• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dalam sejarah Islam di cina

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Dalam sejarah Islam di cina "

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam sejarah Islam, abad pertengahan dikenal dengan masa kemun¬duran di-nasti Abbasiyah. Kemunduran ini terjadi, terutama pada masa pemerintahan khalifah al-Mu¬tawakkil 850 M. Pada masa ini, pemerintahan Abasiyah sangat tergantung dengan kekuatan asing dari Turki yang dijadikan tentara bayaran. Pe¬rekrutan tentara asing ini dipergunakan untuk memper¬tahankan negara dari kekuatan yang tengah merongrong pemerintah. Keadaan ini terus berlanjut hingga masuknya Ba¬ni Buwaihi, dan menguasai Bagdad hingga hampir satu abad lamanya (945-1194 M). Pa¬da masa ini, khalffah hanya sebagai kepala negara, bukan lagi sebagai kepala Pe¬me¬rin¬tahan. Kekuatan Buwaihi in hilang setelah dikalahkan oleh Bani Saljuk (1055-1194). Setelah itu, para khalifah Bani Abbas tidak lagi berada di bawah kekuasaan asing, namun wilayah kekuasaan mereka semakin menyempit, karena banyak berdiri kerajaan-kerajaan kecil yang mencoba me¬lepaskan diri dari kekuasaan pusat di Bagdad. Selain itu, krisis politik yang berke¬pan¬jangan ditambah ancaman yang datang dari luar, terutama bangsa Mongol, menam¬bah kerus suasana dan mempercepat proses keruntuhan dinasti Abbasiyah.

Proses kemunduran terus berlanjut hingga akhirnya dinasti Bani Abba¬si-yah be¬nar-benar hancur pada 1258 M ketika diserang oleh Hulaghu Khan. Kehancuran peme¬rintahan dinasti Abbasiyah ini menandai kemunduran ilmu pengetahuan dan pera¬dab¬an Islam, terutama di Bagdad yang merupakan simbol bagi kemajuan peradaban Islam.

(2)

BAB II PEMBAHASAN

A. Kemunduran Dinasti Bani Ababsiyah.1

1. Sebab-sebab Kemunduran Dinasti Bani Abbasiyah

Sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa peme¬rin-tahan Di¬nasti Bani Abbasiyah berlangsung cukup lama, mulai dari tahun 132 -656 H/750-1258 M. Masa yang begitu lama tidak selalu membuat kerajaan ter¬se-but berada di atas angin. Dinasti Bani Abbasiyah mengalami pasang naik dan pasang surut. Keadaan ini terus menyelimuti kekuasaan Dinasti Bani Ababsiyah hingga pada akhirnya kerajaan ini mengalami kemunduran dan kehancuran pa-da tahun 1258 M, akibat serangan brutal yang dilakukan oleh tentara Hulagu Khan. Dalam catatan sejarah Islam, terdapat be¬be¬rapa faktor penyebab kemun-duran dan kehancuran Dinasti Bani Abbasiyah. Berikut faktor-faktor tersebut:

a. Disintegrasi Politik

Disintegrasi politik ini sebenarnya bukan hanya terjadi di dalam peme-rin¬tahan Dinasti Bani Abbasiyah, juga terjadi pada Dinasti Bani Umayah, dan kerajaan-kerajaan Islam lainnya. Pada dinasti Bani Umayah, puncak disintegrasi terjadi ketika para kha¬lifah tidak lagi memiliki ke¬kuatan politik untuk me¬nekan gerakan pemberontakan yang dilakukan oleh la¬wan politik yang tidak menyukai kepemimpinan para khalifaah ter¬se¬but. Hal itu disebabkan antara lain, karena pada masa-masa akhir kekuasaan Dinasti Ba¬ni Abbasiyah para khalifahnya tidak memiliki kekuatan dan hanya sebagai simbol ke¬kuasaan saja. Mereka menjadi boneka para penguasa yang menguasai roda pe¬me¬rin¬tahan saat itu, seperti penguasa Bani Buwaihiyah, Bani Saljuk dan para per¬wira tinggi Turki lainnya. Hal itu diperparah dengan banyaknya daerah yang mencoba melepaskan diri dari pusat kekuasaan di Bagdad. Dalam kata lain, disintegrasi politik dan kekuasaan pememrintahan Bani Abbasiyah muncul da¬lam beberapa bentuk. Berikut uraian sing¬katnya.

1. Pemberontakan2

Berdasarkan data dari perjalanan sejarah panjang pemerintahan Dinasti Abba¬si¬yah, hampir semua khalifah pernah mengalami masa-masa pemberon¬tak-an yang dila¬kukan oleh kelompok yang tidak menyukai kepemimpinan khalifah-khalifah tersebut. Sebagian pemberontakan itu dapat diatasi, sehingga tidak me¬nimbulkan kegoncangan sosial politik dan ekonomi. Tetapi sebagian lagi tidak dapat diatasi dengan baik, se¬hing¬ga membawa dampak negatif bagi peme¬rin¬tah¬an dan perekonomian negara. Di antara pemberontakan yang sempat menim¬bul¬kan kegoncangan sosial politik adalah sebagai berikut:

(3)

a. Pemberontakan Kaum Zanj3

Seperti telah dijelaskan pada bagian sebelumnya, bahwa kelompok Syi’¬ah sedikit banyak telah memainkan peran politiknya di dalam proses pem-bentukan Dinasti Bani Abbasiyah. Akan tetapi, setelah kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Bani Abbas, peran mereka sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Bah¬kan mereka tidak dapat menikmati hasil perjuangan yang telah dila-kukan ber¬sama Abul Abbas dari Bani Abbas. Mereka disingkirkan dan tidak lagi diajak bermain di dalam proses pengembangan ke¬kuasaan. Akibatnya, mereka kecewa dengan berbagai kebijakan yang telah dike¬luar¬kan pemerintah Bani Abbas. Sebagai akibat dari rasa kekecewaan mereka, kelompok Syi’ah mem¬ben-tuk oposisi (perlawanan) untuk memusuhi para penguasa dan pendukung ke-kuasaan Bani Abbas. Dalam catatan sejarah ditemukan bahwa pada tahun 869 M di akhir masa pemerintahan al-Mu’taz, bangkit kaum Zanj di bawah pimpinan Ali bin Muhamad untuk melakukan pemberontakan.

Pemberontakan kaum Zanj ini berjalan cukup lama, mulai dari tahun 870-883 M. Ini artinya, hampir separuh masa awal pemerintahan khalifah al-Mu’¬ta-mid (256-279 H/ 870-892 M), dihabiskan untuk mengatasi pemberontakan ka¬um Zanj ini. Pemberon¬takan kaum Zanj ini baru dapat diatasi dan ditumpas secara tuntas pada masa pemerintahan khalifah al-Muwaffaq pada tahun 893 M.

b. Gerakan Kelompok Qaramithah

Salah seorang tokoh golongan Syi’ah Ismailiyah bernama Hamdan Qar¬math me¬mimpin pemberontakan di Irak. Gerakan ini dilakukan untuk menen¬tang ke-kuasaan khalifah al-Mu’tamid (256-279 H/870-892 M). Pada tahun 899 M, kaum Qaramithah ber¬hasil mendirikan sebuah wilayah merdeka di Teluk Persia. Wi¬la-yah ini kemudian dija¬dikan sebagai basis kegiatan mereka untuk me¬nentang ke-kuasan Bani Abbas. Sekitar ta¬hun 902 M, pemberontakan yang di¬pimpin oleh Abul Fawaris berhasil memasuki wila¬yah Syria dan Palestina. Teta¬pi gerakan me-reka terhenti ketika ingin melakukan penja¬rahan ke wilayah Kufah pada tahun yang sama. Abul Fawaris, pimpinan pemberontak ini berhasil dita¬wan dan ke¬mu-dian dihukum mati. Meskipun pemimpin mereka telah tewas, te¬tapi gerakan mereka tetap berjalan, sehingga pada tahun 930 M kelompok ini berhasil me¬ma-suki wilayah kota Makah. Ketika mereka akan kembali ke basis kekuatan me¬re-ka, kelompok ini berhasil membawa lari hajar aswad. Batu keramat ini baru dapat direbut dan dikembalikan ke tempat asalnya semula setelah batu itu berada di luar kota Makah selama lebih kurang 20 tahun.

Meskipun gerakan kelompok ini tidak meluas ke berbagai wilayah ke-kua¬saan Islam, tapi pengaruhnya cukup terasa di dalam kekuasaan pemerin-tahan Dinasti Abba¬siyah. Karena sedikit banyak mempengaruhi jalannya peme-rin¬tah¬an dan perekonomian negeri itu. Paling tidak gerakan Qaramithah dapat mem¬perlemah sistem pemerin¬tah¬an dan perpolitikan dalam negeri.

c. Gerakan Kelompok Assasins4

Dalam beberapa hal, gerakan kelompok Assasins ini dapat dikategorikan sebagai kelompok sparatis atau sempalan yang melanjutkan tujuan dari gerakan Qaramithah.

(4)

Ka¬rena kelompok ini secara ideologis beraliran Syi’ah, sama seperti gerakan Qaramithah. Kelompok gerakan ini dipimpin oleh Hasan bin Sabah (w.-1124 M). Basis gerakan ke¬lom¬pok ini berada di kota Alamut, suatu tempat yang terletak di sebelah Selatan Laut Kaspia. Kelompok ini melancarkan gerakan ke¬ran mereka kecewa dengan jalannya peme¬rin¬tah¬an Bagdad, karena tampuk pe¬me-rintahan sudah tidak lagi dipegang oleh orang-orang yang layak menjadi pe-mimpin.

Dalam pandangan mereka, pemerintahan yang dipegang oleh para pe-nguasa sa¬at itu tidak berjalan dengan baik, karena banyak di antara mereka tidak lagi berpegang pada prinsip-prinsip pemerintahan yang benar. Pembo¬ros-an ke¬uangan negara oleh para pembesar negeri, menyebabkan perekono¬mian umat Islam merosot tajam. Para pengu¬a¬sa berfoya-foya menghabiskan uang ne-gara yang berasal dari rakyat. Selaian persoalan tersebut di atas, tampaknya kelompok ini melakukan gerakan perlawanan sebagai bentuk kekecewaan mereka, karena kelompok Syi’-ah tidak dilibat¬kan dalam pemerintahan. Karena itu wajar kalau kemudian mere¬ka melakukan gerakan anti pemerintah Bagdad.

Dalam usaha mewujudkan cita-cita gerakan ini, kelompok Assasins tidak segan-segan melakukannya dengan cara-cara kekerasan. Bahkan seringkali di¬la-kukan dengan menghabisi nyawa lawan-lawan politik yang mereka anggap te-lah menghambat ke¬inginan mereka. Salah seorang pembesar pemerintahan yang menjadi sasaran mereka adalah Perdana Menteri Nidzamul Muluk, seorang ke-pala pemerintahan Bani Saljuk yang ketika itu menguasai Bagdad.

Sama halnya dengan kelompok pemberontak lain, pem¬be¬ron¬ta¬kan yang dila¬ku¬kan oleh kelompok Assasins ini membawa dampak yang ku¬rang baik bagi jalannya pe¬merintahan Islam kala itu. Dalam perkembangan selan¬jut¬nya, pemberontakan ini ber¬ujung pada melemahnya sistem peme¬rin¬tah¬an dan menciptakan situasi dan kondisi sosial politik yang tidak stabil. Kondisi ini lama kelamaan memperlamah pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah.

2. Perebutan Kekuasaan5

Sejak masa-masa awal pemerintahan Dinasti Abbasiyah, terlihat ada indi-kasi adanya perebutan kekuasaan di dalam keluarga khalifah. Di antara pe¬nye-babnya adalah kurang tegasnya para khalifah dalam menentukan putera mah-kota. Contoh yang dapat dipelajari dari kenyataan ini adalah peristiwa pere¬but-an kekuasaan antara al-Amin de¬ngan al-Makmun. Masing-masing memiliki ke-lompok pendukung fanatik. Al-Amin, yang beribukan orang Arab bernama Zu-baidah, mendapat dukungan kuat dari kelom¬pok masyarakat Arab. Sementara al-Makmun, yang beribukan orang Persia ber¬nama Marajil, memiliki pendukung kuat dari kelompok masyarakat Persia.

(5)

tidak dapat dihindari. Kekuatan al-Amin yang berjumlah sekitar 10.000 personel tentara, dapat dikalah¬kan dalam sebuah pertempuran di Ray pada tahun 811 M.

Kemenangan al-Makmun membuat al-Amin merasa bersalah. Akhirnya al-Amin menyatakan kalah dan menyerahkan kekuasan kepada al-Makmun. Nasib al-Amin sungguh malang. Di tengah perjalanan menuju kota Merv di te¬pi-an sungai Tigris, sege¬rombolan pasukan Persia berhasil membunuh al-Amin. Be¬rita kematian al-Amin sampai ke telinga al-Makmun, dan ia menyesali peristiwa tragis tersbut. Sebab bagaimanapun, ia adalah saudara seayah meski lain ibu. Ke¬mudian al-Makmun memerintahkan kepada para pengawalnya un-tuk mencari para pembunuh dan dihukum mati.

Peristiwa serupa juga terjadi pada masa pemerintahan khalifah Mun-tashir dan al-Mu’taz. Kedua orang ini adalah putera kandung khalifah al-Mu¬ta-wakil. Al-Muntashir kecewa dengan kebijakan ayahnya yang lebih menyayangi dan mengutamakan al-Mu’¬taz, adik al-Muntashir. Terlebih ketika al-Mutawakil memberikan prioritas kepada al-Mu’taz untuk kedudukan khalifah daripada al-Muntashir. Kebijakan ini membuat al-Muntashir marah dan melakukan per¬bu¬at-an makar dengan membunuh ayahnya lewat tangan al-Fath bin Kalqan, orang Turki . Setelah itu al-Muntashir berkuasa lebih kurang 6 (enam) bulan (247-248 H/861-862 M).

Bagaimanapun, perebutan kekuasaan di dalam istana membawa dampak yang negatif bagi pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah. Pada akhirnya juga memperlamah dan menghancurkan kekuasaan Bani Abbas.

3. Kedudukan Khalifah yang lemah6

Wibawa khalifah Bani Abbas memudar sejak masa al-Watsiq, al-Muta¬wakil dan sesudahnya. Tidak ada seorangpun di antara mereka yang mem¬pu¬nyai ke-mampuan cu¬kup untuk memimpin kerajaan. Mereka hanya menjadi bo¬neka ke-kuasaan para wazir dan para menteri yang korup dan ambisius. Kelemahan dan ketidakmampuan mereka dimanfaatkan oleh para pejabat gubernur di berbagai provinsi untuk melepaskan diri dari pemerintahan pusat. Sebagai contoh, sepeninggal al-Muntashir orang-orang Turki mengangkat al-Musta’in sebagai khalifah (248-252 H/862-866 M). Sebagai seorang khalifah, mes¬tinya ia memiliki kekuasaan penuh. Tapi nyatanya, ia banyak diatur oleh orang-orang Turki yang pernah mengangkatnya dan tidak diijinkan untuk menja¬lan¬kan roda pemerintahan.

Kenyataan ini merupakan gambaran dari peta politik kekuasaan pada ma¬sa-masa akhir pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah. Para khalifah tidak lagi me¬miliki kekuatan hukum dan politik untuk menentukan jalannya peme¬rin¬tah-an. Hal itu terjadi karena mereka hanya sebagai simbol kekuasaan dan bertindak ha¬nya sebagai pejabat negara, bukan pejabat pemerintahan. Kenyataan ini sekali la¬gi menunjukkan ke¬le¬mah¬an-kelemahan para khalifah Bani Abbas. Kelemahan ini tidak hanya membawa citra bu¬ruk bagi pemerintahan Dinasti Bani Abba¬si-yah, juga membawa dampak pada mele¬mah¬nya sistem dan struktur peme¬rin¬tah-an. Pada akhinrya juga akan membawa pada kehan¬curan pemerintahan Dinasti Bani Abbasiyah.

4. Muculnya Kerajaan-kerajaan Kecil di Barat dan di Timur Bagdad7

(6)

Luasnya wilayah kekuasaan Islam pada masa pemerintahan Dinasti Bani Abba¬siyah, menyebabkan pemerintah tidak dapat melakukan kontrol dengan baik terhadap wilayah-wilayah tersebut. Peluang ini dimanfaatkan oleh para pe-nguasa daerah yang jauh dari pusat pemerintahan untuk melepaskan diri dan menjadi kerajaan-kerajaan kecil. Di antara kerajaan-kerajaan kecil yang dapat melepaskan diri adalah Dinasti Bani Buwaihiyah (945-1055 M), Dinasti Salajiqah (1037-1157 M). Sementara Dinasti Bani Fathi¬miyah yang didirikan di Tunisia pada tahun 297-323 H/909-934 M) oleh al-Mahdi. Dinas¬ti ini berkuasa cukup lama, hingga akhirnya dihancurkan oleh Shalahuddin al-Ayyubi. Selain itu, terdapat banyak daerah yang berusaha memisahkan diri dari pe¬me¬rintahan pusat Bagdad. Di antaranya yang sempat mendirikan kerajaan ke-cil adalah Dinasti Idrisiyah yang didirikan oleh Idris bin Abdullah (172-311 H/ 788-932 M), Dinasti Aghlabiyah didirikan oleh Ibrahim bin Aghlab (184-296 H/800-909 M), Dinasti Thuluniyah, didirikan oleh Ahmad bin Thulun (254-292 H/868-905 M), Dinasti Ikhsyidiyah, didirikan oleh Muhamad bin Tughj (323-358 H/935-969 M), Dinasti Hamdaniyah, didirikan oleh Hamdan bin Hamdan (293-394 H/905-1004 M), Dinasti Thahiriyah, didirikan oleh Thahir bin Husein (205-259 H/821-873 M), Dinasti Shafariyah, didirikan oleh Ya’kub bin Layts al-Shaffar (254-290 H/867-903 M), dan Dinasti Samaniyah, didirikan oleh Saman Khuda (261-389 H/874-999 M).

Kemunculan kerajaan-kerajaan ini, sedikit banyak memperlemah kekua-saan dan wibawa kerajaan Bani Abbas. Sebab, paling tidak, pemasukan dan pe-ngaruh para kha¬li¬fah Bani Abbas berkurang. Lama-kelamaan, akan membawa kelemahan, kemunduran dan kemudian kehancuran Dinasti Bani Abbasiyah. Untuk mengetahui lebih jauh me¬ngenai hal tersebut, berikut uraiannya.

4.a. Kerajaan-kerajaan Kecil di Barat Bagdad 1. Dinasti Idrisiyah (172-311H/7-932M),

Dinasti ini didirikan oleh Idris bin Abdullah, cicit al-Hasan bin Ali. Ia adalah salah seorang tokoh Alawiyyyin, kelompok yang sejak lama berusaha mengambil alih ke¬kuasaan dari Bani Umayyah dan Bani Abbas, tetapi selalu ga¬gal karena gerakan mereka tidak terkordinir dengan baik, dan selalu diawasi oleh peme¬rin-tah Bagdad. Bahkan kelompok ini, di bawah pimpinan al- Husein bin Ali bin al-Hasan, pernah melakukan gerakan pemberontakan di Fakh dekat kota Makah pa¬da 786 M, tapi gagal karena mendapat serangan dari pasukan pe¬merintah Abba¬si¬yah. Kemudian Idris bin Abdullah dan kelompok Alawiyin me¬larikan diri ke al-Maghrib al- Aqsha, kini Maroko.

(7)

bangsa Roma. Di kota ini pada 172H/788 M Idris bin Abdullah dibai’at bangsa Barbar se¬bagai pe¬mimpin (i¬mam) gerak¬an. Tahun pembai’atan ini kemudian dijadikan sebagai ta¬hun ber¬dirinya dinasti Idrisiyah, dan berpusat di Walila. Baru beberapa tahun kemudian pusat peme-rintahan dan gerakan dipindahkan ke Fez dan sekaligus dijadikan se¬bagai ibu kota pemerintahan dinasti ini. Kemunculan dinasti ini di¬kenal sebagai refre¬sen-tasi dari gerakan kelompok Alawiyin pertama dalam se¬jarah Islam.

Ke¬munculan dinasti ini dianggap oleh khalifah Harun al-Rasyid se¬bagai ancaman bagi keu-tuhan negara. Untuk itu, ia mengirim agen mata-mata bernama Sulai¬man bin Ja¬rir yang menyamar sebagai tabib untuk mengintai ge¬rakan kelompok ini. Usa¬ha khalifah berhasil, bahkan Sulaiman dapat membunuh Idris pada 177 H/793 M dengan mem¬be¬ri¬nya racun pada makanan yang di¬kon¬sumsi Idris bin Abdullah. Sepeninggal Idris bin Abdullah, tampuk kekuasaan dipegang anaknya, Idris bin Idris bin Abdullah atau Idris II pada 177 H/93 M. Pada masa kepe¬mim¬pin-annya, dinasti Idrisiyah mengalami perkembangan cukup pesat. Hal ini ter¬bukti ia mampu mem¬bang¬un sarana dan prasarana yang dibutuhkan dalam se¬buah pemerintahan, seperti pem¬bangunan kembali kota Fez, istana, masjid, per¬ce¬ta¬k-an uang, dan pembangunan saluran air yang dikirim ke rumah-rumah pen¬du-duk. Keserius¬annya membangun kota dan pe¬rangkat lainnya ini, menurut pa¬ra ahli, ia dikategorikan sebagai pendiri sebenarnya dari dinasti Idrisiyah.

Setelah Idris II wafat, kepemimpinannya digantikan oleh Muhammad al-Mun¬ta¬shir (213-828 M). Selama lebih kurang sewindu berkuasa, krisis politik in-ternal dan kon¬flik di kalangan keluarga menyebabkan ia tak mampu mengata¬si-nya, hingga ia wafat pada 221 H/836M. Kedudukannya pun digantikan sau¬da-ra¬nya bernama Isa bin Idris (221-234 H/836-849M). Setelah itu, terjadi penggantian amir secara berturut-turut, Yahya bin Muhammad, Yahya bin Yahya, Ali bin Umar bin Idris II, Yahya bin Qasim bin Idris II, Yah¬ya bin Idris bin Umar, dan akhirnya ja¬batan tertinggi dinasti ini dipegang oleh al-Hasan bin al-Qasim. Ke¬ja-tuhan dinasti ini diakibatkan adanya serangan dari dinasti Fathimiyah di Mesir dan Bani Uma¬yah di Cordova, Andalusia. Dalam sejarah tercatat, dinasti ini ti-dak pernah mendapat pengakuan dari Bani Abbasiyah sebagai penguasa daerah oto¬nom di Afrika Utara, bahkan dianggap sebagai ancaman serius bagi keutuhan wilayah Islam. Persoalan ideologis, antara penguasa Bani Abbasiyah yang Sunni dengan Bani Idrisiyah yang Syi’ah, berkembang menjadi persoalan-persoalan politis. Perse¬te¬ru¬an ini terus berlangsung hingga berakhirnya kekuasaan dinasti Idrisiyah.

2. Dinasti Aghlabiyah (184-296 H/800-909 M).

(8)

diangkat khali¬fah al-Mansur pada 170 H. Terbunuhnya al-Qadir al-Mahlabi, tidak menyu¬rut¬kan gerakan pem-berontak, malah kegiatan mereka semakin menjadi. Kenyataan ini membuat gusar pe¬merintahan Abbasiyah.

Untuk tetap menjaga keutuhan wi¬layah tersebut, khalifah Harun al-Ra-syid terus mengirim orang untuk menjadi gubernur, tetapi selalu tidak berhasil mengatasi para pemberontak, bahkan utus¬an khalifah banyak yang mati ter¬bu-nuh di tangan para pem¬berontak. Ke¬mu¬dian pada 184 H Ibrahim bin al-Aghlab mengajukan diri sebagai wakil khalifah Abba¬siyah di Afrika Utara dan berjanji akan mangatasi gerakan pem¬be¬ron¬tak¬an ter¬se¬but. Tidak hanya itu, iapun berjanji bila berhasil akan memberikan upeti ke pe¬merintahan Bagdad sebesar 40.000 di¬nar pertahun. Usulan tersebut diterima kha¬lifah Harun al-Rasyid, dan mem¬per¬silakan Ibrahim menjalankan misinya untuk menjadi wa¬kil pemerintah Abba¬si¬yah secara otonom dan dapat mewariskan ke¬dudukannya kepada anak ketu¬run¬annya kelak. Restu ini penting sebagai bahan legitimasi politik Ibrahim dalam menjalankan tugas yang diemban. Sejak saat itu, lahirlah dinasti kecil Agh¬la¬bi¬yah di Afrika Utara yang menjalankan pe¬me¬rintahan secara otonom, tapi masih mengakui pemerintahan pusat di Bagdad. Sebagai bukti pengakuan, Ibrahim di¬wajibkan men¬can¬tumkan nama khalifah pa¬da mata uang yang dikeluarkan. se¬la¬in itu, Ibrahim juga tidak dibenarkan meng¬gunakan gelar khalifah di belakang namanya, kecuali gelar Amir. Dengan begitu, kedu¬dukan Ibrahim yang berkuasa di Afrika Utara menjadi negara pe¬nyanggah (Buf¬fer States)dari berbagai ke¬mungkinan serangan atau gerakan yang akan men¬jadi ancaman bagi peme¬rin¬tahan Abbasiyah. Dengan pengakuan dan we¬we¬nang yang diberikan al-Rasyid, Ibrahim menjalankan misi dengan membangun wila-yah itu menjadi makmur.

Setelah Ibrahim wafat pada 196 H, tampuk kekuasaan jatuh ke anakanya, Abdul¬lah bin Ibrahim yang 210 H. Kemudian menyusul Amir-amir lainnnya, Zi-yadat Allah bin Ibrahim, Abu Aql al-Aghlab, Muhammad bin Abbas, Ahmad bin Muhammad, Ziyadat Allah bin Muhammad, Muhammad bin Ahmad, Abdullah bin Ibrahim, dan terakhir Ziyadat Allah bin Abdullah. Pada masanya, di¬nasti Aghlabiyah ditaklukkan oleh dinasti Fathimiyah ta¬hun 296H/909 M. Selama pe¬riode Agh-labiyah, terdapat perkembangan yang cukup me¬narik. Di antaranya pemben-tukan dan pengembangan armada laut yang tangguh; pem¬bangunan dua masjid besar, yaitu masjid Zaitunah di Tunisia dan masjid Kairuwan. Da¬lam perkem-bangan pemikiran, muncul seorang ulama fiqh terkenal bermazhab Mali¬ki bernama Sahnun. Perkembangan yang sangat monumental dan masih mem¬bekas di wi¬layah ini adalah penggunaan bahasa Arab Sebagai bahasa resmi, meng-gantikan bahasa Latin. Dengan demikian, usaha Harun al-Rasyid dan ge¬nerasi penerusnya dalam mem¬pertahankan posisi Bani Aghlabi sebagai buffer states, membuahkan hasil berupa per¬ta¬hanan keutuhan wilayah dari berbagai ke-mungkinan serangan dari bangsa Barbar dan lainnya hingga keruntuhan dinasti ini pada awal abad ke-10 M.

3. Dinasti Thuluniyah (254-292 H/868-905 M)

(9)

ter¬bu¬ka lebar ketika terjadi konflik di Bagdad yang me¬newaskan khalifah al-Mu’taz 256 H/869 M dan seorang panglima Turki bernama Amir Baybak. Ketika jabatan khilafah dipegang al-Mu’tamid (256-279 H/869-892 M), dan pejabat tinggi urusan bagian Barat dipegang oleh Emir Barguk (Yaryuk), ipar Ahmad bin Thulun, ia diberi kepercayaan menjabat wakil gubernur di Me¬sir. Dengan pengetahuan dan kelicikannya, akhirnya pada 263 H, semua wilayah Mesir berada di bawah kekuasaannya. Kekuatan ini dijadikan bahan baginya untuk memerdekakan diri dari pemerintah Bagdad, dan usaha itu berhasil ketika pemerintah Bagdad di bawah pimpinan al-Muwaffaq, disibukkan oleh pembe¬rontakan kaum Zank yang menewaskan gubernur Suriah. Situasi ini dimanfaat¬kan Ahmad bin Thulun untuk menarik dukungan massa, sehingga ia berhasil menggabungkan wilayah tersebut ke dalam kekuasannya.

Sepeninggal Ahmad bin Thulun, posisinya digantikan puternya bernama Khuma¬waraih. Pada masa ini, al-Muwaffaq terus berusaha mengembalikan wila-yah Suriah dan Palestina ke pangkuannya, namun selalu gagal. Di antara fak-tornya adalah ketidak¬mampuan militer Ababsiyah yang tengah dilanda krisis politik dan militer untuk meng¬atasi gerakan ekspansi penguasa dinasti Thu¬lu-niyah. Melihat realitas ini, akhirnya al-Muwaffaq melakukan gencatan senjata dengan mengakui keberadaan dinasti ini dan menyerahkan jabatan gubernur Mesir dan Suriah kepada keluarga Thuluniyah selama lebih kurang tiga puluh (30) tahun dan menggantinya dengan upeti yang harus dibe¬ri¬kan dinasti Thu¬lu-niyah kepada pemerintah Ababsiyah di Bagdad. Tidak hanya sebatas itu, sebelum Khumawaraih meninggal, pada 896 M puterinya dinikahi khalifah al-Mu’¬tadi dengan upacara kebesaran. Di bawah kekuasaan dinasti Thuluniyah, Mesir menga¬lami kemajuan yang cukup pesat. Hanya saja, keberhasilan ini tidak berlangsung lama, sebab sepeninggal Khumawaraih, dinasti ini mengalami ke¬munduran pada 896 M .

Di antara kemajuan yang berhasil dicapai dinasti ini adalah perbaikan iri-gasi, peningkatan ekonomi, dan Mesir mulai menjadi pusat kebudayaan Islam. Selain itu, Ahmad bin Thulun juga telah mendirikan rumah sakit besar di Fustat dan masjid bin Thulun yang sangat megah. Setelah dinasti Thuluniyah runtuh, untuk beberapa saat Mesir kembali berada di bawah kekuasaan Bani Abbasiyah. Tapi pada 935 M, Mesir jatuh ke tangan dinasti Ikhsyidiyah, dan Ikhsyidiyah jatuh ke tangan dinasti Fathimiyah pada 969 M

4. Dinasti Ikh¬syi¬diyah ( 323-358 H/935-969 M)

(10)

berdirinya dinasti ini di Mesir. Para pengganti Mu¬hamad bin Tughj terus menggunakan gelar ini hingga kekuasaannya jatuh ke ta¬ngan dinasti Fathmiyah pada 969 M.

Langkah strategis yang dilakukan Muhamad bin Tughj untuk mem¬per¬kuat posisi¬nya di mata pemerintah pusat di Bagdad dan masyarakat Syam dan Mesir, ia – selain meminta otonomi penuh dengan mengakui pemerintahan Bag¬dag—juga melakukan pendekatan kepada masyarakat guna membangun Syam dan Mesir demi kesejahteraan masyarakat dan negara. Usahanya berhasil de¬ng¬an membangun perekonomian Mesir, sehingga masyarakat lebih sejahtera. Ke-berhasilannya ini mendapat respons positif, sehinga ia memperoleh kepercayaan lebih dari Bagdad dan masyarakat. Dukungan kuat dari Bagdad dan masyarakat ini dijadikan modal dasar bagi pembangunan kekuatan politik militer dan per¬ekonomian, sehingga gerakan-gerakan politik dan militer yang dilakukan kelom¬pok Fathimiyah dapat diatasi.

Selama lebih kurang 40 tahun, dinasti ini menjadi negara penyanggah (buffer states) pemerintah Bagdad, Mesir, Syam dan sekitarnya mampu mengatasi gejolak sosial politik dan militer yang dilakukan kelompok pembangkang, ter¬u-tama dari dinasti Fathimiyah. Pemerintahan ini semakin kuat dan berhasil men-jalankan pemerintahan ketika kekuasaan berada di tangan Abu al-Hasan bin Ikhsyid. Kekuatan itu semakin bertambah ketika Abu a-Hasan didampingi oleh seorang panglima militer yang cerdas, Kafur al-Ikhsyidi. Ia berhasil menghalau gerakan dan kekuatan Fathimiyah di Afrika Utara dan dinasti Hamdaniyah di Syria Utara. Kehebatan Kafur mendapat perhatian serus dari sastrawan al-Mutanabbi.

Setelah Kafur meninggal pada 357 H/968 M, tidak ada lagi seorang jen¬de-ral penerus sekuat dan secerdas Kafur. Sehingga situasi dan kondisi sosial politik mulai goyah. Kenyataan ini ditambah dengan sang Amir yang menduduki ja¬bat¬an pemerin¬tahan tertinggi masih sangat belia dan tidak memiliki pengalaman memerintah. Realitas ini benar-benar dimanfaatkan oleh pemerintahan Bani Fa¬thimiyah, sehingga pada 358 H/969M dinasti Ikhsyidiyah dan wilayah-wilayah kekuasaannya dapat dikuasi. Proses aneksasi dan kejatuhan Ikhsyidiyah ini me¬rupakan akhir dari perjalanan pemerintahan negara penyanggah (Buffer States) yang selalu tunduk pada pemerintahan Bagdad. Kemudian periode selanjutnya, wilayah Mesir dan beberapa daerah di Afrika Utara berada di tangan peme¬rin¬tahan di¬nasti Fathimiyah yang tidak tunduk dan merupakan musuh utama Bag¬dad, se¬hingga pada masa ini banyak terjadi kontak fisik dan konflik horizontal internal umat Islam yang berbeda mazhab ini, Bani Abbasiyah yang Sunni, dan Dinasti Fathimiyah yang Syi’ah.

5. Dinasti Hamdaniyah

(11)

keluarga ini memperoleh jabatan penting di istana. Tiga orang bersaudara dari keluarga ini diangkat menjadi wali (gubernur), seperti Abdullah bin Hamdan men¬jadi wali di Mosul, Said bin Hamdan untuk Nahawad, dan Ibrahim bin Hamdan untuk daerah-daerah suku Rabi’ah.

Dalam perkembangan selanjutnya, di antara keturunan Abdullah bin Ham-dan yang paing menonjol adalah Abu Muhamad bin Abdullah dengan ge¬lar Nashir al-Daulah, sebagai wali Mosul, dan saudaranya Abu Husein Ali bin Abdullah, bergelar Sayf al-Daulah, sebagai wali Halb atau Aleppo. Di bawah kekuasaan ke-dua orang generasi Ham¬dan ini, dinasti Hamdaniyah mengalami perkemangan yang sangat sifnifikan. Sayful Daulah berambisi untuk mem¬per¬luas wilayah kekuasaan dan mempertahankan daerah tersebut dari serangan bangsa Romawi. Bahkan untuk hal tersebut, ia memaksa pengu¬a¬sa Ikhsyidiyah agar menyerahkan sebagian wilayah Syria Utara kepadanya supaya lebih mem¬permudah mela¬ku-kan pengawasan dan serangan balik bila bangsa Romawi me¬lakukan serangan ke Aleppo (Halb). Lebih dari itu, penguasa Ikhsyidiyah rela mem¬ba¬yar pajak ta-hunan kepada Sayful Daulah dengan catatan tidak meng¬ganggu Da¬maskus. Se-mentara itu, wali Mosul terus melakukan gerakan per¬lu¬asan wilayah, bahkan sempat menguasai kota Bagdad selama lebih kurang satu tahun setelah berhasil mendesak dan mengusir Bani Buwaih. Tapi setelah ke¬kuatan Bani Buwaihi kembali pulih, mereka diusir dan kembali lagi ke Mosul.

Kekuatan dinasti Hamdaniyah mulai meredup setelah kedua penguasa terkuat wafat. Nashir al-Daulah wafat pada 356 H, sementara Sayful Daulah wa¬fat pada 358 H. Sinar kekuatan dinasti Hamdaniyah ini mulai meredup bahkan menghilang setelah kedua tokoh terkenal tersebut wafat. Hal itu terjadi karena para penguasa sesudahnya selalu konflik berebut kekuasaan, sehingga mele-mah¬kan struktur pemerintahan dan sendi-sendi kekuatan politik militer. Dinasti ini mengalami kehancuran ketika kekua¬sa¬annya jatuh ke tangan pemerintahan di¬nasti Fathiiyah pada 394 H/1004 M.

Meskipun tidak lama, kekuasaan dinasti Hamdaniyah mememiliki pe-ninggalan peradaban yang cukup baik, karera para penguasanya, khususnya Sayful Daulah meru¬pakan penguasa yang mencintai kesusastraan, bahkan ia merupakan pelindung sastra Arab. Di antara tokoh sastra terkenal yang hidup pada masa itu adalah al-Mutanabbi. Se¬lain itu, pada masa ini juga lahir ilmuan terkenal, seperti al-Farabi, al-Isfahani dan Abu al-Fairus. Satu hal yang perlu dicatat di sini adalah bahwa dinasti Hamdaniyah merupakan salah satu dinasti yang mampu menjadi benteng pertahanan umat Islam dari serangan bangsa Ro¬mawi, sehingga keutuhan wilayah kekuasaan Islam tetap terjaga, meskipun se¬ca¬ra internal terjadi konflik politik tak berkesudahan di antara umat Islam.

4. b. Kerajaan-kerajaan Kecil di Timur Bagdad

Selain terdapat negara penyanggah (Buffer States) juga terdapat beberapa wila¬yah yang secara administratif menyatakan otonom dan menjalankan roda pemerintahan sendiri, tanpa harus mengakui pemerintahan Bagdad. Kasus ini ti¬dak hanya terjadi di wilayah bagian Barat, juga di Timur kota Bagdad. Ke¬nya-ta¬an ini terjadi karena peme¬rin¬tah Bagdad, terutama periode ketiga dan sete¬rus-nya, tidak mampu mengatasi gejolak sosial politik yang terjadi di wilayah yang begitu luas.

(12)

pembangan. Kekuasaan otonom itu tidak diberikan be¬gi-tu saja, tapi ada persyaratan yang harus dipenuhi, misalnya ha¬rus memberikan upeti setiap tahun dan tidak memakai gelar khalifah di depan nama penguasa lo¬kal itu. Bila dipenuhi, maka secara otomatis ia telah menjadi wali yang sah atas wilayah otonom itu dan kekuasannya dapat diberikan secara turun temurun ke¬pada anak cucunya.

Dalam catatan sejarah Islam, tercatat beberapa wilayah oto¬nom yang berkuasa pada masa pemerintahan dinasti Abbasiyah di bagian Timur Bagdad, misalnya dinasti Thahiriyah (205-259 H/821-873 M), dinasti Shaffariyah (254-290 H/867 -903 M), dan dinasti Samaniyah (261-389 H/874-999 M). Untuk mengetahui lebih jauh mengenai dinasti-dinasti yang ada di bagian Timur Bagdad, berikut uraiannya.

1. Dinasti Tha¬hiriyah (205-259 H/821-873 M)

Dinasti ini didirikan oleh Thahir bin Husein pada 205 di Nisabur, Khu¬ra¬san, Persia. Ia merupakan kelompok etrnis pertama di Timur Bagdad yang mem-peroleh semacam otonomi dari pemerintahan Bagdad. Thahir bin Husein lahir di Merv pada 159 H dan berasal dari seorang keturunan wali Abbasiyah di Merv dan Harrah, Khurasan, Persia bernama Mash’ab bin Zuraiq. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa hubungan antara pemerintah Abbasiyah di Bagdad de-ngan keluarga Thahir sudah terjalin sejak lama. Karena itu cukup beralasan bila pemerintah Bagdad memberikan kepercayan kepada generasi keluarga Mash’ab bin Zuraiq untuk melanjutkan estafeta kepemimpinan lokal. Tujuan¬nya tetap sa-ma, menjaga keutuhan wilayah kekuasaan Islam Abbasiyah di wilayah Timur kota Bagdad dan menjadi pelindung dari berbagai kemungkinan serangan ne¬ga-ra-negara tetangga di Timur.

Sebenarnya, latar belakang kemunculan dinasti ini diawali oleh peristiwa perebutan kekuasaan antara al-Makmun dengan al-Amin. Perseteruan tersebut terjadi setelah khalifah Harun al-Rasyid meninggal dunia pada 809 M. Perse¬te-ruan tersebut akhirnya dimenangkan al-Makmun, dan Thahir berada pada pihak yang menang. Peran Thahir yang cukup besar dalam pertarungan itu dengan mengalahkan pasukan al-Amin melalui kehebatan dan kelihaiannya bermain pedang membuat al-Makmun terpesona.

(13)

Dinasti Thahiriyah mengalami masa kejayaan pada masa pemerintahan Abdullah bin Thahir, saudara Thalhah. Ia memiliki pengaruh dan kekuasaan yang besar di mata masyarakat dan pemerintah Bagdad. Oleh karena itu, ia terus menjalin komunikasi dan kerjasama dengan Bagdad sebagai bagian dari bentuk pengakuannya terhadap peran dan keberadaan khalifah Abbasiyah. Perjanjian dengan pemerintah Bagdad yang pernah dirintis ayahnya, Thahir bin Husein, te-rus ditingkatkan. Peningkatan keamanaan di wilayah perbatasan terus dila¬ku-kan guna menghalau pemberontak dan kaum perusuh yang mengacaukan pe-merintahan Abbasiyah. Setelah itu, ia berusaha melakukan perbaikan ekonomi dan keamanan. Selain itu, ia juga memberikan ruang yang cukup luas bagi upa-ya pengembangan ilmu pengetahuan dan perbaikan moral atau akhlak di ling-kungan masyarakatnya di wilayah Timur Bagdad. Dalam perjalanan se¬lan¬jut-nya, dinasti ini justeru tidak mengalami perkembangan ketika pemerin¬tah¬an di-pegang oleh Ahmad bin Thahir (248-259 H), saudara kandung Abdullah bin Thahir, bahkan mengalami masa kemerosotan. Faktornya antara lain, adalah peme¬rin-tahan ini dianggap sudah tidak loyal terhadap pemerintah Bagdad, karenanya Bagdad memanfaatkan kelemahan ini sebagai alasan untuk menggu¬sur dinasti Thahiriyah dan jabatan strategis diserahkan kepada pemerintah baru, yaitu di-nasti Saffariyah.

Faktor lain penyebab kemuduran dan kehan¬cur¬an di¬nasti Tha-hiriyah adalah po¬la dan gaya hidup berlebihan yang dilakukan pa¬ra penguasa dinasti ini. Gaya hi¬dup seperti itu menimbulkan dampak pada tidak terurusnya pemerintahan dan kurangnya perhatian terhadap pengembangan il¬mu penge¬ta-huan dan per¬a¬daban Islam. Selain itu, persoalan ke¬amanan dan ke¬ber¬lang-sungan peme¬rin¬tah¬an juga tidak terpikirkan secara serius, sehing¬ga kea¬daan ini benar-benar dima¬nfaatkan oleh kelompok lain yang memang se¬jak lama mengincar posisi strategis di pe¬me¬rintahan lokal, seperti kelompok Saf¬fariyah. Kelompok baru ini mendapat kepercayaan dari pemerintah Bagdad un¬tuk me-numpas sisa-sisa tentara dinasti Thahiriyah yang berusaha memisahkan diri dari pe¬me¬rin¬tahan Bagdad dan melakukan makar. Dengan demikian, berakhirlah masa ja¬bat¬an dinasti Thahiriyah yang pernah menjadi kaki tangan penguasa Ab-ba¬si¬yah di wilayah Timur kota Bagdad.

2. Dinasti Shaffariyah (254-290 H/867- 903 M

Dinasti ini didirikan oleh Ya’kub bin Layts al-Saffar. Gelar al-Saffar dile-katkan di belakang namanya ini menunjukkan bahwa ia adalah seorang ahli da-lam me¬nempa tembaga, semacam mpu di Jawa,yang diwarisi secara turun temu¬run. Ke¬gagalan usaha keluarganya, menjadikan ia terikat dengan sekelompok orang yang mengatasnamakan masyarakat kecil untuk melakuan gerakan pe¬ram¬pok-an. Sasaran dari kegiatannya ini adalah para saudagar kaya yang melin¬tas di tengah perjalanan, kemudian diserang dan diambil harta mereka kemudi¬an dibe¬rikan kepada para fakir miskin.

(14)

tidak cu¬kup sampai di situ. Ia terus bergerak menuju wilayah lain dan menga¬lahkan Fars pada 869 M, dan menduduki Syiraj, ibu kota Fars.

Kemudian pada 873 M men-duduki Nisabur dan sisa wilayah Thahiriyah. Dua tahun kemudian, tepatnya pa-da 875 M, dari Fars ia bergerak menuju Bagdad, dan berusaha menduduki ibu kota ter¬se¬but. Tetapi menjelang ibu kota, lebih kurang 20 km, pasukannya di¬ha-dang oleh pasukan al-Muwaffak pada 876 M. Kekalahannya ini tidak menyu¬rut-kan ambisinya, malah ia bersedia mengadakan perundingan. Namun sebelum dilaksanakan, ia keburu mening¬gal dunia pada 879 M. Meskipun ia dianggap se¬bagai gubernur yang tidak loyal, yang melampaui batas mandat yang diberikan khalifah, tetap saja jabatan gubernur untuk wilayah Timur dipercayakan kepada saudara Ya’kub al-Layts, yaitu Amr bin Layts.

Dinasti Shaffariyah yang didirikan oleh Ya’kub bin Layts al-Saffar ini jus¬teru mengalami kehancuran ketika jabatan tertinggi di pemerintahan dipegang oleh ‘Amr bin al-Layts, karena ambisinya yang ingin memperluas wilayah keku-asannya hingga Tran¬so¬xania (ma wara al-nahr). Di wilayah ini gerakannya di¬ham-bat oleh Bani Saman, dan beberapa daerah kekuasaannya diambil alih (aneksasi) oleh Bani Saman, kecuali Sijistan. Tetapi kekuasannya di Sijistan tidak sepe¬nuh-nya merdeka, karena ia harus tunduk di bawah kekuasaan Bani Saman, dan po-sisi jabatan gubernur tetap berada di bawah Bani Shaffariyah hingga abad ke-15 M, meskipun seringkali terjadi pergantian penguasa. Terkadang Bani Shaffariyah silih berganti berada di bawah penguasa lain setelah dinasti Samaniyah, seperti menjadi penguasa lokal (gubernur) yang tunduk pada pemerintahan dinasti Ghaznawiyah, Bani Saljuk, dan Bangsa Mongol, dan tidak lagi menjadi kepan¬ja¬ng¬an tangan pemerintahan Bani Abbas di Bagdad. Tidak dapat diketahui seca¬ra pasti menga¬pa dinasti ini bertahan begitu lama.

Hal pasti yang dapat di¬te¬gas¬kan di sini bahwa keberadaan dinasti ini karena per¬soalan politik praktis dan pragmatis. Sebab menurut Jamaluddin Surur, salah satu ciri khas dari dinasti ini adalah ambisinya untuk memperoleh kekuasaan otonomi di Sijis¬tan, sebagai pusat pemerintahannya. Karenannya, ketika kekuasaan datang silih ber¬gan¬ti, dinasti ini tetap memperoleh hak otonom di Sijistan hingga abad ke-15 M.

Dalam masa pemerintahannya,terdapat perkembangan yang menarik, ter-utama perkembangan civil society berkaitan dengan keadilan. Dinasti Saffari¬yah meletakkan dasar-dasar keadilan dan kesamaan hak di antara orang-orang mis-kin di Sijistan. Karena itu, faktor inilah yang—kemungkinan-- menjadi salah satu sebab lamanya dinasti ini berkuasa di Sijistan, karena ia begitu peduli dengan keadaan masyarakat yang menjadi pendukung pemerintahan, terutama ko¬mu¬ni-tas masyarakat miskin.

3. Dinasti Samaniyah (261-389 H/874-999 M).

(15)

Di bawah kekuasaan Ismail, dinasti Samaniyah semakin kokoh. Ia berusaha mempertahankan wilayah kekuasaannya dari serangan suku bangsa Turki nomaden. Usahanya terus dilakukan hingga mencapai wilayah Kurasan setelah menaklukkan di¬nasti Saffariyah. Pada masanya pula, Bukhara menjadi pusat pengkajian dan pengem¬bangan ilmu pengetahuan, pendidikan dan pera-daban Islam. Bahkan Ismail menghidup¬kan kembali bahasa Persia sebagai ba¬ha¬sa ilmu pengetahuan dan bahasa komunkasi. Sepeninggal Ismail, khalifah al-Muqtadir memberikan jabatan gubernur kepada Nashr II (301H/913 M) yang masih berusia muda. Pelimpahan jabatan ini menimbulkan konflik internal baru di kalangan kekuarga Bani Saman, karena Ismail dianggap masih terlalu muda untuk memangku jabatan politik yang sa-ng¬at strategis di wilayah Timur Bagdad. Selanjutnya secara berturut-turut ke¬ku-a¬sa¬an dipegang oleh Nuh I bin Nashr (331 H), Abd al-Malik I bin Nuh (343 H), Mansur I bin Nuh (350 H),Nuh II bin Mansur (336 H), Mansur II bin Nuh II (387 H), dan Abd Malik II bin Nuh II (381 H).

Dalam perjalanan sejarahnya, dinasti Saffariyah mengalami perkem¬ba¬ng-an yang relatif cukup penting, khususnya dalam perkembangan ilmu penge¬ta-huan. Kota Bukha¬ra menjadi pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam, selain kota Bagdad dan Cor¬dova. Di kota ini muncul ilmuan muslim kenamaan, seperti al-Razi, Ibnu Sina dan al-Bi¬runi. Selain ilmu kedokteran, juga berkembang ilmu sastra, ilmu falak dan filsafat.

4. Dinasti Buwaihiyah

Pertumbuhan dinasti ini berasal dari kemunculan tiga orang bersaudara; yaitu Ali, al-Hasan dan Ahmad. Ketiganya adalah putera Abu Suja’. Mereka me-masuki dunia mi¬liter dan bergabung dengan Makan bin Kali, seorang jenderal terkenal dari Dailam. Setelah itu, mereka bergabung lagi dengan jenderal Mar-dawij bin Ziar. Karier militer mereka berjalan lancar, karena mereka dipandang memiliki keterapilan dan keahlian dalam berbagai pertempuan. Akhirnya, Mar-dawij mengangkat mereka sebagai pejabat gubernur, untuk Ali bin Abi Suja’ diberikan kepercayaan untuk memimpin wilayah Karh.

Sedang al-Hasan dan Ahmad diberi kepercayaan untuk memimpin wilayah lain yang dianggap penting. Kehadiran dan prestasi mereka di satu sisi sungguh membanggakan Mardawij, tetapi di sisi lain, kurang menguntungkan posisinya, karena, menurut analisis Syalabi, Mardawij agak kecewa setelah ia tahu bahwa mereka adalah bekas anak buah jenderal Makan bin Kali. Makan bin Kali adalah salah seorang musuh Mardawij. Ke¬ke¬cewaan ini cukup beralasan, karena ternyata orang-orang yang mendapat keper¬ca¬yaan Mardawij mampu menjadi pemimpin berprestasi dan berpengaruh di wilayah itu, dan bahkan kemudian mereka berhasil membentuk satu dinasti yang kemudian dikenal dengan sebutan dinasti Buwaihiyah pada 320 H/932 M.

(16)

Karier politik Ali bin Buwaih semakin jelas terbuka lebar ketika di wi-layah Karkh ter¬ja¬di pemberontakan yang dilakukan oleh tentaranya sendiri yang menye¬bab¬kan Mardawij tewas terbunuh pada 944 M. Peluang ini diman¬faatkan oleh al-Hasan untuk memperluas wilayah kekuasaan Bani Buwaih ke Raiy, Hamdan dan Parsi. Ketiga kota itu jatuh ke tangan kekuasaan al-Hasan pada tahun itu juga. Se¬mentara Ahmad berhasil menaklukan wilayah Karman. Sedangkan Ali mem¬per¬luas wilayah kekuasaannya hing¬ga ke Ahwaz dan Wasith. Perluasan wilayah yang dilakukan oleh ketiga saudara ini, me¬rupakan satu usaha untuk menun¬juk¬kan kepada penguasa Bani Abbasiyah bahwa wi¬layah Timur yang dulunya me¬rupakan daerah taklukan BaniAbbasiyah, kini sudah be¬r¬ada di tangan ke¬kua¬sa¬an Bani Buwaihiyah, kekuatan baru yang tak tertandingi di wi¬layah Timur Bag¬dad. Oleh karena itu, sebagai bentuk legitimasi, Ali dan saudaranya ini meminta kepada pemerintahan Bagdad untuk mengakui kebe¬ra-daan pemerintahan ini. Permintaan tersebut, menurut Syalabi dipenuhi. Karena penguasa baru itu te¬tap meng¬akui pemerintahan Bagdad dan bersedia menjadi kepanjangan tangan pemerintah Bag¬dad di wilayah Timur.

Kehebatan penguasa baru ini menarik simpati para pembesar Bagdad. Oleh are¬na itu, ketika terjadi perebutan kekuasaan dan konflik internal di Bag-dad, para elite po¬litik pemerintahan, khususya khalifah al-Mustaqfi, meminta Ahmad bin Buwaih datang ke Bagdad dan mengambil alih pemerintahan dari ta¬ngan para amir dan tentara yang berasal dari kaum Mamluk. Permintaan ter¬se-but direspons baik oleh Ahmad bin Bu¬waih. Untuk itu, ia bersama pasukan per-gi menuju Bagdad untuk menerima tawaran tersebut. Setibanya di Bagdad, ia di¬sambut hangat oleh khalifah al-Mustakfi. Setelaha berada di Bagdad, khalifah al-Mus¬takfi mengangkat Ahmad bin Buwaih menjadi amir al-umara dan memberi¬nya gelar Mu’izz al-Daulah. Ali bin Buwaih yang menjabat gu¬bernur di Persia dan berkedudukan di Syiraz, diberi gelar Imad al-Daulah. Sementara al-Hasan yang menjabat gubernur di bagian utara Isfahan dan Raiy diberi gelar Rukn al-Daulah

Setelah menguasai Bagdad, para penguasa bani Buwaihiyah ini menjadi orang kuat dan menentukan dalam pemerintahan. Semua khalifah yang hidup pada masanya tunduk di bawah kekuasaan bani Buwaihiyah. Bahkan para kha-li¬fah tidak memiliki kekuasaan dan pengaruh, mereka hanya sebagai simbol pe-merintahan sebagai kepala negara, bukan kepala pemerintahan. Semua program pemerintahan diputuskan dan dijalankan oleh penguasa bani Buwaihiyah. Da-lam analisis Syalabi, yang dimiliki para khalifah hanya pengaruh moral dan spi-rituallitas keagamaan, sementara masalah negara diatur sepenuhnya oleh amir al-umara. Hal ini menyebabkan para penguasa bani Buwaihiyah berkuasa penuh atas pemerintahan dalam waktu yang cukup lama. Ahmad bin Buwaih misalnya, ia memerintah Bagdad selama lebih kurang 20 tahun, sementara dua orang sau-daranya, Ali dan al-Hasan bin Buwaih memperluas wilayah kekuasaan di wila¬yah timur Bagdad.

(17)

Permintan sau¬da-ra sepupunya itu ditolak dengan cara pergi mengungsi ke istana Samaniyah hingga ‘Adud Daulah pada 978 M. Cara itu dilakukan untuk menghindari kon¬flik dan perang saudara berkepanjangan. Sedangkan Mu’ayyidud Daulah, putera Ruknud Daulah, menerima ajakan dan mau bekerjasama dengan ‘Adud Daulah untuk menjadi gubernur di Hamdan. Adud Daulah meninggal dalam usia 40 tahun. Kemudian posisinya di-gantikan oleh puteranya bernama Syamsud Daulah dan berkedudukan di Bag-dad. Sementara itu, Syarfud Daulah, putera ‘Adud Daulah berhasil mengua¬sai pro-vinsi Fars dan Irak. Sepeninggal Syarfud Daulah, kekuasaan di Irak dipegang oleh putera ‘Adud Daulah lainnya bernama Bahaud Daulah. Pada masa pe¬me¬rintah-annya, situasi politik tidak stabil karena sering terjadi perebutan kekua¬sa¬an dan konflik internal di antara keturunan Buwaihi, sehingga tidak banyak upaya pe-ngembangan peradaban Islam. Sepeninggal Bahaud Daulah, kekuasaan dinasti Buwaihiyah dipegang oleh 3 (tiga) orang puteranya; yaitu Sultan al-Daulah, Mu-syarifud Daulah, dan Jalaudl Daulah.

Keadaan ini tidak membuat suasana politik menjadi aman, malah se¬ma-kin memanas dengan terjadinya konflik internal da¬lam perebutan kekuasaan. Misalnya, pada 1020 M terjadi serangan yang dila¬ku¬kan oleh Musyarifud Daulah untuk merebut kekuasan dari tangan Sultan al-Daulah yang berkuasa di Irak sejak 1012 M. Setelah Musyarifud Daulah meninggal pada 1025 M, maka Jalaudl Daulah menjadi amirul umara.

Meskipun begitu, konflik ti¬dak pernah usai, bah-kan Jalalud Daulah terlibat peperangan dengan putera Sultan al-Daulah bernama Abu Kalijar. Sepeninggal Jalalud Daulah pada 1040 M, jabatan strategis dalam pemerintahan dinasti Buwaihiyah dipegang oleh Abu Kalijar. Pa¬da 1048 M, Abu Kalijar meninggal dan posisinya digantikan oleh puteranya ber¬nama al-Malik al-Rahim. Namun naas benar nasib al-Malik al-Rahimi, sebab pada pemberontakan dan kerusuhann yang terjadi di kota Bagdad, ia tertangkap dan ditahan dalam penjara hingga tewas. Dengan kematiannya, maka berakhirlah masa kekuasaan dinasti Buwaihiyah dan dimulainya kekuasaan baru dinasti Sal¬juk atau Sa¬la-jikah. Pada masa pemerinahan dinasti Buwaihiyah, terdapat perkembangan il-mu pe¬ngetahuan yang cukup signifikan. Pada masa ini lahir beberapa ilmuan muslim ter¬ke¬muka, seperti Ibnu Sina (980-1037 M), al-Farabi (870- 950 M), Ali bin Abbas al-Majusi (w. 904 M), Abu al-Qasim al- Zahrawi (w.1009 M) Abu Ali al- Hasan bin al-Haitam (w. 1039 M). Abu Raihan al-Baituni (973-1048 M) menemukan teori bahwa bumi berputar pada po¬rosnya, dan memupuskan asumsi bahwa bumi itu datar dan matahari yang mengitari bumi. Selain itu, ia juga melakukan ekspe¬ri-men mengenai kecepatan suara dan kece¬pat¬an cahaya. Eksperimen lain yang di-lakukanya adalah keberhasilannya menentukan be¬rat dan kepadatan 18 macam permata dan metal.

Selain kerajaan-kerajaan tersebut, masih terdapat kerajaan yang menjadi tan¬tangan dinasti Abbasiyah, bahkan keberadaan dinasti ini cukup merepotkan karena ke¬rajaan ini juga terus berusaha keras untuk merebut Bagdad dan wilayah wilayah ke¬kuasan Islam yang berada di bawah kekuasaan dinasti Ababsiyah.

5. Dinasti Fathimiyah

(18)

Utara. Penamaan dinasti ini dengan sebutan Fathimiyah, karena al-Mahdi mengaku dirinya adalah keturunan Fathimah, anak nabi Muhamad saw, dari hasil perka¬winan¬nya dengan Ali bin Abi Thalib. Setelah itu, Abu Ubaidillah terus melancarkan propa¬ganda Syi’ah di kalangan penduduk asli Afrika Utara, yaitu masyarakat Barbar. Usa¬ha¬nya ini berhasil menarik simpati masyarakat tersebut, sehingga masyarakat Barbar memberikan dukungan penuh atas usaha Abu Ubaidillah untuk melakukan per¬lawanan terhadap pemerintahan dinasti Bani Abbasiyah. Sebab bangsa Barbar juga tidak suka atas semua kebijakan para khalifah Bani Abbasiyah yang terlalu memeras mereka. Me¬reka ditarik pajak dan semua pajak diserahkan ke pe¬me¬rintah pusat di Bagdad, se¬men¬tara masyarakat Barbar sangat membutuhkan bantuan untuk mengatasi berbagai per¬soalan sosial ekonomi di wilayahnya. Ubaidillah al-Mahdi (297-323 H/909-934 M, merupakan khalifah pertama dinasti Fathimiyah yang dikenal sebagai seorang khalifah Fathimiyah yang ca-kap dan cerdas. Pada dua tahun pertama masa kepemimpinannya, ia berusaha melakukan konsolidasi untuk memperkuat kekuasaan, sehingga beberapa wila-yah di Afrika Utara, seperti Maroko. Kemudian pada tahun 914 M ia berhasil menduduki Iskandaria, Mesir, dan kota-kota lainnya di laut tengah, seperti Malta, Sardinia, Corsica, dan Syria di utara Bagdad. Pada tahun 920 M, khalifah al-Mahdi mendirikan kota Baru di pantai Tunisia dan men¬jadikannya sebagai pusat peme¬rintahan, yang disebut kota Mahdiniyah. Setelah itu, al-Mahdi terus berusaha memperluas wilayah kekuasaan, bahkan ia sudah bekerjasama dengan Muha¬mad bin Hafsun, salah seorang tokoh pemberontak di Spanyol. Namun usahanya belum tercapai, karena pada tahun 934 M ia meninggal dunia.

Cita-citanya untuk memperluas wilayah kekuasaan dilanjutkan oleh anaknya yang bernama al-Qaim (323-335 H/934-949 M). Nama asli al-Qaim adalah Abul Qasim. Ia adalah putera terutam dari khalifah Abu Ubaidillah al-Mahdi. Ia dan pasukanya berusaha melakukan ekspansi ke selatan pantai Perancis, dan berhasil menduduki Genoa dan wilayah sepanjang pantai Calabria. Pada saat yang sama, ia juga mengirim pasukan ke Mesir,namun gagal, karena pasukan dinasti Ikhsyidiyah berhasil mengusir pasukan al-Qaim dari Iskandariyah. Di tengah kesuksesannya melakukan ekspansi wilayah, di Susa, Afrika Utara terja-di pemberontakan yang dilakukan oleh kelompok khawarij di bawah pimpinan Abu Yazid Makad. Dalam situasi seperti itu, a-Qaim meninggal dunia. Lalu po-sisinya digantikanoleh anaknya yang bernama al-Mansur. Di bawah kekuasaan al-Mansur ini akhirnya pemberontakan kelompok khawarij di di bawah pim¬pin-an Abu Yazid dapat dituntaskan. Setelah ia wafatpada tahun 341 H/965 M, po¬si-sinya digantikan oleh al-Mu’iz ( 341-352 H/965-975 M). Ia adalah putera al-Man-sur yang bernama Abu Tamim Ma’ad dan diberi gelar al-Mu’iz.

(19)

satu perguruan tinggi tertua di dunia. Kota baru yang bernama al-Qahirah atau Kairo ini baru ditempati oleh al-Mu’iz pad tahun 973 M, setelah semua pelaksanaan pem¬bangun¬an kota dan sarana prasarananya sudah siap.

Ketika semua persoalan politik dan pembangunan kota Kairo dianggap selesai, al-Mu’z mulai mencuarhkan perhatiannya untuk menata sistem pe¬me-rin¬tahan. Ia mem¬bagi wilayah propinsi menjadi sejumlah distrik dan ia menem-pat¬kan para pejabat yang pandai dan loyal atau setia pada pememrintah dinasti Fathimiyah. Selama dua tahun me¬netap di Kairo, banyak kebijakan pemerintah yang dikeluarannya. Diantaranya, mem¬bangun industri dan perdagangan, se-hingga perekonomian menjadi maju. Selain itu, ia menunjuk Ibnu Killis dan ‘Asyuq menjadi pemungut pajak pertanahan (mukharrij). Sua¬sana ini terus ber-lanjut hingga akhirnya ia meninggal dunia pada tahun 975 M setelah meme¬rin-tah selama lebih kurang 23 tahun.

Sepeninggal al-Mu’iz, suasana kedamaian dan ketentraman terasa. Sebab al-Aziz sebagai pengganti al-Mu’iz, memiliki sifat yang baik dan bijaksana. Pada masanya, kesejahteraan masyarakat terjamin, dan tidak ada perbedaan antara muslim dengan non muslim. Pada masa al-Aziz dikenal sebagai puncak keja¬ya-an dinasti Fathimiyah. Karena pembangunan dan perkembangan ekonomi ber-hasil dengan baik. Kejayaan dinasti Fathimiyah dapat menandingi kebesaran di-nasti Abbasiyah yang tengah mengalami kemunduran pada masa pemerintahan dinasti Buwaihiyah. Keadaan ini memperkuat keinginan para penguasa dinasti Fathimiyah untuk menguasaiseluruh wilayah ke¬kua¬saan Islam. Setelah masa al-Aziz, para penerus dinasti kurang berhasil mengem¬bang¬kan kekuasaan, sehingga lambat laut, daerah kekuasaan jatuh ke tangan peng¬u¬a¬sa baru, yaitu dinasti Ayyubiyah, di bawah kepemimpinan Salahuddin al-Ay¬yubi.

Kemunculan dan keberhasilan dinasti-dinasti kecil ini, secara langsung atau tidak langsung sangat berpengaruh terhadap keberadaan dan kekuatan di-nasti Abba¬si¬yah, sehingga secara perlahan, kekuasaan Bani Abbasiyah mele¬mah dan akhirnya men¬capai kemunduran dan kehancurannya.

b. Krisis Ekonomi8

Faktor kedua yang menjadi penyebab terjadinya kemunduran dan kehan-curan Dinasti Bani Abbasiya adalah krisis ekonomi. Krisis ekonomi ini meru¬pa-kan akibat langsung dari krisis politik yang terjadi pada masa itu. Sebab, per¬go-lakan dan pem¬be¬rontakan yang terjadi di beberapa daerah menyebabkan banyak pendapatan negara yang terhambat masuk. Terhambatnya pemasukan kas nega¬ra dari berbagai pajak ini disebabkan banyak kelompok yang enggan membayar, bahkan ada beberapa wilayah yang dengan terangan-terangan menyatakan mer¬deka dana tidak lagi terikat dengan pemerintahan pusat di Bagdad. Di antara wilayah yang menolak dan menyatakan mer¬deka dari Bagdad adalah Tunisia dan kemudian Mesir ketika berada di bawah ke¬kua¬saan Dinasti Fathimiyah.

(20)

pemasukan dari kharraj (pajak bumi ) dan jizyah (pa¬jak perkepala/jiwa), yang dipungut dari masyarakat, negara benar-benar menga¬lami krisis ekonomi yang sangat parah.

Sebagai akibat dari krisis politik dan ekonomi yang berkepanjangan, ma-syarakat tidak lagi percaya kepada para pejabat pemerintah. Bahkan banyak pu-la di antara me¬reka yang kemudian menyusun kekuatan untuk melakukan ge-rakan perlawanan ter¬ha¬dap pejabat pemerintan Bani Abbas. Gerakan-gerakan tersebut, seperti dikemukakan pada bagian terdahulu, memiliki dampak serius bagi kelangsungan pemerintahan Bani Abbas. Karena berimplikasi pada per¬eko-nomian negara. Lebih menyedihkan lagi, ketika negara tengah mengalami krisis ekonomi seperti itu, para penguasa dengan seenaknya memakan uang negara untuk kepentingan diri dan kelompok masing-masing. Kondisi seperti ini terus berlangsung sejak masa-masa kemunduran Dinasti Bani Abbasiyah hingga menjelang kehancurannya pada paruh pertama abad ke-13 M.

c. Ketergantungan Pada Tentara Bayaran9

Faktor yang tak kalah pentingnya adalah sifat ketergantungan yang sa-ngat ting¬gi kepada tentara bayaran. Sifat ketergantungan ini disebabkan antara lain oleh semakin canggihnya teknologi perang, sehingga para khalifah tidak lagi banyak bergantung pa¬da kekuatan milisi. Para penguasa Dinasti Ababsiyah ini mulai melirik kepada kekuatan baru dalam upaya mempertahankan dan menja¬ga keamanan pribadi dan keluarga me¬reka. Mereka menginginkan adanya pe¬ng¬awal yang loyal, tegas dan berani menjalankan perintah atasan.

Sebagai konsekuensi dari pengangkatan tentara pribadi dan profesional itu, para khalifah harus memberi gaji atau bayaran yang sesuai dengan jabatan dan pekerjaan yang mereka lakukan. Dengan demikian, pengeluaran dana be-lanja negara semakin ber¬tambah. Perilaku ini ternyata tidak hanya dilakukan oleh para khalifah, juga para gu¬ber¬nur. Bila mereka menginginkan keselamataan dan kekuasaan mereka terus bertahan, maka mereka harus mengangkat tentara bayaran.

Ketergantungan ini dimanfaatkan oleh para tentara bayaran yang keba-nyakan berasal dari daerah Turki . Dengan kemampuan dan kelebihan yang me-reka miliki, me¬reka dapat melakukan tawar menawar dalam masalah tugas dan hak yang mereka akan perolah. Biasanya para khalifah atau penguasa lokal tidak banyak pilihan, kecuali me¬nerima tawaran mereka. Sebab secara fisik, mereka memiliki tubuh lebih besar dan su¬dah terbiasa dengan berbagai pertempuran.

Oleh karena itu, pada masa-masa akhir pemerintahan Dinasti Bani Ab¬ba-siyah, banyak penguasa lokal yang memiliki tentara bayaran yang sangat loyal kepada atas¬annya. Perkembangan ini ternyata membawa dampak yang kurang mengun¬tung¬kan bagi para khalifah Abbasiyah. Sebab banyak penguasa daerah yang memiliki ten¬tara sendiri berusaha menentang keijakan dan melakukan perlawanan. Gambaran ini dapat dilihat dari uraian sebelumnya bahwa banyak daerah yang telah berusaha me¬mer¬dekakan diri dari pemerintah Bagdad.

(21)

mereka akan mengancam keselamatan khalifah dan keluarganya. Bahkan mereka siap membunuh khalifah dan keluarganya, bila ada orang atau gubernur yang mau mem¬bayar mereka lebih mahal.

Situasi dan kondisi seperti ini lama kelamaan memperlemah struktur so-si¬al politik dan militer yang telah dibangun pemerintah Abbasiyah. Dalam catatan sejarah, ternyata para penguasa Dinasti Abbasiyah hancur karena begiitu kuat¬nya keter¬gan¬tungan mereka terhadap tentara bayaran ini.

B. Keruntuhan dan Kehancuran Dinasti Bani Abbasiyah.

Setelah mengalami perjalanan panjang dan melelahkan, akhirnya Dinasti Bani Ababsiyah mengalami masa keruntuhan dan kehancuran. Padahal Dinasti ini berkuasa cukup lama (132 -656 H/750-1258 M.), hampir 6 (enam) abad. Teta-pi akibat manajeman pemerintahan yang tidak baik ditambah banyaknya pem-berontakan dan krisis ekonomi berkepanjangan, Dinasti ini harus menga¬la¬mi nasib pahit dihancurkan oleh tentara Hulaghu Khan pada tahun 1258 M.

Jatuhnya kota Bagdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol, bu-kan saja mengakhiri khilafah Ababsiyah, juga merupakan awal dari kemun-duran politik dan kehancuran peradaban Islam. Sebab, kota Bagdad yang merupakan simbol peradaban dunia ketika itu dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan Islam, luluh lantah di tangan kelompok masyarakat berperadaban rendah itu. De¬ngan kekuatan 200.000 per¬sonel militer, Hulaghu Khan memasuki pintu kota Bagdad pada tahun 656 H/1258 M.

Kekuatan itu tidak dapat di¬ben-dung oleh khalifah al-Musta’shim, sebagai penguasa ter¬akhir Bani Abbas. Sehingga pa¬suk¬an Hulaghu Khan dengan leluasa memporak poran¬dakan kota Bagdad yang di¬kenal sebagai kota Seribu Satu Malam tersebut. Pusat-pusat peradadan dan pe¬ninggalan Islam dibumihanguskan tentara Hulaghu Khan. Tidak ha¬nya itu, ma¬syarakat muslim juga menjadi sasaran biadab tentara Mongol. Mereka yang se¬la¬mat berusaha melarikan diri dan menghindari kota Bagdad. Para ilmuan atau ulama banyak yang melarikan diri ke kota-kota lain, seperti Isfahan, Khurasan dan sebagainya.

Kehancuran kota Bagdad sebenarnya tidak sedahsyat itu, bila tidak ada peng¬khianat dari dalam. Diceritakan bahwa pada situasi krisis seperti itu, se-orang perdana menteri khalifah bernama Muayyaduddin bin al-Alqami, seorang penganut Syi’ah, meng¬ambil kesempatan dengan menipu khalifah al-Musta’shim.

Menurut versi al-al-Qami, untuk menyelesaikan persoalan itu, ia telah meng¬a¬dakan perjanjian dengan Hulaghu Khan. Hasilnya, Hulaghu akan meni-kahkan puterinya dengan putera al-Musta’shim bernama Abu Bakar. Dengan demikian, keselamatan kha¬lifah akana terjamin. Hanya saja, khalifah harus tun-duk berada di bawah kekuasaan Hu¬laghu Khan.

(22)

Karena tidak terjadi sesuatu yang membahayakan seperti yang mereka kha¬wa¬tirkan, akhirnya khalifah al-Musta’shim pergi diiringi oleh para pembesar istana dan fu¬qaha dan tokoh lainnya, untuk bertemu Hulaghu Khan. Tetapi ke-datangan khalifah dan oranag-orang kepercayaannya, disambut dengan ke¬kuat-an pedang oleh Hulaghu Khan dan tentaranya. Khalifah dan para pengikutnya, termasuk wazir al-al-Qami, tewas di¬bantai saat itu. Peristiwa ini terjadi pada ta-hun 656 H/1258 M.

Hancurnya kota Bagdad dan tewasnya khalifah al-Musta’shim, meng-akhiri ke¬kuasan Dinasti Bani Abbasiyah. Dinasti ini yang semula sangat kuat, secara perlahan melemah dan akhirnya mengalami masa kehancuran di tangan orang yang tidak me¬miliki peradaban. Hulaghu Khan dan tentaranya melakukan pembantaian secara biadab terhadap umat Islam dan masyarakat kota Bagdad pada umumnya. Masa ini dalam se¬ja¬rah Islam dikenal dengan jaman keter¬pu¬rukan umat Islam dan kehancuran peradan Is¬lam. Meskipun pada periode ini dikenal dengan jaman kemunduran, khususnya peradaban Islam yang dikembangkan oleh Bani Abbas, ternyata di beberapa wilayah, seperti Persia, India dan Turki , terdapat perkembangan peradaban Islam yang sangat signifikan, hingga menjelang abad ke-19 M. Perkembangan peradaban Islam ini dapat dilihat dari berbagai usaha yang dilakukan oleh para penguasa dinasti Safawiyah di Persia, dinasti Mughal di India, dan dinasti Usmaniyah di Turki . Untuk mengetahui lebih jauh mengenai perkembangan peradaban Islam di masa ketiga kerajaan tersebut, berikut uraiannya.

1. Masa Tiga Kerajaan Besar

Jatuh Bagdad pada 1258 M ke tangan bangsa Mongol, tidak saja meng-akhiri khilafah Abbasiyah, juga sekaligus mengawali masa kemunduran politik Islam secara drastis, terutama di beberapa daerah kekuasaan Ababsiyah. Politik kekuasaan Islam terpecah menjadi beberapa kerajaan kecil, seperti dinasti Ilkhan, dinasti Timuriyah dan dinsati Mamalik. Situasi ini baru berubah setelah terbentuknya tiga kerajaan besar, yaitu Kerajaan safawi di Persia, Mughal di India, dan Usmani di Turki .

A. Dinasti Safawi.

Dinasti Safawi berawal dari sebuah gerakan tarekat di Ardabil, sebuah kota kecil di Azarbaijan, Asia Kecil. Tarekat ini dirikan oleh Safiudin (1252-1332 M). Nama ge¬rak¬an Tarekat diambil dari nama pendirinya, yaitu Safiuddin. Ketika gerakan ini sema¬kin be¬sar dan kuat, dan berhasil mendirikan sebuah dinasti, nama Safawiyah tetap di¬per¬ta¬hankan, sehingga dinasti yang didirikan oleh gerakan ini disebut dengan dinasti Safa¬wi¬yah. Sejak didirikan pada tahun 1301 M, tarekat ini mengalami perkembangan yang cu¬kup signifikan, terutama di wilayah Asia Kecil, dan Timur Tengah, seperti Per¬sia dan Syria. Tujuan awal dari gerakan tarekat ini adalah untuk memberantas penyim¬pangan yang dilakukan masyarakat muslim di Asia Kecil, yang dikenal dengan sebutan ahli bid’ah. Tetapi, karena begitu fanatiknya para pengikut gerakan tarekat ini, akhirnya gerakan ini tidak hanya bertujuan memberantas kelompok bida’h, bahkan melakukan gerakan melawan mereka yang bukan berasal dari golongan Syi’ah. Sejak saat itu, gerakan tarekat Safawiyah ini memasuki wilayah politik praktis.

(23)

penguasa Kara Koyunlu, salah satu cabang Turki yang berkuasa di wilayah ini. Akibat konflik tersebut, Junaid diusir oleh pihak penguasa dan diasingkan. Selanjutnya Junaid bersekutu dengan Uzun Hasan, seorang pimpinan ak-Koyunlu. Persekutuan ini semakin kuat ketika Junaid menikahi saudara perempuan Uzun Hasan.

Sepeninggal Junaid, pimpinan tarekat Safawiyah digantikan oleh anaknya yang bernama Haidar. Haidar mengawini putri Uzun Hasan dan melahirkan anak bernama Isma’il. Dialah yang kelak berhasil mendirikan kerajaan Safawiyah di persia.

Persekutuannya dengan ak-Koyunlu, Haidar berhasil mengalahkan kekuatan Kara Koyunlu dalam pertempuran yang terjadi pada tahun 1476 M. Kemenangan ini membuat nama safawiyah semakin besar, dan hal ini tidak dikehendaki oleh Ak-Koyunlu. Persekutuan antara Safawiyah dengan Ak-Koyunlu berakhir oleh sikap Ak-Koyunlu yang memberikan bantuan kepada Sirwan, ketika terjadi pertempuran antara pasukan Haidar dengan pasukan Sirwan. Pasukan Safawiyah mengalami kehancuran, dan Haidar sendiri turut terbunuh dalam pertempuran ini.

Kekuatan Safawiyah bangkit kembali dalam kepemimpinan Isma’il. Ia selama lima tahun mempersiapkan kekuatan dengan membentuk pasukan Qizilbash (pasukan baret merah) yang bermarkas di Gilan. Pada tahun 1501 pasukan Qizilbash berhasil mengalahkan Ak-Koyunlu dalam peperangan di dekat Nakhcivan dan berhasil menak¬lukan Tibriz, pusat kekuasaan aK-Koyunlu. Di kota ini Isma’il memproklamirkan ber¬di¬rinya kerajaan safawiyah dan menobatkan diri sebagai raja pertamanya.

Para penguasa Safawiyah

Isma’il berkuasa selama 23 tahun, yakni antara tahun 1501-1524 M. Beberapa ta¬hun pertamanya ia berhasil menumpas sisa-sisa kekuatan Ak-Koyunlu dan melancarkan ge¬rakan ekspansi. Ekspansi ini berhasil menaklukan propinsi caspia di Nazandaran, Gur¬gan, dan Yazd (1504 M), Diyar Bakr (1505-1507 M), Bagdag dan wilayah barat daya yang ditaklukannya pada tahun 1501 M. Hanya dalam waktu sepuluh tahun, Isma’il berhasil memperluas wilayah kekuasaan yang meliputi seluruh wilayah Persia dan wilayah subur “bulan sabit” (fertile crescent).

Kemenangan tersebut membuat Isma’il berambisi untuk menguasai daerah-dae¬rah lain, sehingga kekuatan safawiyah harus berhadapan dengan kekuatan Turki Us¬ma¬ni di Chaldiran pada tahun 1415 M. Pasukan Sultan Salim lebih unggul dan ber¬hasil menguasai kota Tibriz. Keadaan safawiyah terselamatkan dengan kepulangan sultan Sa¬lim ke negerinya, karena di Tuki sedang terjadi perpecahan di tubuh militer. Permusuhan antar Safawiyah dengan kerajaan Usmani tetap berlangsung se¬pe¬ninggal Isma’il, yakni pada masa Tahmasp, Isma’il II, dan pada masa Muhammad Khu¬dabanda. Dalam peperangan masa-masa tersebut di atas Safawiyah selalu menjadi pihak yang terdesak.

Kemajuan Dinsti Safawiyah

(24)

budak-budak ta¬wanan perang yang berasal dari bangsa Georgia, Armenia, Sircassia. Kedua, menga¬da¬kan perjanjian damai dengan ke¬ra-jaan Turki Usmani. Demi tercapainya perdamaian ini Abbas I berkenan melepaskan wilayah kekuasaan Azerbaijan, Georgia dan sebagian wi¬layah lainnya. Di samping itu, Abbas berjanji tidak akan mencaci maki tiga khalifah Is-lam pertama, yaitu Abu Bakar, Umar, Usman). Sebagai jaminan atas perjanjian ini,ia bersedia menyerahkan saudara sepupunya yang bernama Haidar Mirza sebagai sandera di Istambul.

Setelah Abbas berhasil melakukan konsolidasi, ia selanjutnya mulai mengerah¬kan pasukan untuk merebut kembali beberapa wilayahnya. Pada tahun 1598 M ia mulai menyerang dan menundukkan Heralt. Kemudian merebut Marw dan Balkh, dan bebe¬ra¬pa wilayah kekuasaan usmani berhasil dikuasainya. Dengan demikian, permusuhan an¬tara kedua kerajaan ini, Safawi dengan Usmani, berkobar kembali. Pada tahun 1602 M, ketika Turki Usmani dipimpin sultan Mahmud III, pasukan Abbas I berhasil meng¬uasai Tibriz, Sirwan dan Bagdad. Setelah itu, satu persatu wilayah kekuasaan Usmani di¬kua-sai. Bahkan pada pada tahun 1622, pasukan Abbas I berhasil merebut kepulauan Hur¬muz. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa masa kekuasaan Abbas I merupakan puncak kejayaan kerajaan Safawiyah. Ia berhasil mengatasi gejolak politik dalam negeri yang mengganggu stabilitas negara, dan sekaligus ia berhasil merebut kembali beberapa wilayah kekuasaannya yang sebelumnya lepas tersebut oleh karena Usmani.

Kemajuan ekonomin pada masa ini bermula dengan penguasaan atas kepulauan Hurmuz dan pelabuhan Gumrun yang diubahnya menjadi bandar Abbas. Dengan de¬mi¬kian Safawiyah menguasai perdagangan antara Barat dan Timur. Safawiyah juga meng¬alami kemajuan dalam bidang pertanian, terutama hasil pertanian dari daerah bulan sabit yang sangat subur (fertille crescent). Kemajuan ekonomi ini mengantarkan kerajaan Safawiyah mencapai kemajuan alam bidang ilmu pengetahuan dan seni. Dalam sejarah¬nya diketahui bahwa bangsa Persia, dikenal sebagai bangsa yang telah berperadaban tinggi dan telah berperan dalam mengantarkan kemajuan ilmu pengetahuan pada masa Abbasiyah. Tradisi ke¬il¬mu¬an seperti itu tetap berlanjut hingga masa kerajaan Safa¬wiyah ini. Sejumlah ilmuan yang muncul pada masa Safawiyah antara lain; Bahauddin al-syaerozi, Muhammad al-Baqir bin Muhammad Damad, masing-masing sebagai ilmuan dalam bidang filsafat, sejarah, teolog, dan ilmu umum. Ilmuan yang tersebut terakhir pernah melakukan observasi kehidupan lebah.

Kemajuan seni arsitektur ditandai dengan berdirinya sejumlah bangunan megah yang memperindah ibukota kerajaan ini; misalnya sejumlah bangunan mesjid, sekolah, rumah sakit, jembatan yang memanjang di atas Zende rud dan istana Chihil Sutun. Kota Isfahan turut memperindah dengan kebun wisata yang sangat indah. Ketika abbas I me¬ninggal, di Isfahan terdapat sejumlah 162 mesjid, 48 perguruan, 1802 penginapan, dan 273 tempat pemandian umum.

Kemunduran dan kehancuran

(25)

pem¬be¬sar ke¬rajaan, sekalipun karena alasan yang remeh. Sejak masa ini, beberapa wilayah Safawiyah lepas. Misalnya, wilayah Kandahar dirampas oleh kerajaan Mughal, Delhi. Kemudian Ervan, Tibriz, dan Bagdad direbut oleh pasukan Usmani antar tahun 1635-1635 M.

Upaya merebut kembali beberapa wilayah yang jatuh ke tangan dinasti Usmani dan Mughal, dilakukan oleh Abbas II. Meskipun ia memiliki semangat perjuangan un¬tuk merebut kembali wilayah Kandahar dari kekuasaan Syah Jihan, upaya seperti ini ti¬dak diteruskan oleh para penggantinya. Sulaiman dan Husein merupakan penguasa yang lemah, keduanya tidak berhasil mengatasi gerakan pemberontakan yang dilan¬car¬kan oleh masyarakat Afghanistan, sehingga gerakan ini mengakhiri pemerintahan Safa¬wiyah di wilayah ini. Benih pemberontakan ini sudah ada sejak masa Sulaiman, dan be¬rubah semakin kritis akibat pemaksaan paham Syi’ah terhadap masyarakat Sunni yang dilakukan oleh Husein. Karena itu, masyarakat Sunn Afghanistan melakukan per¬la¬wan¬an di bawah pimpinan Mir Vayz dan Mir Mahmud. Husein dipaksa menye¬rah oleh ge¬rakan pemberontakan ini.

Situasi ini membuat panik keluarga istana, bahkan Tahmasp II, putra Husein, ber¬hasil melarikan diri ke Astrabad. Atas bantuan dan dukungan suku Qazar dari Rusia, ia berhasil membangun kembali kerajaan Safawiyah pada tahun 1722 M dengan ibu kota di Astrabad. Pada tahun 1726 M Tahmasp II bergabung dengan Nadzir Khan dari suku Afhsar untuk mengusir kekuasaan Afghanistan yang menduduki wilayah Isfahan. De¬mikianlah bahwa Nadzir Khan cukup berjasa terhadap Tahmasp II dalam membangun kembali kerajaan Safawiyah. Namun ternyata, Nadzir Khan memiliki kepentingan po¬litik dibalik dukungannya terhadap Tahmasp II. Hal ini terbukti dengan peristiwa pemecatan Tahmasp II oleh Nadzir Khan. Kemudian Nadzir Khan menunjuk Abbas III yang belum genap berusia satu tahun. Empat tahun kemudian, Nadzir Khan mem¬prok¬lamirkan diri sebagai raja menggantikan Abbas III. Peristiwa yang menandai ber¬akhir¬nya kerajaan Safawiyah ini terjadi pada 8 maret 1736 M.

Ada sejumlah faktor penyebab kemunduran kerajaan ini, selain faktor ketidak cakapan sejumlah raja setelah Abbas I, hingga pada akhirnya membawa kepada kehan¬curannya. Di antaranya adalah pertama; konflik militer yang berkepanjangan dengan kera¬ja¬an Usmani. Berdirinya kerajaan Safawiyah yang beraliran Syi’ah dipandang oleh kera¬jaan Usmani sebagai kekuatan yang mengancam kekuasaannya. Kedua, pasukan budak yang dibentuk oleh Abbas I tidak memiliki se-mangat per¬juangan yang tinggi, seperti yang dimiliki Qizilbash. Hal ini disebabkan karena mereka tidak memiliki ketahanan mental yang kuat, karena tidak dipersiapkan secara terlatih dan tidak memiliki bekal rohani. Pada masa belakangan pasukan Qizilbash tidak me¬mi¬liki militansi, dan semangat mereka telah luntur, tidak sebagaimana Qiziblash ge¬ne¬rasi awal. Kemerosotan aspek kemiliteran ini sangat besar pengaruhnya terhadap hilangnya kekauatan dinasti Safawi.

B. Kerajaan Mughal Di India

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian pada struktur sambungan pondasi tapak yang terbuat dari material beton bertulang terhadap komponen kolom dan sloof yang terbuat dari beton bertulang juga, agar

Selain itu, capaian rendah ini juga disebabkan oleh pelaksanaan program kerja yang rata-rata tidak sesuai dengan jadwal karena ketidakjelasan perubahan OTK serta

Tujuan dari penelitian ini adalah mengedukasi Masyarakat Kabupaten Bantul agar tidak mempercayai hal-hal mistis dengan seiring berkembangnya zaman yang sudah

Pada 1999, melanjutkan studi Pascasarjana pada program studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa, Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gajah Mada (UGM)

Penelit ian ini m enggunakan m odel pem belaj aran learning cycle 7E pada kelas eksperim en dan m odel pem belaj aran learning cycle 5E pada kelas kont rol, agar

Beberapa keberhasilan yang menonjol dari pencapaian sasaran ini adalah: (1) Dipergunakannya informasi hasil analisis harga pangan dalam perumusan kebijakan nasional,

Penanaman Nilai-Nilai religius Melalui Kegiatan Keagamaan .... Penelitian

menguasai penggunaan bahasa tersebut. Veda adalah agama pertama di India yang dibawa oleh orang-orang arya. Dalam perkembangannya, agama Veda kurang disukai karena masyarakat