• Tidak ada hasil yang ditemukan

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 02/DPD RI/I/2016-2017 TENTANG

PANDANGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

ARSITEK

(2)
(3)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 02/DPD RI/I/2016-2017

TENTANG PANDANGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG

TENTANG ARSITEK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa sumber daya manusia dalam mengembangkan diri memerlukan pendidikan dan manfaat ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, untuk meningkatkan kualitas hidupnya dan kesejahteraan umat manusia, sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

b. bahwa upaya memajukan peradaban dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat dicapai melalui Praktik Arsitek yang andal dan profesional yang mampu meningkatkan nilai tambah, daya guna dan hasil guna, memberikan pelindungan kepada masyarakat, serta mewujudkan pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan;

(4)

194

c. bahwa saat ini belum ada pengaturan mengenai Arsitek yang dapat memberikan pelindungan dan kepastian hukum untuk Arsitek, Pengguna Jasa Arsitek, dan masyarakat;

d. bahwa salah satu kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan undang-undang mengenai otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama;

e. bahwa berdasarkan ketentuan pada huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d diatas, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia melalui Komite II Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia sesuai dengan lingkup tugasnya telah menyusun pandangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Arsitek;

f. bahwa Pandangan sebagaimana dimaksud pada huruf e telah disampaikan dan diputuskan dalam Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Arsitek sebagai Pandangan DPD RI untuk disampaikan dalam pembahasan Pembicaraan Tingkat I bersama Dewan Perwakilan Rakyat Tingkat I dan Pemerintah;

g. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, huruf e, dan huruf f perlu menetapkan Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia tentang Pandangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Arsitek;

Mengingat : 1. Pasal 22D ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

(5)

2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 383, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5650);

3. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2012 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengawasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

4. Peraturan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah;

5. Keputusan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia Nomor 25/DPD/2007 tentang Tata Naskah Dinas Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia;

Dengan Persetujuan Sidang Paripurna ke-2 Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia

Masa Sidang I Tahun Sidang 2016-2017 Tanggal 20 September 2016

MEMUTUSKAN:

Menetapkan : KEPUTUSAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TENTANG PANDANGAN DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG ARSITEK.

PERTAMA : Pandangan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Arsitek sebagai bahan pembahasan Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia dengan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dan Pemerintah.

(6)

196

KEDUA : Isi dan rincian Pandangan sebagaimana dimaksud dalam diktum PERTAMA, merupakan lampiran yang tidak terpisahkan dari keputusan ini.

KETIGA : Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

Ditetapkan di Jakarta

pada tanggal 20 September 2016 DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN

Wakil Ketua,

G.K.R. HEMAS

Wakil Ketua,

Prof. Dr. FAROUK MUHAMMAD

(7)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

LAMPIRAN KEPUTUSAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 02/DPD RI/I/2016-2017 TENTANG

PANDANGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

TERHADAP RANCANGAN UNDANG-UNDANG TENTANG

ARSITEK

(8)
(9)

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA

PANDANGAN

DEWAN PERWAKILAN DAERAH REPUBLIK INDONESIA TERHADAP

RUU TENTANG ARSITEK

1. PENDAHULUAN

1.1. Sesuai dengan ketentuan Pasal 22D ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR RI), Dewan Perwakilan Daerah (DPD RI), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, serta memperhatikan Peraturan Tata Tertib DPD RI, maka pada hari ini, DPD RI menyampaikan Pandangan terhadap Rancangan Undang- Undang tentang Arsitek.

1.2. Dalam hal penyampaian pandangan ini, DPD RI telah membentuk tim kerja (timja) untuk mendalami substansi dan materi muatan RUU tentang Arsitek, yang dharapkan menjadi landasan hukum (ius contituendum) yang kuat, memberikan kepastian hukum (legally binding) dan memiliki kerangka aturan (regulatory framework) tentang penyelenggaraan arsitek, praktik arsitek dan kearsitekturan di Indonesia.

1.3. Selain sasaran akan kebutuhan dan kepastian hukum, RUU tentang Arsitek, hendaknya dapat dipergunakan dalam kurun waktu yang panjang dan memiliki arah dan jangkauan yang jauh ke depan dan tidak dengan mudah mengalami perubahan dalam rentang waktu yang singkat. Suatu UU yang tidak memiliki sasaran dan jangkauan hukum ke depan, seringkali dengan mudah dapat diupayakan perubahan dan pembatalannya melalui mekanisme “Judicial

(10)

200

1.4. Pada bagian pendahuluan ini, DPD RI memberikan catatan utama kepada DPR RI sebagai pengusul RUU tentang Arsitek. Pertama, RUU ini tidak boleh dirancang secara sektoral dan untuk kepentingan politik tertentu. Kedua, substansi pembahasannya wajib didasarkan pada kajian naskah akademik yang mendalam, melalui serangkaian tahapan pembahasan dan uji publik yang berkualitas. Ketiga, RUU ini sejalan dengan kesepakatan-kesepakatan regional-internasional yang secara agresif telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia, terutama traktat dalam unifikasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA).

2. PANDANGAN DPD RI ATAS RUU TENTANG ARSITEK

Setelah melakukan kajian dan pembahasan secara mendalam terhadap RUU tentang Arsitek, DPD RI menyampaikan Pandangan sebagai berikut:

2.1. Naskah Akademik

DPD RI berpandangan bahwa, pembentukan suatu RUU harus berpedoman kepada ketersediaan naskah akademik (NA) yang ketentuan penyusunannya berdasarkan pada lampiran 1 undang–undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan yang memuat teknik penyusunan NA. Berdasarkan penelusuran dokumen atas rancangan NA RUU tentang Arsitek, DPD RI berpendapat, NA RUU Arsitek tidak sesuai dengan sistematika penyusunan NA. NA RUU Arsitek tidak memuat landasan filsofis, sosiologis, dan yuridis; dan jangkauan, arah pengaturan, dan ruang lingkup materi muatan undang-undang serta tidak menggunakan metode penelitian hukum baik yuridis normatif maupun yuridis empiris.

2.2. Dasar Hukum

Sejalan dengan peningkatan level kewenangan DPD RI yang diberi fungsi legislasi sesuai konstitusi, DPD RI berpandangan bahwa, pada setiap diktum yang menyatakan pembentukan suatu undang-undang, perlu mencantumkan dasar hukum yang memuat keberadaan DPD RI. Untuk mempertegas fungsi dan kewenangan DPD RI, maka, pada bagian dasar hukum “Mengingat” , ditambahkan pasal 22D sehingga susunannya menjadi “Mengingat”: Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, Pasal 22 D, Pasal 28C, Pasal 28D ayat (2), Pasal 28I ayat (3), dan Pasal 32 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

2.3. Ketentuan Umum

DPD RI memandang RUU tentang Arsitek menekankan keberadaan profesi arsitek. Penekanan profesi arsitek dalam RUU ini, ditandai dengan penggunaan frasa profesi arsitek berulang kali dalam beberapa pasal. Dengan demikian pengertian profesi arsitek dengan prinsip dasar pada etika profesi yang

(11)

memahami dan menguasai permasalahan disain arsitek perlu didefinisikan dalam bab ketentuan umum. DPD RI berpendapat profesi arsitek merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ilmu pengetahuan terstruktur dan keahlian tinggi dengan segala kompleksitasnya memerlukan batasan pengertian dalam RUU ini.

2.4. Ruang Lingkup

DPD RI berpandangan bahwa, suatu rancangan RUU yang terdiri atas batang tubuh memuat pengelompokan materi muatan yang dirumuskan secara lengkap sesuai dengan kesamaan materi yang bersangkutan dan jika terdapat materi muatan yang diperlukan tetapi tidak dapat dikelompokkan dalam ruang lingkup pengaturan yang sudah ada, materi tersebut dimuat dalam bab ketentuan lain-lain.

Berdasarkan ketentuan angka 63 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan, DPD RI berpendapat, untuk memberi kejelasan materi muatan, maka UU ini harus memuat pasal tentang ruang lingkup, misalnya untuk mempertegas cakupan arsitektur seperti planologi dan landscape.

2.5. Profesi Arsitek

Dalam pandangan DPD RI, pendidikan arsitek mengacu pada UU Perguruan Tinggi Nomor 12 Tahun 2012 dan International Union of Architects (UIA), yang mengatur kompetensi arsitek setara internasional. Berdasarkan ketentuan UU Nomor 12 Tahun 2012 tersebut, DPD RI berpendapat, kewenangan rekognisi profesi arsitek tetap diberikan kepada pemerintah melalui pendidikan profesi arsitek di perguruan tinggi dengan skema 4+1 (empat tahun untuk gelar akademik dan 1 tahun untuk gelar profesi), serupa dengan pendidikan profesi dokter, advokat, notaris yang dikoordinasikan dengan lembaga tunggal profesi arsitek yang diakui oleh Negara dan diselenggarakan oleh pendidikan tinggi. Waktu studi 5 tahun adalah standar yang dipergunakan di sejumlah Negara asean. Kementerian Pendidikan Tinggi perlu melakukan harmonisasi perundang-undangan terkait dengan perguruan tinggi penyelenggara pendidikan profesi arsitek. Lebih lanjut, DPD RI berpendapat, lembaga tunggal arsitek dan keberadaan Badan Nasional Sertifikat Profesi perlu diberi batasan tegas mengenai ketentuan profesi arsitek untuk menghindari tumpangtindih kewenangan.

2.6. Penyelenggaran Praktik Arsitek

Dalam pandangan DPD RI, Pasal 4 ayat 1 yang memuat penyelenggaraan praktik arsitek harus menambahkan frasa drainase dan area serapan air, sehingga berbunyi: Praktik arsitektur meliputi penyediaan jasa secara profesional dibidang

(12)

202

kelompok bangunan serta lingkungan binaan. DPD RI berpendapat, arsitek harus memperhatikan artistik, estetik, safety, dan context (wilayah, kondisi alam dan cuaca).

2.7. Arsitek Asing

Salah satu landasan filosofis dirancangnya RUU Arsitek adalah liberalisasi jasa arsitek dan proteksi profesi arsitek di Indonesia. DPD RI memandang kesepakatan-kesepakatan regional-internasional yang secara agresif telah ditandatangani oleh Pemerintah Republik Indonesia, terutama traktat dalam unifikasi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) yang memuat ketentuan migrasi dan kebebasan bergerak orang perorang antara sesama negara anggota ASEAN berimplikasi pada kompetisi pasar tenaga kerja dalam negeri. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat untuk memberikan keamanan bagi warga negara pengguna profesi arsitek dari malpraktik arsitek asing, maka diperlukan pengawasan terhadap jasa profesi arsitek asing. Ketentuan pengawasan ini perlu diatur dalam ketentuan tersendiri. Pasal 10 ayat (4) dalam RUU tentang Arsitek tidak cukup memuat tata cara dan persyaratan praktik Arsitek Asing di Indonesia yang diatur lebih lanjut dalam peraturan menteri. Praktik arsitek asing harus diberi limitasi yang jelas dalam UU ini dan memuat pula ketentuan pengawasannya.

2.8. Standarisasi

DPD RI berpandangan, substansi standarisasi adalah kualitas arsitek yang diperoleh dengan mendapatkan gelar akademik, gelar profesi dan sertifikat keahlian tertentu sebagaimana disebutkan pada Pasal 18 ayat (1) dalam RUU ini. Namun demikian, profesi arsitek sebagai input utama, tidak dapat dipisahkan dengan kualitas karya arsitek sebagi outputnya.

Dalam konteks standarisasi ini, DPD RI berpendapat penyetaraan arsitek sedapat mungkin mempertimbangkan kewilayahan dan kedaerahan seperti arsitek Jakarta dan Bandung, secara demografi dan kultur berbeda dengan arsitek daerah Maluku Utara dan Papua. Setiap daerah mempunyai kultur sosial, artistic dan karakteristik yang berbeda.

Dari sisi kualitas profesi arsitek, DPD RI berpendapat, perbandingan bangunan-bangunan dengan aristektur yang dibangun oleh Belanda di Papua sederhana namun kokoh berdiri sampai saat ini. Banyak hasil karya arsitek saat ini, dalam rentang waktu 5 tahun, sudah tampak ambruk. Selain standarisasi sebagai tanda kualitas, RUU ini perlu memperhatikan standarisasi output arsitek di daerah rawan gempa dan bencana dalam ketentuan tersendiri.

(13)

2.9. Sertifikasi

DPD RI memandang, Pasal 20 ayat (5) yang berbunyi Lisensi diberikan oleh pemerintah daerah provinsi atas rekomendasi Organisasi Profesi Arsitek dapat menimbulkan perdebatan kewenangan dikemudian hari. Arsitek yang memiliki sertifikasi berarti telah dijamin kompetensi profesionalnya oleh lembaga yang menerbitkan sertifikasi seperti Badan Nasional Sertikasi Profesi. Selain itu terdapat peran asosiasi profesi keinsiyuran. Dalam konteks yang demikian tersebut, DPD RI berpendapat peran dan kewenangan pemerintah dan pemerintah daerah terkait lisensi harus disinkronisasikan dengan peraturan organisasi dewan arsitek dan Badan Nasional Sertifikasi Profesi.

2.10. Kelembagaan Arsitek Indonesia

DPD RI berpandangan, yang perlu diwaspadai terkait dengan kelembagaan arsitek, yang dalam RUU ini disebut dengan Dewan Arsitek pada Pasal 29, adalah kemungkinan terjadinya abuse of power oleh kelembagaan profesi arsitek.

Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, legitimasi dewan arsitek hanya dapat diberikan pemerintah kepada satu wadah tunggal untuk memudahkan pemerintah melakukan pengawasan. Dewan arsitek perlu diberikan limitasi kewenangan karena terdapat lembaga lain seperti Badan Nasional Sertifikasi Profesi dan pendidikan tinggi yang diberi amanat untuk menyelenggarakan pendidikan profesi arsitek. Dualisme lembaga profesi yang pernah terjadi pada profesi advokat tidak dapat ditolerir karena mengganggu standarisasi dan sertifikasi serta berimplikasi negatif terhadap output arsitek.

2.11. Pengaduan dan Rehabilitasi

Ketentuan Pasal 38 ayat (3) yang berbunyi Ketentuan lebih lanjut mengenai mekanisme pengaduan dan pemberian sanksi diatur dalam Peraturan Dewan Arsitek dapat menimbulkan sengketa hukum dikemudian hari. Pada prakteknya, organisasi profesi seringkali melindungi anggotanya dari gugatan hukum tertentu atas malpraktik profesi arsitek seperti seringkali terjadi pada profesi dokter.

Penyelesaian sengketa pada akhirnya diselesaikan melalui jalur hukum dan pengadilan. Oleh karena itu, DPD RI berpendapat, ketentuan tentang malpraktik arsitek, sanksi malpraktik dan pengawasan arsitek perlu dirumuskan norma dan materi muatannya dalam ketentuan tersendiri pada RUU ini, termasuk model dan bentuk malpraktik yang dapat diselesaikan baik melalui dewan arsitek maupun mekanisme hukum formal. DPD RI berpendapat, arsitek wajib dimintai pertanggungjawabannya baik secara administrasi maupun hukum terhadap suatu

(14)

204

2.12. Ketentuan Pidana

RUU ini tidak memuat ketentuan pidana. Dalam pandangan DPD RI, dengan mengacu pada UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–

undangan, lampiran nomor 112, menyatakan Ketentuan pidana memuat rumusan yang menyatakan penjatuhan pidana atas pelanggaran terhadap ketentuan yang berisi norma larangan atau norma perintah, dan lampiran nomor 115, yang berbunyi Ketentuan pidana ditempatkan dalam bab tersendiri, yaitu bab ketentuan pidana yang letaknya sesudah materi pokok yang diatur atau sebelum bab ketentuan peralihan. Berdasarkan lampiran nomor 112 dan nomor 115 itu, DPD RI berpendapat, rumusan sanksi dalam RUU ini harus diatur dalam bab ketentuan pidana. Selain itu, pada lampiran nomor 113 disebutkan, dalam merumuskan ketentuan pidana perlu diperhatikan asas-asas umum ketentuan pidana yang terdapat dalam Buku Kesatu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, karena ketentuan dalam Buku Kesatu berlaku juga bagi perbuatan yang dapat dipidana menurut peraturan perundang-undangan lain, kecuali jika oleh Undang- Undang ditentukan lain (Pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).

2.13. Ketentuan Penutup

Dalam pandangan DPD RI, terdapat beberapa pasal yang memuat peraturan lebih lanjut yang harus ditetapkan dengan peraturan dewan arsitek (Pasal 17, Pasal 18, Pasal 35, Pasal 38, Pasal 39) dan peraturan menteri (Pasal 10 dan Pasal 11), yang normanya harus dimuat dalam ketentuan penutup. DPD RI berpendapat, ketentuan penutup harus memuat batas waktu penetapan peraturan lebih lanjut, yang pada umumnya mendalilkan bahwa: “semua peraturan yang diperlukan untuk melaksanakan undang-undang ini harus sudah dibentuk paling lambat 2 (dua) tahun terhitung sejak Undang-Undang ini diundangkan”.

UU 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang–undangan lampiran nomor 137 menyatakan, pada umumnya Ketentuan Penutup memuat ketentuan mengenai:

a. penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan;

b. nama singkat Peraturan Perundang-undangan;

c. status Peraturan Perundang-undangan yang sudah ada; dan

d. saat mulai berlaku Peraturan Perundang-undangan dan lampiran nomor 138 yang berbunyi penunjukan organ atau alat kelengkapan yang melaksanakan Peraturan Perundang-undangan bersifat menjalankan (eksekutif), misalnya, dalam RUU ini adalah dewan arsitek yang diberi kewenangan tertentu seperti pemberian sertifikasi, registrasi dan lisensi.

(15)

2.14. Ketentuan Pokok Lainnya

Dalam pandangan DPD RI, sistem informasi dan data sangat diperlukan dalam penyelenggaraan profesi arsitek di Indonesia. Pada Pasal 32 disebutkan bahwa Dewan Arsitek mempunyai tugas, huruf (a) yaitu mengelola data dan menetapkan kebijaksanaan penerbitan sertifikat dan registrasi. Dalam kaitan pendataan itu, DPD RI berpendapat, UU ini harus memuat tentang pasal sistem informasi dan data sebagai bagian dari informasi keterbukaan publik. Pada prinsipnya, DPD RI berpandangan bahwa sistem informasi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penyelenggaran profesi arsitek. Selain sistem informasi, DPD RI berpendapat, RUU ini perlu pula memuat keperansertaan masyarakat sebagai bagian dari kearifan lokal melalui peran aktif masyarakat. Pendekatan indigeneous people sesungguhnya dapat diterapkan sebagai suatu pendekatan sosial yang selama ini dikesampingkan, dalam penyelenggaraan kearsitekturan di Indonesia.

3. KESIMPULAN

3.1. Bahwa setelah melakukan kajian dan analisis terhadap substansi RUU tentang Arsitek, maka, DPD RI dengan ini menyatakan, bahwa RUU Arsitek yang merupakan RUU usul inisiatif DPR RI, dapat diteruskan ke tahapan pembahasan selanjutnya, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dengan mempertimbangkan secara seksama atas Pandangan yang telah disampaikan oleh DPD RI.

3.2. Hal-hal lain yang belum termuat dalam struktur RUU ini, menjadi catatan penting untuk diperhatikan baik oleh Pemerintah, DPR RI maupun DPD RI untuk proses penyempurnaan pada tahapan pembahasan RUU Arsitek selanjutnya.

Demikian Pandangan DPD RI terhadap RUU tentang Arsitek, semoga Tuhan YME senantiasa memberikan petunjuk dalam setiap upaya memajukan bangsa dan Negara.

Jakarta, 20 September 2016 DEWAN PERWAKILAN DAERAH

REPUBLIK INDONESIA PIMPINAN

Wakil Ketua, Wakil Ketua,

Referensi

Dokumen terkait

Yudha Triguna, ed., Estetika Hindu dan Pembangunan Bali, Denpasar: Ilmu Agama dan Kebudayaan Universitas Hindu Indonesia Bekerja Sama dengan Penerbit Widya

Diharapkan kepada guru matematika untuk dapat menerapkan metode pembelajaran kooperatif tipe TAI dengan pendekatan Reciprocal Teaching ini sebagai salah satu

Hampir semua motor (AC) yang digunakan adalah motor induksi, Sebagian besar alat industri menggunakan tenaga listrik sebagai energi penggerak utamanya, dan di berbagai

Variabel dalam penelitian ini meliputi empat variabel bebas, yaitu Supervisi Akademik Kepala Sekolah (X1), Komunikasi interpersonal antara kepala sekolah dan guru,

Pada hasil uji perbandingan dengan uji Mann Whitney U didapat nilai sebesar 0,000 dengan nilai signifikan sebesar 0,000 dan nilai Z adalah -6,655 yang

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil masyarakat commuter, hubungan sosial, dan aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat commuter di Dusun Sungai

Pedoman Penyusunan Skripsi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Tulungagung.. Belajar dan Faktor-Faktor

Pengumuman right issue yang dilakukan emiten di mana dana hasil right issue itu akan digunakan untuk membayar utang perusahaan membuat investor bereaksi negatif