EXECUTIVE SUMMARY
KAJIAN IMPLEMENTASI PENDIDIKAN MENENGAH UMUM DI KABUPATEN TAPIN 2014
A. Latar Belakang
Keberhasilan pelaksanaan Wajib Belajar 9 tahun menuntut keberlanjutan dan
kesinambungan, terutama berkaitan dengan lulusan jenjang SMP. Karena di dunia
kerja, kualitas dan kepatutan lulusan jenjang SMP dipandang tidak layak untuk
bekerja. Selain keberhasilan Wajib Belajar 9 Tahun, fakta lain juga menunjukkan
bahwa dari 4,2 juta lulusan SMP, hanya sekitar 3 juta yang melanjutkan ke Sekolah
Menengah, dan sisanya sebesar 1,2 juta siswa tidak melanjutkan (Kemendikbud,
2011). Sementara pada waktu yang bersamaan sekitar 159.805 siswa Sekolah
Menengah mengalami putus sekolah, sebagian besar karena alasan ketidakmampuan
membayar biaya pendidikan (Kemendikbud, 2013). Kondisi-kondisi demikian
menghendaki peningkatan kualitas sumber manusia dan sejalan dengan tuntutan
dunia global, maka kebijakan pendidikan diarahkan juga pada peningkatan mutu,
kepastian dan kesetaraan. Realisasi dari pemikiran demikian diwujudkan dalam
bentuk diluncurkan Pendidikan Menengah Universal (PMU).
Kebijakan yang berkaitan dengan PMU, diperjelas oleh Presiden pada saat
Pidato Penyampaian RAPBN 2013, bahwa pada tahun 2013 akan dimulai
pelaksanaan PMU, untuk meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang
menengah, memperkecil disparitas daerah, dan memperkuat pelayanan pendidikan
Dalam rangka turut serta berperan dan bertanggungjawab dalam pelaksanaan
PMU, maka Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan telah menetapkan angka
pencapaian APK 97% pada tahu 2019, dan termasuk provinsi yang telah
mencanangkan kebijakan PMU (Kemendikbud, 2012). Karena dilihat data Provinsi
Kalimantan Selatan, untuk APK Pendidikan Menengah tahun 2011/2012 hanya
sebesar 58,54, jadi berada di bawah angka rerata APK Pendidikan Menengah
Nasional sebesar 76,44 (Kemendikbud, 2014). Kondisi yang sama dapat juga dilihat
dari data APK Pendidikan Menengah (SMA/MA/Paket C), namun dengan angka
berbeda dari hasil Susenas 2003-2012, menunjukkan bahwa APK Pendidikan
Menengah di Provinsi Kalimantan Selatan berada di angka 66,42, sementara APK
Pendidikan Menengah Nasional berada di angka 68,22.(BPS-RI, Susenas
2003-20012). Demikian juga hal dengan kondisi APK Sekolah Menengah di Kabupaten
Tanah Laut, masih menunjukkan angka rata-rata di bawah rata-rata APK Nasional
maupun rata-rata APK Provinsi Kalimantan Selatan. Karena posisi APK Sekolah
Menengah Kabupaten Tanah Laut berada di posisi APK sebesar 57,11.(BPS Kalsel,
2012).
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan alur pemikiran yang telah dipaparkan dalam bagian latar belakang,
maka masalah yang akan diteliti dibatasi dan dirumuskan:
1. Bagaimanakah disparitas APK Pendidikan Menengah di Kabupaten Tanah Laut ?
3. Bagaimanakah kendala yang dihadapi dalam implementas PMU di Kabupaten
Tanah Laut?
C. Tujuan Penelitian
Penelitian tentang Kajian terhadap PMU di Kabupaten Tanah Laut dilaksanakan
dengan tujuan :
1. Tujuan Umum
Secara umum tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah
menghasilkan rumusan kebijakan pelaksanaan PMU secara merata dan bermutu
di Kabupaten Tanah Laut.
2. Tujuan Khusus
Secara khusus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
a. Mengetahui disparitas APK Pendidikan Menengah di Kabupaten Tanah Laut
b. Mengetahui pelaksanaan PMU dari aspek pendanaan, kebutuhan dan
distribusi pendidik dan tenaga pendidikan, serta pengadaan sarana.
c. Mengetahui kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan PMU di Kabupaten
Tanah Laut.
d. Memberikan rumusan kebijakan pelaksanaan PMU di Kabupaten Tanah
Laut.
1. Posisi APK SM Kabupaten Tanah Laut masih berada di bawah APK SM Nasional,
Provinsi Kalsel, dan Banjarmasin, Tabalong, Banjarbaru, Tapin, Balangan, Tanah
Bumbu, Kotabaru, HSU, dan HST. Tetapi berada di atas APK SM HSS, Batola dan
Banjar.
2. Pertumbuhan APK SM Kabupaten Tanah Laut menunjukkan kenaikan yang
signifikan, demikian juga APK SM berdasarkan kategori sekolah, baik MA, SMK
dan MA.
3. APK SM tertinggi di Kecamatan Kurau, dan terendah di Kecamatan Takisung dan
Batu Ampar.
4. Terdapat peningkatan APK SM, kontribusi terbesar masih APK SMA, namun
signifikansi peningkatan dikontribusi oleh penaikan APK SMK dan APK Paket C.
Artinya pembukaan SMK dan Paket C secara signifikan menaikkan APK SM,
kontribusi APK MA paling kecil.
5. Kebijakan pendanaan Implementasi PMU kebanyakan tidak diatur secara khusus,
mengikuti kebijakan Pusat.
6. Alokasi anggaran pusat dan pemerintah daerah (kabupaten) untuk implementasi
PMU telah memenuhi, bahkan dalam hal tertentu melampaui model pembiayaan.
7. Peran aktif masyarakat dalam pendanaan PMU di sekolah kebanyakan tidak aktif.
Bentuk peranserta yang dilakukan adalah kontribusi lahan untuk pengadaan
sekolah/kelas, menyusul dalam bentuk program pembinaan (CSR), pemberian
beasiswa, pembangunan UKB, pembangunan USB, uang komite, pengadaan
8. Jumlah guru SM berkualifikasi S1/D4 di atas rerata propinsi dan nasional, namun
berkualifikasi sertifikasi di bawah rerata provinsi dan rerata nasional, dan sebagian
besar berada di golongan III, sebagian kecilnya golongan IV.
9. Terdapat perbedaan data ketersediaan pendidikan dan tenaga kependidikan menurut
analisis kebutuhan sekolah dan analisis kebutuhan dinas pendidikan.
10. Jumlah kekurangan lebih banyak dari jumlah kelebihan guru mata pelajaran. Guru
mata pelajaran yang kurang, dengan urutan peringkat dari terbanyak hingga paling
sedikit adalah penjasorkes, prakarya-kewirausahaan, pendidikan agama, seni budaya,
sosiologi, matematika, geografi, B.Indonesia, Sejarah Indonesia, Kimia, Ekonomi,
PKn, Fisika, Biologi, B.Inggris, Pemasaran dan Produktif TKJ, BK, Produktif
Multimedia, Administrasi Perkantoran dan Otomotif . Jumlah kekurangan guru mata
pelajaran terbanyak terdapat di SMA, dan kelebihan guru terbanyak di MA.
11. Tenaga kependidikan di SM didominasi oleh TU/Adm, menyusul praktikan,
pustakawan dan Laboran. Di SMK, semua unsur tenaga kependidikan telah tersedia,
sementara di SMA, praktikan belum tersedia, dan di MA, laboran yang belum
tersedia.
12. Jumlah tenaga kependikan di SM masih menunjukkan kekurangan dibanding
kelebihan. Tenaga kependidikan yang kurang tersedia, terbanyak adalah laboran,
menyusul TU/Adm, praktikan dan pustakawan.
13. Status ketersediaan pendidik, tendik dan sarpras SM di Kecamatan Bumi Makmur
14. Ketersediaan unit dan kelas meningkat sejalan meningkatnya jumlah siswa, demikian
juga laboratorium/ruang praktik, namun tidak diikuti dengan kenaikan jumlah
perpustakaan, jumlah perpustakaan malah berjalan stagnan.
15. Pengadaan sarana prasarana di sekolah juga meningkatkan aspek pembelajaran
menjadi efektif, pembelajaran dapat dilakukan pada pagi, bertambahnya daya
tampung siswa, meningkatkan partisipasi, dan mengurangi besarnya rasio
siswa:kelas.
16. Kendala yang dihadapi dalam pelaksanaan PMU di sekolah dari aspek pendanaan
adalah berkaitan dengan jumlah dana masih dianggap kurang, khususnya sekolah
swasta, belum menutup biaya operasional, karena banyak guru honor, akibatnya
kurangnya guru mata pelajaran tertentu, dan tenaga kependidikan honorer, serta
belum memenuhi dana pembelajaran, diusulkan Rp.2.500.000, persiswa per tahun;
birokrasi rumit; pencairan belum tepat waktu; masih terdapat beberapa sarana
prasarana yang belum tersedia untuk memenuhi standar pelayanan minimum.
E. Rekomendasi
1. Konstribusi dan peran aktif masyarakat/DUDI ditingkatkan ke dalam bentuk yang
lebih bervariasi lagi, dengan melibatkan para pengusaha, alim ulama dan tokoh
masyarakat, contoh safrah amal yang dilakukan di Pondok Pesantren Mursyidul
Amin melibatkan masyarakat umum dan para pedagang tradisional (acara makan dan
belanja sambil beramal, pasar amal), mencari lembaga swasta mendirikan SM
2. Mengisi guru-guru mata pelajaran yang kurang tersedia di SM, khususnya guru
penjasorkes, demikian juga tenaga kependidikan, terutama laboran (kerjasama dgn
FKIP, program magang sarjana)
3. Meningkatkan status jumlah ketersediaan pendidik, tendik dan sarpras SM di
Kecamatan Bumi Makmur dan Bajuin berdasarkan skala prioritas.
4. Menambah fasilitas perpustakaan pada SM yang belum mempunyai perpustakaan.
5. Pemerintah mengupayakan peningkatan BOS dan BOMDA menjadi Rp.2.500.000
persiswa per tahun, untuk menunjang secara memadai biaya operasional sekolah,
khususnya sekolah swasta.
6. Pembuatan Perda CSR yang mewajibkan DUDI menyisihkan 2,5% keuntungan
perusahaan untuk pendanaan sekolah, khususnya sekolah-sekolah swasta
7. Agar tidak terjadi overlapping pendanaan dengan kabupaten, maka dana-dana yang
sekolah diterima dari pusat dan provinsi hendaknya dilaporkan kepada dinas
pendidikan.
8. Pendataan tentang analisis kebutuhan, kelebihan, kekurangan dan distribusi pendidik
dan tenaga kependidikan hendaknya didasari parameter yang sama antara sekolah
dan dinas pendidikan
9. Perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi tentang prosedur pencairan dana
pembiayaan peserta didik (BOMDA) khususnya tentang pen-SPJ-an.
10. Atas pertimbangan keadilan dan standar pembelajaran, penjaminan-kepastian
kualitas layanan pembelajaran, maka setiap sekolah hendaknya berpegang pada
aturan 1 kelas = 32 orang, dalam hal penerimaan siswa baru. Hal ini untuk
11. Perhitungan beasiswa hendaknya berdasarkan rombel, bukan jumlah siswa, untuk
mencegah munculnya kebijakan "semakin banyak jumlah siswa, semakin banyak