• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Hukum Ilsam dan Hukum Positif

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pengertian Hukum Ilsam dan Hukum Positif"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

IDENTIFIKASI DAN INVENTERISASI HUKUM ISLAM MENJADI HUKUM POSITIF

Pengertian Hukum Ilsam dan Hukum Positif

1. PENGERTIAN HUKUM ISLAM

Pengertian hukum islam adalah aturan- aturan yang telah diberikan oleh Allah dan Rasulnya kepada umat- umat nya yang telah mukallaf. Adapun yang di maksdu mukallaf di sini adalah umat- umat Rasulullah SAW yang telah diwajibkan melaksanakan aturan- aturan islah, ciri- ciri mukallaf adalah Islam, Berakal dan Baligh.

Adapun Hukum Islam menurut Prof. Mahmud Syaltout, syariat adalah peraturan yang diciptakan oleh Allah supaya manusia berpegang teguh kepadaNya di dalam perhubungan dengan Tuhan dengan saudaranya sesama Muslim dengan saudaranya sesama manusia, beserta hubungannya dengan alam seluruhnya dan hubungannya dengan kehidupan. Sedangkan Menurut Muhammad ‘Ali At-Tahanawi dalam kitabnya Kisyaaf Ishthilaahaat al-Funun memberikan pengertian syari’ah mencakup seluruh ajaran Islam, meliputi bidang aqidah, ibadah, akhlaq dan muamallah (kemasyarakatan). Syari’ah disebut juga syara’, millah dan diin.

2. PENGERTIAN HUKUM POSITIF

Pengertian Hukum Positif adalah hukum yang sedang berjalan atau berlaku pada suatu

Negara. Pada tiap- tiap Negara pasti mempunyai hokum yang berlaku dan hukum yang berlaku itulah di sebut dengan Hukum Positif. Seperti di Indonesia, hukum yang diterapkan yaitu Hukum KUHP Perdata dan Pidana. Hukum ini di terapkan karena dikatan mencakup status agama, masyarakat, suku bangsa, serta kelakuan manusia tiap hari.

Adapun pengertian hukum di Indonesia memiliki aturan- aturan yaitu secara umum dan khusus, yang di maksud umum adalah hukum yang mencakup hukum adat istiadat, hukum yuris prudensi, dan hukum agama, sedangkan yang di maksud dengan khusus adalah ketentuan hukum yang ditetapkan oleh kepala Negara mengenai administrasi Negara. Kemudian aturan lainnya sperti penegakan oleh pemerintah atau pengakan oleh pengadilan.

Pengertian hukum positif lainnya bahwa hukum ini terbagi dalam dua jenis hukum,yaitu hukum tertulis dan hukum tidak tertulis. Yang dimaksud hukum tertulis adalah hukum yang telah di tetapkan oleh pejabat yang berwenag sesuai dengan peraturan per undang- undangan dan mempunyai aturan kebujakan dan administrasi Negara, sedangkan yang di maksud dengan hukum tidak tertulis, yaitu hukum adat istiadat, hukum agama dan yuris prudensi.

3. HUBUNGAN

Hukum Islam merupakan aturan-aturan yang merupakan hasil pemahaman dan deduksi dari ketentuan-ketentuan yang diwahyukan Allah swt kepada Nabi Muhamad. Karena itu, sumber utama hukum Islam adalah al-Qur‟an dan Hadis. Bila diperlukan untuk menggali hukum yang belum ada atau untuk memahami hukum maka perlu ijtihad (ra‟yu) dengan berbagai metode yang telah dirumuskan oleh ahli ushul fiqh. Hukum Islam tidak identik dengan hukum dalam pengertian aturan yang dibuat oleh suatu badan yang diberi wewenang dan pemberlakuan sangsi bagi pelanggarnya. Berbeda dengan hukum positif, sumber hukum positif murni dari masyarakat. Hal ini dikarenakan pengambilan atau penemuan hukum positif menggunakan metode induktif. Yaitu dengan mengamati perbuatan-perbuatan dan sikapanggota masyarakat. Dari berbagai hasil pengamatan inilah kemudian dibuat peraturan-peraturan umum yang mengikat seluruh masyarakat. Hukum Islam dibuat dengan tujuan sebagaimana tujuan hidup manusia yaitu mengabdi kepada Allah swt. Hukum Islam untuk masyarakat muslim berfungsi mengatur berbagai hubungan manusia diatas bumi ini.

(2)

A. Inventarisasi Hukum Positif dan hukum islam

Sejarah perjalanan hukum di Indonesia, kehadiran Hukum Islam dalam Hukum Positif merupakan perjuangan eksistensi. Hukum Islam dan masyarakat dianggap sebagai dua dunia yang terpisah, yang satu dianggap sebagai “keakhiratan” dan yang lain dianggap sebagai “keduniaan”. Padahal yang sebenarnya tidaklah demikian. Hukum Islam justru erat sekali hubungannya dengan masyarakat, dan ia berlaku bagi seluruh manusia dalam segala bentuk dan susunan masyarakatnya

Didalam kajian ilmu hukum, ada yang disebut hukum positif (iusconstituendum) dan hukum yang dicita-citakan (iusconstitutum). Hukumpositifadalah hukum yang berlaku saat ini di suatu Negara. Hukum yang dicita-citakan yaitu hukum yang hidup di masyarakat, tetapi belum menjadi hukum positif secara legal formal. Eksistensi hukum Islam di Indonesia yang menjadi hukum positif (ius constituendum)hanya yang berkaitan dengan hukum privat, yaitu bidang ubudiyah dan

mu’amalah. Sedangkan yang berhubungan dengan hukum publik Islam sampai saat ini masih menjadi hukum yang dicita-citakan (iusconstitutum). Misalnya, UU No. 1 Tahun1974 tentang Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang berkaitan dengan perkawinan, kewarisan, dan perwakafan. UU No. 17 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji. UU No. 38 Tahun 1999 tentang

Pengelolaan Zakat. UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebagai pengganti UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.

Positifisasi atau Legalisasi Hukum Islam

Positifisasi Hukum Islam dimaksudkan sebagai upaya melegalisasi syari’at Islam menjadi hukum positif, kemudian diaplikasikan secara nyata dalam praktik kehidupan. Proses legalisasi hukum Islam dalam bentuk rancangan undang-undangnya dapat disampaikan dari kalangan eksekutif maupun legislatif atau pihak lain yang ditunjuk, sebagai naskah usulan kalangan akademisi.

Kemudian rancangan undang-undang tersebut diproses menjadi undang-undang atau

peraturan lain sehingga mempunyai daya ikat serta memenuhi unsur keadilan dan kepastian hukum di masyarakat. Upaya formalisasi hukum Islam ini tentu saja memerlukan dukungan pemerintah yang mempunyai otoritas di bidang kekuasaan. Dengan kekuatan politik hukum dan sistem hukum yang ada, maka pemerintah dapat membuat kebijakan terhadap keberlakuan syari’at Islam ini menjadi hukum positif.

Dengan legalisasi subtansi hukum Islam yang mencakup segala aspek kehidupan, maka dapat diadopsi menjadi keragaman dan pengayaan hukum nasional karena selama ini system hukum

nasional umumnya masih bersumber dari hukum adat dan hukum Barat. Syari’at Islam yang diyakini bersifat universal, bisa dijadikan salah satu norma hukum yang dapat memenuhi rasa keadilan masyarakat tanpa mengenal ras, sosial budaya, dan politik. Ia juga dapat menjadi filter bagi hukum barat, yang tidak sesuai dengan moral dan budaya Indonesia. Demikian juga, hukum Islam bisa menjadi partner hukum adat yang selama ini telah menjadi kebiasaan lokal masyarakatnya (al- ‘adah al- muhakkamah), selamaadatdanbudayaitu bersesuaian dengan syari’at Islam.

Keragaman sumber hukum materiil, yaitu hukum adat, hukum Islam, dan hukum barat dapat diadopsi secara lengkap dan diangkat menjadi hukum nasional. Khususnya hukum Islam yang banyak tersebar di dalam kitab-kitab fikih yang masih relevan dengan perkembangan masa kini. Untuk mencapai hal ini, memerlukan kerja keras dan komitmen yang kuat

antara pemerintah dengan berbagai elemen masyarakat, baik kalangan eksekutif maupun pihak lain yang mempunyai otoritas di bidang hukum

(3)

Pada hubungan yang pertama yaitu hubungan manusia dengan Allâh sifat hubungan itu absolut (tidak bisa diubah). Sebaliknya pada hubungan yang kedua yaitu hubungan sesama manusia serta alam sekitarnya sifat hubungan itu relatif (dapat diubah berdasarkan perkembangan yang ada). Dalam kajian hukum Islâm hubungan yang kedua ini juga dikenal dengan istilah fiqh. Dengan demikian fiqh merupakan hukum Islâm yang dapat berubah dan berkembang, maksudnya bahwa fiqh di suatu negara dapat berbeda dengan fiqh di negara lain.3 Hal ini menunjukan bahwa perubahan tempat dan waktu menyebabkan perubahan hukum.

Berdasarkan tertib hukum dalam hukum Islâm, al-Qur’ân merupakan sumber hukum yang pertama dan utama. Adapun al- Hadits merupakan sumber hukum kedua dan berposisi sebagai penjelas atas hukum al-Quran. Jika ada suatu masalah yang tidak diatur secara jelas dalam al-Quran maupun al-Hadits, maka keberlakuannya didasarkan pada hukum hasil ijtihâd para ulama’ yang terangkum dalam berbagai hukum fiqh.

Dalam hal ini hukum Islam dan hukum positif berbeda yaitu bahwa hukum Islam merupakan titah Allah yang berisi taklif, tahyir ( pilihan ) dan penetapan. Sedangkan hakikat hukum positif adalahg suatu perintah dengan disertai sanksi. Hukum sebagai penilaian. Dalam hal ini terdapat persamaan antara hukum Islam dan hukum positif, bahwa hukum merupakan penilaian. Dalam hukum terdapat kategori perbuatan manusia menjadi wajib ( harus dikerjakan ), haram ( harus ditinggalkan ) dan sebagainya, yang berarti terdapat penilaian perbuatan baik dan buruk menurut hukum.

Hukum sebagai hubungan. Hakikat hukum sebagai hubungan ini merupakan hasil telaah terhadap apa yang diatur dalam hukum atau dalam diskursus hukum disebut hukum subjektif. Dalam hukum Islam terdapat hukum wadl’I yang berupa sebab, syarat dan man’i yang juga menunjukkan kepada makna hubungan. Misalnya Sebab adalah sesuatu yang lahir dan jelas batasan-batasannya, yang oleh Allah ( syar’i ) dijadikan sebagai tanda bagi wujudnya hukum , yang berarti Sebab merupakan penyebab lahirnya hukum. Oleh karena itu hukum wadl’i dalam konsep hukum Islam mempunyai persamaan dengan hakikat hukum sebagai hubungan dalam konsep hukum positif.

Hukum Islam sebagai satu kesatuan dengan Islam itu sendiri terus berkembang seiring dengan perkembangan masyarakat. Hukum Islam berbeda dengan syariah. Secara umum dapat digambarkan bahwa Islam terdiri dari tiga dimensi yaitu aqidah, syariah dan akhlak. Jika diibaratkan sebagai sebuah pohon maka aqidah adalah akarnya, syariah adalah batang yang kokoh dan menjulang tinggi, sementara daun dan buah yang lebat adalah akhlak. Dimensi syariah yang merupakan batang dari Islam tidak mungkin tegak tanpa akar yang kuat dan tidak ada artinya tanpa daun dan buah yang rindang yang akan memberikan manfaat bagi semesta.

Syariah secara bahasa berarti jalan menuju tempat air dan di dalam Islam syariah dapat dikatakan sebagai perangkat aturan yang ditetapkan oleh Allah SWT yang terdapat di dalam Al Quran.

Dengan demikian tidak boleh dan tidak bisa berubah. Turunan dari syariah yang bersifat aplikatif disebut fiqih dan fiqih merupakan buah fikir para ulama atau ahli hukum yang didasarkan atas syariah karena syariah merupakan pedoman pokok bagi perilaku manusia. Oleh karena itu jika syariah tidak dapat berubah dan bersifat pokok atau pedoman maka fiqih dapat berubah-ubah sesuai dengan perkembangan zaman dan perkembangan masyarakat dengan syarat tidak bertentangan dengan syariah. Fiqih sendiri terbagi menjadi dua yaitu fiqih ibadah dan fiqih muamalat. Didalam menjalankan fiqih terutama fiqih ibadah dalilnya sangat jelas yaitu apa yang tersebut didalam QS 3: 31 yang terjemahannya berbunyi: Jika engkau mencintai Allah maka ikutilah aku (Muhammad SAW). Jadi dalam hal peribadatan maka hal mutlak adalah sesuai dengan apa yang dicontohkan dan

dituntunkan oleh Nabi Muhammad SAW.

(4)

perkembangan zaman, perkembangan kemasyarakatan dan telah diadopsi menjadi bagian dari hukum positif. Sedangkan Hukum positif merupakan hukum yang berlaku saat ini dinegara kita. Hukum islam yang telah ditransformasikan kedalam sistem hukum kita dan berlaku saat ini merupakan hukum islam yang telah menjadi hukum positif misalnya nilai-nilai hukum islam yang terdapat di dalam UU Perkawinan Nomor 1 tahun 1974 dan kaidah-kaidah waqaf yang terdapat didalam UU tentang waqaf, demikian juga UU Perbankan syariah dan beberapa peraturan perundangan lainnya.

Transformasi nilai-nilai ajaran islam kedalam sistem hukum kita merupakan suatu keniscayaan mengingat hukum islam merupakan the living law dan kita ketahui bahwa hukum islam merupakan salah satu dari lima sistem hukum yang berkembang didunia. Oleh karena hukum islam merupakan the living law maka nilai-nilai yang dikandungnya bukan hal yang mustahil menjadi bagian dari hukum positif. Keniscayaan bahwa hukum islam menjadi bagian dari hukum positif terlihat pula dari dasar Negara kita yaitu Pancasila dimana sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa dan di dalam Pasal 29 UUD 1945 adanya kebebasan menjalankan syariah agamanya, namun demikian pengaturan didalam melaksanakan ajaran agama harus diatur sedemikian rupa didalam hukum positif agar didalam pelaksanaanya tetap dapat dicapai ketertiban.

Pemberlakuan Hukum Islâm di Indonesia

Pada awalnya sebelum Islâm masuk ke Indonesia, masyarakat Indonesia menganut kepercayaan animisme dan dinamisme. Tetapi setelah agama Islâm masuk pada abad VII Masehi, ternyata mampu mengubah pola pikir masyarakat pada waktu itu. Hal ini karena cara penyebaran agama Islâm dilakukan secara damai (penetration passifique) melalui perdagangan, perkawinan, pengobatan dan pendidikan.

Perkembangan agama Islâm di Indonesia dapat dibuktikan dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islâm seperti kerajaan-kerajaan Banten, Samudera Pasai, Demak, dan lain sebagainya. Pada saat itu hukum Islâm sudah diterapkan pada hampir seluruh aspek kehidupan masyarakat yang memeluk agama Islâm. Hakim atau yang dikenal dengan istilah qâdlî pada umumnya adalah para ulama yang diberi kekuasaan oleh raja atau Sultan yang sedang berkuasa untuk menangani perkara-perkara perdata dan pidana pada masyarakat pada waktu itu.

Pada saat Belanda datang ke Indonesia, yang tujuan utamanya berdagang, dan membawa hukumnya sendiri yaitu hukum Eropa, sesungguhnya hukum adat, hukum Islâm dan hukum Eropa berlaku secara berdampingan dalam masyarakat tanpa campur tangan dari pemerintah Belanda. Bahkan pada 1855, pemerintah Hindia Belanda memberikan perhatiannya kepada hukum Islâm, yaitu dengan dikeluarkannya Regeringsreglement (Staatblad 1855-2)

Landasan Hukum Positif Pemberlakuan Hukum Islam

Salah satu kebijakan pembangunan nasional adalah menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta memperbaharui perundang-undangan warisan kolonial dan hukum nasional yang bersifat

diskriminatif, ketidakadilan gender dan tidak sesuai dengan tuntutan reformasi.

(5)

Berikut ini beberapa aturan perundang-undangan yang telah dijiwai hukum Islâm dan merupakan representasi dari pemberlakuan hukum Islâm menjadi hukum positif di Indonesia.

Undang-Undang Perkawinan Politik hukum memberlakukan hukum Islâm bagi pemeluknya dibuktikan dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.17 Landasan hukum berlakunya hukum Islâm tersebut terdapat pada Pasal 2 ayat 1, yang menyatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Berdasarkan ketentuan tersebut, suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang Islâm baru dianggap sah apabila dilaksanakan berdasarkan aturan hukum Islâm, yakni haruslah memenuhi rukun dan syarat perkawinan menurut hukum Islâm. Demikian juga keabsahan perkawinan bagi agama lain harus dilaksanakan berdasarkan atau memenuhi aturan hukum pada agama itu.

Undang-Undang perkawinan juga menentukan penggolongan penduduk berdasarkan pada agama, sebagaimana diatur dalam Pasal 63 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974: Yang dimaksud dengan pengadilan dalam undang-undang ini adalah Peradilan Agama bagi yang beragama Islâm dan Peradilan Umum bagi lainnya.

Undang-Undang Peradilan Agama

Berdasarkan Pasal 27 ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tanpa terkecuali dapat difahami bahwa Pasal tersebut merupakan jaminan hak konstitusional bagi seluruh masyarakat. Terjaminnya hak-hak warganegara di bidang agama ditetapkan dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya. Atas dasar adanya kekhususan hukum untuk pemeluk agama tertentu itulah diadakan peradilan khusus untuk pemeluk agama Islâm.

Selain kekhususan tersebut, sesungguhnya keberadaan Peradilan Agama (PA) lebih

merupakan kehendak atau realitas sejarah. Sejak masa kesultanan atau kerajaan Islâm, PA sudah ada meskipun masih dalam bentuknya yang sangat sederhana, seperti peradilan serambi yaitu peradilan yang ditempatkan di serambi masjid. Pada saat itu, jika masyarakat mempunyai persoalan, mereka akan menghadap para ulama’ untuk mendapatkan solusinya berdasarkan hukum Islâm. Dengan demikian pada saat itu seorang ulama’ sekaligus juga berposisi sebagai hakim.

Eksistensi peradilan agama di Indonesia menjadi kokoh dan menjadi lembaga mandiri setelah adanya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Pasal 1 menyatakan bahwa peradilan agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islâm. Pasal tersebut dipertegas oleh Pasal 2 yang menyatakan bahwa peradilan agama merupakan salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islâm mengenai perkara tertentu yang diatur dalam undang-undang.

Pengertian perkara tertentu tersebut dijelaskan dalam Pasal 49 yang menyatakan bahwa pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan menyelesaikan perkara-perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islâm di bidang perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, sadakah, dan ekonomi syarî’ah.

Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji

(6)

yang sangat kompleks, penyelenggaraannya harus melibatkan institusi luar negeri. Kesalahan satu aspek saja dapat berakibat fatal sebab menyangkut banyak kepentingan di dalamnya.

Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Pelaksanaan hukum Islâm di Indonesia sering kali menimbulkan pemahaman yang berbeda di kalangan umat Islâm. Akibatnya hukum yang diputuskan pada suatu peristiwa juga sering menjadi perdebatan. Oleh karena itu untuk memenuhi tuntutan kepastian hukum terutama di lembaga peradilan, diperlukan upaya penyeragaman/kesatuan pemahaman dan kejelasan hukum Islâm. Keinginan itulah yang menjadi dasar lahirnya kompilasi Hukum Islâm, yang akan menjadi pegangan bagi hakim di lingkungan peradilan agama.

Kompilasi Hukum Islâm (KHI) merupakan kumpulan hukum Islâm (fiqh) yang disusun berdasarkan kondisi dan kebutuhan ummat Islâm di Indonesia. Oleh karena itu KHI bukan merupakan madzhab baru melainkan penyatuan beberapa madzhab dalam hukum Islâm yang disesuaikan dengan budaya Indonesia. Sesuai dengan fungsinya, posisi KHI merupakan buku standar yang dapat dijadikan pedoman atau rujukan bagi hakim untuk memutus perkara yang diajukan ke PA, dan sekaligus menjadi pelengkap atas peraturan perundang-undangan yang ada.

Prospektif Berlakunya Hukum Islâm di Indonesia

Hukum Islâm masuk ke Indonesia pada abd ke-13, yakni bersamaan dengan masuknya agama Islâm ke Indonesia dalam perjalanannya mengalami perkembangan yang signifikan. Sebagaimana telah diuraian sebelumnya bahwa hukum Islâm pada masa pemerintahan Hindia Belanda secara yuridis formal telah tercantum dalam perundang-undangan pada masa tersebut.

Dalam perkembangan selanjutnya hukum Islâm telah diterima oleh masyarakat, elit politik maupun legislatif, yang berkeinginan untuk melegislasi hukum Islâm. Dengan demikian

perkembangan hukum Islâm di Indonesia merupakan wujud aktualita dinamika masyarakat. Dukungan seluruh komponen masyarakat memberikan andil yang sangat besar dalam menghadapi tantangan.

Pada masa yang akan datang pemberlakuan hukum Islâm di Indonesia memerlukan perhatian yang lebih serius untuk mengimbangi perkembangan masyarakat yang semakin maju dan terbuka pada semua informasi. Hal ini disebabkan oleh karena tidak semua hukum Islâm dapat diterapkan secara langsung, tetapi ada sebagian yang harus melalui proses pembudayaan atau melalui politik pemerintahan. Hukum Islâm yang disebutkan terakhir baru akan memiliki kedudukan yang mantap dan berlaku dalam suatu masyarakat atau negara apabila telah menjadi hukum positif, yaitu melalui proses politik dan proses legislasi oleh kekuasaaan negara.

Hal itu sesuai dengan pandangan Soerjono Soekanto, bahwa keberlakuan dan

keberlangsungan hukum bergantung pada 5 (lima) komponen, yaitu materi hukum itu sendiri, pihak-pihak yang membentuk dan menerapkan hukum, sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum, lingkungan/mayarakat dimana hukum tersebut berlaku dan faktor kebudayaan di dalam pergaulan hidup.

(7)

Secara umum hukum Islam merupakan hukum yang bersumber dari agama Islam yang berdasarkan kepada Al-Quran dan Hadits. Hukum Islam ini baru dikenal di Indonesia setelah agama Islam disebarkan di tanah air, namun belum ada kesepakatan para ahli sejarah Indonesia mengenai ketepatan masuknya Islam ke Indonesia. Ada yang mengatakan pada abad ke-1 hijriah atau abad ke-7 masehi, ada pula yang mengatakan pada abad ke-7 Hijriah atau abad ke-13 masehi. Walaupun para ahli itu berbeda pendapat mengenai kapan Islam datang ke Indonesia hukum Islam telah diikuti dan dilaksanakan oleh para pemeluk agama Islam di Indonesia. Hal ini terlihat dengan banyaknya hasil studi dan karya ahli hukum Islam di Indonesia sejak dahulu kala.

Jika semenjak agama Islam masuk ke Indonesia hukum Islam di gunakan oleh masyarakat Indonesia maka dalam sistem hukum yang ada di Indonesia pada saat itu terdapat subsistem hukum Islam. Karena sebelum datangnya Islam Indonesia sudah mempunyai hukum sendiri yang disebut hukum adat yang menjadi sistem yang tersendiri. terdapat berbagai teori mengenai hubungan antara hukum Islam dengan hukum adat ini salah satunya adalah teori receptin in complexu yang

diterangkan oleh Van den Berg yang mengatakan :“selama bukan sebaliknya dapat dibuktikan, menurut ajaran ini hukum pribumi ikut agamanya, karena jika memeluk agama harus juga mengikuti hukum agama itu dengan setia” dengan demikian dapat dikatakan bahwa sesungguhnya hukum adat itu juga merupakan bagian hukum agamanya karena merupakan hasil resepsi dari agama dalam artian hukum Islam merupakan bagian dari hukum adat juga karena mayoritas masyarakat Indonesia pada saat itu adalah beragama Islam. Menurut Soebardi, juga menunjukan bahwa terdapat bukti-bukti yang menunjukkan bahwa Islam berakar dalam kesadaran penduduk kepulauan nusantara dan mempunyai pengaruh yang bersifat normatif dalam kebudayaan Indonesia.

Pada saat bangsa Belanda melalui organisasi perusahaan dagang belanda (VOC) datang ke Indonesia dengan maksud yang semula adalah untuk berdagang namun kemudia haluannya berubah untuk menguasai kepulauan Indonesia. Untuk memantapkan tujuannya itu pihak Belanda harus mempergunakan hukum Belanda yang dibawanya. Namun, dalam kenyataannya hukum Belanda tersebut sangat sulit untuk di terapkan akibat sudah adanya hukum yang hidup telah lama dalam masyarakat Indonesia. Pihak Belanda-pun harus memahami hal itu jika tidak yang terjadi hanyalah terdapat perlawanan dari masyarakat Indonesia sendiri. Akhirnya dilakukanlah penggolongan hukum. dalam hal ini hukum Islam dapat diberlakukan bagi orang-orang yang menganut agama Islam. Bahkan pada saat itu pihak Belanda meminta kepada D.W Freijer untuk menyusun

suatu compendium (intisari/ringkasan) yang memuat hukum perkawinan dan kewarisan dalam Islam.Setelah ringkasan tersebut disempurnakan, ringkasan tersebut diterima oleh pemerintah Belanda untuk dipergunakan oleh pengadilan dalam menyelesaikan sengketa-sengketa di kalangan umat Islam.

(8)

Namun karena alasan-alasan politis yang didukung oleh pandangan Ter Haar bahwa hukum Islam khususnya kewarisan belum sepenuhnya di terima oleh masyarakat dan merekomendasikan kepada Gubernur Jenderal Hindia Belanda untuk peninjauan kembali kewenangan pengadilan agama maka semenjak itu terdapat usaha-usaha Belanda untuk merubah kewenangan pengadilan agama yang akhirnya pada tahun 1937, dengan S.1937 Nomor 116, wewenang mengadili perkara kewarisan di alihkan yang semula di pengadilan agama ke pengadilan negeri. Akibatnya perihal kewarisan yang semula didasarkan kepada hukum Islam di pengadilan agama semenjak itu diputuskan berdasarkan pengadilan biasa yang belum tentu bersandar kepada hukum Islam. Setelah itu penerapan dan penyebaran hukum Islam-pun mengalami kemandegan akibat keputusan pemerintah Belanda.

Usaha-usaha menempatkan kedudukan hukum Islam dalam kedudukannya semula dilakukan oleh para pemimpin-pemimpin Islam. Hingga akhirnya pada masa pemerintahan Jepang menjelang kemerdekaan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPKI) merumuskan dasar negara dan menentukna hukum dasar bagi negara Indonesia di kemudian hari, para pemimpin Islam yang menjadi anggota badan tersebut terus berusaha untuk “mendudukkan” hukum Islam dalam Negara Republik Indonesia kelak. Pertukaran pemikiran terus dilakukan hingga menghasilkan persetujuan yang dinamakan piagam Jakarta menyatakan diantaranya bahwa negara berdasarkan kepada

Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Namun akibat tawar-menawar politik kalimat tersebut digantikan hanya dengan kata “Ketuhanan yang maha esa” saja. Makna ketuhanan yang maha esa ini sudah dianggap sebagai selain mempercayai adanya Tuhan yang maha esa juga berarti kewajiban menjalankan perintah Tuhan berdasarkan kepercayaan masing-masing, termasuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk agama Islam.

Setelah Indonesia merdeka maka terdapat berbagai perombakan di bidang hukum. Indonesia sebagai negara berdaulat harus segera membenahi sistem hukumnya yang semula merupakan sistem hukum warisan masa kolonial. Usaha-usaha pembentukan suatu sistem hukum yang terunifikasi secara nasional-pun gencar dilakukan Hingga muncul suatu konsepsi sistem hukum nasional yang bersumber kepada Pancasila dan UUD 1945. Lalu bagaimanakah Kedudukan Hukum Islam dalam sistem Hukum Nasional dimana hukum Islam berdasarkan sejarah Indonesia merupakan suatu kultur yang telah lama ada.

Sistem hukum di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari sistem demokrasi yang dianutnya, yang menempatkan manusia berada dalam posisi yang setara dengan Tuhan. Dalam sistem ini, manusia memiliki hak untuk membuat hukum dan menentukan halal-haram. Terkait dengan sumber pokok hukum Perdata (burgerlijk Wetboek), Indonesia masih mengadopsi hukum buatan manusia (penjajah) yang berasal dari hukum perdata Prancis, yaitu Code Napoleon, yang diadopsi oleh Belanda. Hukum tersebut berlaku di Indonesia sejak 1 Mei 1848 bersamaan dengan penjajahan Belanda. Kitab Undang-Undang Pidana (Wetboek van Strafrecht)-nya pun diadopsi dari KUHP untuk golongan Eropa yang merupakan kopian dari Code Penal, yaitu Hukum Pidana di Prancis zaman Napoleon. Akibat diadopsinya hukum buatan manusia, batasan kejahatan menjadi kacau bahkan memicu kejahatan lain.

Sebagai contoh, dalam KUHP Pasal 284, perzinaan (persetubuhan di luar nikah) akan

dikenakan sanksi bila dilakukan oleh pria dan wanita yang telah menikah. Itu pun jika ada pengaduan dari pihak yang dirugikan. Artinya, jika perzinaan itu dilakukan oleh bujang-lajang, suka sama suka, maka pelaku tidak dikenakan sanksi. Akibatnya, free seks menjadi legal, hamil di luar nikah menjadi biasa, bahkan aborsi sekalipun. Contoh lain, ketika batasan kepornoan samar, bahkan kepornoan yang jelas pun dikecualikan (seperti dalam pentas-pentas seni), hal itu akan berdampak pada pelecehan terhadap perempuan, mulai dari pelecehan ringan hingga pemerkosaan.

(9)

Referensi

Dokumen terkait

Setelah diketahui strengths, weaknesses, opportunities, dan threats nya, maka dilakukan analisis dengan menggunakan matriks SWOT, untuk memperoleh isu strategis

Berdasarkan analisis data, peneliti dapat menyimpulkan bahwa struktur gerak tari di bagi menjadi empat bagian, yaitu motif, frase, kalimat gerak atau ragam gerak, dan gugus hingga

Hasil bawang merah hektar -1 yang lebih tinggi pada perlakuan pemupukan organik disebabkan oleh peningkatan komponen hasil seperti jumlah umbi tanaman -1 , berat segar

dalam kehidupan koperasi yang merupakan jati diri atau ciri khas koperasi. Koperasi sekolah merupakan koperasi yang didirikan di lingkungan sekolah yang

Tindakan terhadap Perilaku Hidup Bersih Dan Sehat pada Anak Sekolah Dasar Negeri 08 Moramo Utara Desa Wawatu Kecamatan Moramo Utara Kabupaten Konawe Selatan Tahun

[3.1] Menimbang bahwa maksud dan tujuan permohonan para Pemohon adalah untuk menguji konstitusionalitas Pasal 15 ayat (3) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan

Pada masa bercocok tanam telah menghasil budaya yang mengarah pada usaha bercocok tanam yang syarat dengan kepercayaan/religi. Bentuk alat-alatnya pun lebih halus dan sudah

2) Akronim nama diri yang berupa gabunagn suku kata atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kapital.c. 3) Akronim yang bukan