534
POTRET PERTUKARAN SOSIAL DI PEDESAAN : STUDI KASUS TERHADAP GANTANGAN DI TIGA DESA MISKIN DI KABUPATEN SUBANG
Yanu Endar Prasetyo1, Titik Sumarti2, Nuraini W. Prasodjo2 dan Akmadi Abbas1 1Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
2
Institut Pertanian Bogor (IPB) e-mail : yanuendar@yahoo.com
ABSTRAK
Gantangan merupakan modal sosial yang terbangun dari kebiasaan dan tradisi lokal di pedesaan Subang, Jawa Barat. Melalui pertukaran sosial Gantangan ini kita dapat melihat bagaimana resiprositas murni (hubungan timbal balik) di pedesaan yang bertransformasi menjadi resiprositas seimbang (balanced reciprocity), pertukaran sosial (social exchange) dan komersialisasi sosial. Pertukaran beras dan uang yang tercatat dalam pesta hajatan Gantangan di pedesaan Subang ini merefleksikan perubahan nilai dan norma dalam masyarakat pedesaan menjadi semakin individualistik dan kontraktual. Studi ini mencoba untuk melihat dan menggambarkan perubahan pola pertukaran Gantangan di tiga desa miskin yang memiliki karakteristik demografi dan agro-ekologi berbeda di Kabupaten Subang, yaitu di desa di daerah pesisir (Subang Utara), dataran rendah/pertanian padi (Subang tengah) dan desa di daerah pegunungan-perbukitan (Subang Selatan). Hasil dari penelitian ini menemukan adanya tiga tipe atau bentuk pertukaran Gantangan yang eksis di tengah masyarakat, yaitu tipe nyambungan, gintingan dan golongan. Laju komersialisasi sosial berlangsung dalam beberapa fase, yaitu komodifikasi tradisi sosial dan munculnya para pemburu rente dalam struktur pertukaran Gantangan ini. Harapan dari studi ini adalah bagaimana agar berbagai intervensi yang dimaksudkan sebagai upaya penanggulangan kemiskinan dapat memahami fenomena pertukaran sosial ini dan menjadikannya sebagai basis dari pengambilan keputusan dalam kegiatan pemberdayaan maupun penanggulangan kemiskinan di pedesaan.
Kata kunci : Gantangan, Pertukaran Sosial, Kemiskinan, Pedesaan, Subang
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masyarakat di pedesaan Subang, Jawa Barat, secara sosio-historis maupun ekologis adalah suatu bentuk masyarakat agraris. Berbagai bentuk aktivitas produksi pertanian, mulai dari pertanian sawah (padi), perkebunan, perikanan darat dan laut serta perladangan-hutan, telah menjadi mata pencaharian pokok masyarakat Subang secara turun menurun. Dengan bentang alam yang sangat mendukung pengembangan pertanian, maka sistem sosial budaya masyarakatnya pun tidak lepas dari siklus-siklus dunia pertanian itu sendiri. Karena kedekatan dengan alam itu pula, ketergantungan masyarakat terhadap “kebaikan”, “kemurahan” atau “anugerah” alam pun menjadi sangat tinggi (Scott, 1981:38). Sebuah sikap mental yang khas dimiliki komunitas petani.
Ketergantungan pada kebaikan alam itu salah satunya terwujud dalam pola perilaku1 yang lebih kongkrit seperti dalam upacara-upacara adat (Wolf, 1966:10) atau norma-norma kehidupan bermasyarakat. Misalnya upacara sebelum menanam padi, upacara ketika panen (mapag sri/mapag pare), upacara ruwat bumi, pesta laut atau ruwat laut, dan lain sebagainya. Sistem sosial masyarakat agraris semacam ini dilakukan dalam semangat kolektivitas dan tolong menolong yang kemudian lebih dikenal
1
535
dalam konsep Gotong Royong2. Gotong royong inilah bentuk perilaku sosial khas pedesaan yang di dalamnya terdapat hubungan timbal balik dan saling menolong. Perilaku sosial – termasuk gotong royong – itu tidak lain merupakan bentuk dari pertukaran, baik
material maupun non- material
(Homans,1958:606). Meskipun, pendirian penulis disini lebih cenderung untuk melihat gotong royong ini sebagai fakta sosial dan struktur sosial kompleks (Ritzer & Goodman, 2010:369, Scott & Calhoun, 2004:10-11)
Kolektivitas Sosial yang mengakar dalam gotong royong itulah yang kemudian tercermin dalam perilaku sosial sehari-hari masyarakat pedesaan Subang. Berbagai siklus kehidupan senantiasa dirayakan beramai-ramai, mulai dari kelahiran, khitanan, perkawinan, hingga kematian seseorang. Semua aktivitas itu dilakukan dalam kerangka untuk menjaga harmoni sosial. Kolektivitas ini juga kentara dalam bentuk-bentuk kesenian lokal yang digemari masyarakat, seperti wayang, jaipong, sisingaan, film (layar tancap), hingga organ tunggal pun selalu meriah dan melibatkan banyak orang, baik di atas panggung maupun di bawah (penonton dan pengiring). Sebelum masuknya arus monetisasi, kolektivitas paling utama tercermin dalam dunia pertanian, dimana sejak pengolahan lahan, pemeliharaan hingga pemanenan dilakukan dengan gotong royong, baik dalam satu lingkungan keluarga maupun tetangga dekat. Kolektivitas ini tidak hanya nampak sebagai sebuah perilaku kolektif, melainkan juga melahirkan mentalitas yang ingin agar diri dan kelompoknya dapat terlihat baik di mata orang atau kelompok lain.
Namun kemudian, ketika desa-desa kian terbuka (Popkin, 1986:1) dan dunia pertanian mengalami komersialisasi ekonomi akibat keberhasilan revolusi hijau (Pincus,1994:38, Peny, 1990:81-85), kolektivitas masyarakat pedesaan Subang ini juga mengalami kemunduran. Ekonomi uang yang dibawa
2
Konsep ini kemudian diangkat menjadi slogan pembangunan kabupaten Subang yang berbunyi
“Rakyat Subang Gotong Royong, Subang Maju”, dan diangkat juga dalam program pembangunan pedesaan dengan konsep “Desa Mandiri Gotong Royong”.
masuk oleh sistem ekonomi pasar telah mengubah nilai-nilai solidaritas dan kolektivitas masyarakat ini menjadi semakin individualis dan komersil (Somantri, 2006:466, Tjondronegoro, 2008:167). Nilai-nilai dan norma-norma adat mengalami desakralisasi akibat ilmu pengetahuan, teknologi, dan mekanisasi pertanian yang terus masuk hingga ke pelosok-pelosok desa. Ciri penanda ekonomi pra-kapitalis yang dahulu melekat (redistribusi pangan melalui lumbung padi dan resiprositas dalam tolong-menolong, silih genten) kini telah mengalami perubahan bentuk akibat pengaruh komersialisasi atau ekonomi kapitalis tersebut.
Pada titik inilah, paradoks dan kontradiksi antara kondisi kemiskinan pedesaan yang sering digambarkan sebagai kemiskinan ekonomi dan sumber daya itu muncul. Bagaimana masyarakat desa yang “dipandang miskin” itu justru memelihara tradisi yang nampak memberatkan tersebut? Ibaratnya, memenuhi kebutuhan sendiri saja sulit, bagaimana harus menolong dan berbagi dengan orang lain? Apakah tesis dan proposisi yang pernah diajukan oleh D.H. Peny bahwa “orang makin miskin makin bersikap komersil dan individualistik” tersebut benar adanya, mengingat pola tradisi Gantangan ini telah berubah sedemikian rupa menjadi medan akumulasi keuntungan sebagian anggota masyarakatnya? Atau kondisi agroekologis dan kultur masyarakat tertentulah yang membuat tradisi nyumbang ini memiliki wajah dan derajat komersialisasi yang berbeda-beda?
Perumusan Masalah dan Tujuan
Permasalahan yang ingin dijawab melalui penelitian ini antara lain :
1. Bagaimana bentuk dan tipe pola pertukaran sosial (relasi antar aktor) gantangan di tiga tipe agroekologi desa miskin yang berbeda? 2. Bagaimana komersialisasi ekonomi telah mentransformasikan pola pertukaran sosial dalam modal sosial gantangan tersebut (komersialisasi sosial)?
Sedangkan tujuan penelitian ini adalah 1. Menganalisis bentuk-bentuk pertukaran
sosial dalam modal sosial gantangan di tiga tipe agroekologi desa miskin yang berbeda
2. Menjelaskan bagaimana proses
536
mempengaruhi transformasi modal sosial gantangan (komersialisasi sosial)
METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian lapangan ini dilakukan dari bulan Desember 2011 sampai dengan bulan Mei 2012. Lokasi penelitian ada di tiga desa yang masuk dalam kategori miskin menurut pemerintah daerah kabupaten Subang, yaitu di desa Jayamukti, kecamatan Blanakan (Subang Utara), desa Pasirmuncang, kecamatan Cikaum (Subang Tengah) dan desa Cimenteng, kecamatan Cijambe (Subang Selatan). Ketiga wilayah diatas sekaligus merepresentasikan tiga kondisi ekologis dan demografis yang berbeda, yaitu komunitas
pesisir, dataran rendah dan
pegunungan/perbukitan. Relevansi perbedaan kondisi agro-ekologis diatas adalah untuk membandingkan laju komersialisasi sosial di masing-masing lokasi penelitian.
Teknik Pengambilan Data dan Analisis Pengambilan data primer dilakukan melalui beberapa teknik dalam metode kualitatif antara lain : wawancara kelompok terfokus (6 kali), wawancara mendalam, pengamatan langsung, dan pendokumentasian audio-visual. Data sekunder diperoleh dan diolah dari buku catatan gantangan informan, data-data BPS, profil desa, data dasar desa dan literatur terkait dengan penelitian. Analisis dilakukan secara deskriptif-eksploratif dengan menyusun tipologi-tipologi dari hasil temuan di lapangan.
HASIL DAN PEMBAHASAN “keinginan atau harapan”. Maknanya adalah apabila seseorang atau keluarga memiliki hajat, maka pengharapan tersebut dapat diwujudkan dalam sebuah upacara atau pesta dengan mengundang orang banyak yang biasanya disertai jamuan makan dan hiburan tertentu. Pelaksanaan hajatan disesuaikan dengan tuntunan adat atau religi yang dianut. Tujuannya adalah agar keinginan tersebut terkabul sekaligus sebagai
dalamnya terdapat perpaduan antara aktivitas sosial, religius, ekonomi, kesenian dan bahkan politik. Pesta hajatan itu sendiri memiliki berbagai sebutan, istilah, aturan main, dan makna yang berbeda antara satu daerah dengan daerah yang lainnya. Di dalam pesta hajatan inilah sistem gantangan (pertukaran beras, uang dan barang-barang lainnya) ini hidup dan berkembang.
Gantangan yang merupakan bentuk dari resiprositas ini bukan hal baru dalam literatur antropologi, seperti dikemukakan oleh para antropolog yang meneliti sistem ekonomi tradisional (pra-kapitalis) suku-suku tertentu antara lain sistem “Kula” di pulau Trobriand, Papua Nugini dan sistem “Potlatch” di Kwakiutl (Mauss,1967:3, Bell, 1991:156). Modal Sosial yang berbentuk pertukaran barang dan uang di pedesaan seperti Gantangan ini oleh para ekonom moral dianggap sebagai bentuk asuransi (jaminan sosial), sementara para antropolog menganggapnya sebagai bagian dari biaya-biaya upacara (ceremonial funds), dan bagi para penganut aliran ekonomi politik dianggap sebagai investasi jangka panjang orang desa.
Bentuk dan Tipe Pertukaran Gantangan Terdapat tiga tipe dan pola modal sosial Gantangan yang ditemukan penulis dalam penelitian ini, yaitu pertama, tipe dan pola A (Nyambungan) yang merupakan sisa-sisa dari kebiasaan tolong menolong warga desa. Nyambungan ini adalah bentuk lain dari pemberian (gift) dari satu warga kepada warga lainnya ketika hajatan dan tidak mewajibkan pengembalian, baik dari segi jumlah maupun
waktu pengembaliannya. Meskipun
nyambungan ini adalah pola sli gotong royong (sukarela), namun saat ini lebih banyak dilakukan oleh para pendatang, orang kota, dan sebagian kecil warga desa lainnya. Ciri menonjolnya adalah Nyambungan ini tidak dicatat (beras <5liter), baik oleh bapak hajat maupun si pemberi (tamu undangan)
537
Sumber : diolah dari BPS dan data sekunder penelitian
Gambar (1) (Kiri Atas) Jumlah KK miskin di tiga lokasi penelitian (Kanan Atas) Frekuensi hajatan “rame-rame” di desa Jayamukti (Subang Utara) yang semakin meningkat. (Bawah) Perkembangan jumlah kelompok kesenian di Kab. Subang (2005-2009) yang terkait dengan
538
Pola A. Nyambungan Pola B. Gintingan Pola C. Golongan
Kedua, tipe dan pola B (Gintingan), yaitu bentuk pola pemberian dari satu warga kepada warga lainnya ketika hajatan akan tetapi pemberian tersebut dimaknai sebagai hutang-piutang yang harus dikembalikan oleh si penerima (balanced reciprocity). Dari tipe inilah pola pertukaran sosial menjadi melembaga dalam modal sosial gantangan. Tipe dan pola ini dilakukan oleh sebagian besar warga pedesaan Subang saat ini. Ciri menonjolnya adalah pertukaran gintingan ini dicatat di dalam buku beas (perempuan) dan buku kondangan (laki-laki) baik oleh si pemberi maupun si penerima. Ketiga, tipe dan pola C (Golongan), yaitu bentuk pertukaran sosial yang diwadahi dalam satu kelompok mirip arisan dan dikelola oleh seorang ketua
539
Tabel 1. Perbandingan Pola Pertukaran Gantangan di Tiga (3) Desa Lokasi Penelitian (2012)
Subang Utara Subang Tengah Subang Selatan
Karakteristik Komunitas
Masyarakat pesisir, petani/petambak, buruh tani, nelayan, jasa dan perdagangan
Terbuka, miskin = tidak memiliki lahan
Masyarakat sekitar perkebunan karet dan tebu, buruh tebas, petani dan buruh pabrik
Terbuka, miskin = sumberdaya minim
Masyarakat sekitar hutan, petani, peladang, dan peternak.
Terisolir, miskin = minim akses Istilah Modal
Sosial
Telitian Talitihan atau Gantangan Gintingan
Sejarah Mulainya Gantangan
Pengaruh/meniru dari Karawang dan Indramayu Pengaruh/meniru dari Subang Utara Pengaruh/meniru dari Subang Tengah dan Utara
Penyebaran Melalui perkawinan, perpindahan penduduk dan jaringan pertemanan
Melalui perkawinan, perpindahan penduduk dan jaringan pertemanan
Melalui jaringan pertemanan,
perpindahan penduduk dan perkawinan Pola
resiprositas dan pertukaran
Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai menghilang.
Pola B. Menyimpan beras 5-10 liter, uang > Rp. 15.000, dan sembako lainnya, dicatat, wajib dikembalikan, masih eksis tapi mulai menurun karena ketidakjujuran dan frekuensi hajatan yang tidak diatur (21 kali setahun hajatan rame-rame ditambah hajatan tanpa hiburan yang tidak tercatat)
Pola C. Menyimpan beras dalam sebuah kelompok mirip arisan sebanyak @50 kg, uang Rp. 50.000, daging sapi, daging ayam, dan sembako lainnya yang dikelola oleh Ketua Golongan, dicatat, wajib dibayarkan, jumlah anggota 45 orang, waktu pengembalian/hajatan dibatasi 4 kali setahun
Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai menghilang. Pola B. Menyimpan beras 5-10 liter, uang > Rp. 10.000, dan sembako lainnya, dicatat, wajib dikembalikan, masih eksis tapi mulai menurun karena frekuensi hajatan yang tidak diatur (19 kali setahun) dan kesulitan ekonomi
Pola C. Menyimpan beras dalam sebuah
kelompok mirip arisan sebanyak @10 liter, uang Rp. 20.000, dan sembako lainnya yang dikelola oleh Ketua Golongan (Rombol), dicatat, wajib dibayarkan, jumlah anggota 40 orang/kelompok, waktu pengembalian/hajatan tidak/belum dibatasi/diatur.
Pola A. Pemberian beras < 5 liter, tidak dicatat, tidak wajib dikembalikan, mulai menghilang.
Pola B. Menyimpan beras minimum 5 liter dan maksimum 50 kg, uang > Rp. 10.000, dan sembako lainnya, dicatat, wajib dikembalikan, masih eksis dengan frekuensi hajatan relatif rendah (7-8 kali setahun)
Bandar Hajatan
Ada Ada Ada
Waktu hajatan Musim panen, pernikahan, khitanan, kelahiran, naik haji, membangun/merehab rumah, dan kebutuhan mendesak lainnya
Musim panen, Pernikahan, khitanan, kelahiran, naik haji, membangun/merehab rumah, dan kebutuhan mendesak lainnya
Musim panen, Pernikahan, khitanan, kelahiran
Perempuan: (1) Hutang (2) Uang (3) Beras
Laki-laki : (1) Hutang (2) Pusing (3) Bayar
Perempuan: (1) Simpanan (2) Usaha (3) Hutang
540
Tabel 2. Ciri Pola Pertukaran Sosial Gantangan TIPE
Volume pertukaran pasti v
Waktu pengembalian terjadwal v
Jaringan
Antar keluarga dan Tetangga dekat v v v
Satu desa v v v
Luar desa v v
Ikatan antar aktor yang kuat v
Kepercayaan (trust)
Ditagih v v
Dicatat Sendiri v v
Dicatat Juru Tulis (panitia hajat) v v
Dicatat oleh Ketua kelompok v
Komersialisasi Sosial : Dari Resiprositas Ke Pertukaran Sosial
Bersamaan dengan semakin memudarnya gotong royong, ternyata modal sosial gantangan pedesaan ini pun berubah haluan dari yang semula bersifat sukarela dan tanpa pamrih, menjadi hutang piutang yang bersifat wajib. Hampir semua perlengkapan dan sumber daya manusia yang dikerahkan untuk menyelenggarakan pesta hajatan kini harus disewa atau dibayar oleh bapak hajat. hubungan transaksional lebih dikedepankan daripada hubungan kedekatan. Orang tidak akan tergerak membantu tetangganya yang hajatan jika tidak mendapatkan sesuatu sebagai timbal baliknya (upah), seperti uang, beras atau makanan. Bahkan dalam aspek kehadiran/kedatangan sebagai tamu undangan pun akan menjadi pertimbangan bagi bapak hajat. Misalnya, ketika ia hajatan ada tetangga atau kenalan tidak datang memenuhi undangan, maka ketika mereka hajatan, bisa jadi bapak hajat akan membalas untuk tidak datang.
Dalam Sosiologi Ekonomi (ekonomi distribusi), hubungan timbal balik antar warga masyarakat seperti dalam modal sosial gantangan itu disebut sebagai resiprositas. Hubungan timbal balik tersebut dapat terjadi antar individu, individu dengan kelompok dan kelompok dengan kelompok yang memiliki
posisi dan peran sosial relatif sama serta saling bergantian. Misalnya peran sebagai pengundang (bapak hajat) dan yang diundang (tamu undangan). Secara garis besar, terdapat dua bentuk resiprositas, yaitu resiprositas umum (generalized reciprocity) dan resiprositas sebanding (balanced reciprocity) (Damsar, 2009:105).
Resiprositas umum artinya kewajiban memberi atau membantu orang atau kelompok
lain dengan tanpa mengharapkan
541
kontrol sosial (2) sumber yang
menguntungkan bagi keluarga dan (3) sumber tersebut juga bisa berasal dari jaringan di luar keluarga (Portes, 2010:44).
Sebaliknya, resiprositas sebanding adalah kewajiban memberi atau membayar apa yang orang dan kelompok lain berikan kepada kita,
dan biasanya jumlah dan waktu
pengembaliannya setara, terjadwal dan langsung. Resiprositas sebanding inilah potret yang terjadi dalam modal sosial gantangan di pedesaan Subang, dimana kewajiban timbal balik dilakukan dalam sebuah kesepakatan yang terbuka, setara dan tercatat secara jelas
segala sesuatunya di dalam buku gantangan. Setiap orang dalam jaringan resiprositas sebanding ini telah mengkalkulasikan pengorbanan dan keuntungan yang akan mereka peroleh masing-masing (pertukaran sosial). Secara teoritis, resiprositas sebanding ini masih menekankan pada “kesetaraan” antara apa yang pernah diberikan dengan apa yang akan diterima (balasan). Namun, secara praktik, nampaknya resiprositas sebanding ini menjadi pintu masuk bagi komersialisasi sosial dan bahkan tidak menutup kemungkinan pada akhirnya melahirkan eksploitasi sosial dan ekonomi.
Gambar 3. Proses Transformasi Pola Pertukaran Sosial Gantangan (pemberian komersialiasi) yang seiring dengan perubahan situasi ekonomi secara luas
(nasional)
Konsep komersialisasi sosial disini bermakna “menjadikan hubungan-hubungan sosial itu seperti pasar (hubungan kontraktual), dimana terdapat mekanisme pembentukan harga dan berorientasi pada keuntungan” (Badudu-Zain, 1996:707-708, Peny, 1990:134-139). Dalam konteks pesta hajatan dan modal sosial Gantangan di pedesaan Subang ini, komersialisasi sosial berarti bahwa pesta hajatan di pedesaan Subang ini telah menjadi komoditas bagi rumah tangga untuk mencari untung, baik dalam bentuk materi (uang, beras, dan sembako lainnya) maupun non-materi (status, gengsi, kehormatan). Mekanisme
komersialisasi itu adalah dengan pengesahan norma hutang-piutang dalam berhajatan secara terstuktur dan kolektif, sehingga memungkinkan rumah tangga yang terlibat untuk mendapatkan keuntungan materi dan non-materi ketika ia melaksanakan pesta hajatan dengan sistem gantangan.
Selain komersialisasi dalam bentuk komodifikasi hajat (tahap 1), bentuk komersialisasi sosial selanjutnya adalah masuknya Bandar hajatan (tahap 2) dalam
undangan hajat an berupa rokok
Sist em pancat atan m ulai dilakukan oleh juru t ulis hajat an
Pemberian Resiprosit as um um Resiprosit as sebanding Kom ersialisasi t ahap I Kom ersialisasi t ahap II
Liberalisasi ekonomi
542
jaringan pertukaran4 ini, yakni orang-orang yang memiliki modal atau memiliki koneksi dengan pemodal yang menjadikan hajatan seseorang sebagai pasar untuk mencari untung. Caranya adalah dengan menawarkan pinjaman (panjer) modal kepada calon bapak hajat, baik modal dalam bentuk uang, beras, daging, hiburan, atau apapun. Dari hubungan panjer itulah kemudian Bandar tersebut akan mengikat hasil hajatan, khususnya beras dan uang, untuk nanti dibeli olehnya (tidak boleh dijual kepada orang lain). Sebagian hasil hajatan akan digunakan sebagai pembayaran pinjaman dan lainnya untuk dujual dengan harga dibawah harga pasar (sesuai kesepakatan saat meminta panjer). Perilaku seperti inilah yang disebut Kunio sebagai perilaku “menunggangi” (rent seeking) atau kemurahan hati monopolistik (monopolistic favours) (Breman & Wiradi, 2004:192). Selain Bandar hajatan, hadirnya kelompok-kelompok gantangan (tipe golongan) yang diketuai oleh elit kaya di desa ini telah melahirkan struktur jaringan pertukaran yang baru dan memberi peluang pertukaran yang semakin besar (volume dan jaringannya) bagi lapisan atas hingga pada akhirnya makin memperkuat pengaruh dan kekuasaan mereka ditengah kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat desa.
KESIMPULAN
Pola pertukaran dalam modal sosial gantangan di tiga desa miskin di Kabupaten Subang menunjukkan kemiripan satu sama lain, yaitu hadirnya tiga tipe pertukaran yang disebut nyambungan, gintingan dan golongan di masing-masing wilayah (kecuali di Subang Selatan belum ada pola Golongan). Meskipun memiliki kemiripan pola, namun secara historis Subang Utara merupakan titik mula berkembangnya pertukaran sosial gantangan hingga kemudian diikuti oleh masyarakat di Subang bagian Tengah dan Selatan. Gantangan ini bukan asli tumbuh dari komunitas desa miskin, melainkan diadopsi
4
“jaringan pertukaran” merupakan struktur sosial khusus yang dibentuk oleh dua aktor atau lebih yang menghubungkan hubungan pertukaran diantara para aktor (Cook, 1977, 62-82)
dari desa-desa yang makmur, subur dan berkembang pertanian padinya. Transformasi nyambungan menjadi gintingan dan golongan merupakan akibat dari komersialisasi ekonomi yang makin masif. Proses komersialisasi sosial di pedesaan yang tercermin dalam pola pertukaran sosial gantangan ini merefleksikan perubahan nilai-nilai masyarakat pedesaan yang kolektif-idealistik menjadi individual-materialistik. Perubahan ini menyentuh hampir seluruh lapisan masyarakat, tidak terkecuali pada komunitas miskin di pedesaan Subang, baik di pesisir, dataran rendah maupun perbukitan/pegunungan. Proses perubahan tersebut dapat digambarkan melalui tipe-tipe resiprositas yang berkembang, yaitu mulai melunturnya pemberian murni sebagai ciri gotong royong dan semakin meningkatnya resiprositas sebanding dalam pesta hajatan dan pertukaran gantangan. Komodifikasi hajatan dan masuknya bandar hajatan semakin mempertegas bahwa pesta hajatan dan gantangan di pedesaan Subang ini telah berubah fungsi dari sekedar syukuran dan raramean menjadi pasar (market) dalam sistem ekonomi lokal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Kementrian Negara Riset & Teknologi (KNRT) RI yang telah memberikan beasiswa pascasarjana dan juga pembiayaan terhadap riset ini. Terima kasih juga disampaikan kepada Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, M.Sc.Agr (Sosiologi Pedesaan IPB) dan Hokky Situngkir yang telah memberikan saran dan masukan untuk penelitian ini.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2011. Subang Dalam Angka. Subang : Badan Pusat Statistik
Bell, Duran. 1991. Modes of Exchange : Gift and Commodity. The Journal of Socio-Economics, vol 20, number 2, pages 155-167
543
Cook, Karen. S. 1977. Exchange and Power in Networks of Interorganizational Relations. Washington : The Sociological Quarterly 18, 62-82 Damsar, Prof. Dr. 2009. Pengantar Sosiologi
Ekonomi. Jakarta : Kencana Diekmann, Andreas. 2004. The Power of
Reciprocity : Fairness, Reciprocity, and Stakes in Variants of The Dictator Game. Journal of Conflict Resolution, vol 48 no 4, 487-505
Homans, George, C. 1958. Social Behaviour as Exchange. American Journal of Sociology
Fay, Brian. 2002. Filsafat Ilmu Sosial Kontemporer. Yogyakarta : Penerbit Jendela
Koentjaraningrat. 1982. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta : Gramedia
Mauss, Marcel. 1967. The Gift : Forms and Functions of Exchange in Archaic Societies. Norton Library
Peny, D.H. 1990. Kemiskinan : Peranan Sistem Pasar. Jakarta : UI Press Pincus, Jonathan. 1994. Ekonomi Pedesaan
Asia : Sebuah Tinjauan Ulang.
PRISMA Majalah Kajian
Ekonomi dan Sosial, No 3, Maret, Jakarta ; LP3ES
Popkin, Samuel. L. 1986. Petani Rasional. Jakarta : Lembaga Penerbit Yayasan Padamu Negeri
Portes, Alejandro. 2010. Economic Sociology : A Systematic Inquiry. Princeton University Press
Ritzer, George & Douglas J. Goodman. 2010. Teori Sosiologi Modern. Edisi Keenam. Jakarta : Kencana Prenada Media Group
Scott, James. C. 1981. Moral Ekonomi Petani : Pergolakan dan Subsistensi di Asia Tenggara. Jakarta : Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan sosial (LP3ES)
Scott, W Richard & Craig Calhoun. 2004. Peter Michael Blau 1918-2002 : A Biographical Memoir, vol 85. Washington D.C : National Academies Press
Smelser, J. 1990. Sosiologi Ekonomi. Penerbit Wira Sari
Somantri, Gumilar Rusliwa. 2006. Masalah Pangan dan Revitalisasi Ilmu Sosial : Sebuah Usul Untuk
Mengembangkan Sosiologi
Konvergen. Dalam Revitalisasi Pertanian dan Dialog Peradaban Hal 464-479. Jakarta : Penerbit Kompas
Tjondronegoro, S.M.P. 2008. Ranah Kajian Sosiologi Pedesaan : 80 tahun Prof. Dr. Sediono M.P. Tjondronegoro. Bogor : KPM IPB
Wolf, Eric R. 1966. Petani : Suatu Tinjauan Antropologis. Jakarta : CV. Rajawali & Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial
Zain, Prof. Sutan Mohammad & Prof. Dr. J.S. Badudu. 1996. Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta :