• Tidak ada hasil yang ditemukan

TANAH ULAYAT DAN HAK ULAYAT MASYARAKAT H

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "TANAH ULAYAT DAN HAK ULAYAT MASYARAKAT H"

Copied!
24
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

TANAH ULAYAT DAN HAK ULAYAT MASYARAKAT

HUKUM ADAT KARUHUN URANG SUNDA DI KECAMATAN

CIGUGUR, KABUPATEN KUNINGAN, PROVINSI JAWA

BARAT

ARI KURNIA RAHMAN A

DION VALERIAN

IRENA LUCY ISHIMORA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

DEPOK

(2)

1. Latar Belakang

Valerine J. Kriekhoff menjelaskan bahwa tanah adat adalah tanah yang di atasnya berlaku aturan-aturan adat. Jika hak atas tanah adat tersebut berada pada sekelompok orang dan diatur pemanfaatannya oleh pimpinan dari kelompok, maka hak bersama itu dinamakan sebagai tanah ulayat atau beshickking-recht

(istilah van Vollenhoven).1 Tak berbeda dengan penjelasan Kriekhoff, G. Kertasapoetra et. al. menjelaskan bahwa hak ulayat adalah hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan atau pendayagunaan tanah. Dalam hak ulayat tersebut, para warga masyarakat yang menjadi bagian dari persekutuan hukum itu mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan).2

Hak ulayat mengandung sifat komunalistik dan magis-religius. Bersifat komunalistik sebab ia merupakan hak bersama anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang bersangkutan. Sifat magis-religius dari hak ulayat eksis karena hak ulayat tersebut merupakan tanah milik bersama; ia diyakini memiliki sifat gaib serta merupakan peninggalan nenek moyang dari kelompok masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Bagi Boedi Harsono, hak ulayat mempunyai kekuatan berlaku ke dalam dan ke luar. Berlaku ke dalam berhubungan dengan para warganya, Sedangkan kekuatan berlaku ke luar dalam hubungannya dengan pihak-pihak yang tidak tergabung dalam masyarakat hukum adat itu.3

Penelitian ini dilakukan untuk menggali pengetahuan mengenai tanah ulayat di kesatuan masyarakat hukum adat penghayat Sunda Wiwitan bernama Adat Karuhun Urang (AKUR) Sunda di Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat.4 Ira Indrawardana menjelaskan bahwa terdapat

1 _Valerine J. Kriekhoff, “Kedudukan Tanah Dati sebagai Tanah Adat di Maluku Tengah:

Suatu Kajian dengan Memanfaatkan Pendekatan Antropologi Hukum,” (Disertasi Doktor Universitas Indonesia, Jakarta, 1991), hlm. 24-26.

2 _G Kertasapoetra, et. al., Hukum Tanah, Jaminan Undang-Undang Pokok Agraria bagi

Keberhasilan Pendayagunaan Tanah, (Jakarta: Bina Aksara, 1985), hlm. 88.

3 _Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia: Sejarah Pembentukan Undang-Undang

Pokok Agraria, Isi, dan Pelaksanaannya, (Jakarta: Djambatan, 2005), hlm. 190.

4 _Nama “AKUR Sunda Cigugur” ini penulis dapatkan dari Ira Indrawardana,

(3)

beberapa ciri adat dan aturan adat dalam masyarakat penghayat Sunda Wiwitan di AKUR Sunda Cigugur, yaitu:5

a. Eksistensi ajaran dan budaya spiritual kesundaan masyarakat AKUR Sunda merupakan warisan serta pengembangan dari leluhur Sunda sejak adanya manusia dan kebudayaan Sunda.

b. Aturan-aturan kehidupan sosial budaya warga diatur oleh hukum adat atau hukum tidak tertulis dengan norma-norma etika kesundaan yang diselaraskan dengan perkembangan masyarakat, tanpa meninggalkan budaya spiritual Sunda.

c. Ajaran-ajaran budaya spiritual yang berkembang dalam tuntunan ajaran religiositas masyarakat AKUR Sunda berasal dari tuntunan spiritual Ketuhanan Yang Maha Esa leluhur Sunda tanpa menyerap unsur-unsur ritual dan ajaran dari keyakinan agama “luar”.

d. Tuntunan kemanusiaan dan kemasyarakatan masyarakat AKUR Sunda dilandaskan pada cara-ciri manusia dan cara-ciri bangsa sesuai kodrat dari Tuhan Yang Maha Esa yang telah dijadikan landasan berperilaku.

e. Penerapan ajaran atau tuntunan berdasarkan cara-ciri manusia dan bangsa dalam masyarakat AKUR berlaku dalam aspek aturan-aturan adat.

Berdasarkan uraian yang diberikan Prof. Dr. Sulistyowati Irianto di kelas Antropologi Hukum dan Metode Penelitian Sosio-Legal, penulis mengetahui bahwa keadaan tanah ulayat di masyarakat hukum adat AKUR Sunda Cigugur tidak sedang baik-baik saja. Masyarakat AKUR Sunda Cigugur menghadapi kemungkinan ekspansi kapital yang dapat merampas tanah ulayat mereka. Di samping itu, diketahui pula bahwa tanah ulayat di masyarakat AKUR Sunda Cigugur dapat dimiliki oleh orang perseorangan dan dapat dijual ke pembeli yang

notabene bukan anggota dari masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Kenyataan-kenyataan itu membuat penelitian yang akan kami kerjakan ini memiliki nilai penting. Secara garis besar, penulis akan meneliti mengenai sejarah tanah ulayat AKUR Sunda Cigugur dan perkembangan-perkembangan yang terjadi pada tanah ulayat tersebut hingga saat ini. Dalam aspek hak ulayat, penulis juga akan meneliti

5 _Ira Indrawardana, “Sunda Wiwitan dalam Dinamika Zaman,” (Makalah dipresentasikan

(4)

mengenai hubungan masyarakat hukum adat AKUR Sunda Cigugur dengan tanah ulayatnya. Dalam aspek penelitian hukum normatif, penulis akan meneliti mengenai instrumen-instrumen hukum yang mengatur tentang perlindungan tanah ulayat. Di Indonesia, perlindungan tanah ulayat dicapai melalui mekanisme pembuatan peraturan daerah mengenai pengakuan dan pengukuhan masyarakat hukum adat.

2. Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian dalam sub Latar Belakang di atas, penulis merumuskan beberapa pokok permasalahan, yaitu:

1. Bagaimanakah sejarah dan perkembangan tanah ulayat serta hak hak ulayat di masyarakat AKUR Sunda Cigugur hingga masa sekarang?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum Indonesia terhadap tanah ulayat masyarakat AKUR Sunda Cigugur?

3. Metode Penelitian

3.1 Cara Pengumpulan Data

(5)

membahas mengenai dasar hukum adat, tanah ulayat, dan hak ulayat. Penelitian-penelitian mengenai aspek-aspek kehidupan dan kebudayaan masyarakat AKUR Sunda Cigugur juga penulis kaji untuk mendapatkan pemahaman awal mengenai masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Selain itu, penulis juga melakukan analisis kritis terhadap peraturan perundang-undangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatur tentang pengukuhan masyarakat hukum adat sebagai bentuk perlindungan tanah ulayat. Analisis itu membahas apakah peraturan perundang-undangan dan Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut memiliki relevansi dengan konsepsi tanah ulayat dan hak ulayat yang terdapat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur.

3.2 Pengalaman Penelitian

(6)

masyarakat sunda cigugur. Artinya, penulis harus menginventarisasi kembali semua pertanyaan yang lebih sesuai dengan kondisi sosial-budaya di lokasi penelitian. Hal inilah yang menjadi alasan kebingungan penulis pada masa-masa awal penelitian. Penulis juga mengalami kesulitan dalam hal kuantitas informan yang dapat diwawancarai mengenai tema yang penulis bahas. Penyebabnya adalah terbatasnya pihak yang memahami secara holistik tanah ulayat dan hak ulayat. Dengan keterbatasan informan tersebut, penulis mencoba untuk benar-benar menggali informasi sebanyak dan seakurat mungkin dari informan yang tersedia. Selama melakukan penelitian, penulis menemukan banyak sekali fakta yang sangat menarik dari masyarakat AKUR Sunda Cigugur tersebut. Salah satunya adalah mengenai konstruksi tanah ulayat dan hak ulayat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur yang ternyata tidak seperti konstruksi tanah ulayat dan hak ulayat yang dipahami dalam hukum agraria. Ada banyak sekali pengalaman berkesan yang penulis rasakan selama melakukan kegiatan penelitian, dari mengenali secara lebih dekat masyarakat AKUR Sunda Cigugur, mengikuti kegiatan masyarakat di sana seperti upacara panen, mengikuti forum ais pangampi, bertemu dan berinteraksi dengan raja dan ratu di dalam Paseban, dan banyak hal lainnya. Mendapati situasi dan kondisi dari masyarakat di lokasi penelitian yang sangat khas dan berkarakter membuat proses penelitian menjadi jauh lebih menyenangkan. Rentang waktu 3 (tiga) hari terasa sangat singkat untuk dapat memahami secara paripurna tanah ulayat dan hak ulayat masyarakat akur sunda cigugur pada khususnya dan pola kehidupan masyarakat akur sunda cigugur pada umumnya.

3.3 Refleksi Metodologi

(7)

paling mendasar dari antropologi hukum, let the society speaks for itself,

setelah penulis melakukan wawancara dengan para informan, ditemukan fakta bahwa pemahaman dalam kerangka hukum positif yang akan dijadikan pisau analisa terhadap data empiris ternyata tidak cukup relevan. Penulis menemukan data bahwasanya dalam konstruksi tanah ulayat dan hak ulayat, masyarakat AKUR Sunda Cigugur memiliki pola khusus yang tidak sama dengan pemahaman terhadap konsep tanah ulayat dan hak ulayat pada hukum agrarian Indonesia serta putusan Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian, merujuk kembali pada konsep dasar dari antropologi hukum di atas, maka dalam laporan ini, analisa yang penulis lakukan akan dikontekstualisasikan dengan konstruksi tanah ulayat serta hak ulayat dari masyarakat akur sunda cigugur tersebut. Akan tetapi, penemuan yang penulis temukan dalam penelitian ini justru menjadi lebih menantang, yakni lebih membutuhkan pikiran kritis untuk mampu menganalisa data-data empiris yang tersedia secara komprehensif.

Selain itu, penulis menggunakan metode wawancara mendalam dengan berbagai informan. Kelebihan dari metode ini adalah bahwasanya penulis mendapatkan data dari sumber primer, sehingga data menjadi lebih akurat dan terpercaya. Akan tetapi, kelemahannya justru terletak pada terbatasnya jumlah informan yang dapat penulis wawancarai karena pihak yang memahami secara holistik konsepsi tanah ulayat dan hak ulayat dari masyarakat AKUR Sunda Cigugur tidaklah banyak, terbatas pada pemangku adat dan beberapa masyarakat saja. Dengan kondisi demikian, maka penulis menyiasati hal tersebut dengan menggali sebanyak mungkin informasi dari pihak-pihak yang memahami secara holistik tema penelitian yang penulis angkat ditambah dengan pengamatan yang penulis lakukan terhadap aktivitas serta kehidupan anggota masyarakat AKUR Sunda Cigugur yang berkaitan dengan pemanfaatan dan pengelolaan tanah ulayat.

4. Temuan

(8)

Masyarakat AKUR Sunda Cigugur adalah masyarakat agraris. Penghidupan utamanya berasal dari pertanian dan perkebunan. Berdasarkan komunikasi dengan beberapa orang warga adat AKUR Sunda Cigugur, penulis menyimpulkan bahwa masyarakat AKUR Sunda Cigugur memiliki hubungan yang sangat dalam dengan alamnya (termasuk tanah). Hubungan tersebut bahkan harus dijelaskan dengan perspektif yang metafisik, sebab masyarakat AKUR Sunda Cigugur tidak menganggap tanah hanya sebagai faktor produksi saja. Keterikatan mereka dengan tanahnya disebabkan oleh alasan-alasan yang sangat filosofis.

Pada hari kedua penelitian, penulis mengunjungi Situs Cipari, suatu situs peninggalan masa Megalitikum (zaman batu besar). Situs ini diyakini masyarakat sebagai tempat berenergi magis yang memiliki medan magnet kuat. Dipercaya bahwa situs ini adalah tempat meditasi yang tepat karena “doa yang diucapkan di sini sampai langsung ke hadapan Tuhan”. Situs Cipari juga merupakan situs yang keramat bagi warga AKUR Sunda Cigugur. Hal-hal mengenai Situs Cipari ternyata berhubungan pula dengan filosofi hubungan manusia dan alam raya dalam perspektif Sunda Wiwitan.

Pangeran Djati Kusumah menjelaskan, bahwa antara manusia dan alam raya adalah “satu tubuh”. Manusia adalah jagat mikrokosmos, sedangkan alam raya adalah jagat makrokosmos. Oleh karena itu, pada esensinya ajaran Sunda Wiwitan berpandangan bahwa manusia adalah bagian dari alam raya. Dari penjelasan tersebut, penulis berpandangan bahwa karena dianggap manusia dan alam raya adalah satu tubuh, maka alam raya tidak dianggap sebagai yang-di-luar-manusia. Alam raya tidak dipandang sebagai suatu entitas sumber daya yang bisa terus dieksploitasi hingga habis.

(9)

pihak yang tubuhnya boleh dieksploitasi oleh manusia. Dengan skema pemosisian manusia dan alam secara opositif tersebut, manusia dianggap sebagai pihak yang superior dan alam adalah pihak yang inferior. Hal demikian menjadi berbeda apabila logika yang dipakai adalah menyatunya manusia dan alam raya dalam satu tubuh kosmos. Dalam logika demikian, terjadi peleburan subjek; tidak ada yang mengeksloitasi dan tidak ada yang dieksploitasi. Dengan demikian, jika manusia Sunda memanfaatkan sumber daya alam, ia berkomitmen bahwa ia tidak akan merusak alam. Itu menunjukkan bahwa manusia Sunda memahami etika kelestarian alam. Berdasarkan uraian Pangeran Djati Kusumah dan Okky Satrio (menantu Pangeran Djati Kusumah, suami dari Ratu Dewi Kanti), penulis menyimpulkan bahwa hanya karena filosofi kebersatuan mikro dan makro kosmos itulah yang memungkinkan alam di sekitar Gunung Ciremai tetap lestari dan tidak rusak.

(10)

memiliki keutamaan spiritual itu, dalam kepercayaan Sunda Wiwitan, adalah Paseban Tri Panca Tunggal dan Situs Megalitikum Cipari.

Paseban Tri Panca Tunggal merupakan lokasi istimewa sebab Pangeran Madrais memilih lokasi tersebut untuk memberikan pengajaran-pengajaran mengenai Sunda Wiwitan pada masa kepemimpinannya. Sejak saat itu pula, Paseban menjadi pusat kepemimpinan Pangeran Madrais, hingga berlanjut ke Pangeran Tedja Buana dan Pangeran Djati Kusumah. Begitupun Situs Megalitikum Cipari, seperti sudah diuraikan sebelumnya, diyakini sebagai situs yang memancarkan energi spiritual kuat. Sebagai salah satu “titik tekan” di jagat makro kosmos, masyarakat AKUR Sunda Cigugur percaya bahwa dengan beribadah di situs itu, mereka menjadi lebih dekat dengan Tuhan. Sebenarnya, semua situs adat yang dikeramatkan oleh masyarakat AKUR Sunda Cigugur memiliki nilai keutamaannya masing-masing sehingga dapat pula disebut sebagai “titik-titik tekan” di jagat makro kosmos. Untuk itu, perlu dikemukakan terlebih dahulu mengenai wilayah-wilayah mana saja yang merupakan tanah ulayat bagi masyarakat AKUR Sunda Cigugur.

4.2 Wilayah-wilayah Tanah Ulayat

(11)

unsur keagamaan dalam hubungan hukum antara para warga masyarakat hukum adat dan tanah ulayatnya itu.6

Dengan demikian, Hak Ulayat masyarakat hukum adat tersebut:

a. Selain mengandung hak kepunyaan bersama atas tanah-bersama para anggota atau warganya, yang termasuk bidang hukum perdata. b. Juga mengandung tugas kewajiban mengelola, mengatur, dan memimpin penguasaan, pemeliharaan, peruntukan dan penggunaannya, yang termasuk bidang hukum publik.

Dalam lensa positivism hukum, hak ulayat diakui oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Agraria, tetapi pengakuan itu disertai 2 (dua) syarat yaitu mengenai “eksistensinya” dan mengenai pelaksanaannya. Hak ulayatn tersebut diakui “sepanjang menurut kenyataannya masih ada”, sebagaimana yang termaktub pada Pasal 3 UUPA. Di daerah-daerah di mana hak itu tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. Di daerah-daerah di mana tidak pernah ada hak ulayat tidak akan dilahirkan hak ulayat baru.

Pasal 3 UUPA berbunyi:

Pelaksanaan hak ulayat harus sedemikian rupa sehingga sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan undang-undang dan peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi

Berdasarkan keterangan Pangeran Djati Kusumah dan Ratu Juwita (anak Pangeran Djati Kusumah), di lingkungan masyarakat AKUR Sunda Cigugur, terdapat pengaturan mengenai tanah dan hak atas tanah. Tanah dibagi menjadi dua jenis: pertama adalah tanah komunal; dan kedua

adalah tanah warga. Terhadap tanah warga, warga dapat mengenakan hak milik di atasnya. Sedangkan terhadap tanah komunal, terdapat beberapa larangan, yaitu:

a. tanah komunal tidak dapat dibagiwariskan;

6 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan

(12)

b. tanah komunal tidak dapat diperjualbelikan; dan

c. tanah komunal tidak dapat dipindahtangankan.

Dalam konsep masyarakat AKUR Sunda Cigugur, tanah komunal disebut juga dengan tanah ulayat atau tanah keraton. Istilah itu disebutkan dalam manuskrip kuno tulisan tangan Pangeran Madrais. Manuskrip tersebut berisikan ajaran-ajaran Sunda Wiwitan.

Ratu Dewi Kanti (anak dari Pangeran Djati Kusumah, istri Bapak Okky Satrio) menerangkan bahwa manuskrip kuno Pangeran Madrais tersebut tersimpan dalam satu lemari besar. Manuskrip-manuskrip tersebut hingga sekarang masih dalam proses penerjemahan. Menarik diketahui, bahwa manuskrip itu ditulis dengan aksara khusus yang hanya dipahami oleh Pangeran Madrais dan keturunan-keturunannya. Pembuatan aksara khusus tersebut, dijelaskan oleh Ratu Dewi Kanti, bertujuan agar ajaran-ajaran Sunda Wiwitan tidak bisa dibaca oleh pemerintah kolonial Belanda, selain itu juga untuk menghindari pencemaran substansi ajaran Sunda Wiwitan. Saat ini, hanya ada dua orang yang bisa membaca dan menerjemahkan manuskrip tersebut, yaitu Pangeran Djati Kusumah dan Pangeran Gumirat Barna Alam, anak laki-laki satu-satunya Pangeran Djati Kusumah yang akan menggantikannya sebagai pemimpin adat.

(13)

Ratu Dewi Kanti dan Ratu Juwita menerangkan bahwa tanah keraton (masyarakat AKUR Sunda Cigugur lebih sering menyebut “tanah keraton” daripada “tanah ulayat”) tidak terpusat di wilayah Paseban Tri Panca Tunggal saja. Tanah keraton itu menyebar di beberapa wilayah. Mereka menjelaskan bahwa tidak semua warga adat mengetahui batas tanah keraton ada di mana. Bahkan, orang keraton (keluarga Pangeran Djati Kusumah) juga belum tahu pasti di mana-mana saja batas tanah keraton itu. Batas-batas tanah keraton yang belum semuanya diketahui dengan jelas itu berkaitan langsung dengan proses penerjemahan manuskrip kuno Pangeran Madrais. Karena belum semua manuskrip itu diterjemahkan, maka belum dapat diketahui secara lengkap dan pasti mengenai batas-batas tanah keraton menurut konsep Pangeran Madrais saat ia menulis manuskrip dulu. Hal ini juga sesuai dengan pendapat dari Boedi Harsono yang menyatakan bahwa pada umumnya, batas-batas tanah ulayat suatu masyarakat hukum adat sangat sulit untuk diketahui dan ditentukan. Satu hal yang dapat diketahui berdasarkan uraian Ratu Dewi Kanti, ada sinyal yang ditangkap dari penerjemahan manuskrip bahwa bahwa tanah keraton masyarakat AKUR Sunda Ciggur wilayahnya hingga daerah Kadugede, Kabupaten Kuningan.

Meskipun manuskrip Pangeran Madrais masih dalam proses penerjemahan, terdapat beberapa wilayah tanah keraton yang sudah diketahui secara luas oleh masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Wilayah-wilayah tanah keraton yang telah diketahui itu adalah:

1. Paseban Tri Panca Tunggal; 2. Leuweung Leutik (hutan kecil); 3. Petilasan Curug Go’ong; 4. Situ Hyang;

5. Hutan Larangan di Desa Rambatan; dan

6. Tanah di belakang Sekolah Menengah Pertama (SMP) Trimulya.

(14)

Setiap tanggal 22 Rayagung Tahun Saka Sunda, Paseban menjadi pusat perayaan upacara adat Seren Taun, suatu upacara adat untuk mensyukuri berkah Tuhan. Paseban Tri Panca Tunggal telah mendapat pengukuhan sebagai cagar budaya nasional yang dilindungi.

Leuweung Leutik (hutan kecil) adalah suatu daerah hutan larangan bagi masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Leuweung Leutik pernah memiliki girik namun girik itu sekarang telah hilang. Leuweung Leutik dan tanah di belakang SMP Trimulya sedang disengketakan di Pengadilan Negeri Kuningan sebab kedua tanah keraton tersebut diperjualbelikan oleh kerabat keraton kepada pihak luar, padahal tanah keraton dilarang untuk diperjualbelikan. Menurut sejarahnya, Leuweung Leutik digunakan untuk ritual menanam. Adanya girik pada lokasi ini juga merupakan suatu hal yang perlu dianalisa. Sebelum lahirnya UUPA, girik masih diakui sebagai tanda bukti hak atas tanah, tetapi setelah UUPA lahir dan Peraturan Pemerintan Nomor 10 Tahun 1961 sebagaimana telah dirubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, hanya sertifikat hak atas tanah yang diakui sebagai bukti kepemilikan hak atas tanah. Sekalipun demikian selain sertifikat hak atas tanah nampaknya tanda hak lain pun masih ada yang berlaku yakni Girik atau kikitir.7

Petilasan Curug Go’ong adalah tempat Pangeran Madrais bersama pengikutnya mendinginkan lahar letusan Gunung Ciremai pada tahun 1937. Pangeran Madrais dan para pengikutnya mendinginkan lahar letusan Gunung Ciremai dengan memainkan gamelan. Setelah letusan Gunung Ciremai berhasil didamaikan, Pangeran Madrais tidak kembali ke Paseban, namun menetap di petilasan hingga meninggal pada tahun 1939. Berdasarkan sejarahnya yang demikian, maka petilasan Curug Go’ong termasuk ke dalam kategori situs kabuyutan, yaitu situs yang memiliki nilai penting bagi para leluhur, sehingga Curug Go’ong merupakan situs bersejarah, terutama bagi masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Ada cerita menarik mengenai penguasaan hak atas tanah di Curug Go’ong. Menurut Pangeran Djati Kusuma dan Ratu Dewi Kanti, pasca tahun 1945, Curug

7 A.P Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar

(15)

Go’ong pernah dipatok-patoki dan dimiliki oleh perorangan. Namun akhirnya Curug Go’ong dibeli kembali oleh Pangeran Djati Kusumah karena nilai sejarah dan pertimbangan bahwa Curug Go’ong adalah situs

kabuyutan masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Menarik untuk mengetahui bahwa Curug Go’ong yang merupakan tanah keraton ini ternyata perlu dibeli kembali sehingga hak miliknya kembali kepada keraton.

Tanah keraton selanjutnya adalah Situ Hyang. Sayang sekali penulis tidak berhasil menggali lebih dalam mengenai Situ Hyang ini. Tanah keraton selanjutnya adalah Hutan Larangan di Desa Rambatan. Hutan ini penulis datangi langsung dengan dipandu oleh Okky Satrio. Dijelaskan oleh Okky Satrio bahwa Hutan Larangan di Desa Rambatan dan Leuweung Leutik sama-sama berfungsi sebagai hutan larangan bagi masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Okky Satrio menunjukkan bahwa alam di Hutan Larangan di Desa Rambatan telah dirusak oleh aktivitas penambangan batu onyx yang terkandung dalam Hutan Larangan. Kerusakan di Hutan Larangan berdampak hingga jarak 10 km dari Hutan Larangan. Okky Satrio menjelaskan bahwa batu onyx adalah batu yang kualitasnya lebih tinggi daripada batu marmer. Batu onyx biasa diolah menjadi meja atau peralatan batu yang harganya mahal sekali. Aktivitas penambangan tersebut dilakukan oleh suatu perusahaan yang mendapat izin dari Pemerintah Kabupaten Kuningan.

(16)

Penulis menganalisis bahwa tanah-tanah keraton ini semuanya memiliki keutamaan serta nilai sejarah sendiri. Faktor sejarahnya berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang Pangeran Madrais pernah lakukan di tempat tersebut (contohnya Paseban dan Petilasan Curug Go’ong). Oleh karena itu, beberapa dari tanah keraton ini merupakan situs kabuyutan bagi masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Sebab memiliki keutamaan dan nilai pentingnya sendiri, tanah-tanah keraton itu dapat disebut sebagai “titik tekan” dalam jagat makro kosmos menurut keyakinan Sunda Wiwitan. Tanah-tanah keraton tersebut dipercaya memiliki hubungan atau dapat menyambungkan manusia Sunda kepada rahasia alam raya yang besar dan tak kasat mata.

Selain beberapa tanah keraton yang sudah disebutkan di atas, penulis juga hendak menguraikan mengenai tanah desa yang disewa oleh masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Tanah tersebut merupakan sawah yang digunakan secara kolektif oleh masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Berdasarkan keterangan Muhono dan Robby, sawah tersebut ditanam secara bersama-sama dan dipanen secara bersama-sama oleh masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Pada saat meneliti, penulis berkesempatan mengikuti prosesi panen tersebut. Dijelaskan oleh Okky Satrio bahwa padi yang dipanen saat itu akan disimpan di lumbung padi yang terletak di kompleks Paseban untuk keperluan upacara adat Seren Taun tahun 2016 ini. Meskipun tanah tersebut bukanlah tanah keraton dan disewa dari desa, namun pemanfaatannya tetap digunakan untuk kepentingan kolektif.

4.2 Ikatan Berdasarkan Tanah

(17)

Trimulya yang diperjualbelikan oleh kerabat keraton secara melawan hak. Para Penggugat dalam gugatan ini adalah Ais Pangampih dan Pangeran Djati Kusumah. Ais Pangampih adalah forum adat masyarakat AKUR Sunda Cigugur yang salah satu fungsinya adalah menyelesaikan sengketa adat. Anggota-anggota

Ais Pangampih merupakan perwakilan dari masyarakat penghayat Sunda Wiwitan yang tersebar di beberapa daerah di Jawa Barat, yaitu perwakilan dari:

1. Cisuru; 2. Cigugur; 3. Bunter; 4. Banjar; 5. Tasikmalaya; 6. Garut;

7. Bandung;

8. Cibulit Tabog; dan 9. Subang.

Pusat kegiatan Ais Pangampih adalah di Cigugur. Penulis sempat mengikuti satu rapat adat yang diadakan oleh Ais Pangampih. Rapat adat itu biasanya diisi oleh pemberitahuan kabar-kabar terkini mengenai keadaan masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Seperti pada rapat yang penulis ikuti tersebut, bahasannya adalah seputar perkembangan gugatan perdata di Pengadilan Negeri Kuningan. Berdasarkan keterangan Pak Candoli (bendahara di Ais Pangampih), penulis mengetahui bahwa pengikut Pangeran Madrais yang menganut Sunda Wiwitan sejak dulu tinggal menyebar di seluru Jawa Barat, tidak terpusat hanya di Cigugur saja. Pengikut-pengikut Pangeran Madrais menetap dan menambah keturunan di sembilan daerah tersebut.

(18)

menggugat adalah Ais Pangampih serta Pangeran Djati Kusumah, padahal diketahui bahwa hanya sedikit anggota Ais Pangampih

yang tinggal di Cigugur. Para anggota Ais Pangampih yang tinggal di luar Cigugur (delapan daerah) mengikatkan dirinya sebagai masyarakat penghayat Sunda Wiwitan yang menyatu dengan masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Ikatan tersebut disebabkan oleh kesadaran bahwa para anggota Ais Pangampih yang tinggal di luar Cigugur itu semuanya merupakan pengikut atau keluarga pengikut dari Pangeran Madrais. Meskipun mereka tidak tinggal di Cigugur, namun “serangan” terhadap tanah keraton yang letaknya di Cigugur, juga dianggap sebagai “serangan” kepada mereka. Dengan konsep bahwa Ais Pangampih yang tinggal di luar Cigugur adalah satu kesatuan dengan masyarakat AKUR Sunda Cigugur karena sama-sama pengikut Pangeran Madrais dan penghayat Sunda Wiwitan, maka tanah keraton masyarakat AKUR Sunda di Cigugur juga merupakan tanah keraton bagi mereka yang tidak tinggal di Cigugur. Ikatan tersebut ternyata melampaui batas-batas geografis.

5. Analisa

Berdasarkan pemaparan di atas, maka terdapat beberapa hal yang sangat krusial untuk dianalisa, yakni:

1. Konsep tanah ulayat dalam UUPA lebih sempit dibandingkan dengan konsep tanah ulayat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, tanah ulayat dikonstruksikan sebagai tanah milik bersama (komunal) yang digunakan untuk kepentingan bersama dengan pengaturan yang dijalankan oleh seorang pemimpin kelompok adat. Terdapat tiga poin utama yang harus kita lihat dari pendekatan tersebut, yakni:

(19)

c. Tanah ulayat tersebut diatur oleh seorang pemimpin kelompok adat.

Penulis berpendapat bahwa ketika syarat di atas haruslah terpenuhi secara kumulatif untuk dapat memandang apakah suatu tanah merupakan tanah ulayat atau tidak. Syarat-syarat di atas sangat berbeda dengan apa yang terdapat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Sebagaimana yang penulis paparkan di atas, dalam masyarakat AKUR Sunda Cigugur, terdapat konstruksi hak ulayat yang lebih luas, yakni:

a. Konstruksi tanah ulayat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur yang sesuai dengan UUPA

Konstruksi yang sesuai dengan UUPA ini terlihat pada hak atas tanah pada Hutan Larangan. Hutan larangan ini dimiliki oleh masyarakat secara komunal dan digunakan pula untuk kepentingan masyarakat secara komunal, sedangkan pengaturannya dilaksanakan oleh pemimpin kelompok adat, dalam hal ini Pangeran Djati Kusumah. Konstruksi ini jelas sesuai dengan konsep dari tanah ulayat yang terdapat dalam UUPA sebagaimana telah penulis paparkan sebelumnya.

b. Konstruksi yang tidak sesuai dengan UUPA namun dalam masyarakat AKUR Sunda Cigugur merupakan tanah ulayat.

Konsep tanah ulayat pada UUPA, sebagaimana telah penulis sampaikan di atas, bersifat kumulatif. Artinya, ketentuan tersebut menjadi sangat rigid dan sempit. Berbeda dengan konsep tanah ulayat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur yang jauh lebih luas dibandingkan dengan tanah ulayat pada UUPA tersebut. Perbedaan-perbedaan tersebut ialah:

i. Adanya tanah yang hak miliknya dipegang oleh keraton, tetapi merupakan tanah ulayat.

(20)

yang merupakan hak milik keraton -bukan milik masyarakat secara komunal- akan tetapi merupakan tanah ulayat. Hal ini dapat dilihat pada Curug Go’ong yang tanahnya dibeli lagi oleh keraton dengan pertimbangan historis dan manfaat bagi masyarakat AKUR Sunda Cigugur. Sebagaimana yang kita ketahui, tanah yang dapat dilakukan proses jual-beli terhadapnya hanyalah tanah dalam ranah hak milik. Dengan dibelinya tanah Curug Go’ong tersebut oleh keraton, hal tersebut menunjukkan bahwa Curug Go’ong adalah hak milik keraton. Akan tetapi, dalam pandangan masyarakat AKUR Sunda Cigugur, tanah tersebut adalah tanah ulayat. Hal ini juga sesuai dengan pemanfaatan dari Curug Go’ong yang ditujukan bagi kepentingan bersama (komunal). Selain Curug Go’ong, wilayah tanah lainnya yang dilekati dengan hak milik keraton namun merupakan bagian dari hak ulayat adalah tanah keraton yang dihibahkan kepada Gereja Katholik dan Rumah Sakit. Penghibahan suatu tanah juga sejatinya berada dalam ruang lingkup hak milik, dalam hal ini hak milik keraton dan bukan hak milik masyarakat secara komunal. Meskipun demikian, tanah keraton yang dhibahkan tersebut juga menjadi bagian dari tanah ulayat masyarakat AKUR Sunda Cigugur.

ii. Adanya tanah dengan girik yang juga menjadi bagian dari tanah ulayat

(21)
(22)

Cigugur. Hal ini juga terbukti dalam sengketa yang saat ini terjadi pada Leuweung Leutik dan tanah di belakang SMP Trimulya, pihak yang menjadi penggugat bukan hanya pihak dari keraton akur sunda cigugur yang berada di Paseban Tri Panca Tunggal dalam hal ini diwakili oleh Pangeran Djati Kusumah, melainkan juga

ais pangampih yang merupakan perwakilan anggota masyarakat. Hal ini membuktikan bahwa girik dalam masyarakat AKUR Sunda Cigugur haruslah dimaknai sebagai girik milik masyarakat secara komunal.

Hal-hal di atas menunjukkan bahwasanya pengaturan mengenai tanah ulayat masyarakat AKUR Sunda Cigugur bukan hanya dipandang dari kepemilikan secara komunal yang terdapat dalam UUPA, akan tetapi jauh lebih luas, yakni hak milik keraton juga dapat menjadi dasar bagi keberadaan tanah ulayat dengan menekankan aspek pemanfaatan bagi masyarakat AKUR Sunda Cigugur itu sendiri. Hal ini perlu mendapatkan perhatian khusus, karena dengan lebih luasnya ketentuan mengenai tanah ulayat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur dibandingkan hukum positif di Indonesia, berarti terdapat kekosongan hukum terhadap ketentuan-ketentuan di luar hukum positif tersebut. Artinya, perlindungan terhadap tanah ulayat masyarakat AKUR Sunda Cigugur belum holistik dan komprehensif.

2. Ikatan terhadap tanah yang begitu kuat bagi seluruh pengikut atau keluarga pengikut Pangeran Madrais.

(23)

penggugatnya ternyata bukan hanya berasal dari daerah Cigugur saja. Terdapat ais pangampih yang berada di luar daerah Cigugur yang ikut menjadi penggugat. Hal ini didasarkan adanya paradigma bahwa “serangan” terhadap tanah keraton di Cigugur merupakan “serangan” pula kepada mereka. Hal ini dapat terjadi karena ais pangampih yang berada di luar Cigugur merupakan suatu kesatuan dengan masyarakat AKUR Sunda Cigugur karena sama-sama pengikut Pangeran Madrais dan penghayat Sunda Wiwitan. Ikatan-ikatan tersebut nyatanya tidak dibatasi oleh garis-garis administrasi maupun batas geografis.

3. Pasal 3 UUPA yang dikhawatirkan dapat mereduksi atau bahkan lebih parah, menghilangkan hak-hak ulayat masyarakat AKUR Sunda Cigugur.

Pasal 3 UUPA sejatinya berisi rumusan bahwa di daerah-daerah di mana hak itu tidak ada lagi, tidak akan dihidupkan kembali. Di daerah-daerah di mana tidak pernah ada hak ulayat tidak akan dilahirkan hak ulayat baru. Dengan adanya rumusan seperti ini, maka secara tidak langsung UUPA telah menutup ruang bagi lahirnya tanah-tanah ulayat baru. Padahal, sebagaimana dipaparkan oleh Ratu Dewi Kanti, manuskrip yang menjadi dasar pedoman hidup masyarakat AKUR Sunda Cigugur, yang berisikan ketentuan-ketentuan mengenai wilayah-wilayah tanah ulayat, masih dalam proses transliterasi. Artinya, hingga saat ini, wilayah-wilayah tanah ulayat yang terdapat di dalam manuskrip tersebut belumlah sepenuhnya dapat diketahui. Seiring dengan adanya proses transliterasi tersebut, terdapat kemungkinan adanya lokasi-lokasi baru yang ternyata merupakan bagian dari tanah ulayat. Di sinilah letak permasalahan yang timbul, karena UUPA sudah menutup ruang bagi munculnya tanah-tanah ulayat yang baru. Padahal, nyatanya, masih terdapat kemungkinan penemuan-penemuan lokasi tanah ulayat yang baru.

(24)

Berdasarkan hasil penelitian yang telah penulis lakukan, dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

i. Bahwa di dalam masyarakat AKUR Sunda Cigugur terdapat hak ulayat serta tanah ulayat.

ii. Bahwa tanah ulayat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur sangat kental dengan aspek historis dari keberadaan suatu tanah ulayat tersebut.

iii. Bahwa konsep tanah ulayat pada masyarakat AKUR Sunda Cigugur lebih luas dibandingkan dengan konsep tanah ulayat pada UUPA.

iv. Bahwa perbedaan konsep tersebut terutama terletak pada kepemilikan atas tanah serta pemanfaatan tanah ulayat tersebut

Referensi

Dokumen terkait

Hasil pemeriksaan kadar Kromium VI (Cr VI) pada air Sungai Pangkajene baik pada pagi dan sore hari menunjukan bahwa logam Kromium VI (Cr VI) terdeteksi dalam air

dalam fersi perbankan syariah di Indonesia adalah aturan atau perjanjian berdasarkan yang dilakukan oleh pihak bank dan pihak lain untuk menyimpan dana atau untuk pembiayaan

Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia memungkinkan berbagai-bagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang bersatu dengan tidak perlu

memang ada p€ientangan antara ayat "f idok odo satu umot pun kecuoli odo di dolomnyo seorcng (nobi) pembawo peringoton" dengan perkalaan orang yang meninggal dalam

Akan tetapi kelebihan yang paling utama adalah permainan-permainan ini disediakan berdasarkan sub-subtopik dalam tajuk Geometri Pepejal (Solid geometry) Matematik tingkatan

Dapat dilihat hubungan senam lansia sebagai olahraga yang cocok untuk meningkatkan kualitas tidur lansia yang dimana senam lansia adalah aktivitas olahraga yang

Lokus pada masalah-masalah publik dan kepentingan publik, fokusnya adalah teori organisasi, ilmu manajemen, kebijakan publik dan political-economy. Figur penting: Gulick, dan

Berdasarkan kondisi di atas peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang penerapan psikoedukasi keluarga untuk mengetahui pengaruhnya terhadap beban dan kemampuan