nabi yang peneliti tetapkan sebagaiashal.

Secara logika dan Islam, penghilangan nyawa yang terdapat di dalam euthanasia terhadap orang yang sedang sakit berarti telah mendahului takdir yang telah

(14)

68

Adapun~ Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 3, Nomor 1, Juni 2012, hlm 55-68Al-Far’unya adalah pemohon

eutha-nasia pasif yakni suatu tindakan ahli waris yang memohon kepada tim medis berupa penghentian pengobatan bagi pasien penderita sakit keras atau secara sengaja tidak memberikan bantuan medis lainnya terhadap pasien atau melakukan tindakan membiarkan pasien karena tidak ada harapan untuk hidup. (c) Hukum Asalnya adalah haram bagi pem-bunuh untuk mewarisi apa yang ditinggalkan dari orang yang dibunuhnya. (d)Masâlik Al-’illahnya: (1)

Sabru wa Taqsîm: Hak waris bagi pemohon euthanasia

(pasif), dengan rincian a.Sabrunya adalah Sifat-sifat

yang terdapat di dalamnya antara lain: menghilangkan nyawa, menyakiti, tergesa-gesa, dan melanggar hak hidup, b. Taqsîmnya adalah Sifat yang paling tinggi

kedudukannya dan pantas untuk dijadikan‘illatadalah

menghilangkan nyawa dikarenakan melindungi jiwa merupakan pokok terkodifikasikannya semua hukum Islam(Maqashidu as-Syari’ah). (2).Tanqîhul Manâthnya

adalah menghilangkan nyawa (adanya motif pem-bunuhan) dan (3) Tahqîqul Manâthnya adalah ‘illat

yang terdapat dalam permasalahan furû’iyah adalah

hilangnya nyawa seseorang yang dalam bahasa lain dapat diartikan dengan pembunuhan. Sehingga dapat diqiyâskan dengan ‘illat yang ada pada ashal

berupa adanya motif pembunuhan, sehingga dapat disimpulkan bahwa keduanya sama-sama memiliki

‘illatyang sama yaitu menghilangkan nyawa.

Jadi, status hukum hak waris bagi pemohon euthanasia pasif dapat diqiyâskan pada hukum

tindakan pembunuhan yang terdapat dalam hadits:

66 Al-Imam Asy-Syaukani, Mukhtashar Nailul Authar, jilid 4, (Jakarta: Pustaka Azzam, 2006 ), h. 1

ه ُ◌ ُ◌�ر ِ◌او َ◌

ث� َ◌ ث ٌ◌ ر ِ◌

او َ◌

ه

ُ◌ َ◌

ل

ن ْ◌

ك ُ◌ َ◌ي

ل

ْ◌ َ◌

ن ْ◌

ِ◌إ

و َ◌

ء ٌ◌

ي ْ◌

ش َ◌

ل ِ◌ ِ◌�اق

َ◌ل

ْ◌ ِ◌ل

(15)

ا ً◌ئ ْ◌يش َ◌ ل ُ◌ ِ◌�اق َ◌ ْ◌ﻻ

ث ُ◌ ر ِ◌ َ◌ي ﻻ َ◌و َ◌

ه ِ◌ ْ◌ي َ◌ل ِ◌إ س ِ◌

ا َ◌ّ◌ﻼـــﻧ ب ُ◌ ر َ◌

ثق ْ◌ َ◌أ

kan bagi para dokter atau tim medis lainnya untuk tidak berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kode etik kedokteran, agama, peraturan dan hukum yang

yang mana‘illathukum dalam permasalahan tersebut

adalah sama-sama menghilangkan nyawa. Dengan

istinbâthhukum seperti ini, maka peneliti menetapkan

bahwa status hukum hak waris bagi pemohon eutha-nasia pasif adalah tidak dapat mewarisi harta dari pewaris yang menjadi termohon dari euthanasia pasif.

Saran

Penelitian tentang hak waris bagi pemohon euthanasia belum selesai sampai disini, tetapi penelitian ini dapat di lanjutkan dengan menggunakan analisis (manhaj) yang berbeda, sehingga dapat

menghasilkan karya ilmiyah yang saling melengkapi antara satu dengan yang lainnya.

Bagi para dokter atau tim medis di masa sekarang atau masa yang akan datang, ilmu pengetahuan semakin berkembang dan meningkat khususnya di bidang kedokteran yang terkadang mereka menempuh segala cara agar apa yang di inginkan tercapai demi berkembangnya ilmu pengetahuan tersebut. Di

harap-berlaku. Dan untuk menghindari dari sifat pesimis baik bagi pasien atau keluarga pasien dalam menghadapi cobaan yang diturunkan oleh Allah berupa penyakit, di harapkan bagi para dokter selain berperan sesuai dengan profesinya juga berperan sebagai motivator kepada pasien dan keluarga pasien.

Bagi seluruh umat Islam, marilah kita amalkan ajaran Islam dengan sepenuhnya, tak terkecuali dalam hal warisan yakni dengan cara melakukan pembagian harta waris sesuai dengan ketentuan yang di ajarkan dalam Islam, dan permasalahan euthanasia pasif ini tanpa kita sadari banyak terjadi di lingkungan masyarakat sekitar kita, akan tetapi mereka kurang mengetahui ketentuan hukum Islam tentang perolehan harta waris bagi pelaku euthanasi pasif ini, dan hasil penelitian ini telah memberikan kontribusi hukum Islam dalam ketentuan perolehan waris atau tidaknya bagi pelaku euthanasia pasif.

Daftar Pustaka

Al-Qur’an dan Terjemahnya, Departemen Agama

Republik Indonesia.

Ali Al-Sabouni, Muhammad. Hukum Kewarisan

Menurut Al-Qur’an dan Sunnah. Jakarta, Dar

Al-Kutub Al-Islamiyah, 2005.

Al-Dârimî. kitab al-Faraidl ‘an Rasulillah. CD

Mausu’ah al-Hadits al-Syarif. Global Islamic

Software, 1997.

Asy-Syaukani, Al-Imam.Mukhtashar Nailul Authar.

Jakarta: Pustaka Azzam, 2006.

Chazawi, Adami. Malpraktik Kedokteran. Malang:

Bayumedia Publishing, 2007.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,

1989.

Haq, Abdul, dkk.Formulasi Nalar Fiqh,Buku Dua.

Surabaya: Khalista, 2005.

Husain Jauhar, Ahmad al-Mursi.MaqashidSyari’ah.

Jakarta: AMZAH, 2009.

Jamil, Shidqî Muhammad. Sunan Abî Dâwud.

Lebanon: Dâr al-Fikr, 2003

Jazuli. Kaidah-kaidah Fikih. Jakarta: Kencana

Prenada Media Group, 2010.

Jumali Ruslan, Muhammad.Risalah fi fiqh al-Mawa

rits.Jombang: Ma’had Nurul Qur’an, 1999.

Karyadi, Petrus Yoyo. Euthanasia dalam Perspektif

Hak Azasi Manusia. Yogyakarta: Media

Pressindo, 2001.

Komite Fakultas Syari’ah Universitas Al-Azhar

Mesir.Hukum Waris. Jakarta: Senayan Abadi

Publishing, 2004.

Leibo, Jef. Bunga Rampai Hukum dan Profesi

Kedokteran Dalam Masyarakat Indonesia.

Yogyakarta: Liberti, 1986.

MS, Burhani – Lawrens, Hasbi. Kamus Ilmiah

Populer.Jombang: Lintas Media

Muhammad, AbuJa’farbin Jarir Ath-Thabari.Tafsir

At-Thabari. Jakarta: Pustaka Azzam, 2008. Muslich,

Ahmad Wardi. Hukum Pidana Islam.

Jakarta: Sinar Grafika, 2005.

Prakoso, Djoko dan Andhi Nirwanto, Djaman.

Euthanasia Hak Asasi Manusia dan Hukum

Pidana. Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, 1984.

Qardhawi,Yusuf.Fatwa-Fatwa Kontemporer.Jakarta:

Gema Insani Press, 1995.

Shihab,Alwi.Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam

(16)

70

~ Jurisdictie, Jurnal Hukum dan Syariah, Volume 3, Nomor 1, Juni 2012, hlm 55-68

Shihab, Quraish. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab

Seputar Wawasan Agama. Bandung: Penerbit

Mizan, 1999.

Shihab, Quraish. Fatwa-Fatwa M. Quraish Shihab.

Bandung: Penerbit Mizan, 1999.

Yusuf, Muhammad.Kematian Medis (Mercy Killing)

Isu-Isu Hukum Kontemporer dari jenggot

hingga Keperawanan. Yogyakarta: Penerbit

Teras, 2009.

Zuhaily, Muhammad. Al Faroidl wa al Mawarits

wa al Washayah. Damsyik: Darul Kalam

Referensi

Dokumen terkait

Tindakan terhadap Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat pada Anak Sekolah Dasar Negeri 08 Moramo Utara Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan Tahun

Hal ini ditunjukan dengan hasil hipotesis pada uji t variabel harga jual ( ) dengan nilai signifikan 0,029 atau diatas 5% (0,05) sehingga pada akhirnya harga

(4) Hasil belajar siswa dengan pembelajaran yang menggunakan metode demonstrasi pada materi yang berorientasi praktik yaitu mengalami peningkatan dengan sembilan

Sikap dari orangtua balita dari hasil penelitian ini adalah negatif sehingga hampir dari orangtua balita tidak memberikan imunisasi anaknya, sikap responden yang rendah

Tujuan dari penelitian ini yaitu: (1) Menguji kontribusi sikap disiplin, fasilitas belajar, dan monitoring orang tua terhadap hasil belajar matematika secara tidak

Semakin tinggi kadar penambahan steel fiber pada benda uji pipa beton (sampai 0.3% dari volume) yang dipadatkan menggunakan metode spinning maka semakin tinggi kuat tekan

Untuk mengetahui Kemampuan Psikomotorik Siswa pada Mata Pelajaran Fiqih di MTs NU Ma’rifatul Ulum Kaliwungu Kudus tahun pelajaran 2016/2017, maka peneliti akan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat ditarik kesimpulan bahwa penerapan model pembelajaran Deep Dialogue/Critical Thinking dalam pembelajaran sejarah