• Tidak ada hasil yang ditemukan

Adat dan Budaya Masyarakat Tenganan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Adat dan Budaya Masyarakat Tenganan"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Bali adalah salah satu pulau di Indonesia yang memiliki berbagai macam kebudayaan dan adat istiadat. Kebudayaan Bali pada hakikatnya dilandasi oleh nilai-nilai yang bersumber pada ajaran agama Hindu dan masyarakat Bali itu sendiri. Identitas kebudayaan masyarakat Bali ada yang asli dari daerah Bali sendiri dan ada pula yang datang dari pulau Jawa. Penduduk asli daerah Bali berasal dari keluarga besar Autronesia dan diperkirakan telah masuk ke Pulau Bali dua abad SM dan penduduk ini bertempat tinggal di desa tradisonal yang dikenal dengan sebutan Desa Bali Aga. Dalam perkembangan berikutnya barulah masuknya orang imigran dari Jawa yang melahirkan tipe Desa Apanaga.

(2)

Perbedaan faktor budaya, sangat terlihat jelas antara Desa Bali aga dan Desa Apanaga karena pada umunya Desa Bali Aga terletak di daerah-daerah pegunungan yang sangat jauh dengan hirup-pikuk perkembangan kehidupan, seperti di Karangasem, yaitu Desa Tenganan. Unsur kebudayaan pada daerah ini masih terasa kental karena menarik, unik, dan berbeda dengan daerah Bali lainnya. Kebudayaan yang dimaksud adalah unsur budaya kesenian. Depdiknas (2006: 5) menyatakan, kesenian merupakan bagian dari budaya dan merupakan sarana yang digunakan untuk mengekspresikan rasa keindahan dari dalam jiwa manusia.Kesenian yang ada di Desa Tenganan mempunyai cirri khas tersendiri karena pada umumnya Desa Bali Aga tidak terlalu kaku untuk menerima perubahan tetapi mereka tetap menjujung tinggi tradisi turun-temurun nenek moyang dan leluhur masing-masing.

(3)

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan masalah, antara lain :

1. Bagaimana Sejarah Terbentuknya Desa Tenganan?

2. Bagaimana Sejarah dan Keunikan Kesenian Kerajinan Kain Tenun Gringsing?

3. Bagaimana Sejarah dan Keunikan Kesenian Perang Pandan? 4. Bagaimana Keunikan Kesenian Seni Lukis Prasi?

5. Bagaimana Keunikan Kesenian Arsitektur Bangunan?

1.3 Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Sejarah Terbentuknya Desa Tenganan.

2. Untuk Mengetahui Sejarah dan Keunikan Kesenian Kerajinan Kain Tenun Gringsing.

3. Untuk Mengetahui Sejarah dan Keunikan Kesenian Perang Pandan. 4. Untuk Mengetahui Keunikan Kesenian Senu Lukis Prasi.

(4)

1.4 Metode Penulisan

Untuk Menyelesaikan makalah ini, penulis menggunakan metode penulisan pustakan karena makalah ini disusun dari data – data pustaka baik berupa buku ataupun internet.

1.5 Manfaat Penulisan

Manfaat yang dapat diperoleh melalui penulisan ini adalah sebagai berikut: 1. Bagi masyarakat

Tulisan ini dapat digunakan sebagai referensi untuk mengetahui bagaimana peran masyarakat asli untuk melestarikan kebudayaan asli setempat, seperti kesenian dan system tatanan kehidupan masyarakat daerah setempat. Tulisan ini juga dapat digunakan untuk menambah kecintaan masyarakat terhadap arsitektur dan keunikan budaya tradisonal asli masyarakat Bali. Sehingga timbul rasa memiliki dan kebanggaan.

2. Bagi penulis

(5)

BAB II PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Desa Tengan

Tenganan adalah sebuah desa tradisional di pulau Bali. Desa ini terletak di Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem di sebelah timur pulau Bali. Desa Tenganan merupakan salah satu desa Bali Aga. Bali Aga adalah desa yang masih mempertahankan pola hidup yang tata masyarakatnya mengacu pada aturan tradisional adat desa yang diwariskan nenek moyang mereka. Bentuk dan besar bangunan serta pekarangan, pengaturan letak bangunan, hingga letak pura dibuat dengan mengikuti aturan adat yang secara turun-temurun dipertahankan.

Menurut sebagian versi catatan sejarah, kata Tenganan berasal dari kata "tengah" atau "ngatengahang" yang memiliki arti "bergerak ke daerah yang lebih dalam". Kata tersebut berhubungan dengan pergerakan masyarakat desa dari daerah pinggir pantai ke daerah pemukiman di tengah perbukitan, yaitu Bukit Barat (Bukit Kauh) dan Bukit Timur (Bukit Kangin).

2.1.1 Masyarakat Desa Tenganan

(6)

tersebut, para Dewa di khayangan menjadi marah. Lalu, para dewa melakukan rapat di Gunung Agung. Hasilnya, Dewa Indra selaku dewa perang diutus ke bumi untuk memerangi Mayadanawa. Singkat cerita, dalam perang antara dewa Indra dengan Mayadanawa, raja berperangai raksasa itu kalah. Untuk merayakan kemenangannya itu, Indra bermaksud melaksanakan upacara Aswameda Yadnya. Dalam upacara menurut versi ini, Indra akan menggunakan seekor kuda putih yang bernama Ucchaih Srawa oang Bali menyebutnya Once Srawa untuk dijadikan kurbannya.

Kebetulan sekali, kuda ini digunakan Indra saat memerangi Mayadanawa. Tahu dirinya akan dijadikan kurban, kuda yang sakti tersebut langsung melarikan diri dari Bedahulu. Untuk mencari kudanya yang hilang, Indra akhirnya mengutus orang-orang Tenganan (ketika itu orang Tenganan masih tinggal di Bedahulu dekat Pejeng) untuk mencari kuda putihnya yang akan dijadikan kurban Aswameda.

Kelompok pencari kuda tersebut dibagi dua kelompok. Mereka mencari memencar dengan arah berlawanan. Satu kelompok mencari kearah utara, satunya lagi menuju timur. Kelompok yang menuju ke timur sangat beruntung karena berhasil menemukan kuda tersebut walaupun dalam keadaan mati. Kuda tersebut

mereka temukan dilereng bukit Tenganan.

(7)

sejauh mana bangkai kuda itu tercium, sejauh itu wilayah yang dihadiahkan. Akhirnya, karena ingin mendapatan wilayah yang luas, bangkai kuda tersebut langsung dipotong-potong dan dibawa sejauh mereka bisa berjalan. Keadaan inipun diketahui oleh Indra. Lalu, Indra memanggil orang-orang tersebut. Tempat dari mana Indra memanggil orang tersebut kini berdiri sebuah Pura yang bernama Pura Batu Madeg yang tempatnya disebelah pos Polisi Candidasa. Sedangkan ditempat orang yang membawa bangkai kuda tepatnya berbatasan dengan Desa Macang kini menjadi Pura Pengulapan. Kedua pura ini disungsung oleh Desa Tenganan.

Sampai saat inipun, Tenganan dengan masyarakat Bedahulu masih ada hubungan. Setiap sasih Kapat kalender Tenganan, masyarakat Bedahulu pasti melakukan persembahyangan ke Tenganan. Demikian juga Tenganan pada bulan yang ditentukan menurut kalender Tenganan akan melakukan persembahyangan ke Bedahulu. Peran Dewa Indra yang sangat besar dalam kejadian tersebut membuat warga Tenganan menjadi penganut Indra. Ini dibuktikan dengan adanya perang pandan yang merupakan ritual kepada Indra.

(8)

penganut Buddha sebagai mediator. Pertemuan ini dikenal dengan Samuan Tiga yang artinya pertemuan tiga unsure yang terdiri Raja, sekta-sekta di Bali dan Mpu Kuturan sebagai mediator. Tempat melakukan pertemuan tersebut kini menjadi Pura Samuan Tiga yang ada di Bedahulu, Gianyar.

Berkat campur tangan Mpu Kuturan, keributan sekta-sekta tersebut bisa diredam dan menghasilkan paham Siwa. Untuk menyatukannya, maka dibangunlah Pura Besakih yang secara politis dinilai sebagai pemersatu

masyarakat dari banyak Sekta.

Pada dasarnya, orang Tenganan menerima keputusan tersebut. Namun tidakah sepenuhnya. Bukti penerimaan dapat dilihat adanya bangunan pura Khayangan tiga dalam desa tersebut. Tetapi, masyarakat Tenganan lebih banyak ritualnya ditujukan kepada Indra. ‘’Orang-orang Tenganan itu penyembah Indra. Mereka kan orang Arya dari bangsa Ksatrya’’ujar Sadra saat itu.

(9)

ke Bali.corak kain Gringsing yang ada di Tenganan juga sangat mirip dengan corak kain Gringsing yang dibuat orang Orissa.

2.2 Budaya Seni Kerajinan Kain Gringsing

Kain gringsing adalah satu-satunya kain tenun tradisional Indonesia yang dibuat menggunakan teknik teknik dobel ikat dan memerlukan waktu 2-5 tahun. Kain ini berasal dari Desa Tenganan, Bali. Umumnya, masyarakat Tenganan memiliki kain gringsing berusia ratusan tahun yang digunakan dalam upacara khusus. Kata gringsing berasal dari gring yang berarti 'sakit' dan sing yang berarti 'tidak', sehingga bila digabungkan menjadi 'tidak sakit'. Maksud yang terkandung di dalam kata tersebut adalah seperti penolak bala. Di Bali, berbagai upacara, seperti upacara potong gigi, pernikahan, dan upacara keagamaan lain, dilakukan dengan bersandar pada kekuatan kain gringsing.

2.2.1 Sejarah Kain Tenun Gringsing

(10)

penyakit dan menangkal pengaruh buruk. Pakar tekstil menyatakan bahwa teknik penenunan kain gringsing ini hanya dijumpai di tiga lokasi di dunia, yaitu Tenganan (Indonesia), Jepang, dan India.

Pada tahun 1984, Urs Ramseyer (1984) dalam tulisannya yang berjudul Clothing, Ritual and Society in Tenganan Pegeringsingan Bali, menyatakan dugaan bahwa masyarakat Tenganan sebagai sesama penganut Dewa Indra merupakan imigran dari India kuno. Imigran tersebut kemungkinan membawa teknik dobel ikat melalui pelayaran dari Orrisa atau Andhra Pradesh dan mengembangkan teknik tersebut secara independen di Tenganan. Kemungkinan lain adalah para imigran menguraikan kutipan-kutipan dari beberapa jenis tenun patola untuk dikembangkan di Indonesia.

Proses pembuatan kain gringsing dari awal hingga akhir dikerjakan dengan tangan. Benang yang digunakan merupakan hasil pintalan tangan dengan alat pintal tradisional, bukan mesin. Benang tersebut diperoleh dari kapuk berbiji satu yang didatangkan dari Nusa Penida karena hanya di tempat tersebut bisa didapatkan kapuk berbiji satu. Setelah selesai dipintal, benang akan mengalami proses perendaman dalam minyak kemiri sebelum dilanjutkan ke proses ikat dan pewarnaan. Perendaman tersebut bisa berlangsung lebih dari 40 hari hingga maksimum satu tahun dengan penggantian air rendaman setiap 25-49 hari. Semakin lama perendaman, benang akan makin kuat dan lebih lembut.

(11)

serta jatuh dari pohonnya. Hal ini sesuai dengan awig-awig (aturan adat) yang menyatakan bahwa beberapa jenis pohon tertentu (kemiri, keluak, tehep, dan durian) yang tumbuh di atas tanah milik individu tidak boleh dipetik oleh pemiliknya, melainkan hatus dibiarkan matang di pohon dan kemudian jatuh.

Benang akan dipintal menjadi sehelai kain yang memiliki panjang (sisi pakan) dan lebar (sisi lungsi) tertentu. Untuk merapatkan hasil tenunan, benang akan didorong menggunakan tulang kelelawar. Kain yang sudah jadi akan diikat oleh juru ikat mengikuti pola tertentu yang sudah ditentukan. Proses pengikatan menggunakan dua warna tali rafia, yaitu jambon dan hijau muda. Setiap ikatan akan dibuka sesuai proses pencelupan warna untuk menghasilkan motif dan pewarnaan yang sesuai.

(12)

2.2.2 Pewarna

Motif kain gringsing hanya menggunakan tiga warna yang disebut tridatu. Pewarna alami yang digunakan dalam pembuatan motif kain gringsing adalah 'babakan' (kelopak pohon) Kepundung putih (Baccaurea racemosa) yang dicampur dengan kulit akar mengkudu (Morinda citrifolia) sebagai warna merah, minyak buah kemiri berusia tua (± 1 tahun) yang dicampur dengan air serbuk/abu kayu sebagai warna kuning, dan pohon Taum untuk warna hitam.

2.2.3 Motif

Konon, dulunya jenis tenun gringsing berjumlah sekitar 20 jenis. Namun, hingga saat ini yang masih dikerjakan hanya beberapa saja, di antaranya adalah:

 Lubeng, dicirikan dengan kalajengking dan berfungsi sebagai busana adat dan digunakan dalam upacara keagamaan. Ada beberapa macam motif Lubeng, yaitu Lubeng Luhur yang berukuran paling panjang (tiga bunga berbentuk kalajengkin yang masih utuh), Lubeng Petang Dasa (satu bunga kalajengking utuh di tengah dan di pinggir hanya setengah), dan Lubeng Pat Likur (ukurannya terkecil).

(13)

masyarakat Tenganan Pegeringsingan. Bagi masyarakat Bali di luar desa Tenganan, kain ini digunakan sebagai penutup bantal/alas kepala orang melaksanakan upacara manusa yadnya potong gigi.

 Cecempakaan, dicirikan dengan bunga cempaka dan berfungsi sebagai busana adat dan upacara keagamaan. Jenis-jenis Gringsing Cecempakaan adalah Cecempakaan Petang Dasa (ukuran empat puluh), Cecempakaan Putri, dan Geringsing Cecempakaan Pat Likur (ukuran 24 benang).

 Cemplong, dicirikan dengan bunga besar di antara bunga-bunga kecil sehingga terlihat ada kekosongan antara bunga yang menjadi cemplong. Gringsing cemplong juga berfungsi sebagai busana adat dan upacara agama. Jenis-jenisnya terdiri dari ukuran Pat Likur (24 benang), senteng/anteng (busana di pinggang wanita), dan ukuran Petang Dasa (40 benang) yang sudah hampir punah.

 Gringsing Isi, motifnya semua berisi atau penuh, tidak ada bagian kain yang kosong. Motif ini berfungsi hanya untuk sarana upacara dan kuran yang ada hanya ukuran Pat Likur (24 benang).

(14)

ketelitian tinggi karena tingkat kesulitan selama pengikatan dan penenunan kain relatif sulit. Wayang kebo memiliki motif wayang lelaki, sedangkan wayang putri hanya berisi motif wayang perempuan.

 Batun Tuung, yang dicirikan dengan biji terung, Ukurannya tidak besar dan digunakan untuk senteng (selendang) pada wanita dan sabuk (ikat pinggang) tubumuhan pada pria. Motif ini sudah hampir punah.

(15)

2.3 Budaya Seni Geret Pandan (Perang Pandan)

Perang pandan adalah salah satu tradisi yang ada di Desa Tenganan, Kecamatan Karangasem, Bali. Perang pandan juga disebut dengan istilah makere-kere. Upacara perang pandan menjadi daya tarik bagi wisatawan, baik wisatawan dalam negeri maupun wisatawan asing. Peran pandan merupakan salah satu tradisi yang dilakukan untuk menghormati dewa Indra atau Dewa perang. Perang pandan merupakan bagian dari ritual Sasihh Sembah. Sasih sembah ialah ritual terbesar yang ada di Desa Tenganan.

2.3.1 Sejarah Perang Pandan

Masyarakat Desa Tenganan memiliki kepercayaan yang berbeda dari umumnya masyarakat Bali. Masyarakat di Desa Tenganan menganut agama Hindu Indra. Pemeluk agama Hindu Indra tidak membedakan umatnya dalam kasta. Mereka juga menempatkan Dewa Indra sebagai Dewa tertinggi. Masyarakat Tenganan percaya bahwa desa yang mereka tempati merupakan hadian dari Dewa Indra.

(16)

peringati masyarakat Desa Tenganan dengan upacara perang pandan, karena Dewa Indra adalah dewa perang.

2.3.2 Tempat Dilaksanakannya Perang Pandan

Upacara perang pandan dilaksanakan di Desa Tenganan. Tenganan adalah salah satu desa tertua yang ada di pulau Bali. Desa ini dikelilingi oleh bukit seperti benteng. Ritual perang pandan dilakukan di depan balai pertemuan desa Tenganan.

2.3.3 Waktu Pelaksanaan

Perang pandan dilakukan setiap bulan kelima atau sasih kalima dalam penanggalan desa adat Tenganan. Ritual perang pandan berlangsung kurang lebih selama dua hari berturut-turut. Upacara ritual ini dilakukan setiap satu tahun sekali. Perang pandan dilaksanakan mulai dari jam 2 sore hingga selesai selama tiga jam.

2.3.4 Alat

(17)

Perang pandan diiringi musik gamelan seloding. Seloding adalah alat musik di daerah Tenganan yang hanya boleh dimainkan oleh orang yang disucikan. Alat musik ini juga tidak sembarangan dimainkan, melainkan hanya pada acara tertentu saja. Alat tersebut memiliki pantangan yang tidak boleh dilanggar yaitu tidak boleh menyentuh tanah.

2.3.5 Peserta

Perang pandan dilakukan oleh pemuda desa Tenganan dan luar desa Tenganan. Pemuda dari dalam desa berperan sebagai peserta perang pandan sedangkan pemuda dari luar desa sebagai peserta pendukung. Anak-anak yang sudah mulai beranjak dewasa juga sudah turut ambil bagian dalam upacara ini. Upacara ini juga dapat menjadi simbol seorang anak sudah beranjak dewasa.

2.3.6 Urutan Acara

(18)

di pure. Meskipun peserta terluka tetapi tidak ada dendam di antara peserta. Hal tersebut disimbolkan dengan makan bersama yang menunjukkan kebersamaan. Acara tersebut dinamakan megibung.

2.3.7 Pakian

Peserta perang pandan memakai pakaian adat Tenganan yang bernama kain tenun Pegringsingan. Masyarakat pria hanya menggunakan sarung atau disebut kamen, selendang atau disebut saput, dan ikat kepala atau udeng. Pria tersebut tidak mengenakan baju alias bertelanjang dada.

2.4 Seni Lukis Prasi (Seni Lontar)

Seni lukis prasi merupakan salah satu karya seni rupa tradisional Bali, termasuk warisan budaya nenek moyang yang memiliki nilai estetika tinggi dan mempunyai karakteristik tersendiri. Bahan dasar terbuat dari daun lontar yang sampai sekarang masih tetap dilestarikan. Seni lukis prasi yang terbuat dari daun lontar dengan gambar ilustrasi wayang di dalamnya, merupakan transpormasi dari naskah/kitab sastra, seeperti: kakawin, kidung dan sebagainya, yang ditulis atau digambar dengan menggunakan pisau khusus yang disebut pangrupak.

(19)

menyiapkan/pengolahan bahan baku, peralatan yang dipakai, teknik menulis pada daun lontar (teknik menggambar) penulisan sampai pewarnaannya.

2.4.1 Pengolahan Bahan

Bahan utama sebagai dasar untuk membuat gambar prasi adalah daun lontar. Istilah lontar dan rontal di Bali umumnya disamakan. Lontar adalah bentuk metatesis dari kata rontal. Kata rontal terdiri dari dua patah kata, yaitu ron dan tal. Kata ron dan tal itu termasuk bahasa Jawa Kuna yang diperkirakan sudah ada sebelum jaman Raja Balitung, awal abad ke-10. Ron artinya daun, dan tal artinya pohon. Kata rontal dan lontar itu sudah menjadi perbendaharaan bahasa Indonesia umum (Suwidja, 1979:1).

Dengan begitu, sebutan daun rontal dipakai untuk menyebut daun dari pihon lontar yang sebelum dipergunakan sebagai bahan tulis. Sedang setelah ia dipakai sebagai bahan tulis seperti tulisan naskah kakawin, kidung, dan gegambaran, maka ia disebut lontar. Maka muncul pula nama atau istilah yang memakai kata “Pustaka Lontar” maupun “budaya lontar”.

Untuk mengenal lebih dekat tentang bahan baku khususnya lontar di Bali, sebaiknya terlebih dahulu diketahui tentang daun lontar itu sendiri. Daun rontal sebagai bahan baku utama seni lukis prasi dihasilkan oleh pohon rontal (barrosus sundaicus), termasuk keluarga palma (palmacase) Pohon ini tumbuh di daerah tropis dengan keadaan tanah yang kering serta curah hujan yang rendah/jarang (Suwidja, 1979:2).

(20)

yaitu musim kemaraunya panjang, banyak lahan yang mengalami kekeringan dan tandus. Di wilayah kabupaten Karangasem, ada dua kecamatan, yaitu kecamatan Abang dan kecamatan Kubu, yang memiliki lahan tanaman pohon rontal yang persebarannya cukup luas. Hampir semua desa-desa yang wilayahnya berbatasan dengan kedua wilayah kecamatan tersebut banyak tumbuh pohon lontar. Di antaranya, desa Datah, kecamatan Abang dan desa Kubu serta desa Tianyar yang merupakan wilayah perbatasan antara kabupaten Karangasem dengan kabupaten Buleleng. Di wilayah desa tersebut, didominasi oleh jenis tumbuhan pohon rontal dibandingkan dengan jenis tumbuhan yang lainnya. Tumbuhnya pohon rontal secara liar, tumbuh dengan sendirinya tanpa melalui pembudidayaan. Daun rontal, biasanya dijual ke tempat-tempat pembuatan seni lukis prasi oleh penduduk desa penghasil daun rontal. Salah satu di antaranya adalah desa Tenganan Pegringsingan.

Sebagai dasar menulis maupun menggambar, ternyata daun rontal sudah menjadi tradisi jaman dahulu. Jaman dahulu oleh karena di Nusantara belum ada kertas maka daun lontar dipakai alat tulis menulis. Adapun cara dan peraturan membuat kertas dari daun rontal , sudah ditulis oleh pujangga Indonesia pada jaman dahulu kala. Yang berarti pula daun rontal itu sudah dipergunakan dari sejak jaman dahulu di Nusantara termasuk Bali sebagai alat tulis maupun menggambar (Suwidja, 1979: 3).

(21)

hasil sesuai yang diinginkan. Untuk itu, dipilih daun rontal yang serat-seratnya halus dan permukaannya yang mulus. Daun rontal yang baik untuk melukis prasi adalah rontal taluh ( ental taluh) yang mempunyai serat-serat yang halus, lebih lebar dan panjang.

Pada umumnya di Bali dikenal tiga jenis rontal/ental, yaitu: (1) Ental Taluh, yang memiliki serat halus, lebih lebar dan panjang. Apabila ditulisi dengan alat pangrupak suaranya sangat ringan atau halus. (2) Ental Guak, memiliki setar agak kasar, lebar dan pangjang sedang, saat dipakai digores dengan alat pangrupak menimbulkan suara yang lebih keras, karena seratnya lebih kasar, harus ditekan lebih kuat. (3) Ental Kedis, serat-seratnya halus tetapi ukurannya terlalu kecil, panjang dan lebarnya kurang memadai. Bila digores hasilnya sama dengan Ental Taluh halus dan lembut. Hanya bisa digunakan untuk gambar yang berukuran kecil (Suwidja, 1979: 5).

Cara pengolahan daun rontal di Tenganan Pegringsingan dilakukan secara turun temurun. Daun rontal yang baru dibeli atau dipetik dari pohonnya, kemudian dijemur selama satu sampai dua hari sampai agak kering (Bali: alumudang). Kemudian semua lidi-lidi yang terdapat pada daun diambil atau dihilangkan. Setelah dihilangkan lidi-lidinya daun rontal kemudian dipotong ujung-ujungnya atau bagian yang tidak bisa dipergunakan, misalnya bagian yang cacat atau robek.

(22)

(lidi) daun dibuang sehingga diperoleh lembatan-lembaran yang rapi memanjang dengan ukuran tertentu, yang siap untuk proses berikutnya.

Untuk menghilangkan zat hijau daunnya, direndam dengan air tawar selama tiga sampai empat hari, kemudian dibersihkan dengan sikat (sepet) yang dibuat dari sabut kelapa guna menghilangkan bintik-bintik dan kotoran-kotoran lainnya. Apabila daun rontal tersebut sudah bersih benar, kembali dijemur selama satu hari. Untuk membuat daun rontal menjadi lemas atau tidak kaku, dan membikin warnanya supaya agak kuning kemerah-merahan (Bali: gading) daun rontal harus rirebus. Waktu merebus, daun rontal yang sudah disiapkat digulung rapi terlebih dahulu, kemuadian baru dimaksukkan ke dalam air yang mendidih. Terlebih dahulu air telah dicampur dengan daun liligundi (Vitex trifolia L.), gambir secukupnya dan kunyit warangan. Apabila air yang dipergunakan telah mendidih sampai dua kali lalu diangkat ditiriskan dan dijemur sampai kering. Dan bila ada kesulitan waktu meratakan (mungkin karena terlalu kering) maka perlu ditaruh pada tempat yang teduh (Bali: dayuhin). Setelah agak lemas baru diratakan dengan menyusunnya satu demi satu atau helai demi helai lalu di jepit (dipres) dengan sebuah alat yang disebut blagbag selama kurang lebih 10 hari.

(23)

Proses berikutnya, daun lontar dicuci sampai bersih, dijemur dibawah sinar matahari sampai benar-benar kering. Selanjutnya di pres dengan menggunakan alat yang sederhana, terbuat dari balok kayu yang dirancang sedemikian rupa, yang berfungsi mengencangkan permukaan daun lontar.

Daun lontar yang sudah disiapkan, sebelum ditulis atau diberi gambar, masih perlu dirapikan, diberi lubang untuk lontar yang memakai tali. Pinggir lontar diamplas dan diberi cat warna merah yang diramu sendiri oleh si seniman. Warna merah yang dibuat disebut gincu, yang terdiri dari ramuan seperti: gambir ditambahkan air secukupnya. Gambir setelah dicampur dengan air akan memunculkan warna merah kekuningan yang disebut warna gincu.

Bahan pewarna, yang digunakan melukis prasi oleh para seniman di Tenganan Pegringsingan menggunakan daging buah kemiri yang sudah dibakar. Buah kemiri dikupas, dicari dagingnya kemudian dibakar sampai berwarna hitam. Arang tersebut diambil digunakan untuk mewarnai. Warna yang dihasilkan sudah tentu hitam sesuai dengan warna arang dari buah kemiri. Kemudian, diamkan beberapa saat. Setelah itu, daun lontar pun siap dilukis.

2.5 Seni Arsitektur Bangunan Desa Tenganan

(24)

Lingkungan Desa Tenganan Pageringsingan, merupakan lingkungan "tertutup" dengan masing-masing sebuah pintu pada setiap arah mata angin. Untuk memasukinya, mesti melewati awangan yaitu rangkaian halaman depan masing-masing pekarangan rumah tinggal. Ciri kekunoannya, tampak sedang mengalami perubahan sangat mencolok, karena masyarakat tampak makin lama makin bersifat pragmatis. Padahal di masa lalu, kegiatan hampir seluruh warga Tenganan adalah kegiatan peribadatan; tak ada tanah milik pribadi, yang ada adalah tanah desa.

Awangan ini berundak-undak dengan lapisan batu kali (ciri kebudayaan megalitik) makin ke Utara makin tinggi. Batas awangan yang satu dengan awangan lainnya yang saling berhadapan adalah sebuah selokan air yang disebut boatan. Sedangkan sebagai batas halaman belakang masing-masing pekarangan rumah tinggal juga berupa selokan air selebar 1 m - 1,5 m yang disebut teba pisan. Jumlah awangan sebagai jalan membujur dari utara ke selatan adalah 3 buah yaitu awangan kauh (Barat) yang paling lebar dan berfungsi sebagai awangan utama didirikan paling banyak fasilitas umum (bangunan adat dan bangunan suci), awangan tengah, dan awangan kangin (Timur) (Hidratno 1973: 2-17, Runa, 1993: 83 dalam Sudarma, 2003:30).

Perubahan: dahulunya digunakan untuk menyimpan alat-alat upacara

dan pertanian tapi sekarang digunakan untuk memajang barang dagangan.

Dulu padi yang ditanam adalah padi lokal yang tahan lama disimpan,

tetapi dengan kebijakan pemerintah di bidang pertanian maka padi yang ditanam

(25)

mungkin lama kelamaan hilang; kalau pun ada, bisa jadi bukan gabah bakal

beras yang disimpan, tetapi barang kerajinan bakal dolar industri wisata seperti

gambar di atas.

Dengan demikian maka awangan adalah halaman luar dari rumah tinggal, ruang sosial sekaligus sebagai jalan. Sedangkan teba sebagai halaman belakang letaknya di belakang dapur (paon) sehari-harinya merupakan tempat membuang kotoran dan memelihara babi. Kapling bangunan yang dipakai sebagai tempat tinggal disebut pekarangan yang terletak di tengah antara awangan dan teba. Menurut tradisi tutur adalah desa “keturunan prajurit Majapahit” (Pangarsa, 1992). Bisa jadi, tradisi permukiman Bali Aga dan Majapahit, sebetulnya tak berbeda jauh.

(26)

sangah kaja (pesimpangan) merupakan bangunan tidak wajib atau dapat didirikan bangunan-bangunan lain sesuai dengan kehendak masing-masing keluarga.

Bale tengah. Bagian depannya untuk menyemayamkan jenasah, bagian

belakang untuk melahirkan, bagian atasnya sebagai tempat menaruh padi kering

(Modifikasi, Runa, 1993: 115; Sudarma, 2003:43).Sekarang fungsinya bertambah

sebagai tempat memajang barang-barang seni serta bagian belakang sebagai

tempat tidur sehari-hari.

Sejalan dengan tata fisik lingkungan desanya, maka tata, fisik masing-masing rumah tinggalnya juga menghasilkan terapan konsep dasar arsitektur tradisional yang sama, misalnya: bangunan-bangunan suci (bale buga, sanggah kelod, dan sanggah pesimpangan) letaknya di depan dekat awangan sebagai Utama Mandala, semakin ke pinggir terletak bangunan tempat tinggal (bale tengah dan bale meten) sebagai Madia Mandala, sedangkan paling di pinggir bangunan servis (paon dan km/wc) sebagai Nista Mandala (Sudarma, 2003:41).

(27)

Namun ada perubahan mencolok. Salah satu pengaruh adanya fasilitas umum baru adalah berkurangnya pekarangan rumah tinggal desa karena pada pekarangan yang kosong itulah pada umumnya fasilitas itu dibangun. Seperti bangunan rumah tinggal guru di sebelah selatan gedung sekolah dasar, fasilitas tersebut tidak hanya mengurangi pekarangan rumah tinggal milik desa, tapi juga merusak tatanan yang ada karena dibangun tidak sesuai dengan nilai-nilai tradisi setempat. Beberapa fasilitas umum baru lainnya (listrik, telepon, air bersih, parkir) dibangun sesuai dengan pola lingkungan yang sudah ada.

Menjadi pedagang membawa konsekuensi: natah disiasati menjadi ruang

multifungsi sehingga menyebabkan di zona bale buga dibangun warung (gambar

atas). Bale buga menjadi lebih kecil

Pada umumnya tata letak bangunan-bangunan (bale-bale) dalam pekarangan masih tetap mengikuti tata nilai Tri Mandala (utama-madia-nista). Bale yang dikategorikan suci seperti buga dan sanggah terletak di depan dekat awangan, bale profan seperti bale tengah dan meten terletak di tengah, sedangkan bangunan pelayanan seperti paon (dapur), kamar mandi/wc, serta ruang cuci terletak di belakang dekat teba. Pada beberapa pekarangan tempat berjualan mendominasi bale-bale lainnya.

Perubahan: rumah adat: fungsi rumah sebagai rumah tinggal dan ruko

(ruang yang ada dalam rumah lebih banyak dipakai untuk kepentingan

perdagangan) dan terjadi pengaburan; zona natah berubah sebagai tempat

memajang barang-barang dagangan sehingga semua ruang seolah menempati

(28)

Unit-unit bangunan baru selain bale-bale dan sanggah seperti ruang tidur, ruang kerja, tower air, dan gudang pada umumnya diletakkan di daerah nista. Kamar mandi/wc yang dulunya terbuka, kini hampir semua berupa kamar mandi/wc tertutup, letaknya di daerah nista sebelah selatan dapur. Bale meten dalam fungsi komersial untuk mengantisipasi industri wisata

Di balik variasi tata fisik tersebut tampaknya tersirat adanya kelompok status sosial: kelompok elit, kelompok terdidik, kelompok kaya serta kelompok hamba desa (wong angendok jenek). Kelompok elit atau bangsawan, statusnya tercermin pada bale buga yang besar (3 sela). Variasi perubahan unit-unit bangunan mereka relatif kecil (sedikit).

Kelompok terdidik/berpendidikan lebih tinggi dibanding warga lainnya, statusnya tercermin pada bangunan bale meten. Bale ini banyak berubah menjadi bangunan "modern" seperti di kota. Mereka membangun bangunan yang ruangnya kompleks, efisien, sistem strukturnya menyatu antara struktur utama, dengan struktur sekundernya, berfasade tertutup, serta cenderung menggunakan. material buatan. Pintu masuk pekarangan dilengkapi dengan ramp untuk memperlancar keluar masuknya kendaraan bermotornya.

(29)

natah ditutup, papan nama dan secara keseluruhan variasi perubahan rumah tinggalnya lebih besar dibanding kelompok elit desa.

Kelompok hamba desa (wong angendok jenek), yang ciri-cirinya antara lain pada kualitas unit bangunan umumnya lebih rendah dibanding ketiga kelompok sebelumnya. Tata letak dan dimensi bangunan sakral tidak sepenuhnya mengikuti aturan desa adat setempat; seperti tata letak sanggah kelod, sanggah kaja, bahkan pamerajannya, cenderung menggunakan material buatan yang murah dan praktis. Langgam yang dipakai kebanyakan tanpa ornamen, sistem struktur dan konstruksinya fungsional. Kelompok ini umumnya tinggal di Banjar Pande.

2.5.1 Budaya Arsitektur Desa Bali Aga Tenganan

(30)

melanggar aturan adat dan orang luar yang diminta desa adat tinggal untuk keperluan upacara. Setiap warga Tenganan yang sudah menikah, terutama warga Banjar Kauh dan Tengah diharuskan berpisah dengan orang tuanya dan menempati rumah mereka sendiri yang dibangun di atas lahan kosong. Rumah yang dibangun harus mengikuti struktur rumah Tenganan.

(31)

BAB III PENUTUP

3.1 Kesimpulan

(32)

3.2 Saran

(33)

DAFTAR PUSTAKA

Depdiknas. 2006. Seni Budaya. Jakarta: Pusat Kurikulum Badan Penelitian

Dwijendra, Ngakan Ketut Acwin. 2009. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Kuno. Udayana University Press.

Sudarma. 2006. Arsitektur dan Kebudayaan Bali Desa Tenganan. Denpasar. Kayam Umar. 1981. Seni Tradisi Masyarakat. Jakarta ; Sinar Harapan. http://panjiindra2345.blogspot.com/2012/10/pengertian-kesenian_23.html https://id.wikipedia.org/wiki/Perang_pandan

http://endrone.blogspot.com/2009/05/tenganan.html

http://e-kuta.com/blog/tempat-wisata/berwisata-di-desa-tradisional-tenganan.html http://infoseputarbali.blogspot.com/2011/04/dimanakah-desa-tenganan-bali.html http://id.wikipedia.org/wiki/Tenganan,_Manggis,_Karangasem

http://www.alambudaya.com/2007/10/desa-tenganan-bali.html

http://1001indonesia.net/desa -tenganan/

(34)
(35)

Kain Tenun Gringsing

(36)

Perang Pandan

(37)

Perang Pandan

(38)

Seni Lukis Prasi

(39)

Bangunan di Desa Tenganan

Referensi

Dokumen terkait

Saran-saran yang dapat digunakan untuk aplikasi industri atau penelitian selanjutnya yaitu : (1) penggunaan pengawet Na-asetat teknis dengan konsentrasi maksimal yang

Dalam kegitan pengabdian masyarakat yang dilakukan tim dosen STMIK ASIA Malang untuk mitra pengabdian (SMK Mahardika Malang) adalah bagaimana cara memberikan

• Bahwa saksi mengetahui pemohon dan termohon adalah suami istri yang telah menikah sekitar bulan Desember 2006 di Kabupaten Lombok Barat karena saksi turut

1) Data tentang bagaimana prestasi belajar siswa kelas I sampai kelas V yang mengikuti tahfizhul quran di Madrasah Ibtidaiyah Negeri Muning Baru tahun ajar 2015/2016. 2)

Akan tetapi, kita telah berkembang hingga pada suatu titik di mana kini kita perlu tahu bagaimana cara terbaik untuk dapat bergaul dengan baik dengan lawan jenis untuk

Friedmann mengidentifikasikan lima prinsip fungsi dasar keluarga, diantaranya adalah fungsi afektif, fungsi sosialisasi, fungsi reproduksi, fungsi ekonomi, dan fungsi

3.5.1 Perjalanan bertugas rasmi di dalam negeri hendaklah dihadkan kepada perjalanan yang benar-benar perlu sahaja dengan bilangan pegawai yang minima dan kaedah perjalanan

bahwa pengaturan tentang Retribusi pengujian Kendaraan Bermotor sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Batang Hari Nomor 12 Tahun 2000, tidak sesuai