• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARAPARESE INFERIOR LESI UMN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PARAPARESE INFERIOR LESI UMN"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

PARAPARESE INFERIOR LESI UMN

I. DEFINISI

Paraparese inferior lesi Upper Motor Neuron (UMN) adalah kelemahan kedua anggota gerak bawah yang disebabkan oleh gangguan pada proyeksi korteks ke V neuron korteks serebri yang mengatur gerakan volunter melalui jaras piramidal dan ekstrapiramidal.

II. KLASIFIKASI

Klasifikasi berdasarkan Onset : Paraparese inferior lesi tipe UMN :

- Akut :

Infeksi non spesifik (ex:myelitis transversa). Trauma (ex: kontusio, whisplash injury). Tumor (tu tumor ganas & metastasis) - Kronik :

Infeksi spesifik (TBc) Tumor (tu tumor jinak). Penyakit Degeneratif.

(2)

Anatomi medulla spinalis

Medulla spinalis adalah saraf yang tipis yang merupakan perpanjangan dari sistem saraf pusat dari otak dan melengkungi serta dilindungi oleh tulang belakang. Fungsi utama medulla spinalis adalah transmisi pemasukan rangsangan antara periferi dan otak.

Medulla Spinalis merupakan bagian dari Susunan Syaraf Pusat. Terbentang dari foramen magnum sampai dengan L1, di L1 melonjong dan agak melebar yang disebut conus terminalis atau conus medullaris. Terbentang dibawah cornu terminalis serabut-serabut bukan syaraf yang disebut filum terminale yang merupakan jaringan ikat. Terdapat 31 pasang syaraf spinal: 8 pasang syaraf servikal, 12 Pasang syaraf Torakal, 5 Pasang syaraf Lumbal, 5 Pasang syaraf Sacral dan 1 pasang syaraf coxigeal. Akar syaraf lumbal dan sacral terkumpul yang disebut dengan Cauda Equina. Setiap pasangan syaraf keluar melalui Intervertebral foramina. Syaraf Spinal dilindungi oleh tulang vertebra dan ligamen dan juga oleh meningen spinal dan CSF.

(3)

Struktur Internal terdapat substansi abu-abu dan substansi putih. Substansi Abu-abu membentuk seperti kupu-kupu dikelilingi bagian luarnya oleh substansi putih. Terbagi menjadi bagian kiri dan kanan oleh anterior median fissure dan median septum yang disebut dengan posterior median septum. Keluar dari medula spinalis merupakan akar ventral dan dorsal dari syaraf spinal. Substansi abu-abu mengandung badan sel dan dendrit dan neuron efferen, akson tak bermyelin, syaraf sensoris dan motoris dan akson terminal dari neuron. Substansi abu-abu membentuk seperti huruf H dan terdiri dari tiga bagian yaitu: anterior, posterior dan comissura abu-abu. Bagian Posterior sebagai input/afferent, anterior sebagai Output/efferent, comissura abu-abu untuk refleks silang dan substansi putih merupakan kumpulan serat syaraf bermyelin.

(4)

1 Spinal Nerve 2 Dorsal Root Ganglion

3 Dorsal Root (Sensory) 4 Ventral Root (Motor)

5 Central Canal 6 Grey Matter 7 White Matter

Peran medulla spinalis : 1. Pusat prosesing data 2. Jalur sensoris

(5)

Trauma medulla spinalis

Cedera medulla spinalis dapat terjadi bersamaan dengan trauma pada tulang belakang yaitu terjadinya fraktur pada tulang belakang, ligamentum longitudinalis posterior dan duramater bisa robek, bahkan dapat menusuk kekanalis vertebralis serta arteri dan vena-vena yang mengalirkan darah kemedula spinalis dapat ikut terputus .

Cedera medulla spinalis merupakan kelainan yang pada masa kini yang banyak memberikan tantangan karena perubahan dan pola trauma serta kemajuan dibidang penatalaksanaannya. Kalau dimasa lalu cedera tersebut lebih banyak disebabkan oleh jatuh dari ketinggian seperti pohon kelapa, pada masa kini penyebabnya lebih beraneka ragam seperti kecelakaan lalu lintas, jatuh dari tempat ketinggian dan kecelakaan olah raga.

Pada masa lalu kematian penderita dengan cedera sumsum tulang belakang terutama disebabkan oleh terjadinya penyulit berupa infeksi saluran kemih gagal ginjal, pneumoni atau decubitus.

Klasifikasi tingkat keparahannya. Berdasarkan Impairment Scale

Grade Tipe Gangguan medula spinalis ASIA

A Komplit Tidak ada fungsi motorik & sensorik sampai S4-S5

B Inkomplit F u n g s i s e n s o r i k m s h b a i k t a p i m o t o r i k t e r g a n g g u sampai segmen sakral S4-S5

C Inkomplit Fungsi motorik terganggu di bawah level tapi otot-otot motorik utama msh punya kekuatan < 3

D Inkomplit Fungsi motorik terganggu dibawah level , otot-otot motorik utama punya kekuatan > 3

E Normal F u n g s i m o t o r i k d a n s e n s o r i k n o r m a l

(6)

Karakteristik Lesi komplit Lesi inkomplit Motorik Menghilang dibawah lesi Sering (+)

Protopatik (nyeri, suhu) Menghilang dibawah lesi Sering (+) Proprioseptif (vibrasi, joint position) Menghilang dibawah lesi Sering (+)

Sacral sparing (-) (+)

Rontgen vertebra Sering dengan fraktur, luksasi, dan listhesis

Sering normal MRI Hemoragi (54%), kompresi (25%), kontusi (11%) Edema (62%), kontusi (26%), normal (15%)

I. Penyebab dan bentuk

Cedera medulla spinalis terjadi akibat patah tulang belakang dan terbanyak mengenai daerah servikal dan lumbal. Cedera terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompressi, atau rotasi tulang belakang. Didaerah torakal tidak banyak terjadi karena terlindung dengan struktur toraks.

Fraktur dapat berupa patah tulang sederhana, kompressi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan kerusakan pada sumsum tulang belakang dapat berupa memar, contusio, kerusakan melintang, laserasi dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, atau perdarahan.

Kelainan sekunder pada sumsum tulang belakang dapat disebabkan hipoksemia dan iskemia. Iskamia disebabkan hipotensi, oedema, atau kompressi.

Perlu disadarkan bahwa kerusakan pada sumsum belakang merupakan kerusakan yang permanen karena tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema.

(7)

Tulang belakang yang mengalami gangguan trauma dapat menyebabkan kerusakan pada medulla spinalis, tetapi lesi traumatic pada medulla spinalis tidak selalu terjadi karena fraktur dan dislokasi. Efek trauma yang tidak langsung bersangkutan tetapi dapat menimbulkan lesi pada medulla spinalis disebut “whiplash”/trauma indirek. Whiplash adalah gerakan dorsapleksi dan anterofleksi berlebihan dari tulang belakang secara cepat dan mendadak.

Trauma whiplash terjadi pada tulang belakang bagian servikalis bawah maupun torakalis bawah misal; pada waktu duduk dikendaraan yang sedang cepat berjalan kemudian berhenti secara mendadak. Atau pada waktu terjun dari jarak tinggi menyelam dan masuk air yang dapat mengakibatkan paraplegia.

Trauma tidak langsung dari tulang belakang berupa hiperekstensi, hiperfleksi, tekanan vertical (terutama pada T.12 sampai L.2), rotasi. Kerusakan yang dialami medulla spinalis dapat bersifat sementara atau menetap. Akibat trauma terhadap tulang belakang, medula spinalis dapat tidak berfungsi untuk sementara (komosio medulla spinalis), tetapi dapat sembuh kembali dalam beberapa hari. Gejala yang ditimbulkan adalah berupa oedema, perdarahan peri vaskuler dan infark disekitar pembuluh darah. Pada kerusakan medulla spinalis yang menetap, secara makroskopis kelainannya dapat terlihat dan terjadi lesi, contusio, laserasio dan pembengkakan daerah tertentu di medulla spinalis.

Laserasi medulla spinalis merupakan lesi berat akibat trauma tulang belakang secara langsung karena tertutup atau peluru yang dapat mematahkan/menggeserkan ruas tulang belakang (fraktur dan dislokasi). Lesi transversa medulla spinalis tergantung pada segmen yang terkena (segmen transversa, hemitransversa, kuadran transversa). Hematomielia adalah perdarahan dalam medulla spinalis yang berbentuk lonjong dan bertempat disubstansia grisea. Trauma ini bersifat “whiplash “ yaitu jatuh dari jarak tinggi dengan sifat badan berdiri, jatuh terduduk, terdampar eksplosi atau fraktur dislokasio. Kompresi medulla spinalis terjadi karena dislokasi, medulla spinalis dapat terjepit oleh penyempitan kanalis vertebralis.

(8)

Suatu segmen medulla spinalis dapat tertekan oleh hematoma ekstra meduler traumatic dan dapat juga tertekan oleh kepingan tulang yang patah yang terselip diantara duramater dan kolumna vertebralis. Gejala yang didapat sama dengan sindroma kompresi medulla spinalis akibat tumor, kista dan abses didalam kanalis vertebralis.

Akibat hiperekstensi dislokasio, fraktur dan whislap radiks saraf spinalis dapat tertarik dan mengalami jejas/reksis. Pada trauma whislap, radiks columna 5-7 dapat mengalami hal demikian, dan gejala yang terjadi adalah nyeri radikuler spontan yang bersifat hiperpatia, gambaran tersbut disebut hematorasis atau neuralgia radikularis traumatik yang reversible. Jika radiks terputus akibat trauma tulang belakang, maka gejala defisit sensorik dan motorik yang terlihat adalah radikuler dengan terputusnya arteri radikuler terutama radiks T.8 atau T.9 yang akan menimbulkan defisit sensorik motorik pada dermatoma dan miotoma yang bersangkutan dan sindroma sistema anastomosis anterial anterior spinal.

III. Gambaran Klinik

Gambaran klinik tergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi. Kerusakan meningitis lintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai shock spinal. Shock spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama 1-6 minggu, kadang lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flasid, anastesia, refleksi, hilangnya fersfirasi, gangguan fungsi rectum dan kandung kemih, triafismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah shock spinal pulih kembali, akan terdapat hiperrefleksi terlihat pula pada tanda gangguan fungsi otonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi.

Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik dibawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.

(9)

Cedera sumsum belakang sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnnya terjadi akibat cedera didaerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak sehinnga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul barang berat diatas kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban jatuh dsan tulang belakang sekonyong-konyong dihiperekstensi. Gambaran klinik berupa tetraparese parsial. Gangguan pada ekstremitas atas lebih ringan daripada ekstremitas atas sedangkan daerah perianal tidak terganggu.

Kerusaka tulang belakang setinggi vertebra lumbal 1&2 mengakibatkan anaestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi

IV. Diagnosis

Radiologik

Foto polos posisi antero-posterior dan lateral pada daerah yang diperkirakan mengalami trauma akan memperlihatkan adanya fraktur dan mungkin disertai dengan dislokasi. Pada trauma daerah servikal foto dengan posisi mulut terbuka dapat membantu dalam memeriksa adanya kemungkinan fraktur vertebra C1-C2. Pungsi Lumbal

Berguna pada fase akut trauma medula spinalis. Sedikit peningkatan tekanan likuor serebrospinalis dan adanya blokade pada tindakan Queckenstedt menggambarkan beratnya derajat edema medula spinalis, tetapi perlu diingat tindakan pungsi lumbal ini harus dilakukan dengan hati-hati, karena posisi fleksi tulang belakang dapat memperberat dislokasi yang telah terjadi. Dan antefleksi pada vertebra servikal harus dihindari bila diperkirakan terjadi trauma pada daerah vertebra servikalis tersebut.

(10)

Mielografi dianjurkan pada penderita yang telah sembuh dari trauma pada daerah lumbal, sebab sering terjadi herniasi diskus intervertebralis.

V. Penatalaksanaan

Pada umumnya pengobatan trauma medula spinalis adalah konservatif dan simptomatik. Manajemen yang paling utama untuk mempertahankan fungsi medula spinalis yang masih ada dan memperbaiki kondisi untuk penyembuhan jaringan medula spinalis yang mengalami trauma tersebut.

Prinsip tatalaksana dapat diringkas sebagai berikut :

* stabilisasi, imobilisasi medula spinalis dan penatalaksanaan hemodinamik dan atau gangguan otonom yang kritis pada cedera dalam fase akut, ketika penatalaksanaan gastrointestinal (contoh, ileus, konstipasi, ulkus), genitourinaria (contoh, infeksi traktus urinarius, hidronefrosis) dan sistem muskuloskletal (contoh, osteoporosis, fraktur).

* Jika merupakan suspek trauma, stabilisasi kepala dan leher secara manual atau dengan collar. Pindahkan pasien secara hati-hati.

* Terapi radiasi mungkin dibutuhkan pada penyakit dengan metastasis. Untuk tumor spinal yang menyebabkan efek massa gunakan deksametason dosis tinggi yaitu 10-100 mg intra vena dengan 6-10 mg intravena per 6 jam selama 24 jam.Dosis diturunkan dengan pemberian intravena atau oral setiap 1 sampai 3 minggu.

* Trauma medula spinalis segmen servikal dapat menyebabkan paralisis otot-otot interkostal. Oleh karena itu dapat terjadi gangguan pernapasan bahkan kadangkala apnea. Bila perlu dilakukan intubasi nasotrakeal bila pemberian oksigen saja tidak efektif membantu penderita. Pada trauma servikal, hilangnya kontrol vasomotor menyebabkan pengumpulan darah di pembuluh darah abdomen, anggota gerak bawah dan visera yang mengalami dilatasi, menyebabkan imbulnya hipotensi. * Pipa nasogastrik dipasang untuk mencegah distensi abdomen akibat dilatasi gaster akut. Bila tidak dilakukan dapat berakibat adanya vomitus lalu aspirasi dan akan memperberat pernapasan.

(11)

* Pada stadium awal dimana terjadi dilatasi gastrointestinal, diperlukan pemberian enema. Kemudian bila peristaltik timbul kembali dapat diberikan obat pelunak feses. Bila traktus gastrointestinal menjadi lebih aktif lagi enema dapat diganti dengan supositoria.

Operasi

Pada saat ini laminektomi dekompresi tidak dianjurkan kecuali pada kasus-kasus tertentu. Indikasi untuk dilakukan operasi :

1. reduksi terbuka dislokasi dengan atau tanpa disertai fraktur pada daerah servikal, bilamana traksi dan manipulasi gagal.

2. adanya fraktur servikal dengan lesi parsial medula spinalis dengan fragmen tulang tetap menekan permukaan anterior medula spinalis meskipun telah dilakukan traksi yang adekuat.

3. trauma servikal dengan lesi parsial medula spinalis, dimana tidak tampak adanya fragmen tulang dan diduga terdapat penekanan medula spinalis oleh herniasi diskus intervertebralis. Dalam hal ini perlu dilakukan pemeriksaan mielografi dan scan tomografi untuk membuktikannya.

4. fragmen yang menekan lengkung saraf.

5. adanya benda asing atau fragmen tulang dalam kanalis spinalis.

6. Lesi parsial medula spinalis yang berangsur-angsur memburuk setelah pada mulanya dengan cara konservatif yang maksimal menunjukkan perbaikan, harus dicurigai hematoma.

TUMOR MEDULLA SPINALIS

A. DEFINISI

Tumor Medulla spinalis adalah tumor di daerah spinal yang dapat terjadi pada daerah cervica l pertama hingga sacral.

(12)

B. KLASIFIKASI

Tumor ini dapat dibedakan atas : A.Tumor primer:

1) jinak

a) Osteoma dan kondroma berasal dari tulang b) Neurinoma (Schwannoma) berasal serabut saraf c) Meningioma berasal dari selaput otak

d) Glioma, Ependinoma berasal dari jaringan otak. 2) ganas

a) Astrocytoma, Neuroblastoma, yang berasal dari jaringan saraf. b) sel muda seperti Kordoma.

B. Metastasis à Ca. mamae, prostat,

Berdasarkan letak : Intradural - ekstramedular Intradural - intramedular Ekstradural

C. EPIDEMIOLOGI

Tumor primer medula spinalis à 10%-19% dari total tumor SSP dan insidennya meningkat seiring dengan umur.

Meningioma à >> pada wanita. Ependymoma à >> laki-laki. 70% à intradural ekstramedular 30% à intradural intramedular.

D. DIAGNOSIS

Gejala-gejala gangguan MS yang disebabkan oleh tumor MS mempunyai karakteristik SBB :

• Gangguan fungsi motorik : kelumpuhan otot, tanda gangguan piramidal. • Gangguan sensorik distal, awal penyakit à tidak jelas batasnya.

(13)

• gangguan sensorik radikuler (meyebar)

• hilangnya refleks superfisial & regleks tendon. • Nyeri skiatika

• deformitas kolumna vertebralis

• X-Foto : destruksi tulang, pelebaran kanalis servikalis, destruksi processus spinosus, hemangioma vertebralis.

• LP : kadar protein sangat tinggi (SINDROM FRUIN)

Pemeriksaan Penunjang

Foto Polos

Foto polos tulang belakang berguna untuk skrining, memperlihatkan kelainan pada 90 % pasien dengan tumor sekunder kolom tulang belakang. Evaluasi foto polos harus termasuk penilaian :

1. Perubahan tulang kualitatif (litik, blastik, sklerotik). Kebanyakan metastasis spinal memperlihatkan perubahan osteolitik. Perubahaan sklerotik atau osteoblastik paling sering terjadi pada metastasis dari payudara atau prostat.

2. Daerah yang terkena (elemen posterior, pedikel, badan tulang belakang). Tidak lazim metastasis spinal mengenai hanya elemen posterior (spine dan lamina). Lebih sering fokus tumor berlokasi di badan tulang belakang, menyebabkan kompresi kantung dural serta isinya dari depan. Paling sering, metastasis spinal mengenai dari lateral, didaerah pedikel, dan meluas keanterolateral dan keposterolateral. Erosi pedikel lebih dini dan paling sering kelainannya tampak pada foto polos tulang belakang pasien dengan metastasis spinal. Radiograf anteroposterior tulang belakang biasanya menampilkan “totem of owls”. Erosi pedikel menimbulkan tanda “winking owls”; erosi pedikel bilateral menampilkan tanda “blinking owl”.

(14)

3. Temuan lain (bayangan jaringan lunak paraspinal, tulang belakang yang kolaps, fraktura dislokasi patologis, dan mal alignment). Daerah erosi pedikel sering bersamaan dengan bayangan jaringan lunak paravertebral. Hilangnya integritas struktural bisa menyebabkan kolaps tulang belakang dengan kompresi baji. Destruksi lebih lanjut badan tulang belakang bisa berakibat fraktura dislokasi patologis. Fraktura dislokasi patologis paling sering terjadi didaerah servikal, dimana pergerakan leher luas, posisi tergantungnya kepala, dan hilangnya sanggaan rangka iga, semua berperan menempatkannya pada risiko integritas struktural kolom spinal dan alignment anatomik kanal spinal.

Sken Tulang

Menggunakan radioisotop, bisa memperlihatkan adanya tumor spinal metastatik pada tahap lebih awal dibanding foto polos. Diduga 50-75 % ruang meduler vertebral tergantikan sebelum perubahan radiografik tampak. Namun sken tulang relatif tidak spesifik. Perubahan degeneratif dan infeksi, seperti tumor spinal, menyebabkan take positif. Kegunaan sken tulang adalah untuk menunjukkan adanya pertumbuhan skeletal multipel.

Mielografi

Dimasa lalu merupakan standar untuk menunjukkan lokasi dan tingkat kord spinal dan akar saraf yang terganggu tumor spinal. Tumor spinal ekstradural, intradural ekstrameduler dan intrameduler dibedakan dengan pola khas mielografik. Deviasi kolom kontras menunjukkan asal (anterior, lateral, posterior) massa penekan. Bila tingkat blok total ditemukan dengan mielografi lumbar adalah berbeda dengan penilaian klinis, mielografi sisternal harus dilakukan untuk menentukan perluasan lesi soliter atau untuk menentukan tingkat yang lebih proksimal yang terkena. MRI sudah menggantikan mielografi sebagai prosedur diagnostik.

(15)

Berguna menampilkan distribusi tumor spinal, pergeseran kord spinal dan akar saraf, derajat destruksi tulang, dan perluasan paraspinal dari lesi dalam dataran horizontal. Juga efektif membedakan kelainan degeneratif jinak tulang belakang dari lesi neoplastik.

Mgnetic Resonance Imaging (MRI)

Pemeriksaan terpilih untuk tumor spinal termasuk metastasis. MRI memungkinkan penampilan kolom spinal menyeluruh dalam potongan sagital untuk memastikan tingkat terbatas yang terkena, penyebaran tumor berdekatan pada tingkat multipel, atau fokus tumor berbeda pada tingkat multipel. Rekonstruksi horizontal dan koronal memberikan informasi penting atas geometri tumor, berguna dalam merencanakan operasi dekompresi, juga memberi data mengenai integritas penulangan tulang belakang, penting dalam memutuskan rekonstruksi tulang belakang.

MRI mungkin kontra indikasi pada pasien dengan prostetik dan implant, dimana disini dilakukan mielografi disertai CT.

E. PENGELOLAAN

Tumor Jinak

Tindakan atas neurilemmoma, neurofibroma dan meningioma adalah reseksi bedah yang biasanya dapat dilakukan lengkap. Terapi radiasi tidak diindikasikan.

Tumor Metastasis

Dirancang untuk mengurangi nyeri dan untuk mempertahankan atau memperbaiki fungsi neurologis. Sasaran realistik adalah palliasi. Namun mengurangi nyeri serta menjaga atau memulihkan fungsi neurologis berperan tidak ternilai dalam menjaga kualitas sisa hidup penderita kanser dan mengurangi kesulitan perawatan.

(16)

Tindakan radiasi, bedah atau kombinasinya tetap kontroversi. Radioterapi biasa dipikirkan sebagai terapi inisial bagi kebanyakan pasien dengan tumor spinal sekunder radiosensitif yang bergejala dengan tanpa defisit neurologis atau minimal, terutama efektif untuk lesi limforetikuler. Operasi dipikirkan sebagai pilihan terakhir. Indikasi operasi biasanya adalah gagal atas radiasi, diagnosis tidak diketahui, fraktur/dislokasi patologis dan paraplegia yang berlangsung cepat atau sudah berjalan lanjut.

F. PROGNOSIS

Prognosis pasien dengan metastasis spinal simptomatis bervariasi. Keluaran tindakan tergantung beratnya defisit, lamanya gejala, jenis tumor, lokasi tumor dan derajat penyakit.

SPONDILITIS TUBERCULOSA

Spondilitis tuberculosa (Tb) merupakan salah satu penyakit tertua yang telah didokumentasikan disaat zaman besi dan mumi kuno di mesir dan peru pada

(17)

tahun 1779 oleh percivall pott tetapi hal tersebut tidak dihubungkan dengan basil tuberkulosa hingga ditemukannya basil tersebut oleh Koch tahun 1882,sehingga etiologi untuk kejadian tersebut menjadi jelas.

Di waktu yang lampau, spondilitis tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa anak-anak, yang terutama berusia 3 – 5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga golongan umur dewasa menjadi lebih sering. Setelah ditemukannya obat anti Tb dan berkembangnya kualitas kesehatan masyarakat, penyakit spondilitis Tb ini mulai jarang ditemukan di negara maju namun angka penyakit ini masih tinggi di negara berkembang. Penyakit ini memiliki potensi morbiditas yang cukup serius meliputi defisit neurologi permanent dan deformitas. Terapi dengan obat-obatan atau kombinasi terapi dengan operasi dapat mengontrol penyakit ini pada sebagian besar penderita.

A. DEFINISI

Spondilitis Tb atau Pott disease ialah suatu osteomielitis kronik tulang belakang yang disebabkan oleh kuman tbc. Infeksi umumnya mulai dari korpus vertebra lalu ke diskus intervertebralis dan ke jaringan sekitarnya. Daerah yang paling sering terkena, berturut-turut ialah daerah torakal terutama bagian bawah, daerah lumbal dan servikal 1 - 4. Akibat perkejuan akan terbentuk abses yang dapat meluas ke sekitamya dan mencari jalan keluar. Paling sering mengikuti fasia otot psoas, berkumpuldalam fosa iliaka sampai terjadi fistel kulit.

B. EPIDEMIOLOGI

Saat ini spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morbiditas dan mortalitas utama pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi merupakan masalah utama. Perlu dicermati bahwa di Amerika dan Inggris insidensi penyakit ini mengalami peningkatan pada populasi imigran,tunawisma lanjut usia dan pada orang dengan tahap lanjut infeksi HIV (Medical Research Council TB and Chest Diseases Unit 1980). Selain itu dari penelitian juga diketahui bahwa peminum

(18)

alkohol dan pengguna obat-obatan terlarang adalah kelompok beresiko besar terkena penyakit ini.

Di Amerika Utara, Eropa dan Saudi Arabia, penyakit ini terutama mengenai dewasa, dengan usia rata-rata 40-50 tahun sementara di Asia dan Afrika sebagian besar mengenai anak-anak (50% kasus terjadi antara usia 1-20 tahun). Pada kasus-kasus pasien dengan tuberkulosa, keterlibatan tulang dan sendi terjadi pada kurang lebih 10% kasus. Walaupun setiap tulang atau sendi dapat terkena, akan tetapi tulang yang mempunyai fungsi untuk menahan beban (weight bearing) dan mempunyai pergerakan yang cukup besar (mobile) lebih sering terkena dibandingkan dengan bagian yang lain. Dari seluruh kasus tersebut, tulang belakang merupakan tempat yang paling sering terkena tuberkulosa tulang (kurang lebih 50% kasus)(Gorse et al. 1983), diikuti kemudian oleh tulang panggul, lutut dan tulang-tulang lain di kaki, sedangkan tulang di lengan dan tangan jarang terkena. Area torako-lumbal terutama torakal bagian bawah (umumnya T 10) dan lumbal bagian atas merupakan tempat yang paling sering terlibat karena pada area ini pergerakan dan tekanan dari weight bearing mencapai maksimum, lalu dikuti dengan area servikal dan sakral.

Defisit neurologis muncul pada 10-47% kasus pasien dengan spondilitis tuberkulosa. Di negara yang sedang berkembang penyakit ini merupakan penyebab paling sering untuk kondisi paraplegia non traumatik(7). Insidensi paraplegia, terjadi lebih tinggi pada orang dewasa dibandingkan dengan anak-anak. Hal ini berhubungan dengan insidensi usia terjadinya infeksi tuberkulosa pada tulang belakang, kecuali pada dekade pertama dimana sangat jarang ditemukan keadaan ini.

C. FAKTOR RESIKO

(19)

Terdapat sedikit perbedaan antara anak laki-laki dan anak perempuan hingga masa pubertas. Bayi dan anak muda dari kedua jenis kelamin mempunyai kekebalan yang lemah. Hingga usia 2 tahun infeksi biasanya dapat terjadi dalam bentuk yang berat seperti tuberkulosis milier dan meningitis tuberkulosa, yang berasal dari penyebaran secara hematogen.

Setelah pubertas daya tahan tubuh mengalami peningkatan dalam mencegah penyebaran secara hematogen, tetapi menjadi lemah dalam mencegah penyebaran penyakit di paru-paru.

Angka kejadian pada pria terus meningkat pada seluruh tingkat usia tetapi pada wanita cenderung menurun dengan cepat setelah usia anak-anak, insidensi ini kemudian meningkat kembali pada wanita setelah melahirkan anak. Puncak usia terjadinya infeksi berkisar antara usia 40-50 tahun untuk wanita, sementara pria bisa mencapai usia 60 tahun.

2. Nutrisi

Kondisi malnutrisi (baik pada anak ataupun orang dewasa) akan menurunkan resistensi terhadap penyakit.

3. Faktor toksik

Perokok tembakau dan peminum alkohol akan mengalami penurunan daya tahan tubuh. Demikian pula dengan pengguna obat kortikosteroid atau

immunosupresan lain. 4. Penyakit

Adanya penyakit seperti infeksi HIV, diabetes, leprosi, silikosis, leukemia meningkatkan resiko terkena penyakit tuberkulosa.

5. Lingkungan yang buruk (kemiskinan)

Kemiskinan mendorong timbulnya suatu lingkungan yang buruk dengan pemukiman yang padat dan kondisi kerja yang buruk disamping juga adanya malnutrisi, sehingga akan menurunkan daya tahan tubuh.

(20)

Ditemukan bukti bahwa populasi terisolasi contohnya orang Eskimo atau Amerika asli, mempunyai mempunyai daya tahan tubuh yang kurang terhadap penyakit ini.

D. PATOFISIOLOGI

Tuberkulosa pada tulang belakang dapat terjadi karena penyebaran hematogen atau penyebaran langsung nodus limfatikus para aorta atau melalui jalur limfatik ke tulang dari fokus tuberkulosa yang sudah ada sebelumnya di luar tulang belakang. Pada penampakannya, fokus infeksi primer tuberkulosa dapat bersifat tenang. Sumber infeksi yang paling sering adalah berasal dari sistem pulmoner dan genitourinarius. Pada anak-anak biasanya infeksi tuberkulosa tulang belakang berasal dari fokus primer di paru-paru sementara pada orang dewasa penyebaran terjadi dari fokus ekstrapulmoner (usus, ginjal, tonsil).

Penyebaran basil dapat terjadi melalui arteri intercostal atau lumbar yang memberikan suplai darah ke dua vertebrae yang berdekatan, yaitu setengah bagian bawah vertebra diatasnya dan bagian atas vertebra di bawahnya atau melalui pleksus Batson’s yang mengelilingi columna vertebralis yang menyebabkan banyak vertebra yang terkena. Hal inilah yang menyebabkan pada kurang lebih 70% kasus, penyakit ini diawali dengan terkenanya dua vertebra yang berdekatan, sementara pada 20% kasus melibatkan tiga atau lebih vertebra.

Infeksi tuberkulosa pada awalnya mengenai tulang cancellous dari vertebra. Area infeksi secara bertahap bertambah besar dan meluas, berpenetrasi ke dalam korteks tipis korpus vertebra sepanjang ligamen longitudinal anterior, melibatkan dua atau lebih vertebrae yang berdekatan melalui perluasan di bawah ligamentum longitudinal anterior atau secara langsung melewati diskus intervertebralis. Terkadang dapat ditemukan fokus yang multipel yang dipisahkan oleh vertebra yang normal, atau infeksi dapat juga berdiseminasi ke vertebra yang jauh melalui abses paravertebral.

Terjadinya nekrosis perkijuan yang meluas mencegah pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan tulang menjadi avascular sehingga menimbulkan tuberculous sequestra, terutama di regio torakal. Discus intervertebralis, yang avaskular, relatif lebih resisten terhadap infeksi tuberkulosa.

(21)

Penyempitan rongga diskus terjadi karena perluasan infeksi paradiskal ke dalam ruang diskus, hilangnya tulang subchondral disertai dengan kolapsnya corpus vertebra karena nekrosis dan lisis ataupun karena dehidrasi diskus, sekunder karena perubahan kapasitas fungsional dari end plate. Suplai darah juga akan semakin terganggu dengan timbulnya endarteritis yang menyebabkan tulang

menjadi nekrosi.

Destruksi progresif tulang di bagian anterior dan kolapsnya bagian tersebut akan menyebabkan hilangnya kekuatan mekanis tulang untuk menahan berat badan sehingga kemudian akan terjadi kolaps vertebra dengan sendi intervertebral dan lengkung syaraf posterior tetap intak, jadi akan timbul deformitas berbentuk kifosis yang progresifitasnya (angulasi posterior) tergantung dari derajat kerusakan, level lesi dan jumlah vertebra yang terlibat. Bila sudah timbul deformitas ini, maka hal tersebut merupakan tanda bahwa penyakit ini sudah meluas.

Di regio torakal kifosis tampak nyata karena adanya kurvatura dorsal yang normal di area lumbar hanya tampak sedikit karena adanya normal lumbar lordosis dimana sebagian besar dari berat badan ditransmisikan ke posterior sehingga akan terjadi parsial kolaps; sedangkan di bagian servikal, kolaps hanya bersifat minimal, kalaupun tampak hal itu disebabkan karena sebagian besar berat badan disalurkan melalui prosesus artikular.

Proses penyembuhan kemudian terjadi secara bertahap dengan timbulnya fibrosis dan kalsifikasi jaringan granulomatosa tuberkulosa. Terkadang jaringan fibrosa itu mengalami osifikasi, sehingga mengakibatkan ankilosis tulang vertebra yang kolap.

Pembentukan abses paravertebral terjadi hampir pada setiap kasus. Dengan kolapsnya korpus vertebra maka jaringan granulasi tuberkulosa, bahan perkijuan, dan tulang nekrotik serta sumsum tulang akan menonjol keluar melalui korteks dan berakumulasi di bawah ligamentum longitudinal anterior. Cold abcesss ini kemudian berjalan sesuai dengan pengaruh gaya gravitasi sepanjang bidang fasial dan akan tampak secara eksternal pada jarak tertentu dari tempat lesi aslinya. E. KLASIFIKASI

(22)

Berdasarkan lokasi infeksi awal pada korpus vertebra dikenal tiga bentuk spondilitis:

(1) Peridiskal / paradiskal

Infeksi pada daerah yang bersebelahan dengan diskus (di area metafise di bawah ligamentum longitudinal anterior / area subkondral). Banyak ditemukan pada orang dewasa. Dapat menimbulkan kompresi, iskemia dan nekrosis diskus. Terbanyak ditemukan di regio lumbal.

(2) Sentral

Infeksi terjadi pada bagian sentral korpus vertebra, terisolasi sehingga disalahartikan sebagai tumor. Sering terjadi pada anak-anak. Keadaan ini sering menimbulkan kolaps vertebra lebih dini dibandingkan dengan tipe lain. sehingga menghasilkan deformitas spinal yang lebih hebat. Dapat terjadi kompresi yang bersifat spontan atau akibat trauma. Terbanyak di temukan di regio torakal.

(3) Anterior

Infeksi yang terjadi karena perjalanan perkontinuitatum dari vertebra di atas dan dibawahnya. Gambaran radiologisnya mencakup adanya scalloped karena erosi di bagian anterior dari sejumlah vertebra (berbentuk baji). Pola ini diduga disebabkan karena adanya pulsasi aortik yang ditransmisikan melalui abses prevertebral dibawah ligamentum longitudinal anterior atau karena adanya perubahan lokal dari suplai darah vertebral.

(4) Bentuk atipikal

Dikatakan atipikal karena terlalu tersebar luas dan fokus primernya tidak dapat diidentifikasikan. Termasuk didalamnya adalah tuberkulosa spinal dengan keterlibatan lengkung syaraf saja dan granuloma yang terjadi di canalis spinalis tanpa keterlibatan tulang (tuberkuloma), lesi di pedikel, lamina, prosesus transversus dan spinosus, serta lesi artikuler yang berada di sendi intervertebral posterior. Insidensi tuberkulosa yang melibatkan elemenposterior tidak diketahui tetapi diperkirakan berkisar antara 2%-10%.

(23)

Gambaran klinis spondilitis tuberkulosa bervariasi dan tergantung pada banyak faktor. Biasanya onset Pott's disease berjalan secara mendadak dan berevolusi lambat. Durasi gejala-gejala sebelum dapat ditegakkannya suatu diagnosa pasti bervariasi dari bulan hingga tahun sebagian besar kasus didiagnosa sekurangnya dua tahun setelah infeksi tuberkulosa.

Anamnesa dan inspeksi

1. Gambaran adanya penyakit sistemik : kehilangan berat badan, keringat malam, demam yang berlangsung secara intermitten terutama sore dan malam hari serta cachexia.

2. Adanya riwayat batuk lama (lebih dari 3 minggu) berdahak atau berdarah disertai nyeri dada.

3. Nyeri terlokalisir pada satu regio tulang belakang atau berupa nyeri yang menjalar.

Infeksi yang mengenai tulang servikal akan tampak sebagai nyeri di daerah telinga atau nyeri yang menjalar ke tangan. Lesi di torakal atas akan menampakkan nyeri yang terasa di dada dan intercostal. Pada lesi di bagian torakal bawah maka nyeri dapat berupa nyeri menjalar ke bagian perut. Rasa nyeri ini hanya menghilang dengan beristirahat. Untuk mengurangi nyeri pasien akan menahan punggungnya menjadi kaku.

4. Pola jalan merefleksikan rigiditas protektif dari tulang belakang. Langkah kaki pendek, karena mencoba menghindari nyeri di punggung.

5. Bila infeksi melibatkan area servikal maka pasien tidak dapat menolehkan kepalanya, mempertahankan kepala dalam posisi ekstensi dan duduk dalam posisi dagu disangga oleh satu tangannya, sementara tangan lainnya di oksipital.

Rigiditas pada leher dapat bersifat asimetris sehingga menyebabkan timbulnya gejala klinis torticollis. Pasien juga mungkin mengeluhkan rasa nyeri di leher atau bahunya. Jika terdapat abses, maka tampak pembengkakan di kedua sisi leher.

Abses yang besar, terutama pada anak, akan mendorong trakhea ke sternal notch sehingga akan menyebabkan kesulitan menelan dan adanya stridor respiratoar, sementara kompresi medulla spinalis pada orang dewasa akan

(24)

menyebabkan tetraparesis (Hsu dan Leong 1984). Dislokasi atlantoaksial karena tuberkulosa jarang terjadi dan merupakan salah satu penyebab kompresi cervicomedullary di negara yang sedang berkembang. Hal ini perlu diperhatikan karena gambaran klinisnya serupa dengan tuberkulosa di regio servikal (Lal et al. 1992).

6. Di regio torakal akan menyebabkan punggung tampak menjadi kaku. Bila berbalik ia menggerakkan kakinya, bukan mengayunkan dari sendi panggulnya. Saat mengambil sesuatu dari lantai ia menekuk lututnya sementara tetap mempertahankan punggungnya tetap kaku (coin test). 7. Di regio lumbar : abses akan tampak sebagai suatu pembengkakan lunak

yang terjadi di atas atau di bawah lipat paha. Jarang sekali pus dapat keluar melalui fistel dalam pelvis dan mencapai permukaan di belakang sendi panggul. Pasien tampak berjalan dengan lutut dan hip dalam posisi fleksi dan menyokong tulang belakangnya dengan meletakkan tangannya diatas paha. Adanya kontraktur otot psoas akan menimbulkan deformitas fleksi sendi panggul.

8. Tampak adanya deformitas, dapat berupa : kifosis (gibbus/angulasi tulang belakang), skoliosis, bayonet deformity, subluksasi, spondilolistesis, dan dislokasi.

9. Adanya gejala dan tanda dari kompresi medula spinalis (defisit neurologis). Terjadi pada kurang lebih 10-47% kasus. Insidensi paraplegia pada spondilitis lebih banyak di temukan pada infeksi di area torakal dan servikal. Jika timbul paraplegia akan tampak spastisitas dari alat gerak bawah dengan refleks tendon dalam yang hiperaktif, pola jalan yang spastik dengan kelemahan motorik yang bervariasi. Dapat pula terjadi gangguan fungsi kandung kemih dan anorektal.

10. Pembengkakan di sendi yang berjalan lambat tanpa disertai panas dan nyeri akut seperti pada infeksi septik. Onset yang lambat dari pembengkakan tulang ataupun sendi mendukung bahwa hal tersebut disebabkan karena tuberkulosa.

11. Salah satu defisit neurologis yang paling sering terjadi adalah paraplegia yang dikenal dengan nama Pott’s paraplegia. Paraplegia ini dapat timbul

(25)

secara akut ataupun kronis (setelah hilangnya penyakit) tergantung dari kecepatan peningkatan tekanan mekanik kompresi medula spinalis. Pada penelitian yang dilakukan Hodgson di Cleveland, paraplegia ini biasanya terjadi pada pasien berusia kurang dari 10 tahun (kurang lebih 2/3 kasus) dan tidak ada predileksi berdasarkan jenis kelamin untuk kejadian ini.

Palpasi

1. Bila terdapat abses maka akan teraba massa yang berfluktuasi dan kulit diatasnya terasa sedikit hangat (disebut cold abcess, yang membedakan dengan abses piogenik yang teraba panas). Dapat dipalpasi di daerah lipat paha, fossa iliaka, retropharynx, atau di sisi leher (di belakang otot

sternokleidomastoideus), tergantung dari level lesi. Dapat juga teraba di sekitar dinding dada. Perlu diingat bahwa tidak ada hubungan antara ukuran lesi destruktif dan kuantitas pus dalam cold abscess.

2. Spasme otot protektif disertai keterbatasan pergerakan di segmen yang terkena Perkusi

Pada perkusi secara halus atau pemberian tekanan diatas prosesus spinosus vertebrae yang terkena, sering tampak tenderness.

Pemeriksaan Penunjang 1. Laboratorium :

• Laju endap darah meningkat (tidak spesifik), dari 20 sampai lebih dari 100mm/jam.

Tuberculin skin test / Mantoux test / Tuberculine Purified Protein Derivative (PPD) positif.

• Kultur urin pagi (membantu bila terlihat adanya keterlibatan ginjal), sputum dan bilas lambung (hasil positif bila terdapat keterlibatan paru yang aktif)

• Apus darah tepi menunjukkan leukositosis dengan limfositosis yang bersifat relatif.

(26)

pusat kesehatan dengan peralatan yang cukup canggih) untuk menyingkirkan diagnosa banding.

• Cairan serebrospinal dapat abnormal (pada kasus dengan meningitis tuberkulosa).

Xantokrom, Bila dibiarkan pada suhu ruangan akan menggumpal, Pleositosis (dengan dominasi limfosit dan mononuklear). Pada tahap akut responnya bisa berupa neutrofilik seperti pada meningitis piogenik (Kocen and Parsons 1970; Traub et al 1984). Kandungan protein meningkat. Kandungan gula normal pada tahap awal tetapi jika gambaran klinis sangat kuat mendukung diagnosis, ulangi pemeriksaan. Kandungan protein cairan serebrospinal dalam kondisi spinal terblok spinal dapat mencapai 1-4g/100ml.

• Kultur cairan serebrospinal. Adanya basil tuberkel merupakan tes konfirmasi yang absolut tetapi hal ini tergantung dari pengalaman pemeriksa dan tahap infeksi.

2. Radiologis

Gambarannya bervariasi tergantung tipe patologi dan kronisitas infeksi.

Foto rontgen dada dilakukan pada seluruh pasien untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di paru (2/3 kasus mempunyai foto rontgen yang abnormal).

Foto polos seluruh tulang belakang juga diperlukan untuk mencari bukti adanya tuberkulosa di tulang belakang. Tanda radiologis baru dapat terlihat setelah 3-8 minggu onset penyakit.

- Tahap awal tampak lesi osteolitik di bagian anterior superior atau sudut inferior corpus vertebrae, osteoporosis regional yang kemudian berlanjut sehingga tampak penyempitan diskus intervertebralis yang berdekatan, serta erosi corpus vertebrae anterior yang berbentuk scalloping karena penyebaran infeksi dari area subligamentous.Infeksi tuberkulosa jarang melibatkan pedikel, lamina, prosesus transversus atau prosesus spinosus. - Keterlibatan bagian lateral corpus vertebra akan menyebabkan timbulnya

(27)

- Pada pasien dengan deformitas gibbus yang sudah lama akan tampak tulang vertebra yang mempunyai rasio tinggi lebih besar dari lebarnya ( long vertebra atau tall vertebra)

- Dapat terlihat keterlibatan jaringan lunak, seperti abses paravertebral dan psoas. Tampak bentuk fusiform atau pembengkakan berbentuk globular dengan kalsifikasi. Abses psoas akan tampak sebagai bayangan jaringan lunak yang mengalami peningkatan densitas dengan atau tanpa kalsifikasi pada saat penyembuhan.

3. Computed Tomography – Scan (CT)

Terutama bermanfaat untuk memvisualisasi regio torakal dan keterlibatan iga yang sulit dilihat pada foto polos. Keterlibatan lengkung syaraf posterior seperti pedikel tampak lebih baik dengan CT Scan.

4. Magnetic Resonance Imaging (MRI)

Mempunyai manfaat besar untuk membedakan komplikasi yang bersifat kompresif dengan yang bersifat non kompresif pada tuberkulosa tulang belakang. Bermanfaat untuk membantu memutuskan pilihan manajemen apakah akan bersifat konservatif atau operatif dan membantu menilai respon terapi. Kerugiannya adalah dapat terlewatinya fragmen tulang kecil dan kalsifikasi di abses.

5. Neddle biopsi / operasi eksplorasi (costotransversectomi) dari lesi spinal.

mungkin diperlukan pada kasus yang sulit tetapi membutuhkan pengalaman dan pembacaan histologi yang baik (untuk menegakkan diagnosa yang absolut) (berhasil pada 50% kasus).

6. Aspirasi pus paravertebral yang diperiksa secara mikroskopis untuk mencari basil tuberkulosa dan granuloma, lalu kemudian dapat diinokulasi di dalam guinea babi.

G. KOMPLIKASI

(28)

Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena pus tuberkulosa, sekuestra tulang, sekuester dari diskus intervertebralis (contoh : Pott’s paraplegia –prognosa baik) atau dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan granulasi tuberkulosa (contoh : menigomyelitis – prognosa buruk). Jika cepat diterapi sering berespon baik (berbeda dengan kondisi paralisis pada tumor). MRI dan mielografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau karena invasi dura dan corda spinalis.

 Empyema tuberkulosa karena rupturnya abses paravertebral di torakal kedalam pleura.

H. MANAJEMEN TERAPI

Tujuan terapi pada kasus spondilitis tuberkulosa adalah :

1. Mengeradikasi infeksi atau setidaknya menahan progresifitas penyakit 2. Mencegah atau mengkoreksi deformitas atau defisit neurologis. Untuk mencapai tujuan itu maka terapi untuk spondilitis tuberkulosa terbagi menjadi :

 Terapi konservatif

1. Pemberian nutrisi yang bergizi

2. Pemberian kemoterapi atau terapi anti tuberkulosa. Obat anti tuberkulosa yang utama adalah :

- Isoniazid (INH) dosis INH adalah 5 mg/kg/hari – 300 mg/hari - Rifampin (RMP) dosisnya : 10 mg/kg/hari – 600 mg/hari. - Pyrazinamide (PZA) dosis : 15-30mg/kg/hari

- Ethambutol (EMB) dosis : 15-25 mg/kg/hari

- Streptomycin (STM) dosis : 15 mg/kg/hari – 1 g/kg/hari

Obat antituberkulosa sekuder adalah para-aminosalicylic acid (PAS), ethionamide, cycloserine, kanamycin dan capreomycin. Peran steroid pada terapi medis untuk tuberculous radiculomyelitis masih kontroversial. Obat ini membantu pasien yang terancam mengalami spinal block disamping mengurangi oedema jaringan (Ogawa et.al 1987). Pada pasien-pasien yang diberikan kemoterapi harus selalu dilakukan pemeriksaan klinis, radiologis dan pemeriksaan laboratorium secara periodik.

(29)

3. Istirahat tirah baring (resting)

Terapi pasien spondilitis tuberkulosa dapat pula berupa local rest pada turning frame / plaster bed atau continous bed rest. Istirahat dapat dilakukan dengan memakai gips untuk melindungi tulang belakangnya dalam posisi ekstensi terutama pada keadaan yang akut atau fase aktif. Pemberian gips ini ditujukan untuk mencegah pergerakan dan mengurangi kompresi dan deformitas lebih lanjut. Istirahat di tempat tidur dapat berlangsung 3-4 minggu, sehingga dicapai keadaan yang tenang dengan melihat tanda-tanda klinis, radiologis dan laboratorium.

 Terapi Operatif

Sebenarnya sebagian besar pasien dengan tuberkulosa tulang belakang mengalami perbaikan dengan pemberian kemoterapi saja (Medical Research Council 1993). Intervensi operasi banyak bermanfaat untuk pasien yang mempunyai lesi kompresif secara radiologis dan menyebabkan timbulnya kelainan neurologis. Tindakan operasi juga dilakukan bila setelah 3-4 minggu pemberian terapi obat antituberkulosa dan tirah baring (terapi konservatif) dilakukan tetapi tidak memberikan respon yang baik sehingga lesi spinal paling efektif diterapi dengan operasi secara langsung dan tumpul untuk mengevakuasi “pus” tuberkulosa, mengambil sekuester tuberkulosa serta tulang yang terinfeksi dan memfusikan segmen tulang belakang yang terlibat. Selain indikasi diatas, operasi debridement dengan fusi dan dekompresi juga diindikasikan bila:

1. Diagnosa yang meragukan hingga diperlukan untuk melakukan biopsi 2. Terdapat instabilitas setelah proses penyembuhan

3. Terdapat abses yang dapat dengan mudah didrainase

4. penyakit yang lanjut dengan kerusakan tulang yang nyata dan mengancam atau kifosis berat.

5. Penyakit yang rekuren.

Setelah tindakan operasi pasien biasanya beristirahat di tempat tidur selama 3-6 minggu.

(30)

I. PROGNOSA

Prognosa pasien dengan spondilitis tuberkulosa sangat tergantung dari usia dan kondisi kesehatan umum pasien, derajat berat dan durasi defisit neurologis serta terapi yang diberikan.

a. Mortalitas

Mortalitas pasien spondilitis tuberkulosa mengalami penurunan seiring dengan ditemukannya kemoterapi (menjadi kurang dari 5%, jika pasien didiagnosa dini dan patuh dengan regimen terapi dan pengawasan ketat).

b. Relaps

Angka kemungkinan kekambuhan pasien yang diterapi antibiotik dengan regimen medis saat ini dan pengawasan yang ketat hampir mencapai 0%.

c. Kifosis

Kifosis progresif selain merupakan deformitas yang mempengaruhi kosmetis secara signifikan, tetapi juga dapat menyebabkan timbulnya defisit neurologis atau kegagalan pernafasan dan jantung karena keterbatasan fungsi paru.

d.Defisit neurologis.

Defisit neurologis pada pasien spondilitis tuberkulosa dapat membaik secara spontan tanpa operasi atau kemoterapi. Tetapi secara umum, prognosis membaik dengan dilakukannya operasi dini.

e. Usia

Pada anak-anak, prognosis lebih baik dibandingkan dengan orang dewasaf. f. Fusi

Fusi tulang yang solid merupakan hal yang penting untuk pemulihan permanen spondilitis tuberkulosa.

DAFTAR PUSTAKA

(31)

De Jong, Buku Ajar Ilmu Bedah ed 4 . Philadelphia : Harper & Row Hangersteron, 1979

Diakses dari www. Pustakaunpad.ac.id pada tanggal 1 maret 2013. Diakses dari www.wikipedia.com pada tanggal 1 maret 2013. Diakses dari www.residenneurologi.multiply.com

www.emedicine.traumamedulaspinalis.html

Nuartha B.N., Joesoef A.A., Aliah A., dkk, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1993

Mardjono M., Sidharta P., Neurologi Klinis Dasar, Dian Rakyat, Jakarta, 2000 http://medicastore.com/penyakit/675/Cedera_Medula_Spinalis_Akibat_Kecel akaan.html

ILUSTRASI KASUS

(32)

Jenis Kelamin : Laki-laki

Usia : 65 tahun

Agama : Islam

Alamat : Sasak, Pasaman Barat No. Rekam Medis : 819698

Tanggal masuk RS : 28 Februari 2013

ANAMNESIS : Autoanamnesa

Keluhan Utama : Lumpuh pada kedua tungkai Riwayat Penyakit Sekarang:

• Lumpuh pada kedua tungkai sejak 2 minggu SMRS terjadi tiba tiba. Pasien sama sekali tidak bisa menggerakkan kedua tungkai sama sekali. Sehingga pasien hanya berbaring di tempat tidur, keluhan disertai dengan rasa raba yang berkurang mulai dari pertengahan pusar ke bawah.

• Keluhan disertai dengan BAB yang keluar tanpa disadari dan Pasien mengeluhkan buang air kecil dimana pasien hanya menekan perut bagian bawah agar BAK dapat keluar. 1 minggu yang lalu keluhan BAK bertambah berat dimana pasien sama sekali tidak BAK.

Riwayat Penyakit Dahulu:

• Riwayat trauma sebelumnya disangkal.

• Riwayat demam sebelumnya tidak ada.

• Riwayat batuk batuk lama tidak ada.

• Riwayat keganasan tidak ada. Riwayat Penyakit Keluarga

• Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit seperti ini. Riwayat pekerjaan,sosial,ekonomi.

• Pasien tidak bekerja, aktivitas fisik kurang.

PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis

Keadaan umum : Sakit sedang

Kesadaran : CMC GCS 15 (E4M6V5) Tekanan darah: 160/100 mmHg

Nadi : 88 x / menit Pernapasan : 20 x / menit Suhu : 37 0C

(33)

• Leher : Tidak ada jejas, tidak ada pembesaran kelenjar getah bening

• Paru : In : simetris kiri dan kanan Pa : fremitus kiri = kanan Pe : Sonor

Au : vesikular, Ronki , Wheezing

-/-• Jantung : In : iktus tidak terlihat

Pa : iktus teraba 1 jari medial LMCS RIC V Pe : batas jantung dalam batas normal Au : irama teratur, bising (-)

• Abdomen : In : tidak membuncit Au : bising usus normal Pe : timpani

Pa : hepar dan lien tidak teraba

• Punggung : In : tidak ada benjolan, deformitas (-) Pa : Nyeri tekan (+), nyeri ketok (+)

STATUS NEUROLOGIS

Kesadaran : GCS 15 (E4V5M6)

Tanda Rangsang Meningeal : Kaku kuduk (-) Brudzinski I (-) Brudzinski II (-) Laseque -Kernig (-) Tanda peningkatan tekanan intrakranial: (-)

Pemeriksaan NerviCranialis

1. N I : penciuman baik 2. N II : penglihatan baik

3. N III, IV, VI : ptosis (-), pupil bulat 3 mm / 3 mm, Refleks Cahaya +/+, Gerak bola mata bebas ke segala arah

4. N V : sensorik dan motorik baik 5. N VII : dalam batas normal 6. N VIII : dalam batas normal

7. N IX, X : Refleks menelan (+), uvula di tengah, arkus faring simetris, Refleks muntah (+)

8. N XI : menoleh ke kanan kiri (+), mengangkat bahu (+) 9. N XII : dalam batas normal

PemeriksaanMotorik

Ekstremitas atas : eutrofi, eutonus Ekstremitas bawah : eurofi, hipertonus

(34)

Kekuatan : 5 5 5 555 000 0 0 0 Refleks fisiologis : ++ ++ +++ +++ Reflex patologis : _ _ + + Pemeriksaan sensorik

Rangsang raba : (-) pada kedua tungkai mulai dari pertengahan pusat hingga ujung jari kaki

Rangsang nyeri : (-) pada kedua tungkai mulai dari pertangahan pusat hingga ujung jari kaki

Rangsang suhu : (-) pada kedua tungkai mulai dari pertangahan pusat hingga ujung jari kaki

Propioseptif : (-) pada kedua tungkai mulai dari pertengahan pusat hingga ujung jari kaki

Diskriminasi 2 titik : (-) pada kedua tungkai mulai dari pertengahan pusat hingga ujung jari kaki

Saraf otonom:

BAK : inkontinensia urin BAB : inkontinensia alvi Berkeringat : normal

Pemeriksaan Fungsi Luhur:

Memori : dalam batas normal Kognitif : dalam batas normal Bahasa : dalam batas normal Pemeriksaan Koordinasi:

Tes supinasi-pronasi : dalam batas normal Tes tunjuk hidung : dalam batas normal Laboratorium : Hb : 16,4 g/dl Ht : 50 % Leukosit : 11.600 /mm3 Trombosit :275.000 /mm3 Na/K/Cl : 137/4.2/104

(35)

Pemeriksaan Rontgen thoraco lumbal dengan ekspertise : Tampak destruksi pada corpus vertebre Th XII-LI Diskus invtervertebralis menyempit pada Th XII-LI

DIAGNOSIS Diagnosis Kerja:

Klinis : paraplegia inferior tipe UMN

Topis : segmen medula spinalis setinggi Th XII-LI Etiologi : Fraktur Kompresi

Diagnosa sekunder : Hipertensi Stage II

PEMERIKSAAN ANJURAN

• MRI tulang belakang (torako-lumbal)

TATALAKSANA Umum

Diet MB RG II IVFD RL 12 jam/kolf

Pasang Kateter urin,untuk balance cairan Konsultasi ahli bedah syaraf

Konsultasi ahli bedah ortopedi Khusus

Methyl prednisolon 4x125 mg (po) Ranitidine 2 x 50 mg (iv) Amlodipin 1x5 mg (po)

PROGNOSIS

Quo ad vitam : dubia ad bonam Quo ad functionam : dubia ad malam Quo ad sanationam : dubia ad bonam

(36)

Telah dirawat seorang pasien laki-laki 65 tahun di bangsal Neurologi RS. M. Djamil Padang dengan diagnosis klinis paraplegia inferior tipe UMN, diagnosis topik segmen medula spinalis setinggi Th XII-L1, diagnosis etiologi fraktur kompresi serta diagnosis sekunder hipertensi stage II. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta ditunjang dengan pemeriksaan penunjang.

Dari anamnesis didapatkan pasien mengalami lumpuh pada kedua tungkai sejak 2 minggu SMRS. Keluhan disertai dengan tidak adanya rasa ingin BAK dan BAB keluar tanpa disadari. Dari hasil pemeriksaan neurologis tidak ditemukan kelainan pada saraf kranial, namun pada pemeriksaan motorik didapatkan kekuatan pada kedua tungkai adalah 0 0 0 disertai hilangnya sensoris serta propioseptif pada kedua tungkai mulai dari pertengahan pusat hingga ujung jari kaki. Ditemukan refleks fisiologis meningkat dan balbinski pada kedua tungkai. Hasil foro rotgen thorako-lumbal didapatkan kesan multiple kompresi fraktur di Th XII-LI. Dari anamnesis dan pemeriksaan yang telah dilakukan maka pada pasien ini mengarah kepada diagnosis paraplegi inferior tipe UMN akibat fraktur kompresi medula spinalis.

Pada pasien diberikan terapi umum Diet MB RG II, pasang kateter urin, , konsultasi ahli bedah syaraf, konsultasi ahli bedah ortopedi. Pengobatan khusus yang diberikan adalah methyl prednisolon 4 x 125 mg tab, ranitidine 2 x 50 mg dan amlodipin 1x5 mg tab.

Referensi

Dokumen terkait

Pengertian lain dari trauma medula spinalis adalah trauma pada tulang $elakang yang menye$a$kan lesi di medula spinalis sehingga menim$ulkan gangguan neurologis,

 pada terjadi trauma, mengakibatkan terjadi patah tulang sehingga menyebabkan terbukanya Pembuluh Darah, Sumsum Tulang Dan Jaringan Lunak Mengalami Disrupsi , dan terjadi kerusakan

Kelumpuhan/kelemahan yang terjadi pada kerusakan Upper Motor Neuron (UMN) disebabkan karena adanya lesi di medula spinalis.. Kerusakannya bisa dalam bentuk jaringan

Sumsum tulang belakang (medulla spinalis) adalah organ yang bertanggung jawab atas pusat koordinasi gerak refleks. Medulla spinalis terdapat pada ruas-ruas tulang

Tumor r primer medula primer medula spin spinalis alis à à 10%-19% dari total tumor SSP dan 10%-19% dari total tumor SSP dan insidennya meningkat seiring dengan

Medulla spinalis dan pembuluh-pembuluh darahnya 11.1 Ringkasan: konstruksi segmental sumsum tulang belakang (Medulla spinalis)...384. 11.2 Ringkasan: struktur dan

Spinal cord injury atau cedera medula spinalis adalah trauma atau kerusakan dari medula spinalis yang mengakibatkan gangguan fungsional baik sementara atau

Trauma servikal adalah suatu keadaan cedera pada tulang belakang servikal dan medulla spinalis yang disebabkan oleh dislokasi, subluksasi, atau fraktur vertebra servikalis dan