• Tidak ada hasil yang ditemukan

59856658 Cedera Medula Spinalis Non Progresif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "59856658 Cedera Medula Spinalis Non Progresif"

Copied!
96
0
0

Teks penuh

(1)

Judul Text Book Reading

BAB 20. Cedera Medula Spinalis Non-Progresif

Cedera Medula Spinalis Non-progresif

Cedera dan penyakit yang melibatkan medula spinalis dapat menganggu kehidupan penderita dan keluarganya. Sebab dalam waktu sekejap mampu membuat suatu perbedaan dari penderita yang sebelumnya mandiri menjadi tergantung pada orang lain dan peralatan mekanik untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Angka kejadian cedera medula spinalis (CMS) secara statistik masih rendah dibandingkan dengan diagnosis penyakit lain, tetapi beban keuangan yang dialami penderita sangat tinggi.

Terdapat kira-kira 247.000 orang di Amerika Serikat (AS) yang mengalami CMS dan hampir 11.000 orang di AS atau setara dengan 40/1.000.000 orang didiagnosis setiap tahunnya dengan CMS. Kelompok tersebut termasuk penderita dari semua golongan usia dan etnis. Trauma adalah penyebab tersering dari CMS, walaupun banyak juga yang disebabkan oleh non-traumatik.

Data populasi CMS traumatik di AS dikumpulkan oleh the National Spinal Cord Injury Database (NSCID) dan diproses oleh Nation Spinal Cord Injury Statistical Center (NSCISC). Data tersebut diperoleh dari kasus lama dan kasus baru oleh NSCID dan NSCISC.

(2)

populasi usia lanjut di AS, persentase CMS karena jatuh meningkat. Dibawah usia 45 tahun, jatuh memimpin mekanisme cedera. Tindak kekerasan telah menurun dari puncaknya 21% pada 1990-1992 tetapi masih proporsional lebih tinggi di antara Afrika-Amerika dan Hispanik dibandingkan dengan kelompok ras lainnya.

PATOLOGI

Defisit neurologis pada CMS terjadi karena adanya suatu kekuatan yang menyebabkan kerusakan saraf pada medula spinalis. Kekuatan tersebut bisa langsung maupun tidak langsung. Tekanan langsung dapat terjadi bila suatu benda atau tonjolan tulang yang masuk langsung ke dalam kanalis spinal sehingga menganggu beberapa saraf medula spinalis. Tekanan yang paling sering terjadi adalah yang tidak langsung, misal adanya trauma fisik yang mengganggu komponen saraf akibat kerusakan sekunder dari tempat cedera dan jaringan sekitar.

(3)

Kompresi vertebra dengan tekanan vertikal yang kuat dari arah kranial maupun kaudal atau keduanya, mampu menyebabkan burst satu atau lebih korpus vertebra. Burst fracture menghasilkan suatu fragmen tulang yang mampu merusak jaringan di sekitar dan sering melibatkan medula spinalis. Cedera rotasional terjadi ketika satu bagian tubuh berputar kuat secara longitudinal pada bagian tubuh lain yang stabil atau bergerak dengan arah yang berlawanan. Gerakan yang berlawanan membuat suatu tekanan rotasional yang dapat menyebabkan tarikan dan robekan pada jaringan saraf, robekan ligamen, dan fraktur vertebra.

Kerusakan primer medula spinalis diklasifikasikan sebagai benturan keras (concussion)jika terdapat cedera yang disebabkan oleh aksi kekerasan atau benda tajam sehingga terjadi kehilangan fungsi sementara. Perbedaannya, luka memar (contusion)terjadi ketika permukaan medula spinalis dan pelapisnya tetap utuhtetapi terdapat kehilangan jaringan saraf (subtansia nigra dan alba) dari bagian tengah medula spinalis. Cedera dianggap suatu laserasi atau maserasi jika glia terganggu dan terdapat suatu gangguan langsung pada jaringan medula spinalis.

Kerusakan sekunder medula spinalis adalah kerusakan yang terjadi setelah kerusakan struktural secara primer sehingga menimbulkan kerusakan yang lain. Kerusakan sekunder terjadi ketika tempat lesi primer dan sekelilingnya menyebar ke segmen spinal yang berada di atas atau di bawah lesi awal. Awalnya, terdapat nekrosis pada akson yang rusak akibat trauma. Diikuti oleh cedera jaringan yang progresif yang patofisiologinya belum dimengerti, namun sering kali dihubungkan dengan respon vaskular dan sistem imun.

(4)

edema vasogenik (secara sekunder mampu merusak sawar darah medula spinalis) melalui tekanan langsung dari jaringan seikitar atau hasil dari vasospasme lokal.

Hal ini juga mampu memicu sel imun untuk merangsang respon peradangan pascatraumatik yang berkontribusi pada patogenesis sekunder akut dan kronik CMS. Perdarahan dan kerusakan pada sawar pembuluh darah medula spinalis menyebabkan sel peradangan meinfiltrasi bagian medula spinalis yang cedera, bermula pada jam pertama setelah cedera dan berlanjut selama beberapa minggu. Sel tersebut dikaitkan dengan kematian neuron, demielinisasi, dan perubahan lain pada substansi alba termasuk Wallerian degeneration. Kerusakan lain juga dikatikan dengan perubahan kadar ion dan produksi radikal bebas pada medula spinalis.

Beberapa aspek dari respon imun mungkin mempromosikan pemulihan CMS. Respon imun yang bermanfaat mampu memulihkan debris selular dan pelepasan faktor pertumbuhan saraf. Hal ini dan tindakan lainnya memiliki fungsi neuroprotektif dan dapat meningkatkan regenerasi saraf.

Meskipun kekuatan destruktif mendominasi, beberapa jaringan saraf medula spinalis dapat terhindar, terutama pada regio perifer. Jumlah jaringan saraf yang sehat digabungkan dengan intervensi medis dini mampu mengurangi kerusakan primer dan sekunder dan dapat meningkatkan derajat fungsi sensorik dan motorik.

Trauma fisik merupakan penyebab primer CMS, akan tetapi terdapat juga cedera lain yang dapat menyebabkan CMS. Berdasarkan laporan dari NSCID tahun 1985-1995 terdapat 29% penderita mengalami fraktur dan 29% mengalami penurunan kesadaran. Pneumotoraks traumatika atau hemotoraks terjadi sebanyak 18% kasus. Cedera otak berat juga menganggu fungsi kognitif dan emosi sebanyak 11,5% pada penderita CMS.

(5)

intervertebral disk. Kerusakan pembuluh darah juga dapat menyebakan iskemi atau perdarahan pada medula spinalis atau kolumna spinalis. Malformasi kongenital spina atau kanalis spina, seperti spina bifida atau skoliosis berat mampu menyebabkan kerusakan medula spinalis.

Cedera medula spinalis dijelaskan berdasarkan pola dan derajat fungsi sensorik dan motorik yang tersisa setelah cedera. The International Standards for Neurological Classification of Spinal Cord Injury mengatur klasifikasi CMS secara internasional. Berdasarkan sistem tersebut, skeletal level mengarah pada kerusakan vertebral terbesar pada medula spinalis. Neurological level didefinisikan sebagai segmen paling bawah dari medula spinalis yang memiliki fungsi normal sensori dan motorik pada kedua bagian tubuh. Jika segmen yang memiliki fungsi normal hanya pada satu bagian tubuh, maka dibagi menurut fungsinya. Neurological level dideskripsikan sebagai sensory, L-sensory atau R-motor, L-R-motor, dengan spinal level yang menyertai masing-masing hal tersebut. Sensory level mengarah pada segmen paling bawah dari medula spinalis dengan fungsi sensorik normal pada kedua sisi tubuh, sedangkan motor level hampir sama hanya menggambarkan fungsi motorik normal. Motor level kadang dibagi menjadi upper extremity motor scores (UEMS) dan lower extremity motor scores (LEMS), dan sebaliknya pada sensory level.

Cedera medula spinalis tak sempurna adalah suatu keadaan hilangnya sebagian fungsi normal sensorik dan motorik dari segmen sakralis terbawah. Sedangkan CMS sempurna didefinisikan sebagai hilangnya seluruh fungsi normal sensorik dan motorik.

SYOK SPINAL

(6)

flaccid paralysis dari semua otot di bawah level lesi, termasuk otot polos dari organ visceral.

Bila upper motor neuron (UMN) terlibat, maka penyembuhan syok spinal ditandai dengan kembalinya refleks tendon dalam dan onset spastik pada otot skeletal dan visceral. Namun, bila lower motor neuron (LMN) terlibat, maka otot skeletal dan visceral kembali flaccid setelah penyembuhan syok spinal.

Karena syok spinal, banyak penderita CMS mengalami hipotonus dan fleksibilitas yang baik dibawah level lesi pada pase akut, namun kemudian berkembang menjadi hipertonus, spastik, dan kontraktur sebagai kemajuan rehabilitasi dan syok spinal sembuh.

AUTONOMIC DYSREFLEXIA

Autonomic dyreflexia (AD; juga dikenal sebagai autonomic hyperreflexia) adalah suatu keadaan serius atau mengancam nyawa yang disebabkan oleh episode hipertensi yang tidak terkontrol pada penderita CMS atau di atas level T6. AD terjadi setelah periode syok spinal, yaitu saat respon refleks dan autonomik kembali. Survei pada CMS (1996-1998) menunjukkan bahwa 7,9% pasien mengalami AD selama rehabilitasi. Pada pasien dengan tetraplagia sempurna, insiden menjadi lebih tinggi yaitu 29%. Karena frekuensi dan bahayanya AD, maka penting bagi dokter untuk mengetahui penderita CMS yang beresiko terjadinya AD dan dapat menatalaksana dengan tepat apabila CMS terjadi.

(7)

peningkatan tekanan darah dapat merusak otak, ginjal, mata dan jantung yang mengarah pada perdarahan subaraknoid, kejanga, perdarahan ginjal dan retina, serta infark myokardial.

Terdapat periode aritmia jantung dan bradikardia akibat kompensasi terhadap peningkatan tekanan darah. Penderita mungkin mengalami gelisah. Semua tim pengobatan (khususnya penderita CMS dan keluarga) harus diajarkan untuk mengenali gejala tersebut dan menganggap AD sebagai suatu kedaruratan medik.

ULKUS DEKUBITUS

Ulkus dekubitus atau pressure ulcers adalah masalah tersering yang terjadi setelah CMS atau merupakan penyebab utama pasien kembali dirawat di rumah sakit. Ulkus dekubitus dikarakteristikkan sebagai ulserasi iskemik jaringan lunak akibat tekanan yang lama.

Enam puluh hingga 80% penderita dengan CMS dapat mengalami ulkus dekubitus selama masa hidupnya. Dan 30% penderita dapat mengalami lebih dari satu ulkus. Hampir 30% penderita mengalami ulkus dekubitus pertama kali saat dirawat di rumah sakit dan berlanjut selama hidupnya, dengan penelitian terhadap populasi dengan CMS menunjukkan hampir 20% atau lebih mengalami ulkus dekubitus pascacedera. Di Amerika Serikat, the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) mengestimasi bahswa biaya perawatan CMS dengan ulkus dekubitus per tahun adalah 1,2 milyar dolar. Biaya medis tersebut termasuk biaya ekonomi, vokasional, sosial, dan psikologis terhadap penderita yang memerlukan perawatan luka.

(8)

yang sering terjadi karena posisi berbaring terlalu lama. Atau penderita yang sering duduk pada kursi roda juga dapat menyebabkan ulkus pada daerah iskia.

Pencegahan ulkus dekubitus melibatkan banya tim medis. Jika ulkus dekubitus terjadi, maka intervensi dini seperti menjaga bagian tubuh yang terkena tetap bersih dan merubah posisi tubuh sesering mungkin.Terapi fisik penunjang dan perawatan luka juga dapat melengkapi proses penyembuhan. Terapi fisik memiliki peranan untuk membantu mobilitas dan posisi yang mampu melindungi kulit selama proses penyembuhan luka.

PEMERIKSAAN

RIWAYAT PASIEN

Riwayat pasien yang diperoleh dari rekam medis dan wawancara pasien digunakan untuk membantu memandu pengujian dan pengukuran porsi pemeriksaan. Untuk populasi cedera medula spinalis, rekam medis harus ditinjau untuk informasi latar belakang, termasuk tetapi tidak terbatas pada demografi pasien (umur, jenis kelamin, dan lain-lain) kondisi kesehatan sebelumnya dan intervensi, riwayat perkembangan, dan riwayat keluarga. Hubungan yang spesifik terhadap cedera yang sekarang harus meliputi kondisi medis yang secara langsung dan tidak langsung terkait dengan cedera medula spinalis, pengobatan, dan laboratorium klinis serta tes diagnostik lainnya. Hal ini penting untuk meninjau riwayat medis dan pembedahan yang berhubungan dengan cedera medula spinalis (mekanisme cedera, patah tulang, operasi stabilisasi, dan lain-lain) karena hal tersebut akan mengindikasikan kemungkinan gangguan primer dan sekunder yang membutuhkan pemeriksaan lebih lanjut dan juga akan memperingatkan tindakan pencegahan yang mungkin dibutuhkan untuk diobservasi.

(9)

untuk evaluasi, intervensi, dan perencanaan pulang. Pasien juga harus dinilai untuk memahami kondisi mereka saat ini dan prognosis medis yang terkait. Bagian akhir dari wawancara pasien adalah diskusi mengenai tujuan pasien dan hasil yang diharapkan untuk rehabilitasi dan peran yang mereka harapkan atas terapi untuk kesembuhan mereka. Terapis harus jelas mengenai apa yang pasien harapkan dari terapi, terapi apa yang diharapkan oleh pasien, dan bagaimana fungsi tim rehabilitasi interdisiplin.

TINJAUAN SISTEM

Tinjauan sistem digunakan untuk menargetkan daerah-daerah yang membutuhkan pemerikasaan lebih lanjut dan untuk menentukan daerah yang dapat menyebabkan komunikasi atau mengindikasikan suatu pencegahan selama pemeriksaan dan proses intervensi.

Terapis fisik dapat membuat keputusan klinis yang lebih baik tentang perawatan pasien, jika mereka mengerti pengaruh cedera medula spinalis pada fungsi tubuh. Selama peninjauan sistem, hal yang penting adalah mengenali bagaimana perubahan fungsi sistem dapat mempengaruhi partisipasi individu dalam proses rehabilitasi. Berikut adalah penjelasan dari pengaruh cedera medula spinalis terhadap beberapa sistem tubuh.

Sistem Gastrointestinal

(10)

penyakit batu empedu, penyakit esofagus, nyeri abdomen, distensi abdomen, disrefleksi autonom yang terkait dengan traktus gastrointestinal, dilatasi lambung (dengan atau tanpa keterlibatan ileus) dan sindrom arteri mesentrika.

Cedera medula spinalis juga dapat mengganggu motilitas normal dan pengosongan usus besar. Pasien dengan perubahan fungsi usus sekunder akibat cedera medula spinalis di deskripsikan sebagai usus neurogenik. Efek cedera medula spinalis pada fungsi usus besar dan anorektal bergantung pada tingkat cedera. Terdapat dua pola disfungsi secara umum. Cedera medula spinalis lengkap/total diatas segmen medula spinalis sakralis menyebabkan UMN atau refleksik usus dimana sfingter anal eksternus relaksasi. Dengan kondisi ini, koneksi saraf secara utuh pada dinding usus besar (dari regio medula spinalis yang lebih tinggi) memungkinkan untuk refleks mendorong feses. Kombinasi dorongan yang utuh tanpa disertai relaksasi sfingter menghasilkan retensi feses dan dapat menyebabkan beberapa gangguan gastrointestinal lainnya. Cedera medula spinalis lengkap/total pada segmen sakralis (atau cauda equina) menyebabkan LMN atau arefleksive usus. Dengan kondisi ini, peristaltik menurun dan denervasi tonus sfingter rendah. Kombinasi ini menghasilkan pergerakan feses yang lambat dan meningkatkan resiko inkontinensia feses sekunder akibat sfingter hipotonus. Intervensi primer yang digunakan untuk mengendalikan disfungsi usus neurogenik adalah program usus reguler yang dimulai sejak masuk rumah sakit. Program tersebut selalu meliputi diet dan manajemen cairan dan pengosongan usus dijadwalkan secara rutin. Pengosongan dapat dibantu atau dikendalikan dengan stimulasi kimiawi atau mekanik, posisi, obat-obatan, atau perangkat eliminasi. Tujuan dari program usus tersebut adalah untuk mencegah usus yang terjepit atau gerakan usus yang tidak diinginkan. Program usus ini harus dilanjutkan seumur hidup atau sampai ada perbaikan neurologis fungsi usus. Penatalaksanaan Kandung Kemih

(11)

(komplikasi terbanyak diantara korban cedera medula spinalis), disfungsi ginjal, batu ginjal, dan gangguan genitourinari lainnya.

Gangguan yang berhubungan dengan fungsi kandung kemih memiliki pola yang sama seperti fungsi usus yang telah disebutkan sebelumnya. Lesi cedera medula spinalis di atas conus medularis (cedera UMN) akan menyebabkan kandung kemih neurogenik refleksif, dengan kemungkinan spastisitas, kesulitan berkemih, hipertrofi otot detrusor dan refluks uretra. Lesi dibawah conus medularis (cedera LMN) menyebabkan kandung kemih nonrefleksif yang ditandai dengan flaksiditas dengan penurunan tonus otot sfingter dan ketidakmampuan pengosongan secara spontan.

Pemeriksaan fungsi kandung kemih setelah cedera medula spinalis meliputi beragam test, yang secara umum diperintahkan atau dilakukan oleh urologis untuk menentukan pola dan tingkat masalah pengendalian kandung kemih. Tes tersebut meliputi scans ginjal ultrasound, urinalisis, pielogram intravena (IVPs), test urodinamik, dan berbagai macam scan kandung kemih (misal, cystourethrograms dan cystoscopy). Setelah fungsi kandung kemih dievaluasi, program penatalaksanaan kandung kemih dengan tujuan mengosongkan secara efektif, minimalisasi risiko infeksi, dan mencegah inkontinensia diantara berkemih perlu dilakukan.

(12)

membantu mengendalikan kandung kemih atau tonus sfingter dan membantu dengan pelatihan kandung kemih.

Perubahan Pada Kepadatan Tulang dan Pembentukan Tulang

Perubahan utama pada metabolisme tulang yaitu dimulai dalam beberapa hari setelah cedera medula spinalis yang menyebabkan penurunan tetap densitas mineral tulang (BMD). Kehilangan mineral tulang akan memicu osteoporosis dan meningkatkan risiko fraktur. Mekanisme pasti dari fenomena ini belum diketahui, tapi mungkin berhubungan dengan neurologis, sistem sirkulasi, dan/atau perubahan hormonal, kombinasi dari efek imobilisasi setelah terjadi cedera. Hal yang diketahui adalah terdapat kehilangan BMD secara signifikan pada banyak area tubuh dibawah tingkat cedera medula spinalis dengan kehilangan BMD yang lebih hebat pada trabekular daripada tulang kortikal. Hasil dari sebuah studi komprehensive menyatakan bahwa BMD pada LEs berkurang sampai 22% dalam 3 bulan setelah cedera medula spinalis total dan sekitar 32% dalam 14 bulan setelah cedera. Garland dkk memeriksa BMD pada populasi yang merupakan pasien cedera medula spinalis dengan fraktur lutut (tempat fraktur terbanyak pada cedera medula spinalis kronik) dan menemukan bahwa individu yang mempunayi BMD hanya 49% dari sebuah analog dapat bertubuh kelompok kontrol.

(13)

Osifikasi heterotipik (HO) neurogenik didefinisikan sebagai pertumbuhan tulang abnormal dalam jaringan extraartikular. Osifikasi heterotipik yang progresif menyebabkan keterbatasan gerakan otot dan sendi yang parah. Walaupun patofisiologi HO yang pasti belum diketahui dengan baik, secara umum dianggap bahwa mikrotrauma dan stres mekanik pada musculotendinous apparatus menginduksi osifikasi secara langsung dengan melepaskan osteoblast-stimulating factors atau secara tidak langsung dengan adanya respon inflamasi lokal.

HO pada umumnya terjadi pada sendi distal pada cedera medula spinalis dan paling sering terjadi pada pinggul dan lutut. Pada beberapa kasus yang hebat, HO menyebabkan keterbatasan yang cukup parah sampai keterbatasan gerak, komplikasi higienitas, dan predisposisi untuk individu mengalami ulkus. HO telah dilaporkan terjadi pada 16%-53% individu dengan cedera medula spinalis baru. Individu dengan cedera medula spinalis total, dengan spastisitas hebat, dan dengan ulkus karena tekanan memiliki risiko yang besar untuk mengalami HO. HO biasanya berkembang dalam 6 bulan pertama setelah cedera dan stabil dalam 18-24 bulan setelah serangan.

Intervensi untuk HO meliputi pengobatan profilaksis dan mobilisasi otot dan sendi secara gentle. Hati-hati pada range of motion (ROM) pasif dan latihan mobilisasi sendi untuk mencegah pemendekan jaringan harus diperhatikan dan dilakukan segera setelah pasien stabil dan seharusnya dilakukan secara konsisten selama rehabilitasi. Penundaan aktivitas ROM meningkatkan risiko terhadap jaringan yang memendek akan trauma oleh aktivitas ROM selanjutnya dan latihan ROM secara agresif yang dimulai pada saat tersebut akan menimbulkan mikrotrauma dan pembentukan HO. Pada beberapa kasus HO yang hebat, pembedahan mungkin diindikasikan untuk membuang kelebihan tulang dan mencoba untuk mendapatkan kembali gerakan sendi yang dibutuhkan untuk pergerakan fungsional.

(14)

Individu dengan cedera medula spinalis berisiko untuk mengalami komplikasi pernapasan. Pneumonia adalah penyebab pemicu kematian untuk semua individu dengan cedera medula spinalis dan emboli pulmonal adalah penyebab kematian kedua dalam satu tahun pertama setelah cedera. Dalam waktu satu tahun setelah cedera, individu dengan cedera medula spinalis memiliki kemungkinan 80 kali lipat unutk mengalami pneumonia atau influenza daripada orang lain pada populasi umum. Risiko tetap meningkat dibandingkan populasi umum mengenai sisa waktu hidup bagi individu yang menggunakan bantuan ventilator. Setelah rehabilitasi lengkap, jika stabil, pernapasan tanpa bantuan tercapai, tingkat kematian terkait dengan pendekatan norma pada populasi dengan penyakit pernapasan. Insiden komplikasi paru juga ditemukan secara langsung berhubungan dengan usia (lebih tinggi pada usia yang lebih tua) dan dengan tingkat dan kelengkapan cedera medula spinalis (lebih hebat dengan tingkat cedera yang lebih tinggi dan dengan cedera total).

Untuk individu dengan tetraplegi, kerja sistem pernapasan meningkat karena beberapa faktor, diantaranya parese atau paralysis otot inspirasi, berkurangnya gerakan dinding dada, parese atau paralysis otot ekspirasi, perubahan posisi diafragma, perubahan postural, dan berkurangnya gerakan fungsional. Bergantung pada tingkat cedera, juga terdapat kehilangan total atau sebagian otot pernapasan secara primer dan sekunder.

Lesi medula spinalis total pada atau diatas C3 menyebabkan paralisis total pada diafragma dan membutuhkan resusitasi segera dan bantuan ventilator mekanik sepanjang hidup untuk bertahan hidup. Ventilator mekanik mungkin juga dibutuhkan sementara atau dalam janka waktu lama untuk individu dengan acute ascending edema pada cedera medula spinalis segmen cervical bawah, untuk pasien dengan penyakit paru, atau untuk pasien dengan trauma pada paru atau abdomen.

(15)

inspirasi menyebabkan hipoventilasi alveolar, hipoksemia, dan hiperkapnia, sehingga membuat individu rentan mengalami atelektasis dan infeksi paru. Dengan berkurangnya fungsi otot abdomen, bantalan untuk isi lapisan visceral hilang, yang akan mengurangi sokongan diafragma dan menyebabkan posisi istirahat diafragma menjadi ke bawah sehingga cenderung menurun dan mengakibatkan penyimpangan dan penurunan yang nyata pada kapasitas inspirasi. Perubahan dinamika pernapasan ini menyebabkan pernapasan paradoxical, dimana abdomen terangkat naik serta dada tertarik masuk saat inspirasi dan abdomen turun serta dada mengembang saat ekspirasi. Perubahan pola pernapasan ini menyebabkan pendataran pada dinding dada bagian atas, pengembangan dinding abdomen, dan pada akhirnya perubahan muskuloskeletal pada tulang belakang. Volume ekspirasi pasif menurun pada individu tersebut karena hilangnya elastic recoil dari tonus rendah dinding abdomen dan ekspirasi paksa terbatas karena hilangnya fungsi otot-otot intercosta dan abdomen. Dapat juga terjadi paralisis atau batuk yang lemah, dengan berkurangnya kemampuan untuk mengeluarkan sekret dan meningkatkan risiko infeksi paru.

Dalam beberapa bulan setelah cedera terjadi, kekuatan dan mobilitas meningkat, kapasitas vital meningkat pada pasien dengan diafragma yang utuh. Kapasitas vital dapat dibantu dengan memberi sokongan pada dinding abdomen dengan alat eksternal (misal, pengikat abdomen) atau dengan mengembangkan spastisitas ringan tulang belakang. Bagaimanapun juga spastisitas thorak yang hebat dapat menurunkan compliance dinding dada dan meningkatkan kerja pernapasan.

(16)

kelebihan tulang dan mencoba untuk mendapatkan kembali pergerakan sendi untukfungsi mobilisasi.

Pertimbangan pernapasan

Individu dengan gangguan medula spinalis adalah resiko terjadinya komplikasi pernapasan. Pneumonia adalah penyebab kematian penderitaCMS dan emboli paru sebagai faktor pencetus kedua dari kematian pada tahun pertama setelah cedera. Dalam tahun pertama setelah cedera, penderita CMS lebih dari 80 kali lebih sering meninggal dengan pnuemonia atau influenza dibandingkan penyakit lain pada populasi umum. Risiko-risiko ini meningkat dibandingkan dengan populasi yang menggunakan bantuan ventilator. Setelah rehabilitasi, jika tetap maka angka kematian akan tergantung pada penyakit pernapasan yang akan dideritanya. Angka kejadian dari komplikasi pernapasan diemukan juga berhubungan dengan usia (lebih tinggi terjadi pada usia lebih tua) dan dengan tingkat dari CMS.

Pada individu dengan tetraplegi, kerja pernapasan meningkat karena beberapa faktor meliputi parese dan atau paralisis otot-otot pernapasan, penurunan mobilitas dinding dada, parese atau paralisi otot-otot ekspirasi, perubahan posisi diafragma, perubahan postural, dan penurunan mobilisasi fungsional. Tergantung pada tingkat perlukaan sehingga terdapat total atau sebagian hilangnya kerja otot-otot pernapasan primer dan sekunder (tabel 20-2).

(17)

Tabel 20-2. Inervasi Otot Pernapasan

Otot-otot Tingkat inervasi

INSPIRASI Diafragma

Intercosta eksterna Sternokleidomastoidea Scalenes

Otot-otot aksesorius: Trapezius, pektoralis minor, seratus anterior

EKSPIRASI Intercosta interna Abdominalis

C3, C4, C5 T1-T2

Saraf Kranial 11 C1, C2

T1-T2 T7-L1

(18)

ini menyebabkan pendataran pada dada atas, pengembangan dinding abdomen, dan akhirnya perubahan muskuloskeletal pada tubuh. Volume ekspirasi pasif menurun pada beberapa individu karena kehilangan elastisitas dan tonus dinding abdomen, dan kekuatan ekspirasi menjadi berkurang akibat hilangnya fungsi otot intercosta dan abdomen. Adapun terdapat paralisis atau batuk lemah, yang mana kurangnya kemampuan untuk mengeluarkan sekret dan meningkatkan resiko infeksi pulmonal.

Dalam beberapa bulan setelah cedera, sebagai kekuatan dan peningkatan mobilitas, kapasitas vital seharusnya meningkat pada pasien dengan diafragma yang utuh. Kapasitas vital juga dapat dibantu dengan penyediaan alat bantu pada dinding abdomen dengan alat eksternal (contoh: pengikat abdomen) atau dengan pengembangan mild trunk spasticity yang dapat menurunkan keluhan dinding dada dan meningkatkan kerja pernapasan.

Kardiovaskular

Tiga kondisi mayor kardiovaskular akut berhubungan dengan CMS. Disrefleksi autonom dan emboli paru telah disebutkan sebelumnya. Deep vein thrombosis (DVT) adalah komplikasi ketiga yang harus diperhatikan terutama sejak awal manajemen setelah luka.

(19)

sangat diperhatikan selama terapi CMS akut (dalam 7-10 hari setelah cedera) dan memiliki angka kejadian yang rendah pada CMS kronik (kurang dari 1% per tahun setelah perlukaan).

Terdapat pertentangan fakta tentang efek CMS terhadap risiko terjadinya penyakit kardiovaskular seperti hiperkolesterolemia, hipertensi, dan penyakit jantung koroner. Pertanyaan muncul tentang berapa banyak yang telah diobservasi tentang perubahan kardiovaskular secara langsung yang berhubungan dengan perubahan metabolik dan sistemik yang dihasilkan dari CMS dan atau seberapa banyak hal-hal tersebut berhubungan dengan perubahan gaya hidup dan tingkat aktivitas setelah perlukaan. Contohnya, pada individu dengan paraplegi, total kolesterol, LDL, dan trigliserid yang mana kesemuanya ditemukan lebih tinggi hampir pada semua orang yang tertekan. Penelitian lebih lanjut dibutuhkan untuk mengidentifikasi hubungan antara CMS dan faktor risiko kardiovaskular dan untuk mengembangkan panduan untuk meminimalkan risiko tersebut.

Fungsi seksual

Pertanyaan tentang fungsi seksual akan sering muncul pada laki-laki dan perempuan dengan CMS selama proses rehabilitasi. Karena seksual adalah masalah yang sensitif, beberapa pasien boleh melakukan pendekatan subjek dengan peserta lain pada tim terapi yang memiliki kepercayaan terutama PI primer mereka. Untuk alasan ini, Penting bagi pemberi terapi untuk memiliki dasar-dasar bagaimana CMS mempengaruhi fungsi seksual dan kemampuan pencarian informasi untuk menjawab pertanyaan langsung dari pasien. Semua pasien seharusnya didorong untuk mencari terapi dan konseling untuk pemecahan tentang masalah fungsi seksual.

Fungsi seksual laki-laki

(20)

menghasilkan emosi erotis) yang dimediasi oleh T10-T12. CMS pada atau di atas tingkat ini akan menghasilkan hilangnya ereksi psikogenik, yang mana luka di bawah tingkat ini tidak akan menghilangkan fungsi ereksi tersebut. Refleks ereksi (ereksi yang tejadi tanpa sadar dan bukan hasil dari input ke otak) terjadi melalui aktivasi saraf sensorik di S2-S4. Kebanyakan laki-laki dengan CMS memiliki refleks ereksi jika tidak ada kerusakan langsung pada segmen spinal tersebut.

Pada beberapa kemampuan ereksi yang sering terjadi, kualitas, dan durasi ereksi bisa ataupun tidak bisa untuk bersenggama. Untuk individu dengan disfungsi ereksi sekunder dari CMS, terdapat beberapa pilihan intervensi untuk meningkatkan fungsi seksualnya, meliputi terapi oral, injeksi, atau disisipkan pada penis, penanaman penil, dan alat vakum dengan tegangan cincin. Psikiatrik dan ahli urologi seharusnya mendiskusikan keuntungan dan kerugian dari macam-macam terapi dengan individu yang mengalami gangguan tersebut.

Meskipun dengan kemampuan ereksi yang cukup untuk aktivitas seksual, sebanyak 90% laki-laki dengan CMS tidak dapat ejakulasi selama bersenggama. Masalah ini berhubungan dengan rangakaian sinergi dari otak untuk memicu respon input sensorik, dari T10-T12 untuk emisi dan S2-S4 untuk ejakulasi, dapat menjadi kekacauan fungsi ejakulasi, yang mana perubahan kontrol spinkter dari sistem genitalurinaria dalam produksi semen yang dikeluarkan lewat kandung kemih lebih cepat dibandingkan melalui uretra. Meskipun ejakulasi dapat terjadi, kematian dari sperma pada laki-laki dengan CMS adalah 20%.

(21)

Fungsi seksual wanita

Pengaruh pada fungsi seksual wanita dengan CMS lebih sedikit dibandingkan laki-laki. Pada 60% lebih dari wanita, terdapat periode amenore kira-kira selama 5 bulan setelah perlukaan. Meskipun melebihi periode normalnya, tidak terdapat perubahan psikologis yang besar yang mengubah fungsi reproduksi, perubahan yang buruk lainnya tidak terjadi.

CMS dapat mengurangi atau menghilangkan pelumasan sekunder vagina sebagai ketidakmampuan respon input seksual dari otak untuk mencapai regio sakral (hampir sama dengan efek pada psikogenik respon ereksi pada laki-laki). Pelumasan dapat membantu untuk mengkompensasi masalah ini. Tergantung pada tingkat dan kelengkapan CMS, hilangnya kontrol otot di regio genital dan penurunan fungsi otot yang mengakibatkan kurangnya pergesekan selama bersenggama. Perubahan pada posisi seksual dapat membantu meminimalkan efek tersebut.

Hilangnya sensori dapat mengubah kepuasan orgasme setelah CMS. Pada penelitian pada sistem bentuk CMS, 54 % dari wanita seksual aktif dilaporkan mengalami orgasme.

(22)

TES DAN PENGUKURAN

Riwayat pasien dan sistem pemeriksaan seharusnya dipandu oleh klinisi dengan spesifik tes dan pengukurang tiap individu. Tujuan komponen ini dalam pemeriksaan adalah untuk memberikan identifikasi yang lebih akurat dari keluhan, mengidentifikasi keterbatasan daerah yang akan digunakan untuk tujuan fungsi akhir, rencana intervensi, dan aspek rencana perawatan lainnya. Pada bagian ini akan meringkas tes dan pengukuran yang sering digunakan pada populasi dengan CMS. Ini berguna sebagai panduan umum untuk menentukan aplikasi yang akan diberikan pada pasien.

Muskuloskeletal Sikap badan/postur

Observasi posisi duduk seharusnya fokus pada kemampuan untuk tegak melawan gravitasi, simetris, skapula posisi, penggunaan lengan untuk membantu mempertahankan posisi tubuh, dan posisi dari tubuh dan pelvis. Ketidaksimetrisan mengindikasikan perbedaan dari fungsi motorik kanan dan kiri. Asimetris juga mengindikasikan perbedaan dari pendistribusian berat tubuh, meningkatkan resiko gangguan kulit. Posisi skapula lebih awal mengindikasikan keseimbangan otot dan kontrol pada daerah skapula. Penggunaan bantuan lengan dan atau kemiringan yang ekstrem pada anterior dan posterior pelvik untuk memelihara kontrol tubuh sebagai kompensasi yang sering mengindikasikan kontrol tubuh yang jelek.

Karakteristik antropometer

(23)

keuntungan dari lebih panjangnya lengan dalam menutup rantai aktivitas lengan tetapi juga akan meningkatkan kontrol untuk terapi kelemahan dan spastik. Obesitas akan meningkatkan kerja ekstrimitas selama mobilisasi dan mengurangi ROM dari pelvis dan pinggul untuk mobilisasi. Individu yang sangat kurus atau yang mengalami kehilangan berat tubuh secara cepat selama masa perawatan lebih memiliki kerentangan terhadap terjadinya ulkus.

Batas gerakan

Evaluasi total dari semua gerakan yang mungkin pada semua persendian sangat penting dalam penilaian pasien dengan CMS karena ROM yang ekstrem sering memiliki peran penting dalam kompensasi kekurangan kekuatan. Tes standar genometer dianjurkan tetapi akan sulit dengan tindakan pencegahan, kehadiran alat stabilisasi spinal, atau dengan pasien dengan ketidakmampuan mentoleransi beberapa posisi tes yang standar. Variasi dari posisi tes yang standar atau tatacara seharusnya tercatat.

Daya guna otot

Tes manual otot (MMT) ditunjukkan pada semua kelompok-kelompok otot. The American Spinal Injury Association (ASIA) dan International Medical Society of Paraplegi mengembangkan sebuah sistem pemeriksaan SCI yang diketahui sebagai the International for Neurological Classification of SCI. ASIA merekomendasikan tes kekuatan dirancang pada kelompok otot pada masing-masing 10 pasang myotomemenggunakan rangkaian rostral dan kaudal. Kekuatan otot direkam menggunakan skala MMT 0-5. Skor-skor motorik ini dijumlahkan untuk menentukan total skore motorik. Dokter juga melakukan tes untuk menilai kekuatan otot pada spinkter ani dan mencatat hasilnya memiliki kontaksi atau tidak pada pemeriksaan tersebut. Skor ini dikombinasikan dengan skor sensorik dan informasi lain untuk membantu menentukan diagnosis dan prognosis pada individu dengan CMS.

(24)

tes otot pada penderita CMS. Karena sendi-sendi proksimal dan stabilisasi segmen tubuh sering terganggu akibat kerusakan saraf, stabilisasi eksternal dari daerah-daerah proksimal dibutuhkan selama proses tes untuk menilai kekuatan pada bagian distal secara akurat. Contohnya, pada seorang dengan tetraplegi tidak dapat menahan kekuatan pada tes otot bisep kecuali trunkus eksternal membantu pasien selama tes. Seperti pada pengukuran ROM, komplikasi dicegah dengan penggunaan tes standar posisi. Penggunaan posisi alternatif seharusnya tercatat dan menjaga konsistensi untuk pemeriksaan berikutnya.

Integritas dan mobilitas sendi

Integritas dan mobilitas sendi selalu dinilai dalam pemeriksaan sendi menggunakan palpasi dan observasi, pergerakan aktif, dengan bantuan dan pergerakan pasif. Karena peningkatan permintaan untuk lengan selama mobilisasi pasien-pasien dengan CMS, integritas dari skapulotorak, bahu, siku, dan pergelangan tangan adalah hal yang penting diperhatikan pada populasi tersebut.

Neuromuskular Kognitif

Penilaian dasar kognitif, seperti Mini Mental State Examination (MMSE) sering digunakan untuk menentukan potensi pasien untuk dilakukan rehabilitasi. Karena hasil laporan NSCID bahwa hilangnya kesadaran pada 28,2% pasien dengan SCI dan cedera kepala memberikan efek pada fungsi kognitif dan emosi pada 11,5% kasus. Penting untuk menyadari tanda-tanda trauma cedera otak dan kemungkinana yang dibutuhkan untuk tes neurologis.

Nyeri

(25)

nyeri yang dirasakan cukup berat untuk memberikan efek negatif dari kualitas hidup mereka. Sebuah survei pasien selama rehabilitasi memiliki hasil yang hampir sama (79% dengan 37,9% yang menggangu hidup mereka). Nyeri biasanya tiimbul segera setelah cedera tetapi dapat juga timbul lama setelahnya.

Kuantitas dan kualitas nyeri setelah CMS sangat rumit karena metode yang digunakan untuk mempelajari nyeri pada pasien CMS bermacam-macam, secara luas diterima dengan metode pengklasifikasian nyeri setelah CMS. The McMaster University Evidence-Based Practice Center mempelajari literatur untuk melihat hubungan CMS dengan nyeri neuropatik dan menemukan 132 penelitian yang mencari hubungan tersebut, 6 dari penelitian dengan randomized controlled trials (RCTs), dan banyak yang kekurangan yang melaporkan keterbatasan validitas penilaian mereka, relevansi, kecermatan, dan aplikasi klinisnya.

Neuromuskular Kognitif

Skrining kognitif dasar, misalnya dengan Mini Mental State Examination (MMSE), sering digunakan untuk menentukan kemampuan pasien selama menjalani rehabilitasi. Karena laporan penyakit-penyakit medulla spinalis nonprogresiv (NSCD) dengan penurunan kesadaran sebanyak 28,2% dari pasien NSCD, dan 11,5% cedera kepala berdampak pada fungsi kognitif dan emosional, maka penting untuk mengenali tanda-tanda trauma kepala dan kemungkinan membutuhkan pemeriksaan neurologic lebih lanjut.

Nyeri

(26)

sama (79% dan 37%, berturut-turut). Nyeri biasanya muncul segera setelah cedera tapi bisa juga muncul belakangan.

Penilaian kuantitas dan kualitas nyeri setelah CMSsulit karena metode-metode yang digunakan selama penelitian ini bermacam-macam dan karena bukan satu, secara luas menerima atau mengesahkan metode pengklasifikasian nyeri setelah CMS. The McMaster University Evidence-Based Practice Center melakukan pencarian literatur secara luas mengenai hubungan CMS dengan nyeri neuropatik, dan menemukan 132 studi yang sesuai dengan criteria pencarian mereka, hanya 6 dari 132 dengan randomized controlled trials (RCTs) yang mempunyai keterbatasan dalam penilaian validitas mereka, relevansi, ketepatan, dan aplikasi klinik mereka. Tiadak ada studi yang mengevaluasi peranan algoritma penatalaksanaan atau pendekatan multidisiplin terhadap nyeri. Tidak ada kesimpulan pula yang bisa menggambarkan tentang efektivitas penatalaksanaan nyeri pada pasien CMS.

Nyeri setelah CMS secara umum bisa dikategorikan sebagai nyeri nosiseptik atau nyeri neuropatik. Nyeri nosiseptik muncul ketika mengenai nosiseptor perifer di sebagian atau seluruh bagian tubuh yang diinervasi yang diaktifkan oleh iritasi lokal atau kerusakan jaringan nonneural. Kategori ini meliputi nyeri muskuloskeletal atau viseral. Nyeri neuropatik muncul sebagai hasil kerusakan langsung pada jaringan saraf di sistem saraf perifer ataupun pusat. Nyeri ini meliputi nyeri sentral, nyeri radikuler, dan sindroma nyeri regional kompleks. Nyeri pada CMS bisa berturut-turut dibagi menurut lokasi di atas atau di bawah tingkat cedera.

Adanya intensitas dan lokasi nyeri dicatat saat pemeriksaan atau pada pemeriksaan ulangan secara periodik. Nyeri bisa diukur dengan bermacam-macam skala standar nyeri, indeks, atau kuesioner.

Integritas reflex

(27)

Pemeriksaan ulang secara periodik dari aktivitas refleks diindikasikan untuk menentukan akhir dari periode syok spinal, untuk tujuan diagnosis.

Integritas sensorik

Pemeriksaan dengan sentuhan ringan, nyeri (tajam/tumpul), membedakan sentuhan, sensasi suhu, proprioseptif, dan kinesthesia dilakukan pada seluruh tubuh. Untuk sentuhan ringan, membedakan nyeri, suhu, dan membedakan 2 titik dilakukan pendekatan stimulus yang diaplikasikan untuk satu titik pada tubuh dan menanyakan pasien apakah mereka sadar terhadap stimulasi dan/atau apakah mereka merasakan titik yang diperiksa. Untuk pasien CMS, stimulus diperiksa menurut pola dermatom untuk mengevaluasi tingkat neurologic dari CMS. Sistem klasifikasi ASIA menggunakan sentuhan ringan (kapas) dan peniti diperiksa pada titik khusus di masing-masing 28 dermatom pada kedua sisi tubuh. Hasil pemeriksaan dinilai dengan 3 titik, 0 = tidak ada, 1 = kerusakan, 2 = normal (dengan NT = tak dapat ditentukan). Nilai ini kemudian dijumlahkan sesuai dermatom dan sisi tubuh untuk menghasilkan nilai kedua sensori. Nilai Pin Prick dan nilai Light Touch.

Kotak 20-1 Substitusi Umum pada Pemeriksaan Manual Otot Ekstremitas Atas dan Skapula

Trapezius Atas

 Substitusi levator skapula; menghasilkan elevasi skapula dan adduksi dari batas medial skapula

Trapezius Tengah

 Substitusi rhomboids; menghasilkan adduksi scapula dan rotasi medial dari sudut inferior skapula

 Substitusi levator skapula; menghasilkan elevasi skapula dan adduksi dari batas medial skapula

(28)

 Substitusi trapezius tengah; menghasilkan adduksi murni dari batas medial skapula

 Pasien bisa mengangkat tangan mulai dari pantat dengan menggunakan otot ekstensor bahu (deltoid posterior, teres mayor, latsitimus dorsi, dan trisep)

 Pasien bisa juga hanya mengangkat tangan mulai dari pantat dengan mengedepankan skapula menggunakan pektoralis, khususnya pektoralis minor dengan korakobrakialis

Serratus Anterior

 Substitusi pektoralis minor dan korakobrakialis

 Skapula tidak bisa wing off dada/dinding torak pada posisi prone-on siku Bisep

 Substitusi brakiobrakialis di mana fleksi siku muncul pada midposisi dari pronasi dan supinasi, tapi pasien tidak mampu untuk fleksi siku dengan supinasi penuh

Pektoralis mayor

 Pasien bisa mengadduksikan komponen internal rotasi dari otot dengan kepala bisep, korakobrakialis, dan anterior deltoid, mungkin pula latissimus dorsi

 Ingat inervasi segmental untuk komponen klavikula dari pektoralis mayor adalah C5-6, sedangkan inervasi segmental komponen sternal dari pektoralis mayor adalah C7-8 sampai 11 (mungkin meliputi C6)

Trisep

 Pasien bisa menggunakan rotator eksternal bahu (supraspinatus, infraspinatus, teres minor) sampai tangan pada posisi di mana gravitasi akan memanjang siku

 Ketika berat hubungan pada ekstremitas atas, pasien bisa menggunakan beberapa rotasi eksternal bahu; bagaimanapun beberapa penguncian dari siku pada ekstensi dilakukan oleh pektoralis mayor, bisep, dan korakobrakialis

(29)

 Paralisis dari serat-serat bagian dalam deltoid dikompensasi oleh deltoid, trisep, klavikula pektoralis, rotator eksternal mayor bahu, dan serratus anterior

Rotator Eksternal Bahu

 Pasien bisa menurunkan bahu supaya gravitasi bisa merotasi bahu

 Pasien bisa menggantikan dengan supinator dari lengan bawah dan ekstensor pergelangan tangan untuk membantu merotasikan pergelangan tangan dan lengan dengan gravitasi

Supinator

 Pasien bisa menggantikan dengan bisep, rotator eksternal bahu, brakiobrakialis, dan ekstensor pergelangan tangan

Rotator Internal Bahu

 Substitusi pektoralis minor dan korakobrakialis dengan memperpanjang bahu sehingga gravitasi bisa merotasi bahu secara internal

 Pasien bisa juga mengganti dengan pronator, fleksor pergelangan tangan, dan brakiobrakialis

Pronator

 Pasien bisa mengganti dengan rotator internal bahu dan brakoradialis Ekstensor Pergelangan Tangan

 Pasien bisa mengganti dengan merotasi secara ekternal bahu supaya gravitasi bisa memanjangkan pergelangan tangan

 Pasien bisa mengganti dengan supinasi lengan bawah supaya gravitasi bisa memanjangkan pergelangan tangan

 Pasien bisa mengganti dengan ekstensor jari-jari Fleksor Pergelangan Tangan

 Pasien bisa mengganti dengan merotasi secara internal bahu supaya gravitasi bisa memfleksikan pergelangan tangan

 Pasien bisa mengganti dengan pronasi lengan bawah supaya gravitasi bisa memfleksikan pergelangan tangan

(30)

 Pasien bisa mengganti dengan teres mayor, deltoid posterior, trapezius bawah, dan mungkin trisep

Fleksor Jari

 Pasien bisa mengganti dengan menggunakan efek tenodesis, di mana ekstensi pergelangan tangan menghasilkan tekanan pasif pada fleksor jari; beberapa fleksor jadi khususnya pada sendi interfalang

Ekstensi Jari

 Pasien bisa mengganti dengan menggunakan efek tenodesis, di mana fleksi pergelangan tangan menghasilkan tekanan pasif pada ekstensor jari, beberapa ekstensor jari khususnya pada sendi interfalang

Trunkus

Abdominalis (Atas)

 Pasien bisa mengganti dengan kepala dan fleksor leher, pektoralis mayor dan minor, dan serratus anterior

Oblik

 Pasien bisa mengganti dengan latissimus dorsi jika ekstremitas atas baik Quadrates Lumborum

 Pasien bisa mengganti dengan latissimus dorsi atau oblik Ekstremitas Bawah

Fleksor Pinggul

 Pasien bisa mengganti dengan abdominalis bawah, di mana kemiringan pelvis secara posterior dan menyebabkan ekstremitas bawah mengikuti maju dengan gaya gerak

 Pasien bisa mengganti dengan oblik bawah, yaitu merotasi pelvis secara anterior, menyebabkan ekstremitas bawah mengikuti maju

(31)

 Latissimus dorsi bisa menyebabkan fleksi dan abduksi pinggul sebagaimana pasien secara unilateral mengelevasi pelvis

Ekstensor Pinggul

 Pasien bisa mengganti dengan otot ekstensor lumbal, di mana kemirigan pelvis secara anterior dan menyebabkan ekstremitas bawah mengikuti secara posterior dengan gaya gerak

 Itu bisa dilihat seperti kamu palpate beberapa ekstensor pinggul pada pasien secara maksimal mengkontraksikan fleksor pinggul kemudian merelaksasi karena ekstremitas bawah akan pindah secara posterior pada pantulan atau bolak-balik

 Pasien bisa mengganti dengan serat-serat longitudinal dari adductor magnus

 Pasien bisa mengganti dengan quadrates lumborum Abduktor Pinggul

 Pasien bisa mengganti gluteus medius dan minimus menggunakan latissumus dorsi atau oblik untuk mengelevasikan atau “menjalankan” pelvis

 Pasien bisa mengganti dengan Sartorius, yang mana akan melenturkan pinggul

 Pasien bisa mengabduksi pinggul dengan tensor fascia lata Adduktor Pinggul

 Pasien bisa mengganti dengan beberapa fleksor pinggul

 Pasien bisa menggunakan abdominalis bawah untuk merotasikan pelvis ke depan, mengikuti gravitasi secara internal merotasikan ekstremitas bawah Rotator Internal Pinggul

 Pasien bisa menggunakan otot abdominal bawah untuk merotasikan pelvis ke depan sehingga gravitasi secara internal merotasikan ke bawah

Rotator Ekstensor Pinggul

 Pasien bisa menggunakan ekstensor belakang bawah untuk merotasikan pelvis ke belakang sehinggal gravitasi secara eksternal merotasikan ekstremitas bawah

(32)

 Pasien bisa mengganti dengan semimembranosus dan semitendinosus menggunakan sartorius dan grasilis

 Pasien bisa mengganti dengan mengulang kejadian dari quadrisep

Quadrisep

 Pasien bisa mengganti posisi duduk sedehana sehingga cenderung trunkus ke belakang, akhirnya menginisiasi pergerakan kedua tungkai

 Pasien bisa mengganti dengan supinasi atau posisi berbaring dengan menggunakan adduktor magnus untuk memanjangkan pinggul dan lutut Inverse Kaki

 Pasien bisa mengganti dengan merotasi pinggul secara internal dan menggunakan gastroknemius medial

Eversi Kaki

 Pasien bisa mengganti dengan merotasi pinggul secara eksternal dan menggunakan gastroknemius lateral

Dikutip dari: Nixon V: Spinal Cord Injury. A Guide to Functional Outcomes in Physical Therapy Management

Sistem klasifikasi ASIА menggunakan pemeriksaan sentuhan lembut (kapas) dan tusukan jarum (peniti) diuji pada titik tertentu di setiap 28 dermatom pada kedua sisi tubuh. Hasil pengujiandiklasifikasikan dalam 3 poin (skala 0 = tidak ada, 1 = gangguan, 2 = normal "dengan NT = tidak dapat diuji" ). Nilai dijumlahkan di seluruhdermatom dan kedua sisi tubuh untuk menghasilkan dua nilai sensorik skor tusukan jarum dan skor sentuhan ringan.

Fungsi motorik - kontrol dan belajar

(33)

tonus otot masih dapat terjadi dan dapat mengganggu, atau digunakan untuk membantu, dengan kontrol motorik dan keterampilan mobilitas.

Dalam luka yang tidak total/menyeluruh, akan ada beberapa tumpang tindih pengendalian involunter dan spastisitas oleh tulang belakang membuat fungsi motorik resultan lebih sulit untuk diprediksi.

Pola-pola sinergi patologis dan spastisitas sering dikaitkan dengan gangguan lainnya nonprogressive sistem pusat saraf UMN,seperti stroke, agak berbeda dari pola-pola gerakan abnormal yang umum terlihat pada CMS. Spastisitas CMS disebabkan oleh perubahanpengendalian saraf dan pada otot itu sendiri. Respon interneuron untuk menghambat aktivitas aferen berkurang, sehinggaterjadi hiperreflex. Penghambatan nonresiprokal berkurang, sehingga otot menjadi hipertonus. Transmisi pada serabut aferen kulit untuk neuron motor difasilitasi, sehingga terjadi respon refleks berlebihan terhadap rangsang normal (contoh: penarikan refleks seluruhpaha sebagai respon terhadap sentuhan ringan pada paha tersebut. Dan sifat-sifat mekanis dari otot serat athropy, fibrosis, dan perubahansifat kontraktil otot dari phasik menuju tonik. Kombinasi perubahan ini dapat menyebabkan kelemahan, gangguankoordinasi, perubahan

dalam postur dan gerakan tak terkendali.

(34)

obat antispastik. Hal ini cukupkonsisten dengan statistik NSCID yang tercatat sebelumnya. Insiden spastisitas yang lebih tinggi telah terlihat pada tetraplegia dan dengan luka inkomplit pada tingkat apapun (terutama dalam fase pemulihan akut dibandingkandengan cedera total).

Sebagai tambahan tentang persoalan pengendalian motorik yang sebelumnya dibahas, jika spastisitas menjadi parah dan tidak dapat dikontrol, hal itu dapat disebabkan oleh krontaktur pada sendi dan otot, menghambat aktivitas sehari-hari dan kemampuan bergerak, menyulitkan posisi yang baik, mengganggu kebersihan, meningkatkan resiko penekanan lambung, mengganggu tidur, menyebabkan nyeri, dan menyebabkan gangguan pada kualitas hidup. Kejadian dan parahnya spastisitas juga dapat dipengaruhi oleh status psikologis individu sendiri dan dapat diperburuk oleh stressor seperti infeksi saluran kemih, demam, menstruasi, distensi usus, perubahan temperatur lingkungan, pakaian ketat, dsb.

Beberapa penulis memperhatikan bahwa spastisitas ringan dapat meningkatkan fungsi ADL dengan meningkatkan tonus otot yang membantu sirkulasi atau stimuli yang sengaja diberikan untuk mencetuskan respons refleks pada saat yang diinginkan (misalnya saat ingin mengosongkan kandung kemih). Walaupun pernyataan ini cocok dengan pengalaman penulis, tidak ada literatur yang menerbitkan fakta yang terpercaya yang mendukung atau menyangkal pernyataan tersebut.

(35)

penelitian literatur telah gagal untuk membuktikan fakta atau keterangan yang dapat dipercaya untuk tes terhadap tonus otot pada penderita CMS.

Kardiovaskuler/Pulmoner Sirkulasi

Orang dengan tingkat CMS yang tinggi cenderung mengalami hipotensi ortostatik karena berkurangnya aliran balik vena, curah jantung, dan aliran darah pada beberapa bagian tubuh, sehingga tekanan darah perlu diobservasi. Seperti yang dikemukakan sebelumnya bahwa AD adalah konsekuensi berbahaya dari CMS yang menyebabkan perubahan sirkulasi dan membutuhkan pemantauan tekanan darah yang sering.

Peredaran dan pertukaran gaspernafasan

Pemeriksaan fungsi pernafasan meliputi saturasi oksigen, kekuatan otot pernafasan, kapasitas pernafasan, frekuensi pernafasan, ekspansi dada. Saturasi oksigen dapat diukur dengan oksimeter. Kapasitas vital, ekspirasi dan inspirasi dapat diukur dengan spirometer. Kelley et al menemukan 92,4% dari 278 orang dengan CMS dapat melakukan test spirometer dengan sedikit modifikasi dari Аmerican Thoracic Society testing standards.

Tipe pernafasan, bentuk dan simetris dinding dada, kemampuan batuk dan durasi bersuara (vokalisasi atau suku kata per tarikan nafas) dicatat dan direkam. Аuskultasi dilakukan untuk menentukan tipe atau lokasi dari suara nafas. Penggunaan alat bantu pernafasan seperti ventilator juga harus diperhatikan.

Kapasitas aerobik dan daya tahan

(36)

digunakan adalah tes ergometer. Denyut jantung, curah jantung dan pengeluaran oksigen.

Fungsi

Mobilitas dasar dan perawatan diri

Sebuah tinjauan dari kemampuan mobilitas fungsional telah rampung. Pemeriksaan yang harus dilakukan termasuk berguling pada dua sisi di tempat tidur, dari posisi supinasi ke pronasi kemudian kembali ke posisi supinasi, lalu duduk lama dan kembali ke posisi berbaring supinasi dilanjutkan dengan duduk di tepi tempat tidur dan berpindah dari tempat tidur ke kursi roda. Keterampilan tambahan untuk aktifitas sehari-hari dapat juga diperiksa berdasarkan level kegunaannnya pada pasien.

Kemampuan untuk melakukan pergerakan dapat diukur dengan skala pergerakan fungsional. Hadley melakukan tinjauan besar yang dapat dipergunakan dan dipercaya untuk menilai pergerakan fungsional pada populasi CMS akut. Peninjauan tersebut menunjukkan bahwa ada keterangan yang cukup untuk mendukung pengukuran tersebut. Functional Independence Measurement (FIM) dianjurkan untuk dilakukan pada pasien dengan SCI. FIM adalah skala dengan 7 tingkatan berdasarkan kemandirian dengan 18 item perawatan diri, bergerak, makan, buang air besar dan buang air kecil, kognisi sosial, dsb. Tes ini telah dipercaya pada bermacam populasi rehabilitasi.

Sebagai tambahan FIM, beberapa skala rehabilitasi umum lainnya telah digunakan pada penderita CMS, contohnya adalah Modified Barthel Index. Skala tambahan telah dibuat untuk penggunaan CMS yang lebih spesifik termasuk Quadriplegic Index of Function (QIF) and Spinal Cord Independence Measure (SCIM).

(37)

Pada penderita CMS akut, inti dari lokomosi adalah kursi roda. Pemeriksaan awal dari pergerakan kursi roda termasuk observasi kemampuan masing-masing orang untuk mengatur bagian kursi roda (kunci roda, pijakan kaki, dsb). Untuk penderita tetraplegi berat, diperlukan tes kemampuan untuk mengontrol pergerakan kursi roda. Penderita harus di uji kemampuannya untuk melakukan teknik penekanan kursi roda ketika mereka didudukkan.

Tes lebih jauh telah dikembangkan untuk mengukur dimensi tambahan dari kursi roda seperti kekuatan, kecepatan. The Wheelchair Circuit adalah sebuah tes untuk mengukur kemampuan pergerakan kursi roda manual, dengan 8 keterampilan kursi roda dan hasilnya dibagi dalam 3 item : kemampuan (apakah item bisa ditampilkan), waktu performa, dan physical strain (diukur dengan denyut jantung). Sebuah penelitian longitudinal pada 74 pasien mengatakan bahwa perbandingan performa penggunaan kursi roda di awal dan akhir pada pasien rawat inap rehabilitasi dapat dipercaya. Tes ini berkaitan dengan performa mobilitas FIM, dilihat dari perpindahan ke tempat tidur, kursi, dll.

Evaluation, diagnosis and prognosis

(38)

keamanan dan adaptasi perubahan terhadap kondisi fisik, lingkungan dan petugas perawatan atau tuntutan tugas.

Evalusi CMS biasanya termasuk menilai tingkatan gangguan menggunakan АSIАImpairment Scale. Skala ini bergantung pada hasil dari АSIА Motorik dan nilai sensori. Untuk beberapa perbandingan (LEMS sebagai prediktor dari cara berjalan dan UEMS sebagai skor motor HM). Sebuah prediksi yang lebih baik untuk kemampuan fungsional dapat diperoleh menggunakan UEMS dan LEMS untuk menjelaskan perbedaan dimensi dari efek gangguan fungsi daripada menggunakan nilai total motorik. АSIАImpairment Scale dinilai dari А yaitu sensorik dan motoriknya normal. Sebagai tambahan, penderita harus memiliki baik kontraksi sfingter anal maupun mempertahankan fungsi motorik lebih dari 3 level di bawah level motorik.

Sejumlah sindrom klinis berkaitan dengan CMS inkomplet menyebabkan pola gangguan tipikal. Mengetahui gejala sindrom tersebut dapat membantu prediksi keterbatasan fungsi dan merencanakan pengobatan.

Prognosis untuk pemulihan fungsional setelah CMS dipersulit pleh berbagai macam gangguan dan kerusakan neurologis serta pemeliharaan dengan kerusakan medula spinalis. Pemulihan pada kerusakan tidak total dapat sedikit diprediksi dengan hasil pemeriksaan dan kategori diagnosis. Untuk kerusakan/cedera total (tanpa faktor penyulit) tabel 20-4 menyimpulkan outcome fungsional yang dapat diharapkan pada akhir episode perawatan awal.

Kotak 20.2 Tes Sirkuit Kursi Roda 1. Bentuk angka 8

Tiga penanda ditempatkan di lantai dalam garis lurus dengan jarak masing-masing 1,5 meter. Subjek duduk di atas kursi roda dengan roda depan berada di belakang penanda pertama dan mengarah ke belakang. Pada sinyal pertama, subjek mendorong kursi roda secepat mungkin dengan jalur membentuk angka 8 di sekitar dua penanda. Waktu dicatat ketika subjek mulai mendorong kursi roda sampai roda depan melewati penanda pertama kembali.

(39)

Waktu performa : waktu yang dibutuhkan untuk melakukan tes ini. 2. Melintasi daun pintu

Sebuah daun pintu yang terbuat dari kayu (tinggi: 0,04 meter) diletakkan di pintu sebaliknya. Satu meter di depan dan di belakang daun pintu, diletakkan penanda di atas lantai. Subjek duduk di atas kursi roda dengan roda depan berada di belakang penanda pertama dan mengarah ke belakang. Pada sinyal pertama, subjek mendorong kursi roda ke depan, di sisi daun pintu dan bergerak menjauh menuju penanda kedua. Waktu dihitung saat subjek mulai mendorong sampai roda depan melewati penanda kedua.

Ability score 0: subjek tidak bisa melakukan tes ini dalam 120 detik.

Ability score 0.5: subjek bisa melewati daun pintu dalam 120 detik dengan roda depan tapi tidak bisa melewatinya dalam 120 detik dengan roda belakang.

Ability score 1: subjek bisa melakukan dalam 120 detik 3. Pemasangan sebuah platform

Sebuah platform dari kayu ( tinggi: 0,1 meter) dipasang di atas lantai, sejajar dengan dinding. 2 meter di depan dinding dipasang penanda pada lantai. Subjek duduk di atas kursi roda dengan roda depan di belakang penanda pertama. Pada sinyal pertama, subjek mendorong kursi roda ke depan dan menaiki platform. Waktu dihitung mulai dari subjek mendorong kursi roda sampai keempat roda sampai di atas platform.

Ability score 0: subjek tidak bisa melakukan dalam waktu 120 detik

Ability score 0.5: subjek bisa menaiki platform dalam 120 detik menggunakan roda depan tapi tidak bisa dengan roda belakang dalam 120 detik.

Ability score 1: subjek bisa melakukan dalam waktu 120 detik 4. Sprint 15 meter

Dua penanda diletakan di atas lantai dengan jarak masing- masing 15 meter. Subjek duduk di atas kursi roda, dengan roda depan di belakang penanda pertama. Pada sinyal pertama, subjek mendorong kursi roda menuju ke penanda kedua secepat mungkin. Waktu dihitung ketika subjek mulai mendorong sampai roda depan melewati penanda kedua.

(40)

5. Kemiringan 3 %

Tes ini mengharuskan subjek mendorong kursi rodanya di atas “wheelchair-adjusted treadmill”. Sinyal pertama, kecepatan treadmill sebesar 0,56 m/s. sepuluh detik berikutnya, kemiringan dinaikkan menjadi 3 % dalam 12 detik. Ketika kemiringan sudah tercapai, subjek tetap mendorong kursi roda selama 10 detik sebelum kemiringan dikembalikan 0 % dalam 12 detik. Tes berakhir ketika treadmill kembali pada posisi horizontal.

Ability score 0: subjek tidak bisa melakukan tes ini Ability score 1: subjek melakukan hal ini dengan baik 6. Kemiringan 6 %

Tes ini sama seperti dalam tes kemiringan 3 %, kecuali kemiringan treadmill mencapai 6 %. Kenaikan dan penurunan kemiringan memakan waktu masing-masing 23 detik. Nb: tes ini hanya boleh dilakukan jika subjek dapat melakukan tes 5. (ability score : 1)

Ability score 0: subjek tidak bisa melakukan tes ini.

Ability score 1: subjek bisa melakukan tes ini dalam waktu 180 detik 7. Dorongan kursi roda

Tes ini mengharuskan subjek mendorong kursi rodanya di atas “wheelchair-adjusted treadmill”. Sinyal pertama, kecepatan treadmill 0.56, 0.83, atau 1.1 m/s, tergantung dari kemampuan subjek. Subjek mendorong kursi roda selama 180 detik.

Ability score 0 : subjek tidak bisa melakukan tes ini

Ability score 1: subejk bisa melakukan tes ini dalam 180 detik.

8. Transfer

(41)

Ability score 0 : subjek tidak dapat melakukan tes ini dalam 300 detik

Ability score 0.5: subjek bisa melakukan perpindahan dalam 300 detik, tetapi tidak sesuai dengan petunjuk di atas.

Ability score 1: subjek melakukan tes ini dengan baik dalam 300 sekon. ASIA Impairment Scale

A= complete: tidak ada fungsi saraf motorik dan senorik pada daerah sacral pada segment S4-5

B= incomplete: sensory tetapi tidak pada fungsi motorik yang didapatkan di bawah level neurologis

C= incomplete: Fungsi motorik beradal di bawah lesi saraf yang kena . D= incomplete: Fungsi motorik beradal di bawah lesi saraf yang kena E= normal: Fungsi saraf motorik dan senorik normal

Gejala Klinis

Nama Sindroma Pola dari lesi saraf Kerusakan

(42)

cedera akan

Tabel 20.4 Hasil Fungsional Setelah Cedera Medula Spinalis

(43)
(44)

manual dengan

(45)

berikut harus dimodifikasi berdasarkan hasil pada pemeriksaan yang teliti dan proses evaluasi.

FASE AKUT

Intervensi awal pada penyembuhan fase akut dan SCI memfokuskan kepada prevensi terhadap komplikasi sekunder dari immobilitas dan permulaan transisi untuk postur yang sesuai. Emphasis disesuaikan pada senaman pasif dan aktif, untuk mencegh kerusakan kulit dan memelihara ROM, dan untuk memastikan fungsi pernafasan sebanyak mungkin.

Instruksi Pasien

Pendidikan pasien dan setiap pengasuh diidentifikasi harus dimulai pada saat onset pasien terapi servis. Pasien harus belajar untuk mengarahkan bantuan yang dia butuhkan untuk mengontrol perawatan fisik mereka, kenyamanan dan kebutuhan psikososial mereka. Khususnya, terapi instruksi fisik dalam pengaturan akut akan mencakup instruksi posisi tidur, inspeksi kulit dan faktor risiko tekanan ulkus, latihan pernapasan, dan latihan ROM . Instruksi harus diberikan dan dinilai untuk akurasi, karena kesalahan dalam memahami dapat menyebabkan perawatan submaksimal dan kemungkinan komplikasi dalam pemulihan. Setelah pasien stabil ia juga harus mulai dididik tentang proses rehabilitasi jangka panjang.

Latihan Terapeutik

(46)

mempertahankan panjang otot setelah SCI. Kebutuhan untuk peregangan lebih lama dan dengan posisi tidur yang sesuai dijelaskan nanti dalam bagian ini. Meskipun kurangnya bukti untuk mendukung latihan ROM, dianjurkan bahwa dilakukan sampai penelitian lebih lanjut untuk lebih mendefinisikan parameter peregangan, latihan ROM digunakan untuk kemungkinan kontribusi untuk mereka yang berfleksibilitas, fungsi peredaran darah, pencegahan untuk tekanan ulkus, dan sebagai sarana untuk memperkenalkan kembali kepada pasien dengan konsep gerakan, dalam persiapan untuk mobilitas aktif.

Beberapa tindakan pencegahan tambahan harus diambil ketika melakukan latihan ROM pada individu dengan SCI karena masa depan ROM yang dibutuhkan untuk mobilitas dan hipotonik hadir selama pemulihan awal:

1. ROM yang ekstrim atau kuat dihindari karena risiko terjadi trauma jaringan lunak dan kemungkinan predisposisi untuk HO.

2. Kaki lurus dan gabungan fleksi pinggul dan lutut mungkin terbatas dalam fase akut, terutama setelah operasi toraks atau lumbal tingkat rendah, karena peregangan yang mungkin terjadi pada jaringan dural dan struktur lumbal.

(47)

4. Oleh karena kebutuhan kekuatan dan mobilitas di bahu dan tulang belikat untuk semua keterampilan mobilitas pada masa depan, daerah ini harus ditangani bersama dengan gerakan ekstremitas distal.

5. Selama periode areflexive pada shock tulang belakang, perawatan harus dilakukan untuk sepenuhnya mendukung anggota badan selama ROM untuk mencegah trauma pada sendi tengah.

Sementara ROM pada awalnya merupakan aktivitas pasif yang dilakukan oleh terapis atau pengasuh yang terlatih, sambil pasien yang mangalami kemajuan memungkinkan latihan ini untuk membantu berolahraga atau senaman aktif, dan pasien diinstruksikan dalam melakukan latihan ROM sendiri untuk menjaga fleksibilitas.

Posisi.

Oleh karena periode lama pasien SCI akut paling menghabiskan waktunya di tempat tidur, sangat penting bahwa posisi benar dilakukan untuk mengurangi risiko tekanan ulkus, mempertahankan allignment postural dan rangka, dan mengurangi efek sekunder dari spastik. Tekanan pada tempat tidur, kasur, atau kasur overlay harus selalu digunakan sebagai tambahan dalam pemantauan posisi konstan atau kondisi kulit. Posisi berbalik dilakukan setiap 2 jam.

Ketika pasien telentang, postur berikut ini disarankan:

Area tubuh Titik anatomi posisi

LEs Pinggul Ekstensi dan abduksi

sedikit dengan rotasi neutral

Lutut Ekstensi, tapi disokong dan tidak dihiperekstensi

Tumit Dorsofleksi, umumnya

dengan menggunakan alat ortotik

Jari-jari kaki Ekstensi

UEs (untuk pasien dengan tetraplegia)

(48)

kehadiran fungsi bisep tanpa fungsi trisep. Alat

ortotik lain boleh digunakan untuk menahan

ekstensi siku jika terjadi spastic bisep Pergelangan tangan Ekstensi pada 30-40

derajat.

Jari-jari tangan Fleksi

Pasien jarang diposisikan baring miring secara langsung karena tekanan terjadi pada tulang di bagian bahu dan pinggul. Jadi, mereka diposisikan sedikit menjauh dari miring di arah terlentang. Dalam posisi ini, pinggul dan lutut sedikit tertekuk dan kaki bagian atas sedikit posterior lebih rendah, dengan bantalan yang disediakan antara tungkai (terutama pada lutut dan pergelangan kaki). Bahu sisi bawa tertekuk sekitar 90 derajat, siku diperpanjang, dan lengan bawah disupine dan ditahan di atas bantal. Lengan atas didukung pada sebuah bantal pada fleksi bahu dan ekstensi siku.

(49)

untuk memungkinkan pemeriksaan kulit dan membersihkan bagian bawah posterior dari halo dan untuk membantu sekresi pernapasan mobilisasi.

Sebagai pasien yang stabil kondisinya, mereka mungkin boleh duduk tegak. Pengikat perut dan Les digunakan untuk mendukung pembuluh darah, dan individu secara bertahap dinaikkan ke posisi duduk di tempat tidur atau di kursi roda berbaring dengan kakinya ditinggikan, sementara tekanan darah dan denyut jantung dipantau dan diamati tanda-tanda sakit kepala atau pusing. Ketika pasien dapat ditoleransi duduk di posisi ini untuk waktu yang lama (15-30minutes), pasien dapat duduk dengan Les dalam posisi mandiri.

Pembukaan Jalan Napas

Banyak individu dengan SCI, khususnya di tingkat serviks, membutuhkan ventilasi mekanis selama manajemen akut mereka. Pasien dengan cedera di atas C4 akan memerlukan bantuan ventilasi penuh atau parsial seumur hidup. Intervensi terapi fisik selama manajemen akut pasien akan mencakup teknik untuk meningkatkan kekuatan otot pernapasan dan daya tahan dan meningkatkan saluran udara yang lapang dan untuk meminimalisir komplikasi immobilisasi pernapasan yang lanjut. Pengobatan harus dikoordinasikan dengan anggota lain dari tim pengobatan, termasuk keperawatan, terapi pernapasan, terapi wicara, dan terapi okupasi.

(50)

sekresi. Setelah pasien lebih aktif dan dapat memobilisasi sekresi dengan batuk, pembukaan jalan napas teknik pasif akan dihentikan.

Pengikat perut untuk mendukung pernapasan dapat digunakan setelah pasien melakukan beberapa napas spontan. Pengikat ditetapkan di daerah 2-3 inci di bawah prosesus xifoid dan diperluas sedikit di bawah spina iliaka anterior superior (SIAS). Pengikat yang ditempatkan terlalu tinggi dapat mengganggu inspirasi, dan pengikat yang diperpanjang terlalu rendah dapat menyebabkan kerusakan kulit. Meskipun penggunaan pengikat perut untuk mendukung respirasi adalah kontroversial, ada bukti bahwa bahan pengikat dapat membantu beberapa individu. Kapasitas vital, frekuensi pernapasan, pola pernapasan, dan saturasi oksigen dapat dipantau dalam posisi terlentang dan duduk dengan dan tanpa pengikat untuk menentukan apakah pengikat membantu individu tertentu.

(51)

lain, melayani prosedur darurat untuk mempertahankan bernapas untuk waktu yang singkat dalam kegagalan sementara dari bantuan ventilasi mekanik.

Manajemen Rasa Sakit. Intervensi untuk manajemen nyeri bervariasi dengan jenis rasa sakit. Meskipun setiap struktur di atas atau di bawah tingkat cedera mungkin akan terpengaruh, nyeri nosiseptif sering pada muskuloskeletal dan sering terjadi di atas tingkat cedera. Gejala sakit nosiseptif ditangani dengan rejimen yang sama dengan yang digunakan untuk populasi, termasuk penggunaan obat analgesik dan antiinflamasi, istirahat, gaya hidup, modifikasi, modalitas terapi, dan olahraga. Intervensi tambahan untuk orang dengan SCI mungkin melibatkan penilaian ergonomis dan modifikasi tempat duduk kursi rodanya dan teknik propulsi. Tidak ada bukti studi terkontrol ditemukan untuk pasien SCI terkait dengan kemanjuran berbagai intervensi untuk nyeri nosiseptif. Dalam laporan studi manajemen nyeri pada 120 individu dengan SCI, 40 telah mencoba terapi fisik dan 50% dari mereka dinilai sebagai membuat sakit "jauh lebih baik" atau "menghilang".

Nyeri neuropatik lebih sulit untuk diklasifikasikan dan diobati terutama jika terjadi di bawah tingkat cedera. Pilihan pengobatan untuk jenis nyeri mirip dengan yang digunakan pada pasien lain dengan nyeri kronis dan mungkin termasuk obat-obatan, dukungan psikososial, terapi behavorial kognitif dan intervensi bedah. Stimulasi sumsum tulang belakang dan infus obat mungkin ditambakan. Beberapa studi klinis telah dilakukan untuk mengevaluasi efektivitas dari setiap pengobatan yang diberikan, dan tidak ada intervensi yang efektif secara konsisten. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengembangkan metode yang efektif untuk pengelolaan nyeri neuropatik setelah SCI.

FASE REHABILITASI

Gambar

Tabel 20-2.     Inervasi Otot Pernapasan
Tabel 20.3 Sindroma cedera medulla spinalis
Tabel 20.4 Hasil Fungsional Setelah Cedera  Medula Spinalis

Referensi

Dokumen terkait

Awalan “de” dalam aturan bahasa Indonesia berarti meniadakan. Deradikalisasi berarti gerakan meniadakan radikalisme. Dalam kesempatan ini, Sri Yunanto memilih dimensi

Adapun proses atau tahapan dalam pelaksanaan kebijakan pemekaran kelurahan Pertama, desa yang akan bergabung atau membentuk kelurahan harus minimal berumur 5

Sebagai kemungkinan lain, atau jika larut dalam air, menyerap dengan memakai bahan kering yang tidak giat dan masukkan ke wadah bahan buangan yang tepat.. Buang melalui kontraktor

Sesuai dengan tugas pokok dimaksud, Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Pekalongan merencanakan pelayanan kepegawaian untuk tahun 2011 – 2016 terhadap Pegawai Negeri Sipil

Analisis total asam dilakukan dengan menitrasi (iltrat dari buah yang telah ditambahkan indikator phenolphthalein +** dan dititrasi dengan a/! sampai

Kajian pustaka yang telah diuraikan di atas, menjadi acuan untuk melakukan penelitian lebih lanjut tentang sistem kesehatan dalam kaitannya dengan sistem penyembuhan atau

Selain itu Pemekaran daerah juga dapat diartikan sebagai pembentukan wilayah administratif baru di tingkat provinsi maupun kota dan kabupaten dari induknya, pembentukan

• Kemajuan yang dicapai tamadun Islam membuktikan bahawa aspek politik, ekonomi dan sosial boleh dibangunkan serentak dengan perkembangan ilmu pengetahuan. • Kegemilangan tamadun