• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN D

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN D"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN

DENGAN TRAUMA MEDULLA SPINALIS DAN SPINAL SHOCK

Oleh :

KELOMPOK 2/ KELAS A1 (A14)

Fasilitator :

Erna Dwi Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep

Lutvi Choirunissa 131411131002

Shanti Indah Lestari 131411131036

Astrid Anggreswari Nur S. 131411131042

Anissa Zuchrufiany 131411131045

Navisha Khoirunisa 131411131056

Eva Dwi Agustin 131411131057

Retno Dwi Agustin 131411131058

Titin Paramida 131411131099

Elisa Maria Wahyuni 131411133028

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN NERS FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

(2)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami haturkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah memberikan rahmat,serta kasih-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini tepat waktu. Adapun tujuan dengan dibuatnya makalah ini sebagai syarat untuk memenuhi nilai dalam mata kuliah Keperawatan Kritis 2.

Keberhasilan dalam penyusunan makalah ini tidak dapat terlepas dari bimbingan serta bantuan dari berbagai pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1) Bu Erna Dwi Wahyuni, S.Kep., Ns., M.Kep selaku fasilitator mata kuliah Keperawatan Kritis;

2) Teman-teman yang telah membantu dalam pembuatan tugas makalah ini.

Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca pada umumnya dan bagi kami pada khususnya.

Kami menyadari masih ada kekurangan dalam pembuatan makalah ini, oleh karena itu kritik dan saran yang sifatnya membangun akan kami terima dengan senang hati.

(3)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Semakin banyaknya angka kejadian kecelakaan lalu lintas maka trauma medulla spinalis kerap terjadi.Trauma medulla spinalis adalah trauma seringkali mengenai daerah L1-L2 dan/atau di bawahnya, trauma ini mengakibatkan kerusakan fungsi neurologis, hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.(Marilynn E. Doenges,1999;338). Karena kondisi trauma pada medulla spinalis serta persyarafan akan mencetuskan kejadian syok spinal, dimana syok spinal yaitu suatu keadaan kehilangan aktifitas otonom, reflek motorik, dan sensorik pada daerah dibawah tingkat terjadinya medulla spinalis (Kowalak, 2011).

Setiap tahun di Amerika Serikat sekitae 7.600 sampai 10.000 individu mengalami trauma medulla spinalis. Pada tahun 2004 Cristopher & Dana Reeve Foundation bekerjasama dengan Centers for Disease Control and Prevention (CDC) melakukan penelitian dimana hasilnya sekitar 0,4% dari populasi Amerika serikat atau sekitar 1.275.000 orang mengalami paralisis dikarenakan oleh trauma medulla spinalis. Hal ini menandakan bahwa sekunder syok spinal juga banyak terjadi.

(4)

vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan atau penampung dan kapiler organ splanknik(Tambayong, 2000).

Klien yang mengalami trauma medulla spinalis membutuhkan perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL danmobilisasi. Begitu juga dengan spinal shock dimana membutuhkan terapi fisik dan kolaborasi pembedahan. Maka dari itu sebagai perawat merasa perlu untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan trauma medulla spinalis dan spinal syok dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitative.

1.2 Tujuan

1.2.1 Tujuan Umum

Mempelajari konsep teoritis dan asuhan keperawatan berdasarkan study casetrauma medulla spinalis dan shock spinal.

1.2.2 Tujuan Khusus

1) Mengetahuianatomi fisiologi medulla spinal

2) Mengetahui definisitrauma medulla spinal dan shock spinal. 3) Mengetahui etiologi trauma medulla spinal dan shock spinal. 4) Mengetahui patofisiologi trauma medulla spinal dan shock spinal. 5) Mengetahui manfestasi klinis trauma medulla spinal dan shock

spinal.

6) Mengetahui pemeriksaan diagnostik pada klien dengan trauma medulla spinal dan shock spinal.

7) Mengetahui penatalaksanaan pada klien dengan trauma medulla spinal dan shock spinal.

8) Mengetahuikomplikasi pada klien dengan trauma medulla spinal dan shock spinal.

9) Mengetahui prognosis pada klien dengan trauma medulla spinal dan shock spinal.

(5)

1.3 Manfaat

(6)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologis Medulla Spinalis

(7)

Pada potongan melintang medulla spinalis terdapat substansia grisea atau gray matter (abu-abu) dan substansi alba atau white matter (putih). Bagian central membentuk huruf H (Gray Matter) dan dikelilingi oleh white matter. 2 bagian medulla spinalis dipisahkan oleh septum medianus (dorsal/posterior) dan fissura medianus (ventral/anterior). Sulcus dorsolateral (posterior) adalah pintu masuk akar saraf posterior (sensorik) dan sulcus ventrolateral (anterolateral) adalah pintu keluar akar saraf ventral (motorik). 3 area white matter: funikulus posterior, funikulus lateralis, funikulus anterio.

a. Substansia grisea (gray matter)

1) Cornu Anterior (anterior horn cell/ AHC) berisi akar saraf motorik. 2) Cornu Intermediolateral terbatas pada regio thoracal dan upper lumbal. 3) Cornu Posterior (posterior horn cell/ PHC) berisi akar saraf sensorik 4) Canalis Centralis terletak di tengah substansia abu-abu,membagi

medulla spinalis menjadi 2 daerah commisura grisea anterior & posterior

b. Substansia alba (white matter)

1) Berisi serabut-serabut sensorik, motorik dan otonom 2) Terdiri dari tiga area funikulus, yaitu

a) Anterior (berisi fasikulus descending/motorik) b) Lateral (berisi fasikulus decsending & ascending) c) Posterior (berisi fasikulus ascending/sensorik)

(8)

Medulla spinalis melewati dua traktus dengan fungsi tertentu, yaitu traktus desenden dan asenden. Traktus desenden berfungsi membawa sensasi yang bersifat perintah yang akan berlanjut ke perifer. Sedangkan traktus asenden secara umum berfungsi untuk mengantarkan informasi aferen yang dapat atau tidak dapat mencapai kesadaran. Informasi ini dapat dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) informasi eksteroseptif, yang berasal dari luar tubuh, seperti rasa nyeri, suhu, dan raba, dan (2) informasi proprioseptif, yang berasal dari dalam tubuh, misalnya otot dan sendi (Akhyar, 2009)

Menurut Mahadewa & Maliawan (2009) medula spinalis diperdarahi oleh 2 susunan arteria yang mempunyai hubungan istimewa. Arteri - arteri spinal terdiri dari arteri spinalis anterior dan posterior serta arteri radikularis.

a. Arteri spinalis anterior dibentuk oleh cabang kanan dan dari segmen intrakranial kedua arteri vertebralis.

b. Arteri spinalis posterior kanan dan kiri juga berasal dari kedua arteri vertebralis.

(9)

Beberapa fungsi dari masing-masing sistem saraf adalah sebagai berikut:

Fungsi Otot Saraf

I. Pleksus servikalis C1 – C4 Fleksi, ekstensi, rotasi,

dan eksorotasi leher

Mm. koli profundi (M. sternokleidomastoideus, M.

Inspirasi Diafragma Saraf frenikus

C3–C5 II. Pleksus brakhialis C5-T1 Aduksi dan endorotasi

lengan,

Menurunkan bahu ke dorsoventral

M. pektoralis mayor dan minor

Saraf torakalis anterior

C5-T1

Fiksasi skapula selama mengangkat lengan

M. seratus anterior Saraf torakalis longus C5-C7

Elevasi dan aduksi skapula ke arah kolumna spinalis

Eksorotasi lengan pada sendi bahu

Endorotasi sendi bahu; aduksi dari ventral ke dorsal;

menurunkan lengan yang terangkat

(dari daerah dorsal pleksus)

Abduksi lengan ke garis horizontal Fleksi lengan atas dan

bawah dan supinasi

M. biseps brakhii Saraf

(10)

lengan bawah

Elevasi dan aduksi lengan

Fleksi dan deviasi radial tangan

Pronasi lengan bawah

Fleksi tangan

Fleksi jari II-V pada falangs tengah

Fleksi falangs distal ibu jari tangan

Fleksi falangs distal jari II dan III tangan

M. fleksor karpi radialis

M. pronator teres

M. palmaris longus

M. fleksor digitorum superfisialis

M. fleksor polisis longus

M. fleksor digitorum profundus (radial)

M. abduktor polisis brevis

M. fleksor polisis brevis

M. oponens polisis brevis

C7-T1

C7-T1

C6-C7 Fleksi falangs proksimal

dan ekstensi sendi lain

Fleksi falangs proksimal dan ekstensi sendi lain

Mm. lumbrikalis Jari II dan III tangan

Jari IV dan V tangan

Saraf medianus C8-T1

(11)

pembengkokan ke arah ulnar jari tangan

Fleksi falangs proksimal jari tangan IV dan V

Aduksi metakarpal I

Abduksi jari tangan V

Oposisi jari tangan V

Fleksi jari V pada sendi metakarpofalangeal

Pembengkokan falangs proksimal, meregangkan jari tangan III, IV, dan V pada sendi tangan dan distal seperti juga gerakan membuka dan menutup jari-jari

M. fleksor digitorum profundus (ulnar)

M. aduktor polisis

M. abduktus digiti V

M. oponens digiti V

M. fleksor digiti brevis V

Mm. interosei palmaris dan dorsalis

Mm. lumbrikalis III dan IV

C7-T1

Ekstensi siku dan abduksi radial tangan

Ekstensi falangs proksimal jari II-IV

M. biseps brakhii dan M. ankoneus

M. brakhioradialis

M. ekstensor karpi radialis

(12)

Ekstensi falangs proksimal jari V

Ekstensi dan deviasi ke arah ulnar dari tangan

Supinasi lengan bawah

Abduksi metakarpal I: ekstensi radial dari tangan

Ekstensi ibu jari tangan pada falangs proksimal

Ekstensi falangs distal ibu jari

Ekstensi falangs proksimal jari II

M. ekstensor digiti V

M. ekstensor karpi ulnaris

M. supinator

M. abduktor polisis longus

M. ekstensor polisis brevis

M. ekstensor polisis longus

M. ekstensor indisis proprius

C6-C8

Elevasi iga; ekspirasi; kompresi abdomen; anterofleksi dan laterofleksi tubuh.

Mm. toracis dan abdominalis N. toracis T1-L1

III.Pleksus lumbalis T12-L4 Fleksi dan endorotasi

pinggul

Fleksi dan endorotasi tungkai bawah

Ekstensi tungkai bawah

(13)

pada tungkai lutut Aduksi paha

Aduksi dan eksorotasi paha

IV. Pleksus sakralis L5-S1 Abduksi dan endorotasi

paha

Fleksi tungkai atas pada pinggul; abduksi dan endorotasi

Eksorotasi paha dan abduksi

M. gluteus medius dan minimus

M. tensor fasia lata

M. piriformis

Ekstensi paha pada pinggul, Fleksi tungkai bawah M. biseps femoris

M. semitendinosus Dorsifleksi dan supinasi

kaki

Ekstensi kaki dan jari-jari

M. tibialis anterior

M. ekstensor digitorum longus

Saraf peronealis profunda

(14)

kaki

Ekstensi jari kaki II-V

Ekstensi ibu jari kaki

Ekstensi ibu jari kaki

M. ekstensor digitorum brevis

M. ekstensor halusis longus

M. ekstensor halusis brevis

L4-S1

L4-S1

L4-S1

Pengangkatan dan pronasi bagian luar kaki

Mm. peronei Saraf peronealis superfisialis L5-S1 Fleksi plantar dan kaki

dalam supinasi,

Supinasi dan fleksi plantar dari kaki Fleksi falangs distal jari

kaki II-V (plantar fleksi kaki dalam supinasi)

Fleksi falangs distal ibu jari kaki

Fleksi jari kaki II-V pada falangs tengah

Melebarkan, menutup, dan fleksi falangs proksimal jari-jari kaki

M. fleksor digitorum longus

M. fleksor halusis longus

M. fleksor digitorum brevis

Menutup sfingter kandung kemih dan rectum

Otot-otot perinealis dan sfingter

Saraf pudendalis S2-S4

2.2 Trauma Medulla Spinalis

(15)

Trauma medula spinalis merupakan keadaan patologi akut pada medula spinalis yang di akibatkan terputusnya komunikasi sensori dan motorik dengan susunan saraf pusat dan saraf parifer. Tingkat kerusakan pada medula spinalis tergantung dari keadaan atau inkomplet (Tarwato, 2007).

Trauma medulla spinalis merupakan kerusakan pada medulla spinalis yang disebabkan oleh trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis. Gangguan-gangguan yang terjadi akibat trauma medulla spinalis berupa gangguan fungsi-fungsi utama dari medulla spinalis, yaitu fungsi motorik, sensorik, autonom, dan reflek. Gangguan fungsi-fungsi utama medulla spinalis dapat terjadi komplet atau parsial (Jasajurnal, 2017).

Trauma medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medula spinalis (Brunner & Suddaerth, 2008). Trauma medula spinalis dapat bervariasi dari trauma ekstensi fiksasi ringan yang terjadi akibat benturan secara mendadak sampai yang menyebabkan transeksi lengkap dari medula spinalis dengan quadriplegia (Fransiska B. Batticaca, 2008).

Pada trauma medula spinalis timbul perlukaan pada sumsum tulang belakang yang mengakibatkan perubahan, baik sementara atau permanen, perubahan fungsi motorik, sensorik, atau otonom. Pasien dengan cedera tulang belakang biasanya memiliki defisit neurologis permanen dan sering mengalami kecacatan (Lawrence, 2014).

Trauma medula spinalis bisa meliputi fraktur, kontusio, dan kompresi kolumna vertebra yang biasa terjadi karena trauma pada kepala atau leher. Kerusakan dapat mengenai seluruh medula spinalis atau terbatas pada salah satu belahan dan bisa terjadi pada setiap level (Kowalak, 2011).

Jadi, trauma medulla spinalis adalah kerusakan fungsi neurologis akibat trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sensorik, motorik, autonomi dan reflek.

2.2.2 Klasifikasi Trauma Medulla Spinalis

(16)

1. Cedera tulang

a. Stabil, bila kemapuan fragmen tulang tidak mempengaruhi kemapuan tulang untuk bergeser lebih jauh selain yang terjadi saat cedera. Komponen arkus neural intak serta ligamen yang menghubungkan ruas tulang belakang, terutama ligamen longitudinal posterior tidak robek. b. Tidak Stabil, kondisi trauma menyebabkan adanya pergeseran tulang

yang terlalu jauh sehingga cukup mapu untuk merobek ligamen longitudinal posterior serta merusak keutuhan arkus neural.

2. Cedera neurologis

a. Tanpa defisit neurologis b. Disertai defisit neurologis

American Spinal Injury Association (ASIA) bekerjasama dengan Internasional Medical Society Of Paraplegia (IMSOP) telah mengembangkan dan mempublikasikan standart Internasional untuk klasifikasi fungsional dan neurologis cedera medula spinalis. Klasifikasi berdasarkan pada Frankel pada tahun 1969. Klasifikasi ASIA/IMSOP dipakai dibanyak negara karena sistem tersebut dipandang akurat dan komperhensif. Skala kerusakan menurut ASIA/IMSOP adalah sebagai berikut:

1. FRANKEL SCORE A: kehilangan fungsi motorik dan sensorik lengkap (complete loss).

2. FRANKEL SCORE B: fungsi motorik hilang, fungsi sensorik utuh.

3. FRANKEL SCORE C: fungsi motorik ada tetapi secara praktis tidak berguna (dapat menggerakkan tungkai tetapi tidak dapat berjalan).

4. FRANKEL SCORE D: fungsi motorik terganggu (dapat berjalan tetapi tidak dengan nomal "gait").

5. FRANKEL SCORE E: tidak terdapat gangguan neurologik.

(17)

Nama Sindroma

Pola dari Lesi saraf Kerusakan

Central Cord syndrome

Cedera pada posisi central dan sebagian daerah lateral.

Sering terjadi pada trauma daerah servikal

Menyebar ke daerah sacral.

Kelemahan otot ekstremitas atas lebih berat dari ekstermitas bawah.

Anterior Cord Syndrome

Cedera pada sisi anterior dan posterior dari medula spinalis.

Cedera akan menghasilkan gangguan medula spinalis unilateral

Kehilangan perioperatif dan kehilangan fungsi motorik secara ipsilateral

Brown Sequard Syndrome

Kerusakan pada anterior dari daerah putih dan abu-abu medula spinalis.

Kehilangan fungsi motorik dan sensorik secara komplit.

Cauda Equina Syndrome

Kerusakan pada posterior dari daerah putih dan abu-abu medula spinalis

Kerusakan proprioseptif diskriminasi dan getaran.

Fungsi motorik juga terganggu Posterior Cord

Syndrome

Kerusakan pada saraf lumbal atau sacral sampai ujung medulla spinalis

Kerusakan sensori dan lumpuh flaccid pada ekstremitas bawah dan kontrol berkemih dan defekasi

Cedera medulla spinalis dapat diklasifikasikan sebagai berikut: 1. Complete injury

Complete injury atau cedera penuh mengakibatkan hilangnya fungsi sensorik dan motorik secara total dibawah level cedera. Terlepas dari mekanisme cedera, jenis cedera secara penuh ini bisa berupa diseksi atau robekan lengkap pada sumsum tulang belakang yang menghasilkan dua kondisi:

(18)

Cedera terjadi pada level C1 sampai dengan T1. Fungsi otot residual tergantung pada segmen servikal yang terpengaruh.

b. Paraplegia

Dikatakan paraplegia apabila terdapat kerusakan ataupun hilangnya fungsi sensorik dan motoric pada segmen thorakal, lumbar ataupun sacral (Kirshblum dkk, 2011).

Gambar. Klasifikasi Trauma Medula Spinalis

2. Incomplete injury

Apabila masih terdapat fungsi sensorik dan motorik yang masih dalam keadaan baik dibawah tingkat neurologis, termasuk pada segmen sacral S4-S5 (Kirshblum dkk, 2011).

Pola karakteristik cedera neurologis tertentu sering ditemukan pada pasien dengan cedera medulla spinalis. Pola-pola ini harus dikenali sehingga tidak membingungkan pemeriksa. Berdasarkan sindrom medulla spinalis, trauma medulla spinalis dikelompokkan sebagai berikut:

(19)

Kondisi ini menyebabkan semua traktus di medulla spinalis terputus menyebabkan semua fungsi yang melibatkan medulla spinalis di bawah level terjadinya transection semua terganggu dan terjadi kerusakan permanen.

Secara klinis menyebabkan kehilangan kemampuan motorik berupa tetraplegia pada transeksi cervical dan paraplegia jika terjadi pada level thorakal. Terjadi flaksid otot, hilangnya refleks dan fungsi sensoris dibawah level trabsseksi. Kandung kemih dan susu atoni sehingga menyebabkan ileus paralitik. Kehilangan tonus vasomotor area tubuh dibawah lesi menyebabkan tekanan darah rendah dan tidak stabil. Kehilangan kemampuan perspirasi menyebabkan kulit kering dan pucat, juga terjadi gangguan pernapasan.

(20)
(21)

b. Incomplete transaction : Central cord syndrome

Sindrom ini ditandai dengan hilangnya kekuatan motorik lebih banyak pada ekstremitas atas dibandingkan dengan ekstremitas bawah, dengan kehilangan sensorik yang bervariasi. Biasanya sindrom ini terjadi setelah adanya trauma hiperekstensi pada pasien yang telah mengalami kanalis stenosis servikal sebelumnya. Dari anamnesis didapatkanadanya riwayat jatuh kedepan dengan dampak pada daerah wajah. Dapat terjadi dengan atau tanpa fraktur tulang servikal atau dislokasi.

Gambar. Central cord syndrome.

(22)

pusat cedera paling sering adalah setinggi VC4-VC5 dengan kerusakan paling hebat di medulla spinalis C6 dengan lesi LMN.

c. Incomplete transection : Anterior Cord Syndrome

Sindrom ini ditandai dengan paraplegi dan kehilangan sensorik disosiasi dengan hilangnya sensasi nyeri dan suhu. Fungsi kolumna posterior (posisi, vibrasi, dan tekanan dalam) tetap bertahan. Biasanya anterior cord syndrome disebabkan infark pada daerah medulla spinalis yang diperdarahi oleh arteri spinalis anterior. Prognosis sindrom ini paling buruk dibandingkan cedera inklomplit lainnya. Kehilangan sensasi nyeri dan suhu pada level dibawah lesi tetapi sensoris terhadap raba, tekanan, posisi, dan getaran tetap baik

Gambar. Central cord syndrome.

d. Brown Sequard Syndrome

(23)

(traktus spinothalamikus). Walaupun sindrom ini disebabkan trauma tembus langsung ke medulla spinalis, biasanya masih mungkin untuk terjadi perbaikan. Kondisi ini terjadi parese ipsilateral di bawah level lesi disertai kehilangan fungsi sensoris sentuhan, tekanan, getaran dan posisi. Terjadi gangguan kehilangan sensoris nyeri dan suhu kontralatetal.

Gambar. Brown sequard syndrome.

2.2.3 Etiologi Trauma Medulla Spinalis

Trauma Medula Spinalis bisa disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya adalah akibat trauma langsung yang mengenai tulang belakang dan melampaui batas kemampuan tulang belakang dala melindungi saraf-saraf yang ada di dalamnya. Trauma tersebut meliputi kecelakaan lalu lintas, kecelakaan industri, jatuh dari bangunan, pohon, luka tusuk, luka tembak dan terbentur benda keras (Muttaqin, 2008).

(24)

Terjadi ketika benturan fisik eksternal seperti yang diakibatkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh atau kekerasan, merusak medula spinalis. Cedera medula spinalis traumatic ditandai sebagai lesi traumatik pada medula spinalis dengan beragam defisit motorik dan sensorik atau paralisis.

2. Cedera medula spinalis non traumatik

Terjadi ketika kondisi kesehatan seperti penyakit, infeksi atau tumor mengakibatkan kerusakan pada medula spinalis, atau kerusakan yang terjadi pada medula spinalis yang bukan disebabkan oleh gaya fisik eksternal. Faktor penyebab dari cedera medula spinalis mencakup penyakit motor neuron, myelopati spondilotik, penyakit infeksius dan inflamatori, penyakit neoplastik, penyakit vaskuler, kondisi toksik dan metabolik dan gangguan kongenital dan perkembangan.

Sedangkan menurut Baticaca, 2008 penyebab terjadinya trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:

1. Kecelakaan di jalan raya (penyebab paling sering) 2. Olahraga

3. Menyelam pada air dangkal 4. Luka tembak atau luka tikam

Gangguan lain yang dapat menyebabkan cedera medula spinalis seperti spondiliosis servikal dengan mielopati, yang menghasilkan saluran sempit yang mengakibatkan cedera progresif terhadap medula spinalis dan akar; mielitis akibat inflamasi infeksi maupun non-infeksi; osteoporosis yang disebabkan oleh fraktur kompresi pada vertebra; siringmielia; tumor infiltrasi maupun kompresi; dan penyakit vaskuler.

Faktor Resiko Trauma Medula Spinalis

Menurut Aryani (2008) dan Tarwoto (2007) faktor resiko yang menyebabkan terjadinya trauma medula spinalis adalah sebagai berikut:

(25)

Usia yang sudah memasuki masa lansia atau di atas 60 tahun akan cenderung mengalami proses penuaan, sehingga fungsi tulangnya juga menurun, hal ini dapat mengakibatkan trauma patologis pada medula spinalis.

2. Jenis Kelamin

Laki-laki lebih cenderung banyak yang terkena trauma medula spinalis karena faktor pekerjaan dan gaya hidup.

3. Alkohol

Alkohol dapat mengurangi kepadatan tulang dan mengakibatkan peningkatan fraktur, atau gangguan tulang lainnya yang akhirnya menyebabkan tulang belakang rentang terhadap trauma pada medula spinalis.

4. Merokok

Pada orang yang merokok proses pengeropoasan tulang tulang lebih cepat, dan tingkat fraktur vertebra pinggul dan lebih tinggi, di antara orang-orang yang merokok. Tembakau, nikotin, dan bahan kimia lain yang ditemukan dalam rokok mungkin langsung beracun ke tulang, atau mereka menghalangi penyerapan kalsium dan lain gizi yang diperlukan untuk kesehatan tulang. Sehingga tulang belakang juga sangat rentan terkena penyakit dan mudah terjadi trauma ketika mendapat benturan atau kecelakaan.

5. Minum Obat saat Berkendara

Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab utama cedera tulang belakang untuk orang dewasa, sementara jatuh adalah penyebab paling tinggi cedera pada orang dewasa yang sudah tua. Dengan meminum obat obatan dengan efek samping mengantuk, maka kesadaran seseorang akan menurun dan akan mengganggu konsentrasi dalam berkendara.

6. Penyakit Osteomyelitis dan Spondilitis TB

(26)

akan menyebabkan kolaps vertebra dan kompresi medula spinalis. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya cedera pada tulang belakang.

2.2.4 Patofisiologi Trauma Medulla Spinalis

Kerusakan yang dialami medula spinalis dapat bersifat sementara atau menetap akibat trauma terhadap tulang belakang. Medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medula spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa edema, perdarahan perivaskuler dan infark di sekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medula spinalis yang menetap, secara makroskopis, kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, kontusio, laserasi dan pembengkakan daerah tertentu di medula spinalis.

Segera setelah terjadi kontusio atau robekan akibat cedera, serabut-serabut saraf mulai membengkak dan hancur. Sirkulasi darah ke substansi grisea medulla spinalis menjadi terganggu. Tidak hanya hal ini saja yang terjadi pada cedera pembuluh darah medula spinalis, tetapi proses patogenik dianggap menyebabkan kerusakan yang terjadi pada cedera medula spinalis akut. Suatu rantai sekunder kejadian-kejadian yang menimbulkan iskemia, hipoksia, edema, dan lesi-lesi hemoragi, yang pada gilirannya mengakibatkan kerusakan mielin dan akson. Reaksi sekunder ini, diyakini menjadi penyebab prinsip degenerasi medula spinalis pada tingkat cedera, sekarang dianggap reversibel 4 sampai 6 jam setelah cedera. Untuk itu jika kerusakan medula tidak dapat diperbaiki, maka beberapa metode mengawali pengobatan dengan menggunakan kortikosteroid dan obat-obat anti-inflamasi lainnya yang dibutuhkan untuk mencegah kerusakan sebagian dari perkembangannya,masuk kedalam kerusakan total dan menetap.

2.2.5 Manifestasi Klinis Trauma Medulla Spinalis

(27)

Hilangnya gerakan volunter, hilangnya sensasi nyeri, temperature, tekanan dan prospriosepsi, hilangnya fungsi bowel dan bladder dan hilangnya fungsi spinal dan reflex autonom. Batas cedera medulla spinalis, tanda dan gejala :

Tabel Manifestasi klinis sesaui radiks yang mengalami gangguan Level

(28)
(29)

L4-S2: fleksi

Sumber: Patricia G. Morton. Keperawatan Kritis Vol. 2 Hal 1089-1093 Lokasi Fungsi Motorik dan Sensorik

Funsi Motorik Funsi Sensorik

Lokasi Fungsi Lokasi Area Sensasi

C1-C6 Fleksor Leher C5 Deltoid

C1-T1 Ekstensor Leher C6 Ibu jari

C3-C5 Diafragma C7 Jari tengah

C5 Fleksor Siku C8 Jari-jari

C6 Ekstensor pergelangan tangan T4 Batas putting susu

C7 Ekstensor siku T10 Umbilikus

C8 Fleksi pergelangan tangan L5 Empu kaki T1-T6 Interkosta otot dada S1 Little toe

T7-L1 Otot abdomen S2-S5 Perineum

L1-L4 Fleksi pinggul

L2-L4 Adduksi pinggul ekstensi lutu L4-S1 Abduksi pinggul dimana pasien terjadi ketidakmampuan melakukan pergerakan.

(30)

Tanda dan gejala spinal shock meliputi flaccid paralisis dibawah garis kerusakan, hilangnya sensasi, hilangnya refleks-refleks spinal, hilangnya tonus vasomotor yang mengakibatkan tidak stabilnya tekanan darah, tidak adanya keringat dibawah garis kerusakan dan inkontinensia urin dan retensi feses.

d. Autonomic dysreflexia

Autonomic dysreflexia terjadi pada cidera thorakal enam ke atas, dimana pasien mengalami gangguan refleks autonom seperti terjadinya bradikardi, hipertensi paroksimal, distensi bladder.

e. Gangguan fungsi seksual

Banyak kasus memperlihatkan pada laki-laki adanya impotensi, menurunnya sensasi dan kesulitan ejakulasi. Pasien dapat ereksi tetapi tidak dapat ejakulasi.

2.2.6 Pemeriksaan Diagnostik Trauma Medulla Spinalis

1. Pemeriksaan neurologis lengkap secara teliti segera setelah pasien tiba di rumah sakit

2. Pemeriksaan tulang belakang: deformasi, pembengkakan, nyeri tekan, gangguan gerakan(terutama leher)

3. Pemerikaan radiologis: foto polos vertebra AP dan lateral. Pada servikal diperlukan proyeksi khusus mulut terbuka (odontoid).

a. Sinar X spinal

Menentukan lokasi dan jenis Trauma tulan (fraktur, dislokasi), untuk kesejajaran, reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi.

b. Foto rontgen thorak, memperlihatkan keadan paru (contoh: perubahan pada diafragma, atelektasis)

4. Bila hasil meragukan lakukan CT-Scan,bila terdapat defisit neurologi harus dilakukan MRI atau mielografi.

a. CT-Scan

Menentukan tempat luka / jejas, mengevaluasi ganggaun struktural c. MRI

(31)

d. Mielografi

Untuk memperlihatkan kolumna spinalis (kanal vertebral) jika faktor putologisnya tidak jelas atau dicurigai adannya dilusi pada ruang sub anakhnoid medulla spinalis (biasanya tidak akan dilakukan setelah mengalami luka penetrasi).

5. Pemeriksaan fungsi paru (kapasitas vital, volume tidal): mengukur volume inspirasi maksimal khususnya pada pasien dengan trauma servikat bagian bawah atau pada trauma torakal dengan gangguan pada saraf frenikus /otot interkostal).

6. GDA: Menunjukan kefektifan penukaran gas atau upaya ventilasi

7. Serum kimia, adanya hiperglikemia atau hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, kemungkinan menurunnya Hb dan Hmt. 8. Urodinamik, proses pengosongan bladder.

2.2.7 Penatalaksanaan Trauma Medulla Spinalis

Prinsip penatalaksanaan medik trauma medula spinalis adalah sebagai berikut: 1. Segera dilakukan imobilisasi.

2. Stabilisasi daerah tulang yang mengalami cedera seperti dilakukan pemasangan collar servical, atau dengan menggunakan bantalan pasir.

3. Mencegah progresivitas gangguan medula spinalis misalnya dengan pemberian oksigen, cairan intravena, pemasangan NGT.

4. Terapi pengobatan:

a. Kortikosteroid seperti dexametason untuk mengontrol edema.

b. Antihipertensi seperti diazolxide untuk mengontrol tekanan darah akibat autonomic hiperrefleksia akut.

c. Kolinergik seperti bethanechol chloride untuk menurunkan aktifitas bladder.

d. Anti depresan seperti imipramine hyidro chklorida untuk meningkatkan tonus leher bradder.

e. Antihistamin untuk menstimulus beta – reseptor dari bladder dan uretra. f. Agen antiulcer seperti ranitidine

(32)

5. Tindakan operasi, di lakukan dengan indikasi tertentu seperti adanya fraktur dengan fragmen yang menekan lengkung saraf.

(33)

Algoritma Medula Spinal

(34)

2.2.8 Komplikasi Medulla Spinalis

Komplikasi yang dapat terjadi pasca cedera medula spinalis antara lain yaitu instabilitas dan deformitas tulang vertebra, fraktur patologis, syringomyelia pasca trauma, nyeri dan gangguan fungsi seksual. Komplikasi lain yang bisa terjadi yaitu:

1. Neurogenik shock 2. Hipoksia

3. Instabilitas spinal 4. Ileus paralitik

5. Infeksi saluran kemih 6. Kontraktur

7. Dekubitus 8. Konstipasi

2.2.9 Prognosis Trauma Medulla Spinalis

Sebuah penelitian Gaus, Syafruddin, dkk membuktikan bahwa kurang dari 5% pasien dengan cedera medulla spinalis yang komplit dapat sembuh. Jika paralisis komplit bertahan sampai 72 jam setelah cedera, kemungkinan pulih adalah 0%. Prognosis lebih baik pada cedera medulla spinalis yang tidak komplit. Jika masih terdapat beberapa fungsi sensorik, peluang untuk bisa berjalan kembali adalah lebih dari 50%. Sembilan puluh persen pasien cedera medulla spinalis dapat kembali ke rumah dan mandiri.

Perbaikan fungsi motorik, sensorik dan otonom dapat kembali dalam 1 minggu sampai 6 bulan pasca cedera. Kemungkinan pemulihan spontan menurun setelah 6 bulan. Bila terjadi pergerakan penderita pada cedera yang tidak stabil maka akan mempengaruhi medulla spinalis sehingga memperberat kerusakan.1,5,16 Ditinjau dari cedera medulla spinalisnya, prognosis pasien ini adalah baik, karena terjadi cedera yang inkomplit.

2.2.10 Pencegahan Trauma Medulla Spinalis

(35)

primeruntuk mencegah kerusakan dan bencana cedera ini, langkah – langkah berikut perlu dilakukan:

1. Menurunkan kecepatan berkendara. 2. Menggunakan sabuk pengaman.

3. Menggunakan helm untuk pengendara motor dan sepeda. 4. Mencegah jatuh.

5. Menggunakan alat – alat pelindung dan teknik latihan.

2.3Syok Spinal

2.3.1 Definisi Syok Spinal

Spinal Shock (syok spinal) merupakan kehilangan aktifitas otonom, refleks, motorik, dan sensorik pada daerah di bawah tingkat terjadinya cedera medula spinalis. Syok Spinal terjadi sekunder akibat kerusakan pada medula spinalis (Kowalak, 2011).

Spinal shock/syok pada medula spinalis adalah keadaan disorganisasi fungsi medula spinalis yang fisiologis dan berlangsung untuk sementara waktu, keadaan ini timbul segera setelah cedera dan berlangsung dari beberapa jam hingga beberapa minggu. Syok spinal juga diketahui sebagai syok neurogenik adalah akibat dari kehilangan tonus vasomotor yang mengakibatkan dilatasi vena dan arteriol umum. Syok ini menimbulkan hipotensi, dengan penumpukan darah pada pembuluh penyimpan atau penampung dan kapiler organ splanknik. Tonus vasomotor dikendalikan dan dimediasi oleh pusat vasomotor di medulla dan serat simpatis yang meluas ke medulla spinalis sampai pembuluh darah perifer secara berurutan. Karenanya kondisi apapun yang menekan fungsi medulla atau integritas medulla spinalis serta persarafan dapat mencetuskan syok neurogenik/syok spinal (Tambayong, 2000).

(36)

2.3.2 Etiologi Syok Spinal

Neurogenik syok disebabkan oleh beberapa faktor yang menganggu CNS. Masalah ini terjadi akibat transmisi impuls yang terhambat dan hambatan hantaran simpatik dari pusat vasomotor pada otak. Dan penyebab utamanya adalah SCI . Syok neurogenik keliru disebut juga dengan syok tulang belakang. kondisi berikutnya mengacu pada hilangnya aktivitas neurologis dibawah tingkat cedera tulang belakang, tetapi tidak melibatkan perfusi jaringan tidak efektif.

Tipe syok ini bisa disebabkan oleh banyak faktor yang menstimulasi parasimpatik atau menghambat stimulasi simpatik dari otot vaskular. Trauma pada syaraf spinal atau medulla dan kondisi yang mengganggu suplai oksigen atau gulokosa ke medulla menyebabkan syok neorogenik akibat gangguan aktivitas simpatik. Obat penenang, anestesi, dan stres hebat beserta nyeri juga merupakan penyebab lainnya.

2.3.3 Patofisiologi Syok Spinal

(37)

Syok spinal adalah kombinasi dari arefleksia / hiporefleksia dan disfungsi otonom yang menyertai cedera tulang belakang. Hiporefleksia diawali dengan hilangnya refleks cutaneus dan reflek tendon dalam (deep tendon reflexes) disertai dengan hilangnya aliran simpatis, mengakibatkan hipotensi dan bradikardia. Refleks umumnya kembali dalam pola tertentu, dengan refleks cutaneus umumnya kembali sebelum refleks tendon dalam (Silver,2000).

Ko et AL telah dijelaskan pola tertentu kembalinya refleks dan yang pertama kembali adalah Delayed Plantar Reflex (DPR), diikuti oleh bulbocavernosis (BC) dan cremasteric reflex (CR), dan akhirnya reflek pergelangan kaki dan lutut (AJ, KJ). Bulbocavernosous reflex (BCR) diperiksa untuk menentukan akhir dari syok spinal. Menarik pada kateter Foley juga dapat menimbulkan Bulbocavernosous reflex (BCR) (Ko et Al,2000). Hal ini biasanya kembali 1 sampai 3 hari setelah cedera. Terdapat 4 fase shok spinal yaitu:

1. Fase I: areflexia/hyporeflexia (0–1 hari)

(38)

perubahan metabolik dan struktural dapat berkontribusi untuk awal hiporefleksia, ini mungkin bukan penyebab utama.

2. Fase 2 initial reflex return (1–3 hari)

Fase ini syok spinal berlangsung selama 1-3 hari postinjury. Refleks cutaneous (BC, AW, dan cremasteric) menjadi lebih kuat selama periode ini. Biasanya, DTR masih tidak ada. Pada fase ini akan terjadi mekanisme denervasi supersensitivity yang meliputi: (1) mengurangi rangsang neurotransmitter reuptake, (2) peningkatan sintesis dan masuknya reseptor dalam membran postsinaps (3) menurunkan pelepasan danpenurunan reseptor, dan (4) mengubah sintesis dan komposisi subunit reseptor.

3. Fase 3 early hyper-reflexia (4 hari-1 bulan)

Kebanyakan DTR pertama muncul kembali selama periode ini. AJ biasanya kembali lebih dulu daripada KJ dan tanda Babinski. Refleks cutaneous (BC, AW, dan CM) biasanya muncul pada akhir periode ini. Meskipun pada umumnya, waktu pengembalian refleks bervariasi bahkan setelah SCI complete karena perbedaan rangsangan refleks antara subyek. Fungsi otonom terus berkembang dengan membaiknya saraf vagus dimediasi bradiaritmia dan hipotensi. Disrefleksia otonom dapat mulai muncul. Hal ini biasanya disebabkan oleh viskus membesar (misalnya, kandung kemih atau usus) bertindak sebagai stimulus menyebabkan aliran simpatis masif di bawah zona cedera, yang tidak diatur oleh Input supraspinal.

4. Fase 4 spasticity/hyper-reflexia (1–12 bulan)

(39)

Tabel Mekanisme 4 Fase Syok Spinal (Ditunno et al., 2004) 2.3.4 Manifestasi Klinis Syok Spinal

Hilangnya sensasi,control motorik, dan reflek dibawah cedera. Suhu didalam tubuh akan menggambarkan suhu yang ada di lingkungan, kemudian tekanan darah akan menurun. Sedangkan frekuensi denyut nadi sering normal akan tetapi tetap disertai tekanan darah yang selalu rendah (Corwin, 2009).

2.3.5 Penatalaksanaan Syok Spinal

Penatalaksanaan yang dapat diberikan pada pasien dengan kondisi shock spinal adalah sebagai berikut:

1. Imobilisasi pasien untuk mencegah semakin beratnya cedera medulla spinalis atau kerusakan tambahan

2. Kolaborasi tindakan pembedahan untuk mengurangi tekanan pada medulla spinalis akibat terjadinya trauma yang dapat mengurangi disabilitas jangka panjang.

3. Pemberian steroid dosis tinggi secara cepat (satu jam pertama) untuk mengurangi pembengkakan dan inflamasi medulla spinalis serta mengurangi luas kerusakan permanen.

4. Fiksasi kolumna vertebralis melalui tindakan pembedahan untuk mempercepat dan mendukung proses pemulihan.

(40)

6. Penyuluhan dan konseling mengenai komplikasi jangka panjang seperti komplikasi pada kulit, system reproduksi, dan system perkemihan dengan melibatkan anggota keluarga (Corwin, 2009).

Sedangkan menurut Batticaca dan Fransisca B (2008) penatalaksanaan syok spinal yaitu :

1. Lakukan kompresi manual untuk mengosongkan kandung kemih secara teratur agarmencegah terjadinya inkontinensia overfloe dan dribbling. 2. Lakukan pengosongan rectum dengan cara tambahkan diet tinggi serat,

laksatif, supposutoria, enema untuk BAB atau pengosomngan secara teratur tanta terjai inkontinensia.

Menurut Baughman (2000) penatalaksanaan yang diberikan pada pasien yang mengalami shock spinal adalah:

1. Gunakan dekompresi intestinal untuk mengatasi distensi usus dan paralitik ileus yang disebabkan oleh depresi refleks.

2. Berikan pengamatan ketat pada pasien yang tidak berkeringan pada bagian tubuh yang mengalami paralisis dan untuk deteksi dini awitan demam mendadak

3. Sanggah dan pertahankan ketahanan tubuh sampai syok spinal menghilang dan sistem telah pulih akibat serangan traumatik (3-6 minggu)

4. Berikan perhatian khusus pada sistem pernapasan (kemungkinan tekanan intratorakal tidak mencukupi untuk menghasilkan batuk secara efektif 5. Berikan terapi fisik dada dan penghisapan untuk membantu membersihkan

sekresi pernapasan.

6. Pantau komplikasi pernapasan (gagal pernapasan, pneumonia)

7. Pantau terhadap hiperefleksia (ditandai dengan sakit kepala berdenyut, banyak berkeringat, hidung tersumbat, piloereksi atau bulu kuduk berdiri, bradikardia, hipertensi)

(41)

9. Amati terhadap trombosis vena dalam, yakni embolisme pulmonal. Gejala-gejalanya termasuk nyeri dada pleuritik, ansietas, sesak napas, dan nilai gas darah abnormal.

10. Berikan terapi antikoagulan dosis rendah untuk mencegah TVD dan EP 11. Gunakan stoking elastis setinggi paha atau alat kompresi pneumatik.

Pasien shock spinal harus dirawat di tempat ICU, karena banyak komplikasi diperkirakan timbul. Pengobatan metilprednison kontroversial dengan beberapa percobaan menunjukkan manfaat sederhana dan beberapa efek samping lainnya menunjukkan efek samping yang lebih negatif daripada manfaat. Sebaiknya, jika pasien muda dan tidak memiliki banyak penyakit mendasar yang dapat diperburuk dengan penggunaan steroid, percobaan singkat methylprednisone harus dimulai dimulai dengan dosis pemuatan 30 mg / kg diikuti dengan dosis pemeliharaan 5 mg / kg / jam untuk 24 jam ke depan. Syok neurogenik biasanya terjadi dengan lesi di atas tingkat T6. Tetes norepinephrine dan penggunaan atropin yang sesuai untuk bradikardia harus menjadi bagian dari pengobatan awal. Akhirnya, dalam beberapa hari hipotensi membaik, dan infus intravena (IV) harus sedikit diturunkan. Dengan cedera serviks tinggi, fungsi diafragma akan terganggu, dan pasien ini akan memerlukan trakeotomi dini karena mereka akan tergantung pada ventilator. Trombosis vena dalam sangat tinggi pada pasien ini. Profilaksis harus dimulai sesegera mungkin dalam beberapa hari setelah cedera. Manajemen jangka panjang pasien cedera syaraf tulang belakang selalu membutuhkan penanganan tim multidisipliner antara berbagai layanan. Sekitar 60% pasien ini akan memerlukan stabilisasi tulang belakang dengan intervensi bedah, dan ahli bedah saraf atau ahli ortopedi harus dikonsultasikan lebih awal. Terakhir, mempertahankan tidak mengembangkan tukak tekanan (Ziu & Fasil, 2017).

(42)

2.3.6 Komplikasi Syok Spinal

1. Henti nafas karena kompresi saraf frenikus diantara C3 dan C5 akibat kerusakan dan pembengkakan pada area cedera.

2. Hiperrefleksia otonom ditandai dengan tekanan darah yang tinggi disertai bradikardi, serta berkeringat dan kemerahan pada kulit wajah.

3. Cedera yang lebih berat akan mempengaruhi system tubuh, hal ini dapat mengakibatkan terjadinya infeksi pada ginjal dan saluran kemih, kerusakan kulit hingga terjadi dekubitus, danterjadi atrofi pada otot.

(43)

BAB 3 PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Trauma Medulla Spinalis adalah kerusakan fungsi neurologis akibat trauma langsung atau tidak langsung pada medulla spinalis sehingga mengakibatkan gangguan fungsi sensorik, motorik, autonomi dan reflek. Sedangkan syok spinal adalah kerusakan medulla spinalis sekunder yang menyebabkan kehilangan aktifitas otonom, reflex, motoric, dan sensorik pada daerah di bawah tingkat terjadinya medulla spinalis.

Baik trauma medulla spinal dan syok spinal keduanya membutuhkan penanganan yang tepat. Perawat mempunyai peran penting dalam tindakan promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif dalam kasus trauma medulla spinalis dan syok spinal.

3.2 Saran

(44)

DAFTAR PUSTAKA

Doengoes, M. E. 1999.Rencana Asuham Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta : EGC

Baughman, Diane C. 2000. Keperawatan Medikal-Bedah: Buku Saku Untuk Brunner dan Suddarth. Jakarta: EGC.

Tambayong, J. 2000. Patofisiologi untuk keperawatan. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Tarwoto, dkk. 2007. Keperawatan Medikal Bedah Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta : Sagung Seto.

Batticaca, B Fransisca. 2008. Asuhan Keperawatan Pasien dengan Gangguan Sistem Persyarafan. Jakarta: Salemba Medika.

Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan dengan Gangguan Sistem Persarafan. Jakarta: Salemba Medika

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.Brunner & Suddath. 2001. Keperawatan Medikal Bedah edisi 8 volume 2. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran.

Akhyar, Yayan. 2009. Traktus Spinotalamikus: Files of DrsMed FK UNRI, (Online) http://www.yayanakhyar.co.nr diakses tanggal 24 Februari 2018

Kowalak, Jennifer P. 2011. Buku Ajar Patofisiologi. Jakarta : EGC.

(45)

Tidy, C. 2014. Spinal Cord Injury and Compression. EMIS Egton Medical Information System.

Lawrence S Chin, Robert B and Molly G King Endowed. 2014. Spinal Cord

Injuries. Medscape Medical News.(Online),

http://emedicine.medscape.com/article/793582, diakses tanggal 24 Februari 2018.

Jasajurnal. 2017. Diagnosis dan Tatalaksana Trauma Medulla Spinalis, (Online) http://www.jasajurnal.com/diagnosis-dan-tatalaksana-trauma-medulla-spinalis/, diakses tanggal 24 Februari 2018

(46)

Gambar

Gambar. Klasifikasi Trauma Medula Spinalis
Gambar Complete Transection
Gambar. Central cord syndrome.
Gambar. Central cord syndrome.
+4

Referensi

Dokumen terkait

Trauma extrensik yaitu akibat adanya fraktur atau ruptur ligamen sedangkan trauma intrisik berupa adanya perubahan metabolisme sendi yang pada akhirnya mengakibatkan tulang

Cidera medula spinalis adalah suatu kerusakan fungsi neurologis yang disebabkan oleh benturan pada daerah medulla spinalis (Brunner & Suddarth, 2001).. Cidera

Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan /menggeserkan ruas tulang

Tiap –tiap traktus terdapat satu pasang yang dapat mengalami kerusakan pada satu sisi atau kedua sisi medulla spinalis, traktus

Diagnosa: Inkontinensia urin total berhubungan dengan trauma atau penyakit yang mempengaruhi saraf medula spinalis. Intervensi: monitor eliminasi urin (frekuensi,

Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatik pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur

 <enatalaksanaan saat awal trauma pada cedera kepala selain dari factor mempertahankan fungsi $!C (airway, breathing, circulation dan menilai status

Pada C4-C7 dapat terjadi kerusakan tulang sehingga terjadi penjepitan medula spinalis oleh ligamentum flavum di posterior dan kompresi