• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konstitus ionalisme Dalam Dinamika Negara

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Konstitus ionalisme Dalam Dinamika Negara"

Copied!
240
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)

Manunggal K Wardaya

(4)

KONSTITUSIONALISME DALAM DINAMIKA NEGARA HUKUM

Penulis : Manunggal K Wardaya Editor : HS Tisnanta

Cover : Sayid Mataram Tata Letak : M Reza

Cetakan pertama, Juli 2014 x + 230 hlm

14x21 cm

Hak cipta dilindungi Undang-Undang. All rights reserved

ISBN : 978-602-1534-28-1

Penerbit

Indepth Publishing

Jalan Ahmad Yani, Gang Pioneer, No. 41, Gotongroyong, Tanjungkarang Pusat, Bandar Lampung

Indepth.publishing@gmail.com | www.indepthpublishing.org 081279604790

Bekerjasama dengan :

(5)

PENGANTAR PENULIS

Buku ini sesungguhnyalah merupakan himpunan aneka pemikiran yang saya hasilkan dalam kurun 2001-2013. Konstitusionalisme yang menjadi tema besar buku ini tak lain merupakan paham pembatasan kekuasaan, sebuah prinsip yang pula melembaga dalam kehidupan bernegara Indonesia. Tak pelak, diskursus mengenai hak asasi manusia maupun tarik ulur kewenangan negara versus hak warganegara merupakan warna yang menonjol dalam setiap tulisan di buku ini.

Sebagian besar materi di dalam buku ini ditulis untuk media massa seperti surat kabar dan majalah. Beberapa yang lain adalah makalah yang disampaikan dalam forum-forum diskusi seperti seminar maupun sarasehan sementara beberapa yang lainnya lagi tak pernah terpublikasi kecuali di blog pribadi. Tersebarnya aneka pemikiran seputar konstitusi dan hak asasi manusia di berbagai media membuat tulisan-tulisan itu tak mudah didapati oleh khalayak. Terhimpunnya berbagai hasil kerja pikir dalam satu kitab seperti yang kini berada di tangan pembaca mengatasi persoalan itu, sesuatu yang sudah tentu amat saya syukuri.

(6)

yang menjadi pokok bahasan, tuntutan yang sebenarnyalah tak perlu benar untuk harus selalu dipenuhi. Kendati demikian aneka thesis maupun argumentasi dari setiap tulisan diharapkan membuat buku ini tak berkekurangan relevansi untuk ditelaah guna memahami hal ikhwal konstitusionalisme, hak asasi manusia dan perikehidupan bernegara hukum dalam konteks kekinian.

Ucapan terimakasih dihaturkan pada segenap rekan di Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hak Asasi Manusia (PKKPHAM) Universitas Lampung dan di Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM) yang telah membuat penerbitan buku ini menjadi mungkin. Pada Prof. J.M. Otto dari Universitas Leiden dan segenap rekan yang telah meluangkan waktu untuk memberi komentar saya ucapkan pula veel bedankt. Pula pada segenap rekan di Penerbit Indepth saya haturkan terimakasih. Saya berharap aneka pemikiran dalam kitab sederhana ini menjadi sumbangan bagi keterpelajaran hukum di tanah air terkhusus lapangan hukum kenegaraan dan hak asasi manusia. Tanggapan dan kritik dari segenap pembaca ibarat seteguk air di padang tandus: amatlah ditunggu, amatlah dinanti.

Hartelijke groet

Nijmegen, akhir musim semi 2014

(7)

DAFTAR ISI

Hak Hidup Sebagai Hak Asasi 7.

(8)

Tentang Persamaan di Muka 11.

Hukum

Macan Kertas Instrumen HAM 12.

Pelarangan Ahmadiyah: 13.

Iklan Politik dan makna 19.

Pemberangusan Buku di 23.

Indonesia

(9)

Negara Versus Ketentraman 30.

Warga

Jalan Berlubang dan Hak Hidup 31.

Warga

Hukum: Penegak Moralitas? 32.

Putusan Kasus Korupsi vs 33.

(10)
(11)

1. MEMBANGUN MASYARAKAT

MADANI DAN DEMOKRATIS DALAM

BINGKAI KONSTITUSIONALISME

K

onstitusionalisme, demikian Dictionary of American Politics, adalah “the doctrine that the power to govern should be limited by definite ad enforceable principles of political organization and procedural regularity embodied in the fundamental law, so that basic constitutional rights of individuals ad groups will not be infringed”1. Carl J. Friedrich menyebut konstitusionalisme

sebagai “...an institutionalised system of effective, regularized restraints upon governmental action”2 sementara Ni’matul Huda

menyebut konstitusionalisme sebagai terbatasinya kekuasaan pemerintah sedemikian rupa sehingga penyelenggaraan negara

1Edward C. Smith & Arnold J. Zurcher, Dictionary of American Politics, Barnes & Noble,

Inc., New York, 1966, hal. 93.

2 Jimly Asshiddiqie, Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Konstitusi Press,

(12)

tidak bersifat sewenang-wenang3. Dari ketiga definisi tersebut

disimpulkan bahwa konstitusionalisme adalah suatu ism, suatu paham pembatasan kekuasaan negara dan terlindunginya hak dan kebebasan warga negara.

Istilah “konstitusionalisme”, demikian Soetandyo Wignjosoebroto, sebenarnya tercipta akhir abad 18 yang menegaskan doktrin Amerika tentang Supremasi Undang-undang Dasar (konstitusi tertulis) di atas Undang-undang-Undang-undang yang diundangkan sebagai produk badan legislatif4. Mengutip Harold

Berman, Soetandyo menyatakan bahwa paham mengenai kekuasan negara ini sebenarnyalah telah bermula dari masa yang sangat lebih dini, telah dijumpai semasa berkembangnya negara-negara teritorial di bawah kekuasaan raja-raja dan dalam kehidupan polis-polis (negara kota) di Eropa Barat pada abad XI dan XII.5 Dalam

konstitusi-konstitusi negara kota itu diakui kekuasaan pemerintah (misalnya untuk menarik pajak, membuat uang, membentuk balatentara, membuat perjanjian damai dengan atau menyatakan perang terhadap polis lain); namun juga di lain pihak kekuasaan dibatasi oleh hak konstitusional warga kota (misalnya untuk memilih pejabat kota, mempersenjatai diri, membuat kebebasan sipil, dan dilindungi oleh proses peradilan yang jujur dan adil).6

Dalam banyak literatur hak asasi manusia diyakini bahwa terbatasinya kekuasaan untuk pertama kalinya terjadi di Inggris dengan ditandatanganinya sebuah piagam (charter), sebuah kesepakatan nan agung bernama Magna Charta pada 1215.

3Lihat Ni’matul Huda, UUD 1945 dan Gagasan Amandemen Ulang, Rajawali Pers,

2008, hal. 37.

4Soetandyo Wignjosoebroto, “Konstitusi dan Konstitusionalisme”, dalam Benny

K. Harman & Hendardi (ed), Konstitusi dan Konstitusionalisme di Indonesia, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) & Jaringan Informasi Masyarakat (JARIM), Jakarta, 1991, hal. 2.

5Ibid.

(13)

Dalam piagam itu, Raja John (terpaksa) berbagi kekuasaan dengan para baron (bangsawan). Walau sama sekali tak bersangkut paut dengan hak rakyat jelata, Magna Charta diangap penting karena dokumen ini adalah titik awal dimana kekuasaan raja tak lagi absolut, cikal bakal pembatasan kekuasaan negara. Seorang raja yang tadinya berdaulat penuh dan bisa memerintah sekehendak hatinya kini harus berbagi dengan pihak lain. Salah satu diantara sekian hal yang disepakati oleh raja dalam Magna Charta adalah bahwa tak boleh seorangpun (terkecuali mereka yang berstatus ‘serf ’, semacam budak) boleh dihukum kecuali atas aturan yang berlaku, suatu prinsip yang diwariskan dan hingga kini masih dianut dan dikenal dengan asas legalitas.

Dalam perjalanannya, terbatasinya kekuasaan melalui perjanjian yang elitis ini menemukan kembali maknanya dalam Revolusi Amerika dan Perancis. Revolusi Amerika meneguhkan kehendak rakyat Amerika untuk merdeka, lepas dari keterikatan dengan Kerajaan Inggris, dengan mendirikan sebuah negara serikat bernama The United States of America. Rakyat dalam 13 koloni Inggris di benua Amerika tersebut menolak otoritas Parlemen Kerajaan Inggris dan kemudian mengusir para pejabat kerajaan. Deklarasi kemerdekaan Amerika menegaskan paham bahwa semua manusia lahir sama dan berhak atas berbagai hak dasar, dan bahwa adanya negara justeru untuk melindungi warga negara dari segala ancaman yang dapat mengurangi dan meniadakan penikmatan hak itu. Oleh karenanya, jika negara tak mampu atau bahkan gagal dalam menjalankan tugas fitrahnya melindungi warganya, ketidakmampuan itu bakal memberi legitimasi digantikannya pemerintahan dan sekaligus legitimasi munculnya pemerintahan baru7. Untuk pertama kalinya pula kemudian Amerika memiliki

7Paham ini sebenarnya berasal dari pemikiran Locke dalam risalah kedua bukunya

(14)

konstitusi yang kemudian diikuti pula oleh Perancis dimana ide-ide lama mengenai hirarki dan tradisi tergantikan oleh filosofi pencerahan mengenai kewarganegaraan dan hak asasi manusia. Revolusi Perancis (1789-1799) meneguhkan kehendak rakyat Prancis untuk lepas dari penindasan dengan slogan Egalite, Liberte, Fraternite.

Sebagaimana dinyatakan oleh Carl Schmidt, sebuah konstitusi adalah suatu manifestasi kehendak rakyat yang tertinggi. Ia, konstitusi, oleh karenanya merupakan hukum tertinggi suatu bangsa. Di dalam konstitusi dinyatakan batas dan kewenangan penyelenggara negara dan jaminan hak asasi manusia yang meniscayakan terbatasinya kekuasaan. Berkaitan dengan ini, bisa jadi suatu negara memiliki konstitusi, memiliki hukum dasar dalam kehiduupan bernegara, namun difungsikan semata untuk melegitimasi keabsolutan kuasa. Konstitusi yang tidak berparadigma konstitusionalisme seperti demikian oleh karenanya adalah sekedar dokumen yang menjadi hukum dasar dan memiliki cacat bawaan konstitusionalisme. Ia sekedar hukum yang tertinggi namun tetaplah saja melegitimasi kekuasaan mereka yang di atas (elite).

Jika diletakkan dalam konteks Indonesia, lepasnya bangsa ini dari belenggu penjajahan pula disertai dengan kehendak membangun suatu negara bangsa yang demokratis berdasarkan konstitusi. Rancangan undang-undang dasar yang dirumuskan oleh Panitia Hukum Dasar Badan Penyelidik Usaha Kemerdekaan (BPUPK)8 dan kemudian disahkan oleh Panitia Persiapan

2009, hal. 161.

8Terjemahan dari bahasa Jepang Dokuritu ZyunbiTyosa Kai tidak ada kata “Indonesia”,

(15)

Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada 18 Agustus 1945 menjadi konstitusi tertulis pertama negeri ini lahir dalam masa transisi dari alam penjajahan ke alam merdeka. Berisi aturan dasar negara modern bernama Indonesia, UUD 1945 yang asli amat disadari oleh para penyusunnya sebagai sesuatu yang belumlah sempurna dan mesti disempurnakan9. Sempat tidak diberlakukan dengan

berlakunya Konstitusi RIS 1949 dan Undang-Undang Dasar Sementara 1950, UUD 1945 kemudian diberlakukan kembali melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 setelah Konstituante, sebuah badan perumus UUD diklaim oleh Presiden Soekarno menemui kebuntuan, deadlock.

Perjalanan bangsa dan negara Indonesia di bawah UUD 1945 di bawah kepemimpinan Soekarno dan Soeharto menunjukkan bahwa segala sumber permasalahan bangsa sebenarnyalah berasal dari konstitusi yang memberikan kewenangan begitu besar kepada eksekutif (executive heavy), miskin dalam jaminan hak dan kebebasan asasi manusia, serta tidak menciptakan kehidupan berbangsa dan bernegara yang demokratis10. Secara

formal, konstitusi (tertulis) memang ada dipunyai oleh bangsa ini, namun konstitusi itu tak memiliki ruh konstitusionalisme alias semangat pembatasan kekuasaan. Karena belum cukup memuat

oleh badan ini sebenarnya di luar dari tujuan pembentukannya, yakni untuk melakukan usaha-usaha persiapan kemerdekaan. Lihat Jimly Asshiddiqie, Op.Cit., hal. 39.

9Soekarno dalam pidatonya di depan PPKI pada 18 Agustus 1945 mengatakan

bahwa UUD 1945 adalah suatu revolutie grondwet, suatu undang-undang dasar darurat, pernyataan yang pula diamini oleh pendiri bangsa lainnya seperti Dr. Sam Ratulangi dan Mr Iwa Kusuma. Lebih lanjut, kesementaraan UUD 1945 juga tercermin Aturan Tambahan UUD 1945 sebelum perubahan yang pada Pasal II menyatakan bahwa “Dalam enam bulan sesudah Majelis Permusyawaratan Rakyat dibentuk, Majelis itu bersidang untuk menetapkan Undang-Undang Dasar.” Bacalah Ananda B. Kusuma, “Keabsahan UUD 1945 Pasca Amandemen”, Jurnal Konstitusi Vol. 4 No.1, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Maret 2007, hal.146-148.

10Denny Indrayana menyebut UUD 1945 sebelum perubahan adalah dokumen yang

(16)

landasan bagi kehidupan yang demokratis, pemberdayaan rakyat, dan penghormatan HAM, dengan muatan pasal yang multitasfir dan membuka peluang penyelenggaraan negara yang otoriter, perubahan UUD 1945 menjadi salah satu tuntutan berbagai kalangan masyarakat dalam gerakan Reformasi11. Melalui empat

kali perubahan12, Indonesia kini memiliki konstitusi yang amat

berbeda dengan konstitusi tertulis yang sebelumnya, yakni UUD 1945 yang diberlakukan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959.13

Jika perubahan UUD 1945 adalah sebuah upaya koreksi terhadap segenap penyimpangan yang terjadi di masa lalu, maka menjadi menarik dipertanyakan adalah bagaimana cita negara demokrasi diwujudkan dalam konstitusi? Jika kesengsaraan rakyat, dan segenap pelanggaran hak sipil dan politik maupun hak ekonomi sosial budaya pula merupakan fitur masa lalu di bawah konstitusi yang tak demokratis, bagaimana visi UUD paska perubahan akan terwujudnya masyarakat madani?

Masyarakat madani kerapkali dikenal sebagai padanan/ translasi kata dari Civil Society14. Nurcholish Madjid menyatakan

11Lihat Majelis Permusyawaratan Republik Indonesia, Panduan Pemasyarakatan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Sekretariat Jenderal MPR RI, 2006, hal. 4.

12Moh Mahfud MD mengatakan bahwa sebenarnya perubahan yangg dilakukan

terhadap UUD 1945 hanyalah satu (1) kali, namun disahkan dalam empat (4) tahap. Perubahan, demikian Mahfud, hanya dilakukan sekali tetapi memakan waktu selama tiga tahun (199-2002), karena menurut Mahfud dalam kurun waktu tiga tahun tersebut MPR tidak pernah berhenti bersidang. Baca lebih lanjut dalam Moh Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, hal. Xii-xiii.

13UUD 1945 setelah Dekrit Presiden dilengkapi dengan Penjelasan, dimana Penjelasan

ini tidak ada dalam UUD 1945 yang disahkan oleh PPK pada 18 Agustus 1945.

14Selain masyarakat madani, ada pula yang mentranslasi civil society sebagai masyarakat

(17)

bahwa masyarakat madani ini adalah mesyarakat berbudi luhur dan berakhlak mulia, masyarakat yang berperadaban. Aceng Kosasih menyatakan bahwa masyarakat madani adalah model masyarakat kota sebagaimana dibangun oleh Nabi Muhammad setelah hijrah ke Madinah15. Sementara itu Marzuki Alie menyatakan bahwa

masyarakat madani tidak saja mandirinya masyarakat manakala berhadapan dengan negara, melainkan pula terwujudnya nilai-nilai seperti keadilan, persamaan, kebebasan, dan kemajemukan (pluralisme)16. Dari dua definisi masyarakat madani sebagaimana

dipaparkan di atas, tulisan ini menarik simpulan bahwa masyarakat madani adalah suatu kedaan terciptanya kehidupan bermasyarakat yang bermartabat dan sejahtera tercapai. Adakah visi masyarakat berbudi luhur, berakhlak mulia, yang adil dan menghargai perbedaan, terdapat ruang bagi perbedaan dan tegaknya keadilan dalam Konstitusi kita?

Tidak mau hidup terus menerus terjajah17, bangsa Indonesia

menyatakan kemerdekaannya melalui Proklamasi 17 Agustus 1945, memanfaatkan situasi vacuum of power sehubungan dengan

lawan dari militer, sesuatu yang sebenarnya bukan maksud dari civil society. Lihat Andi Faisal Bakti, “Islam and Modernity: Nurcholish Madjid’s Interpretation of Civil Society , Pluralism, Secularization, and Democracy”, Asian Journal of Social Science, Vol. 33 No. 3, hal. 489.

15Aceng Kosasih, “Konsep Masyarakat Madani”, http://file.upi.edu/Direktori/FPIPS/

M_K_D_U/196509171990011-ACENG_KOSASIH/MASYARAKAT_MADANI.pdf diakses pada 1 Juli 2011.

16Marzuki Alie, “Pembaharuan Pendidikan Islam Demi Terwujudnya Masyarakat

Madani”, Orasi Ilmiah Disampaikan dalam Wisuda Sarjana dan Pascasarjana Universitas Darul Ulum, Jombang , 16 Oktober 2010, hal.6.

17Keinginan untuk merdeka telah menjadi keinginan kuat para pendiri bangsa

(18)

menyerahnya Jepang tanpa syarat pada pasukan Sekutu pada 14 Agustus 1945. Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia dituangkan dalam Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan kemerdekaan sebagai hak segala bangsa, dan oleh karenanya penjajahan haruslah dihapuskan. Sembari mengakui bahwa kemerdekaan yang diraih merupakan rahmat Tuhan Yang Maha Esa, dinyatakan bahwa Indonesia yang dicitakan adalah negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Dikaitkan dengan konsepsi masyarakat sipil sebagaimana dipaparkan di atas, rumusan dalam alinea II Pembukaan UUD 1945 sebenarnyalah suatu visi untuk mewujudkan Indonesia sebagai suatu negara madani. Selanjutnya, alinea IV Pembukaan UUD 1945 memuat tujuan didirikannya negara Indonesia yakni memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia. Lebih lanjut dalam pembukaan UUD 1945 inilah tercantum dasar negara Indonesia, yang kemudian melalui konvensi ketatanegaraan dikenal sebagai Pancasila.

(19)

negara demokrasi yang digagas oleh para pendiri bangsa, dan terus dipertahankan oleh MPR manakala melakukan perubahan terhadap UUD 1945 sejak 1999 hingga 2002.

Cita masyarakat madani dan demokratis dalam Pembukaan UUD 1945 mengalami konkretisasi lagi dalam muatan pasal-pasal UUD 194518. Pasal 1 ayat (2) menegaskan bahwa kedaulatan

sebagai di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pasal ini mengandung makna falsafati bahwa sesungguhnyalah kekuasaan yang tertinggi ada di tangan rakyat, bukan oleh sekelompok orang saja. Rakyat, baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi pengurus atau penyelenggara negara19. Dalam rumusan ini terlihat bahwa demokrasi yang

dianut oleh Indonesia adalah demokrasi konstitusional, suatu format demokrasi yang mendasarkan pada hukum dan tidak melulu pada suara terbanyak yang berujung pada tirani mayoritas. Pelaku kedaulatan kini bukan lagi MPR, namun semua badan negara lainnya seperti Presiden, DPR, DPD, dan bahkan lembaga peradilan seperti MA dan MK.20

Sementara itu, Pasal 1 ayat (3) menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Muatan pasal ini menegaskan bahwa Indonesia bukanlah negara kekuasaan (machstaat) melainkan negara hukum (rechstaat). Pada mulanya, rumusan pasal ini ada dalam Penjelasan, namun seiring dengan perubahan UUD, maka materi penjelasan ini dimasukkan dalam batang tubuh. Adapun negara hukum yang dimaksud di sini bukan melulu hukum yang mengedepankan kepastian hukum saja, namun juga keadilan. Dikatakan oleh Mahfud MD, negara Hukum Indonesia mengadopsi dua konsepsi negara hukum yang prismatik,

18Sebelum perubahan dikenal istilah “batang tubuh”. Kini istilah itu tidak ada lagi,

melainkan cukup disebut dengan istilah “pasal-pasal”.

19Lihat Jimly Asshiddiqie, Komentar atas Undang-Undang Dasar Republik Indonesia,

Sinar Grafika, Cetakan Pertama, Jakarta, 2009, hal. 10-11.

(20)

menggabungkan idealisme negara hokum rechstaat dan rule of law. Hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 24 UUD 1945 yang menegaskan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.

Serangkaian jaminan hak asasi manusia, yang dirumuskan dalam Bab XA dari Pasal 28A hingga 28J mengenai Hak Asasi Manusia menegaskan karakteristik Indonesia sebagai negara hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1 ayat (3). Pengakuan dan jaminan atas hak dankebebasan asasi manusia ini adalah koreksi atas konstitusi pada masa lalu yang sama sekali tak memuat jaminan hak dan kebebasan manusia, yang dipercaya menjadi penyebab kekuasaan nan korup. Adanya hak asasi manusia dalam muatan konstitusi juga meneguhkan prinsip negara hukum bahwa kekuasaan adalah residu dari hak dan kebebasan dasar manusia. Dengan pengakuan hak dan kebebasan manusia dalam muatan konstitusi, maka tidak dibenarkan negara mengurangi, merampas hak dan kebebasan warga tanpa suatu alas hukum yang sah. Mengadopsi norma-norma hukum hak asasi manusia yang berlaku internasional21, dijamin pula berbagai hak yang terbilang sebagai

non-derogable rights, ialah hak yang tidak bisa dikurangkan dalam keadaan apapun juga.

Sebagaimana dinyatakan oleh Petra Stockmann22, empat

perubahan UUD 1945 telah merestrukturisasi UUD 1945 secara signifikan. Perubahan yang paling jelas terlihat adalah adanya

21Non derogable rights adalah fitur hukum hak asasi manusia yang dituangkan

dalam article 4 the International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), salah satu instrumen hukum internasional yang dibilangkan sebagai the International Bills of Human Rights bersama dengan Universal Declaration of Human Rights dan the International Covenant on Economic Social and Cultural Rights (ICESCR). Keduanya telah menjadi bagian dari hukum domestik dengan ratifikasi melalui Undang-undang No. 11 dan 12 Tahun 2005. Dalam UUD 1945 ketentuan mengenai hak yang tak dapat dikurangkan dalam keadaan apapun ini dimuat dalam Pasal 28I.

22Petra Stockmann, The New Indonesian Constitutional Court: A Study into Its

(21)

pemilihan umum (pemilu)yang free dan fairsebagaimana diatur dalam Pasal 22E. Kini, kesemua anggota DPR dan DPD bahkan Presiden dipilih oleh rakyat, kontras jika dibandingkan di masa sebelum perubahan dimana ada sebagian kursi DPR yang diduduki tanpa melalui Pemilu oleh militer dengan Fraksi ABRI-nya. Presiden menurut UUD 1945 sebelum perubahan dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), memungkinkan kesenjangan antara aspirasi rakyat di tingkat grassroot dan konstelasi politik di tubuh MPR yang dengan sendirinya membuka peluang politik transaksional23. Melalui pemilu yang langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil, sebenarnyalah diimplementasikan prinsip rakyat mengatur dan memerintah dirinya sendiri. Dikatakan demikian karena melalui wakil-wakilnya yang dipilih di DPR, rakyat turut membentuk dan mewarnai undang-undang yang akan berlaku mengikat bagi dirinya sendiri, suatu kewenangan yang dimiliki DPR berdasar Pasal 20 ayat (1)24. Anggota-anggota

DPR dan anggota-anggota DPD yang dipilih melalui Pemilu secara otomatis menjadi anggota MPR yang memiliki kewenangan mengubah dan menetapkan UUD.

Pemilu guna memiilih anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 22C ayat (1) pula adalah penyempurnaan terhadap Utusan Daerah yang dahulu mengisi keanggotaan MPR tanpa melalui jalur pemilu. Sesuai

23Lihat Moh Mahfud MD, Op.Cit., hal. 133.

24Sebelum perubahan , kewenangan membentuk undang-undang dimiliki oleh

(22)

Pasal 22D ayat (1) DPD memiliki kewenangan untuk mengajukan rancangan undang-undang yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan kekuasaan pusat dan daerah. DPD juga ikut membahas RUU terkait Pasal 22D ayat (1) di atas serta memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama25. Tidak hendak diingkari bahwa

kewenangan DPD dalam UUD 1945 hasil perubahan yang sekarang berlaku masih banyak menimbulkan ketidakpuasan, terutama karena kewenangannya yang-meminjam Mahfud MD-sumir26.

Lebih lanjut dalam rangka memperkuat sistem pemerintahan Presidensial, Presiden dan Wakil Presiden Indonesia menurut Pasal 6A ayat (1) dipilih secara langsung dalam satu pasangan oleh rakyat27. Artinya siapapun pemegang kekuasaan pemerintahan di

Indonesia pada hakekatnya adalah pilihan dari rakyat itu sendiri. Sekali terpilih dan dilantik, maka kewajiban presiden dan wakil presiden harus dijalankan, sebagaimana telah diucapkan dalam sumpah dan janji presiden dan wakil presiden yang tercantum dalam Pasal 9 ayat (1) UUD 1945. Sistem Presidensial yang dianut oleh Indonesia memang menghendaki agar seorang presiden dan wakil presiden memegang jabatannya dalam masa waktu tertentu (fixed term), membedakannya dengan sistem pemerintahan parlementer. Namun, bukan berarti seorang presiden dan/ atau wakil presiden bisa semena-mena menjabat dan tidak bisa

25Namun begitu DPD tidak memiliki kewenangan untuk ikut menetapkan sebuah

undang-undang sebagaimana dimiliki oleh DPR karena Pasal 20 ayat (1) UUD 1945 telah memberikan kewenangan itu pada DPR.

26Ibid, hal.67. Dinyatakan oleh Mahfud, kewenangan konstitusional DPD tersebut

nyaris tak berarti jika dibandingkan dengan biaya politik dan proses perekrutannya yang demokratis.

27Ketentuan ini menunjukkan bahwa jabatan Presiden dan Wakil Presiden adalah satu

(23)

diberhentikan dalam masa jabatannya. Kekuasaan presiden bisa dipertanyakan manakala ia melakukan pelanggaran hukum maupun tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden sebagaimana ditentukan dalam Pasal 6 UUD 194528.

Walau telah terpilih secara demokratis, seorang presiden dan/atau wakil presiden dapat diusulkan untuk diberhentikan dalam masa jabatannya oleh DPR jika melakukan pelanggaran hukum dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan atau wakil presiden29.

Sementara itu, kontrol terhadap kekuasaan presiden dan DPR dalam pembentukan undang-undang diimbangi dengan diberikannya kewenangan uji konstitusionalitas sebuah undang-undang30/peraturan pemerintah pengganti undang-undang

(perpu)31terhadap undang-undang dasar (constitutional review)

kepada sebuah badan peradilan bernama Mahkamah Konstitusi (MK). Tidak seperti dalam rejim UUD 1945 sebelum perubahan, kini sebuah undang-undang maupun perpu dapat diujikan dan bahkan sampai berimplikasi pada dinyatakan tidak mengikat oleh MK jika dinilai bertentangan dengan konstitusi. Kewenangan menguji baik formil maupun materiil sebuah produk

perundang-28Syarat tersebut adalah bahwa calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus warga

negara Indonesia sejak kelahirannya. Selain itu, tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

29Ketentuan ini diatur dalam Pasal 7A UUD 1945. Adapun syarat Presiden dan wakil

Presiden sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 ayat (1) kemudian dijabarkan lagi dalam Undang-undang Nomor 42 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden (LNRI tahun 2008 Nomor 76, TLN Nomor 4924).

30Pasal 24 C ayat (1) UUD 1945.

31Kewenangan MK untuk menguji Perpu tidak dijumpai secara ekpslisit dalam UUD

(24)

undangan oleh MK ini penting sebagai imbangan atas kewenangan konstitusional DPR dan Presiden dalam bidang legislasi, agar pelanggaran hak konstitusional warga maupun HAM tidak terjadi melalui instrumen hukum perundangan. Melalui lembaga MK ini, sebuah muatan maupun keseluruhan undang-undang maupun perpu yang bertentangan dengan konstitusi dapat saja dibatalkan, yang berarti pula merupakan salah satu wujud perlindungan baik hak konstitusional maupun hak asasi manusia.

Sebagai penjaga konstitusi (the guardian of the constitution), MK juga diberikan kewenangan lain oleh UUD 1945 yakni untuk memutus sengketa kewenangaan konstitusional lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD32, memutus

pembubaran partai politik33, dan memutus perselisihan tentang

hasil pemilu34.

Selain empat kewenangan tadi, MK juga memiliki kewajiban konstitusional memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum atau tak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau wakil presiden35. MK

adalah peradilan tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final. Dalam konteks kewajibannya memutus pendapat DPR, Putusan MK adalah putusan hukum, yang oleh karenanya menghindarkan dari praktik ketatanegaraan masa lalu dimana

32Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 08/PMK/2006 Tentang

Pedoman Beracara Dalam Memutus Sengketa Kewenangan Konstitusional Lembaga Negara.

33Diatur lebih lanjut dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 12 Tahun 2008

Tentang Prosedur Beracara Dalam Pembubaran Partai Politik.

34Diatur Lebih Lanjut Dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 16 Tahun 2006

Tentang Pedoman Beracara Dalam Perselisihan Hasil Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah.

35Pasal 24 C ayat (2). Hukum acara terkait kewenangan ini telah diatur dalam Peraturan

(25)

pemberhentian presiden dilakukan dengan kekuatan politik.36

Cita negara madani dan demokratis nyata ada di dalam Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Idee mengenai masyarakat madani dan demokratis yang tertuang dalam Pembukaan bahkan dipertahankan untuk tidak dirubah manakala bangsa ini melakukan reformasi konstitusi. Amandemen konstitusi sejak 1999 bahkan menunjukkan komitmen kuat bangsa yang semakin mengkristal untuk hidup bernegara secara demokratis.

Jika Konstitusi adalah kesepakatan seluruh tumpah darah Indonesia, seharusnyalah konstitusi menjadi acuan, menjadi rujukan dalam setiap permasalahan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai suatu keputusan politik tertinggi bangsa Indonesai, konstitusi harus dijunjung tinggi dan dilaksanakan terutama sekali oleh para penyelenggara negara. Dengan demikian, penyelesaian masalah dengan cara-cara yang inkonstitusional tidak akan terjadi.

Konstitusi, tak terkecuali yang dimiliki oleh bangsa Indonesia pada dasarnya membatasi kekuasaan negara, suatu aturan dasar yang menjamin penikmatan hak dan kebebasan asasi manusia. Hal ini karena hanya dalam negara yang menganut paham kedauatan rakyat berdasarkan konstitusi sajalah akan diharapkan terpenuhinya hak-hak warga negara dan hak asasi manusia. Terpenuhinya hak dan kebebasan dasar manusia ini pada gilirannya akan membawa kepada kesejahteraan dan keadilan, suatu cita dari masyarakt madani.

Sebagai sebuah hukum dasar, konstitusi tentu terbuka untuk adanya perubahan sepanjang memang dikehendaki oleh rakyat. Adalah terpulang pada rakyat, sang pemilik kuasa, untuk

36Meski demikian patut diingat bahwa MK tidak berwenang memberhentikan seorang

(26)

menentukan way of life dalam kehidupan bernegara melalui saluran konstitusionalnya. Namun sekali konstitusi itu berlaku dan menjadi kesepakatan ia harus ditegakkan dan dijadikan rule of the game. Jika tidak, ia, konstitusi itu hanyalah hiasan belaka yang tidak pernah menemukan implementasi konkritnya.

(27)

2. SELAYANG PANDANG

LEMBAGA KEPRESIDENAN

A

mandemen UUD 1945 yang dilakukan oleh MPR sejak 1999 hingga 2002 menghasilkan perubahan yang signififikan terhadap hukum dasar penyelenggaraan kehidupan bernegara bangsa Indonesia. Perubahan konstitusi sebagai tuntutan gerakan reformasi menyempurnakan aturan dasar kehidupan bernegara agar lebih demokratis, transparan, berkeadilan, dan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan jaman. Disadari oleh segenap elemen pro reformasi bahwa segala penyimpangan kuasa di masa lalu terutama dalam kekuasaan rejim Orde Baru Soeharto dan Demokrasi Terpimpin Soekarno adalah disebabkan karena UUD yang menjadi pegangan penguasa memang memiliiki berbagai kelemahan mendasar.

(28)

Aturan Peralihan UUD 1945 sebelum perubahan rupanya tidak ditindaklanjuti sebagaimana seharusnya. Konstituante yang telah bersidang sejak 1956 dibubarkan oleh Soekarno sendiri dengan sebuah keputusan Presiden yang diberi nama Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Seterusnya sejak 5 Juli 1959, suatu titik mula era yang disebut sebagai Demokrasi Terpimpin, UUD 1945 disakralkan, seolah perubahannya adalah sesuatu yang haram. Rezim Orde Baru di bawah Presiden Soeharto melanggengkan pensakralan ini.

UUD 1945 yang mengandung banyak kelemahan dalam perjalanannya kemudian disadari adalah sumber dari korupsi, kolusi, dan nepotismem dan berbagai pelanggaran hak asasi manusia yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa, menyimpang dari tujuan didirikannya pemerintahan negara Indonesia. Oleh karenanya, gerakan reformasi yang berhasil memaksa Soeharto berhenti dari jabatan presiden segera ditindaklanjuti dengan agenda reformasi yang utama yakni amandemen UUD 1945. Perubahan UUD 1945 diarahkan kepada penyempurnaan, bukan kepada perubahan total, apalagi mengganti UUD 1945 dengan UUD yang sama sekali baru. Pembukaan UUD 1945 yang mengandung tujuan negara dan dasar negara Pancasila sendiri disepakati untuk tidak dirubah.

Begitu banyak pasal yang mengalami perubahan, dan berbagai lembaga negara juga mengalami perubahan kewenangan. Ada lembaga negara baru dan ada pula yang dihilangkan. Lembaga baru tersebut misalnya Komisi Yudisial dan Mahkamah Konstitusi. Adapun Dewan Pertimbangan Agung adalah lembaga negara yang dihilangkan dalam konstitusi kita.

(29)

ini secara singkat membahas mengenai lembaga kepresidenan menurut UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan. Bagaimana kewenangan dan hak konstitusional Presiden sebagaimana diatur oleh UUD 1945 sebelum dan sesudah perubahan konstitusi?

Menganut sistem pemerintahan presidensiil, Pasal 4 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan menurut undang-undang dasar. Pasal ini berkaitan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang dasar. Artinya, Presiden Republik Indonesia juga melaksanakan kedaulatan rakyat sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif. Presiden yang dalam melaksanakan kewajibannya didampingi oleh seorang Wakil Presiden ini disebut sebagai pemegang kekuasaan eksekutif, alias yang melaksanakan (execute) undang-undang. Tak seperti dalam Sistem Parlementer dimana eksekutif (perdana menteri) adalah bagian dari legislatif (parlemen), Presiden dalam sistem pemerintahan presidensial bukanlah bagian dari legislatif. Presiden terpisah dari parlemen.

(30)

Lebih jauh, jika ketentuan dalam Pasal 6A ayat (3) tersebut tak bisa dipenuhi, maka dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan pasangan yang memperoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai Presiden dan Wakil Presiden. Dari rumusan Pasal 6A ayat (2) dan (4) diketahui bahwa pemilihan Presiden disediakan untuk dua kali pemilihan. Pemilihan Presiden hanya berlangsung satu ronde jika ketentuan Pasal 6A ayat (3) terpenuhi. Jika tidak maka pemilihan akan terjadi dalam dua ronde.

Adapun mengenai syarat presiden juga mengalami perubahan dengan amandemen UUD. Pasal 6 UUD 1945 sebelum perubahan menentukan Presiden adalah orang Indonesia asli. Persoalan yang timbul adalah menentukan siapa yang dimaksud dengan orang Indonesia asli itu. Hal ini karena syarat ini tidak lagi mudah dipenuhi. Indonesia terdiri dari berbagai macam suku bangsa, dan seiring dengan perkembangan jaman dan arus globalisasi, terjadi percampuran ras di kalangan masyarakat Indonesia. Ada golongan Arab, Eropa, Asia, Jepang, dan lain-lainnya yang hidup di Indonesia. Sejarah sendiri menyatakan bahwa bangsa Indonesia adalah keturunan dari bangsa Yunan, yakni mereka yang sebelumnya mendiami China.

Karena ketidakpastian ini, maka dirubahlah syarat Presiden ini tidak kepada ras, namun kepada kewarganegaraan. Disebutkan dalam Pasal 6 ayat (1) bahwa Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia haruslah warga negara Indonesia sejak kelahirannya, dan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain karena kehendaknya sendiri, tidak pernah mengkhianati negara, serta mampu secara rohani dan jasmani untuk melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai Presiden dan Wakil Presiden.

(31)

menemukan makna pentingnya. Hal ini karena salah satu alasan bagi DPR untuk mengusulkan pemberhentian Presiden kepada MPR adalah dengan menyatakan pendapat bahwa seorang Presiden dan atau Wakil Presiden tak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil Presiden. Sebagai contoh, jika seorang Presiden menerima kewarganegaraan lain atas kehendak sendiri di dalam masa jabatannya, ia dapat diusulkan oleh DPR kepada MPR untuk diberhentikan. Tentu saja, usul pemberhentian ini harus melalui berbagai tahapan sebagaimana ditentukan oleh UUD 1945.

Kewenangan Presiden yang mengalami perubahan cukup berarti adalah soal kekuasaan membentuk Undang-undang. Sebelum perubahan, kekuasaan membentuk undang-undang ada pada tangan Presiden, yang didasarkan dahulunya karena anggapan bahwa Presiden memiliki tenaga ahli yang lebih dalam menyusun undang-undang. Kini, kekuasaan membentuk undang-undang ada pada Dewan Perwakilan Rakyat. Namun begitu, Presiden tetap berhak mengajukan Rancangan Undang-undang. Setiap RUU juga harus mendapat persetujuan bersama antara Presiden dan DPR. Dan sebuah RUU jika telah mendapat persetujuan bersama untuk berlakunya harus disahkan oleh Presiden. Walau demikian, sebuah RUU yang telah disetujui namun tidak mendapatkan pengesahan dari Presiden dalam waktu 30 hari, maka RUU itu berlaku menjadi undang-undang.

(32)

kekuasaan pemerintahan berulangkali berpotensi penyalahgunaan kuasa yang terbukti sepanjang kekuasaan Orde Baru. Oleh karenanya, guna menghindari terulangnya sejarah pahit negara ini, kini UUD 1945 telah dengan tegas menentukan bahwa jabatan presiden yang selama lima tahun itu dapat diduduki kembali hanya untuk satu periode.

Tulisan singkat di atas tentu saja tidak mencakup secara keseluruhan segala aspek mengenai lembaga kepresidenan menurut UUD 1945. Ada berbagai macam kewenangan lain yang dimiliki oleh Presiden seperti mengangkat duta dan konsul, menyatakan perang, memberi tanda jasa, dan lain-lain yang tak disingggung di sini. Namun pada intinya, segala macam kewenangan dan hak konstitusional Presiden itu dimiliki sesuai dengan konstitusi. Sudah barang tentu, berbagai aspirasi untuk menyempurnakan sistem presidensial terus berkembang di dalam masyarakat. Namun, aspirasi itu haruslah berada dalam koridor konstitusi. Mungkin saja kelak akan terjadi perubahan UUD 1945 yang memperluas atau bahkan mempersempit kewenangan Presiden. Hal demikian mungkin dan sah saja selama dikehendaki oleh seluruh rakyat melalui MPR sebagai satu-satunya lembaga yang berwenang untuk merubah dan menetapkan UUD.

(33)

3. INDEPENDENSI CALON

PERSEORANGAN DALAM PILKADA

(34)

Pertama, adalah benar bahwa dibukanya jalur perseorangan dalam pilkada membuat seorang calon kepala daerah tidak lagi harus dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol yang kerapkali menimbulkan hutang politik dan kompromi platform politik. Akan tetapi dibukanya jalur perseorangan juga tidak lantas menjadikan seorang calon yang melaju melalui di dalamnya samasekali bebas dari pengaruh, kepentingan, atau bahkan afiliasi dengan parpol. Putusan MK memang mengakhiri legitimasi privilege parpol dan atau gabungan parpol sebagai satu-satunya jalur sah bagi seorang warga negara untuk bertarung dalam pilkada, namun tidak menutup kemungkinan adanya seorang calon yang menempuh jalur perseorangan, padahal sebenarnya calon tersebut adalah utusan parpol atau setidaknya berafiliasi dengan parpol. Menyadari bahwa dirinya bukan lagi satu-satunya pintu masuk ke kursi kepala daerah, parpol tidak akan kekurangan akal untuk secara informal membina kadernya lewat jalur perseorangan. Dalam konteks ini, sesungguhnya parpol tetap memiliki posisi tawar yang tinggi sebagai sarana rekrutmen politik terkait dengan restu yang dimilikinya. Potensi parpol atau koalisi parpol dalam memobilisasi dukungan di tingkat akar rumput terhadap ‘calon bunglon’ dan konfigurasinya di parlemen lokal tak ayal akan tetap memaksa kepala daerah terpilih memberikan konsesi tertentu terhadap parpol jika nantinya terpilih.

(35)

suatu daerah pemilihan dapat mengumpulkan suara sebagaimana diinstruksikan, barulah ‘tanda terima kasih’ diberikan. Dalam kasus calon perseorangan yang maju adalah adalah ‘calon bunglon’ sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, politik uang akan mengalir ke dua arah; parpol dan voters.

Ketiga, dibukanya jalur perseorangan pada satu sisi amat positif untuk mereduksi peluang pemerasan parpol terhadap seorang calon, namun di sisi lain berpotensi menggeser aktor utama politik uang yakni tidak lagi parpol namun calon kepala daerah perseorangan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa ajang pilkada tak lepas dari keterlibatan tangan-tangan halus pemilik modal yang siap mendanai calon yang diprediksi akan friendly terhadap kepentingan bisnis mereka jika kelak terpilih. Jika selama ini kontak dan kontrak politik banyak dibina dengan parpol, kini para pemilik modal akan lebih leluasa untuk melakukan deal-deal tertentu dengan calon perseorangan. Sekali kontrak tercapai, komitmen dana tak terbatas yang disediakan oleh pemodal akan sangat membantu mengatasi keterbatasan calon perseorangan dalam mengatasi biaya politik yang harus ditanggungnya. Pada gilirannya jika calon perseorangan ini terpilih, komitmennya dalam menyelenggarakan pemerintahan menjadi tidak perlu dipertanyakan lagi alias sudah jelas; tidak berpihak pada yang tak berpunya, lemah, dan terpinggirkan.

(36)

penghitungan suara. Jejak rekam masing-masing calon harus diinventarisir dan disodorkan pada publik sehingga nantinya publik benar-benar mengetahui siapa calon yang akan dipilihnya.

Media massa sebagai wadah komunikasi sosial dituntut untuk mampu mengupas dan mengekspos jejak rekam seorang kandidat dan komitmennya terhadap pemerintahan yang bersih. Tugas ini tidak mudah, karena sosialisasi dan kampanye calon kepala daerah sudah dipastikan akan sangat memanfaatkan media lokal yang dalam perspektif bisnis dapat diterjemahkan sebagai peluang pemasukan yang besar di tengah persaingan ketat bisnis media. Di sini komitmen dan independensi media dalam menjalankan fungsi kontrol sosial benar-benar ditantang untuk tidak sekedar mengabdi pada kepentingan ekonomi sehingga justeru semata menjadi humas calon kepala daerah yang memiliki jejak rekam kelam.

Dengan kawalan dan pengawasan aktif masyarakat dan media, dihasilkannya kepala daerah yang memiliki komitmen kuat terhadap kepentingan rakyat dalam pilkada yang melibatkan calon perseorangan menjadi dapat diharapkan. Selain itu, jika pilkada yang melibatkan calon perseorangan nanpu menciptakan persaingan politik yang sehat dalam pemilu yang bersih dan jurdil, maka calon perseorangan dalam pilkada dapat menjadi menjadi model yang bisa diterapkan dalam pemilihan presiden yang setakat ini masih dalam tataran wacana. Namun jika calon perseorangan berikut segala asumsi dan mitos yang serba positif diterima begitu saja, maka putusan MK yang membuka kesempatan bagi calon perseorangan hanya akan memunculkan inovasi baru berkorupsi secara periodik dan bukannya menjadi alternatif segar bagi calon non-parpol dalam menjawab kebuntuan aspirasi yang selama ini dirasakan.

(37)

P

emerintah berasal dari persetujuan dari yang diperintah, demikian ajaran salah seorang pemikir liberalisme Barat John Locke (1632-1704) pada abad XVIII. Tidak saja membangkrutkan sistem pewarisan kepemimpinan politik patriarkis secara turun temurun yang pada masanya diakui sebagai yang tersahih, Locke pula mewanti bahwa barangsiapa penguasa yang kemudian terbukti tidak mampu, tidak mau, atau malahan ingkar kepada kewajiban asasinya melindungi hak dan kebebasan dasar rakyat, maka ketidakmauan, ketidakmampuan, dan keingkaran semacam itu merupakan pembenaran (justification) bagi rakyat untuk melengserkannya.

Memberi inspirasi pada Thomas Jefferson sang perumus Declaration of Independence (1776) di Amerika, pemikiran Locke mengilhami pula Rousseau (1712-1778) yang menyatakan bahwa kesepakatan masyarakat adalah dasar legitimasi kekuasaan diantara manusia (conventions form the basis of all legitimate authority among men). Karena eksistensi penguasa sesungguhnyalah berasal dari kesepakatan rakyat maka penguasa mempunyai tugas asasi melindungi hak dan kebebasan rakyat, sang pemilik kekuasaan

(38)

tertinggi. Pada saat yang bersamaan, sepanjang generasinya rakyat mempunyai hak untuk menerima atau menolak kekuasaan. Pada konstruksi pemikiran yang mendasari relasi normatif penguasa-rakyat inilah paham perjanjian masyarakat menemukan relevansinya untuk direnungkan kembali di tengah semakin hangatnya suhu politik Jawa Tengah menjelang serangkaian hajatan pemilihan kepala daerah (pilkada) yang akan digelar pada 2008 ini. Dalam berbagai kesempatan yang mendahului berbagai pemilihan pejabat publik di tanah air, beberapa kalangan masyarakat mencoba mentransformasi ajaran perjanjian masyarakat menjadi suatu perjanjian konkret hitam-putih lengkap dengan materainya dan atau kertas segel sebagaimana perjanjian/ kontrak yang kita kenal dalam kehidupan sehari-hari. Media memberitakan para calon kepala daerah yang ditantang partai politik atau sekelompok masyarakat untuk berani menandatangani perjanjian yang kemudian populer dengan istilah kontrak politik. Ide untuk merealisasikan perjanjian masyarakat ke dalam suatu perjanjian dengan format a la perjanjian perdata pula didukung dan dilontarkan beberapa pakar dan pengamat dengan maksud agar perjanjian tersebut lebih dapat lebih terjamin pemenuhannya secara hukum. Mereka yang menolak berargumen bahwa kewajiban untuk menandatangani kontrak seperti itu tidak diatur dalam hukum. Akan halnya mereka yang menyetujuinya lebih melihat pada spirit kontrak yang mengarah pada kebaikan yang telah menjadi common sense, tentu saja dengan segala skenario dan kalkulasi politik yang tak selalu diungkapkan.

(39)

dalam maknanya yang literal sebagai legal contract sebagaimana lazim dikenal dalam lapangan hukum keperdataan (private law). Kalaupun perjanjian semacam itu ada, maka ia tidak lantas serta merta dapat disebut sebagai manifestasi kesepakatan rakyat-penguasa dalam konteks rekrutmen kepala daerah. Keterlibatan segelintir orang/kelompok dalam masyarakat sebagai perumus dan pihak dalam kontrak/perjanjian dengan sendirinya akan merapuhkan klaimnya sebagai perjanjian masyarakat manakala kontrak semacam itu hendak diandaikan sebagai titik temu antara satu calon penguasa dengan rakyat secara keseluruhan.

Alih-alih memaknainya secara literal, tulisan ini hendak merekonstruksi ide perjanjian masyarakat sebagai sebuah proses berkesinambungan dalam pemerintahan demokrasi yang pada tatarannya yang lokal diawali melalui pilkada. Bagi warga, pilkada adalah momen untuk menimbang dan menentukan siapa diantara para calon kepala daerah yang pantas dijadikan pemimpin, calon mana diyakini bersedia mengabdikan dirinya untuk mensejahterakan warga dan tak hendak mengambil untung dari jabatan yang akan diembannya. Bagi para calon, rangkaian pilkada adalah momen untuk meyakinkan warga bahwa merekalah pihak yang paling tepat untuk dipilih karena kapabilitas, kapasitas, dan komitmennya untuk memenuhi apa yang menjadi aspirasi warga. Manakala sebagian besar warga menjatuhkan pilihannya pada calon tertentu, pada saat itulah sebenarnya terjadi pertemuan kehendak antara warga dan calon, suatu kontrak sosial yang meneguhtegaskan paham kedaulatan rakyat.

(40)

memastikan bahwa sang kepala daerah tidak melenceng dari apa yang pernah diperjanjikannya dalam kontrak yang telah disetujui warga. Sementara itu warga tetap memiliki hak untuk melakukan kontrol terhadap kekuasaan melalui media massa dan unjuk rasa; sesuatu yang menjadi ciri suatu pemerintahan konstitusional dimana kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan pendapat dijamin kukuh dalam hukum dasar (constitution).

Hasil penilaian warga akan menentukan keberlangsungan kontrak kepala daerah dan warga. Jika prestasinya dalam memenuhi kontrak memuaskan, bisa jadi seorang kepala daerah akan dipercaya kembali dalam pemilihan berikutnya. Jika tidak, warga akan meninggalkannya dan mencari alternatif pemimpin baru sebagai gantinya. Bahkan jika seorang kepala daerah nyata-nyata mengingkari kewajibannya sebelum masa kepemimpinannya usai, ia akan dianggap menyalahi kontrak yang dapat mengakibatkan batalnya kontrak tersebut dan diberhentikannya ia dari jabatannya sebagai kepala daerah.

Dalam konteks hajatan pilkada yang akan mewarnai Jawa Tengah pada 2008 ini, menjadi penting untuk menginsyafi hakekat pilkada sebagai perjanjian masyarakat sebagaimana diuraikan di atas, sehingga warga tidak sesat dalam memilih tawaran kontrak dari para calon kepala daerah yang hendak disetujuinya. Informasi, track record, maupun kritik tentang para calon berikut tawaran kontraknya perlu seluas-luasnya dibuka dan diwacanakan, sesuatu yang menuntut peran aktif nan sinergis warga yang berkesadaran dan media yang pro publik. Dengan demikian masyarakat tidak akan mudah terbujuk untuk memilih kepala daerah yang tawaran kontraknya tak lebih dari sekedar jargon dan pepesan kosong dan tak dapat diharapkan mampu memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi warga.

(41)

5. MEWUJUDKAN POLRI YANG

DIMILIKI, DICINTAI, DAN

DIBANGGAKAN MASYARAKAT

D

imanakah Polisi ketika lampu lalu lintas mati di Purwokerto akhir-akhir ini? 085625786xx

(42)

Pada suatu haridi paruh akhir 2007, di sebuah titik di tengah sebuah kota di Jawa Tengah, sebuah bus Antar Kota Antar Propinsi (AKAP) berhenti di tempat di mana jelas-jelas terpasang tanda larangan berhenti. Tentu saja bus tersebut bukanlah yang pertama kali berhenti dan mencari penumpang di sana. Ada puluhan busyang melakukan halyang sama setiap harinya dari pagi, petang hingga larut malam. Dari arah Purwokerto, puluhan bus baik besar maupun kecil berlomba mempertaruhkan keselamatan diri maupun orang lainberkejaran mencapaitempat itu terlebih dahulu. Tujuannya satu; meraup penumpang yang begitu banyak menunggu di situ. Tempat itu memang dikenal sebagai terminal bayangan, karena memang sesungguhnya ia tak diperuntukkan untuk menaikkan maupun menurunkan penumpang. Badan jalan yang sempit membuat laju kendaraan lain terhambat karena separuh badan jalan dipakai oleh bus-bus berbadan besar yang berhenti di sana.

Tak jauh dari tanda larangan dimana bus itu berhenti, terdapat pos polisiwalau tak terlihat karena tertutup jalan menikung. Polisi tak selalu mengawasi daerah itu, dan oleh karenanya tak heran jika para pengemudi selalu membandel menghentikan kendaraannya di terminal bayangan itu. Namunhari itu bukan hari yang baik bagi sang pengemudi bus AKAP dan awaknya. Seorang polisi muda, berbadan besar tegap menghampiri ketika bus tengah diparkir tepat di depan tanda larangan berhenti. Polisi itu menegur sopir. Nada bicaranya tinggi, murka kepada seorang yang seusia dengan ayahnya sendiri.

(43)

menuju ke pos. Surat-surat kendaraan ia bawa. Sampai di sini, seluruh penumpang bergumam. Gumam yang satu menyatakan: “paling-paling minta duit”. Gumam yang lain “kasih uang aja, nanti kan selesai.” Berbagai gumam para penumpang bukannya tanpa dasar. Pengalaman membimbing mereka kepada cara pikir seperti itu. Dan setiap mata penumpang kembali mengawasi dari dalam bis AKAP tersebut, ada yang melongokkan kepalanya, dan beberapa bahkan ikut turun menyaksikan jalannya peristiwa.

(44)

karena belakangan diketahui setelah diperiksa surat-suratnya, ternyata SIM yang ia miliki sudah lampau waktu. Pada sang polisi keduanya memohon maaf dan kebijakan atas kesalahannya. Walaupun kemarahannya kemudian bertambah karena usaha penyuapan, polisi muda itu kemudian kemudian mempersilakan sopir dan kondektur melanjutkan perjalanan setelah mencatat nama dan nomor kendaraan bus itu serta mengancam jika suatu saat terbukti membandel lagi ia akan mengambil tindakan tegas. Semua penumpang yang menyaksikan peristiwa itu menarik nafas lega karena permasalahan bisa diselesaikan. Tak henti-henti para penumpang memuji sang polisi muda, kendati bus telah semakin jauh berlalu meninggalkan tempat itu. Peristiwa itu, kejadian singkat itu memang hanya sebuah peristiwa kecil, namun begitu membekas di benak mereka yang menyaksikantermasuk saya, salah satu penumpang bus AKAP tersebut.

(45)

benak bahwa semua polisi berperilaku tidak profesional dan tidak bersih dari KKN. Sisi kelemahan sang polisi muda tertutup dengan profesionalitas yang ditunjukannya. Tidak ada satu penumpangpun yang memprotes tindakannya memarahi sopir dan kondektur. Sebaliknya semua orang memuji sang polisi muda tadi. Sosok polisi muda yang tak mau menerima uang suap itu seolah sosok yang selama ini dirindukan kehadirannya yang selama ini dinanti-nanti.

Dari kasus di atas menarik dipertanyakan adalah mengapa ada polisi yang mampu menjaga profesionalisme dengan tidak menerima suap seperti sang polisi muda tadi, dan mengapa ada kalanya banyak polisi yang justeru mengambil kesempatan untuk keuntungannya sendiri? Tulisan ini meyakini setidaknya ada tiga (3) faktor yang berperan dalam menentukan profesionalisme seorang polisi.

(46)

untuk mengembalikan modal yang telah digunakannya secepat mungkin. Memasuki dunia kepolisian bagi polisi yang memasuki karir melalui cara demikian menjadi tak ubahnya memasuki dunia dagang. Ini tentu bukan sesuatu yang baik, karena polisi bekerja bukan berdasar logika untung rugi, akan tetapi tugas dan tanggung jawab sesuai dengan Visi Misinya.

Kedua, adalah faktor keteladanan. Pendidikan dan latihan di bidang kepolisian telah dirancang sedemikian rupa untuk membentuk seorang warga negara menjadi polisi yangmampu menjalankan tugasnya sebagai abdi masyarakat. Namun demikian, apa yang sudah diterima dalam tahap pendidikan dan latihan itu tidaklah dengan serta merta akan membentuk karakter seorang polisi yang diidealkan. Seorang polisi terikat oleh hirarki komando yang ketat. Dalam konteks relasi bawahan dan atasan ini,keteladanan memegang peranan penting dalam pembentukan watak seorang polisi. Jika sang atasan tak mampu memberikan teladan yang baik, ia akan ditiru oleh anak buah, atau setidaknya menjadi justifikasi bagi polisi muda bahwa senior mereka pun melakukan hal yang sama. Masyarakat mempunyai caranya sendiri yang unik untuk mengidentifikasi profesionalisme polisi terkait dengan keteladanan ini. Manakala terjadi pergantian pimpinan namun penyakit masyarakat seperti judi, miras dan prostitusi tetap marak, masyarakat akan menyimpulkan bahwa jajaran pimpinan di kepolisian pastilah bermain mata dengan pelaku penyakit masyarakat. Namun sebaliknya jika penyakit masyarakat tidak banyak berkembang atau setidaknya dapat diminimalisir akan disimpulkan bahwa pimpinan polisi pastilah mempunyai profesionalitas yang tinggi.

(47)

Pemberian sanksi tentunya disesuaikan dengan berat ringannya kesalahan dan memperhatikan tujuan pemberian sanksi, yakni efek jera bagi yang melanggar maupun sebagai peringatan bagi anggota polisi yang lain. Kejadian dimana polisi mengonsumsi narkoba, perselingkuhan dua (2) Kapolsek sebagaimana terjadi di Sleman, Yogyakarta, bahkan polisi menjadi otak kriminalitas sebagaimana terjadi di Surabaya dimana polisi menjadi otak uang palsu (Antara, 15 Juni 2008) ditengarai karena selama ini tidak ada penegakan disiplin yang memadai. Berkaitan dengan disiplin, polisi tidak bisa melepaskan diri dari partisipasi masyarakat. Pengaduan masyarakat harus dibuka sehingga pengawasan tidak saja bersifat internal, melainkan eksternal.·

Sebagai suatu institusi penegak hukum dalamnegara yang demokratik, lembaga kepolisian termasuk jajaran Polwil Banyumas dituntut untuk terus menegaskan dirinya sebagai abdi masyarakat. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan mutu pelayanan kepada masyarakat, memperluas partisipasi masyarakat, dan meningkatkan akuntabilitas terhadap publik. Untuk meningkatkan kinerja dan profesionalisme terkait mutu pelayanan, pembenahan dalam hal rekrutmen dan pengawasan mutlak dilakukan. Dalam hal rekrutmen, perlulah diperhatikan hak atas akses yang sama dari warga negara untuk memasuki sektor pelayanan publik (right of equal access to public service). Sebagaimana ditegaskan oleh High Commissioner for Human Rights (1997), rekrutmen tidak boleh melibatkan pembedaan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin dan agama. Komisioner Tinggi HAM PBB juga menyatakan bahwa dalam rekrutmen polisi, satu-satunya hal yang menjadi pertimbangan haruslah kualitas dan kualifikasi calon polisi dan jumlah lowongan yang tersedia.

(48)

disiplin anggota. Ini akan menjadi penyelaras dan penyeimbang pengawasan dalam rangka penegakan disiplin yangyang internal sifatnya. Polisi harus terbuka dengan pengaduan masyarakat dan menghilangkan kesan bahwa kepolisian adalah suatu lembaga yang menyeramkan yang tidak bisa dikritisi.

Polisi juga harus memiliki sikap proaktif (proactive policing) dalam menghadapi situasi kamtibmas tertentu. Pengamatan penulis, setelah dimuatnya SMS warga di Harian Kompas Edisi Jawa Tengah pada hari Sabtu 14 Juni 2008 yang mengeluhkan ketiadaan polisi di berbagai persimpangan jalan, baru pada hari Senin 16 Juni 2008 terlihat polisi yang berjaga dan mengatur lalu lintas di seputar kota Purwokerto. Bahwa polisi berjaga ketika lampu lalu lintas mati adalah sesuatu yang patut kita apresiasi, namun disayangkan bahwa tindakan polisi yang mengatur lalu lintas ketika listrik padam lebih terkesan sebagai tindakan yang reaktif, yakni setelah adanya kritik masyarakat melalui media massa terlebih dahulu. Bukankah sudah sangat jelas bahwa ketiadaan lampu lalu lintas berpotensi menimbulkan ketidaktertiban dan seharusnya polisi proaktif berjaga di persimpangan jalan sebagaimana dilakukan ketika situasi normal?

(49)

dengan polisi baik yang terkait dengan kamtibmas maupun yang pengaduan masih harus dilakukan secara konvensional. Ini tentunya tidak menguntungkan karena warga masyarakat menemui kesukaran untuk mengakses informasi atau bahkan memberi informasi yang bisa jadi amat berguna bagi polisi itu sendiri. Di era keterbukaan ini hal tersebut nampaknya sudah tak lagi relevan dan sudah semestinya segera dilakukan perbaikan.

Pada akhirnya, bagaimanapun masyarakat mengharapkan polisi yang semakin profesional dan mumpuni dalam melaksanakan tugasnya. Telah disadari bahwa sebagai salah satu pilar penegakan hukum, polisi tidaklah dapat berdiri dan bekerja sendiri, namun akan senantiasa membutuhkan peran serta masyarakat. Oleh karenanya, polisi, khususnya Polwil Banyumas tidak saja harus terus menjaga hubungan dengan masyarakat sebagai basis dari kinerja yang optimal, akan tetapi membuka akses yang seluas-luasnya bagi keikutsertaan warga masyarakat. Hanya dengan keterbukaan dan dan paradigma sebagai pelayan masyarakatlah Polisi akan selalu dimiliki, dicintai, dan dibanggakan oleh masyarakat. Selamat Ulang Tahun!

(50)

P

ujiono Cahyo Widianto yang luas dikenal sebagai Syeh Puji akhirnya divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Semarang (SM 25/11). Dijatuhi pidana penjara selama 4 tahun dan denda 60 juta rupiah karena persetubuhan dengan anak di bawah umur sebagaimana termaktub dalam Pasal 81 UU No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, putusan tersebut seolah angin sejuk bagi perlindungan anak di Indonesia. Setelah melalui proses pro justitia yang penuh lika liku yang diwarnai ulah kontroversial Pujiono yang membuat penjara nikah siri di kompleks tempat tinggalnya, putusan tersebut menegaskan bahwa apa yang dilakukan pengusaha asal Bedono, Semarang tersebut adalah perbuatan melawan hukum. Tulisan ini menelaah secara singkat penjatuhan pidana tersebut dari perspektif hukum hak asasi manusia.

Sebagaimana diketahui, dalam berbagai kesempatan Pujiono berusaha menunjukkan bahwa pernikahannya dengan Ulfa tidaklah diwarnai dengan unsur paksaan. Puji bahkan pernah mendalilkan bahwa perkawinannya dengan Ulfa adalah bagian dari ibadah, statement mana sontak mendapat tentangan dari

(51)

kalangan muslim (antara lain pada waktu itu Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi serta cendekiawan Jalaluddin Rahmat). Namun demikian, tak urung klaim Pujianto tersebut menarik untuk dikaji: jika beribadah adalah salah satu hak dasar manusia, dan jika perkawinan diklaim sebagai bagian dari ibadah, adakah justifikasi bagi negara untuk membatasi penikmatannya dengan mengenakan pidana? Ataukah sebaliknya; hak beribadah bersifat mutlak sehingga tiada mengenal pembatasan sehingga seharusnya ia tak perlu dijatuhi pidana?

Menyatakan agama (to manifest religion) atau yang kita kenal sebagai beribadah adalah hak yang diakui tegas dalam berbagai instrumen HAM baik internasional maupun nasional. Pasal 18 Universal Declaration of Human Rights (UDHR), Pasal 18 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), dan Pasal 1 ayat (1) Declaration on The Elimination of All Forms of Intolerance and Discrimination Based on Religion and Belief mengakui hak ini sebagai hak setiap orang. Pada level domestik, pengakuan yang sama diberikan pula oleh Pasal 29 ayat (2) UUD 1945 (Amandemen) serta Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tentang Hak Asasi Manusia.

(52)

hanya dapat dilakukan dengan hukum dan memang diperlukan untuk melindungi keselamatan, kesehatan, ketertiban, dan moralitas publik atau hak serta kebebasan dasar orang lain. Lebih jauh, baik Deklarasi HAM 1948 maupun ICCPR secara umum menyatakan bahwa dalam menikmati hak dan kebebasannya, setiap orang tunduk pada pembatasan oleh hukum.

Dikaitkan dengan kasus Syeh Puji, perkawinan dengan anak di bawah umur meski dilakukan dengan alasan ibadah dan di luar hukum negara (nikah siri) tak lagi menjadi urusan privat apalagi menutup peluang intervensi oleh negara. Telah menjadi kewajiban pemerintah dan masyarakat sesuai Pasal 66 dan Pasal 72 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang tereksploitasi secara ekonomi dan atau seksual. Oleh karenanya dalam konteks kasus perkawinan dengan anak di bawah umur yang dilakukan Pujiono, klaim bahwa tiada keterpaksaan dari Ulfa tidak lantas menjadi alasan yang membenarkan (justification) atas apa yang dilakukan Pujianto.

Adalah kewajiban negara untuk memastikan bahwa seorang anak mendapatkan bekal edukasi yang cukup dan mencapai tingkat kematangan jasmani rohani dan untuk mengembangkan diri. Tak saja harus melakukan upaya legislatif, administratif dan sosial sebagaimana ditentukan oleh Pasal 19 Convention on The Rights of The Child, negara juga harus melakukan upaya perlindungan dan pencegahan agar peristiwa yang dapat merugikan anak tidak terjadi dan atau terulang. Tak kalah penting adalah perlindungan khusus mestilah diberikan kepada anak demi memulihkan kesehatan fisik maupun psikologisnya yang bisa jadi terganggu akibat peristiwa ini.

(53)

orang dalam jurisdiksi NKRI tanpa diskriminasi. Pula banding terhadap putusan PN Semarang yang diajukannya adalah haknya sebagai warga Negara yang dijamin oleh konstitusi guna mencari keadilan yang sebenar-benarnya. Namun terlepas dari itu, kasus yang mencuat dari Desa Bedono Kecamatan Jambu Kabupaten Semarang di atas memunculkan spekulasi bahwa perkawinan di bawah umur seperti yang menimpa diri Lutfiana Ulfa sesungguhnya sesuatu yang marak terjadi di negeri ini. Kondisi sosial, ekonomi, pendidikan, bahkan penyimpangan seksual kerap disinyalir sebagai faktor penyebab, sementara dispensasi yang dimungkinkan dengan UU Perkawinan menjadi modus untuk melegitimasi eksploitasi seksual maupun ekonomi atas diri anak yang pada gilirannya membawa pada kondisi terlanggarnya hak konstitusional anak. Sosialisasi instrumen hukum yang melindungi hak dan kepentingan anak tak pelak menemukan relevansinya untuk dilakukan tidak saja terhadap masyarakat, namun juga terhadap aparat birokrasi terutama yang berada di level bawah yang berhadapan langsung dengan masyarakat.

(54)

7. HAK HIDUP SEBAGAI

HAK ASASI MANUSIA

S

alah satu muatan UUD 1945 hasil perubahan yang membedakannya dengan UUD sebelum perubahan adalah klausul mengenai Hak Asasi Manusia. Tercantum dalam Bab tersendiri yakni Bab XA, UUD 1945 terbilang sebagai Konstitusi yang demokratis dan berpaham kedaulatan rakyat. Setelah Konstitusi RIS 1949, Indonesia kembali memiliki suatu hukum dasar yang bermuatan pengakuan HAM dengan cukup komprehensif. Jaminan dan pengakuan HAM ini meneguhkan Indonesia sebagai Negara demokrasi konstitusional, dimana hak dan kebebasan warga Negara dijamin akan dihormati, dilindungi, dipenuhi, dan dimajukan oleh Negara. Bahwa kewenangan negara atas hak dan kebebasan warga dan setiap orang di dalam jurisdiksinya tidak lantas menjadi pembenar dilanggarnya hak dan kebebasan dasar manusia. Hak dan kebebasan itu dapatlah dibatasi, akan tetapi bukan karena kekuasaan, melainkan dengan hukum.

(55)

yang dimaksud adalah Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan bahwa hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut berdasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun. Tulisan ini secara khusus hendak membahas mengenai hak hidup sebagai hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun tersebut dan pengaturannya dalam konstitusi Indonesia. Secara singkat akan dibahas mengenai apa yang dmaksud dengan hak hidup ini sekaligus perdebatan klasik mengenai hak hidup dalam diskursus hak asasi manusia.

Mengkaji Pasal 28I UUD 1945, tak akan dapat dilepaskan dari perjanjian internasional HAM yang mengatur mengenai non-derogable rights, alias hak yang tidak dapat dikurangkan dalam keadaan apapun juga. Ketentuan ini dalam hukum internasional dikenal melalui rejim Pasal 4 ayat (1) International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) Secara ringkas disana disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu, negara peserta ICCPR dapat menunda maupun mengurangi penikmatan hak-hak yang ada di dalam ICCPR. Keadaan yang dimaksud oleh Pasal 4 ayat (1) itu adalah ketika negara dalam keadaan darurat, keadaan mana harus dilaporkan oleh negara yang bermaksud melakukan penundaan itu pada semua negara pihak ICCPR melalui Sekretaris Jenderal PBB. Tidak semua keadaan genting dapat menjadi pembenar adanya penundaan atau pengurangan HAM. Hanyalah jika memang dikehendaki oleh keadaan, maka sutu hak tertentu bisa dikurangi penikmatannya.

(56)

ialah sebagaimana dicantumkan dalam beberapa pasal dalam ICCPR yang mengatur mengenai right to life, hak untuk tidak disiksa, tidak diperlakukan kejam dan merendahkan, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk tidak dipenjara hanya karena ketidakmampuan memenuhi kontrak, hak untuk tidak dipidana berdasarkan hukum yang berlaku surut, hak atas pengakuan di muka hukum, dan hak berkeyakinan dan beragama.

Rumusan UUD 1945 dalam hal ini Pasal 28I ayat (1) dalam hal ini memiliki semangat yang sama dengan ICCPR. Bahwa dalam prinsipnya terdapa beberapa hak dan kebebasan asasi manusia yang dapat dibatasi, bahkan ditunda dikurangi penikmatannya dalam keadaan-keadaan tertentu. Namun begitu, ada beberapa hak yang terbilang sebagai hak yang tak dapat dikurangi penikmatannya dalam keadaan apapun. Pengurangan mana akan mendapat stigma sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Kendati terdapat perbedaan di sana sini antara UUD 1945 dan ICCPR (misalnya dengan tidak dinyatakannya oleh UUD 1945 hak untuk tidak diperlakukan maupun dihukum secara kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan sebagai hak yang tak dapat dikurangkan dalam keadaan apapun) namun hak hidup adalah hak yang sama-sama dinyatakan dalam kedua instrumen sebagai hak yang terbilang sebagai non-derogable right.

Referensi

Dokumen terkait

Untuk meningkatkan kualitas serta kuantitas pariwisata Indonesia, diperlukan adanya akselerasi pengembangan destinasi pariwisata di daerah, untuk kemudian ditetapkan

Sehingga adanya bencana alam seperti abrasi ini merupakan salah satu bukti bahwa proses pelaksanaan Peraturan Daerah Nomor 11 Tahun 2012 tentang Pengendalian Pencemaran

Mengacu pada Perda Kota Malang Nomor 4 Tahun 2011 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Malang Tahun 2010- 2030 Pasal 50 ayat 1 yang berbunyi “kegiatan perdagangan skala besar

Ia juga menambah maklumat sejarah terutama mengenai Mat Kilau yang selama ini kebanyakan para penulis tidak menyebut peranan guru dan ayah angkatnya Haji Uthman bin

Abstrak , Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menguji hipotesis mengenai pengaruh kecerdasan numerik dan konsep matematika terhadap kemampuan

Dalam hal ini adalah cara-cara yang dilakukan oleh guru atau dosen dan peserta didik dalam hal ini adalah siswa maupun mahasiswa dalam melaksanakan kegiatan

Jadi, pengaruh perhatian siswa dalam pembelajaran terhadap prestasi belajar Matematika adalah pengaruh kegiatan atau aktivitas siswa yang dilakukan di dalam