• Tidak ada hasil yang ditemukan

jiptummpp gdl mohammadar 50354 3 babii

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "jiptummpp gdl mohammadar 50354 3 babii"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Teori Trias Politica (Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan)

Pemisahan kekuasaan berarti bahwa kekuasaan negara itu terpisah

dalam beberapa bagian, baik mengenai orangnya maupun mengenai fungsinya25

Sedangkan pembagian kekuasaan berarti bahwa kekuasaan itu memang dibagi

dalam beberapa bagian, tetapi tidak dipisahkan. Hal ini membawa konsekuensi

bahwa diantara bagian-bagian itu dimungkingkan adanya kerjasama26. Teori

pemisahan kekuasaan dipopulerkan melalui ajaran Trias Politica Montesquieu.

Dalam bukunya yang berjudul L’Espirit des lois (The Spirit of Laws)

Montesquieu mengembangkan apa yang lebih dahulu di ungkapkan oleh John

Locke (1632-1755). Ajaran pemisahan kekuasaan dari Montesquieu di ilhami

oleh pandangan John Locke dalam bukunya “Two Treaties on Civil

Government” dan praktek ketatanegaraan Inggris.

Menurut Locke membedakan antara tiga macam kekuasaan yaitu: (1)

kekuasaan perundang-undangan (legislative); (2) kekuasaan melaksanakan hal

sesuatu (executive) pada urusan dalam negeri, yang meliputi Pemerintahan dan

Pengadilan; dan (3) kekuasaan untuk bertindak terhadap anasir asing guna

kepentingan negara atau kepentingan warga negara dari negara itu yang oleh

25

Moh. Kusnardi dan Ibrahim Harmaily, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI. Halaman 140.

(2)

Locke dinamakan federative power27. Montesquieu membuat analisis atas pemerintahan Inggris yaitu : (1) ketika kekuasaan legislatif dan eksekutif

disatukan pada orang yang sama, atau pada lembaga tinggi yang sama, maka

tidak ada kebebasan; (2) tidak akan ada kebebasan, jika kekuasaan kehakiman

tidak dipisahkan dari kekuasaan legislatif dan eksekutif; (3) dan pada akhirnya

akan menjadi hal yang sangat menyedihkan bila orang yang sama atau lembaga

yang sama menjalankan ketiga kekuasaan itu, yaitu menetapkan hukum,

menjalankan keputusan-keputusan publik dan mengadili kejahatan atau

perselisihan para individu28. Kondisi ini menyebabkan raja atau badan legislatif

yang sama akan memberlakukan undang-undang tirani dan melaksanakannya

dengan cara yang tiran sehingga kebebasan oleh masyarakat atau rakyat tidak

akan terasakan. Namun, menurut Montesquieu bila mana kekuasaan eksekutif

dan legislatif digabungkan, maka kita masih memiliki pemerintahan yang

moderat, asalkan sekurang-kurangya kekuasaan kehakiman dipisah.

Ajaran pembagian kekuasaan yang lain diajukan oleh C. van

Vollenhoven, Donner dan Goodnow. Menurut van Vollenhoven, fungsi-fungsi

kekuasaan negara itu terdiri atas empat cabang yang kemudian di Indonesia

biasanya diistilahkan dengan catur praja, yaitu :

(i) fungsi regeling (pengaturan);

(ii) fungsi bestuur (penyelenggaraan pemerintahan);

(iii)fungsi rechtsspraak atau peradilan; dan

27

Prodjodikoro Wirjono, 1983, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, Jakarta Timur: Dian Rakjat. Halaman 16

28

(3)

(iv) fungsi politie yaitu berkaitan dengan fungsi ketertiban dan

keamanan29.

Berbeda dengan pendapat Montesquieu, bestuur menurut van

Vollenhoven tidak hanya melaksanakan undang-undang saja tugasnya, karena

dalam pengertian negara hukum modern tugas bestuur itu adalah seluruh tugas

negara dalam menyelenggarakan kepentingan umum, kecuali beberapa hal ialah

mempertahankan hukum secara preventif (preventive rechtszorg), mengadili

(menyelesaikan perselisihan) dan membuat peraturan (regeling)30. Sedangkan

Donner dan Goodnow mempunyai pandangan yang hampir sama dalam melihat

pembagian kekuasaan negara. Menurut Donner, semua kegiatan-kegiatan yang

dilakukan oleh penguasa hanya meliputi dua bidang saja yang berbeda, yaitu;

(i) bidang yang menentukan tujuan yang akan dicapai atau tugas yang akan

dilakukan; (ii) bidang yang menentukan perwujudan atau pelaksanaan dari

tujuan atau tugas yang ditetapkan itu31. Sementara Goodnow mengembangkan

ajaran yang biasa di istilahkan dengan dwipraja, yaitu (i) policy making function

(fungsi pembuatan kebijakan); dan (ii) policy executing function (fungsi

pelaksanaan kebijakan)32. Namun pandangan yang paling berpengaruh didunia

mengenai soal ini adalah seperti yang dikembangkan oleh Montesquieu, yaitu

adanya tiga cabang kekuasaan negara yang meliputi fungsi legislatif, eksekutif

dan yudikatif.

29

Jimly Asshiddiqie, 2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Jakarta: Konstitusi Press. Halaman 33

30

Moh. Kusnardi dan Ibrahim Harmaily, 1988, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta: Pusat Studi Hukum Tata Negara FH UI. Halaman 147

31 Ibid, 32

(4)

Negara yang konsekuen melaksanakan teori Montesquieu ini adalah

Amerika Serikat, tetapi inipun tidak murni, karena antara ketiga badan

kenegaraan yang masing-masing mempunyai pekerjaan sendiri-sendiri, dalam

menyelesaikan sesuatu pekerjaan tertentu diawasi oleh badan kenegaraan

lainnya. Sistem ini dikenal dengan sebagai sistem “check and balance” atau

“sistem pengawasan”33. Menurut Kusnardi dan Bintan R. Saragih menguraikan

bahwa untuk mencegah jangan sampai suatu parlemen mempunyai kekuasaan

yang melebihi badan-badan lainnya, bisa diadakan suatu sistem kerjasama

dalam suatu tugas yang sama, yaitu membuat undang-undang antara parlemen

dengan pemerintah, atau dalam parlemen di bentuk dua kamar yang saling

mengimbangi kekuatan dan untuk mencegah kekuasaan eksekutif melebihi

daripada kekuasaan lainnya, maka perlu dibatasi kekuasaannya untuk tunduk

kepada badan legislatif34.

1. Trias Politica di Indonesia

Pemisahan ataukah Pembagian Kekuasaan yang dianut Indonesia dalam

UUD 1945? Untuk melihat itu semua tidaklah bisa lepas dari sejarah

pembentukan dan perubahan UUD 1945 yang dipahami menganut pemisahan

kekuasaan atau pembagian kekuasaan. UUD 1945 memang secara tegas tidak

menyebutkan mengenai trias politica tapi secara implisit bisa ditelaah bahwa

Indonesia menghendaki pembagian kekuasaan. Hal ini jelas dari pembagian bab

dalam Undang-Undang Dasar 1945. Misalnya Bab II tentang Majelis

33

Bachsan Mustafa, 1990, Pokok-Pokok Hukum Administrasi Negara, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti

34

(5)

Permusyawaratan Rakyat, Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara,

Bab VII tentang Dewan Perwakilan Rakyat dan Bab IX tentang Kekuasaan

Kehakiman. Kekuasaan legislatif dijalankan oleh Presiden bersama-sama

dengan DPR. Kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Presiden dibantu oleh

menteri-menteri, sedangkan kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah

Agung dan lain-lain badan kehakiman35.

Pembagian kekuasaan yang ada di Indonesia merupakan sebuah

konsekuensi dasar dari pemberlakuan sistem demokrasi. Dengan sistem

pemerintahannya adalah Presidensiil. Maka kabinet tidak bertanggung jawab

kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan oleh karena itu tidak dapat dijatuhkan

oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam masa jabatannya. Sebaliknya Presiden

juga tidak dapat membubarkan Dewan Perwakilan Rakyat. Jadi, pada garis

besarnya, ciri-ciri azas Trias Politica dalam arti pembagian kekuasaan terlihat

dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Akan tetapi pada masa Demokrasi

Terpimpin adausaha untuk meninggalkan gagasan Trias Politica. Hal tersebut

diutarakan Presiden Soekarno dikarenakan Presiden Soekarno menganggap

sistem Trias Politica bersumber dari liberalisme. Sehingga pada masa tersebut

terjadi kepincangan sistem Trias Politica36.

Jimly Assiddiqie berpendapat bahwa pemisahan kekuasaan bersifat

horizontal dalam arti kekuasaan dipisah-pisahkan ke dalam fungsi-fungsi yang

tercermin dalam lembaga-lembaga negara yang sederajat dan saling

35

Miriam Budiardjo, 2008. Dasar- dasar Ilmu Politik. Jakarta. Gramedia Pustaka Utama. Halaman 156.

36

(6)

mengimbangi (check and balances)37. Sedangkan pembagian kekuasaan bersifat vertikal dalam arti perwujudan kekuasaan itu dibagikan secara vertikal ke

bawah kepada lembaga-lembaga tinggi negara di bawah lembaga pemegang

kedaulatan rakyat yang mana lembaga pemegang kedaulatan rakyat inilah yang

dulu dikenal sebagai Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).

B. Teori Kedaulatan Rakyat

Kekuasaan tertinggi di dalam negara sering disebut dengan istilah

kedaulatan (sovereignty). Kedaulatan atau sovereignty memiliki arti kekuasaan

yang sah (menurut hukum) yang tertinggi, kekuasaan tersebut meliputi segenap

orang maupun golongan yang ada di dalam masyarakat yang dikuasainya38.

Oleh karena itu kekuasan yang sah dan tertinggi harus dimiliki oleh negara agar

negara sebagai organisasi kumpulan masyarakat tersebut mempunyai kekuatan

sebagai sebuah negara sepenuhnya.

Teori kedaulatan rakyat pada pokoknya terkait dengan prinsip-prinsip

kedaulatan rakyat (democrtie)39. Demokrasi berasal dari perkataan ‘demos

yang berarti rakyat dan ‘kratien’ atau ‘cratie’ yang berarti kekuasaan40. Dengan

demikian demokrasi berarti kekuasaan rakyat, yaitu sebagai suatu konsep

tentang pemerintahan tertinggi adalah di tangan rakyat. Pengertian yang sering

dipahami oleh masyarakat luas berhubungan dengan konsep demokrasi adalah

37

Jimly Asshiddiqie, 2005, Format Kelembagaan Negara dan Pergeseran Kekuasaan Dalam UUD 1945, Yogyakarta: FH UII PRESS. Halaman 35

38

Juniarto, 1990, Demokrasi dan Sistem Pemerintahan Negara, Jakarta: Rineka Cipta, halaman 11.

39

Jimly Asshiddiqie, 2012, Hukum Tata Negara dan Pilar-Pilar Demokrasi, Jakarta: Sinar Grafika. Halaman 132

40

(7)

prinsip dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Indonesia adalah salah satu

negara yang melaksanakan kedaulatan rakyat. Hal ini secara tegas dirumuskan

dalam Undang-Undang Dasar 1945 baik sebelum amandemen ataupun sesudah

amandemen. Namun, yang menjadi pergulatan pemikiran adalah tentang

bagaimana dan siapa yang menjalankan kedaulatan rakyat tersebut.

Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 sebelum

amandemen mengamanatkan bahwa kedaulatan rakyat dilaksanakan oleh

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sebagaimana disebutkan dalam pasal

1 ayat (2) UUD 1945 (sebelum amandemen) yang berbunyi “Kedaulatan adalah

ditangan rakyat, dan dilakukan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan

Rakyat”. Dengan demikian MPR adalah pemegang mandat atau amanah

sepenuhnya dari rakyat atau pemegang kedaulatan rakyat yang tertinggi dalam

sebuah negara.

Sebagai pemegang kedaulatan rakyat MPR mempunyai wewenang

memilih dan mengangkat Presiden dan Wakil Presiden untuk jangka waktu 5

(lima) tahunan41 dan menetapkan Garis-garis Besar Haluan Negara42. Selain itu

MPR juga mempunyai wewenang untuk memberhentikan Presiden dan Wakil

Presiden sebelum masa jabatannya berakhir apabila Presiden dan Wakil

Presiden dianggap melanggar haluan negara.

41

Pasal 6 ayat (2) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum amandemen) berbunyi “Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dengan suara yang terbanyak”.

42 Pasal 3 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (sebelum amandemen) berbunyi “Majelis

(8)

Terkait dengan pelaksanaan kedaulatan rakyat oleh MPR dipertegas

dalam penjelasan UUD 1945 dalam Sistem Pemerintahan Negara angka

Romawi III bahwa:

“Kekuasaan negara tertinggi ada di tangan MPR. Kedaulatan rakyat dipegang oleh badan bernama MPR sebagai penjelmaan seluruh rakyat Indonesia. Majelis ini menetapkan Undang-Undang Dasar (UUD) dan menetapkan garis-garis besar haluan negara. Majelis ini mengangkat Kepala Negara (Presiden) dan Wakil Kepala Negara (wakil Presiden). Majelis inilah yang memegang kekuasaan negara yang tertinggi, sedang Presiden harus menjalankan haluan negara menurut garis-garis besar yang telah ditetapkan oleh Majelis. Presiden yang diangkat oleh Majelis, tunduk dan bertanggungjawab kepada Majelis. Ia adalah ’mandataris’ dari majelis, ia wajib

menjalankan putusan-putusan Majelis. Presiden tidak ’neben’,

akan tetapi ’untergeordnet’ kepada Majelis”

Pelaksanaan kedaulatan rakyat berubah setelah amandemen

Undang-Undang Dasar 1945. Pasca amandemen konstitusi, pelaksanaan kedaulatan

rakyat tidak lagi dijalankan oleh MPR, tapi dilaksanakan menurut

Undang-Undang Dasar sebagaimana ditegaskan dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang-Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi “Kedaulatan

berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”.

Perubahan ini merupakan konsekuensi dari berubahnya lembaga Majelis

Permusyawaratan Rakyat dari lembaga tertinggi negara menjadi lembaga tinggi

negara sejajar dengan lembaga-lembaga tinggi lainnya.

Konsekuensi lain adalah semakin “sempitnya” kewenangan MPR. Pasca

(9)

rutin yaitu melantik Presiden dan Wakil Presiden terpilih hasil pemilihan

umum43. Selebihnya merupakan kewenangan insidental MPR.

C. Konsep Lembaga Perwakilan Rakyat

Lembaga perwakilan atau yang lebih sering disebut representative

institution adalah lembaga yang mewakili rakyat dalam melakukan fungsi

pengawasan dan fungsi legalisasi. Lembaga perwakilan atau yang lebih dikenal

sebagai parlemen dibagi kedalam berbagai system yaitu:

1. Sistem satu kamar (unicameralisme)

Sistem satu kamar adalah sistem parlemen yang berdasar pada satu

lembaga legislative tertinggi dalam struktur negara. Lembaga ini menjalankan

fungsi legislative dan pengawasan terhadap pemerintahan dan juga membuat

undang-undang. Isi aturan mengenai fungs dan tugas parlemen unicameral ini

beragam dan bervariasi dari suatu negara ke negara lain, akan tetapi pada

pokoknya serupa secara kelembagaan fungsi legislative tertinggi diletakkan

sebagai tanggung jawab satu badan tertinggi yang dipilih oleh rakyat.

2. Sistem dua kamar (bicameralisme)

Adapun sistem dua kamar adalah sistem yang parlemennya terbagi

menjadi dua lembaga legislative dalam suatu struktur negara dan dalam

menjalankan tugasnya kedua lembaga ini mempunyai tugas tertentu. Pada

prinsipnya kedua kamar majelis dalam bicameral ini memiliki kedudukan yang

sederajat. Satu sama lainnya tidak saling membawahi baik secara politik

43

(10)

maupun secara legislative. Segala keputusan tidak dapat ditetapkan tanpa

persetujuan bersama.

2. Sistem tiga kamar (tricameralisme)

Sistem tiga kamar adalah sistem yang parlemennya terbagi menjadi tiga

lembaga legislative atau lembaga perwakilan dalam suatu struktur negara.

Trikameral adalah konsep dimana ketiga lembaga negara di lingkungan

legislative saling bersinergi dan berkontribusi dalam menjalankan tugasnya

untuk membuat undang-undang. keberadaan lembaga MPR itu merupakan

institusi ketiga dalam struktur parlemen Indonesia, sehingga sistem parlemen

Indonesia lebih cocok dinamakan sebagai sistem tiga kamar (trikameralisme).

Dewasa ini, tidak ada satupun negara di dunia yang menerapkan sistem tiga

kamar seperti ini. Karena itu, Indonesia dapat dikatakan merupakan

satu-satunya negara di dunia yang menerapkan sistem tiga kamar ini44.

D. Kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)

1. Sebelum Amandemen UUD 1945

Sebelum membicarakan tentang kewenangan MPR dalam sistem

ketatanegaraan Republik Indonesia, terlebih dahulu perlu diketahui tentang

Kedudukan Majelis Permusyawaratan Rakyat. Dalam ketentuan UUD 1945

(sebelum amandemen) MPR merupakan penyelenggara tertinggi yang

memegang kedaulatan negara. Majelis ini dianggap sebagai penjelmaan rakyat

Indonesia yang memegang kedaulatan negara. Berkaitan dengan hal ini, Sri

Soemantri menyatakan, apabila dikaitkan dengan “the framework or structure

44

(11)

of government” yang digunakan oleh Rosco J. Tresolini dan Martin Shapiro,

maka konsep kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh MPR dapat

diilustrasikan sebagai berikut: “Bahwa kedaulatan rakyat yang merupakan

kedaulatan politik yang dimiliki oleh rakyat dilaksanakan oleh MPR. Lembaga

pelaksanaan kedaulatan rakyat ini memiliki otoritas untuk menetapkan UUD

yang menimbulkan kedaulatan hukum, yang pada dataran lebih jauh

diaktualisasikan oleh presiden bersama DPR di bidang legislasi. Kedaulatan

hukum ini menjadi dasar bagi MPR dan lembaga tinggi negara lainnya untuk

menyelenggarakan fungsi dan kekuasaan negara sebagai pemegang kedaulatan

negara”45.

Kewenangan MPR sebelum amandemen UUD 1945 telah diatur dalam

UUD dan di perjelas pula dengan TAP MPR mengenai tugas dan wewenang

dalam pemerintahan Indonesia. Tugas MPR tersebut terdapat dalam pasal 3 dan

pasal 6 UUD 1945 sebelum amandemen adalah sebagai berikut :

1. Menetapkan Undang-Undang Dasar

2. Menetapkan GBHN

3. Memilih Presiden dan Wakil Presiden

4. Mengambil sumpah/janji Presiden dan Wakil Presiden

5. Mengubah Undang-Undang Dasar

Kemudian dalam TAP MPR Nomor 1 Tahun 1978 tentang Peraturan

Tata Tertib MPR disebutkan lebih luas tugas dan wewenang Majelis, antara

lain:

45

(12)

a. Membuat peraturan-peraturan yang tidak dapat dibatalkan oleh

lembaga negara yang lain, termasuk menetapkan GBHN yang

pelaksanaannya ditugaskan kepada Presiden/Mandataris.

b. Memberikan penjelasan yang bersifat penafsiran terhadap

putusan-putusan Majelis.

c. Meminta pertanggungjawaban dari Presiden/Mandataris mengenai

pelaksanaan GBHN dan menilai pertanggung-jawaban tersebut.

d. Mencabut mandat dan memberhentikan Presiden dalam masa

jabatannya apabila Presiden/Mandataris sungguh-sungguh

melanggar haluan negara dan/atau Undang-Undang Dasar.

e. Menetapkan Peraturan Tata Tertib Majelis.

f. Menetapkan Pimpinan Majelis yang dipilih dari dan oleh anggota

Majelis.

g. Memberikan keputusan terhadap anggota yang melanggar sumpah

janji angota46.

Tentunya pada masa tersebut kewenanangan MPR sebagai lembaga

tertinggi negara sangatlah besar perannya dibandingkan dengan lembaga negara

lainnya. MPR seolah menjadi lembaga yang superbody karena kedudukannya

berada langsung dibawah UUD 1945. Hal ini karena UUD 1945 dengan tegas

memberikan kedaulatannya kepada MPR atas dasar kedaulatan rakyat.

46

(13)

2. Setelah Amandemen UUD 1945

Tugas dan wewenang MPR memang sedikit yang berkurang setelah

perubahan UUD 1945 sampai keempat kali, akan tetapi dampaknya sangat besar

terhadap berjalannya sistem pemerintahan. Karena setelah amandemen ini

kedudukan MPR telah sama seperti lembaga negara lainnya. Tentunya ini akibat

dari dicabutnya kewenangan dasar MPR sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.

Dengan adanya amandemen UUD 1945 terkait kedudukan dan kewenangan

MPR maka berubah pula dengan tugas dan wewenang dari MPR dalam

ketatanegaraan Indonesia. Adapun kewenangan dan tugas yang ada adalah

sebagai berikut :

a. Majelis Permusyawaratan Rakyat melantik Presiden dan/atau Wakil

Presiden (pasal 3 ayat 2 Perubahan ke 3 UUD 1945), adalah tugas

formal MPR dengan sebuah upacara untuk melantik Presiden dan

Wakil Presiden yang menang dalam proses pemilihan umum. Ini

merupakan sebuah konsekuensi dari adanya perubahan ketiga UUD

RI 1945 yang mewajibkan melakukan pemilihan umum untuk

memilih Presiden dan Wakil Presiden secara langsung oleh rakyat.

Melantik dalam hal ini bukanlah sebuah wewenang tapi merupakan

kewajiban yang harus dilakukan bila presiden dan wakil presiden

telah terpilih.

b. Melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum Ketetapan

Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis

Permusyawaratan Rakyat tahun 2003 (pasal 1 aturan tambahan

(14)

peninjauan materi dan status hukum TAP MPRS dan MPR

merupakan tugas yang sifatnya sementara. Pasal 1 aturan tambahan

menyatakan bahwa MPR harus “melakukan peninjauan terhadap

materi dan status hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan

Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat

untuk diambil putusan pada sidang Majelis Permusyawaratan

Rakyat tahun 2003”47. Dalam aturan ini jelas bahwa setelah putusan

pada sidang MPR tahun 2003 telah diambil maka tugas ini akan

berakhir dengan sendirinya.

Menjadi sebuah dilema ketika tugas dan wewenang MPR selaku

lembaga tinggi negara justru malah tidak dijelaskan secara jelas. Sedangkan

yang bisa ditemui mengenai wewenang MPR RI dalam UUD 1945 adalah

sebagai berikut :

1. Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang mengubah dan

menetapkan Undang-Undang Dasar 1945. (Pasal 3 ayat 1 perubahan

ketiga UUD RI 1945).

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dapat memberhentikan

Presiden dan atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut

Undang-Undang Dasar 1945. (Pasal 3 ayat 3 perubahan ketiga UUD

RI 1945).

47

(15)

3. Memilih Presiden atau Wakil Presiden pengganti sampai terpilihnya

Presiden dan atau Wakil Presiden sebagaimana mestinya. (Pasal 8

ayat 3 perubahan keempat UUD RI 1945)48.

Dari adanya amandemen UUD ini telah jelas bahwa kewenangan MPR

telah berbeda dari sebelumnya. Selain terkait dengan kewenangan tersebut yang

berubah maka kedudukan MPR sebagai lembaga tertinggi juga ikut berubah

pula. MPR yang awalnya adalah lembaga tertinggi negara kemudian dengan

adanya amandemen UUD RI 1945 ini kedudukannya menjadi lembaga tinggi

negara saja yang setara dengan DPR, Presiden, MA dan lembaga tinggi lainnya.

Menurut Maria Farida, semua lembaga negara yang mengeluarkan

produk peraturan perundang-undangan maka kedudukannya lebih tinggi dari

yang lain. Dan MPR merupakan lembaga negara yang mengeluarkan peraturan

yang lebih tinggi49. Sehingga MPR masih bisa dikatakan sebagai lembaga

tertinggi versi fungsinya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.

Karena MPR RI tetap mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan sebuah

peraturan yang berbentuk UUD. Selain itu di dalam pasal 7 Undang-Undang

Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan

masih memuat adanya ketetapan MPR yang masih berlaku dan di tempatkan

dalam hierarki perundang-undangan. Bunyi dari pasal tersebut adalah :

(1) Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan terdiri atas :

a. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

48

Jimly Asshiddiqie, Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Keempat UUD Tahun 1945,

49

(16)

b. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat;

c. Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang;

d. Peraturan Pemerintah

e. Peraturan Presiden

f. Peraturan Daerah Provinsi; Dan

g. Peraturan Daerah Kabupaten/Kota.

(2) Kekuatan hukum peraturan perundang-undangan sesuai dengan

hierarki sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1)50.

Eksistensi adanya ketetapan MPR dalam sistem ketatanegaraan

Republik Indonesia ini masih menjadi dilema bagi keberlangsungan hukum di

Indonesia. Hal ini juga di dukung dengan peristiwa-peristiwa pasca reformasi

yang membuat kedudukan dan kewenangan MPR sebagai lembaga negara

mempunyai fungsi yang kurang efektif. MPR yang keanggotaannya terdiri dari

DPR dan DPD sebagaimana yang di atur dalam UUD 1945 setelah

amandemen51, harusnya mempunyai fungsi legislasi dan berkedudukan sebagai

lembaga legislatif.

50

UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan merupakan produk hukum terbaru yang mengatur mengenai hierarki perundang-undangan di Indonesia yang sebelumnya telah di atur dalam TAP MPRS NO.XX/MPRS/1966, UU NO. 2 Tahun 1985, selanjutnya di perbarui dengan TAP MPR NO. III/MPR/2000, dan setelah amandemen UUD 1945 dibentuklah UU NO. 10 Tahun 2004 dan yang terbaru adalah UU NO. 12 Tahun 2011 keempat aturan ini di dalamnya mengatur mengenai hierarki perundang-undangan yang ada di Indonesia.

51 Lihat pasal 2 ayat (1) UUD 1945 perubahan keempat menyatakan “Majelis

(17)

E. Checks and Balances Sistem Ketatanegaraan Indonesia

Amandemen UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah awal

perubahan dari sebuah sistem ketatanegaraan yang ada di Indonesia pada masa

reformasi. Perubahan dalam lembaga-lembaga negara menghendaki adanya

sistem checks and balances antar masing-masing lembaga. Sikap saling

mengawasi dan mengimbangi antar lembaga negara seperti eksekutif, legislatif,

dan yudikatif merupakan sebuah terobosan melalui kebijakan negara untuk

menciptakan sistem ketatanegaran yang kuat. Checks and balances merupakan

sebuah jawaban atas pengalaman sebelumnya tentang kehidupan bertatanegara

yang telah dilakukan oleh Indonesia.

Sejarah ketatanegaran Indonesia di masa Orde Baru hampir tidak

mengenal adanya checks and balances di antara lembaga Negara, karena

realitas kekuasaan terpusat pada eksekutif (Presiden)52. Selain pada lembaga

eksekutif (presiden) kekuasaan terpusat juga dimiliki oleh lembaga tertinggi

negara yaitu Majelis Permusyawaratan Rakyat. Hal ini dibuktiannya dengan

kekuasaan penuh yang dimiliki oleh lembaga ini baik sebagai eksekutif,

legislatif, maupun yudikatif. Perubahan Undang-Undang Dasar 1945

melahirkan satu kekuatan penyeimbang yang dibangun secara fungsional dalam

bentuk kelembagaan yang setara. Jika dihadapkan teori trias politica dengan

doktrin separation of powers, kekuasaan negara yang diberikan kepada

lembaga-lembaga yang terpisah satu dengan lainnya dalam rangka

menghindarkan terjadinya campur tangan yang satu terhadap yang lain, maka

52

(18)

mekanisme checks and balances pasca perubahan UUD 1945 tampaknya dapat

juga dianggap satu pelunakan terhadap doktrin trias politica (separation of

powers).

Teori Trias Politica menghendaki adanya mekanisme checks and

balances dimana dalam hubungan antar lembaga negara terdapat saling menguji

karena masing-masing lembaga tidak boleh melampaui batas kekuasaan yang

sudah ditentukan atau masing-masing lembaga tidak mau dicampuri

kekuasaannya sehingga antarlembaga itu terdapat suatu perimbangan

kekuasaan53. Adanya hubungan yang saling melengkapi ini adalah sebuah

mekanisme ketatanegaraan yang mencegah adanya campur tangan antar

lembaga terkait kekuasaannya sebagai bentuk konsekuensi yang di dapatkan

melalui teori trias politica.

F. Kerangka Pikir Penulisan

Penulisan hukum ini memfokuskan kepada kewenangan Majelis

Permusyawaratan Rakyat dalam struktur ketatanegaraan Republik Indonesia

yang terjadi perubahan dari masa sebelum amandemen UUD 1945 dengan masa

setelah amandemen UUD 1945 sebagai bagian dari reformasi dan ditinjau

berdasarkan teori trias politica.

53

(19)

Gambar 2 : Bagan Kerangka Pikir

Kewenangan MPR dalam struktur ketatanegaraan RI

Sebelum Amandemen UUD 1945

MPR sebagai lembaga Tertinggi Negara. Kedudukannya berada langsung di bawah UUD 1945,

dan membagi beberapa kekuasaan negara kepada lembaga-lembaga tinggi negara.

Trias Politica

(pembagian kekuasaan)

Setelah Amandemen UUD 1945 (Pasca Reformasi)

Kewenangan MPR hanya bersifat isidentil dan terbatas. Kedudukannya dalam struktur ketatanegaraan sejajar dengan

lembaga tinggi negara lainnya.

Trias Politica

(pemisahan kekuasaan)

Analisis yuridis kewenangan MPR

Gambar

Gambar 2 :  Bagan Kerangka Pikir

Referensi

Dokumen terkait

Umumnya, para kepala sekolah tidak menganggap mereka sendiri sebagai pemimpin pengajaran dan banyak di antara mereka percaya bahwa apapun yang berhubungan dengan belajar

Secara umum birokrasi adalah suatu tipe organisasi yang muncul pada fase tertentu dalam daur kehidupan organisasi dikarenakan adanya sebab- sebab tertentu yang

dalam suatu penulisan tesis yang berjudul “Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah Terhadap Pelayanan Publik Bidang Perizinan di Kabupaten Deli Serdang”.. Bagaimana

Keterbatasann yang dimiliki oleh internet banking tersebut membuat pihak penyedia jasa layanan harus mempu untuk terus mengevaluasi kualitas layanan yang

Skripsi ini disusun berdasarkan hasil penelitian yang bertujuan untuk mengetahui saluran pemasaran jagung, besar biaya, keuntungan, dan marjin pemasaran jagung pada

Format Berita acara penetapan Calon Dukuh, Formulir pendaftaran pemilih, Bentuk surat pemberitahuan/panggilan untuk memberikan suara, Bentuk dan ukuran stempel

Oleh karena itu diperlukan suatu langkah untuk memodifikasi sistem kontrol pada kendali motor pompa sekunder itu, agar disamping sumber tegangan kontrol dipindahkan ke

Begitu pula dari hasil model regresi saham INPC dimana variabel independen BI rate , inflasi dan IHSG yang memberikan nilai R2 hanya sebesar 0,105 yang artinya