• Tidak ada hasil yang ditemukan

PRANATA SOSIAL HUKUM ISLAM pdf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PRANATA SOSIAL HUKUM ISLAM pdf"

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

I. PRANATA SOSIAL DAN

NORMA SOSIAL HUKUM ISLAM

Perbincangan tentang konsep pranata sosial yang menjadi poin penting dari pembahasan tulisan ini dapat dimulai dari formasi kata ―pranata dan sosial‖. Dalam menelusuri pengertian pranata itu, setidaknya terdapat 2 (dua) varian kata yang sering dipersinggungkan, yaitu: institusi dan pranata. Dua varian kata itu seolah-olah memiliki prasa makna yang berbeda. Padahal kata institusi dan pranata itu berasal dari akar kata yang sama, yaitu institution. Di dalam bahasa latin kata instituere berarti mendirikan. Dari kata instituere itu lahir kata benda

institution yang berarti pendirian. Dalam bahasa Indonesia institution diartikan

dengan pengertian institusi (pranata) dan institut (lembaga).

Istilah institusi itu sering digunakan untuk pola tingkah laku yang telah disepakati. Judistira K. Garna memberikan pengertian institusi dengan ―suatu pola tingkah laku yang telah menjadi biasa, atau suatu pola relasi sosial yang memiliki tujuan sosial tertentu‖.1 RM. Maclver dan CH. Page sebagaimana dikutip Judistira K. Garna mendefinisikan institusi dengan: ―established forms or conditions of procedurs characteristics of group activity‖.2 Secara lebih sederhana institusi berarti suatu ―sistem norma atau aturan yang ada. Sedangkan institut adalah wujud nyata dari norma-norma‖.3 Dengan definisi-definisi tersebut, maka dikenal berbagai institusi seperti institusi peribadatan, pendidikan, kesenian, kesehatan, sosial, dakwah, dan hukum.

Dalam tradisi Ilmu Sosial, penggunaan istilah institusi itu sering dilakukan secara bergantian dengan istilah pranata. Dalam konteks ini istilah pranata sering dikaitkan dengan norma yang bersifat abstrak dan fenomena sosial yang bersifat empirik. Karena itu, pranata didefinisikan pula dengan ―seperangkat aturan yang berkisar pada kegiatan atau kebutuhan tertentu‖. Dalam

1 Judistira K. Garna.

Ilmu-Ilmu Sosial Dasar-Konsep-Posisi, (Bandung: Unpad, 1996), hlm. 151.

2 Ibid., hlm. 152.

(2)

kamus bahasa Indonesia pranata berarti sistem tingkah laku sosial yang disetujui bersama atau adat istiadat konvensional dalam masyarakat tertentu. Sedangkan pengertian pranata menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah suatu sistem tingkah laku sosial yang bersifat resmi serta adat-istiadat dan norma yang

mengatur tingkah laku itu, dan seluruh perlengkapannya guna memenuhi berbagai kompleks kebutuhan manusia dalam masyarakat. Sementara pengertian sosial ialah segala sesuatu yang berkenaan dengan kemasyarakatan.4

Istilah ―pranata sosial‖ yang merupakan rangkaian kalimat (idhapah) dari kata pranata dan kata sosial itu sebenarnya berasal dari bahasa Inggris social

institution. Dalam beberapa referensi pranata sosial itu disebut dengan lembaga

sosial dan bangunan sosial. Meskipun istilah yang digunakanya berbeda-beda, tetapi social institution menunjuk pada dustur yang sama, yaitu mengatur perilaku dan pola hubungan anggota masyarakat. Jadi dapat dikatakan, bahwa pranata sosial adalah suatu sistem norma untuk mencapai suatu tujuan atau kegiatan yang oleh masyarakat dipandang penting. Dengan kata lain, pranata sosial adalah sistem hubungan sosial yang terorganisir yang mengejawantahkan nilai-nilai serta prosedur umum yang mengatur dan memenuhi kegiatan pokok warga masyarakat. Karena itu, terdapat tiga kata kunci di dalam setiap pembahasan mengenai pranata sosial, yaitu:

a. Nilai dan norma.

b. Pola perilaku yang dibakukan atau yang disebut prosedur umum.

c. Sistem hubungan, yakni jaringan peran serta status yang menjadi wahana untuk melaksanakan perilaku sesuai dengan prosedur umum yang berlaku.

Pranata sosial itu muncul dan berkembang sebagai refleksi dari suatu kebudayaan masyarakat. Karena itu, pembahasan tentang pranata sosial berkaitan dengan pembahasan tentang kebudayaan manusia sendiri, yang menurut

(3)

Kluckhon adalah ―keseluruhan cara hidup manusia‖. Hal itu kemudian diwujudkan dalam bentuk konsep-konsep, gagasan dan rencana (blue print) yang tersusun sebagai kombinasi antara reaksi manusia terhadap lingkungan sekitar dengan etos-etos yang menjadi nilai dasar kehidupannya. Selanjutnya keadaan itulah yang membentuk perilaku serta tradisi manusia, baik dalam rangka memenuhi kebutuhan biologis, psikologis, sosial maupun kebutuhan-kebutuhan lainnya. Perilaku dan tradisi itulah yang biasa disebut sebagai pranata social.6

Dalam kontek ini dapat dipahami bahwa pranata sosial adalah tradisi-tradisi dalam kehidupan manusia yang terbentuk sebagai kombinasi antara reaksi kemanusiaan atas tantangan dan dinamika lingkungannya dengan etos yang menjadi nilai dasar kehidupan. Bagi kalangan umat Islam, nilai etos itu terbentuk dari ajaran dasar al-Qur‘an dan al-Hadis yang dijewantahkan dan dikembangkan melalui kreasi ijtihad.

Dalam pandangan Soerjono Soekanto, pranata sosial yang terdapat di dalam masyarakat itu harus dilaksanakan dengan fungsi berikut:

a. Memberi pedoman pada anggota masyarakat tentang tata cara bertingkah laku atau bersikap di dalam usaha untuk memenuhi segala kebutuhan hidupnya.

b. Menjaga keutuhan masyarakat dari ancaman perpecahan atau disintegrasi masyarakat.

c. Berfungsi untuk memberikan pegangan dalam mengadakan sistem pengendalian sosial (social control).

Pada prinsipnya pranata sosial itu memiliki tujuan yang sama dengan norma sosial. Dalam hal ini pranata sosial berbanding lurus dengan norma-norma sosial, karena sesungguhnya pranata sosial merupakan produk dari norma-norma sosial. Secara umum, tujuan utama pranata sosial adalah untuk mengatur agar

5Dede Rosyada. Hukum Islam dan Pranata Sosial. (Jakarta: Rajawali Press,1996), hlm.163. Lihat

pula Clyde Cluckhon.“Cermin bagi manusia”, dalam Parsudi Suparlan (ed.), Manusia, Kebudayaan dan Lingkungannya, (Jakarta: Rajawali, 1984), hlm. 69.

(4)

kebutuhan hidup manusia dapat terpenuhi secara memadai, di samping untuk mengatur agar kehidupan sosial warga masyarakat dapat berjalan dengan baik sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku, sehingga dapat terwujud ketertiban lahiriyah dan ketentraman batiniah. Untuk sekedar menyebut contoh, pranata keluarga mengatur perkawinan, kewajiban dan hak suami- isteri, dan tata cara keluarga dalam memelihara dan mendewasakan anak (hifdz al-nasl). Sementara itu, pranata pendidikan mengatur kewajiban, tugas, dan kewenangan lembaga pendidikan seperti: ma‘had, sekolah, dan perguruan tinggi dalam mendidik para santri, siswa, dan mahasiswa sebagai upaya membangun generasi ulul albab yang cerdas (hifdz al-aql), sehingga kelak dapat menghasilkan lulusan yang handal dan berkualitas.

Begitu pula yang berkaitan dengan kelengkapan menunaikan kewajiban ibadah mahdhah. Mendirikan shalat misalnya perlu adanya sarana yang disebut dengan mushalla, langgar, tajug, atau masjid, meskipun dalam ajaran Islam melaksanakan shalat itu bisa di mana saja asal suci dan bersih dari kotoran, kullu

makanin masjidun—setiap ruang/tempat bisa dijadikan masjid—tempat shalat. Karena itu, menunaikan ibadah shalat tidak mesti di masjid, apabila keadaannya tidak memungkinkan, dapat dimana saja sesuai kemampuan

dan keadaan. Tetapi dalam keadaan yang semestinya—rutinitas keseharian, keberadaan tempat-tempat suci untuk beribadah itu menjadi suatu keharusan, agar umat Islam mendapat berbagai kemudahan, keamanan, kenyamanan, kekhusuan, kekhidmatan, dan kelancaran dalam menunaikan ibadahnya.

Sementara itu, dalam ibadah-ibadah lainnya seperti zakat, infaq, dan shadaqah diperlukan lembaga penunjang seperti BAZIS, UPZIS, dan LAZIS (Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011). Dalam ibadah shaum pun diperlukan lembaga khusus yang bertugas menetapkan awal bulan Ramadhan, penetapan 1 Syawal (iedul fitri) dan penetapan awal bulan Dzulhijah seperti Badan Hisbah dan Ru‘yat (BHR).

(5)

Sementara itu, lembaga-lembaga yang secara khusus dapat memberikan bimbingan, pembekalan, pengawalan, dan pendampingan dan membantu pelaksanaan ibadah haji seperti KBIH dan Biro Perjalanan Haji dan Umrah atau bentuk-bentuk lainnya seperti travel memiliki peran besar dalam membantu memperlancar penyelenggaraan haji, sehingga keberadaannya tetap harus dipelihara, dipertahankan dan ditingkatkan.

Dengan memperhatikan keberadaan, peran dan fungsi strategis pelbagai lembaga tersebut, maka keberadaannya menjadi wajib dan mutlak diperhatikan. Dalam kaidah fiqh dikatakan: Mala yatimul wajibu illa bihi fahuwa wajibun.7 Karena itu dapat dibayangkan apabila lembaga-lembaga itu tidak tersedia, tidak dimiliki, maka kewajiban untuk menunaikan ibadah dan kegiatan lainnya yang berdimensi ibadah dan muamalah, yang menjadi hajat orang banyak sangat sulit dapat diwujudkan. Mengingat berbagai persoalan, termasuk persoalan muamalah dan fenomena sosial semakin berkembang pesat seiring dengan semakin berkembang dan bertambah pesatnya dinamika perkem-bangan dan kesadaran hukum umat Islam dalam melaksanakan rukun Islam dan ibadah-ibadah lainnya yang dititahkan Allah SWT. dan Rasul-Nya. Karena itu pula, pranata-pranata sosial hukum Islam yang selama ini sudah membuktikan keberadaan dan peran serta fungsi strategisnya perlu mendapatkan perlindungan, penguatan hukum, dan peningkatan kualitas agar keberadaannya tetap eksis sejalan dengan tuntutan dan perkembangan zaman.

7 A. Djazuli.

(6)
(7)

II.

INSTITUSIONALISASI IBADAH DAN

PRANATA SOSIAL PERIBADATAN

A. Pengertian dan Konsep Ibadah

Dari segi bahasa, kata ibadah berasal dari kata „abada ya‟budu „ibadatan, yang berarti beribadah atau menyembah.8 Dalam kamus bahasa Indonesia, kata ibadah bermakna kebaktian kepada Tuhan.9 Harun Nasution merumuskan kata ibadah dengan tunduk dan patuh dan tidak hanya memiliki pengertian menyembah, karena tuhan maha sempurna dan tak berhajat kepada apapun.10 Pengertian itu sejalan dengan pandangan Imam Al-Qurthubi yang berpendapat bahwa asal makna ibadah adalah merendahkan diri dan tunduk.11

Dari segi istilah, makna ibadah memiliki banyak arti, antara lain diartikan dengan: Mendekatkan (diri) kepada Allah SWT, dengan cara mengerjakan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, serta mengamalkan apa-apa yang diizinkan agama‖.12 Pengertian lain yang tampak lebih luas disampaikan oleh Ibnu Taymiyah, yang mengartikan ibadah dengan: ―suatu nama yang mencangkup segala bentuk yang dicintai serta diridhai Allah, baik ucapan, maupun perbuatan yang nyata atau tersembunyi.‖13

Terminologi tersebut memberikan pemahaman bahwa ibadah tidak

sekedar menyembah tetapi juga merupakan bentuk upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan mengerjakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, serta tidak hanya berbentuk ritual tetapi dapat berupa aktifitas lain yang baik dan diridhai Allah SWT.

8Atabik Ali dkk.

Kamus Al-„Ashr (Yogyakarta: Multi Karya Grafika,1998), hlm.1268.

9 Amran Ys Chaniago. Kamus Bahasa Indonesia (Bandung: Pustaka Setia,1995), hlm.251 10 Harun Nasution.

Islam Ditinjau dari Berbagai Aspek, (Jakarta:UIP), hlm. .33

11 Abdurrahman Hasan Alu Syaikh.

Fathul Majid. (Wizarah Syuun Islamiyyah wal Awqaf wa Da‟wah wal Irsyad al-Mamlakah al‟Arabiyah, 1421H), hlm. 27

(8)

Bagi hamba Allah SWT. yang berkeyakinan akan adanya rabb, Allah SWT. dan mengimaninya, persoalan ibadah menjadi refleksi dari nilai-nilai keimanan. Dalam ajaran Islam ibadah itu merupakan tujuan awal penciptaan jin dan manusia selaku makhluk ciptaan-Nya di muka bumi. Hal itu sejalan dengan firman Allah SWT. dalam Surah Adz Dzariyat ayat 56: Wa maa khalaqtul Jinna Wal Insa illa liya‟buduuni—Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah Ku.14

B. Dasar Hukum dan Hukum Asal Ibadah

1. Dasar Hukum Ibadah

Terdapat sejumlah dalil yang menguatkan pentingnya melaksanakan ibadah sebagai bentuk dan wujud penghambaan makhluk kepada khaliknya, manusia kepada Allah SWT. Dalil-dalil itu berupa Al-Qur‘an, Al-Hadis, dan Ijma‘ ulama.

a. Al-Qur’an

Dalam Surah Al-Dzariyah ayat 56-58, Al-Maidah ayat 3, dan Surah Yunus ayat 59 dijelaskan tentang titah dan pentingnya ibadah.

1) Surah Al-Dzariyah ayat 56-58 mengatur tentang keharusan manusia untuk beribadah, yang terjemahannya berbunyi: Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu. Aku tidak menghendaki rezki sedikitpun dari mereka dan Aku tidak menghendaki supaya mereka memberi Aku makan. Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi rezki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh‖.15

2) Surah Al-Maidah ayat 3 menjelaskan tentang kesempurnaan agama Islam, yang terjemahannya berbunyi: Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Kucukupkan kepadamu nikmatKu, dan telah Kuridhai Islam itu jadi agama bagimu‖.16

14 Departemen Agama RI.

Al-Qur‟an dan Terjemahannya (Semarang: CV Toha Putra, 1989),

hlm. 862. 15

Ibid., hlm. 862-863. 16

(9)

Melalui utusan-Nya yang terakhir, Muhammad Rasulullah SAW., Allah SWT. telah menyempurnakan agama Islam ini sebagai ajaran yang paling lengkap untuk umat manusia. Pelbagai persoalan yang berkaitan dengan urusan hidup manusia, baik urusan duniawi maupun urusan ukhrawi telah diatur secara sempurna. Karena itu segala sesuatu yang disyari‘atkan sesudah turunnya ayat ini, maka bukan bagian dari ajaran agama Islam.

b. Al-Hadis

Dalam kapasitas sebagai bayan fi al-Syari‟ah, hadis menjadi sumber ajaran yang kedua setelah Al-Qur‘an, yang berfungsi juga sebagai penjelas bagi ayat-ayat Al-Qur‘an yang masih mujmal. Melalui periwayatan yang shahih, dijelaskan tentang hal ihwal yang berkaitan dengan ‗ubudiyah, antara lain:

1) Dari Abu Dzar RA. bahwasanya Rasulullah SAW. bersabda: ―Tidak ada sesuatu yang mendekatkan kepada surga dan menjauhkan dari neraka kecuali telah diterangkan kepada kalian”.17

2) Dalam Musnad Al-Syafi‘i dijelaskan: ―Tidaklah aku tinggalkan sesuatu yang Allah perintahkan kepada kalian kecuali telah aku perintahkan kalian melaksanakannya. Dan tidak juga aku meninggalkan suatu larangan yang telah Allah larang kalian darinya kecuali telah aku larang kalian darinya.‖18

3) Dalam Al-Hadis yang diriwayatkan Bukhari, Nabi SAW. bersabda: ―Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.‘‘19

c. Ijma’ Ulama

Ibadah merupakan suatu bentuk pengabdian seorang hamba kepada Khaliknya, Allah SWT, yaitu dengan melakukan ritual atau aktifitas yang telah diperintahkan-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dalam Islam konsep ibadah (ritual) itu sangat erat dengan hal-hal yang diperintahkan Allah SWT. dan

17 Hadis riwayat Thabrani dalam al-Kabir Nomor 1647 (dishahihkan dalam

al-Shahihah oleh Syaikh Al-Albani).

18 Dihasankan oleh Syaikh Al-Albanidalam al-Shahihah.

19 Bukhari.

(10)

dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Dalam kaitan itu, maka ijma‘ ulama merumuskan bahwa ―Ibadah adalah tauqifiyah‖ atau ―Ibadah dibangun di atas tauqif.‖ Dengan perkataan lain tidak boleh beribadah kepada Allah SWT. dengan bentuk apapun, kecuali apabila ibadah itu telah benar-benar terdapat ketentuannya dalam nash syar‘i, baik melalui Al-Qur‘an maupun dalam Al -Hadis.

2. Hukum Asal Ibadah

Dalam ajaran Islam, prinsip dasar beribadah (habl min Allah) itu berbeda

dengan bermu‘amalah (habl min al-Nas). Dalam beribadah hukum dasarnya adalah larangan, kecuali yang diperintahkan. Dalam hal ini melakukan ibadah itu dilarang, kecuali yang jelas-jelas ada perintah dan dicontohkan oleh Rasulullah SAW. Al-Ashlu fi al-Ibadati al-Buthlanu Hatta Yaquuma Dalilu ala al-Amri.— Hukum asal dalam ibadah mahdhah adalah batal sampai ada dalil yang memerintahkannya.20 Sedangkan dalam muamalah prinsip hukum dasarnya adalah serba boleh, kecuali yang dilarang. Al-Ashlu fi al-Muamalati al-Ibahah illa an Yadula Dalilu „ala Tahrimiha—Hukum asal dalam muamalah adalah kebolehan sampai ada dalil yang menunjukkan keharamannya.21

Imam Ahmad dan ulama hadis lainnya berkata: Sesungguhnya hukum asal dalam ibadah adalah tauqif, tidak disyariatkan untuk melaksanakannya

kecuali apa yang telah Allah SWT. syari‘atkan. Pendapat Imam Ahmad dan ulama hadis itu kemudian diikuti oleh ulama lainnya seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baaz. Ia mengatakan: ―Ibadah adalah tauqifiyah, maka tidak disyari‘atkan kecuali apa yang telah dibawa oleh Rasulullah SAW. seperti melaksanakan shalat fardhu, zakat, shaum ramadhan, menunaikan ibadah haji, shadaqah, dan jihad yang telah ditunjukkan oleh dalil-dalil syar‘i.

20 A.Djazuli. Kaidah-kaidah Fikih: Kaidah-kaidah Hukum Islam Dalam Menyelesaikan

Masalah-masalah yang Praktis (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hlm.52.

(11)

Tujuan disyari‘atkannya hukum tentang peribadatan itu adalah dalam rangka memelihara aspek keagamaan, yakni untuk memenuhi salah satu dari tuntutan kepercayaan teologis, karena menjalankan rangkaian ibadah makhdah ini merupakan manifestasi dari tuntutan doktrin kepercayaan kepada Allah SWT. dan Rasul-Nya.

3. Penjiwaan Nilai-nilai Ibadah

Kajian atas jati diri manusia sebagai hamba Allah SWT. dapat dibedakan dari makhluk-makhluk lainnya yang diciptakan Allah SWT. Manusia yang dilengkapi dengan akal, terdiri atas dua unsur, yaitu: jasmani dan rohani. Dua unsur itu menyatu dalam diri manusia. Menurut Moh. Ardani manusia adalah jasmani yang dirohanikan, dan manusia seutuhnya adalah rohani yang telah menjasmani, maka badan manusia bukan hanya materi semata-mata atau kejasmanian saja. Seluruh jasmani manusia dan segala gejalanya tidak sama dengan jasmani binatang, karena kejasmanian manusia adalah jasmani yang dirohanikan dan di dalam jasmani itu terdapat roh yang menjasmani.22

Dalam konteks ajaran Islam, unsur jasmani dan rohani itu perlu dipupuk dengan sebaik-baiknya agar tetap sehat dan kuat. Secara fisik, jasmani perlu dipupuk dengan materi, makanan-minuman yang baik dan bergizi (halalan

thayyiban). Di samping itu diperlukan olah raga, olah kanuragan yang teratur. Ini

penting untuk kebugaran dan keseimbangan jasmani dan tata pikir: Al-Aqlu Salim

fil Jismi Salim, akal yang sehat terdapat pada jasad/jasmani yan sehat. Sedangkan

rohani, secara psychis diperlukan pembinaan, pemeliharaan yang teratur, terus menerus dan berkelindan, agar stabilitas emosional dan kekuatan aqidah, kekuatan ibadah, kekuatan khulukiah dan kekuatan spiritual tetap terjaga dengan baik sebagai modal penghambaan diri, taqarub, ibadah kepada Khaliq.

Dengan demikian perlu diakui, bahwa peristiwa-peristiwa yang dialami manusia secara jasmaniah akan mempengaruhi gerak batin dan rohaninya. Sebaliknya situasi rohani seseorang juga akan tercermin dalam sikap dan tingkah

22

(12)

laku lahiriah atau jasmaniahnya. Dengan berbagai ucapan dan perbuatan dalam ibadah, rasa rohaniah dan rasa moral menjadi lebih tajam, yang pada gilirannya akan mengantarkan sosok pribadi manusia yang ―pandai merasa‖ daripada ―merasa panndai‖. Lebih lanjut segala peristiwa rohaniah manusia berpengaruh pada jasmaninya yang menggejala dalam kehidupan lahiriahnya. Demikian pula sebaliknya peristiwa yang dialaminya secara jasmaniah berpengaruh pada rohaninya yang menggejala dalam kehidupan rohaniahnya.23

Bagi umat Islam, melaksanakan ibadah itu merupakan wujud penghambaan dan pengabdian diri yang dilakukan seorang makhluk kepada Khaliq, Allah SWT. Wa ma khalaqtul jinna wal insa illa liya‟buduni. Atas dasar komitmen penciptaannya sejak awal, maka jin dan manusia sebagai makhluk Allah SWT. berkewajiban untuk tunduk dan patuh kepada sang Khalik, Allah SWT. yakni melalui ibadah makhdhah. Sudah barang tentu, semua bentuk ibadah, baik shalat, puasa, zakat, maupun haji, harus dipahami dan semata-mata bertujuan untuk taqarub kepada Allah SWT., agar jiwa manusia tetap ―eling‖, ingat dan merasa senantiasa dekat kepada-Nya. Keadaan yang demikian dapat memperkokoh kesucian jiwa, sehingga dapat menjadi prisai dalam membentengi dan mendurhakai hawa nafsunya yang selalu menggoda agar melanggar norma-norma, peraturan dan hukum yang berlaku.

Di samping bermakna tunduk dan patuh kepada Allah SWT. ibadah itu mengandung aspek latihan spiritual untuk mendapatkan kesucian, dan sebagai dimensi latihan khulukiah. Jadi, ibadah itu selain berfungsi untuk berbakti kepa-da Allah SWT., juga membawa efek kesucian lahir batin, menjadikan orang baik yang jauh dari noda-noda hitam. Melalui penghayatan yang demikian pada tataran yang lebih jauh diharapkan agar sistem nilai yang bersinggungan dengan keimanan dapat berbaur, bersinergi menjadi satu dengan sistem norma yang terdapat dalam syari‘at.

C.Fenomena Pranata Sosial Peribadatan

(13)

1. Dinamika dan Tradisi Peribadatan

Kesadaran, pembumian dan tradisi keagamaan berupa praktik peribadatan yang dilaksanakan masyarakat Muslim Indonesia sebenarnya dapat dilihat dari pranata sosial peribadatan yang ada. Nyatanya, keberadaan pranata sosial peribadatan itu tampak beragam. Hal itu dapat dipahami, mengingat Indonesia termasuk negeri Muslim terbesar di dunia dengan jumlah penduduk menempati ranking 3 (tiga) negara terpadat di dunia. Sudah barang tentu, keadaan itu melahirkan banyak interaksi sosial dan tradisi keagamaan yang terbangun, sehingga pada gilirannya dapat menghadirkan banyak varian pranata sosial dalam peribadatan. Di sisi lain, interaksi sosial dan tradisi keagamaan yang terbangun itu justru banyak disebut-sebut sebagai faktor determinan dan daya ikat terciptanya kehidupan beragama yang rukun dan damai.

Dengan mencermati fenomena yang bersinggungan dengan pranata sosial dalam peribadatan tersebut dapat ditemukan berbagai tradisi keagamaan atau peribadatan dalam lingkungan masyarakat Indonesia, sehingga hal itu berpengaruh besar terhadap kehidupan sosial yang lebih luas. Terdapatnya berbagai kelompok pengajian yang menjadi sarana untuk peningkatan proses pemahaman keagamaan yang cukup efektif tentunya memiliki implikasi langsung terhadap pemahaman ibadah masyarakat sebagai kewajiban vertikal umat Islam kepada Allah SWT. dan impak hubungan sosial di antara intern umat Islam sebagai bentuk nilai kesalehan personal dan sosial.

(14)

mendayung dua tiga pulau terlampaui itu ditemukan dalam tradisi pengajian seperti itu, yakni mendapatkan keuntungan shillaturahim, ilmu, dan rizki.

Fenomena keagamaan komunitas pengajian itu mengindikasikan dinamika dan interaksi sosial masyarakat Muslim, yaitu terjadinya persinggungan antara ranah kehidupan sosial-ekonomi dengan peran penting agama. Dengan kata lain ada korelasi positif antara fenomena kegiatan keagamaan dengan zona ekonomi. Hal ini memperkuat tesis Weber yang menyatakan ada kecenderungan hubungan positif antara agama dengan tingkah laku ekonomi.24

Bentuk peribadatan lain yang memiliki dimensi sosial diantaranya zakat. Dalam tataran praktis di lapangan, persoalan zakat ini tidak terlepas dari dinamika nilai dan kultur kehidupan masyarakat yang terus berkembang. Karena itu, peluang untuk dikaji tetap terbuka lebar, baik dalam segi jenis barang dan harta yang harus dizakati, maupun strategi pendistribusiannya, mengingat semakin berkembangnya katalisator zakat konsumtif dan produktif.

Terakhir muncul gagasan besar dan kesepakatan dalam musyawarah cendekiawan yang diprakarsai ICMI Pusat (Dr.Hj. Marwah Daud) bekerja sama dengan Universitas Padjadjaran Bandung (Prof. Dr. H. Ganjar Kurnia) pada tanggal 7 September 2013 di Bale Sawala Gedung Rektorat Unpad untuk mengkonversi zakat dari asnaf (golongan) fakir miskin dan sabilillah ke premi Jaminan Sosial, BJBS (Askes) untuk perlindungan kesehatan bagi masyarakat miskin (bukan yang mengaku sadikin, sedikit-sedikit miskin). Hasil musyawarah itu diapresiasi oleh Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan dan diagendakan untuk menjadi proyek unggulan di Jawa Barat. Begitu pula persoalan kelompok mustahiq zakat, mengingat tidak seluruh asnaf itu dapat ditemukan di lingkungan masyarakat Muslim Indonesia.

2. Peran atau Fungsi Pranata Agama

Penduduk Indonesia adalah masyarakat agamis, yang menganut berbagai agama. Beberapa agama yang diakui sebagai agama resmi negara yaitu: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, dan Budha. Dalam ajaran Islam, peran agama ini

24

(15)

sangat strategis. Mukti Ali sebagaimana dikutip Oyo Sunaryo Mukhlas mengemukakan peran agama dalam pembangunan manusia dengan peran: motivativ, kreatif, sublimatif, dan integratif.

1. Agama sebagai peran motivatif, yaitu mendorong, mendasari, dan melandasi cita-cita serta amal perbuatan manusia dalam seluruh aspek kehidupannya. Nurcholis Madjid mengidentikan konsep motivasi ini dengan istilah ―niat‖. Niat ini merupakan syarat mutlak untuk melakukan usaha secara bertanggungjawab, sehingga usaha tidak hanya untung-untungan, asal jadi, tidak bergairah serta mudah menjadi oportunis;

2. Agama sebagai peran kreatif, yaitu mendorong dan mengusung umat Islam, yang tidak hanya melakuakan kerja produktif saja, melainkan karya baru; 3. Agama sebagai peran sublimatif, yaitu mengkuduskan segala amaliah umat

Islam. Segala perbuatannya dipandang dalam kerangka ibadah kepada Allah; 4. Agama sebagai peran integratif, yaitu dapat memadukan segala kegiatan umat

Islam, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat, sehingga terhindar dari bencana ―kepribadian yang pecah‖ dan mampu menghadapi tantangan serta resiko kehidupan. Disini soliditas dan kohesifitas lebih ditekankan untuk kebersamaan, simbiosis mutualistis, saling membantu dan menolong.25

Keragaman agama yang dianut oleh masyarakat Indonesia itu tentu memerlukan rambu-rambu agar tercipta iklim yang kondusif bagi penganut agama masing-masing. Karena itu diperlukan suatu pranata sosial dan pranata keagamaan, yaitu norma dan sistem yang mengatur hubungan antar manusia, antara manusia dengan alam, dan antara manusia dengan Tuhannya, Allah SWT., sehingga ketertiban lahiriyah dan ketentraman batiniah dapat diwujudkan secara seimbang dan dengan sebaik-baiknya.

Pranata agama sebagai salah satu bentuk pranata sosial, memiliki beberapa fungsi berikut:

25 Oyo Sunaryo Mukhlas,

Membangun Masyarakat Taat Hukum: Perspektif Sosiologi Hukum,

(16)

a. Fungsi ajaran atau aturan, yaitu memberi tujuan atau orientasi sehingga timbul rasa saling hormat antar sesama manusia. Agama juga dapat menumbuhkan sikap disiplin, pengendalian diri, dan mengembangkan rasa kepekaan sosial. Tiap-tiap ajaran agama pada dasarnya mengarah ke satu tujuan, yaitu kebaikan di dunia dan di alam baqa‘, alam abadi.

b. Fungsi hukum, yakni memberikan aturan yang jelas terhadap tingkah laku manusia tentang hal-hal yang dianggap benar dan hal-hal yang dianggap salah.

c. Fungsi sosial, yaitu sebagai dasar aturan kesusilaan dalam masyarakat, misalnya dalam masalah ekonomi, pendidikan, kesehatan, perkawinan, kesenian, dan arsitektur bangunan.

d. Fungsi ritual, dalam hal ini ajaran agama memiliki cara-cara ibadah khusus yang tentu saja berbeda dengan cara-cara ibadah agama lainnya. e. Fungsi transformatif yakni agama dapat mendorong manusia untuk

melakukan perubahan ke arah yang lebih baik.

3. Pranata Sosial Antar Umat Agama

Agama Islam sangat menekankan pentingnya aspek spritual keagamaan, yang menempatkan wahyu Allah SWT. sebagai pedoman hidup umat Islam, dengan tetap memperhatikan fenomena dan dinamika kehidupan yang secara terus menerus mengalami perubahan. Konteks ajaran Islam khususnya yang terkait dengan hukum yang dianut dan diyakini serta dipahami sekarang mungkin sedikit berbeda dengan karakter hukum Islam yang hidup pada zaman dahulu, mengingat terjadinya perubahan situasi, waktu dan zaman.

(17)

berijtihad lalu melakukan kesalahan, maka ia mendapat satu pahala dan jika ia tepat ijtihadnya maka ia mendapat dua pahala‖.26

Dalam mengapresiasi pelbagai persoalan umat Islam dalam lingkup kehidupan berbangsa dan bernegara, Indonesia memiliki Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai lembaga ke-Islaman yang dapat menampung aspirasi dan dapat menjadi jembatan untuk mediasi antara kepentingan umat Islam dengan pemerintah. MUI yang merupakan tempat berkumpulnya ulama dan zu‘ama dari pelbagai entitas ini berfungsi pula sebagai wahana bagi umat Islam untuk meminta kejelasan hukum terhadap suatu permasalahan. Atau untuk menjawab problema sosial yang dimintakan oleh lembaga atau badan-badan pemerintah berkaitan dengan stpersoalan syari‘ah.

Dalam lingkungan perbankan dan ekonomi syari‘ah misalnya, MUI memiliki lembaga khusus, yaitu Dewan Syari‘ah Nasional (DSN-MUI), yang bertugas untuk membuat regulasi berupa fatwa sekaligus mengawasi penerapan prinsip-prinsip ekonomi syari‘ah di lembaga keuangan Syari‘ah, baik di lembaga perbankan syari‘ah, seperti BUS, UUS, dan BPRS maupun di lembaga-lembaga non perbankan syari‘ah seperti Asuransi Syari‘ah, Koperasi Syari‘ah, dan BMT. Bahkan juga di lembaga bisnis syari‘ah (LBS) seperti hotel syari‘ah, kafe syari‘ah, wisata syari‘ah, dan salon syari‘ah.

Dalam hal yang menyangkut hubungan antara agama Islam dengan agama-agama lainnya, Indonesia termasuk dalam kondisi yang kondusif. Karena nilai-nilai moralitas yang ditanamkan dan dijunjung tinggi dalam ajaran Islam adalah kerukunan antar umat beragama sebagaimana yang termuat dalam nilai-nilai luhur Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Kondisi itu juga tidak terlepas dari peran besar MUI dalam membina, mengayomi dan menyuarakan kehidupan yang damai penuh kasih dan sayang di antara sesama hamba Allah SWT.

Secara garis besar terdapat beberapa alasan terciptanya kerukunan umat beragama yang kondusif di Indonesia saat ini, yaitu: Pertama, aspek sejarah.

26Syekh Muhammad Al Khudhori Biek.

Ushul Fiqih, Terjemahan, Alih Bahasa Zaid H. Alhamid,

(18)

Dalam hal ini, berdasarkan sejarah perjuangan panjang Bangsa Indonesia telah mengalami rasa senasib dan seperjuangan, yaitu sama-sama sebagai anak jajahan para penjajah dan kaum imperalis. Kemudian berjuang bersama-sama membebaskan diri dari belenggu penjajah, yang akhirnya berkat karunia Tuhan Yang Maha Esa, Allah SWT. Bangsa Indonesia dapat terbebas, menang dan mengusir para penjajah dari bumi pertiwi, nusantara. Karena itu, sudah sepantasnya apabila dapat saling rukun dan damai antar sesama umat beragama.

Kedua, aspek sosiologi. Dalam hal ini, bahwa masyarakat Indonesia

mendiami wilayah kesatuan Republik Indonesia dari Sabang sampai Merauke yang diikat oleh semboyan ―Bhineka Tunggal Ika‖. Artinya walaupun berbeda -beda dan beraneka ragam suku bangsa, tetapi tetap satu, yaitu Bangsa Indonesia.

Ketiga, aspek hukum. Dalam hal ini, bahwa secara yuridis formal di

Indonesia hanya diakui beberapa agama resmi, yaitu: Islam, Kristen, Katolik Hindu, dan Budha. Semua agama itu diikat oleh Pancasila dan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, serta regulasi yang memayungi tentang kerukunan antar umat beragama.

Dalam suasana kehidupan keagamaan yang majemuk itu, semangat kebhinekaan masing-masing elit agama dan para pengikutnya sangat kuat. Ini yang menjadi modal dasar terciptanya kerukunan antar umat beragama. Selain itu persinggungan antara agama (Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Budha) serta aliran kepercayaan lain (Khong hu Chu) dengan seluruh lapisan masyarakat, dalam perkembangannya saling mempengaruhi dan saling memberi bekas, sehingga terjadi interaksi yang dinamis melalui pranata sosial yang sudah mengkristal dan melembaga.

(19)

langsung yang terprogram oleh para pegiat dakwah dari berbagai komunitas. Begitu pula berbagai peraturan yang secara khusus berlandaskan ajaran Islam (transformasi) untuk menjadi nizham, qanun dan idarah sebagai pedoman hidup dan kehidupan umat Islam, khususnya tentang hukum privat seperti tentang nikah, waris, wakaf, dan ekonomi syari‘ah, secara terencana dan berkelindan diatur dalam peraturan yang berlaku, baik berupa Undang-undang maupun melalui peraturan lainnya yang peringkat dan kekuatan hukumnya setingkat lebih tinggi daripada hukum tidak tertulis.

Doktrin Islam dengan tegas menyuruh umatnya untuk mengajak sesama umat Islam dan umat lainnya agar tetap istiqamah dan kembali ke jalan kabaikan dengan persuasive (hikmah). Ajakan itu tentunya jangan pernah sekali-kali dengan cara kekerasan, sebagaimana firman Allah SWT. dalam Surah Al-Nahl ayat 125 dan 126, yang terjemahannya berbunyi:

Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah-yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu, akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar.27

Dengan firman Allah SWT. itu sangat jelas, bahwa nilai-nilai luhur dari dakwah Islam adalah mengajak orang berbuat baik bahkan menjalankan syari‘at Islam dengan cara hikmah dan bijaksana, dan tidak dengan tekanan dan kekerasan. Untuk sekedar menyebut contoh: sebagai salah satu cara dengan cara hikmah tersebut adalah membangun dan memperkuat lembaga-lembaga ke-Islaman serta meningkatkan toleransi terhadap sesama umat beragama yang lainnya, baik dengan umat Kristiani, Katolik, Hindu, maupun Budha.

27

(20)
(21)

III. ZAKAT, INFAQ, SHADAQAH DAN FENOMENA

BADAN PENGELOLANYA

A. Pengertian dan Konsep Zakat, Infaq dan Shadaqah

1. Pengertian dan Konsep Zakat

Dilihat dari segi etimologi, kata zakat merupakan kata dasar dari zaka yang dapat diartikan dengan tumbuh, suci, baik dan bertambah.28 Apabila kata

zaka itu dikaitkan (dinisbatkan) dengan kata lain, misalnya ‗pemimpin itu memberi zaka‟, berarti memberikan pengertian bahwa pemimpin itu memberikan berkah. Contoh lain, ‗pohon kurma itu zaka‟, maka berarti memberikan pengertian bahwa pohon kurma itu tumbuh berkembang. Begitu pula apabila dihubungkan dengan nama atau jabatan seseorang, misalnya: ‗dosen itu zaka‟, ‗mahasiswa itu zaka‘, berarti mengandung arti bahwa dosen itu baik, mahasiswa itu baik.

Makna dasar kata zakat sebagaimana terdapat dalam Buku The Vision of Islam adalah ―suci‖. Ide dasar di balik zakat adalah orang mensucikan kekayaannya dengan memba-gikannya karena Allah SWT., sebagaimana halnya wudhu mensucikan tubuh dan shalat mensucikan jiwa, maka zakat mennsucikan hak milik dan membuatnya halal di hadapan Allah.29 Sementara itu, dalam pandangan Wahidi sebagaimana terdapat dalam Mu‟jam Wasit, kata dasar zaka berarti tumbuh dan bertambah. Jadi setiap sesuatu yang bertambah itu dapat disebut zaka. Dalam konteks ini apabila dikaitkan dengan tanaman, misalnya tanaman itu zaka, maka mengandung arti bahwa tanaman itu tumbuh. Sedangkan apabila satu tanaman tumbuh tanpa cacat, maka kata zaka di sini berarti bersih. Sementara itu apabila seseorang diberi sifat zaka, maka berarti orang itu lebih

banyak mempunyai sifat yang baik.30

28 Mahmud Yunus.

Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Mahmud Yunus Wa Dzuriyyah, 1989), hlm. 156.

29

Sachiko Murata, William C. Chittick. The Vision of Islam, Cetakan I, (Yogyakarta: Suluh Press, 2005), hlm. 20.

(22)

Menurut pengertian istilahi, konstruksi terminology zakat yang dikemukakan para ahli itu berbeda-beda. Diantaranya dikemukakan Al-Faruqi, yang menyatakan bahwa zakat itu sebenarnya ―sweaten‖ (memaniskan) kekayaan sehingga menjadi halalan thayyiban, yang berkah dan nikmat dirasakan dalam kehidupan dunia dan akhirat. Kekayaan yang tidak dizakatkan akan membuat kehidupan menjadi pahit sehingga membawa kesengsaraan.31

Adapun menurut Sayyid Sabiq zakat adalah ―harta untuk hak Allah Ta‘ala yang dikeluarkan oleh insan Muslim kepada fakir miskin‖.32 Sementara Syaikh Al-Khudhari Beyk menyebutnya sebagai bagian tertentu dari kekayaan yang disedekahkan oleh orang yang berkecukupan untuk tujuan membersihkan kekayaan tersebut sehingga ia menjadi murni dan dapat berkembang.33 Lain pula konstruksi pengertian yang dirumuskan dalam ketentuan peraturan di Indonesia. Di dalam Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 23 Tahun 2011 (amandemen atas Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999) disebutkan: ―Zakat adalah harta yang wajib disisihkan oleh seorang Muslim atau badan yang dimiliki oleh orang Muslim sesuai dengan ketentuan agama untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya.

Dengan merujuk kepada berbagai rumusan di atas, dapat diambil pemahaman bahwa zakat adalah harta yang wajib ditunaikan apabila sudah mencapai batas nishab, dan wajib dikeluarkan sesuai dengan ketentuan syari‘at untuk diberikan kepada yang berhak menerimanya. Secara garis besar, zakat itu sendiri dibagi menjadi dua bagian, yaitu: (1) zakat jiwa (nafs) yang lebih dikenal dengan zakat fithrah dan dikeluarkan setahun sekali; (2) zakat harta (maal) yang terdiri atas beberapa jenis, yaitu: zakat emas, perak, uang, hasil perniagaan, peternakan, pertanian, pertambangan, profesi, dan juga saham serta obligasi.

2. Pengertian dan Konsep Infaq

31 Isma‘il R. al-Faruqi & Lamiya L. al-Faruqi.

The Cultural Atlas of Islam (New York:

Macmillan Publishing Company, 1986), hlm. 146

(23)

Kata infaq berasal dari kata kerja anfaqa, yang berarti menggunakan. Dalam Ensiklopedia Makna Al-Qur‘an, infaq diartikan dengan ―mengeluarkan

harta dan seumpamanya dalam berbagai lapangan kebaikan‖.34 Menginfakan harta (anfaqa al-mal) berarti ―mengeluarkan dari tempatnya dan

menggunakannya.‖ Secara umum, penggunaan harta untuk tujuan apa saja adalah infaq. Tetapi secara khusus yang dimaksud infaq di sini adalah penggunaan uang atau harta untuk kebajikan dengan mengharapkan pahala dari Allah, tanpa tujuan duniawi.35 Dari kata

al-infaaq itu terbangun kata benda al-nafaqah, yang berarti

tambahan (az-zaadu), yakni apa yang difardhukan untuk isteri, baik berupa harta (uang), makanan, sandang, tempat tinggal dan melindungi serta hal-hal yang semisalnya.36

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan itu dapat dirumuskan bahwa infaq berarti pengeluaran harta secara sukarela yang dilakukan seorang Muslim, baik pada saat ia lapang dalam arti banyak rizki, maupun pada saat sempit, dalam arti sulit dan sedikit rizki, berapapun jumlah dan banyaknya sesuai yang dikehendakinya. Dalam hal ini Allah SWT. memberikan kebebasan penuh kepada pemilik harta untuk menentukan jenis dan jumlah harta yang akan diberikan.

Dalam pandangan Al-Hasan Al-Bashri, infaq mencakup dua sisi, yaitu: infaq wajib (zakat) dan infaq sunat (pemberian kebajikan biasa). Salah satu rujukan yang berkaitan dengan infaq itu terdapat dalam Al-Qur‘an Surah al -Baqarah ayat 219 yang terjemahannya berbunyi: ―… Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‗Yang lebih dari keperluan.‘ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir‖.37

34 Al-Ustadz M. Dhuha Abdul Jabbar. Ensiklopedia Makna Al-Qur‟an: Syarah Alfaazhul Qur‟an (Bandung: Fitrah Rabbani, 2012), hlm. 67.

35Majma‘ al-Lughah al-Árabiyyah. Mu‟jam Alfazh al-Qurán al-Karim, (Kairo: Dar asy-Syuruk, 1981), hlm. 56

36 Al-Ustadz M. Dhuha Abdul Jabbar.

Loc.Cit.

(24)

Surah al-Baqarah ayat 219 tersebut menjelaskan bahwa infaq dialamatkan bagi orang-orang yang mempunyai kelebihan harta, melebihi kebutuhan yang diperlukan keluarganya seharí-hari. Kelebihan harta yang dimaksud adalah kelebihan harta sesudah dikeluarkan zakatnya. Dalam hal ini apabila setelah membayar zakat, ternyata masih memiliki kelebihan harta, maka harta yang dikeluarkan itu dinamakan infaq. Kemudian, karena infaq itu merupakan bentuk kebaikan yang dilakukan untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT., maka berapa pun jumlahnya, sedikit atau banyak, kecil atau besar bukan menjadi ukuran, yang penting motivasi-niatnya dilakukan secara ikhlas. Untuk keabadian infaq yang bernilai maslahat, di Indonesia dirumuskan melalui ketentuan wakaf uang sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf.

Adapun komunitas orang yang pantas dan layak menerima infaq, Allah SWT. telah menyebutnya dalam Al-Qur‘an Al-Karim. Kandungan itu dapat dicermati dalam Surah al-Baqarah ayat 215, yang terjemahannya berbunyi: ―Mereka bertanya kepadamu tentang apa yang mereka nafkahkan. Jawablah: Apa saja harta yang kamu nafkahkan hendaklah diberikan kepada ibu bapak, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan. Dan kebajikan apa saja yang kamu buat, maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahuinya‖.38

Ketentuan firman Allah SWT. yang terkandung dalam ayat di atas menjelaskan bahwa infaq diberikan kepada orang tua (ibu-bapak) dan karib kerabat, anak yatim, orang miskin dan ibnu sabil. Tertib penyebutan itu dimaksudkan untuk menunjukkan skala prioritas (keutamaan) dari segi hubungan keluarga dan tingkatan kelompok yang patut mendapat perhatian karena kebutuhannya. Pada hakikatnya, orang yang paling berhak mendapatkan infaq adalah orang yang lebih dekat hubungan kekerabatanya dengan pemberi infaq dan orang yang lebih membutuhkan daripada yang lain, seperti ibu dan bapak dan saudara-saudara dalam lingkungan keluarga batih (nuclear family) dan keluarga luas (extended family). Hal itu didukung oleh ketentuan yang terdapat

(25)

dalam al-Hadis yang menyatakan: ―Mulailah dari orang yang membutuhkan: Ibumu, ayahmu, saudara perempuanmu, saudara laki-lakimu, orang yang lebih dekat denganmu, maka berikan kepada yang lebih dekat‖.39 Di dalam hadis lain, seperti riwayat Abu Hurairah RA dinyatakan: ―Satu dinar anda berikan di jalan Allah, satu dinar anda berikan untuk orang miskin, satu dinar anda berikan untuk untuk pembebasan perbudakan, satu dinar anda infakan untuk keluarga anda. Satu dinar yang anda infakan untuk keluarga anda lebih besar pahalanya‖.40

Dengan pemahaman seperti itu, maka nafkah keluarga yang pada hakikatnya merupakan kewajiban kepala keluarga dapat juga diidentifikasi dan disebut infaq. Selanjutnya apabila menafkahi keluarga itu diberikan untuk mengharapkan keridhaan Allah SWT., maka ia bernilai infaq dan ibadah yang berpahala besar. Dari pengertian dan penjelasan itu, maka terma dan konsep infaq tampak lebih luas dan lebih umum dibandingkan dengan konsep zakat. Karena dalam terma infaq tidak ditentukan jenis, jumlah dan waktu penunaiannya sebagaimana hal itu ditentukan untuk zakat. Dalam zakat bukan hanya jenis, jumlah dan waktu mengeluarkannya yang ditentukan, tetapi juga komunitas/golongan/asnaf orang yang berhak menerimanya ditentukan secara pasti dan rinci.

3. Pengertian, Konsep, dan Macam-macam Shadaqah

a. Pengertian dan Konsep Shadaqah

Dilihat dari kata dasar penggunaannya, kata shadaqah berasal dari kata

al-Shidq yang berarti al-shihhah wa al-istiqamah fi al-qawl (benar dan konsisten

dalam perkataan). Disebut shadaqah karena harta yang dikeluarkan untuk orang lain dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah merupakan manifestasi kebenaran dan konsistensi dalam beribadah41. Dalam beberapa literatur berbahasa Arab, makna shadaqah disamakan dengan mahar, yaitu harta yang wajib diberikan kepada seorang wanita yang menjadi isterinya.42

39 Sayyid Sabiq.

Op.Cit., hlm.328

40Ibid.

41Majma‘ al-Lughah. Op.Cit., hlm. 352.

(26)

Dalam konteks yang lebih umum, shadaqah dapat bermakna infaq, zakat dan kebaikan non-materi.43 Tetapi yang jelas, shadaqah memiliki makna yang lebih luas daripada zakat dan infaq. Dalam hadis riwayat Muslim, Rasulullah SAW. memberikan jawaban kepada orang-orang miskin yang cemburu kepada orang kaya yang banyak bershadaqah dengan hartanya. Rasulullah SAW. bersabda: "Setiap tasbih adalah shadaqah, setiap takbir shadaqah, setiap tahmid shadaqah, setiap tahlil shadaqah, amar ma'ruf shadaqah, nahi munkar shadaqah dan menyalurkan syahwatnya pada isteri juga shadaqah".44

Dalam hadis lain pun dikatakan bahwa senyum yang tulus ikhlas dan kata-kata yang baik dan menyejukan itu sebagai suatu bentuk shadaqah. Demikian halnya memberikan kebahagiaan kepada orang lain dalam bentuk apapun yang diridhai Allah SWT. adalah perbuatan shadaqah. Dalam terma ini maka secara umum shadaqah bermakna semua kebajikan atau kebaikan yang mengharapkan ridha Allah SWT. Dengan demikian dapat dipahami bahwa shadaqah bermakna lebih luas dibandingkan dengan infaq. Shadaqah ialah segala bentuk nilai kebajikan yang tidak terikat oleh jumlah, waktu dan tidak terbatas pada bentuk materi. Shadaqah dapat pula dalam bentuk yang lain di luar materi (non materi), yaitu berupa kebaikan yang diberikan oleh seseorang kepada orang yang lain, termasuk memberikan senyuman.

b. Macam-macam Shadaqah

1) Tasbih, Tahlil dan Tahmid

Dalam suatu riwayat Rasulullah SAW. pernah mengungkapkan bahwa setiap tasbih, tahlil dan tahmid adalah shadaqah. Oleh karenanya mereka ‗diminta‘ untuk memperbanyak tasbih, tahlil dan tahmid. Karena semua itu akan bernilai ibadah di sisi Allah SWT. Dalam riwayat lain digambarkan: Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah SAW.bersabda, ―Bahwasanya diciptakan dari setiap anak cucu Adam tiga ratus enam puluh persendian. Maka barang siapa yang bertakbir, bertahmid, bertasbih,

43Ibid. 44

(27)

beristighfar, menyingkirkan batu, duri atau tulang dari jalan, amar ma‘ruf nahi munkar, maka akan dihitung sejumlah tiga ratus enam puluh persendian. Dan ia sedang berjalan pada hari itu, sedangkan ia dibebaskan dirinya dari api neraka.‖ (Hadis Riwayat Muslim).

2) Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Dalam Surah Ali Imran ayat 110 Allah SWT. berfirman yang terjemahannya berbunyi:

―Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma`ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.‖45

Kaitanya dengan posisi manusia sebagai ―khairu ummah‖ yang memiliki misi untuk melakukan amar ma‘ruf nahyi munkar, Rasulullah SAW. pernah menjelaskan bahwa amar ma‘ruf nahi munkar juga merupakan shadaqah. Karena untuk melaksanakan amar ma‘ruf nahi munkar itu perlu pengorbanan, baik pikiran, tenaga, waktu, perasaan, bahkan berupa materi. Karena itu pula, maka semua pengorbanan itu dapat dipahami dan dihitung sebagai shadaqah.

3) Hubungan Intim Suami Isteri

Dalam suatu riwayat Rasulullah SAW. menggambarkan bahwa hubungan suami isteri merupakan shadaqah. Di antara sahabat ada yang bertanya: ―Apakah salah seorang diantara kami melampiaskan syahwatnya dan dia mendapatkan shadaqah?‖ Kemudian Rasulullah SAW. menjawab, ―Apa pendapatmu jika ia melampiaskannya pada tempat yang haram, apakah dia mendapatkan dosa? Maka demikian pula jika ia melampiaskannya pada yang halal, ia akan mendapat pahala.‖ Dengan jawaban itu para sahabat baru menyadari bahwa makna shadaqah sangat luas. Segala bentuk aktifitas yang dilakukan seseorang dan diniatkan ikhlas karena Allah, maka itu termasuk shadaqah.

45 Departemen Agama RI,

(28)

4) Bekerja dan Memberi Nafkah Keluarga

Rasulullah SAW. berkata, ―Tidaklah ada satu pekerjaan yang paling mulia yang dilakukan oleh seseorang daripada pekerjaan yang dilakukan dari tangannya sendiri, dan tidaklah seseorang menafkahkan hartanya terhadap diri, keluarga, anak dan pembantunya melainkan akan menjadi shadaqah.‖ (Hadis Riwayat Ibnu Majah).

5) Membantu Urusan Orang Lain

Dari Abdillah bin Qais bin Salim Al-Madani, dari Nabi Muhammad SAW. bahwa beliau bersabda, ―Setiap Muslim harus bershadaqah.‖ Salah seorang sahabat bertanya, ―Bagaimana pendapatmu, wahai Rasulullah, jika ia tidak mendapatkan (harta yang dapat disedekahkan)?‖ Rasulullah SAW. bersabda, ―Bekerja dengan tangannya sendiri kemudian ia memanfaatkannya untuk dirinya dan bersedekah.‖ Salah seorang sahabat bertanya, ―Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah SAW.?‖ Beliau bersabda, ―Menolong orang yang membutuhkan lagi teraniaya.‖ Salah seorang sahabat bertanya, ―Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai RasulullahSAW.?‖ Beliau menjawab, ―Mengajak pada yang ma‘ruf atau kebaikan.‖ Salah seorang sahabat bertanya, ―Bagaimana jika ia tidak mampu, wahai Rasulullah SAW.?‖ Beliau menjawab, ―Menahan diri dari perbuatan buruk, itu merupakan shadaqah.‖ (Hadis Riwayat Muslim).

6) Mengishlah Dua Orang yang Berselisih

Dari Abu Hurairah RA. bahwa Rasulullah SAW. bersabda, ―Setiap ruas -ruas persendian setiap insan adalah shadaqah. Setiap hari di mana matahari terbit adalah shadaqah, mengishlah di antara manusia (yang berselisih) adalah shadaqah.‖ (Hadis Riwayat Bukhari)

7) Menjenguk Orang Sakit

(29)

kebaikan dan kebaikan dengan sepuluh kali lipatnya. …. (Hadis Riwayat Ahmad).

8) Berwajah Manis atau Memberikan Senyum

Dari Abu Dzar RA., bahwa Rasulullah SAW. bersabda, ―Janganlah kalian menganggap remeh satu kebaikan pun. Jika ia tidak mendapatkannya, maka hendaklah ketika menemui saudaranya, ia menemuinya dengan wajah ramah, dan jika engkau membeli daging, atau memasak dengan periuk/kuali, maka perbanyaklah kuahnya dan berikanlah pada tetanggamu dari padanya.‖ (Hadis Riwayat Turmudzi).

9) Berlomba-lomba dalam Amalan Sehari-hari

Dari Abu Hurairah RA., bahwa Rasulullah SAW. bersabda, ―Siapakah di antara kalian yang pagi ini berpuasa?‖ Abu Bakar menjawab, ―Saya, wahai Rasulullah.‖ Rasulullah SAW. bersabda, ―Siapakah hari ini yang mengantarkan jenazah orang yang meninggal?‖ Abu Bakar menjawab, ―Saya, wahai Rasulullah.‖ Rasulullah SAW. bertanya, ―Siapakah di antara kalian yang hari ini memberikan makan pada orang miskin?‖ Abu Bakar menjawab, ―Saya, wahai Rasulullah.‖ Rasulullah SAW. bertanya kembali, ―Siapakah di antara kalian yang hari ini telah menengok orang sakit?‖ Abu Bakar menjawab, ―Saya, wahai Rasulullah.‖ Kemudian Rasulullah SAW. bersabda, ―Tidaklah semua amal di atas terkumpul dalam diri seseorang melainkan ia akan masuk surga.‖ (Hadis Riwata Bukhari).

B.Dasar Hukum Zakat, Infaq, dan Shadaqah

1. Dasar Hukum Zakat

a. Dalam Surah al-Baqarah ayat 43 dijelaskan mengenai kewajiban mengeluarkan zakat, yang terjemahannya berbunyi: ―Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan rukulah beserta orang-orang yang ruku.‖46 b. Dalam Surah al-Baqarah ayat 110 dijelaskan mengenai kewajiban

mengeluarkan zakat, yang terjemahannya berbunyi: ―Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat. Dan apa-apa yang kamu usahakan dari kebaikan

46 Departemen Agama RI,

(30)

bagi dirimu, tentu kamu akan mendapat pahalanya pada sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Melihat apa-apa yang kamu kerjakan‖.47

c. Dalam Surah al-Baqarah ayat 177 dijelaskan mengenai kewajiban mengeluarkan zakat, yang terjemahannya berbunyi: ―…. mendirikan shalat dan menunaikan zakat, dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa‖.48

d. Dalam Surah al-Baqarah ayat 277 dijelaskan mengenai kewajiban mengeluarkan zakat, yang terjemahannya berbunyi: ―Sesungguhnya orang -orang yang beriman, mengerjakan amal saleh, mendirikan sembahyang dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati‖.49

e. Dalam Surah al-Nisa‘ ayat 77 dijelaskan mengenai kewajiban mengeluarkan zakat, yang terjemahannya berbunyi: Tidakkah kamu perhatikan orang-orang yang dikatakan kepada mereka: ―Tahanlah tanganmu (dari berperang), dirikanlah sembahyang dan tunaikanlah zakat!‖ ….50. orang-orang yang mendirikan shalat, menunaikan zakat dan yang beriman kepada Allah dan hari kemudian. Orang-orang itulah yang akan kami berikan kepada mereka pahala yang besar.51

(31)

penolong kamu hanyalah Allah, Rasulnya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk kepada Allah‖.52

h. Dalam Surah al-‗Araf ayat 156 dijelaskan mengenai kewajiban mengeluarkan zakat, yang terjemahannya berbunyi: Dan tetapkanlah untuk kami kebajikan di dunia ini dan di akhirat; sesungguhnya kami kembali bertaubat kepada engkau. Allah berfirman: ―siksa-Ku akan kutimpakan kepada siapa yang aku kehendaki dan rahmat-Ku meliputi segala sesuatu. Maka akan aku tetapkan rahmatku untuk orang-orang yang bertaqwa, yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang beriman kepada ayat-ayat kami.‖53

i. Dalam Surah al-Taubah ayat 103 Allah berfirman, yang terjemahannya berbunyi:

―Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendo‘alah untuk mereka. Sesungguhnya do‘a kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka, dan Allah Mendengar lagi Maha Mengetahui‖.54

Dalam Surah al-Taubah ayat 103 itu mengandung prasa makna, bahwa zakat yang dikeluarkan oleh orang-orang kaya yang memiliki harta melimpah itu dapat membersihkan dirinya dari kekikiran dan kecintaan yang berlebihan kepada harta kekayaan, sehingga mereka pun menyadari bahwa di dalam harta yang dimilikinya itu terdapat sedikit saja hak orang lain yang harus dikeluarkannya. Dengan begitu akan terbangunlah hubungan emosional yang kuat antara yang kaya dengan yang miskin, antara elit jelita dengan kaum jelata.

j. Dalam Surah al-An‘am ayat 141 dijelaskan mengenai kewajiban mengeluarkan zakat, yang terjemahannya berbunyi: ―… dan tunaikanlah

52

Ibid., hlm. 169. 53

Ibid., hlm.246. 54

(32)

haknya di hari memetik hasilnya (dengan disedekahkan kepada fakir miskin) dan janganlah kamu berlebih-lebihan…‖55

k. Hadis shahih Imam al-Bukhari yang diriwayatkan oleh Ibnu ‗Abbas, bahwa Nabi SAW. mengutus Mu‘adz bin Jabal ke Yaman. Beliau berpesan, ―……Ajarkanlah kepada penduduk Yaman bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat atas harta benda yang mereka miliki. Zakat itu diambil dari orang kaya dan dikembalikan kepada orang-orang miskin yang ada di kalangan mereka.‖56

2. Dasar Hukum Infaq

a. Dalam Al-Qur‘an Surah al-Baqarah ayat 219 Allah SWT. berfirman yang terjemahannya berbunyi: ―… Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‗Yang lebih dari keperluan.‘ Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu supaya kamu berfikir‖.57 b. Dalam Surah al-Baqarah ayat 245 Allah SWT. berfirman, yang

terjemahannya berbunyi: ―Siapakah yang mau member I pinjaman kepada Allah, pinjaman yang baik (menafkahkan hartanya di jalan Allah), maka Allah akan memperlipatgandakan pembayaran kepadanya dengan lipat ganda yyang banyak. Dan Allah menyempatkan dan melapangkan (rezki) dan kepada-Nya lah kami dikembalikan‖.58

c. Dalam Surah al-Baqarah ayat 267 Allah SWT. berfirman, yang terjemahannya berbunyi: ―Hai orang-orang beriman nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untuk kamu…‖59

d. Dalam Surah al-Baqarah ayat 272 Allah SWT. berfirman yang terjemahannya berbunyi:

55

Ibid., hlm.212.

56

Ahmad Nahrawi Abdus Salam Al-Indunisi. Ensiklopedia Imam Syafi‟i: Biografi dan Pemikiran Mazhab Fiqih Terbesar Sepanjang Masa, terjemahan Usman Sya‘roni, Cetakan I, (Jakarta:

Hikmah, 2008), hlm. 492. 57Ibid., hlm 53.

58

(33)

Bukanlah kwajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah lah yang memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri. Dan jangganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridhaan Allah. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedangkan kamu sedikitpun tidak akan dianiaya.60

e. Dalam Surah Ali Imran ayat 92 Allah SWT. berfirman yang terjemahannya berbunyi:

―Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebaktian (yang sempurna) sebelum kamu menafkahkan sebahagian harta yang kamu cintai. Dan apa saja yang kamu nafkahkan maka sesungguhnya Allah mengetahuinya‖.61 f. Dalam Surah Ali Imran ayat 134 Allah SWT. berfirman, yang

terjemahannya berbunyi: ―(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema`afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.‖62

g. Rasulullah SAW. bersabda yang terjemahannya berbunyi: ada malaikat yang senantiasa berdo'a setiap pagi dan sore: "Ya Allah, berilah orang yang berinfak, gantinya. Dan berkata yang lain: "Ya Allah jadikanlah orang yang menahan infak, kehancuran". (Hadis Riwayat Bukhari).

h. Rasulullah SAW. bersabda yang terjemahannya berbunyi: "Tidaklah datang suatu hari kecuali akan turun dua malaikat yang salah satunya mengatakan, "Ya Allah berilah orang-orang yang berinfaq itu balasan, dan yang lain mengatakan, "Ya Allah berilah pada orang yang bakhil kebinasaan (hartanya)." (Muttafaq 'Alaihi).

3. Dasar Hukum Shadaqah

a. Allah SWT, Dzat yang Maha Suci, tidak akan menerima segala sesuatu kecuali hal-hal yang suci dan baik. Demikian juga shadaqah tidak akan

60 Ibid., hlm.68. 61

Ibid., hlm. 91. 62

(34)

diterima, kecuali dari harta yang suci dan halal. Rasulullah SAW. bersabda yang terjemahannya berbunyi:

Dari Abu Hurairah radhiyallahu `anhu ia berkata, ―Rasulullah shallallahu `alaihi wasallam bersabda: Siapa yang bersedekah dengan sebiji korma yang berasal dari usahanya yang halal lagi baik (Allah tidak menerima kecuali dari yang halal lagi baik), maka sesungguhnya Allah menerima sedekah tersebut dengan tangan kanan-Nya kemudian Allah menjaga dan memeliharnya untuk pemiliknya seperti seseorang di antara kalian yang menjaga dan memelihara anak kudanya. Hingga sedekah tersebut menjadi sebesar gunung.‖Muttafaq ‘Alaih.63

b. Rasulullah SAW. bersabda yang terjemahannya berbunyi: "Sesunggunhnya shadaqah secara sembunyi-sembunyi bisa memadamkan kemurkaan Rabb (Allah)" (Shahih At-Targhib).

c. Rasulullah SAW. bersabda yang terjemahannya berbunyi: "Dan Shadaqah bisa menghapuskan kesalahan sebagaimana air memadamkan api" (Shahih At-targhib).

d. Rasulullah SAW. bersabda yang terjemahannya berbunyi: "Tujuh kelompok yang akan mendapatkan naungan dari Allah SWT. pada hari yang tidak ada naungan kecuali naungan-Nya diantaranya yaitu: "Seseorang yang menyedekahkan hartanya dengan sembunyi-sembunyi sehingga tangan kirinya tidak mengetahui apa yang diinfakkan oleh tangan kanannya." (Muttafaq 'Alaih)

e. Rasulullah SAW. bersabda yang terjemahannya berbunyi: bersabda yang terjemahannya berbunyi: saw, bersabda: "Obatilah orang-orang yang sakit diantaramu dengan shadaqah." (Shahih At-Targhib). Beliau juga bersabda kepada orang yang mengeluhkan tentang kekerasan hatinya: "Jika engkau ingin melunakkan hatimu maka berilah makan pada orang miskin dan usaplah kepala anak yatim." (Hadis Riayat Ahmad).

f. Rasulullah SAW. bersabda yang terjemahannya berbunyi: "Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta." (Hadis Riwayat Muslim).

g. Rasulullah SAW. bersabda yang terjemahannya berbunyi:. "Wahai para pedagang sesungguhnya jual beli ini dicampuri dengan perbuatan sia-sia

63sidaH

(35)

dan sumpah oleh karena bersihkanlah ia dengan shadaqah." (Hadis Riwayat Ahmad, Nasai dan Ibnu Majah juga disebutkan dalam Shahih Al-Jami').

C. Hikmah Zakat, Infaq, dan Shadaqah

Dalam paradigma sistem kapitalis, harta dianggap sebagai hak milik pribadi yang dapat digunakan secara bebas sesuai dengan kemauan dan keinginan pemiliknya. Hal itu berbanding tidak lurus dengan paradigma sistem sosialis. Karena dalam paradigma sistem sosialis, harta dianggap sebagai hak milik bersama yang harus digunakan untuk kepentingan bersama. Berbeda dari dua paradigma sistem kapitalis dan sosialis, dalam pandangan Islam harta merupakan hak milik Allah SWT. yang bersifat pinjaman terhadap manusia yang harus digunakan untuk kebaikan bersama. Hal itu dijelaskan dalam Surah Al-Baqarah ayat 284 yang terjemahannya berbunyi:

Kepunyaan Allah lah segala apa yang ada di langit dan di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam hatimu atau kamu menyembunyikannya, niscaya Allah akan membuat perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah mengampuni siapa yang dihekendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.64

Konsekuensi logis dari pandangan yang meyakini bahwa kepemilikan di tangan Allah SWT. itu, maka orang-orang yang diberikan kelebihan rizki oleh Allah SWT. sekurang-kurangnya memiliki tiga tanggung-jawab. Pertama, ia menggunakannya untuk kebutuhan pribadi, keluarga dan orang yang berada di bawah tanggungannya secara halal, dengan tidak boros dan tidak berlebihan.

Kedua, ia menginvestasikannya untuk mendapatkan nilai tambah dengan cara

yang halal. Ketiga, ia mengeluarkan sebagiannya untuk zakat, shadakah, infaq, waqaf dan lain-lain65.

Dalam hadis riwayat Imam Bukhari, yang berasal dari Ibnu Umar disebutkan bahwa zakat adalah pilar dan fondasi Islam yang ketiga setelah syahadat dan shalat. Fondasi-fondasi lainnya adalah puasa dan haji.66 Dengan

64

Ibid., hlm. 71-72.

65 Mahmud bin Ibrahim al-Khatib. Op.Cit. hlm. 35

(36)

demikian, apabila zakat tidak dilaksanakan dalam masyarakat Muslim, maka posisi Islam dalam masyarakat tersebut akan menjadi tidak seimbang karena kehilangan salah satu pilar yang menjadi fondasinya. Perintah Allah SWT. untuk menunaikan zakat diturunkan di kota Makkah. Sedangkan rincian tentang jenis kekayaan yang wajib dizakati serta jenis kelompok masyarakat yang berhak menerimanya diturunkan di kota Madinah pada tahun kedua Hijriah setelah Nabi Muhammad SAW. membentuk masyarakat dan Negara.67

Di dalam al-Qur‘an terdapat lebih kurang 82 ayat yang menggandengkan perintah mendirikan shalat dengan perintah menunaikan zakat. Hal itu mengandung pemahaman bahwa kesucian diri harus diikuti dengan kesucian harta. Dengan melakukan shalat secara benar, seorang Muslim sebenarnya berusaha membersihkan dirinya dari perbuatan keji dan munkar. Dengan mengeluarkan kewajiban zakat, ia berusaha membersihkan harta bendanya dari hak orang lain yang ada dalam harta benda tersebut.68

Sebagaimana lazimnya yang terjadi dalam setiap komunitas masyarakat, dimanapun mereka berada senantiasa ditandai dengan berbagai kamajemukan-keragaman, termasuk adanya orang miskin dan orang kaya. Keadaan demikian sudah pasti merupakan rahasia Allah SWT., yang dimaksudkan untuk menguji keimanan manusia tentang penggunaan kekayaan yang diberikan kepadanya.69 Orang-orang yang diberikan amanah kekayaan yang melimpah, siapapun dia harus menggunakan kekayaan itu untuk kepentingan di jalan Allah SWT. Diantaranya adalah untuk membantu orang lain yang sangat membutuhkan dengan tulus dan ikhlas. Perbedaan kaya dan miskin tidak bedanya seperti perbedaan hidup dan mati. Allah menciptakan kehidupan dan kematian adalah untuk menguji manusia sehingga dapat diketahui siapa di antara mereka yang banyak melakukan amal kebajikan.70

67 Sayyid Sabiq.

Op.Cit., hlm. 328

68 Muhammad Akram Khan. Economic Teachings of Prophet Muhammad. (Islamabad: International Institute of Islamic Economics/Istitute of Policy Studies, 1989), hlm. 7

69Ibid.

(37)

Ajaran Islam memberikan pengaturan agar kekayaan tidak hanya beredar di kalangan orang kaya saja, tetapi merata di antara sesama hamba Allah SWT., Kaey layakuuna Duulatan bainal agniya‟i minkum.71 Ada hamba yang beruntung dalam hidup sehingga mendapatkan kekayaan lebih, dan ada hamba yang tidak beruntung sehingga membutuhkan bantuan saudaranya sesama manusia. Karena itu, agar terjalin persaudaraan dalam masyarakat, orang yang beruntung diminta untuk membantu orang yang kurang beruntung.72

Sejatinya berbuat kebajikan kepada orang lain adalah ajakan mulia yang dianjurkan oleh semua agama, tetapi dalam konteks ini Islam berbeda dari agama lain. Di samping anjuran agar manusia suka dan gemar menolong, Islam juga melembagakan perbuatan kebajikan berupa zakat yang harus dikeluarkan oleh warga Muslim yang memenuhi syarat untuk itu.73 Secara garis besar hikmah zakat itu adalah sebagai berikut:

1. Menghindari kesenjangan sosial antara orang kaya dengan orang miskin; 2. Membersihkan dan mengikis akhlak yang buruk;

3. Alat pembersih harta dan penjagaan dari ketamakan orang jahat; 4. Ungkapan rasa syukur atas nikmat yang Allah SWT. berikan; 5. Untuk pengembangan potensi umat;

6. Dukungan moral kepada orang yang baru masuk Islam;

7. Menambah pendapatan negara untuk proyek-proyek yang berguna bagi umat.74

D. Zakat Sebagai Pilar Ekonomi Umat

Zakat adalah harta kekayaan yang wajib ditunaikan oleh Muslim yang sudah nishab atau suatu badan usaha untuk diberikan kepada kelompok orang (asnaf) yang berhak menerimanya. Dalam ajaran Islam zakat merupakan pilar ketiga dari rukun Islam, yang banyak bersinggungan dengan ranah sosial, terutama dengan bidang sosial ekonomi umat. Karena itu, persoalan zakat banyak disebut-sebut sebagai urusan ta‘abudi yang berdimensi vertikal dan

71

Lihat Surah al-Baqarah ayat 195. 72Ibid.

73 Al-Faruqi. Op.Cit., hlm. 145

Referensi

Dokumen terkait

Ikrar wakaf ini sesuai dengan definisi wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 215 adalah perbuatan hukum orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari

Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik, pada pasal 1 ayat (1) Wakaf adalah Perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang

Wakaf didefinisikan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik sebagai perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang

pengertian wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf, wakaf merupakan perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya

Dalam PP nomor 28 tahun 1977 tentang perwakafan tanah milik dijelaskan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian

Wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta kekayaan yang berupa tanah milik dan melembagakannya untuk

28 tahun 1977 akan tetapi lebih luas dari itu sebagaimana disebutkan dalam pasal 215, point (1); wakaf adalah perbuatan hukum seseorang atau kelompok orang atau badan

41 Tahun 2004 Dalam pasal 1 ayat 1 Undang-undang No 41 Tahun 2004 tentang Wakaf, menyebutkan bahwa wakaf adalah perbuatan hukum waqif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian