• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEKILAS TENTANG PEMAKZULAN (IMPEACHMENT) Oleh: Seger Widyaiswara Madya pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SEKILAS TENTANG PEMAKZULAN (IMPEACHMENT) Oleh: Seger Widyaiswara Madya pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

SEKILAS TENTANG PEMAKZULAN (IMPEACHMENT) Oleh: Seger

Widyaiswara Madya pada Pusdiklat Pengembangan Sumber Daya Manusia

Akhir-akhir ini marak kita dapati istilah pemakzulan atau impeachment muncul di media massa. Suatu istilah yang banyak dipahami sebagai pemberhentian Presiden dan/

atau Wakil Presiden. Lebih-lebih maraknya istilah tersebut muncul seiring dengan adanya Panitia Khusus (Pansus) DPR yang menjalankan hak konstitusional berupa hak angket dalam memeriksa pejabat yang terkait dengan bailout Bank Century. Namun demikian perlu kiranya ditegaskan bahwa tulisan ini sama sekali tidak terkait dengan permasalahan tersebut, namun semata-semata melihat dari sisi yuridis ketatanegaraan yang selama ini dibangun dalam rangka tegaknya negara demokrasi modern, Republik Indonesia.

Permasalahan pemakzulan atau impeachment sebenarnya bukan merupakan hal yang baru. Bahkan di negara kita Indonesia sudah pernah beberapa kali terjadi pemakzulan atau impeachment terhadap Presiden. Pemakzulan atau impeachment sudah diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), namun seiring dengan perkembangan ketatanegaraan menuju prinsip-prinsip negara demokrasi modern yang menghendaki konstitusi UUD 1945 dilakukan perubahan (Amandemen), proses pemakzulan itupun mengalami perubahan pula. Berdasarkan itu pula, tulisan ini berangkat dari UUD 1945 baik sebelum maupun sesudah mengalami amandemen terkait dengan pemakzulan dimaksud, dan peraturan perundang-undangan sebagai pelaksanaan lebih lanjut dari konstitusi tersebut.

Pemakzulan atau impeachment menurut UUD 1945

Sebelum membahas mengenai pemakzulan atau impeachment menurut UUD 1945, ada baiknya terlebih dahulu membahas mengenai makna sebenarnya dari

“pemakzulan” atau “impeachment” itu.

Kita sering bertanya-tanya apa sih sebenarnya arti kata “pemakzulan” itu. Dr.

Harjono, S.H., M.CL1) dalam situs http://id.wikisource.org, mengatakan: “Banyak pihak yang memahami bahwa impeachment merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau pejabat tinggi dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada

(2)

prosesnya dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat tinggi negara lain dari jabatannya”. Dengan demikian impeachment sebenarnya baru merupakan tahapan awal dari proses untuk memberhentikan atau menurunkan Presiden atau pejabat tinggi negara lainnya, meskipun proses tersebut belum tentu berakhir dengan pemberhentian atau pemecatan Presiden atau pejabat tinggi negara bersangkutan. Senada dengan hal di atas, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie2) dalam detiknews.com menjelaskan, pemakzulan sebagai mekanisme penuntutan tanggung jawab presiden dan atau wakil presiden tidak selalu berujung pada pencopotan. Presiden dan atau wakil presiden yang terbukti melanggar hukum lewat persidangan di Mahakamah Konstitusi (MK) tidak otomatis bisa dicopot jabatannya”.

Dalam Wikipedia, the free encyclopedia, impeachment dirumuskan sebagai berikut:

“Impeachment is a formal process in which an elected official is accused of unlawful activity, and which may or may not lead to the removal of that official form office. It is the first of two stages. Impeachment does not necessarily result in removal from office; it is only a legal statement of charges, parallel to an indictment in criminal law. An official who is impeached faces a second legislative vote (whether by the same body or another), which determines conviction, or failure to convict, on the charges embodied by the impeachment”.

Jadi jelaslah dari beberapa pengertian tersebut di atas, tersirat bahwa

“impeachment” merupakan proses peradilan terhadap pejabat negara yang diduga melakukan pelanggaran hukum, dan tidak mesti berkhir dengan “jatuhnya” pejabat bersangkutan. Impeachment itu sendiri baru merupakan tahap awal dari dua tahap yang harus dilalui untuk sampai pada putusan apakah pejabat tersebut harus diberhentikan atau tidak, sistem yang juga dianut oleh Indonesia.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah: “Bagaimanakah sebenarnya perkara pemakzulan atau impeachment tersebut diatur di negara kita?” Untuk menjawab pertanyaan tersebut kita kembalikan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku, UUD 1945 (sebelum maupun sesudah diamandemen) dan peraturan perundang-undangan lainnya.

Dalam UUD 1945 sebelum diamandemen, tidak terdapat dalam Batang Tubuh (pasal-pasal)nya yang secara “letterlijk” memuat mengenai pemakzulan atau impeachment. Seperti yang dinyatakan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie menanggapi

2) Yang bersangkutan adalah mantan Ketua Mahkamah Konstitusi dan saat ini menjabat sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden

(3)

pendapat Prof. Dr. Harun Al- Rasyid yang menyatakan bahwa UUD 1945 tidak mengenal lembaga yang namanya “impeachment”: “Saya mengatakan betul, karena

“impeachment” itu bahasa Inggeris. Tetapi, baik menurut kamus bahasa Inggeris maupun kamus-kamus hukum, ‘to impeach’ itu artinya memanggil atau mendakwa untuk meminta pertanggungjawaban. Dalam hubungan dengan kedudukan Kepala Negara atau Pemerintahan, ‘impeachment’ berarti pemanggilan atau pendakwaan untuk meminta pertanggungjawaban atas persangkaan pelanggaran hukum yang dilakukan dalam masa jabatannya. Hampir semua konstitusi mengatur soal ini sebagai cara yang sah dan efektif untuk mengawasi jalannya pemerintahan agar tetap berada di jalur hukum dan konstitusi”

(www.theceli.com/index.php?option=com_docman&task).

Memang benar seperti yang dinyatakan oleh kedua pakar hukum tersebut bahwa UUD 1945 tidak memuat dalam pasal-pasalnya kata pemakzulan, namun demikian kalau kita cermati di dalam Penjelasannya, seperti yang juga dikatakan oleh Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, dinyatakan bahwa: “……… Oleh karena itu, Dewan Perwakilan Rakyat dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden dan jika Dewan menganggap bahwa Presiden sungguh melanggar haluan negara yang telah ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar atau Majelis Permusyawaratan Rakyat, maka majelis itu dapat diundang untuk persidangan istimewa agar supaya bisa diminta pertanggungan jawab kepada Presiden”.

Dari Penjelasan UUD 1945 tersebut jelaslah bahwa UUD 1945 sebenarnya memuat mengenai pemakzulan, yang prosesnya melalui “Sidang Istimewa” MPR dan hanya ditujukan kepada seorang Presiden. Jadi di dalam Batang Tubuh atau Pasal- pasalnya tidak secara “letterlijk” memuat hal tersebut. Tetapi kita mengetahui bahwa UUD 1945 adalah terdiri dari: Pembukaan, Batang Tubuh, dan Penjelasan, di mana ketiga bagian tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Di samping itu dari berbagai literatur, diketahui bahwa hampir semua konstitusi negara mengatur permasalahan “pemakzulan” atau “impeachment” sebagai suatu cara yang sah dan efektif untuk mengawasi tindakan-tindakan pemerintah di dalam menjalankan konstitusi agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang (abuse of power/detournement de pouvoir) dan tetap pada koridor peraturan perundang-undangan yang berlaku sesuai dengan prinsip- prinsip rule of law, Pancasila, dan UUD 1945.

(4)

Sekarang bagaimana perkara tersebut mendapatkan pengaturan dalam UUD 1945 setelah diamandemen? Mari kita lihat bersama. Kita mengetahui bahwa setelah diamandemen, UUD 1945 tidak lagi mempunyai penjelasan. Di dalam Pasal II Aturan Tambahan dinyatakan: “Dengan ditetapkannya perubahan Undang-Undang Dasar ini, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal”. Dari bunyi pasal tersebut, nyatalah bahwa UUD 1945 kita sekarang tidak lagi mempunyai Penjelasan (selanjutnya penulis tidak membahas mengapa Penjelasan UUD 1945 dihapus). Mungkin akan timbul pertanyaan lagi: “Di mana diatur ketentuan mengenai pemakzulan – yang tadinya diatur di dalam Penjelasan – setelah Penjelasan tersebut dihapus?

Di dalam UUD 1945 yang telah diamandemen, proses pemakzulan diatur dalam Pasal 7A dan 7B. Namun sebelum membahas lebih jauh mengenai kandungan Pasal-pasal tersebut, mari kembali pada ketentuan Pasal 6A UUD 1945 yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”. Dari isi Pasal 6A tersebut, mungkin akan timbul pertanyaan: “Apakah mungkin Presiden dan Wakil Presiden yang dipilih oleh rakyat secara berpasangan tersebut dapat dimakzulkan secara masing-masing? Atau apabila Presiden atau Wakil Presiden kemudian ternyata terbukti melakukan pelanggaran apakah mereka berdua harus dimakzulkan, karena mereka dipilih dalam satu pasangan?”

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, terlebih dahulu kita harus menggunakan logika berpikir bahwa apakah mungkin apabila seseorang bersalah maka orang lain yang tidak bersalah juga harus menanggung kesalahan itu? Karena apabila demikian maka itu berarti mendzolimi orang yang tidak bersalah dan tujuan dari hukum untuk memberikan keadilan tidak akan tercapai. Demikian juga dalam hal apabila Presiden atau Wakil Presiden yang melakukan kesalahan, maka pasangannya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas kesalahan yang diperbuat oleh masing-masing pasangannya tersebut, meskipun mereka dipilih dalam satu pasangan.

Pasal 7A UUD 1945 menyatakan: “Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), baik apabila terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”. Dari ketentuan tersebut nyatalah

(5)

bahwa Presiden atau Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya baik secara sendiri-sendiri maupun secara bersamaan. Di samping itu pasal tersebut mengatur secara limitatif jenis pelanggaran apa yang dapat menyebabkan seorang Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat dimakzulkan.

Pasal 7B ayat (1) UUD 1945 menyatakan: “Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden”.

Perbedaan yang terjadi dalam proses pemakzulan menurut UUD 1945 sebelum dan sesudah dilakukan amandemen adalah bahwa setelah amandemen, proses pemakzulan harus melewati tahapan yang lebih panjang, yakni dengan adanya lembaga peradilan khusus ketatanegaraan yang namanya “Mahkamah Konsitusi”, lembaga mana tidak terdapat dalam ketentuan UUD 1945 sebelum diamandemen.

Dengan adanya MK di maksud, menunjukkan bahwa di Indonesia dalam perkara pemakzulan Presiden dan/atau Wakil Presiden menganut sistem campuran, yaitu sistem

“impeachment” dan “forum previlegiatum” seperti dinyatakan oleh Prof. Dr. Moh.

Mahfud MD (2007) sebagai berikut:

“Jika digali dari berbagai konstitusi yang ada di dunia, secara teoritis cara penjatuhan Presiden dan/atau Wapres menurut UUD 1945 hasil amandemen menggunakan sistem campuran antara sistem impeachment dan sistem forum previlegiatum. Dengan impeachment dimaksudkan bahwa Presiden dijatuhkan oleh lembaga politik yang mencerminkan wakil seluruh rakyat melalui penilaian dan keputusan politik dengan syarat-syarat dan mekanisme yang ketat. Sedangkan forum previlegiatum adalah penjatuhan Presiden melalui pengadilan khusus ketatanegaraan yang dasarnya adalah pelanggaran hukum berat yang ditentukan di dalam konstitusi dengan putusan hukum pula”

Dimaksudkan dengan sistem impeachment disini adalah penilaian dan keputusan politik di DPR, sedangkan forum previlegiatum dimaksudkan adalah pengadilan ketatanegaraan oleh MK. Jadi sebagaimana diuraikan di atas, UUD 1945 mengatur impeachment dalam dua tahap.

(6)

Proses yang Panjang

Proses impeachment di Indonesia membutuhkan waktu yang lama dan tidak mudah. “Impeachment itu secara konstitusional tidak mudah. Ini akan lama,” kata Mahfud MD menjawab pertanyaan wartawan di sela-sela acara persiapan Reuni Akbar dan Musyawarah Nasional (Munas) Keluarga Alumni Universitas Islam Indonesia (UII) di Hotel Jogyakarta Plaza di Jalan Affandi, Jum’at, 25 Desember 2009 (http://www.detiknews.com/read/2009/).

Sekarang mari kita lihat ketentuan impeachment dalam UUD 1945 (setelah diamandemen):

Pasal 7B ayat (1), (2), (3), (5), dan (7)

(1) Usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat3) Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden.

(2) Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan./atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.

(3) Pengajuan permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.

(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau terbukti bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.

(7) Keputusan Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wakil Presiden diberi

3) huruf tebal dan miring dari penulis, yang artinya bahwa pendapat tersebut harus dituangkan dalam bentuk “hak menyatakan pendapat” oleh DPR sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945

(7)

kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.

Proses “impeachment” diawali dengan adanya “usulan pemberhentian” dari DPR kepada MPR tentang adanya dugaan pelanggaran sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 7B tersebut, yang terlebih dahulu harus dimintakan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dimaksud.

“Usulan pemberhentian” dari DPR tersebut terkait dengan hasil dari pelaksanaan hak dan fungsinya sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (1) dan (2) UUD 1945 sebagai berikut:

Pasal 20A:

(1) Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan.

(2) Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain dalam Undang-Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.

Dengan demikian “usulan pemberhentian” DPR tersebut merupakan pelaksanaan dari hak DPR, yaitu hak “interpelasi”, “hak angket” atau “hak menyatakan pendapat”

sebagaimana diatur dalam Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 terkait dengan pelaksanaan fungsi DPR yaitu fungsi pengawasan sebagaimana diatur dalam Pasal 7B ayat (2) jo Pasal 20A ayat (1) UUD 1945.

Namun demikian sebelum sampai pada adanya “usulan pemberhentian” Presiden dan/atau Wapres, terlebih dahulu DPR harus menggunakan “hak menyatakan pendapat”

dari hasil pelaksanaan fungsi pengawasan terkait dengan pelaksanaan hak “interpelasi”

atau “hak angket”, di mana dinyatakan dalam Pasal 184 ayat (1) dan (4) UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD bahwa hak menyatakan pendapat tersebut harus diusulkan oleh paling sedikit 25 orang anggota DPR dan harus mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri paling sedikit ¾ dari jumlah anggota DPR, dan diputuskan dengan persetujuan oleh paling sedikit ¾ dari jumlah anggota DPR yang hadir.

Apabila DPR memutuskan menerima usul hak menyatakan pendapat, maka berdasarkan ketentuan Pasal 185 dan Pasal 186 UU No. 27 Tahun 2009, DPR akan membentuk panitia khusus yang terdiri dari semua unsur fraksi DPR dengan keputusan

(8)

DPR, yang wajib melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada rapat paripurna DPR paling lama 60 (enam puluh) hari sejak dibentuknya panitia khusus tersebut.

Proses selanjutnya diatur dalam Pasal 187 UU No. 27 Tahun 2009 bahwa apabila DPR pada akhirnya memutuskan untuk menerima laporan panitia khusus yang menyatakan bahwa memang telah terjadi pelanggaran, maka DPR dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota DPR, selanjutnya menyampaikan keputusan tentang menyatakan pendapat kepada MK (Pasal 7B ayat (3) UUD 1945 jo Pasal 187 ayat (2) UU No. 27 Tahun 2009). Selanjutnya MK berdasarkan ketentuan Pasal 7B ayat (4) UUD 1945 jo Pasal 10 ayat (2) UU No. 24 Tahun 2003 tentang MK) wajib memeriksa, mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat DPR tersebut paling lama 90 (Sembilan puluh) hari setelah permintaan DPR itu diterima MK. Apabila MK ternyata memutuskan bahwa pendapat DPR tersebut terbukti, dalam arti memang telah terjadi pelanggaran hukum yang disangkakan, maka berdasarkan ketentuan Pasal 7B ayat (5) UUD 1945 jo Pasal 188 ayat (1) UU No. 27 Tahun 2009, DPR menyelenggarakan rapat paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wapres kepada MPR.

Apakah proses impeachment sudah selesai? Belum, karena sesuai dengan ketentuan Pasal 7B ayat (6) dan ayat (7) UUD 1945, paling lambat 30 (tiga puluh) hari setelah menerima usulan tersebut MPR wajib menyelenggarakan sidang paripurna untuk memutus usul pemberhentian Presiden dan/atau Wapres yang dihadiri oleh sekurang- kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau Wapres diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna MPR tersebut.

Penutup

Setelah mengikuti proses pemakzulan atau impeachment terhadap Presiden dan/atau Wapres menurut ketentuan hukum positif, baik menurut UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya, maka nyatalah bahwa proses tersebut tidak mudah dan membutuhkan waktu yang panjang, seperti yang dikatakan oleh Wakil Ketua MPR Lukman Hakim Saefudin bahwa proses impeachment berjalan panjang sekali dan sangat tergantung pada dinamika di Dewan (http://www.rakyatmerdeka.co.id/). Artinya

(9)

bahwa keputusan terakhir tentang berjalan atau tidaknya proses tersebut sangat tergantung pada dinamika yang berkembangan di DPR, lobby, bargaining politik, dan sebagainya.

Terkait dengan permasalahan tersebut MK telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden, yang pada intinya mengatur mengenai tiga amar putusan terkait dengan dugaan tersebut, yaitu: pertama, permohonan tidak dapat diterima karena tidak memenuhi kelengkapan seperti tercantum dalam Tata Cara Mengajukan Permohonan; Kedua, amar putusan dapat menyatakan MK membenarkan pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres terbukti melakukan pelanggaran hukum; dan Ketiga, permohonan ditolak MK apabila pendapat DPR terkait dugaan pelanggaran yang dilakukan Presiden dan/atau Wapres tidak terbukti.

Sulitnya proses pemakzulan atau impeachment tersebut juga didukung dengan sistem pemerintahan kita yang menganut sistem presidensiil, di mana DPR tidak dapat mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah sebagaimana terjadi pada negara yang menganut sistem parlementer. Namun demikian pemakzulan atau impeachment memang dimungkinkan terjadi di negara Indonesia menurut tata cara yang telah diatur dalam hukum positif kita.

Proses “impeachment” diawali dengan adanya “usulan pemberhentian” dari DPR kepada MPR tentang adanya dugaan pelanggaran sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 7B tersebut, yang terlebih dahulu harus dimintakan kepada MK untuk memeriksa, mengadili, dan memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum dimaksud.

(10)

Daftar Pustaka

Hartono, Dimyati, SH. Prof. DR. Problematik dan Solusi Amandemen Undang- Undang Dasar 1945. Jakarta: Penerbit PT Gramedia, 2009

Mahfud MD, Moh, SH. Prof. DR. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia, 2007

Ranadireksa, Hendarmin. Amandemen UUD 1945, Menuju Konstitusi Yang Berkedaulatan Rakyat. Jakarta: PT Dyatama Milenia, 2002

Teras Narang, Agustin, SH. Reformasi Hukum, Pertanggungjawaban Seorang Wakil Rakyat. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2003

http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/01/20/86749/Wakil-Ketua-MPR:- Impeachment-Tergantung-Dinamika-Dewan

www.theceli.com/index.php?option=com_docman&task http://www.wikipedia.com/

http://www.detiknews.com/read/2009/

http://id.wikisource.org/wiki/Harjono:-

Mekanisme_Impeachment_&_Hukum_Acara_Mahkamah_Konstitusi/Kata_Pengantar/Ma hkamah_Konstitusi_Republik_Indonesia

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD Peraturan Mahkamah Konstitusi Nomor 21 Tahun 2009 tentang Pedoman Beracara Dalam Memutus Pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Mengenai Dugaan Pelanggaran oleh Presiden dan/atau Wakil Presiden

(11)

Sumber Gambar: http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:SO3piSLx7ORucM

Sumber Gambar: http://www.dpr-ri.org/v2/index.php

Referensi

Dokumen terkait

Berdasar- kan hasil rangkuman sidik ragam pada Tabel 1, perlakuan rasio tanaman induk jantan dan betina (r), serta interaksi antara rasio tanaman dengan pupuk boron

MATA KULIAH “ILMU AKHLAK” DOSEN Dr. Pengertian Birrul Walidain... HUKUM, Dalil al-Qur’an dan hadist Birrul Walidain..... Keutamaan Birru Walidain... 1) Termasuk Amalan Yang

[r]

Deskripsi Unit : Unit ini meliputi pengetahuan, keterampilan, dan sikap kerja yang diperlukan untuk menyusun dan memilih huruf menjadi susunan tulisan/ naskah (type

Dengan tanggung jawab juga orang akan lebih memiliki simpati yang besar untuk kita, dengan sendirinya derajat dan kualitas kita dimata orang lain akan tinggi karena memiliki

Implementasi yang dilakukan pada responden 1 adalah dengan masalah kekurangan volume cairan pada tanggal 10-12 juni 2017 adalah melakukan manajemen nutrisi,

Berdasarkan data hasil pengkajian pada Ny “J” mengalami hiperemesis gravidarum dengan diagnosa keperawatan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh,

Menguraikan /menjelaskan /menyusun/ mengkalkulas i dengan benar hanya 1 dari 7 indikator penilaian pertemuan