• Tidak ada hasil yang ditemukan

TA JHON TUEMAN KERJASAMA INDONESIA NOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TA JHON TUEMAN KERJASAMA INDONESIA NOR"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Perubahan iklim adalah fenomena global yang disebabkan oleh kegiatan manusia dalam penggunan energi bahan bakar fosil serta kegiatan alih-guna-lahan dan kehutanan. Kegiatan tersebut merupakan sumber utama gas rumah kaca, terutama karbon diaksida (CO²) yang berasal dari negara – negara industri besar. Gas tersebut memiliki kemampuan menyerap gas yang berasal dari radiasi matahari yang dipancarkan kembali oleh bumi, dimana penyerapan ini telah menyebabkan pemanasan atmosfer atau kenaikan suhu dan perubahan iklim (Saufa, 2015 : 12).

(2)

2

kaca yang dapat dilakukan secara individu atau bersama-sama (Saufa, 2014 : 14-15).

Terjadinya perubahan iklim tentunya membawa implikasi negatif yang tidak sedikit, oleh karena itu kepedulian terhadap lingkungan hidup akhirnya menjadi fokus penting dalam hubungan internasional, diantaranya adalah ; permasalahan menyangkut CFCs (Chlorofluorocarbons), yang berakibat pada pemanasan global, meningkatnya jenis dan kualitas penyakit akibat berlubangnya lapisan ozon yang dirasakan seluruh dunia, peningkatan suhu udara secara global, naiknya permukaan air laut yang berpotensi menenggelamkan pulau – pulau kecil, terjadinya pergeseran musim, dan perubahan pola/distribusi hujan yang memicu terjadinya banjir dan tanah longsor (Herypurba, 2015 : 1).

(3)

3

REDD+ (Reducing Emissions From Deforestation and Forest Degradation), adalah mekanisme internasional untuk memberikan intensif

yang bersifat positif bagi negara berkembang yang berhasil memerangi global warming dan menjaga iklim bumi antara lain dengan melakukan penanaman

kembali, baik di dalam kawasan hutan (reforestasi) maupun di luar kawasan hutan (afforestasi). REDD+ juga merupakan salah satu kegiatan mitigasi perubahan iklim di sektor kehutanan dengan cara melakukan konservasi untuk menjaga kelestarian hutan sebagai fungsi penyerapan karbon melalui pembangunan ekosistem hutan (Noor, 2013 : 557).

(4)

4

disepakati bersama(http://www.reddplus.go.id/tentang-redd/kemitraan. Diakses tanggal 05 November 2015).

Tujuan dan fokus kemitraan yang tertera didalam Surat Pernyataan Kehendak atau (Letter of Intent), khususnya kebijakanterkait REDD+ yakni, Berkolaborasi dan memberikan dukungan dalam pengembangan dan implementasi strategi REDD+ Indonesia. Keinginan bersama kedua belah pihak adalah untuk memulai fase ketiga pada tahun 2014, berdasarkan pengurangan emisi tahun 2013. Pada fase ini, mekanisme pengurangan emisi berdasarkan kontrubusi yang diverifikasi akan di implementasikan mencakup : a. Indonesia menerima kontribusi tahunan atas pengurangan emisi nasional yang diverifikasi secara independen menurut tingkat acuan UNFCCC atau tingkatan acuan yang ditentukan oleh Indonesia dan mitra-mitranya berdasarkan janji pengurangan emisi Indonesia dan panduan metedologi UNFCCC (4/CP 15), sesuai dengan keputusan- keputusan terkait Konferensi para pihak, bila tingkat acuan UNFCCC untuk Indonesia belum ditetapkan.

b. Norwegia (dan kemungkinan juga mitra – mitra lain yang bergabung dalam kemitraan ini) menyalurkan kontribusi finansil ke instrument finansial sebagaimana diuraikan dalam fase ke I (Letter of Intent Kerjasama Pengurangan Gas Rumah Kaca, 2010 :1-6).

(5)

5

Norwegia yang terbiasa hidup modern serta aktifitas pola komsumsinya yang tinggi, terutama karena tingkat penggunaan energi fossil fuel (bahan bakar, minyak dan gas), industrialisasi, dan transportasi. Selain itu, Norwegia juga merupakan negara yang cukup besar, namun tidak memiliki cukup hutan yang dapat digunakan sebagai penyerap karbon. Maka dari itu, Norwegia memerlukan kerjasama dengan negara – negara pemiliki hutan tropis untuk membayar hutang karbon. Dengan menggandeng Indonesia, Norwegia menjadikan Indonesia sebagai salah satu supplier kebutuhan udara bersih dunia termasuk Norwegia didalamnya agar penggunaan energi terbarukan Norwegia dapat terus berjalan tanpa perlu merusak iklim dunia (Novrialdi, 2014 : 2).

(6)

6

dari luas daratan Indonesia, tentunya kerjasama Indonesia – Norwegia melaluimekanisme REDD+mengacu pada program – program jangka panjang

yang menghasilkan keuntungan finansial, ekologi dan sosial yang optimal bagi kedua negara. (Daryanto dan Suprihatin, 2013 : 23-33).

Mekanisme pelaksanaan REDD+ di Indonesia melibatkan sejumlah pelaku internasional, nasional dan subnasional. Termasuk kementrian, lembaga dan beberapa badan pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat pembangunan dan lingkungan hidup, organisasi penelitian dan kelompok pemikir, dan berbagai ajang partisipasif seperti forum meja bundar. Hubungan bilateral Indonesia – Norwegia juga tercermin ketika Presiden Indonesia, Joko

Widodo bertemu Perdana Menteri Norwegia, Erna Solberg untuk membahas kelanjutan REDD+ pada bulan September 2015 lalu. Dimana, pada pertemuan tersebut telah dicapai sejumlah kesepakatan kerjasama di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Kedua negara sepakat untuk melanjutkan kerjasama REED+ yang pelaksanaannya telah dimulai sejak tahun 2010 (Kompas.com, 2015. Diakses tanggal 16 Desember 2016).

(7)

7

Pelaksanaan program REDD+ tentunya mendapatkan sejumlah faktor penghambat yang terkait erat dengan pasar dan investasi global yang menyebabkan banyaknya pengrusakan lahan termasuk lahanhutan tropis. Berbagai pemicunya disebabkan karena meningkatnya integrasi lahan untuk pangan, serat, energi dan keuangan. Ha – hal ini menyebabkan usaha untuk mengurangi emisi karbon melalui REDD+ menjadi lebih menantang, karena secara tidak langsung maupun tidak langsung, berbagai pemicu ini mendorong konversi lahan hutan menjadi penggunaan untuk pertanian dan meningkatnya kegiatan pembalakan yang sering menyebabkan degradasi hutan. Sedangkan fakor pendukung berjalannya program REDD+ sejauh ini adalah kepercayaan kedua Negara untuk tetap melanjutkan kerjasama tersebut. Hal tersebut dilihat dengan pemberian bantuan dana sebesar 1 miliar Dolar Amerika untuk mendukung pelaksanaan pengurangan emisi (Angelsen, Brockhaus, Dkk. 2012 : 18 – 20).

(8)

8

lingkungan jika tidak ditangani secara serius maka kerusakan iklim global pun tidak dapat dihindari dan akan berdampak buruk bagi kelangsungan dunia. 1.2Batasan dan Rumusan Masalah

1.2.1Batasan Masalah

Pada penelitian ini, peneliti akan membahas kerjasama Indonesia – Norwegia terhadap perubahan iklim dunia, dimana kerjasama kedua

negara dilakukan sebagai upaya menyiasati permasalahan “global warming”, melalui program REDD+ (Reducing Greenhouse Gas

Emissions From Deforestation and Forest Degradation) tahun 2015

2015.

1.2.2Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, peneliti dapat merumuskan masalah sebagai berikut : bagaimana kerjasama Indonesia – Norwegia terkait isu pemanasan global melalui program REDD+ tahun 2014 – 2015. Dimana rumusan tersebut dapat diturunkan menjadi :

a. Bentuk – bentuk kegiatan program REDD+

(9)

9 1.3Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1Tujuan Penelitian

Peneliti membagi tujuan penelitian kedalam kedua bagian, yakni : a. Tujuan Umum

Untuk mengetahuilatar belakang munculnya pemanasan globaltahun 2014 – 2015.

b. Tujuan Khusus

Untuk mengetahui kerjasama Indonesia – Norwegia terkait isu pemanasan global melalui program REDD+ tahun 2014 – 2015. 1.3.2Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

Manfaat teoritis digunakan sebagai referensi untuk mengetahui sampai dimana kerjasama Indonesia – Norwegia terkait isu pemansan global melalui program REDD+ tahun 2014 – 2015.

b. Manfaat Praktis

(10)

10 1.4Kerangka Pemikiran

Indonesia - Norwegia

Konsep Environmentali

sme

Konsep Pemanasan

Global Konsep

Kerjasama Bilateral

Program REDD+

(11)

11 1.5Definisi Konseptual

Untuk membahas permasalahan yang diteliti, peneliti mencoba menggunakan :

1.5.1Konsep Environmentalisme

Konsep environmentalisme berkaitan erat dengan proses pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dilakukan demi tujuan bersama dalam rangka modernitas dan gloalisasi kemudian memberikan pengaruh pada perluasan ekonomi dimana teknologi juga berperan secara langsung. Sehingga melalui industrialisasi yang berkembang semakin mendekati dampak secara langsung pada permasalahan lingkungan (Patterson, 2011 : 277 – 307).

1.5.2Konsep Kerjasama Bilateral

Kerjasama secara garis besar dapat dikatakan sebagai konsep dimana kerjasama yang dilakukan antara negara dengan negara manapun organisasi dengan organisasi dapat berlangsung secara berkesinambungan guna untuk mencapainya tujuan – tujuan yang dapat menguntungkan negara manapun organisasi yang melakukan kerjasama (Rudi, 2009 : 3).

1.5.3Konsep Pemanasan Global

(12)

12

(CH4), Dinitrooksida (N²O) dan CFC sehingga energi matahari terperangkap dalam atmosfer bumi (Muhi, 2011 : 1).

1.5.4Teori Politik Hijau

Teori Politik Hijau menurut Eckersley menyatakan karakteristik tersebut adalah Ekosentrisme sebuah penolakan terhadap pandangan dunia Antroposentris yang hanya menempatkan nilai moral atas manusia menuju sebuah pandangan nilai independen atas ekosistem dan semua makhluk hidup.

Goodin juga menempatkan etika pada pusat pemikiran Politik Hijau yang menyatakan bahwa nilai Teori Politik Hijau berada pada inti Teori Politik Hijau. Perumusannya mengenai nilai – nilai Teori Hijau, bahwa sumber nilai segala sesuatu adalah fakta bahwa segala sesuatu itu mempunyai sejarah yang tercipta oleh proses alami, bukan oleh rekayasa manusia (Burchill dan Linklater 2012 : 337 – 338).

1.5.5Program REDD+

REDD+ adalah berbagai tindakan yang mencakup tindakan lokal, nasional dan global yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan. Tanda (+) memiliki arti meningkatkan cadangan karbon hutan atau regenarasi hutan, serta

penyerapan karbon–yaitu karbon dari atmosfer untuk disimpan dalam

(13)

13 1.6Definisi Operasional

Definisi operasional ialah konsep yang mempunyai variasi nilai. Sehingga, penjabaran dari definisi konseptual yang digunakan dapat menjelaskan penelitian.

1.6.1Konsep Environmentalisme

a. Memastikan keterlanjutan ekonomi, sosial dan lingkunganIndonesia – Norwegia berbasis environment.

b. Memerangi pemanasan global dan menjaga iklim bumi dengan melakukan konservasi dan restorasi.

1.6.2Konsep Kerjasama Bilateral

a. Kerjasama dibidang lingkungan hidup dan kehutanan 1.6.3Konsep Pemanasan global

a. Meningkatnya jenis dan kualitas penyakit akibat berlubangnya lapisan ozon.

b. Peningkatan suhu udara secara global. c. Naiknya permukaan air laut.

d. Terjadinya pergeseran musim dan distribusi hujan. 1.6.4Konsep Politik Hijau

a. Mengatur negara – negara industri untuk melaksanakan upaya penurunan emisi gas rumah kaca.

b. Komitmen Indonesia untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sebesar 26% hingga tahun 2020.

(14)

14 1.6.5Program REDD+

a. Bentuk – bentuk Program dan kegiatan REDD+.

b. Faktor – faktor penghambat dan pendukung pelaksanaan REDD+.

1.7Metode Penelitian

Metode penelitian adalah suatu usaha sadar untuk mengumpulkan data yang dilakukan secara sistematis dengan prosedur yang standar (Nazir, 2014 : 34).

1.7.1Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan tipe penelitian deskriptis, yaitu penelitian yang hanya mengambarkan berbagai kondisi yang konkrit dari objek penelitian dan akan dihasilkan deskriptif tentang objek penelitian. Penelitian deskriptis adalah penelitian tentang fenomena yang terjadi pada masa sekarang. Prosesnya berupa pengumpulan dan penyusunan data, serta analisis dan penafsiran data tersebut (Silalahi dan Budyana, 2012 : 52).

1.7.2Jenis Data

(15)

15 1.7.3Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data, peneliti menggunakan Metode Studi Pustaka (Library Research), yaitu buku, kitab, majalah, artikel pada jurnal, koran dan bahan bacaan tertulis lainnya (Nazir, 2014 : 154). 1.7.4Teknik Analisa Data

Bagian dari penelitian ini dimaksudkan untuk melihat kerjasama Indonesia - Norwegia terhadap perubahan iklim dunia. Kerjasama yang dilakukan kedua negara bertujuan untuk dapat mengurangi dampak buruk dari pada global warming melalui Letter of Intentyang disepakati. 1.7.5Metode Penulisan

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan metode penulisan deduktif, yaitu menggambarkan masalah dari hal umum kepada hal khusus yaitu kerjasama Indonesia – Norwegia terkait isu pemanasan global melalui program REDD+ tahun 2014 – 2015. Data yang terkumpul kemudian diolah dan dianalisa dengan pemeriksaan data secara akurat sehingga dalam penelitian, keraguan dan kesalahan akan terminimalisasi.

1.8Sistematika Pembahasan

(16)

16

terkait. Adapun sistematika pembahasan yang peneliti sajikan adalah sebagai berikut :

BAB I Pendahuluan

Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar, didalamnya menjelaskan tentang latar belakang masalah, batasan dan rumusan masalah dari penelitian ini, kemudian dilanjutkan dengan tujuan dan manfaat penelitian, kerangka pemikiran, defisini konseptual, definisi operasional, metode peneltian dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.

BAB II Telaah Pustaka

Berisikan gambaran mengenai teori-teori atau konsep-konsep yang berkaitan dengan kerjasama Indonesia – Norwegia

terkait isu pemanasan global melalui program REDD+ tahun 2014 – 2015.

BAB III Gambaran Umum

Berisi pembahasan mengenai profil negara Indonesia dan Norwegia, gambaran umum tentangpemanasan global, gambaran umum mengenai REDD+, kebijakan iklim global seperti Protokol Kyoto, UNFCCC (United Nation Framework Convention on Clim33ate Change), menuju perbaikan

(17)

17 BAB IV Pembahasan

Berisikan pembahasan mengenai kerjasama Indonesia –

Norwegia terkait isu pemanasan global melalui program REDD+ tahun 2014 – 2015.

BAB V Penutup

(18)

18 BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1Konsep Environmentalisme

Environmentalism merupakan sebuah gerakan advokasi untuk

menuntut perubahan lingkungan seperti pengurangan dampak kerusakan lingkungan akibat ulah manusia. Pemahaman tersebut lahir sebagai gerakan sosial yang muncul atas semakin terdegradasinya lingkungan hidup. Dalam perjalanannya, gerakan ini berperan untuk mengendalikan pelestarian dan perlindungan lingkungan. Gerakan ini biasa dijumpai dalam bentuk kegiatan restorasi atau perbaikan lingkungan. Selain itu, Environmentalism juga sebagai upaya untuk mengendalikan atau menyeimbangkan kehidupan, hal ini dikarenakan kehidupan manusia sangat tergantung dari alam (Munggoro, Dany, dkk. 2008 : 80 - 82).

Kaum environmentalism sendiri menolak adanya pemahaman ant

hropocentrism. Antrhropocentrism merupakan pemikiran manusia

yang berpusat pada manusia tanpa memperhatikan unsure lain. Pemahaman tersebut telah mengakar dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, kaum

environmentalismingin merubah sistem anthropocentrism ke sistem

ecocentrismme lihat dari semakin acuhnya individu terhadap keberlangsungan

(19)

19

dengan melakukan aksi protes demi keberlangsungan kehidupan di masa depan (www.britannica.com/EBchecked/topic/27493/anthropocentrism. Diakses tanggal 26 Januari).

Paham kesadaran lingkungan (Environmentalism) menempatkan kesehatan, harmoni dan integritas dari lingkungan alamiah sebagai pusat perhatian dan kepedulian manusia. Paham ini muncul sebagai gerakan etika dan politik yang bertujuan mencegah lingkungan dari degradasi (kemerosotan) akibat ulah manusia. Di samping itu, paham ini bertujuan memperbaiki kualitas lingkungan melalui preservasi, restorasi atas perbaikan sumber daya alam. Paham ini berdiri membela manajemen sumber daya alam yang berkelanjutan, dan melindungi sumber daya alam dengan jalan kebijakan publik dan melalui perubahan dalam perilaku manusia (Situmeang, 2010 : 3).

Patterson (2011, 277 – 307) berpendapat, Environmentalisme berkaitan erat dengan proses pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan dilakukan demi tujuan bersama dalam rangka modernitas dan globalisasi kemudian memberikan pengaruh pada perluasan ekonomi dimana teknologi juga berperan secara langsung. Sehingga melalui industrialisasi yang berkembang semakin mendekati dampak secara langsung pada permasalahan lingkungan.

Environmentalism mempercayai kesinambungan antara lingkungan

(20)

20

pelaksanaannya :sustainability dan accountability of resources; berkelanjutan dan pertanggungjawaban akuntabilitas.

a. Berkelanjutan memberi konsekuensi bahwa manusia menggunakan sumber daya itu tidak boleh lebih dari jumlah yang dapat diregenerasikan (tumbuh – lanjut).

b. Bertanggung jawab akuntabilitas artinya tiap perorangan dan organisasi harus mengakui diri sebagai bagian dari jaringan sosial yang lebih luas dan mempunyai tanggung jawab kepada seluruh jaringan (Situmeang, 2010 : 5).

Burchill dan Linklater (1996 : 337) berpendapat, kaum environmentalis menerima suatu kerangka atas struktur politik, sosial, ekonomi dan normatif dari politik internasional yang ada, dan berusaha untuk memperbaiki permasalahan lingkungan dalam struktu tersebut.

2.2Konsep Kerjasama Bilateral

Kerjasama secara garis besar dapat dikatakan sebagai konsep dimana kerjasama yang dilakukan antara negara dengan negara manapun organisasi dengan organisasi dapat berlangsung secara berkesinambungan guna untuk mencapainya tujuan – tujuan yang dapat menguntungkan negara manapun organisasi yang melakukan kerjasama (Rudy, 2009 : 3).

(21)

21

Perserikatan Bangsa-Bangsa atau Uni Eropa. Aktor-aktor negara membangun hubungan kerjasama melalui suatu organisasi internasional dan rezim internasional, yang didefinisikan sebagai seperangkat aturan – aturan yang disetujui regulasi – regulasi, norma – norma dan prosedur – prosedur pengambilan keputusan dimana harapan – harapan para aktor, dan kepentingan - kepentingan negara bertemu dalam suatu lingkup hubungan internasional itu sendiri. Konteks kerjasama juga dapat dilakukan tidak hanya sebatas negara dan negara saja, melainkan negara dengan organisasi – organisasi internasional juga dapat melakukan hubungan kerjasama maupun organisasi internasional dengan sesama organisasi internasional, hal ini dilakukan demi mencapai tujuan bersama dalam kepentingannya masing-masing

(http://www.unicom.ac.id/download.php?id=26193. Diakses tanggal 25 Mei 2016).

(22)

22

kepentingan negara masing-masing (Von Clausewitz dikutip dari Rais, 1998 : 11 ).

Hubungan kerjasama juga dapat dikaitkan dengan kerjasama internasional. Kerjasama internasional memiliki pandangan yang sangat luas dalam mengkaji mengenai kerjasama, tergantung konteks atau masalah yang sedang di teliti, karna konsep ini juga memiliki tujuan yang sama yaitu kerjasama dilakukan untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu (Widiastuti, 2008 : 4-5).

Adapun tujuan kerjasama internasional yaitu :

a. Mencukupi kebutuhan masyarakat masing-masing negara. b. Mencegah atau menghindari konflik yang mungkin terjadi.

c. Negara yang melakukan kerjasama telah diakui sebagai negara yang merdeka dan mendapat pengakuan.

2.3Konsep Pemanasan Global

Pemanasan global (Global Warming) pada dasarnya merupakan fenomena peningkatan temperatur global dari tahun ke tahun karena terjadinya efek rumah kaca (Greenhouse Effect) yang disebabkan oleh meningkatnya emisi gas – gas seperti Karbondioksida (CO²), Metana (CH4), Dinitrooksida (N²O) dan CFC sehingga menyebabkan energi matahari terperangkap di dalam atmosfer bumi (Muhi, 2011 : 1).

(23)

23

peningkatan suhu rata – rata atmosfer, laut dan daratan di bumi. Selama kurang lebih seratus tahun terakhir, suhu rata – rata permukaan bumi telah meningkat 0.74 ± 0.18 ºC. Meningkatnya suhu rata – rata permukaan bumi yang terjadi adalah akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca, seperti; karbondioksida, metanam dinitrooksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, dan sulfur heksafluorida di atmosfer. Emisi ini terutama dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) serta akibat penggundulan dan pembakaran hutan.

2.3.1Penyebab Pemanasan Global 2.3.1.1 Efek Rumah Kaca

(24)

24 2.3.1.2 Efek Balik

Penyebab pemanasan global juga dipengaruhi oleh berbagai proses efek balik yang dihasilkan, seperti pada penguapan air. Pada awalnya pemanasan akan lebih meningkatkan banyaknya uap air di atmosfer. Karena uap air sendiri merupakan gas rumah kaca, maka pemanasan akan terus berlanjut dan menambah jumlah uap air di udara hingga tercapainya suatu keseimbangan kosentrasi uap air. Keadaan ini menyebabkan efek rumah kaca yang dihasikannya lebih besar bila dibandingkan oleh akibat gas CO² itu sendiri (Utina, 2008 : 4 – 5).

Efek balik penting lainnya adalah hilangnya kemampuan memantulkan cahaya oleh es. Lapisan es yang berada di dekat kutub mencair dengan kecepatan yang terus meningkat ketika temperatur global meningkat. Bersamaan dengan mencairnya es tersebut, daratan atau air dibawahnya akan terbuka, dan akibatnya akan menyerap lebih banyak radiasi matahari. Kejadian ini akan menambah faktor penyebab pemanasan dan menimbulkan lebih banyak lagi es yang mencair.

2.3.1.3 Variasi Matahari

(25)

25

ini dengan pemanasan akibat efek rumah kaca adalah meningkatnya aktivitas matahari akan memanaskan atmosfer, sebaliknya efek rumah kaca akan mendinginkan statosfer.

(Scafetta dan West, 2006) mengatakan, Hasil penelitian menunjukan bahwa konribusi matahari mungkin telah diabaikan dalam pemanasan global. Dua ilmuan dari Duke University mengestimasikan bahwa matahari mungkin telah berkontribusi terhadap 45-50% peningkatan temperatur rata – rata global selama

periode 1900 – 2000 dan sekitar 25 – 35 antara tahun 1980 dan 2000.

2.3.2Dampak Pemanasan Global

Pemanasan global telah memicu terjadinya sejumlah konsekuensi yang merugikan baik terhadap lingkungan maupun setiap aspek kehidupan manusia. Beberapa di antarannya adalah sebagai berikut :

(26)

26

maka akibatnya dapat mengancam sendi kehidupan masyarakat.

b. Meningkatnya intensitas fenomena cuaca yang ekstrim. Perubahan iklim menyebabkan musim sulit diprediksi. Hal ini berdampak pada masalah penyediaan pangan, prasarana dan sarana seperti jaringan jalan, pelabuhan dan bandara c. Punahnya berbagai jenis fauna. Flora dan fauna memiliki

batas toleransi terhadap suhu, kelembapan, kadar air dan sumber makanan.

d. Habitat hewan berubah akibat perubahan faktor-faktor suhu, kelembapan dan produktivitas primer sehingga sejumlah hewan melakukan migrasi untuk menemukan habitat baru yang sesuai.

e. Peningkatan muka air laut, air pasang dan musim hujan yang tidak menentu menyebabkan meningkatnya frekuaensi dan intensitas banjir.

(27)

27 2.4Teori Politik Hijau

Terdapat tiga literatur utama mengajukan gagasan politik hijau mengenai hubungan internasional. Tiga literatur utama mengajukan gagasan yang sedikit berbeda tentang penjelasan karakteristik politik hijau. Eckersley menyatakan, karakteristik tersebut adalah ekosentrisme ;

sebuah penolakan terhadap pandangan dunia

antropologisentris yang hanya menempatkan nilai moral atas manusia menuju sebuah pandangan yang juga menempatkan nilai independen atas ekosistem dan semua makhluk hidup”.

Godin juga menempatkan etika pada pusat pemikiran politik hijau, yang menyatakan bahwa ‘nilai teori hijau’ berada pada inti teori hijau.

Perumusannya mengenai nilai – nilai teori hijau, bahwa sumber nilai segala sesuatu adalah fakta bahwa segala sesuatu itu mempunyai sejarah yang tercipta oleh prosesalami, bukan oleh rekayasa manusia. (Burchill dan Linklater, 1996 : 337 – 338).

Dobson, mempunyai dua penjelasan mengenai karakteristik politik hijau. Pertama penolakan atas antroposentrisme, seperti yang diuraikan Eckersley. Selanjutnya, argumentasi ‘pembatasan pertumbuhan’ terhadap

(28)

28

Pemikiran Dobson tidak dapat disangkal adalah yang paling menyakinkan. Reduksi pemikiran politik hijau ke suatu pendirian etis atas hakekat alam bukan manusia, tanpa sejumlah argumentasi tentang mengapa lingkungan kini sedang dihancurkan oleh umat manusia, nampak kehilangan banyak dari apa yang menjadi inti pemikiran politik hijau. Sebagai tambahan, perumusan Goodin sengat meragukan ketika ia mengajukan fakta sebuah pemisahan ragu – ragu antara segala sesuatu yang ‘alami’ dan ‘artifisial’ yang

bahkan tidak bias dengan bebas dipertahankan. 2.4.1 Ekosentrisme

Menurut Ecklersey, ekosentrisme mempunyai sejumlah warna sentral. Pertama, ekosentrisme melibatkan sejumlah klaim empiris. Klaim tersebut melibatkan suatu pandangan dunia yang secara ekologis terdiri dari interelasi bukan entitas individu. Semua makhluk hidup pada dasarnya ‘terikat hubungan dengan ekologi. Akibatnya,

tidak ada ukuran – ukuran yang meyakinkan yang dapat digunakan untuk membuat suatu pembedaan tegas antara manusia dan bukan manusia.

(29)

29

manusia dan bukan-manusia. Akhirnya ekosentrisme menerapkan suatu perspektif holistik dan bukan atomistik, yaitu dengan menilai populasi, spesies, ekosistem dan lingkungan alam secara keseluruhan seperti halnya organisme individu (Burchill dan Linklater, 1996 : 339). 2.4.2 Batas – Batas Pertumbuhan

Batasan petumbuhan memiliki argumentasi bahwa perluasan ekonomi dan pertumbuhan populasi masyarakat manusia telah menghasilkan suatu rangkaian krisis yang saling berhubungan. Peningkatan pertumbuhan tersebut menciptakan suatu situasi dimana dunia dengan cepat kehabisan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia atau untuk menyediakan bahan baku bagi pertumbuhan industri yang terus berlanjut (melampaui daya tamping dan kapasitas produksi), dan secara simultan melampaui kapasitas penyerapandari lingkungan untuk mengasimilasi sampah sisa industri

(Burchill dan Linklater, 1996 : 342).

Donella Meadows mengantakan, dengan tingkat pertumbuhan pada masa sekarang ini, banyak bahan baku yang akan menipis dengan cepat, populasi akan dengan cepat melampaui kapasitas penyerapan lingkungan, dan umat manusia akan mengalami ‘degradasi dan jatuh’

pada suatu waktu sebelum 2100 (ibid). 2.4.3 Ekologi Global

(30)

30

politic theory mengajukan dasar normatif dari sudut pandang polik hijau mengenaai polilitik global, ‘ekologi global’ membuat suatu dasar

eksplanatif (Burchill dan Linklater, 1996 : 351). 2.4.4 Melawan Pembangunan

Salah satu alasan mengapa para penulis ‘ekologi global’

menolak pembangunan adalah karena pembatasan pertumbuhan. ‘Dalam pandangan developmentalis, “pembatasan pertumbuhan” tidak

meminta mengabaikan laju pertumbuhan, tetapi mengubah teknis pelaksanaannya. Bagi praktisi pembangunan berkelanjutan, ‘pembangunn berkelanjutan’ dan ‘pembangunan berkelanjutan’ pada

umumnya telah bersama – sama tidak berhasil dan secara pasti menyatakan bahwa suatu era pertumbuan ekonomi baru penting bagi pembangunan berkelanjutan (Burchill dan Linklater, 1996 : 353).

(31)

31

2.2Program (REDD+) Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradation

REDD+ adalah berbagai tindakan yang mencakup tindakan lokal, nasional, dan global yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan. Tanda plus (+) memiliki arti meningkatkan cadangan karbon hutandan rehabilitasi hutan, serta penyerapan karbon, yaitu menyerap karbon dari atmosfer yang seterusnya disimpan kedalam bentuk biomassa karbon hutan (http://himasiltan.lk.ipb.ac.id/2013/05 /03/apa-itu-redd/. Diakses tanggal 08 November 2015).

Pemikiran utama REDD+ adalah menciptakan suatu sistem pembayaran multitingkat global, nasional dan lokal untuk jasa lingkungan yang akan mengurangi emisi dan meningkatkan cadangan karbon hutan. Masyarakat internasional mencapai kelestarian hutan dengan membayar para pemilik dan pengguna hutan melalui pemerintah nasional atau secara langsung untuk mengurangi penebangan pohon dan mengelolah hutan mereka secara lebih baik.

REDD merupakan sebuah mekanisme untuk mengurangi emisi gas rumah kaca dengan cara memberikan kompensasi kepada pihak – pihak yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Dua inisiatif global sedang dilakukan untuk membantu negara – negara berkembang mengimplementasikan mekanisme REDD+ di masa yang akan datang;

Pertama, program REDD Perserikatan Bangsa – Bangsa (UN-REDD),

(32)

32

menghadapi isu deforestasi dan degradasi hutan. Program tersebut menawarkan pembangunan kapasitas, membantu merancang strategi nasional dan menguji pendekatan nasional serta perencanaan kelembagaan untuk mengawasi dan melakukan verikasi pengurangan hilangnya hutan. UN-REDD beroperasi di Sembilan Negara, yakni : Bolivia, Repulik Demokratik Kongo, Indonesia, Panama, Papua Nugini, Paraguay, Tanzania, Vietnam, Zambia (Malik, 2015 : 608).

Kedua, Bank Dunia mengkoordinasikan inisiatif berupa Fasilitas

Kemitraan Karbon Hutan (Forest Carbon Partnership Facility). Serupa dengan UN-REDD, namun dalam skala dan partisipasi yang lebih besar. Program ini direncanakan beroperasi di 37 negara, yakni : Argentina, Bolivia, Chili, Costa Rica, Ekuatorial Guinea, El Salvador, Etiopia, Gabon, Ghana, Guatemala, Guyana, Hinduras, Indonesia, Kamboja, Kamerun, Kenya, Kolombia, Liberia, Madagaskar, Meksiko, Mozambik, Nepal, Nikaragua, Panama, Papua Nugini, Paraguay, Peru, Republic Afrika Tengah, Republik Demokratik Kongo, Republik Kongo, Republik Demokratik Laos, Suriname, Tanzania, Thailand, Uganda, Vanuatu, dan Vietnam.

(33)

33

(34)

34 BAB III

GAMBARAN UMUM

3.1Profil Negara

3.1.1Profil Negara Indonesia

Nama Negara : Republik Indonesia

Ibu Kota : Jakarta

Total Luas Wilayah : 1.904.569 Km² Bahasa Resmi : Bahasa Indonesia

Mata Uang : Rupiah

Grup Enik : Melayu, Melanesia.

Pemerintahan : Republik Presidensial

Presiden : Ir. Joko Widodo

(35)

35 3.1.2Profil Negara Norwegia

Nama Negara : Kerajaan Norwegia

Ibu Kota : Oslo

Total Luas Wilayah : 385.525 Km²

Bahasa Resmi : Norwegia (Bokmal dan Nynorsk)

Mata Uang : Krona

Grup Etnik : 76% Norwegia, 1,3% Sami, 12% NuLian

Pemerintahan : Monarki Konstitusional

Raja : Harald V

Perdana Menteri : Erna Solberg

Legislatif : Stortinget

- Majelis Tinggi : Lagting - Majelis Rendah : Odelsting

Populasi Tahun 2015 : 5.189.435 Juta Jiwa GDP (PPP) Perkiraan 2015

(Sumber : https://www.indexmundi.com/norwegia/. Diakses tanggal 26 Januari 2016)

3.2Gambaran Umum Pemanasan Global

Utina (2008) berpendapat, Pemanasan gobal adalah suatu bentuk ketidakseimbangan ekosistem di bumi akibat terjadinya proses peningkatan

suhu rata – rata atmosfer, laut dan daratan di bumi. Selama kurang lebih

(36)

36

± 0.18 ºC. Meningkatnya suhu rata – rata permukaan bumi yang terjadi adalah akibat meningkatnya emisi gas rumah kaca, seperti; karbondioksida, metana, dinitrooksida, hidrofluorokarbon, perfluorokarbon, dan sulfur heksafluorida di atmosfer. Emisi ini terutama dihasilkan dari proses pembakaran bahan bakar fosil (minyak bumi dan batu bara) serta akibat penggundulan dan pembakaran hutan. Seperti gambar berikut :

Gambar 3.1 Jenis Gas Rumah Kaca Global

Pemanasan global (global warming) menjadi salah satu isu lingkungan utama saat ini. Pemanasan global sendiri berhubungan dengan proses meningkatnya suhu di pemukaan bumi, dimana peningkatan suhu permukaan buni ini dihasilkan oleh adanya radiasi sinar matahari menuju ke atmosfer bumi, kemudian sebagian sinar ini berubah menjadi energi panas dalam bentuk sinar infra merah yang diserap oleh udara dan permukaan bumi.

(37)

37

a. Kebakaran hutan besar – besaran, bukan hanya di Indonesia, sejumlah hutan di Amerika Serikat, Rusia, Australia, dan sebagainya juga mengalami kebakaran hebat. Ilmuwan mengaitkan kebakaran yang merajaela ini dengan temperatur yang kian panas. Area hutan lebih kering dari biasanya dan lebih mudah terbakar. b. Situs purbakala cepat rusak. Akibat alam yang tak bersahabat,

sejumlah kuil, situs bersejarah, candi dan artefak lain lebih cepat rusak dibandingkan beberapa waktu silam. Hal ini disebabkan karena banjir, suhu yang ekstrim dan pasang laut.

c. Setelit bergerak lebih cepat. Emisi karbon dioksida membuat planet lebih cepat panas, bahkan berimbas ke ruang angkasa. Udara di bagian terluar atmosfer sangat tipis, tetapi dengan sejumlah karbondioksida yang bertambah, maka molekul di atmosfer bagian atas menyatu lebih lambat dan cenderung memancarkan energi dan mendinginkan udara sekitarnya. Makin banyak karbondioksida di atas sana, maka atmosfer menciptakan lebih banyak dorongan dan satelit bergerak lebih cepat.

(38)

38

e. Pelelehan besar – besaran. Temperatur planet yang memicu pelelehan gunung es dan semua lapisan tanah yang selama ini membeku. Imbas dari ketidakstabilan ini akan dirasakan pada daratan tinggi seperti pegunungan bahkan menyebabkan keruntuhan batuan.

f. Mekarnya tumbuhan di Kutub Utara. Saat pelelehan Kutub Utara memicu masalah pada tanaman dan hewan di daratan yang lebih rendah, tercipta pula situasi yang sama dengan saat matahari terbenam pada biota Kutub Utara. Tanaman kutub yang dulu terperangkap es kini tidak lagi dan mulai tumbuh. Ilmuwan menemukan terjadinya peningkatan pembentukan fotosintesis di sejumlah tanah sekitar dibandingkan dengan tanah di era purba. g. Habitat makhluk hidup pindah ke daratan lebih tinggi. Ilmuwan

menemukan bahwa pemanasan global menyebabkan hewan – hewan kutub pindah ke daratan yang lebih tinggi. Hal ini mengancam habitat beruang kutub, karena es tempat dimana mereka tinggal juga mencair, tentu akan melakukan perpindahan habitat.

Lebih lanjut lagi, Muhi (2011), mengemukakan bahwa efek buruk dari perubahan iklim dapat berakibat pada naiknya permukaan air laut yang secara umum akan berdampak pada manusia, diantaranya :

(39)

39

pendek sementara curah hujan yang sangat tinggi (kejadian ekstrim). Kemungkinan lainnya adalah akibat efek backwaterdari wilayah pesisir ke darat.

b. Kenaikan muka air laut selain mengakibatkan perubahan arus laut pada wilayah pesisir juga mengakibatkan rusaknya ekosistem mangrove. Berdasarkan data tahun 1997, luas wilayah mangrove yang terdapat di Indonesia yakni total 8,6 juta Ha. Namun sejak rentan 1999 hingga 2005, hutan bakau Indonesia berkurang sebanyak 5,58 juta Ha atau 64 persen. Saat ini hutan mangrove Indonesia yang dalam keadaan baik tinggal 3,6 juta Ha, sisanya dalam keadaan rusak dan sedang. Jika keberadaan mangrove tidak dapat dipertahankan, maka abrasi pantai akan tetap terjadi karena tidak adanya penahan gelombang, pecemaran dari sungai ke laut akan meningkat karena tidak adanya filter polutan, dan zona budidaya aquaculturepun akan terancam dengan sendirinya.

(40)

40

3.2.1 Dampak Perubahan Iklim Bagi Indonesia.

Indonesia, sebagai negara kepulauan yang terdiri dari pulau – pulau besar dan kecil ketika menghadapi perubahan iklim akan berdampak terhadap banyak pulau – pulau kecil yang sangat mungkin akan hilang dan tenggelam. Indonesia juga akan kehilangan wilayah –

wilayah pesisir dan kota – kota yang berada di wilayah pesisir pada pulau – pulau besar. Secara logis kondisi tersebut akan berdampak terhadap semakin mengecilnya luas wilayah. Jika wilayah pesisir dan pulau – pulau kecil berpenghuni menghilang, maka mau tidak mau penduduknya harus berpindah ke lokasi yang lebih tinggi.

Disinyalir juga akan semakin sering terjadinya kekeringan yang dapat mengakibatkan musibah gagal panen dan kebakaran, curah hujan yang semakin ekstrim menyebabkan musibah banjir dan longsor, petani/nelayan akan kehilangan mata pencaharian karena perubahan iklim yang semakin sulit diprediksi. Perubahan iklim semakin kacau, hujan badai/topan, kekeringan akan semakin sering terjadi, banyak spesies flora dan fauna yang akan musnah, terutama akibat gagal beradaptasi terhadap perubahan iklim yang terjadi (Muhi, 2011 : 6). 3.2.2 Dampak Perubahan Iklim Bagi Norwegia

(41)

41

diakibatkan karena peningkatan suhu di darat, di air tawar dan di laut. Perubahan iklim diperkirakan akan mengakibatkan perubahan komposisi spesies dalam ekosistem Norwegia. Meningkatnya suhu akan memungkinkan spesies berpindah lebih jauh ke selatan untuk memperluas ke daerah – daerah dimana iklim dingin yang cocok bagi

mereka. Untuk kondisi hutan, dengan iklim ringan dan saat musim tanaman, pertumbuhan pohon di hutan Norwegia diperkirakan akan meningkat lebih cepat (Malik, 2015 : 609).

(42)

42 3.3Kebijakan Iklim Global

3.3.1(UNFCCC) United Nation Framework Convention on Climate Change

Perserikatan Baangsa – Bangsa, melalui program lingkungan (United Nations Environment Programme) dan Organisasi Meteorologi Dunia WMO (World Meteorological Organization) membentuk IPCC (The Intergovernmental Panel on Climate Change) pada 1988 untuk meneliti dan menganalisa isu – isu ilmu pengetahuan yang mucul. Pada

tahun 2007 ketika IPPC memaparkan temuan – temuannya, peringatan tersebut mendapat perhatian khusus hingga menghasilkan sebuah perjanjian yang dikenal dengan sebutan ‘The Convention’ pada bulan

Juni 1992 dalam UNFCCC (United Nations Framework Convention on Climate Change) di Rio De Janeiro, Brazil untuk memfasilitasi negara

negara anggotanya dalam merancang kebijakan tentang perubahan iklim (Malik, 2015: 605 - 606).

Negara – negara peserta UNFCCC (United Nations Framework Convention on Cimate Change) telah berjanji atau membuat komitmen

untuk melakukan tindakan dalam periode waktu tertentu, yang disebut ‘Periode Komitmen’. Periode komitmen pertama Protokol Kyoto pada

(43)

43

lainnya yang dilepaskan ke atmosfer, penghentian deforestasi, meningkatkan pengelolaan hutan dan konservasi hutan, melindungi masyarakat dari meningkatnya permukaan air laut, membuat recana adaptasi nasional, dan menemukan cara untuk menyediakan keahlian, teknologi dan dana dalam membayar tindakan – tindakan demikian.

Tindakan penting lainnya mengenai kebijakan perubahan iklim yang telah diambil pada pertemuan tahunan United Nations Framework Convention on Climate Change, meliputi :

a. Tahun 2007 : Bali Action Plan atau Rencana Aksi Bali, pada pertemuan UNFCCC di Bali, negara – negara membahas tentang upaya penanggulangan pemanasan global.

b. Tahun 2009 : Copenhagen Accord atau Kesepakatan Copenhagen yang membahas beberapa poin penting kesepakatan masa depan, termasuk komitmen untuk mengurangi emisi dan rencana pendanaan jangka panjang dalam mendukung tindakan penghentian perubahan iklim. c. Tahun 2011 : kesepakatan COP 17 (Conference of The

Parties) di Durban mencakup antara lain : Uni Eropa

memperpanjang komitmennya terhadap Protokol Kyoto sampai 2017 (tetapi Jepang dan Canada menarik diri).

(44)

44

masalah komitmen kedua Protokol Kyoto (Malik, 2015 : 606).

3.3.2Kyoto Protocol

(COP) Conference of The Parties dari badan UNFCCC pada tahun 1997 telah menghasilkan kesepakatan internasional untuk memanajemen perubahan iklim global, dengan dokumen yang dikenal sebagai Protokol Kyoto. Tujuan utama dari Konvensi Protokol Kyoto adalah untuk mencapai stabilisasi dan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer agar tidak sampai pada tingkat yang berbahaya anthropogenic, untuk mencegah gangguan pada sistem iklim. Tingkat tersebut harus dicapai dalam waktu yang cukup untuk memperoleh ekosistem alami untuk menyesuaikan diri terhadap perubahan iklim (Malik, 2015 : 607).

Protokol Kyoto berisikan kesepakatan legal pemerintah negara – negara Annex I(pada umumnya negara industri) mengenai target kuantitatif pengurangan emisi gas rumah kaca untuk diterapkan pada periode 2008 – 2012. Untuk mencapai target yang diterapkan, Protokol Kyoto dilengkapi dengan mekanisme perdagangan emisi (emission trading), mekanisme implementasi bersama (joint implementation),

pemanfaatan “rosot” (sinks), dan “mekanisme pembagunan bersih” (clean development mechanism) (Saufa, 2015 : 15 – 16).

Protokol Kyoto sendiri adalah sebuah instrument hukum (legal instrument) yang dirancang untuk mengimplementasikan konvensi

(45)

45

rumah kaca agar tidak mengganggu sistem iklim bumi dan merupakan dasar bagi negara – negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah

kaca. Kebijakan ini merupakan hasil dari Conference of Parties ke-3 yang diadakan di Kyoto, Jepang pada bulan Desember 1997. Dimana Protokol Kyoto menghasilkan keputusan utama berupa komitmen dari negara – negara untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka setidaknya sebesar rata – rata 5% di bawah level emisi tahun 1990 pada

periode 2008 – 2012. Protokol ini juga mencakup instrumen atau mekanisme fleksibel yang berbasis pasar yang dikenal sebagai mekanisme Kyoto, yang memberi kesempatan kepada negara – negara untuk dapat membeli atau mendapat kredit pengurangan imisi melalui investasi dalam proyek – proyek pengurangan efek negatif perubahan iklim (Saufa, 2015 : 14 – 16).

Seiring perkembangannya, adanya Protokol Kyoto sebagai suatu kebijakan penanggulangan perubahan iklim global tidak berpengaruh besar terhadap perubahan iklim tersebut. Ada empat penyebab utama mengapa emisi karbon global tetap tinggi sekalipun telah ada perjanjian internasional.

Pertama, karena negara penghasil/pelepas emisi karbon terbesar

(46)

46

kacanya sesuai target yang telah ditentukan. Emisi karbon di Canada misalnya, hingga tahun 2007 terhitung masih 29% diatas level emisi tahun 1990. Begitu juga dengan Spayol yang masih 57% di atas level emisi tahun 1990. Ketiga, negara – negara kaya di Eropa dan Amerika banyak yang memindahkan lokasi atau mengekspor sebagian pabrik dan industrinya ke negara – negara sedang berkembang. Keempat, negara – negara sedang berkembang yang lebih maju seperti China Brazil, Korea Selatan, Meksiko, Afrika Selatan, bahkan Indonesia, dalam tempo lima sampai sepulu tahun setelah berlakunya Protokol Kyoto (1998) ternyata mengalami pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat (Malik, 2015 : 608).

3.4Gambaran Umum United Nation – REDD+ Programme di Indonesia Pada konvensi perubahan iklim di Nusa Dua Bali pada tahun 2007, delegasi Indonesia meluncurkan program Reducing Emissions From Deforestation in Developing Countries, sebagai salah satu upaya menanggulangi pemanasan global. Indonesia melalui Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup meluncurkan program REDD+ dan usulan REDD+ ini akan dibawa dalam perundingan tingkat tinggi konferensi perubahan iklim yang dihadiri sejumlah kepala negara pada 12 – 14 Desember 2007 (Muhi, 2011 : 10).

(47)

47

tetapi, berdasarkan citra satelit yang dikeluarkan oleh pemerintah, diperkirakan bahwa antara tahun 2003 sampai 2006, luas hutan Indonesia mengalami deforestasi dan degradasi rata – rata sebesar 1,17 juta Ha per tahun. Deforestasi dan degradasi hutan yang terjadi telah menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati yang ada di Indonesia dan juga kontribusi secara nyata terhadap perubahan iklim. Di level global, sekitar 17% emisi gas rumah kaca berasal dari kegiatan degradasi hutan dan deforestasi, sedangkan di Indonesia, sebagian besar emisi gas rumah kaca berhubungan dengan degradasi lahan, penggunaan lahan yang tidak tepat dan konversi lahan (http://www.dephut.go.id/uploads/files/6.UN-REDD_Factsheet_0.pdf.

Diakses tanggal 4 Desember 2015).

Sebagai salah satu negara yang ikut meratifikasi UNFCCC (United Nation Framework Convention on Climate Change) dan telah mengesahkan konvensi tersebut dengan Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1994, Indonesia

(48)

48

karbon yang tersimpan di pepohonan, yang mana karbon tersebut dapat dihitung dan negara – negara maju diwajibkan membayar carbon offset kepada negara berkembang yang berhasil mempertahankan tegakan hutan di wilayahnya (Wicaksono dan Yurista, 2013 : 3).

Kedepannya, Skema ini akan membantu menurunkan tingkat kemiskinan dan mencapai pertumbuhan ekonomi berkelanjutan khususnya bagi Indonesia. Penerapan program REDD+ mengutamakan keterlibatan para pemangku kepentingan serta mempertimbangkan suara dari masyarakat, penduduk asli dan komunitas tradisional untuk memastikan hak mereka yang tinggal di dalam dan sekitar hutan akan terjamin. Selain itu, strategi REDD+ di Indonesia bertujuan untuk mengatur sumber daya alam secara berkelanjutan sebagai aset nasional demi kesejahteraan bangsa, yang mana tujuan tersebut dapat dicapai dengan mengembangkan lima area fungsional, yakni: pembangunan institusi dan proses yang menjamin peningkatan tata kelola hutan dan lahan gambut, pengkajian ulang dan peningkatan kerangka peraturan, meluncurkan program strategis untuk manajemen lanskap, mengubah paradigma lama dan melibatkan pemangku kepentingan utama secara bersamaan (Wicaksono dan Yurista, 2013 : 3 – 4).

Tujuan dari program United Nations – REDD di Indonesia adalah untuk membantu pemerintah Indonesia dalam mengembangkan dan mengorganisir suatu arsitektur REDD+ yang adil, setara, dan transparan, termasuk di dalamnya untuk mencapai kesiapan menyambut REDD (REDD –

(49)

49

erat antara pemerintah Indonesia, lembaga donor dan mitra pembangunan maupun masyarakat luas, lembaga swadaya masyarakat dan pihak swasta. Pemfasilitasian dan penguatan multipihak dalam diskusi – diskusi, partisipasi dan komuniksi menjadi hal yang krusial bagi pencapaian tujuan program ini (http://www.dephut.go.id/uploads/files/6.UN-REDD_Factsheet_0.pdf.

Diakses tanggal 4 Desember 2015).

Program ini juga ditentukan untuk menyediakan suatu contoh yang berhasil dalam menentukan suatu Referensi Level Emisi (reference emission level), suatu sistem pengukuran, pelaporan dan verikasi (measuring, reporting

and verification system) dan sistem pembayaran yang adil pada level profinsi

dengan berdasarkan atas arsitektur REDD+ nasional. Sehubungan dengan adanya sistem desentralisasi pemerintahan di Indonesia, pembangunan kapasitas menjadi hal yang utama dalam penerapan REDD+ di pemerintahan desentralisasi khususnya di level kabupaten. Kegiatan ini mencakup juga pemberdayaan para pihak yang ada di ddaerah sehingga mereka nantinya akan dapat memperoleh manfaat dari arsitektur REDD+.

(50)

50

emisi karbon di Indonesia. Untuk itu, implementasi REDD+ di Indonesia merupakan suatu upaya yang diharapkan mampu berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim dunia, serta upaya dalam menjaga lingkungan hidup, khususnya hutan Indonesia (Wicaksono dan Yurista, 2013 : 4).

3.4.1 Letter of Intent Indonesia – Norwegia

Tujuan dan fokus kemitraan ini adalah untuk berkontribusi terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca yang signifikan dari deforestasi, degradasi hutan dan konversi lahan gambut, melalui :

a. Melakukan dialog mengenai kebijakan perubahan iklim internasional, khususnya kebijakan internasional mengenai REDD+.

b. Berkolaborasi dan memberikan dukungan dalam pengembangan dan implementasi strategi REDD+ Indonesia.

Dengan pendekatan umum dan prinsip – prinsip dalam kerjasama, para peserta berniat untuk :

a. Memastikan bahwa kemitraan ini akan didasarkan pada UNFCCC dan kemitraan global REDD+ dan bahwa tidak ada satupun hal dalam kemitraan ini yang bertentangan atau akan bertentangan dengan hal – hal tersebut.

(51)

51

sesuai dengan peraturan perundang – undangan dan bilamana berlaku, instrument internasional, dalam perencanaan dan implementasi REDD+.

c. Mengupayakan peningkatan pendanaan, tindakan hasil secara proporsional dan progesif sejalan dengan waktu, berdasarkan prinsip kontribusi untuk hasil.

d. Sepenuhnya transparan dalam hal pendanaan, tindakan dan hasil.

e. Memastikan adanya koordinasi dengan semua inisiatif REDD+ lainnya, termasuk UN-REDD Programme, Forest Carbon Partnership Facility, Forest Investment Program

dan inisiatif REDD+ lainnya yang bersifat multilateral yang dilaksanakan di Indonesia.

f. Berupaya untuk memastikan keberlanjutan ekonomi, sosial dan lingkungan serta integrasi usaha – usaha REDD+ kedua

negara (diolah dari Letter of Intent antara Pemerintah Kerajaan Norwegia dan Pemerintah Republik Indonesia. https://www.google.co.id/url?q=http://burung.org/index,ph p%3Foption%3Dcom_docman%26task. Diakses tanggal 10 Desember 2015).

(52)

52

diambil langka – langka persiapan utama untuk implementasi strategi REDD+ Indonesia, mencakup; menyelesaikan strategi REDD+ nasional yang juga menangani semua pemicu utama emisi hutan dan lahan gambut, mengembangkan strategi dan membentuk kerangka kerja awal suatu lembaga independen untuk sistem pemantauan nasional, pelaporan dan verifikasi emisi gas rumah kaca hasil manusia yang terkait hutan dan lahan gambut menurut sumber – sumber dan hilangnya tempat penyimpanan stok karbon hutan dan perubahan area hutan alam serta menyalurkan sumber daya finansial hanya untuk implementasi REDD+ di Indonesia.

Pada fase kedua yang dimulai ada tahun 2011 sampai pada akhir tahun 2013. Pada fase ini, upaya Indonesia dan dukungan Norwegia berfokus pada :

a. Pengembangan kapasitas nasional, pengembangan dan implementasi kebijakan serta reformasi dan penegakan hukum;

b. Satu atau lebih kegiatan uji coba REDD+ berskala penuh di tingkat Provinsi.

Sasaran fase ini adalah menjadikan Indonesia siap untuk fase pengurangan emisi berdasarkan kontribusi yang diverifikasi serta memprakarsai tindakan mitigasi berskala besar.

(53)

53

mekanisme finansial yang telah disepakati. Proporsi kontribusi yang disalurkan melalui mekanisme pengurangan emisi berdasarkan kontribusi yang diverifikasi.

Fase ketiga, pengurangan emisi berdasarkan kontribusi yang diverifikasi. Keinginan bersama kedua belah pihak adalah untuk memulai fase ketiga pada tahun 2014, berdasarkan pengurangan emisi tahun 2013. Pada fase ini, mekanisme pengurangan emisi berdasarkan kontribusi yang diverifikasi akan diimplementasikan, mencakup :

a. Indonesia menerima kontribusi tahunan atas pengurangan emisi nasional yang diverifikasi secara independen menurut tingkat acuan UNFCCC (atau tingkat acuan yang ditentukan oleh Indonesia dengan mitranya berdasarkan janji pengurangan emisi dan panduan meteorologi UNFCCC (4/CP 15), sesuai dengan keputusan – keputusan terkait konferensi para pihak, bila tingkat acuan UNFCCC untuk Indonesia belum ditetapkan).

(54)

54

3.4.2 Perangkat Hukum REDD+ di Indonesia

Terdapat tiga peraturan yang telah ditetapkan oleh Kementrian Kehutanan yang langsung berhubungan dengan REDD, yaitu :

1. Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 68/Menhut-II/2008 tentang Penyelenggaraan Demonstration Activities Pengurangan Emisi Karbon dari Defeorstasi dan Degradasi Hutan (REDD).

2. Peraturan Menteri Kehutanan (Permenhut) No. 30/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD).

3. Peraturan menteri Kehutanan (Permenhut) No. 36/Menhut-II/2009 tentang Tata Cara Perizinan Usaha Pemanfaatan Penyerapan dan/atau Penyimpanan Karbon Pada Hutan Produksi dan Hutan Lindung (Nurtjahjawilasa, Duryat, dkk. 2013 : 32).

(55)

55

a. UU No. 5 tahun 1990, tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya

Pasal 34 ayat 3 : untuk kegiatan pariwisata dan rekreasi, pemerintah padat memberikan hak pengusahaan atas zona pemanfaatan taman nasional, taman hutan raya dan taman wisata alam dengan mengikut sertakan rakyat.

b. UU No. 41 tahun 1999, tentang Kehutanan

Pasal 26 ayat 1 : pemanfaatan hutan lindung dapat berupa pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan dan pemungutan hasil hutan bukan kayu.

c. PP No. 6 tahun 2007, tentang Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Perencanaan Hutan Serta Pemanfaatan Hutan

Pasal 1 angka 6 : pemanfaatan jasa lingkungan adalah kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya (Nurtjahjawilasa, Duryat, dkk. 2013 : 31).

3.4.3 Kontribusi Pendanaan Norwegia

Sesuai dengan kesepakatan kedua negara bahwa Norwegia berkehendak untuk menyalurkan dana untuk upaya – upaya REDD+ di

(56)

56

– tingkat pencapaian yang memadai sebagaimana yang dikehendaki

dalam LoI tersebut. Rincian syarat dan ketentuan untuk mendukung hal tersebut tersebut akan ditetapkan dalam persetujuan kontribusi yang dibuat Norwegia dengan pengelola dana, jumlah pendanaan tahunan yang konkret tergantung pada alokasi parlemen Norwegia (diolah dari Letter of Intent Indonesia – Norwegia).

Dana tersebut didistribusikan dalam kurun waktu 7 hingga 8 tahun kedepan berdasarkan pengurangan emisi gas rumah kaca yang telah terverifikasi. Dana bantuan ini akan disalurkan berdasarkan kinerja dalam upaya pengurangan emisi yang aktual, dan dalam kaitannya dengan perubahan kebijakan dan reformasi kelembagaan yang diperlukan. Dimana setiap tahun, kelompok – kelompok pengkaji

dari pihak ketiga yang independen akan melakukan verifikasi hasil – hasil tersebut dan melaporkannya kepada komite konsultasi bersama (Joint Consultation Committe) (http://www.reddplus.go.id/tentang-redd/kemitraan. Diakses tanggal 05 November 2015).

Satu isu utama lain dari REDD+ adalah benefit sharingyaitu bagaimana menciptakan skema pembagian manfaat sebagaimana yang sudah diberlakukan dalam ‘pembayaran untuk jasa lingkungan’ atau ‘(PES) payments for environmentalservice’ bertingkat ganda

(57)

57

Gambar 3.2 Konsep Skema Pembayaran Jasa Lingkungan Bertingkat Ganda Untuk REDD+. redd.pdf. Diakses tanggal 26 Januari 2016)

Di tingkat internasional, pembeli jasa akan membayar secara sukarela ataupun wajib kepada penyedia jasa (pemerintah atau badan –

badan sub-nasional di negara berkembang) untuk jasa lingkungan (pengurangan emisi dari deforestasi dan degradasi hutan), atau kegiatan yang dapat memberikan jasa tersebut (reformasi tenurial untuk penegakan hukum). Di tingkat negara, pemerintah nasional atau lembaga perantara lain (pembeli jasa) akan membayar pemerintah sub-Bantuana Dana

(58)

58

nasional atau pemilik lahan (penyedia jasa) untuk mengurangi emisi atau melakukan kegiatan lain yang bisa mengurangi emisi.

Strategi REDD nasional disamping (Payments for Environmental Service) akan menyertakan serangkaian kebijakan

seperti reformasi tenurial, pengelolaan kawasan hutan lindung yang lebih efektif dan kebijakan yang mengurangi ketergantungan pada hasil hutan dan lahan hutan. Salah satu keuntungan menggunakan pendektan nasional adalah kebijakan tersebut dapat memperoleh kredit bila terbukti mengurangi emisi (Nurtjahjawilasa, Duryat, Dkk. 2013 : 14).

3.5Menuju Perbaikan Lingkungan a. Ekosentrisme

(59)

59 b. Batas – Batas Pertumbuhan

Batas – batas pertumbuhan memiliki argumentasi bahwa :

Perluasan ekonomi dan pertumbuhan populasi

masyarakat manusia telah menghasilkan suatu rangkaian krisis yang saling berhubungan. Peningkatan pertumbuhan tersebut menciptakan suatu situasi dimana dunia dengan cepat kehabisan sumber daya untuk memenuhi kebutuhan manusia atau untuk menyediakan bahan baku bagi pertumbuhan industri yang terus berlanjut (melampaui daya tamping dan kapasitas produksi), dan secara simultan melampaui kapasitas penyerapan dari lingkungan untuk mengasimilasi sampah sisa industri” (Burchill dan Linklater, 1996 : 342).

Dari penjelasan diatas dapat dilihat bawah pertumbuhan pesat merupakan salah satu faktor pemicu kerusakan iklim. Hal ini diperkuat dengan tiga argumentasi bahwa; pertama, solusi teknologi tidak akan berguna –teknologi bisa jadi menunda krisis tetapi tidak bisa mencegahnya terjadi pada suatu titik tertentu. Kedua, peningkatan

pertumbuhan secara alami berarti bahwa ‘bahaya yang tertumpuk dalam

waktu yang relatif lama dapat dengan tiba – tiba menghasilkan suatu bencana. Ketiga, berbagai permasalahan yang berhubungan dengan pertumbuhan semuanya saling berhubungan.

c. Ekologi Global

(60)

60

kerjasama Indonesia – Norwegia melalui pengembangan program REDD+. Tujuan dilakukannya kerjasama tersebut adalah untuk menangani krisis ekologi global, disisi lain dengan menekankan bahwa perubahan sosial dan politik diperlukan dalam rangka mencegah lingkungan dari degradasi (kemerosotan) akibat ulah manusia dan memperbaiki kualitas lingkungan melalui preservasi, restorasi dan perbaikan sumber daya alam. d. Melawan Pembangunan

Salah satu alasan mengapa para penulis ekologi global menolak pembangunan adalah karena pembatasan pembangunan dan mereka berpikir bahwa pembangunan tidak dapat dirumuskan kembali. Sebagaimana yang diktakan para Ecologist (1993)bahwa :“salah satu ciri utama pembangunan adalah tindakan memagari (enclosure), atau

mengubah ruang publik menjadi hak milik pribadi” (Burchill dan Linklater, 1996 : 354). Tindakan ini merupakan pusat modernisasi pembangunan diseluruh dunia, namun efek dari modernisasi tersebut adalah menjadikan mereka yang tergantung pada sumber daya lokal harus tersingkirkan, yang pada gilirannya memungkinkan terjadinya degradasai lingkungan.

3.6Dinamika Hubungan Indonesia dan Norwegia

(61)

61

teknologi laut dalam. Seperti yang diketahui, Indonesia dan Norwegia memiliki karakter yang sangat berbeda jika dilihat dari letak geografis, ukuran penduduk dan kapasitas ekonomi. Walaupun demikian, kedua kepala negara menilai bahwa kedua negara juga memiliki banyak kesamaan dalam menjunjung tinggi nilai – nilai universal, antara lain demokrasi dan penghormati terhadap hak asasi manusia. Kombinasi ini menjadikan hubungan kedau negara sangat erat, bersahabat dan saling mendatangkan manfaat. Hal ini menegaskan bahwa Norwegia dan Indonesia adalah mitra penting dalam bidang lingkungan hidup kerjasama hak asasi manusia, energi, perikanan dan maritim.

(62)

(https://www.esdm.go.id/berita/37-umum/2120-national-62

energy-policy-and-recent-development-in-indonesia.html. diakses tanggal 14 Februari 2016).

Menurut data dari kedutaan besar Norwegia, saat ini lebih dari 40 perusahaan asal Norwegia berada di Indonesia dan berkembang dengan sangat pesat. Diamana Perusahaan – perusahaan tersebut bergerak dalam sektor minyak dan gas, energi terbarukan, industri kelautan, perikanan dan budidaya perairan (Viva.com, 2016. Diakses tanggal 14 Februari 2016). Hubungan kedua negara terlihat ketika Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg yang berkunjung ke Indonesia. Pada kunjungan tersebut, Perdana Menteri Norwegia Erna Solberg dan Presiden Joko Widodo, telah membahas upaya penguatan kerjasama bilateral, antara lain :

a. Di bidang lingkungan hidup dan kehutanan. Kedua negara telah sepakat untuk melanjutkan kerjasama REDD+ yang pelaksanaannya telah dimulai sejak tahun 2010.

b. Di bidang perikanan, Norwegia dapat menjadi mitra penting Indonesia, termasuk upaya untuk memberantas penangkapan ikan secara ilegal dan budi daya ikan laut.

c. Di bidang energi terbarukan, kerjasama dilakukan antara lain di bidang hydropower dan domestic biogas yang telah dilakukan sejak tahun 1995 dan akan terus dilanjutkan oleh kedua negara. d. Di bidang kerjasama triangular, Indonesia – Norwegia telah

(63)

63

dengan melihat positifnya hasil kerjasama Indonesia – Norwegia, maka kedua negara bersepakat untuk menjajaki perluasan kerjasama triangular antara Indonesia – Nowegia dan negara – negara berkembang lainnya.

e. Di bidang pendidikan, untuk mendorong implementasi joint degree antara – universitas kedua negara, beberapa Universitas di Indonesia seperti Universitas Gajah Madah, Institut Teknik Bandung dan akademi keperawatan Ibnu Sina telah menjalin kerjasama dengan universitas – universitas di Norwegia.

(64)

64 BAB IV

PEMBAHASAN DAN ANALISIS

4.1Pembahasan

4.1.1Program ( REDD+) Reducing Emission From Deforestation and Forest Degradationdi Indonesia

REDD+ adalah berbagai tindakan yang mencakup tindakan lokal, nasional, dan global yang bertujuan untuk menurunkan emisi karbon akibat deforestasi dan degradasi hutan. Tanda plus (+) memiliki arti meningkatkan cadangan karbon hutan, atau regenarasi dan rehabilitasi hutan, serta penyerapan karbon, yaitu menyerap karbon dari atmosfer yang seterusnya disimpan kedalam bentuk biomassa karbon hutan (http://himasiltan.lk.ipb.ac.id/2013/05/03/apa-itu-redd/. Diakses tanggal 08 November 2015).

Pemikiran utama REDD+ adalah menciptakan suatu sistem pembayaran multitingkat global, nasional dan lokal untuk jasa lingkungan yang akan mengurangi emisi dan meningkatkan cadangan karbon hutan. Masyarakat internasional mencapai kelestarian hutan dengan membayar para pemilik dan pengguna hutan melalui pemerintah nasional atau secara langsung untuk mengurangi penebangan pohon dan mengelolah hutan mereka secara lebih baik.

(65)

65

yang melakukan pencegahan deforestasi dan degradasi hutan. Dua inisiatif global sedang dilakukan untuk membantu negara – negara berkembang mengimplementasikan mekanisme REDD+ di masa yang akan datang;

Pertama, program REDD Perserikatan Bangsa – Bangsa (UN-REDD),

menawarkan dukungan secara ekstensif bagi negara berkembang untuk menghadapi isu deforestasi dan degradasi hutan. Program tersebut menawarkan pembangunan kapasitas, membantu merancang strategi nasional dan menguji pendekatan nasional serta perencanaan kelembagaan untuk mengawasi dan melakukan verikasi pengurangan hilangnya hutan. UN-REDD beroparasi di Sembilan Negara, yakni : Bolivia, Repulik Demokratik Kongo, Indonesia, Panama, Papua Nugini, Paraguay, Tanzania, Vietnam, Zambia (Malik, 2015 : 608).

Kedua, Bank Dunia mengkoordinasikan inisiatif berupa Fasilitas

(66)

66

Kedua inisiatif akan mengkoordinasikan misinya ketika diterapkan di negara yang sama dan melaksanakan pertemuan mengenai kebijakan – kebijakan mereka secara bersama – sama agar para peserta dapat saling bertukar informasi. Kemajuan dan hasil dari inisiatif tersebut akan membantu para juru runding UNFCCC dalam menentukan apakah emisi CO² yang berkaitan dengan hutan dapat dihitung dan apakah mekanisme REDD yang diusulkan dapat dilaksanakan.

4.1.2 Memastikan Keterlanjutan Ekonomi, Sosial dan Lingkungan Indonesia – Norwegia Berbasis Environment

Fenomena modernitas dan globalisasi turut berperan dalam mencuatnya gerakan environmentalisme. Semakin berkembangnya industri kapitalis yang membawa industrilisasi ke negara berkembang menyebabkan eksploitasi sumber daya alam semakin tidak terkendali yang menyebabkan rusaknya hutan ditambah semakin banyaknya pembangunan pabrik – pabrik yang kurang memperhatikan faktor lingkungan, khususnya dalam hal pembuangan sisah limbah.

Masih minimnya kesadaraan manusia akan dampak dari kegiatan indsutrinya yang merusak lingkungan, maka munculah Green

Movement. Gerakan tersebut kemudian menjadi dasar munculnya

environmentalism yang menuntut tidak hanya kesadaran akan

(67)

67

ekonomi dan sosial sebagai keterlanjutan untuk memberikan solusi terhadap isu lingkungan melalui struktur yang ada.

Akar permasalahan krisis lingkungan sendiri terjadi karena : Pandangan kemajuan yang selalu terarah kepada negara industri, dimana dunia semakin bergerak ke arah cara pembangunan negara industri; fokus perhatian yang berlebihan pada “economic growth”, berpacu

dalam tingkat pertumbuhan; serta sistem perdagangan dan Neo-liberalism, seolah – olah kekuatan pasar dapat menyelesaikan segala perkara seperti pengurasan minyak bumi, hutan, batu bara, sistem kredit ekspor yang mendorong produk – produk konsumsi.

Untuk mengatasi tantangan lingkungan yang terjadi, negara – negara mengambil langkah – langka, kebijakan dan aksi dengan gerakan

etika dan politik yang selanjutnya melahirkan (green economic) ekonomi hijau. Tentunya hal ini berbicara mengenai kualitas, bukan kuantitas, ini semua mengenai regenarasi dari individual, komunitas dan ekosistem, tidak berbicara mengenai akumulasi uang dan materi. Contohnya seperti kerjasama Indonesia – Norwegia di bidang energi terbarukan yang menggunakan kemampuan alam untuk memastikan pertumbuhan ekonomi kedua negara. Kerjasama ini pun dilakukan dengan prinsip ekonomi yang sehat.

Green economic menolak enefisiensi, irrasionalitas dan cara

Gambar

Gambar 3.1 Jenis Gas Rumah Kaca Global
Gambar 3.2 Konsep Skema Pembayaran Jasa Lingkungan Bertingkat
Tabel 4.1 Peningkatan Emisi Gas Dunia
Gambar 4.3 Kenaikan Temperatur Global, Konsentrasi CO² dan Siklus

Referensi

Dokumen terkait

Melalui chatting di WA group guru mempersiapkan peserta didik secara fisik dan psikis untuk mengikuti pembelajaran, guru memberi motivasi, melakukan apersepsi,

Hasil uji validtas untuk angket budaya organisai dan efektivitas sekolah dapat diketahui bahwa masing- masing dengan jumlah pernyataan 15 didapat semuanya valid karena rhitung

Peserta didik secara berkelompok menata persamaan cirri kaidag dari dua teks editorial/opini yang telah ditemukan dalam diskusi kelompok.. Peserta didik

Khususnya mahasiswa strata satu (S-1) wajib mengikuti mata kuliah KKN yang dimplementasikan dalam Kuliah Kerja Nyata Pembelajaran Mahasiswa dan Pemberdayaan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, maka dapat disimpulkan bahwa Restrain efektif terhadap penurunan perilaku kekerasan pada pasien

Hasil analisis dengan menggunakan SPSS 21 yang bertujuan untuk mengetahui profil umum jenis stresor dan gangguan penyesuaian melalui beberapa karakteristik pada

Penelitian yang dilakukan oleh Astri Eko Sri Handayani (2012) menunjukkan bahwa pasien dapat terjadi kekambuhan karena adannya dukungan keluarga, dalam hal