Pola Perubahan Ruang Semi Perkotaan
Dibuat dalam rangka menyelesaika
Kementerian Agr
Magis
Kata-kunci:sustainable development,
Kota adalah konsentrasi kebudayaa dan tergambar sebagai puncak peradaban bangsa. Persepsi sebagian masyara mendefinisikan arti sebuah kota masih l kota metropolitan. Dalam arti sebuah wi disebut kota jika penduduknya sangat pa ketersediaan infrastruktur yang lengk Jakarta. Padahal, Pontoh dan Kustiwa mendifinisikan kota sebagai lokasi deng penduduk yang lebih besar dibandingka lain disekitarnya akibat dari hasi penduduknya yang berhubungan pemanfaatan lahan non pertanian. Pera pertama bermula di wilayah subur yang Cosmic (bersifat agamis), yaitu di lem Nile, Tigris, dan Euphrat (Sjobeg 1960, Potter, 1985).
Soetomo, Sugiono (2002) men bahwa urbanisasi sebagai suat
otaan Dan Pengaruhnya Terhadap Hak Tanah
aikan tugas perkuliahan Prof. Sugiono Soetomo be
Afden Mahyeda
NIM. 21040117410029
graria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasiona
Fakultas Teknik
gister Pembangunan Wilayah dan Kota
Universitas Diponegoro
Semarang, 2017
nt, urbanisasi, kota urban, sub-urban, pheri-urban, rural-urba
yaan manusia
perkembangan kota yang dalam sebuah lingkungan aktivitas manusia untuk m peradabannya yang kemudia dan terdiri atas elemen bang sebagai tempat kehidupann pribadi maupun kepemilika sejarah urbanisasi yang bera kepercayaan agama menja pasca revolusi industri secar oleh Alain Garnier (1985) ke
1. Tahap pertama pembangunan masya 2. Tahap kedua yang
pembangunan industr 3. Tahap ketiga mer pasca industri yait dalam wilayah.
ah Formal dan Informal
berupa paper oleh:
onal
rban, hak tanah formal
ng merupakan kejadian n atau ruang hasil dari uk meningkatkan kemajuan udian disebut sebagai kota ngunan dan ruang terbuka nnya, baik yang bersifat ilikan bersama. Perjalan beralih dari dimensi simbol njadi kekuatan ekonomi cara linear dikelompokkan
ke dalam 3 periode: yang tumbuh dari yarakat agraris;
g tumbuh atas kekuatan ndustri perkotaan; dan
Pusat perhatian dalam sejarah perkembangan urbanisasi dimulai saat memasuki abad 21 dimana terdapat perbedaan pertumbuhan penduduk yang terjadi pada negara berkembang dengan negara maju. Pertumbuhan penduduk di negara maju mulai akhir abad ke 20 selalu mengalami penurunan. Hal ini berbanding terbalik dengan pertumbuhan di negara berkembang yang mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Perkiraan ini pun semakin menjadi saat prediksi pertumbuhan kota pada tahun 2025 di negara berkembang yang mencapai 486 kota dengan jumlah penduduk diatas satu juta orang (Harris, 1989 dan Potter, 1998).
Menjadi kota urban mengakibatkan sebuah negara harus siap terhadap segala ancaman dan permasalahan yang mungkin timbul. Diantara permasalahan urbanisasi yang biasa kita jumpai seperti: Kota raksasa, kepadatan berlebih, kekurangan sarana dan prasarana, permukiman kumuh dan liar, kemacetan lalu-lintas, berkurangnya tanggung jawab, pengangguran dan setengah pengangguran, masalah rasial dan sosial, westernisasi dan modernisasi, kerusakan lingkungan, perluasan perkotaan dan berkurangnya lahan pertanian, dan organisasi administrasi (Pontoh dan Kustiwan, 2009:121). Hal menarik yang kerap muncul terkait permasalahan urbanisasi yaitu kemiskinan dan disparitas wilayah (kesenjangan sosial). Oleh karena itu dibutuhkan suatu alternatif untuk memecah konsentrasi urbanisasi yang hanya berpusat di kota besar saja. Pengembangan desa dan kota-kota kecil dapat menjadi salah satu solusi yang baik. Dalam usaha pembangunan wilayah tersebut pun kerap kali diikuti dengan timbulnya permasalahan baru terutama dalam hal aksesibilitas antara desa kota dan dalam hal proses perubahan desa ke kotanya sendiri.
Pendapat mengenai sebuah kota senantiasa berkembang mengikuti peradaban manusia yang pada akhirnya kita mengenal konsep pembagian sebuah wilayah kedalam zona-zona sesuai dengan pemanfaatan lahannya (konsep garden city) dari Ebenezer Howard. Namun, dari empat sebab terbentuknya masyarakat perkotaan yang dikemukakan oleh Carter (1977, 1983 dalam potter 1998) yaitu:Hydraulic of Environmental-ecological theses; Economic theory; Military pruposes; dan Religious theory, Kota-kota pertama di Indonesia dibentuk sebagai the ruler seat berdasarkan tempat kekuasaaan dan trading post yang merupakan titik-titik simpul perdagangan (Rutz, 1987).
Fokus permasalahan penulisan ini akan lebih diarahkan pada permasalahan yang timbul akibat proses perubahan desa ke kota terutama terkait tentang perubahan hak tanah pada zona baru yang biasa disebut dengan daerah semi perkotaan. Yang mana permasalahan ini tidak hanya terjadi di negara maju saja, melainkan juga dialami di negara berkembang seperti di Indonesia. Jenis-jenis daerah semi perkotaan terbagi atas:
• Daerah sub-urban yang merupakan perubahan desa ke kota akibat dari eksistensi penjalaran kota yang dikenal sebagai pinggiran kota pembentuk kota metropolitan dengan cakupannya mencapai kota wilayah.
• Daerah pheri-urban yang merupakan perkembangan kota akibat dari timbulnya permukiman kota yang terpisah jauh dari kota induk.
• Daerah rural-urban yang merupakan perubahan desa ke kota akibat dari perkembangan maju penduduk desa atas dukungan potensi wilayahnya.
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa permasalahan utama yang dihadapi oleh kota sebagai hasil dari urbanisasi yaitu kemiskinan dan ketimpangan sosial. Salah satu dampak nyata yang terjadi yaitu ketidakmampuan masyarakat kota untuk memenuhi kebutuhan dasarnya. Rumah tinggal sebagai indikator status sosial seseorang yang oleh karena itu saat ini rumah menjadi kebutuhan paling primer yang diperlukan seseorang untuk dapat bertahan hidup di perkotaan. Namun, kondisi akibat urbanisasi dimana hal tersebut meningkatkan tekanan kebutuhan akan ruang di perkotaan dan menjadikan perubahan harga lahan sangat tinggi.
Fenomena kebutuhan terhadap lahan cenderung terus meningkat yang merupakan resultan dari perkembangan ekonomi dan pertumbuhan penduduk. Pada gilirannya hal tersebut akan melahirkan gejala persaingan penggunaan lahan, yang sesungguhnya merupakan manifestasi dari berlakunya hukum permintaan (demand) dan penawaran (supply). Hal tersebut dapat dipahami, mengingat lahan merupakan sumberdaya alam yang amat penting. Hampir semua aspek kehidupan dan pembangunan, baik langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan permasalahan lahan. Seiring dengan terjadinya pertumbuhan wilayah termasuk di dalamnya pertumbuhan kota, kebutuhan (demand) akan sumberdaya lahan cenderung meningkat. Sementara itu dilihat dari ketersediaannya dalam arti luasan lahan dalam batas administratif bersifat terbatas (in-elastic). Hal ini tentunya menjadi sulit dan bahkan tidak mungkin terjangkau oleh penduduk miskin di perkotaan untuk mendapatkan rumah yang layak huni di perkotaan saat ini. Ketidakmampuan pemerintah untuk menyediakan ruang di perkotaan untuk masyarakat miskin diperkotaan akibat tuntutan pasar dan keterbatasan finansial pemerintah, mengakibatkan solusi yang kemudian diambil yaitu dengan membangun perumahan di kawasan semi perkotaan.
Kawasan semi perkotaan seperti di pinggiran kota Jakarta belakangan ini menjadi pusat perhatian para pengembang di sektor perumahan. Jarak yang dekat dari pusat kota, kondisi sarana dan prasarana transportasi yang cukup, ketersediaan aksesibilitas yang ramai dan aman serta nyaman dibanding jalur lain menjadikan sebuah lokasi memiliki daya tarik
yang kuat untuk dijadikan sebagai salah satu pilihan tempat tinggal (Tarigan, 2006). Seperti kasus terbaru dalam pembangunan kota baru “Meikarta”, aksesibilitasnya yang dekat dengan kawasan industri dan terhubung langsung dengan jalur kereta cepat Jakarta-Bandung menjadi daya jual paling tinggi.
Gambar: Tipologi struktur ruang (Wiegen, 2005 dalam Hadikusna, Iwan, 2017)
Walaupun aksesibilitas tetap menjadi faktor utama penentu dalam pemilihan lokasi perumahan yang ditawarkan baik oleh pemerintah maupun pasar swasta, yang hal ini berdampak nyata pada perubahan desa ke kota di wilayah semi perkotaan, namun harga lahan dan faktor-faktor lain seperti potensi wilayah desa ternyata juga berdampak langsung terhadap perkembangan kawasan semi perkotaan.
Namun yang perlu diingat bahwa perkembangan wilayah semi perkotaan bisa saja diluar kontrol perencanaan pembangunan wilayah yang secara tidak langsung dapat berdampak pada menjamurnya permukiman liar disekitar perkotaan atau biasa disebut dengan urban sprawl. Oleh karena itu, dalam upaya untuk menekan laju pertumbuhan urban sprawl di sekitar kawasan perkotaan, dibutuhkan suatu pola perubahan ruang di wilayah semi perkotaan atas daya dukungnya terhadap kebutuhan tempat tinggal di perkotaan. Yang mana nantinya dapat dijadikan sebagai bahan dan masukan dalam pemodelan perencanaan wilayah yang lebih baik.
Jieming dan Simarmata, H. Andy (2014), hak atas tanah dalam pembangunan wilayah kota terbagi atas hak tanah formal dan hak tanah informal.
A. Hak Tanah Formal
Hak tanah formal didefinisikan sebagai hak atas tanah untuk dapat melakukan pembangunan di tanah tersebut, contohnya dapat berupa pembangunan perumahan atau industri pertanian, yang didasarkan oleh peraturan-peraturan pembangunan terkait melalui prosedur legal. Pada kasus di Jakarta, permukiman atas tanah formal terkonsentrasi dipinggiran kota. Faktor yang mempengaruhi diantaranya yaitu: keterbatasan atau kelangkaan lahan/tanah di pusat kota; belum adanya pengaturan kepadatan penduduk yang tinggi; kurangnya peran pemerintah atas hak tanah informal; terjadinya urbanisasi yang sangat cepat; dan Terjadinya fenomena industrialisasi. Adapun dampak langsung terkait faktor permasalahan tersebut berupa teritorialisasi hak tanah informal dan kualitas hidup warga menjadi rendah, bahkan bisa menjadi lebih buruk.
Ditinjau dari peta persebaran perumahan swasta diatas, keterkaitan diantara perkembangan wilayah semi perkotaan dengan hak tanah formal diasumsikan linear terhadap jarak ke pusat kota. Dalam artian semakin dekat dengan Jakarta sebagai pusat kota maka semakin tinggi jumlah ketersediaan
perumahan yang ditawarkan oleh sektor swasta. Dari asumsi tersebut juga dapat ditarik beberapa pernyataan bahwa: kawasan sub-urban yang merupakan kawasan paling dekat dengan pusat kota memiliki pengaruh utama terhadap perkembangan wilayah semi perkotaan. Kawasan Pheri-Urban mejadi tingkat pengaruh kedua. Salah satu contohnya yaitu kawasan BSD yang dibangun jauh dari pusat kota Jakarta kini menjadi pusat grafitasi baru yang mempengaruhi perkembangan wilayah kota Jakarta. Pada tingkat ketiga, rural-urban basis dari sektor Industri masih menjadi yang paling besar seperti wilayah Tanggerang dan Bekasi. Perkembangan hak formal dari sektor perumahan disekitar kawasan industri jelas berpengaruh cukup signifikan karena kawasan industri memiliki gaya medan magnet yang kuat untuk menarik sektor permukiman formal disekitarnya. Sedangkan untuk basis sektor diluar industri seperti pertanian kurang berpengaruh besar terhadap perkembangan wilayah semi perkotaan. Hal yang berbeda dialami oleh perkembangan wilayah daerah turistik, potensi yang ditawarkan seperti pariwisata di sekitar puncak Bogor perkembangan hak tanah formal adalah sedikit. Hal ini dikarenakan regulasi terkait tata ruang yang menjadikan kawasan tersebut sebagai kawasan hijau membuat sektor formal tidak telalu banyak yang berani mengambil resiko. Justru hak tanah informal yang paling dominan menciptakan urban sprawl disekitar kawasan hijau puncak tersebut.
B. Hak Tanah Informal
Hak tanah informal merupakan hak atas tanah atau areal permukiman di suatu kota yang dihuni oleh masyarakat sangat miskin dan tidak mempunyai alat bukti kepemilikan tanah yang sah. Hak ini menggambarkan wilayah yang dibangun diatas tanah tersebut adalah liar dan tidak memiliki izin untuk membangun seperti slum area. Untuk kasus di Jakarta kondisi hak tanah informal lebih banyak terjadi dipusat kota. Sehingga pembahasan mengenai hak tanah informal sedikit dibahas dan dibatasi hanya untuk daerahrural-urban.
sekitar 15% masyarakatnya yang bekerja pada sektor formal, selebihnya bekerja di sektor informal seperti ART, Pedagang kaki lima, Buruh, dan Sopir.
Kesimpulan :
Dari pembahasan diatas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa pola perkembangan kawasan semi perkotaan memiliki pengaruh yang nyata terhadap hak tanah formal dan informal khususnya di sektor pembangunan permukiman dan perumahan. Pola tersebut berbeda antar jenis-jenis daerah semi perkotaan. Selain itu, karakteristik lingkungan, karakteristik perkotaan, serta privatisasi daerah semi perkotaan ternyata membawa dampak yang cukup besar terhadap ketimpangan sosial yang terjadi di masyarakat.
Daftar Pustaka
Budihardjo, Eko dan Sujarto, Djoko. 2009. Kota Berkelanjutan (Sustainable City). Bandung: PT Alumni.
Pontoh, N.K. dan Kustiwan, Iwan. 2009.Pengantar Perencanaan Perkotaan. Bandung: Penerbit ITB.
Soetomo, Sugiono. 2002. “Strategi Desain Ruang Sub-Urban Dalam Menopang Pembangunan Yang Berkelanjutan”. Pidato Pengukuh Disajikan Pada Upacara Penerimaan Jabatan
Guru Besar pada Fakultas Teknik, Universitas Diponegoro, Semarang, 3 Agustus 2002.
Tarigan. 2006. Teori Lokasi -Tarigan, 2006:7. [Home page of Kompasiana.com] [Online].
Available at:
http://www.kompasiana.com/harefa14/teori-lokasi-ta
rigan-2006-77_56786777749773aa13c05303. Diakses pada tanggal 11 Agustus 2017.
Wheeler, S.M. 2014. Planning For Sustainability : Creating Livable, Equitable, and Ecological Communities. the USA and Canada: Routledge.