• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sejarah and Perkembangan Sosiologi Milit

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Sejarah and Perkembangan Sosiologi Milit"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1)

SOSIOLOGI MILITER: SEJARAH DAN PERKEMBANGAN

*

Tri Wibowo BS Editor

Sosiologi merupakan bagian dari pokok pembahasan ilmu-ilmu sosial yang sudah tidak asing lagi bagi kalangan akademisi. Sosiologi adalah salah satu cabang ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari tentang pola-pola hubungan antara manusia dengan manusia baik secara individu maupun secara kelompok. Sosiologi, sebagai ilmu pengetahuan, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: bersifat empiris, yakni objek kajiannya didasarkan pada observasi atas realitas empiris dalam wilayah sosial manusia (secara individu maupun kelompok); bersifat teoritis; bersifat kumulatif, yakni berbagai teori yang sudah terbentuk akan diperbaiki atau dimodifikasi atau dikembangkan oleh teori-teori selanjutnya. Karena merupakan ilmu pengetahuan, maka metode penelitiannya mengikuti kaidah-kaidah metode ilmiah yang telah baku dan juga menggunakan sikap yang ilmiah selama proses penelitian atas objek studinya. Dalam sosiologi terdapat beberapa perspektif, di antaranya adalah pespektif evolusionis, yang memusatkan pada pola perubahan dan perkembangan yang dinamis di dalam masyarakat; perspektif interaksionis, yang memusatkan perhatian pada interaksi sosial; perspektif fungsionalis, yang memandang masyarakat dan kelompok sebagai jaringan yang bekerja sama secara terorganisir dan memiliki seperangkat aturan dan nilai-nilai yang dianut sebagian besar anggotanya; dan perspektif konflik, yang memandang pertentangan dalam masyarakat adalah produk dari interaksi yang mengandung relasi konflik dan integrasi, sehingga, menurut perspektif ini, konflik dan integrasi adalah bagian inheren dari semua kehidupan masyarakat.

(2)

kembali ke sejarah sosiologi pada umumnya, sebelum masuk ke ulasan sosiologi militer sebagai ilmu atau disiplin tersendiri. Namun, tentu saja, berikut ini tidak akan dibahas secara lengkap sejarah sosiologi, mengingat begitu luas dan beragamnya perkembangan sosiologi sejak awal kemunculannya hingga saat ini. Karenanya, di sini akan dibatasi pada perkembangan pada masa klasik, dan makna sosiologi klasik bagi sosiologi militer.

Dalam sejarah perkembangannya, sosiologi telah menjalin relasi multidimensi dan multilevel dengan disiplin lain. Misalnya, hubungan antara sosiologi dengan beragam disiplin yang berbeda. Sosiologi, dalam konteks ini, bisa dikatakan sebagai salah satu disiplin yang paling terbuka terhadap disiplin lainnya. Keterbukaan ini tampak pada banyaknya sumber kutipan di berbagai publikasi akademik. Karena itu, dengan pertimbangan bahwa kajian sosiologi pada hakikatnya bersifat interdisipliner (lintas-disiplin), maka untuk memberikan dasar sudut pandang yang lebih komprehensif untuk kajian inti buku ini, kita perlu mengulas secara ringkas teori institusi, sosiologi politik dan sosiologi militer, di mana ketiganya sesungguhnya memiliki hubungan yang sangat erat karena secara faktual fenomena militer dan politik berada pada satu panggung yang lebih besar; dan pembatasan pengantar teoritis hanya pada tiga subbidang itu disesuaikan dengan tema buku ini, yakni Parlemen, TNI dan Kepolisian sebagai institusi.

Sosiologi Klasik

(3)

mereka mengupayakan semacam fusi empirisme dengan rasionalisme. Model dasar yang digunakan adalah model dari fisika Newtonian. Pada titik ini, kita melihat lahirnya penerapan metode ilmiah ke dalam isu-isu sosial. Dengan cara itu, para pemikir sosial pada masa itu berharap bahwa mereka tidak sekadar menghasilkan sistem ide berbasis dunia riil, tetapi juga agar sistem ide itu dapat berguna bagi dunia sosial, khususnya dalam kajian dan analitis terhadap fenomena sosial di dunia ini.

Tokoh awal yang meyakini bahwa studi fenomena sosial harus menggunakan metode ilmiah yang sama dengan yang dipakai dalam ilmu pasti (ilmu alam) adalah Claude Henri Saint-Simon (1760-1825). Karenanya, Saint-Simon dapat dikatakan sebagai seorang positivis di ranah kajian sosial. Gagasan Saint-Simon ini kemudian dikembangkan lebih lanjut secara sistematis oleh Auguste Comte (1798-1857). Comte

adalah orang pertama yang menggunakan istilah sosiologi. Ia orang pertama yang

mengembangkan apa yang kelak dikenal sebagai filsafat positif atau positivisme. Ia kemudian mengembangka sistem teori yang menjadi dasar bagi lahirnya sosiologi awal

– sistem itu disebutnya fisika sosial yang kemudian ia ubah istilahnya menjadi

sosiologi (Pickering, 2000). Teorinya yang terkenal adalah hukum tiga tahap perkembangan intelektual. Ini adalah fase perkembangan yang bersifat evolusional: (1) tahap teologis, sebuah sistem ide yang didasari oleh keyakinan pada kekuatan-kekuatan supranatural, animisme, politeisme, monoteisime, takhayul, dan sejenisnya. Tahap ini berada pada periode sebelum tahun 1300; (2) tahap metafisik, fase di mana manusia mencoba melakukan abstraksi dengan akal-rasionalnya untuk menjelaskan fenomena sosial dan alam. Fase ini berlangsung antara tahun 1300 sampai 1800; (3) tahap positivistik, atau positivisme, yang ditandai dengan keyakinan pada ilmu pengetahuan dan sains untuk menjelaskan segala fenomena. Tahap ini dimulai sejak 1800 dan seterusnya. Jelas bahwa dalam teorinya ini, Comte memfokuskan perhatian pada faktor intelelektual.

(4)

mendirikan jurnal sosiologi ilmiah di Perancis pada 1898: L’annee sociologiquee. Jurnal ini berpengaruh besar terhadap perkembangan dan diseminasi gagasan-gagasan sosiologi ke seluruh dunia. Melalui jurnal ini, Durkheim berhasil menarik banyak pengikut, dan dalam beberapa tahun kemudian, mereka mulai membawa sosiologi ke wilayah nontradisionalnya, dengan mengkaji beragam aspek dalam kehidupan sosial, seperti sosiologi huku, sosiologi perkotaan, sosiologi pendidikan, dan sebagainya. Pada tahun 1910 Durkheim mendirikan pusat studi sosiologi, dan berhasil menancapkan sosiologi sebagai disiplin paling berpengaruh, setidaknya di Perancis. Selain itu Durkheim juga dikenal karena menyusun metodologi yang kokoh, yang menggabungkan antara riset empiris dengan teori sosiologi. Karena pengaruhnya yang besar, ia dianggap sebagai

salah satu bapak sosiologi Perancis. Melalui pemikirannya, ia berhasil membangun sosiologi sebagai disiplin yang berbeda dari filsafat dan psikologi. Hal ini tampak dalam dua tema utama yang ada di banyak karya Durkheim: prioritas dunia sosial di atas individu, dan ide bahwa masyarakat dapat dipelajari secara ilmiah. Satu konsep

penting yang membedakan sosiologi dengan filsafat dan psikologi adalah fakta sosial. Fakta sosial adalah struktur sosial yang tidak terkait pada individu tertentu,

tidak dapat direduksi menjadi kesadaran individu. Maka, fakta sosial dapat dipelajari secara empiris. Ada dua fakta sosial menurut Durkheim: material dan immaterial. Dalam hal ini Durkheim lebih tertarik untuk mempelajari fakta sosial immaterial, terutama soal moralitas, kesadaran kolektif, representasi kolektif dan kesadaran sosial.

(5)

Menurut konsep ini, proses material, relasi material, konflik, dan kontradiksi material menyebabkan perubahan dan gangguan sosial. Materialisme ini kemudian melahirkan gagasan teori nilai kerja, di mana ia berpendapat bahwa profit kapitalis didasarkan pada eksploitasi atas tenaga kerja atau buruh.

Dalam analisisnya terhadap perkembangan sosiologi klasik, Berger menyatakan bahwa sosiologi berkembang menjadi satu disiplin tersendiri karena beberapa pemikir seperti disebutkan di atas memandang ada semacam ancaman terhadap tatanan dan tertib sosial yang berpotensi mengganggu stabilitas sosial. Laeyendecker (lihat Ritzer, 2008) mengidentifikasi beberapa ancaman tersebut, diantaranya adalah dua revolusi besar (revolusi industri dan revolusi Perancis), tumbuhnya kapitalisme pada awal abad 16, perubahan besar dalam bidang sosial dan politik akibat terciptanya beberapa teknologi industri baru, perubahan akibat maraknya gerakan reformasi, semisal reformasi religius yang dicetuskan oleh Martin Luther, meningkatnya paham individualisme, dan lahirnya ilmu pengetahuan modern dan sains modern. Teori-teori sosiologi klasik masih penting bukan hanya karena alasan historis, tetapi juga karena masih memiliki relevansi dengan sosiologi modern dan dunia sosial saat ini. Karya-karya pemikir klasik, seperti disebutkan di atas, masih mengilhami para sosiolog modern. Konsep-konsep klasik terus dielaborasi dan diinterpretasikan berdasarkan konteks ruang dan waktu para sosiolog dari generasi ke generasi. Banyak pemikir kontemporer berusaha menginterpretasikan ulang sosiologi klasik untuk diaplikasikan ke kajian dalam konteks kontemporer.

Sekarang, mari kita beralih ke ulasan yang lebih spesifik tentang teori institusi dan sosiologi politik, untuk mendapatkan wawasan sebelum memasuki pembahasan yang lebih rinci tentang peran militer dalam parlemen dari perspektif sosiologis. Pertama-tama kita kita akan melihat pada konsep institusi. Konsep institusi ini penting, sebab,

seperti dikatakan oleh Ouellet , institusi angkatan bersenjata masih menjadi titik awal untuk analisis perubahan angkatan bersenjata.

Teori Institusi

(6)

mekanisme yang menyebabkan struktur, aturan, rutinitas dan operasional institusional menjadi pedoman bagi perilaku sosial. Melalui teori ini kita bisa mengungkap, misalnya, bagaimana kebijakan dan aturan militer akan memandu perilaku sosial prajurit dalam kehidupan sosial dan politik (termasuk dalam bidang politik). Selain itu, teori institusional juga meneliti bagaimana sistem semacam itu bisa muncul, bagaimana penyebarannya atau sosialisasinya, dan apa peran yang dimainkannya dalam menstabilkan perilaku sosial dari anggota institusi. Meski sempat surut, namun sepanjang satu dekade terakhir ini teori institusional mulai ditengok lagi dan menguat kembali dalam ranah ilmu sosial.

Institusi di sini berarti seperangkat norma, keyakinan, nilai-nilai, yang saling berkaitan, yang berpusat pada kebutuhan dan aktivitas sosial yang penting dan berulang (Williams, 1970). Contohnya adalah institusi keluarga, pendidikan, agama, militer, sistem ekonomi, stratifikasi sosial dan sebagainya. Teori institusional mengkaji topik

diseputar persoalan institusional dengan asumsi utama Ritzer, institusi

adalah struktur tata-pemerintahan, yang memiliki aturan-aturan untuk bertindak secara sosial, (2) kelompok orang dan/atau organisasi yang mengikuti aturan ini untuk

bertahan hidup, institusi ditandai oleh inersia, yakni kecenderungan untuk

menolak perubahan, dan (4) memiliki sejarah penting, dalam pengertian bahwa masa lalu struktur institusional masa lalu akan membatasi dan/atau memfasilitasi perubahan menuju aransemen institusional baru. Berdasarkan asumsi ini, maka ada banyak pendekatan untuk mengkaji institusi: pendekatan individu versus struktural, pilihan rasional versus pengambilan keputusan, dan sebagainya. Banyak arena yang telah dikaji melalui analisis institusional, seperti proses modernisasi pada level global, dinamika rezim, struktur organisasi, persaingan antar organisasi (misalnya, militer versus kepolisian versus sipil), desain struktur organisasi, dan difusi inovasi ke entitas sosial. Pada umumnya, teori institusional saat ini perkembangannya dipengaruhi oleh tokoh besar sosiologi awal, seperti Karl Marx, Emile Durkheim, Max Weber, Herbert Spencer, dan Charles Horton Cooley (Ritzer, 2005). Misalnya, Durkheim menekankan pentingnya sistem simbolik – sistem keyakinan dan representasi kolektif semisal partai, parlemen) yang, meskipun merupakan produk manusia, dipahami oleh individu

sebagai fakta sosial objektif. Sarjana seperti Everett C. Hughes, Talcott Parsons,

(7)

meneliti relasi institusi dengan individu dalam kerangka relasi antar institusional. Kajian akademik terhadap institusi berkembang menjadi tiga cabang teori utama: pendekatan pilihan rasional (yang banyak digunakan oleh sebagian besar ekonom, ilmuwan politik, dan, dalam porsi yang lebih sedikit, juga digunakan oleh sosiolog); pendekatan normatif (terutama dipakai oleh sosiolog dan ilmuwan politik); dan pendekatan kognitif-kultural (terutama dipakai oleh sosiolog dan ilmuwan manajemen).

(8)

tentang situasi mereka (tempat kerja, lingkungan, dan sebagainya), dan pemahaman ini diteruskan kepada orang lain yang masuk dalam kelompok. Pada level makro, orang akan mulai menciptakan simbol (bahasa) dan berbagi pemahaman (agama, sains, pengetahuan, tata-aturan) yang mendefinisikan realitas sosial, yang membentuk pemahaman dan proses kognitif dari partisipan. Gagasan ini didukung oleh para sosiolog dan menggunakannya untuk menganalisis organisasi, anggota organisasi, negara, institusi, dan analisis inovasi entitas sosial. Sarjana yang mengaplikasikan gagasan ini ke analisis organisasional/institusional antara lain Paul J. DiMaggio, Walter W. Powell, John W. Meyer, dan W. Richard Scott (Ritzer, 2005).

Banyak riset berdasar argumen institusional ini telah dilakukan pada level organisasi. Riset awal umumnya mengkaji komitmen ideologi mana yang berkembang di antara individu yang pada gilirannya akan dimanifestasikan ke dalam tata-aturan yang membatasi kebebasan bertindak partisipan, dan bagaimana sistem akan

mengembangkan struktur karakter - yakni rutinitas dan aturan yang dilembagakan yang akan menyalurkan dan membatasi tindakan anggota. Riset manajerial telah mengembangkan tradisi ini dengan memasukkan kajian perkembangan dan fungsi kultur organisasi dan korporat. Kemunculan model kognitif-kultural telah mendorong sarjana sosiologi untuk mengalihkan perhatiannya dari organisasi individual ke level populasi organisasional dan bidang organisasi.

(9)

Sosiologi Politik

Secara historis, ada dua tradisi intelektual yang berpengaruh besar pada bidang sosiologi politik: tradisi stratifikasi sosial yang dipelopori oleh Karl Marx dan Frederick Engels, dan tradisi organisasi yang diawali oleh Max Weber dan Robert Michels (Lipset, 1981). Pada tradisi pertama, sosiologi politik didefinisikan secara umum sebagai studi kekuasaan sosial di semua sektor institusi masyarakat dengan penekanan pada negara dan akar struktur sistem kelas. Tradisi ini memandang struktur sosial dan perubahan secara holistik, dan menyatakan bahwa sistem kelas akan menentukan organisasi negara dan tindakan politik. Fungsi negara menurut pendapat ini adalah menjaga ketertiban sosial dan karenanya negara dikaji dari segi fungsinya ini. Tradisi kedua mendefinisikan sosiologi politik dalam term lebih sempit, yakni dalam term organisasi kelompok politik dan kepemimpinan politik, dengan penekanan pada struktur negara dan kelompok-kelompok yang bersaing memperebutkan kekuasaan negara. Negara dipandang sebagai pemilik monopoli yang sah atas cara-cara kekerasan. Pendekatan ini menekankan pada organisasi formal dan informal, seperti partai politik, kelompok kepentingan, dan gerakan sosial, kaitannya dengan birokrasi pemerintah dan pusat-pusat pembuatan kebijakan resmi, mitos-mitos yang sah yang digunakan untuk menjustifikasi sistem undang-undang, dampak opini publik, termasuk organisasi media massa dan pemilih politik (Jenkins, 2005). Karl Marx dan Frederick Angels mengembangkan dua teori berbeda tentang negara: teori instrumental dan teori strukturalis (Carnoy, 1979). Dalam argumen pertama, negara adalah instrumen atau alat kekuasaan, digunakan untuk melindungi sistem properti/hak milik, dan menegakkan aturan dengan kekuasaan dan manipulasi ideologi. Penguasa adalah kelas dominan yang menguasai sistem ekonomi sekaligus politik. Negara, meminjam konsep Weber (1974), adalah memonopoli alat-alat kekuasaan yan sah dalam masyarakat dan mengkonsolidasikan kekuatan kelas atas melalui kekuasaan dan penipuan. Argumen

ini belakangan mengilhami lahirnya teori elit kekuasaan Mills, 1956), yakni kelompok pemimpin yang kohesif yang menyatukan elit korporat kaya, elit politik, dan elit militer. Argumen ini juga melahirkan teori dominasi bisnis (Domhoff, 1979, 1990, 1998) dan tesis lingkaran-dalam (Useems, 1984).

(10)

Eighteeth Brumaire of Louis Bonaparte (1852, 1964), Marx berpendapat bahwa perkembangan politik dari gerakan kelas pekerja, yang beriringan dengan konflik internal di dalam kelas penguasa, akan menimbulkan kediktatoran militer. Kelas kapitalis terlalu terpecah-belah, sehingga harus dilindungi oleh diktator militer (Jenkins, 2005). Argumen ini digunakan oleh beberapa analis politik untuk menjelaskan kediktatoran di suatu negara. Misalnya, Neumann menjelaskan kebangkitan kediktatoran fasis Jerman selama 1930-an dalam term kombinasi mobilisasi kelas pekerja, kelompok borjuis yang terpecah-belah, dan tradisi politik autokratik yang kuat (Neumann, 1942). Tetapi sebagian pengkritik menunjukkan bahwa argumen ini tidak menjelaskan mekanisme spesifik yang digunakan kelas penguasa (misal, Skocpol, 1981). Sebagai respon atas kritik ini, Offe (1984) dan Block (1987) mengatakan bahwa dalam kapitalisme, negara dibatasi untuk melakukan kegiatan mencari laba, sehingga penguasa negara secara struktural tergantung pada kapitalis dalam melaksanakan investasi dan dalam hal menciptakan lapangan kerja, pajak, dan pertumbuhan ekonomi. Penguasa, atau pengelola negara, karena itu, secara struktural tertekan untuk menciptakan akumulasi modal dan bertindak otonom untuk mempromosikan reformasi yang merasionalisasikan dan menstabilkan sistem kapitalis. Jadi tradisi stratifikasi ini secara perlahan memasukkan argumen dari tradisi organisasional, dengan fokus pada kelompok pemimpin dan otonomi institusi politik (Jenkins, 2005). Tetapi pandangan ini juga mendapat kritik. Menurut sebagian pengkritik, stratifikasi sosial bukan soal kelas tetapi soal prestise dan praktik sosial yang eksklusif (Webr, 1947; Parkin, 1979). Jadi menurut argumen Weber (1947), perjuangan politik memperebutkan kekuasaan negara biasanya bukan perjuangan kelas, tetapi perjuangan gaya hiduo dan status prestise. Weber juga berpendapat bahwa otoritas legal-rasional dan organisasi birokrasi akan menggantikan kekuasaan tradisional dan kekuasaan

karismatik, sehingga menciptakan sangkat besi birokrasi negara modern. Kedua

argumen ini menunjukkan pentingnya organisasi politik dalam kehidupan bernegara.

(11)

tanpa kelas (sebagaimana dipahami kalangan Marxis) tetapi lebih merupakan persoalan mekanisme institusional yang mengatur elit dan keabsahan kekuasan elit politik. Lebih jauh, otoritas kekuasaan menurut Weber didasari oleh tiga faktor legitimasi: rasional, tradisional, dan karisma. Legitimasi rasional didasarkan pada kepercayaan terhadap keabsahan aturan tertulis dan keabsahan pihak-pihak yang diberi kewenangan

berdasar aturan untuk memberikan perintah Weber, Ritzer, . Otoritas

dengan legitimasi tradisional biasanya didasarkan pada kepercayaan yang telah

mapan terhadap kesucian kuno dan keabsahan pihak-pihak yang menjalankan otoritas

berdasarkan tradisi tersebut Weber, . Dan legitimasi karisma didasarkan pada keyakinan para pengikut terhadap sosok yang suci, luar biasa, berkarisma, memiliki kekuatan lebih, serta keyakinan pada tatanan normatif yang ditetapkan oleh sosok yang

berkarisma itu Weber, .

Dalam perkembangan berikutnya, sosiologi politik semakin bervariasi sekaligus semakin kuat sesudah muncul interpretasi baru atas hubungan masyarakat sipil dengan negara. Perkembangan baru ini boleh dikatakan membawa sosiologi politik, dan sosiologi pada umumnya, masuk ke ranah sosiologi modern (Bottomore, 1992). Ciri

modern ini tampak menonjol dalam upaya sosiolog untuk tidak lagi membagi-bagi secara kaku antarkelompok politik. Hal ini dapat dilihat dalam pemikiran dan karya tokoh-tokoh sosiologi generasi berikutnya, seperti Goentano Mosca (yang menekankan pentingnya interdependensi dan perimbangan kekuasaan), Karl Popper (yang mengkritik sosiologi politik Marxis dan mengemukakan argumen bahwa persoalan politik hanya bisa ditelaah secara sosiologis dan empiris melalui realitas sosial dari masyarakat politik), dan Vilfredo Pareto (yang memandang elit politik sebagai entitas penting). Mengingat berbagai macam pendekatan dan metodologi yang berkembang dalam sosiologi politik itu berguna, maka ada beberapa upaya untuk melakukan beberapa sintesis antarmetodologi, misalnya dengan menggunakan teori-teori secara kontekstual, dengan alasan bahwa setiap teori didasarkan pada seting politik tertentu atau mengandung aspek politik spesifik. Ada juga upaya untuk mengintegrasikan argumen-argumen teoritis tersebut ke dalam kerangka teoritis yang komprehensif, seperti pendekatan teori multidimensional (Lukes, 1974; Alford & Friedland, 1985) yang mengintegrasikan konsep-konsep dalam berbagai pendekatan tersebut.

(12)

Bidang kajian ini menyoroti angkatan bersenjata sebagai organisasi atau institusi bertipe khusus dengan fungsi sosial spesifik (Bredow, 2000). Karenanya, sosiologi militer membahas banyak topik, dan perlu dicatat bahwa cakupannya tidak hanya pada institusi militer dan anggotanya saja, tetapi juga meluas ke bidang seperti profesionalisme militer, hubungan akademisi-industri militer, hubungan sipil-militer dalam konstelasi politik dan persaingan kekuasaan, dependensi militer pada riset, struktur organisasi militer, dan sebagainya.

Meskipun disiplin sosiologi militer muncul dalam bentuk disiplin tersendiri sesudah Perang Dunia II, namun aspek militer ini sudah dibahas oleh para perintis sosiologi awal, seperti Comte, Spencer, Tocqueville, Weber, dan lain-lain – oleh Cafario (2006),

para pemikir klasik ini disebut sebagai perintis forerunner) sosiologi militer modern. Pendekatan klasik yang memandang militer sebagai fenomena sosial adalah tidak berbeda dengan pendekatan terhadap sektor kehidupan lain. Sosiologi klasik

mengemukakan konsep masyarakat yang komprehensif, dan di dalam sosiologi

klasik kita bisa menjumpai analisis umum berbagai macam institusi sosial dari segi kekhususannya dan dalam hubungannya dengan masyarakat pada umumnya. Militer adalah salah satu dari sekian banyak institusi sosial dasar. Para sosiolog klasik memandang militer berdasarkan perspektif mazhab sosiologi masing-masing. Konsekuensinya, ada perbedaan sudut pandang tentang perilaku militer, aturan dan norma militer serta nilai-nilai kemiliteran dan hubungan mereka dengan masyarakat pada umumnya. Karena militer dijelaskan dan dikaji di dalam kerangka teori sosiologi yang berbeda, maka pada masa klasik ini muncul penjelasan tentang peran militer sebagai aspek dasar dari masyarakat manusia atau penjelasan evolusioner, yang memandang struktur militer sebagai struktur tahap pertama dalam evolusi manusia. Karenanya, sosiolog klasik seperti Comte dan Spencer menganggap bahwa struktur dan fungsi militer niscaya akan semakin menurun sebagai akibat dari perkembangan manusia dari tahap primitif ke tahap yang lebih maju (Nuciari, 2006).

(13)

kecenderungan militer ini kelak akan digantikan oleh kecenderungan ke arah

kehidupan industri modern, yang akan terwujud pada tahap ilmiah atau positivistik

(Nuciari, 2006; Weinberg, 1978). Pada periode yang hampir sama, Tocqueville mencurahkan satu bab dalam karya pentingnya, Democracy in America, untuk membahas perang dan militer. Menurut Tocqueville, aspek sosiopolitik dari suatu negara akan bergerak ke arah menjauhi perang menuju ke melemahnya signifikansi militer. Senada dengan pandangan Comte dan Spencer, Tocqueville menyatakan penurunan signifikansi militer ini disebabkan oleh proses industrialisasi dan demokratisasi. Namun penurunan ini akan berjalan lambat dan bersifat parsial. Karena itu, selama proses panjang ini masyarakat demokratis tidak bisa lepas dari kewajiban untuk mempertahankan angkatan bersenjatanya. Tocqueville menyimpulkan, berdasar alasan tersebut, maka perlu dilakukan studi elemen-elemen sosial yang membentuk institusi tentara dan tendensi-tendensi yang menyebabkan lahirnya angkatan bersenjata. Karena itu, pada poin ini dapat dikatakan bahwa Tocqueville menciptakan satu pokok persoalan, satu topik studi, yang kelak akan disebut sebagai sosiologi militer. Dan studi awal Tocqueville ini dapat dikatakan cukup mendalam, karena ia juga membahas banyak tema penting, seperti hubungan antara angkatan bersenjata dengan masyarakat, akar sosial dari pejabat militer, profesi militer sebagai sarana untuk menaiki status sosial, dan masalah karir dalam militer, dan isu divergensi/konvergensi militer dengan masyarakat sipil, dan problem kontrol politik atas angkatan bersenjata – tema yang kelak menjadi debat dan riset utama di bidang sosiologi militer sepanjang paruh kedua abad 20 (Caforio, 2006).

(14)

mengembangkan dua struktur dasar, yang satu untuk tindakan internal dengan tujuan pemeliharaan, dan satunya lagu untuk tindakan eksternal, dengan tujuan pertahanan dan menyerang. Struktur untuk tindakan eksternal ini terbentuk dan berkembang melalui perang. Perang inilah yang mengharuskan pemimpin, atau pihak otoritas, untuk menciptakan struktur pemerintahan yang stabil, yang membutuhkan instrumen pertahanan (militer). Tetapi, berbeda dengan Comte, Spencer tidak memandang evolusi bersifat linier, melainkan selang-seling, di mana ada periode atau episode perkembangan yang naik-turun dari segi signifikansi semangat militernya. Menurut Caforio (2006), analisis militer Spencer masih signifikan, sebab banyak aspek analisisnya masih tampak dalam masyarakat kontemporer, yang menunjukkan tipe campuran masyarakat industrial-militer.

Pemikir klasik yang membawa analisis sosiologi lebih dekat ke sub-bidang spesifik-militer adalah Gateano Mosca. Mosca melangkah lebih jauh ketimbang perspektif positivis yang berpendapat perang akan hilang karena kedatangan masyarakat yang positif (Comte), industrial (Spencer) atau demokratis (Tocqueville). Mosca menunjukkan bahwa penyebab perang sesungguhnya bukan institusi militer. Fungsi militer akan terus hadir dalam masyarakat karena perang hanyalah salah satu dari sekian banyak manifestasi sifat manusia. Jadi, militer dan evolusi historisnya perlu dikaji secara serius guna memahami bagaimana organisasi militer itu dapat berperan optimal sesuai zamannya. Dalam negara modern, problem supremasi kekuasaan sipil atas militer dipecahkan melalui penataan angkatan bersenjata (dalam studi kasusnya ia menyebut negara-negara Eropa), di mana elemen-elemen sosial yang beragam direpresentasikan dan diseimbangkan. Tetapi, menurutnya, yang lebih penting dalam solusi problem hubungan ini adalah dengan memasukkan pejabat militer ke dalam

kelompok yang disebutnya sebagai elit kekuasaan (power elit) (Mosca, 1896, Cafario, 2006). Menurut Mosca, dengan memasukkan pejabat militer ke dalam kelompok elit kekuasaan, petinggi sipil bisa mendapatkan loyalitas angkatan bersenjata dan meletakkan militer di bawah kekuasaan sipil.

(15)

secara sah. Analisis Weber diawalu dengan penelitian historis-komparatif untuk mendefinisikan jenis rekrutmen militer dan karakteristik organisasi dari berbagai masyarakat dan periode yang berbeda. Weber menyusun tipologi militer yang tidak dikaitkan dengan satu periode sejarah atau kawasan geografis, dan tidak menyertakan proses evolusi linier. Satu tipologi yang menarik adalah institusi militer di negara modern. Di negara modern, yang ditandai dengan birokratisasi, seseorang tidak tunduk kepada orang, melainkan kepada aturan yang disepakati bersama oleh komunitas. Karenanya, pejabat militer tidak berbeda dengan pejabat lain; ia juga harus pada norma sosial dan aturan; haknya untuk berkuasa dilegitimasi oleh aturan yang mendefinisikan perannya. Kepatuhan pada norma dan nilai tersebut, yang dikombinasikan dengan penekanan pada peran pelaksanaan institusi dan loyalitas institusional, melahirkan disiplin militer (Caforio, 2003). Militer, menurut Weber, membangun organisasinya berdasarkan kapitalisme, lalu memulihkan objektivitas konsep disiplinnya berdasarkan konsep korporasi industri. Aspek lain dari pemikiran Weber yang menarik perhatian dalam bidang ini adalah gagasannya tentang hubungan antara teknologi militer, organisasi militer dan politik. Secara khusus Weber membahas organisasi sosial dan distribusi kekerasan militer (Talbot et.al., 2010). Dalam esai Politics as a Vocation, Weber berpendapat bahwa militer dan politik adalah agen utama milik negara yang melaksanakan fungsi kekerasan terkontrol.

Sesudah studi Weber dikenal dan diterjemahkan ke berbagai bahasa, sosiologi militer tampaknya mulai dilirik orang di Eropa. Namun dalam konteks Eropa, studi-studi milite relatif sedikit, masih terfragmentasi, dan belum komprehensif. Sesudah Perang Dunia II, studi militer mulai berkembang menjadi kajian yang lebih spesifik, terutama di Amerika Serikat. Dalam tahap ini militer tidak lagi dipelajari sebagai sekadar bagian dari masyarakat atau dunia sosial, tetapi sebagai objek analisis tersendiri yang mudah dianalisis secara kualitatif dan diukur secara kuantitatif.

(16)

selama 3 tahun kerja riset, antara 1942 sampai 1945 (Caforio, 2006). Kemudian, dari 1950-an sampai 1980-an ilmuwan politik dan sosiolog mengkaji relasi sipil-militer sebagai interaksi antara angkatan bersenjata, elit politik, warga negara, dengan fokus pada pengaruh komando tinggi militer terhadap pembuatan kebijakan pertahanan dan keamanan, serta kebijakan luar negeri. Beberapa karya penting bermunculan selama periode ini, dan diantaranya adalah The Soldier and the State karya Samuel Huntington (1957), The Professional Soldier karya Janowitz (1960), The American Enlisted Man karya Moskos (1970). Sedangkan textbook pertama yang fokus pada bidang studi militer adalah Military Sociology: A Study of American Military Institution and Military Life (Coates dan Pellegrin, 1960).

Secara khusus, Huntington bisa dikatakan sebagai ilmuwan pertama yang melakukan sistematisasi sosiologi yang membahas militer. Dalam karya klasiknya, The Soldier and the State, Huntington mengidentifikasi sektor studi hubungan sipil-militer, yang dipahami sebagai salah satu aspek dari kebijakan keamanan nasional. Kerangka teoritis yang diberikan Huntington adalah dengan membagi kebijakan keamanan nasional menjadi tiga area utama: kebijakan keamanan militer, kebijakan keamanan dalam negeri (domestik), dan kebijakan keamanan situasional (Huntington, 1957). Tujuan utama kebijakan ini adalah untuk mengembangkan sistem hubungan sipil-militer yang dapat memaksimalkan keamanan militer dengan mengorbankan nilai sosial lain seminimal mungkin. Di sini Huntington membahas profesi militer, yang diartikannya sebagai aktivitas yang dilakukan oleh jenis kelompok tertentu yang memiliki keahlian khusus, yang mengandung unsur keterampilan, tanggungjawab dan kelembagaan. Setelah menjelaskan karakteristik profesi militer, Huntington membahas bagaimana kontrol sipil dapat dilaksanakan secara efektif untuk mengontrol kekuasaan militer yang dipegang pejabat militer (Caforio, 2003, 2006). Huntington mendasarkan landasan teoritis pemikirannya pada dua pemikiran: yang pertama, dari filsafat Thomas Hobbes, di mana Huntington mengambil konsep tentang sifat manusia yang pada dasarnya suka konflik dan tentang kondisi negara yang selalu berpotensi untuk saling serang; yang kedua, dari studi perang Karl von Clausewitz, terutama konsep sifat ganda dari perang.

(17)

satau atau lebih kelompok sosial atas angkatan bersenjata; kontrol objektif didasarkan pada pengakuan akan profesionalisme militer yang otonom dan pemisahan yang tegas antara militer dengan ruang politik. Menurut Huntington, kontrol objektif inilah yang bisa menjamin supremasi sipil atas militer secara berkesinambungan, sebab dalam kontrol objektif ini diasumsikan ada pemisahan tegas antara dua bidang keahlian, dan melalui kontrol ini akan bisa dicegah keterlibatan pejabat militer dalam politik (Caforio, 2006; Huntington, 1957).

Beberapa tahun sesudah terbitnya karya Huntington, Morris Janowitz mempublikasikan karya penting The Professional Soldier (1960), yang berpengaruh besar pada studi militer karena ia memberi landasan model yang berbeda untuk kontrol politik atas angkatan bersenjata. Tesis sentral Janowitz adalah bahwa institusi militer harus dikaji dalam term proses perubahannya, sebab institusi ini selalu berubah seiring dengan berubahnya kondisi masyarakat (Caforio, 2006; Janowitz, 1960). Dengan kata, dihadapan perubahan yang kompleks dan terus-menerus, militer harus mencari cara untuk melakukan serangkaian adaptasi. Perubahan yang kompleks ini, serta dampaknya terhadap institusi dan pejabat militer menyebabkan Janowitz memberi perhatian khusus pada studi profesi militer (Caforio, 2006).

Jadi para sosiolog pada periode yang lebih baru ini membahas institusi militer dalam hubungannya dengan tindakan personel, relevansinya di dalam konteks organisasional, masyarakat, dan konteks global. Talbot et al. (2010) mengemukakan bahwa dalam pengertiannya yang paling umum, sosiologi militer modern mengkaji dua kategori besar: (a) kajian dengan fokus internal, yang meriset militer sebagai institusi sosial (mengeksplorasi isu-isu seperti profesionalisme tentara, integrasi gender ke dalam angkatan bersenjata, dan peran militer yang berubah, dan (b) kajian dengan fokus eksternal yang membahas relasi antara institusi militer dengan negara, dengan masyarakat dan dengan negara-negara asing. Dalam konteks ini ada beberapa karya penting yang cukup berpengaruh, seperti karya Caforio (2003), Janowitz (1971), Moskos et al. (1999), Ouellet (2005), Segal (1989) dan sebagainya.

(18)

periode pergantian abad. Secara umum tampak bahwa berakhirnya perang dingin, perubahan dan kemajuan teknologi, serta evolusi sosial-kultural telah menyebabkan semakin berkurangnya penggunaan tentara massal. Dengan ambruknya rezim-rezim komunis di Eropa Timur dan runtuhnya Uni Sovit, misi tentara Barat juga berubah. Kini militer tak lagi menghadapi lawan yang pasti. Militer lebih banyak melakukan intervensi dalam konflik-konflik baru, seperti ikut dalam menjaga perdamaian di kawasan konflik, memerangi terorisme internasional dan ancaman lain, atau menjalankan misi kemanusiaan di berbagai belahan dunia. Dalam konstelasi sosial-politik yang baru ini, militer dituntut untuk mempunyai kemampuan reaksi cepat, kemampuan yang diistilahkan oleh Janowitz (1971) sebagai constabulary forces, yakni jenis pasukan profesional dengan jumlah yang lebih kecil yang mampu bergerak gesit dan cepat.

Perubahan yang menonjol di lingkungan baru adalah pada struktur kelembagaan dan fungsi militer. Manigari (2006) menyebutkan setidaknya ada lima variabel yang berpengaruh signifikan terhadap struktur organisasi militer: level perkembangan ekonomi, perkembangan teknologi, perubahan lingkungan sosio-kultural, lingkungan geopolitik di mana institusi militer berada, dan misi organisasi. Pengaruh-pengaruh lingkungan ini memaksa banyak institusi militer untuk melakukan restrukturisasi organisasi militernya dalam rangka meningkatkan kapabilitas dan menyesuaikan diri dengan perubahan. Proses-proses restrukturisasi yang biasanya terjadi adalah perampingan, profesionalisasi, penggunangan pasukan cadangan, integrasi antar-angkatan, dan multinasionalisasi angkatan bersenjata (yang terakhir ini terutama terjadi di Uni Eropa) (Manigari, 2006).

Karenanya, sebagian analis berpendapat bahwa di abad 21 ini negara akan membutuhkan tentara dalam bentuk yang berbeda. Seperti diisyaratkan oleh Menteri Pertahanan UK, Geoffrey Hoon :

Untuk masa depan, kita membutuhkan pasukan yang fleksibel, pasukan yang mampu

(19)

kemungkinan spesifik. Jika tidak [membangun fleksibilitas], kita berisiko akan memiliki pasukan yang nonfleksibel dan berpotensi melakukan kesalahan dan kegagalan.1

Yang dimaksud dengan pasukan yang fleksibel adalah angkatan bersenjata dengan

ciri sebagai berikut: pasukan yang diperlengkapi dengan persenjataan yang tepat, memiliki struktur yang tepat, dan kebijakan yang memampukan negara untuk memberi respon secara fleksibel, serta kebijakan yang memungkinkan untuk bekerja

sama dalam aliansi yang diikat dalam koalisi bersama, untuk menghadapi

bermacam-macam krisis yang mengandung tingkat ketidakpastian yang besar (Dandeker, 2006). Ada beberapa konsekuensi militer yang berada di dunia yang semakin sulit diprediksi, yang jauh berbeda dengan kondisi pada masa Perang Dingin.

Namun perubahan-perubahan ini tak hanya berorientasi ke dalam, melainkan juga mengalami ramifikasi ke berbagai bidang, seperti dalam bisnis militer, relasi militer dengan politik, relasi militer dengan masyarakat, dan sebagainya. Dalam kaitannya dengan relasi militer dan politik, Syamsul Ma arif, dalam disertasinya tentang Militer

dan Masyarakat Menuju TNI Profesional di Era Reformasi (2007), menyatakan bahwa sesudah berakhirnya Perang Dingin, yang diikuti dengan gelombang demokratisasi dan semakin kuatnya isu hak asasi manusia, pengaruh institusi militer dalam peta perpolitikan di berbagai belahan dunia semakin menurun. Syamsul Ma arif memberi ilustrasi pergeseran struktural ini dengan mengkaji penurunan peran politik pasca jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Dalam kasus TNI, misalnya, restrukturisasi

internal institusi militer dimulai dengan digulirkannya Paradigma ”aru TNI atau Perang TNI “bad XXI. Seperti yang akan kita lihat nanti dalam kajian utama buku ini, faktor perubahan lingkungan (sosial, politik, kultur, ekonomi) menyebabkan terjadi pergeseran signifikan dalam hubungan militer dengan sipil, seperti tercermin dalam tarik-menarik dan negosiasi kepentingan yang berlangsung di dalam kancah parlemen.

Karena demokratisasi dan perkembangan relasi-relasi ekonomi pasar semakin menentukan dan memengaruhi banyak hal, maka sebagian sarjana memperkirakan bahwa manusia akan memasuki era perdamaian demokratis di mana dunia akan

semakin menjauhi perang besar-besaran Mueller, 1989). Banyak literatur sosial dan

1

(20)

sosiologi pada akhir 1990-an yang membahas topik demokratisasi menyatakan bahwa setelah sistem politik beralih ke arah demokrasi, prinsip perdamaian yang demokratis dan upaya resolusi konflik tanpa menggunakan kekuatan militer akan semakin lazim. Faktor-faktor seperti teknologi, pendidikan dan ekonomi semakin kuat pengaruhnya dalam mengurangi peran militer dalam bidang sipil dan politik. Karenanya, selama era 1990-an, perubahan paradigmatik ini menyebabkan banyak negara mengurangi anggaran militernya, merestrukturisasi institusinya dan merampingkan angkatan bersenjatanya (Haltiner, 1998).

Salah satu dampak dari perubahan besar dalam berbagai bidang di awal abad 21, dan dengan diterimanya perspektif post-modern dalam khazanah sosiologi, adalah sebagian sarjana sosiologi militer mulai mencoba mengaplikasikan perspektif postmodern ini dalam kajian sosiologi militer. Berdasarkan pengamatan atau observasi terhadap berbagai macam pergeseran dan perubahan, seperti telah diuraikan di atas, sebagian sarjana berasumsi bahwa perubahan-perubahan besar itu telah membawa militer memasuki era yang disebut sebagai era postmodern. Dalam konteks ini mereka mencoba meneliti bentuk-bentuk organisasi militer dan personel militer, terutama sesudah Perang Dingin berakhir dan kekuatan di dunia tak lagi bipolar. Meskipun

masih ada perdebatan di kalangan teoritisi soal apakah kondisi postmodern ini

benar-benar sudah eksis atau belum, namun perubahan konstelasi politik dan hubungan internasional telah mengubah banyak hal di dalam tubuh organisasi militer di banyak negara di dunia.

(21)

Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan situasi keamanan antara masa Perang Dingin yang relatif pasti dengan pasca Perang Dingin yang lebih tidak pasti. Ciri utama periode pasca Perang Dingin adalah berkurangnya perang antarnegara dan meningkatnya perang di dalam negara (konflik domestik), yang kadang-kadang konflik semacam ini bisa meruntuhkan suatu negara (seperti dalam kasus di beberapa negara Afrika). Ikhtiar mendamaikan negara yang berselisih, memberi tempat pada pengungsi, memberikan bantuan makanan dan obat-obatan, menyediakan bantuankeamanan bagi organisasi kemanusiaan, dan sebagainya, telah menimbulkan tuntutan yang lebih besar bagi militer dibandingkan dengan di masa sebelumnya.Misi pemeliharaan perdamaian dan misi kemanusiaan semakin mendapat tempat utamadalam doktrin militer dibandingkan pada masa sebelumnya. ”ahkan, istilah humanitarianisme militer mulai menjadi kosakata baru dan beberapa pihak menganggapnya sebagai istilah yang saling bertentangan dalam dirinya sendiri.

Studi Hubungan Sipil-Militer: Militer dan Parlemen

Terakhir, ada beberapa perspektif dasar dalam kajian sosiologi militer yang membahas persoalan hubungan sipil-militer pada umumnya, dan hubungan militer dengan politik (termasuk dengan parlemen) pada khususnya.

Menurut teori hubungan sipil-militer yang terkenal, konsep militer sebagai lembaga atau institusi permanen yang dipelihara semata-mata demi mendukung tujuan kebijakan luar negeri adalah konsep yang memuat asumsi bahwa ada masyarakat sipil berbasis konsensus yang menjaga keberlangsungan militer. Dalam masyarakat semacam ini, angkatan bersenjata akan dipanggil untuk mengatasi kekacauan domestik hanya jika situasinya benar-benar luar biasa. Jika kekacauan dalam negeri tidak dianggap luar biasa, tugas pengamanan diserahkan kepada polisi. Namun, ketidakmampuan pemerintah sipil untuk menyelesaikan problem internal yang akut,

dan ketidakmampuan memobilisasi home front untuk mendukung tujuan nasional,

sering memaksa militer melakukan tindakan campur tangan internal. Peran militer di sini penting terutama di negara-negara yang institusi sipil dan pemahaman identitas

(22)

Beberapa di antara dimensi itu adalah bidang kekuasaan dan politik, ekonomi dan media, sains dan teknologi, kultur dan sejarah (Pugh, et al., 2006).

Secara historis, upaya mempelajari hubungan antara sipil dan militer dengan perangkat ilmu sosial (sosiologi) dan empiris baru menunjukkan hasil yang relatif lebih tepat pada abad 20, dengan tokoh-tokoh perintis seperti Weber, Mosca, dan lain-lain, seperti telah dijelaskan di atas. Peningkatan teori terjadi pada era 1970-an dan 1980-an, terutama karena dipengaruhi oleh berakhirnya Perang Vietnam, dihapuskannya wajib militer di banyak negara, dan semakin intensnya konflik bipolar atau lebih dikenal sebagai Perang Dingin (Rukavishnikov, et al., 2006).

Militer dianggap bukan aktor utama dalam pemerintahan domestik, meski tak bisa dipungkiri di banyak negara, militer memainkan peran sentral dalam tata-pemerintahan, terutama di negara otoriter atau fasis. Dalam studi relasi sipil-militer muncul perdebatan tentang bagaimana kontrol sipil atas militer mesti dilaksanakan. Huntington (seperti telah dijelaskan di atas menganut pendekatan ilmu politik

sedangkan pemikir seperti Morris Janowitz lebih mengedepankan pendekatan sosiologis. Menurut pendekatan sosiologis, militer harus profesional. Pendekatan

sosiologis kemudian dikembangkan dari keyakinan bahwa kontrol sipil yang kuat dan komprehensif terhadap militer hanya dapat direalisasikan apabila militer diintegrasikan ke dalam jejaringan relasi-relasi sosial dan kemasyarakatan yang lebih luas (Pugh, et al., 2006).

(23)

saat itu bahwa tentara nasional lahir dari rakyat dan militer berperan aktif dalam pendirian negara Republik Indonesia sehingga militer tak bisa lepas tangan dalam persoalan-persoalan politik dan sipil. Contoh lain adalah militer di bawah sistem komunis-sosialis seperti di Uni Soviet dan kawasan Eropa Timur. Faktor sejarah dan kondisi sosial-politik menyebabkan militer berada di bawah kendali ketat dari penguasa Partai Komunis. Jadi, tampak bahwa relasi antara militer dan negara, struktur sosial dan institusi akan membentuk relasi sipil-militer yang kompleks. Tetapi Rukavishnikov (2006) memperingatkan bahwa meski poin ini sangat penting, perlu disadari bahwa semua isu yang berkaitan dengan hubungan sipil-militer tidak bisa direduksi hanya pada kontrol politik atas angkatan bersenjata. Pada dasarnya, menurut Rukavishnikov, militer sebagai subsistem masyarakat, memiliki karakteristik berjarak dari masyarakat dan memiliki kultur dan subkultur nonsipil yang berbeda. Perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan fungsi, tugas dan tanggung jawab yang dibebankan pada militer. Para sosiolog di banyak negara telah melakukan berbagai survei dan penelitian tentang pandangan militer dan sipil tentang berbagai isu seperti nilai kultural, kebijakan luar negeri, kebijakan keamanan, hubungan sipil-militer, format angkatan bersenjata dan peran politik militer atau peran militer dalam parlemen – seperti yang nanti dikaji di bab-bab selanjutnya buku ini. Studi-studi itu mengintegrasikan data survei dengan data sejarah, sosiologis dalam rangka menelaah berbagai macam isu: perbedaan sikap, perspektif dan nilai politik antara sipil dengan militer, dan isu latarbelakang personel pejabat militer dan prajurit; faktor yang menyebabkan perbedaan pendapat dan pengaruhnya terhadap efektivitas sipil dan militer; pendidikan militer, serta kerjasama antara sipil-militer. Seperti akan pembaca lihat, buku ini akan membahas isu peran dan sumbangan pandangan politik dari militer Indonesia terhadap politik, sebelum militer sebagai institusi resmi meninggalkan aktivitas politiknya di parlemen.

Jadi tampak bahwa status hubungan sipil-militer tak bisa dilepaskan dari sifat negara (demokratis atau nondemokratis), di satu pihak, dan motivasi serta tujuan dari pejabat militer, di pihak lain. Sikap militer terhadap pemerintah sipil mungkin akan berpengaruh krusial bagi kemajuan suatu negara. Meskipun militer di negara demokratis tampak menjaga jarak dengan politik, namun sesungguhnya militer tak

pernah sepenuhnya bercerai dengan politik. “da hubungan langsung antara sistem

(24)

persoalan dalam negeri dan luar negeri. Intervensi militer, kekuasaan militer, dan penarikan diri militer dari politik adalah proses yang biasa terjadi di berbagai periode sejarah di banyak negara – termasuk di Indonesia pasca lengsernya rezim Soeharto.

Mengingat selalu ada kemungkinan militer untuk melakukan intervensi ke dalam politik (baik secara tak langsung atau secara langsung), maka para sosiolog militer mengangakt isu sejauh mana hubungan sipil-militer itu bergantung pada pola perkembangan ekonomi dan sosial dan tipe rezim politik suatu negara. Karenanya, tidak mengherankan jika banyak kajian pada akhir abad 20 membahas persoalan militer

dan politik dan isu kontrol sipil atas militer. ”elakangan ini istilah kontrol politik sering dipertukarkan dengan istilah kontrol sipil Pugh, et al., . Kelompok sipil mengindikasikan institusi sipil yang didasarkan pada kedaulatan rakyat. Inti dalam hubungan di sini adalah kontrol atas alat kekerasan harus berada di tangan otoritas sipil yang sah. Ini berarti kontrol atas militer harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang demokratis.

Prinsip demokratis yang dimaksud di sini adalah prinsip kedaulatan rakyat. Dalam konteks Indonesia, misalnya, salah satu alat kontrol demokratis ada di institusi politik, atau parlemen, yang beranggotakan politisi yang mengatasnamakan konstituen yang memilih mereka. Idealnya, institusi parlemen dan institusi militer harus tunduk pada prinsip-prinsip demokrasi, seperti toleransi atas perbedaan pendapat, debat terbuka, kebebasan pers, tawar-menawar politik antarpartai, dan sebagainya. Ini mengisyaratkan sistem multipartai. Ini adalah esensi dasar dari demokrasi pluralistik, dan prinsip kesetaraan warga negara di dalam negara demokrasi.

(25)

diwakili oleh personal militer. Selain itu, para jenderal dapat, dan jika perlu, harus mengekspresikan pendapat atau kritiknya tentang kebijakan strategis dan keamanan, baik itu saat diundang dalam rapat dengar-pendapat dengan parlemen maupun di forum-forum formal dan informal lainnya.

Hubungan militer-parlemen dalam sistem demokrasi pluralistik ini mensyaratkan para pejabat militer mengakui supremasi sipil (presiden, parlemen, dan pemerintah) di atas pejabat militer. Pada saat yang sama militer secara keseluruhan mesti memahami bahwa mereka berperan sebagai abdi negara dan warga negara, bertugas melindungi kepentingan keamanan nasional.

Pengenalan prinsip-prinsip demokratis ke dalam pembuatan kebijakan keamanan dan pertahanan pertama-tama dimulai melalui perundang-undangan atau hukum. Ini membutuhkan kerja legislatif dan perbaikan terus-menerus dari kedua belah pihak. Misalnya, Sidang Tahunan MPR RI pada 2002 fraksi TNI-Polri menyatakan diri untuk tidak lagi berada di parlemen. Ini membuka banyak kemungkinan dalam relasi sipil-militer di Indonesia, seperti perubahan aturan, perubahan peran (seperti ditinggalkannya doktrin dwi-fungsi tentara), dan lain-lain. Dalam hal ini, meski disepakati bahwa TNI-Polri akan keluar dari parlemen pada 2009, namun pihak militer berinisiatif mundur lebih awal, yakni pada tahun 2004. Dari ilustrasi ini tampak bahwa prinsip demokratis di era reformasi sudah mulai diterapkan sendiri oleh militer. Proses tawar-menawar dan perundingan yang mengawali perubahan peran ini membentuk relasi militer-sipil yang baru, dan, seperti yang nanti dapat kita lihat dalam pembahasan di bab-bab selanjutnya buku ini, perubahan signifikan ini dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang saling terkait, seperti demokratisasi masyarakat dan politik, berkembangnya institusi sipil dan peran masyarakat sipil, reformasi ekonomi pasar dan perubahan besar dalam struktur sosial, re-orientasi kebiakan keamanan dan luar negeri (terutama pasca Perang Dingin dan ancaman terorisme pasca serangan gedung WTC 11 September), dan reformasi internal tentara, seperti tercermin dalam Paradigma Baru TNI.

(26)

negara menunjukkan tingkat transisi yang berbeda. Sebagai misal, di sebagian negara Eropa Timur, militer masih sangat besar pengaruhnya terhadap kebiakan keamanan, dan militer masing sering digunakan untuk melakukan tindakan represi di dalam negeri; sebaliknya ada contoh negara di mana intervensi militer ke dalam politik tidak terlalu kuat, seperti di Brazil, Argentina, Peru, Turki, Indonesia, Thailand dan beberapa negara Afrika (Rukavishnikov, 2006). Belakangan ini makin kuat pendapat yang menyatakan bahwa pemerintahan atau kekuasaan militer adalah kekuasaan yang tidak sah (illegitimate). Supremasi sipil didasarkan pada konsensus tentang kedaulatan yang sah, proses pengambilan keputusan, termasuk prosedur suksesi politik, dan konsensus tentang kemampuan sektor sipil dalam mempertahankan haknya melalui cara-cara legal (Finer, 1962).

Di sisi lain, tantangan yang dihadapi negara-negara dalam transisi menuju sistem demokrasi lebih banyak terjadi di bidang ekonomi, sosial dan politik ketimbang di bidang militer. Akibatnya, ada kecenderungan di banyak negara bahwa reformasi hubungan sipil-militer bukan menjadi prioritas utama dalam agenda politik. Namun, dalam proses ini seringkali otoritas sipil menyadari bahwa reformasi militer merupakan tugas yang membutuhkan lebih banyak fokus dan perhatian. Sebab, kontrol sipil atas militer juga menyangkut persoalan transparansi dalam anggaran dan perencanaan strategi keamanan dan pertahanan. Dalam negara yang demokratis, pemerintah wajib memberi laporan publik kepada warga. Warga negara berhak tahu apa rencana pemerintah dalam persoalan angkatan bersenjata. Karenanya, dalam proses reformasi militer ini, sesungguhnya warga negara umum (termasuk media massa) ikut berperan secara tidak langsung dalam memengaruhi kebijakan melalui opini dan tekanan-tekanan dari kelompok-kelompok kepentingan yang mewakili berbagai macam sektor masyarakat.

(27)

perbedaan tujuan dan kepentingan partai-partai politik yang saling bersaing dalam memperebutkan sumber daya, termasuk sumber daya instrumen kekerasan negara (militer). Karenanya, persoalan alokasi anggaran pertahanan sering menjadi subyek lobi-lobi yang berkepanjangan. Media massa, yang sering berperan sebagai pengawas parlemen dan menyalurkan opini masyarakat tentang anggaran militer, reformasi militer, dan kebijakan keamanan, akan berfungsi sebagai saluran penting bagi komunikasi politik. Peran penyalur komunikasi ini menjadi lebih signifikan sebab dalam banyak kasus, persoalan-persoalan militer sering ditangani dengan cara-cara yang rahasia, atau setidaknya tertutup dari pandangan publik.

Berdasar uraian di atas dapat dilihat bahwa kontrol demokratis dapat dibagi menjadi tiga dimensi, yakni kontrol vertikal, kontrol horisontal dan kontrol-diri. Hans Born (2006) menjelaskan tiga dimensi kontrol ini sebagai berikut: Kontrol vertikal adalah kontrol oleh parlemen dan pemerintah terhadap angkatan bersenjata, melalui berbagai instrumen seperti kontrol anggaran, perundang-undangan, mikromanajemen, pengangkatan jenderal, dan pengawasan parlemen. Kadang-kadang kontrol sipil ini menggunakan manajemen persaingan antar angkatan di dalam tubuh militer. Kontrol horisontal dilakukan oleh institusi masyarakat, seperti media, NGO (nongovernmental organization), organisasi keagamaan, institusi riset, integrasi pendidikan sipil-militer, dan ombudsmen nasional. Institusi-institusi itu punya kepentingan dalam pelaksanaan fungsi angkatan bersenjata, dan karnanya berperan dalam memantau dan memengaruhi angkatan bersenjata. Institusi-institusi ini dapat dipandang sebagai jembatan antara masyarakat dengan angkatan bersenjata. Mereka memperkaya nilai-nilai sosial yang ada di dalam tubuh angkatan bersenjata. Kontrol horisontal ini bertujuan untuk mengintegrasikan angkatan bersenjata ke dalam masyarakat. Kontrol horisontal terutama penting di negara di mana wajib militer (conscription) – perantara

alamiah antara masyarakat dengan militer – telah dihapuskan.

(28)

penanaman nilai-nilai itu pada personel tentara melalui pendidikan dan pelatihan. Kontrol-diri mengacu pada netralitas pejabat militer untuk tidak campur tangan langsung dalam politik praktis dan menjaga eksistensi korps perwira yang demokratis di dalam tubuh militer. Contoh menarik dari kontrol-diri ini bisa dilihat dalam analisisi di buku ini yang menunjukkan proses percepatan menuju netralitas politik militer dan kesediaan serta inisiatif pihak TNI untuk menarik diri dari politik praktis lebih awal daripada yang telah disepakati dengan otoritas sipil.

Kajian kontrol-diri ini merupakan salah arah baru dalam sosiologi militer seperti dipaparkan oleh Ouellet (ed., 2005), yakni sosiologi emosi dalam militer. Adalah benar bahwa tindakan institusi militer adalah rasional dan tertata, namun banyak dari aktivitasnya juga bergantung pada kematangan dan kecerdasan emosional dari personel militer, mulai dari tingkat perwira tinggi hingga rendah. Militer, sebagai institusi, tidak bisa melarang ekspresi emosi, tetapi institusi ini bisa mengaturnya dengan cara tertentu – melalui pendidikan dan training serta sosialisasi nilai-nilai keprajuritan – sehingga menimbulkan kesan militer bertindak secara rasional dan rapi. Ekspresi dan manajemen emosi sangat penting bagi pelaksanaan fungsi militer (Jelusic, 2005). Ini adalah arah baru yang patut mendapat perhatian dalam kajian sosiologi militer di masa mendatang.

Dari paparan di atas, sampai poin ini tampak bahwa militer memiliki banyak sumber data yang bisa dimanfaatkan untuk studi sosiologi militer, untuk menyusun analisis dan mengembangkan teori baru. Riset militer, berdasarkan data tersebut, telah banyak dikembangkan hingga menyentuh berbagai aspek militer, seperti studi sikap, studi kelompok, studi institusi, studi militer dan politik, studi keluarga militer, studi aspek bisnis dan ekonomi militer, studi profesi militer atau profesionalisme, sampai studi militer postmodern. Dan ke depan sangat mungkin akan bermunculan kajian-kajian baru yang bermanfaat bagi sosiologi pada umumnya, dan sosiologi militer pada khususnya.

(29)

diversifikasi kajian seperti telah diuraikan di atas. Dan berdasar kategori ini, buku ini bisa dikatakan ikut menyumbangkan kajian inti, yakni studi sosiologi militer yang menitikberatkan pada poin keempat dari kategori inti, yakni relasi studi politik dan militer, khususnya relasi militer dengan parlemen dan pemerintah.

*Artikel ini adalah draft yang ditulis atas permintaan untuk memberikan ulasan ringkas buku tentang sosiologi militer yang terbit pada 2014.

Bibliografi

Booth, Bradforth et al. 2001. Are Post-Cold War Military Postmodern? Armed Forces & Society. Spring. Research Library.

Borgatta, Edgar F. 2000. Encyclopedia of Sociology, 2nd ed. NY: MacMillan. Bruce, Steve ed. 2006. The Sage Dictionary of Sociology. Thousand Oaks: Sage. Caforio, G. 2006. Handbook of the Sociology Military. NY: Springer.

Dandeker, C. . ”uilding Flexible Forces for the st Century: Key Challenges for the

Contemporary “rmed Services, pp. -16 in G. Caforio, (ed.) Handbook of the Sociology of the Military. New York: Plenum/Kluwer Academic Publishers.

Ma arif, Syamsul. . Militer dalam Masyarakat: Menuju TNI Profesional di Era Reformasi. Disertasi Tesis, Universitas Indonesia.

Moskos, C., Williams, J. and Segal, D. (1999) The Postmodern Military: Armed Forces After the Cold War. USA: Oxford University Press.

Oulette, E. 2005. New Directions in Military Sociology. Ontario: de Sitter. Ritzer, G, ed. 2004. Sociological Theory. NY: McGraw-Hill.

Referensi

Dokumen terkait

Dalam rangka penyusunan skripsi guna memenuhi syarat menyelesaikan studi program S1 di Fakultas Ekonomi Jurusan Akuntansi Universitas Muhammadiyah Yogyakarta,

Hasil penelitian menunjukan bahwa, kinerja Badan Pendapatan Daerah Kota Bekasi dalam Pemungutan Pajak Reklame belum optimal, Pada faktor individu komitmen pegawai

Simpang Tunjung kota Yogyakarta mempunyai data hari Selasa dan hari Kamis di gabung, sehinga jumlah data menjadi 72 data volume lalulintas. Seluruh data dianalisis dengan

Pengam- bilan sampel dilakukan menggunakan me- tode purposive sampling, dengan kriteria perusahaan memiliki true discount positif karena true discount negatif tidak bermakna (Ma

Dengan adanya batasan masalah ini maka diharapkan peneliti lebih fokus dalam mengakaji tentang Implementasi Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 86 Tahun 2013

Sistem Informasi Geografis adalah salah satu cara untuk memetakan dan mendata Bangunan dan Jaringan Irigasi tersebut, tapi penentuan koordinat Bangunan dan

Penelitian yang dilakukan Saleh (2016) menyatakan bahwa faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi pengambilan keputusan petani dalam menerapkan teknologi pertanian

Tapi penyelidikan sejarah yang sama,....juga membawa ke suatu kenyataan bahwa, akibat perkembangan kekuatan produksi yang dahsyat saat sekarang ini, bahkan apa