• Tidak ada hasil yang ditemukan

Identitas Kewartawanan, Relasi Wartawan-Media, dan Impaknya Terhadap Perlindungan Wartawan

Dalam dokumen Konstitus ionalisme Dalam Dinamika Negara (Halaman 125-130)

HAK ASASI MANUSIA

3) Identitas Kewartawanan, Relasi Wartawan-Media, dan Impaknya Terhadap Perlindungan Wartawan

Selain pada akhirnya terpulang pada ‘kebaikan hati’ perusahaan pers, derajat perlindungan hukum terhadap wartawan juga erat kaitannya dengan identitas kewartawanan seseorang dan hubungan hukum seorang wartawan dan perusahaan media. Pasal 1 butir 4 UU Pers menyebutkan bahwa wartawan adalah orang yang teratur melakukan kegiatan jurnalistik.

Dari ketentuan tersebut dapatlah disimpulkan bahwa mereka yang tidak terbilang sebagai wartawan tidak akan mendapat perlindungan sebagai wartawan. Perdebatan kemudian muncul, mempersoalkan siapa yang dimaksud dengan wartawan dan siapa yang bukan wartawan?

Tentu saja perdebatan ini bukannya tak penting terkait dengan hak dan kewajiban sebagai wartawan, terlebih jika dikaitkan dengan perkembangan teknologi informasi yang berimpak pula pada dunia jurnalistik dengan fenomena seperti citizen journalism

dan blog journalism yang melahirkan citizen journalist dan blog journalist. Apakah mereka juga diakui sebagai wartawan dan oleh kemudian akan terlindungi atau tidak? Tak berpretensi memberi jawaban, tulisan ini skeptis bahwa fenomena tersebut telah disadari sebagai permasalahan dalam kewartawanan yang memerlukan perhatian serius.

Permasalahan lain yang tak kalah menarik untuk dikemukakan adalah bahwa kendati tidak diatur/dijumpai dalam UU Pers, dalam praktik jurnalistik di Indonesia dikenal pula wartawan koresponden dan pula wartawan lepas, yang mana keduanya kerap tidak mendapatkan hak-hak seperti wartawan tetap.

Lebih jauh, tulisan ini mensinyalir adanya pergeseran status dan kedudukan hukum wartawan koresponden dari yang semula bekerja secara kontrak terus menerus menjadi pekerja yang bekerja secara outsourcing sebagaimana dikenal dalam Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Sudah barang tentu, outsourcing ini merugikan wartawan koresponden karena tak mempunyai kepastian hukum akan hubungan hukum perburuhannya dengan perusahaan media yang mempekerjakannya. Dikatakan demikian, karena tidak ada lagi hubungan hukum berupa hubungan kerja sebagaimana diatur dalam Pasal 50 UU Ketenagakerjaan. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa hubungan kerja terbit oleh karena adanya perjanjian kerja, sedangkan wartawan koresponden pada banyak kasus kini terikat oleh perjanjian kerjasama yang berkaitan dengan pekerjaan outsourcing.15

Pergeseran status dari wartawan kontrak yang bekerja terus menerus menjadi wartawan outsorcing adalah dengan cara mengajukan surat penawaran dan surat perjanjian kerjasama

15Adanya pro kontra terhadap pengaturan outsourcing di dalam Undang-undang

Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak menyurutkan pembentuk undang- undang untuk mengatur mengenai masalah outsourcing. Hal tersebut dikarenakan sebelum berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, lebih banyak terjadi penyelewengan hukum dalam mengatur hubungan kerja dan syarat kerja antara perusahaan outsourcing dengan pekerja. Berlakunya Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang berupaya melindungi pekerja dari ketidakpastian hukum dalam hubungan kerja antara pekerja dengan perusahaan outsourcing tetap tidak menghentikan masalah pekerja outsourcing, bahkan di satu sisi semakin menjadi pilihan pengusaha untuk mengatur hubungan kerja dengan pekerja outsourcing dengan alasan efisiensi biaya, waktu dan tenaga bagi pengusaha.

penyedia jasa berita. Tujuannya jelas: menghindari larangan UU Ketenagakerjaan mengenai perjanjian kerja waktu tertentu yang terus menerus diulang. Bentuk surat penawaran dan perjanjian kerjasama yang ada pada wartawan koresponden bukan dalam ruang lingkup perjanjian kerja seperti yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan, melainkan perjanjian perdata biasa yang sifatnya mengatur kontrak kerja sama. Oleh karenanya secara hukum ketenagakerjaan, wartawan koresponden tidak dilindungi sebagai seorang buruh atau pekerja karena memang tidak ada hubungan hukum berupa hubungan kerja (Pasal 50 UU No. 13/2003 Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa hubungan kerja terbit karena adanya perjaniian kerja).

Dipandang dari Pasal 64-66 UU Ketenagakerjaan, profesi wartawan tentu tidak dapat dioutsourcekan. Akan tetapi kalau dicermati lebih lanjut hampir semua pekerjaan sekarang dioutsourcekan walaupun berhubungan dengan pekerjaan pokok. Dalih hukumnya adalah semua pekerjaan selalu berhubungan dengan pekerjaan pokok, akan tetapi masalahnya kemudian ada banyak pekerjaan ‘yang tidak pokok’ dapat dialihkan menjadi pekerjaan yang dapat di-outsource-kan. Jadi pekerjaan wartawan koresponden memang pekerjaan yang dapat dioutsourcekan kalau mengacu pada pemahaman di atas. Namun, seperti yang diatur dalam undang-undang, pekerjaan outsourcing tidak dapat berlangsung terus menerus, sama seperti perjanjian kontrak kerja pada umumnya paling lama berlangsung 3 tahun dan dapat diperbaharui untuk 2 tahun berikutnya. Sebab apabila melebihi waktu yang diatur tersebut, pekerjaan dapat beralih menjadi pekerjaan tetap dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu. Penyelundupan hukum selalu dapat terjadi dalam hal ini karena pengusaha dapat melakukan ‘perjanjian kerja baru’ untuk pekerja dan pekerjaan yang sama secara berulang-ulang dan undang- undang pun tidak mengatur pelanggaran terhadap hal ini.

II. KESIMPULAN

Tulisan ini meyakini bahwa jika hingga kini masih banyak wartawan yang menjadi korban kekerasan maupun mendapat celaka ketika bertugas di daerah bencana maupun konflik, hal itu semata bukan karena sebagai akibat dari konflik atau sekedar takdir illahiah, namun pula karena perundangan yang belum memihak wartawan maupun masih kabur dalam mengatur profesi wartawan. Jurnalis yang tewas seperti kontributor Sun TV yang tewas di Tual Maluku, maupun mereka yang tewas ketika meliput tragedi kapal Levina akan terus terjadi, setidaknya tak terkurangi kalau hukum tak memberikan perlindungan yang kuat dengan menjamin hak wartawan dan juga status hukum pekerja pers. Kriminalisasi terhadap wartawan juga akan terus terjadi seandainya dunia peradilan di Indonesia tidak mengakui bahwa UU Pers merupakan Lex Speciali, yang oleh karenanya penyelesaian sengketa pemberitaan mestinyalah diselesaikan melalui prosedur yang dikenal dalam dunia jurnalistik, dan bukannya pendekatan hukum pidana.

III. PENUTUP

Tulisan ini meyakini bahwa perlindungan hukum yang dijanjikan kepada wartawan dalam UU Pers memerlukan masih memerlukan penyempurnaan dan peningkatan. Standar perlindungan wartawan yang kini telah tertuang dalam Peraturan Dewan Pers misalnya, semestinyalah dapat dijadikan muatan dalam UU Pers. Demikian juga mendesak kiranya agar revisi UU Pers kelak tegas menggarisbawahi bahwa wartawan adalah pekerja, sehingga celah hukum dengan mengoutsource-kan wartawan yang sedikit banyak berdampak pada perlindungan hukum akan dapat diminimalisir.

Makalah disampaikan dalam Konferensi Nasional Hak Asasi Manusia diselenggarakan oleh Pusat Studi Hak Asasi Manusia Universitas Surabaya (Pusham-UBAYA) Bekerjasama dengan Serikat Pengajar Hak Asasi Manusia (SEPAHAM), di Surabaya, 20-22 September 2011

21. GERAKAN MAHASISWA

Dalam dokumen Konstitus ionalisme Dalam Dinamika Negara (Halaman 125-130)