• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Agresifitas Politik Luar Negeri Republik Rakyat Cina Dalam Sengketa Perbatasan Di Kawasan Asia Pasifik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang - Agresifitas Politik Luar Negeri Republik Rakyat Cina Dalam Sengketa Perbatasan Di Kawasan Asia Pasifik"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.

Latar Belakang

Abad 21 merupakan abad kebangkitan Asia. Kesuksesan pembangunan yang terjadi di

negeri-negeri di kawasan tersebut dalam beberapa dekade terakhir menjadi alasan dari

pernyataan tersebut. Tidak dipungkiri lagi, munculnya sejumlah negara dengan tingkat

penghasilan yang tinggi di Asia telah mengubah wajah negeri-negeri tersebut dari semula

hanyalah negeri miskin yang tak begitu disegani namun kini menjadi salah satu pemain kunci

dalam percaturan global. Kesuksesan pembangunan dan industrialisasi di sejumlah negara

Asia seperti Jepang, Republik Rakyat Cina (RRC), Taiwan (Republik Cina), Korea Selatan,

Singapura, India, serta diikuti pula oleh sejumlah negara berpenghasilan menengah seperti

Thailand, Vietnam, Malaysia, Indonesia dan Filipina menjadikan wilayah Asia sebagai

kekuatan ekonomi global yang baru.

Seiring dengan kemajuan dalam pembangunan infrastruktur, Asia sudah tidak lagi

sekedar dipandang sebagai penghasil bahan mentah untuk kepentingan industri maju yang

berbasis di negara-negara Eropa dan Amerika Utara. Beralihnya kawasan produksi

manufaktur dari negara-negara maju ke wilayah Asia menyebabkan pergeseran yang dramatis

terhadap neraca ekspor-impor, dimana produk-produk manufaktur Asia mulai dipasarkan di

negara-negara maju yang sudah beralih ke industri jasa dan teknologi tinggi. Meskipun,

peralihan produksi tersebut lebih disebabkan oleh hukum rimba dalam bidang ekonomi,

dimana tenaga kerja yang murah dan melimpah di wilayah Asia lebih menjanjikan margin

keuntungan yang besar bagi Multi National Corporation (MNC), tetapi dampak yang ditimbulkan dari perubahan tersebut setidaknya membawa peningkatan penghasilan per

kapita di negara-negara Asia.

Kemajuan dalam bidang ekonomi inilah yang kemudian mengubah pola hubungan

dan interaksi dalam politik global. Sebab, kebangkitan sejumlah negara-negara di kawasan

Asia telah membawa konsekuensi logis berupa peningkatan anggaran dalam bidang

pertahanan serta status posisi tawar negara-negara tersebut dalam rejim internasional. Kondisi

tersebut menyebabkan munculnya poros kekuatan-kekuatan baru dalam konstelasi global,

(2)

tawarnya tidak lagi bisa didikte oleh negara-negara besar yang menguasai panggung rejim

internasional selama ini. Dunia mulai beralih dari masa bipolarisme era perang dingin menuju

masa multipolarisme yang ditunjukkan dengan semakin menguatnya institusi negara sebagai

aktor dalam politik internasional.

Dalam bukunya, Post-American World, Fareed Zakaria menulis, dunia tengah bergerak dari kebencian ke ketidakpedulian, dari anti-Amerikaisme ke post-Amerikaisme.

Fakta bahwa kekuatan baru lebih kuat menegaskan kepentingan mereka adalah realitas dunia

pasca-Amerika. Hal ini juga menimbulkan teka-teki politik tentang bagaimana untuk

mencapai tujuan internasional di dunia yang banyak aktor, negara dan bukan negara.1 Hal ini

menegaskan bahwa tidak ada lagi dominasi kekuatan tunggal dalam percaturan politik

internasional, dan bahwa kekuatan politik global tengah terdistribusi ke negara-negara lain di

luar barat, khususnya Asia yang kini tengah berkembang menjadi pusat perekonomian global.

Yang menjadi persoalan kemudian, apakah pola multipolarisme yang saat ini tengah

terjadi dalam tata dunia internasional dapat menjamin berlangsungnya kedamaian, harmoni,

dan stabilitas ? Meskipun terdapat rejim internasional yang berkomitmen menjaga

perdamaian dunia seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa, serta terdapat mekanisme

perdagangan internasional yang menjamin terpenuhinya kepentingan nasional tiap-tiap

negara melalui Organisasi Perdagangan Dunia, dimana peraturan perdangangan yang ada,

merupakan hasil kesepakatan oleh mayoritas negara di dunia, tetapi adakah yang bisa

menjamin bahwa semua itu mampu meredam potensi konflik yang mungkin muncul akibat

perebutan kepentingan antar negara ?

Sebab, bukanlah hal yang baru jika kita mengatakan bahwa rejim internasional telah

kehilangan legitimasinya sejak lama. Ada banyak sengketa dan konflik yang tidak mampu

diselesaikan melalui prosedur dan mekanisme politik yang berlangsung di PBB. Ada banyak

sekali resolusi dalam rangka perdamaian yang diabaikan oleh entitas politik dan negara akibat

berbenturan dengan kepentingan negaranya masing-masing, serta bukanlah hal yang aneh

jika dikatakan bahwa PBB dikuasai oleh segelintir negara besar2 yang ingin tetap

mempertahankan kekuasaannya dalam tubuh organisasi tersebut demi kelangsungan

1

Fareed Zakaria, The Post-American World, New York, W.W Norton & Company Inc, 2009, hal 36 - 37

2 Hal ini tercermin dalam pemberian hak veto yang merupakan hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan,

(3)

pencapaian kepentingannya sendiri. Sehingga bukannya memberikan solusi, yang terjadi tak

jarang justru menimbulkan persoalan dalam proses penyelesaian konflik di berbagai belahan

dunia. Berdasarkan fakta tersebut, relitas dan hakikat hubungan internasional yang dibangun

melalui rejim internasional bersifat semu. PBB dibentuk sebagai upaya untuk mengendalikan

karakteristik anarkis yang sesungguhnya menjadi pola alami dari hubungan internasional itu

sendiri. Karena itu, tidak ada yang bisa menjamin konflik di dunia akan berakhir hanya

dengan mengandalkan konsensus pada tataran rejim internasional.

Dalam pandangan realisme klasik, perimbangan kekuasan (balance of power) menjadi syarat mutlak untuk menciptakan stabilitas. Peningkatan anggaran belanja

pertahanan di suatu negara misalnya, hendaknya direspon dengan peningkatan anggaran yang

serupa di negara-negara kawasan sekitarnya untuk memastikan negara-negara tersebut aman

dari intervensi politik dan militer dari negara yang dikhawatirkan akan bersikap agresif.

Selain itu, negara-negara juga hendaknya menjalin aliansi pertahanan apabila secara sadar

tidak mampu mengimbangi kekuatan-kekuatan besar disekelilingnya.

Melihat fenomena yang terjadi dalam beberapa dekade terakhir, terutama setelah

tumbangnya model tata dunia bipolar sejak runtuhnya Uni Soviet awal 90-an, terlihatlah

bahwa peran negara bangsa kian menguat. Amerika Serikat yang tetap bertahan sebagai

negara superpower tunggal pasca perang dingin, awalnya dianggap sebagai poros pemersatu yang akan membawa nilai-nilai globalisasi pada taraf universal, sehingga nilai-nilai

demokrasi liberal, HAM, dan sistem ekonomi pasar bebas akan berlaku untuk satu dunia.

Akan tetapi, realitas yang terjadi membuktikan, bahwa homogenitas dalam nilai dan

teknologi yang dibawa bersamaan dengan globalisasi tidak menjamin lunturnya kedaulatan

negara-bangsa dalam pentas politik internasional. Sebaliknya, kecendrungan sentimen

nasionalisme semakin menguat di banyak negara, bahkan perpecahan secara kultural juga

tengah terjadi pada masyarakat yang berada di level lebih rendah.

Dalam kasus krisis ekonomi yang melanda Eropa misalnya, muncul fenomena di

kalangan masyarakat Jerman yang merasa tidak sudi apabila pajak yang dibayarkannya

kepada negara justru dipakai untuk menanggulangi persoalan kredit yang ada di Yunani,

meskipun kedua negara dipersatukan dalam Uni Eropa. Sedangkan, di Asia Tenggara

ketegangan antara Indonesia dan Malaysia dalam persoalan sengketa perbatasan dan isu

budaya tak kunjung usai meskipun kedua negara dipertemukan dalam ASEAN yang mustinya

(4)

anggota. Hal yang sama juga terjadi misalnya dalam kasus Thailand dan Kamboja yang

malah lebih jauh, dimana kedua negara sama-sama mengirimkan tentaranya untuk bertempur

akibat persoalan sengeketa kedaulatan. Kecendrungan ini menimbulkan kesimpulan bahwa

peran negara sebagai aktor dalam politik internasional tidaklah mungkin dinafikan, malah

peran negara-bangsa sebagai aktor menunjukkan penguatan ketika tata pemerintahan global

kian kehilangan bentuk dalam merumuskan konsensus internasional.

Salah satu aktor negara yang dianggap muncul sebagai kekuatan baru dalam

konstelasi politik internasional adalah Republik Rakyat Cina (RRC). Kebangkitan RRC

menjadi sebuah negara yang kuat dan stabil di Asia dengan pertumbuhan ekonomi yang

mencapai dua digit dalam beberapa tahun menjadikannya sebagai aktor berpengaruh dalam

tatanan regional maupun internasional. Tak hanya pertumbuhan ekonomi, kebangkitan RRC

juga diikuti dengan kebangkitan industri pertahanannya yang memang sejak lama dirintis

melalui prinsip kemandirian. RRC berhasil meniru teknologi barat untuk merintis

proyek-proyek industri strategisnya serta memodofikasinya sesuai dengan kebutuhan sendiri.

Tak bisa dipungkiri, kebangkitan RRC dalam beberapa tahun terakhir telah

menyebabkan perubahan kebijakan luar negeri dari negara-negara barat, terutama Amerika

Serikat yang kini terlihat lebih fokus pada isu keamanan dan stabilitas di kawasan Asia

Pasifik dari semula hanya fokus pada wilayah-wilayah rawan seperti Eropa Timur ataupun

Timur Tengah yang merupakan daerah rawan konflik pada masa sebelumnya. Kebangkitan

RRC ini patut untuk menjadi perhatian sebab wilayah Asia Pasifik masih menyisakan

sejumlah potensi konflik yang belum berakhir seperti ketegangan di semenanjung Korea dan

klaim RRC atas kepulauan Formosa yang saat ini merupakan wilayah kedaulatan Republik

Cina (Taiwan). Selain itu juga terdapat jalur perlintasan internasional di kawasan perairan

Laut Cina Selatan yang juga sangat berkaitan erat dengan kepentingan negara-negara barat

untuk memastikan area tersebut bebas untuk bernavigasi.

Sejak 1970-an, RRC telah beranjak dari sistem perekonomian tertutup yang

sentralistis menuju sistem terbuka yang berorientasi pasar. RRC merupakan negara dengan

skala ekonomi terbesar dengan total Produk Domestik Bruto sebesal $ 12,38 triliun pada

tahun 2012, memiliki angkatan kerja terbesar di dunia yakni sebesar 795,4 juta jiwa, serta

menjadi negara pengekspor terbesar di dunia, yang pada tahun 2012 membukukan nilai

ekspor senilai $ 201,7 miliar.3 Dengan kondisi yang ada saat ini, RRC menjadi lawan yang

3

(5)

seimbang bagi Amerika Serikat dalam kompetisi perebutan cengkraman hegemoni dan

kepentingan kedua negara tersebut dalam politik internasional.

Dilihat dari sudut pandang lainnya, kebangkitan RRC sebagai sebuah tinjauan

peradaban dengan nilai-nilai yang dibawanya bersikap relatif dengan nilai-nilai barat.

Peradaban Sino4 tidak sepakat dengan konsep demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia

ala barat yang selalu dijadikan justifikasi bagi barat untuk menegaskan kepentingan mereka

dalam politik global. Sebab, nilai-nilai tersebut terkadang sering dianggap sebagai

pembenaran bagi intervensi rejim internasional ke negara-negara dunia ketiga yang dianggap

bertentangan dengan nilai-nilai tersebut. Karena itu, RRC kerap tampil menentang barat

dalam perumusan sebuah keputusan pada badan-badan internasional. Salah satu yang terbaru,

RRC sebagai salah satu anggota dewan keamanan tetap Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)

menolak untuk menyetujui sebuah resolusi berisi sanksi terhadap Suriah dalam respon badan

internasional tersebut terhadap persoalan konflik saudara di Suriah.

Di tengah-tengah redefenisi poros politik internasional yang masih mencari format

baru, muncul kekhawatiran lain atas bangkitnya RRC sebagai sebuah kekuatan baru dunia.

Kekhawatiran itu muncul dari negara-negara di kawasan regional yang menjadi tetangga

RRC. Pasalnya, RRC dengan kebangkitan ekonomi dan militernya yang semakin kuat

menunjukkan kecendrungan yang kian agresif di kawasan Asia Pasifik dengan mempertegas

klaimnya atas sejumlah wilayah yang masih dipersengketakan dengan negara tetangganya.

Agresivitas RRC terlihat misalnya di kawasan perairan Asia Timur dengan

mengklaim kepulauan Senkaku (oleh Cina di sebut Diaoyu) yang secara defacto milik Jepang

sebagai bagian dari wilayah kedaulatannya. Sedangkan di kawasan Asia Tenggara, RRC

mengklaim kepemilikan seluruh perairan Laut Cina Selatan yang meliputi kedaulatan

sejumlah negara seperti Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia. Laut Cina Selatan selain

memiliki kandungan sumber daya alam berupa minyak bumi dan gas alam, juga merupakan

jalur perlintasan internasional yang sangat strategis. Karena itu, klaim RRC tidak hanya akan

membahayakan kedaulatan sejumlah negara di kawasan Asia Pasifik tetapi juga akan

mengundang perhatian serius dari barat, terutama Amerika Serikat yang juga memiliki

kepentingan isu kebebasan bernavigasi di kawasan perairan tersebut.

4

(6)

Melihat perkembangan yang terjadi kekinian, terutama pada tahun 2011 hingga 2013,

terlihat kecendrungan menguatnya upaya-upaya dari pihak tertentu untuk mengakhiri status quo. Sebagai contoh adalah upaya penegasan klaim dengan menghadirkan kapal perang dan pesawat militer, eksplorasi dan eksploitasi minyak dan gas bumi di kawasan sengketa,

penerbitan paspor dengan menghadirkan peta kedaulatan yang masih dipersengketakan, serta

bentuk-bentuk provokasi lainnya yang mengarah pada potensi konflik.

Sebagai salah satu negara poros kekuatan baru dunia, pengaruh RRC dalam mendikte

kebijakan negara-negara di kawasan sekitarnya cukup kuat. Hal ini terlihat misalnya ketika

untuk pertama kalinya forum menteri luar negeri ASEAN gagal menyepakati komunike

bersama di Phnom Phen, Kamboja untuk menentukan Kode Tata Berperilaku di kawasan

perairan Laut Cina Selatan. Kondisi ini diyakini terjadi akibat sikap Kamboja sebagai tuan

rumah yang tidak menginginkan isu yang terjadi di kawasan Laut Cina Selatan

di-internasionalisasi-kan. Sikap Kamboja ini sesungguhnya merefleksikan kepentingan RRC

yang bertentangan secara kontras dengan sikap Filipina, Brunei, dan Vietnam yang memiliki

sengketa perbatasan dengan RRC di wilayah Laut Cina Selatan.

Melihat perkembangan dan dinamika yang terjadi di kawasan Asia Pasifik yang

menjadi pusat pertumbuhan ekonomi global abad-21, peneliti merasa penting untuk

menganalisa fenomena kebangkitan negara yang menjadi poros kekuatan baru dunia untuk

melihat kecendrungan yang memungkinkan adanya potensi konflik di masa depan dalam

panggung politik global yang multipolar. Berdasarkan hal tersebut peneliti tertarik untuk

melakukan penelitian dan menganalisa faktor-faktor yang menyebabkan munculnya sikap

agresif dalam politik luar negeri RRC dalam konteks regional di Asia Pasifik.

2.

Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan di atas, maka penelitian ini akan

menjawab pertanyaan penelitian yaitu: “Apa Saja Faktor Penyebab Agresivitas Politik Luar Negeri Republik Rakyat Cina dalam Sengketa Perbatasan di Asia Pasifik ?”

3.

Pembatasan Masalah

Sebagai upaya dalam mensistematiskan masalah dalam penelitian ini diperlukan

adanya batasan-batasan masalah agar masalah yang diteliti menjadi jelas, terarah, serta

(7)

termasuk dalam ruang lingkup masalah penelitian dan faktor mana saja yang termasuk dalam

ruang lingkup penelitian tersebut. Adapun pembatasan masalah dalam penelitian ini adalah:

a. Penelitian yang dilakukan terbatas pada faktor-faktor internal RRC yang

menyebabkan munculnya sejumlah kebijakan luar negeri yang agresif di kawasan

regional. Sehingga, penelitian ini akan meminggirkan persoalan sengketa perbatasan

sebagai akibat saja. Fokus utama penelitian ini tetap pada analisis penyebab

munculnya sikap agresif dalam politik luar negeri RRC itu sendiri. Karena itu

sebenarnya tidak terlalu relevan untuk menyimpulkan hasil penelitian hanya pada

wilayah Asia Pasifik saja, sebab RRC juga terlibat konflik perbatasan dengan India di

wilayah barat daya negerinya.

b. Penelitian hanya dilakukan dengan melihat perkembangan sengketa klaim kedaulatan

antara RRC dengan negara-negara di kawasan Asia Pasifik yang mulai mengemuka

pada 2012 hingga 2013. Sehingga penelitian tidak akan terlalu mendalami kajian

historis dari sengketa perbatasan tersebut, ataupun sengketa perbatasan lain yang

pernah terjadi pada masa sebelumnya yang melibatkan RRC dengan negara di

kawasan Asia Pasifik Lainnya.

4.

Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dilaksanakannya penelitian ini adalah untuk memahami faktor-faktor

yang menyebabkan munculnya sejumlah kebijakan politik luar negeri Republik Rakyat Cina

(RRC) yang bersifat agresif di kawasan regional yang berimplikasi pada terjadinya sengketa

klaim kedaulatan dengan negara-negara tetangga RRC di kawasan Asia Pasifik.

5.

Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

a. Secara akademis penelitian ini hendak memperkaya ilmu pengetahuan di bidang ilmu

politik khususnya kajian seputar Politik Luar Negeri dan Hubungan Internasional.

b. Secara praktis, dari hasil penelitian ini menggambarkan prespektif RRC sebagai

sebuah aktor negara dalam pusaran politik internasional. Sehingga dapat diketahui

faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi tindakan-tindakan sebuah negara dalam

berinteraksi dengan negara-negara lainnya, sehingga menimbulkan apa yang kita

(8)

6.

Kerangka Teori

Secara umum penelitian ini didasari atas kerangka berpikir realis yang melihat negara

sebagai aktor dalam politik internasional, dan bahwa struktur politik internasional pada

hakikatnya bersifat anarkis. Para realis memperlakukan negara sebagai aktor yang rasional

yaitu mengikuti prinsip mengejar, melindungi, dan mempertahankan kepentingan nasionalnya

yang didefenisikan sebagai kekuasaan sesuai dengan kemampuan dan keterbatasanya di dunia

internasional.5

6.1.

Asumsi- Asumsi Utama Realisme

Ada tiga asumsi utama realisme yang sering dikelompokkan dalam 3S :

statism, survival, self-help6. State adalah aktor utama dalam hubungan internasional yang anarkis. Asumsi ini berasal dari kenyataan bahwa untuk bisa survive dan mencapai level subsisten manusia perlu hidup bersatu berdasarkan suatu solidaritas

kelompok. Kohesi dalam grup ini juga berpotensi untuk berkonflik dengan

kelompok-kelompok lain. State merupakan pengelompokan manusia (groupism) yang paling penting dewasa ini, dan sumber kohesi in-group yang paling kuat adalah nasionalisme.7

Negara sebagai satu komunitas politik yang independen mempunyai

kedaulatan terhadap suatu wilayah dalam dunia yang anarkis. Perlu dijelaskan bahwa

anarkis bagi realis bukan keadaan benar-benar chaos dan tidak ada aturan, tetapi ketiadaan kekuasaan sentral. Berbeda dengan struktur organisasi dalam politik

domestik yang hirarkis, dalam hubungan internasional, struktur dasarnya adalah

anarkis di mana negara-negara adalah berdaulat dan menganggap kekuasaan tertinggi

ada di tangan mereka. State diasumsikan seperti black-box yang mewakili keseluruhan kepentingan di suatu negara.8

Ide tentang negara yang utuh berdaulat ini berasal dari defenisi Weber yaitu

‘monopoli terhadap penggunaan kekuatan fisik secara sah dalam suatu wilayah.’

Dalam teori kedaulatan Barat, diasumsikan bahwa persoalan di dalam negeri ini sudah

5

Abu Bakar Ebi Hara, Pengantar Analisis Politik Luar Negeri, Nuansa, 2011, hal 34

6 Dunne and Schmidt, The Globalization of World Politics : An Introduction to International Relations, Oxfort

University Press 2001, hal 155 - 156

7

Wohlforth, Foreign Policy: Theories, Actors, Cases, Oxfort University Press 2008 hal 32

8

(9)

terselesaikan dan negara berhasil mengamankan berbagai masalah dalam negeri.

Rakyat di dalam pun mendapatkan rasa aman bahkan keadilan. Di sinilah kemudian

bermula perbedaan antara inside/outside. Di dalam semuanya aman, namun di luar tidak berlaku dan negara dapat melakukan apa saja untuk menjamin survival dari negara.

Dalam konteks internasional yang anarkis, prioritas politik luar negeri

negara-negara dengan demikian adalah menjaga kelangsungan hidupnya atau survival dari

ancaman negara lain, yang juga merupakan inti dari kepentingan nasional. Sementara

kepentingan lainnya, seperti ekonomi, adalah kurang penting (low politics). Kode etik realis adalah sesuatu yang harus dinilai dari hasilnya, bukan dari apakah tindakan

individu itu benar atau salah. Realis tidak percaya pada universalitas moral; kalaupun

ada, itu hanya berlaku relatif untuk suatu masyarakat tertentu saja. Dengan kata lain,

dalam pandangan Wohlforth, negara seringkali harus bertindak egois, terutama bila

dihadapkan pada pilihan kepentingan diri dan kepentingan kolektif. Ini juga

merupakan sifat dasar manusia sebagaimana diungkapkan adagium klasik realis:

inhumanity is just humanity under pressure (kekejaman berarti kemanusian di bawah tekanan)9

Dalam keadaan anarkis ini, tiap negara harus menolong dirinya sendiri atau

self-help. Negara tidak boleh percaya pada negara lain atau organisasi internasional, tapi harus mencari cara sendiri, terutama meningkatkan kekuatan militernya. Struktur

internasional tidak mengizinkan adanya persahabatan, kepercayaan dan kehormatan,

yang ada hanyalah kondisi abadi ketidakpastian karena tiadanya pemerintahan global.

Walaupun penting untuk menilai apakah negara lain merupakan negara revisionis

yang ingin mengubah balance of power atau pro-status quo yang tidak ingin mengubah keadaan itu secara militer, namun adalah susah untuk memastikan intensi

atau maksud suatu negara secara empirik. Cara terbaik adalah memperkuat diri

sehingga negara lain tidak berani menyerang.10

Koeksistensi demikian bisa dicapai melalui keseimbangan kekuatan dan

interaksi terbatas, tetapi pendirian negara tetap lebih untuk keuntungan dirinya sendiri

daripada negara lain. Di sini terjadi security dilemma yang lebih sering terjadi pada

9

Log Cit, 2008 hal 32

10

(10)

negara-negara besar daripada negara kecil karena peningkatan kekuatan militer

mereka akan selalu mendorong meningkatkan kekuatan negara besar yang lain.

Keamanan bagi negara lain berarti ketidakamanan bagi negara sendiri. Inilah tragedi

politik negara-negara besar.11

Tetapi ada dua pandangan yang berbeda dalam melihat bagaimana dilema

keamanan ini dapat dikelola. Realis historis dan klasik melihat balance of power dapat mengurangkan dilema keamanan ini. Sementara kaum neo-realis atau disebut realis

struktural berpendapat bahwa dilema keamanan ini adalah situasi yang abadi dalam

politik internasional. Bagi realis struktural atau neo-realis, balance of power akan muncul dengan sendirinya secara alamiah terlepas dari intensi negara-negara,

misalnya dengan munculnya aliansi-aliansi.

Dalam kaitan dengan politik luar negeri, dengan melihat asumsi di atas harus

dipahami bahwa negara sebagai aktor utama harus menghadapi negara lain seperti

bola biliar yang sedang dimainkan di atas mejanya bergerak dan bertabrakan satu

sama lain. Yang membuat konsep bola biliar ini menarik adalah adanya perasaan

ketidakamanan bersama antarnegara dan ketiadaan otoritas kekuatan politik yang

disebut anarki di dunia internasional. Tindakan negara-negara karena itu didorong

oleh keinginan untuk survive atau mempertahankan diri dari ancaman keamanan yang terus-menerus. Karena tiap negara mengejar keamanan yang meningkatkan kekuatan

militernya, maka politik luar negeri pun diorientasikan pertama kali untuk

mempertahankan keamanan. Mereka menghadapi dilema keamanan atau security dilemma yang tiada habisnya.

Dari sini kemudian kita mengenal konsep power atau kekuasaan yang merupakan kepentingan nasional yang harus selalu dikejar oleh negara. Walaupun

sering membingungkan karena begitu luas dan bermacam-macam maknanya, power

tetap menjadi ukuran bagi analis realis. Ia pun sering dipertukarkan dengan konsep

pengaruh, kekuasaan, kekuatan senjata, perimbangan kekuasaan, kekuatan lunak (soft power) dan berbagai istilah lainnya. Power juga sering disamakan dengan uang dalam ekonomi yang perlu dicari, ditambah dan digunakan. Negara-negara, terutama

negara-negara besar, sangat khawatir power mereka berkurang atau menjadi relatif lemah

11

(11)

dalam hubungan dengan negara lain. Karena itu, mereka ingin selalu memastikan

keseimbangan kekuasaan yang ada tidak bergeser ke pihak lawan.

Menurut Mearsheimer, power didasarkan pada kemampuan militer yang dikuasai oleh negara. Walaupun demikian, menurutnya, negara-negara memiliki juga

apa yang disebut dengan kekuatan laten yang meliputi potensi sosial ekonomi yang

dapat dikembangkan untuk menjadi kekuatan militer. Kekuatan laten ini meliputi apa

yang sering disebut dengan sumber-sumber kekuatan nasional oleh Morgenthau,

seperti penduduk, sumber alam, ekonomi dan teknologi. Jadi, mereka mendapatkan

power bukan saja dari menaklukkan negara lain tetapi juga melalui pengelolaan terhadap latent power atau sumber kekuatan nasional ini.12

Konsep power ini terus berubah mulai dari yang satu dimensi, seperti Morgenthau, ke yang lebih canggih. Menurut Morgenthau, power adalah kontrol manusia terhadap pikiran dan tindakan manusia yang lain.13 ’Power harus dipahami dalam hubungan dengan negara lain, jadi bukan dalam situasi vacuum. Power sifatnya relatif karena dilihat dalam perbandingan dengan kekuatan negara lain. Pengertian

yang lebih kompleks adalah power sebagai prestige yakni kemampuan untuk mendapatkan apa yang diinginkan, bukan dengan senjata atau ancaman penggunaan

senjata, tetapi melalui pengaruh diplomasi dan otoritas. Terakhir sekali, kelompok

neo-realis menyamakan power dengan kapabilitas. Kapabilitas dapat dirangking menurut kekuatannya dalam ukuran penduduk dan wilayah, sumber dana, kemampuan

militer, stabilitas dan kompetisi politik.14

6.2.

Teori Realisme Klasik dalam Perspektif Kajian Politik Luar Negeri

Dalam politik internasional, kalau mengikuti realisme klasik seperti

Morgenthou, negara-negara masih dianggap memiliki tujuan dan aspirasi politik luar

negeri sendiri dan tidak sepenuhnya dipengaruhi oleh distribusi kekuasaan pada

struktur internasional seperti yang diasumsikan oleh kaum neo-realis. Morgenthou,

menyadari bahwa negara memiliki contextual imperative yang sering dihubungkan dengan posisi geografis, sejarah, ekonomi dan politik. Morgenthou juga berbicara

tentang tanggungjawab pemimpin dan artinya melihat pentingnya peranan individu

12

Ibid, 2007 hal 74

13

Morgenthau, Truth and Power, Essays of Decade, Praeger, 1970

14

(12)

dalam politik luar negeri. Dia juga mendiskusikan pentingnya karakter nasional

sebagai satu aspek kekuatan nasional yang mempengaruhi politik luar negeri.

Holsti, yang juga digolongkan sebagai pengikut realisme klasik penerus

Morgenthou, mengejawantahkan lebih lanjut pandangan di atas dengan menyebutkan

bahwa selain dipengaruhi oleh struktur sistem internasional, strategi umum politik

luar negeri suatu negara juga dihubungkan dengan sifat dari keadaan domestik dan

kebutuhan ekonomi.15 Seperti Morgenthou, ia juga menyebutkan peranan pembuat

keputusan dalam mempersepsikan ancaman eksternal yang tetap terhadap nilai-nilai

dan kepentingan mereka akan sangat menentukan orientasi politik luar negeri negara

itu. Juga faktor lokasi geografis, ciri-ciri topografi, potensi alam, menurut Holsti,

adalah variabel-variabel yang mempengaruhi pilihan orientasi politik luar negeri.

Dalam pandangannya, Holsti melihat negara sebagai aktor memiliki

tujuan-tujuan, aspirasi, kebutuhan, sikap, pilihan, dan tindakan politik luar negeri yang

dipengaruhi atau terbentuk oleh struktur kekuatan dan distribusi kekuasaan dalam

politik internasional. Ia membagi empat komponen utama dalam politik luar negeri

yaitu : Orientasi-orientasi politik luar negeri, peran-peran nasional, tujuan-tujuan dan

tindakan-tindakan.16

Menurut Holsti, orientasi dasar politik luar negeri ada tiga, orientasi pertama

disebut isolasi di mana untuk menjaga kepentingannya, negara memilih membatasi

hubungannya dengan negara lain. Negara yang melakukan ini biasanya merasa cukup

sufisien secara ekonomi dan sosial sehingga tidak memerlukan banyak bantuan dari

negara lain. Isolasi Amerika dan juga Jepang sebelum Perang Dunia I merupakan

contoh dari orientasi politik luar negeri yang demikian. Orientasi jenis kedua adalah

nonalignment atau non-blok, untuk kepentingan strategis, mereka bersatu untuk mencapai tujuan kemerdekaan dan mempertahankan diri dari pengaruh negara-negara

besar. Orientasi ketiga disebut Holsti pembuatan koalisi dan pembangunan aliansi.

Berbeda dengan isolasi, orientasi yang ketiga ini berangkat dari ketidakmampuan

negara, baik dalam pertahanan maupun ekonomi, untuk berdiri sendiri. Jadi karena

15

K. J. Holsti,International Politics : A Framework for Analysis , Prentice-Hall 1988 hal 34

16

(13)

itu, mereka berusaha melakukan koalisi diplomatik dan kadangkala melakukan aliansi

militer untuk melindungi pertahanan negara.17

Komponen kedua dari politik luar negeri menurut Holsti adalah peran-peran

nasional dan konsepsi tentang peran yang merupakan turunan dari komponen pertama

orientasi politik luar negeri. Konsepsi peran nasional ini adalah sebagaimana yang

didefenisikan oleh para pembuat keputusan tentang komitmen, aturan, tindakan yang

sesuai untuk negara. Contoh peran nasional adalah ‘pelindung regional’ yaitu peranan

untuk melindungi negara-negara lain dalam lingkungan tertentu. Juga ada perang

sebagai ‘mediator’ yaitu membantu pemecahan konflik internasional. Banyak istilah

lain untuk peran nasional ini, seperti pemimpin regional, bebas aktif, agen

antiimperialis, pembebas dan beberapa peran khusus lain yang didefenisikan oleh

negara sendiri.18

Komponen ketiga disebut tujuan-tujuan politik luar negeri yang mengacu pada

komponen kedua dan pertama dari politik luar negeri. Tujuan dan kepentingan

sekurangnya ada tiga macam. Yang pertama adalah nilai-nilai dan

kepentingan-kepentingan ‘inti’ atau core di mana secara umum semua orang akan rela mengorbankan diri untuk tujuan ini. Ini diistilahkan dengan macam-macam term

seperti ‘merdeka atau mati’ untuk membela kedaulatan dan kemerdekaan, keamanan,

memenangkan perang dan lain-lain tujuan yang harus dicapai dalam jangka pendek

karena merupakan kepentingan vital. Kemudian ada tujuan dan kepentingan jangka

menengah seperti kepentingan ekonomi dan perdagangan. Prestise negara juga masuk

dalam kepentingan jenis jangka menengah ini, sama halnya seperti perluasan

pengaruh di negara lain. Macam ketiga dari tujuan politik luar negeri adalah

tujuan-tujuan jangka panjang yang sering disebut sebagai visi dan rencana universal, seperti

mengkonsumsi dunia oleh rejim-rejim komunis atau tindakan sebagian negara Barat

untuk menciptakan dunia demokratis.19

Dalam analisis politik luar negeri Holsti ini, terdapat hubungan yang logis

mulai dari orientasi yang menentukan peran-prean nasional negara-negara, kemudian

juga mempengaruhi pilihan tujuan-tujuan politik luar negeri dan akhirnya akan

mempengaruhi tindakan-tindakan politik luar negeri yang akan diambil oleh suatu

17

Ibid, 1983 hal 98

18

Ibid, 1983 hal 98

19

(14)

negara. Karena sifatnya yang demikian, maka orientasi-orientasi politik luar negeri

dan peran nasional biasanya adalah yang paling langgeng, bertahan lama dan susah

berubah. Kemudian diikuti oleh komponen yang lain. Politik luar negeri suatu negara,

misalnya, akan selalu menggantikan tindakan politik luar negeri untuk mencapai

tujuan, baik jangka pendek ataupun jangka panjang, namun jarang mereka

menggantikan orientasi dan peran nasional politik luar negeri mereka.

6.3.

Makna Agresivitas dalam Perspektif Realisme

Kata Agresif dalam kamus lengkap Bahasa Indonesia berarti ‘bernafsu

menyerang,’ sedangkan kata agresivitas diartikan sebagai ‘hal agresif,’ ‘sifat agresif,’

atau ‘tindakan yang agresif.’20 Agresif dan agresivitas sesungguhnya merupakan

sebuah kata sifat yang melekat pada manusia. Akan tetapi dilekatkannya kata ‘agresif’

dan ‘agresivitas’ pada negara dalam konteks penelitian ini dimaksudkan untuk

menjelaskan perilaku ataupun sikap sebuah negara yang secara personifikasi memiliki

defenisi yang serupa dengan makna kedua kata tersebut pada manusia, yakni berarti

‘bernafsu menyerang’ untuk kata agresif, serta ‘hal agresif,’’sifat agresif,’ atau

‘tindakan yang agresif,’ untuk kata agresivitas.

Dalam perspektif realisme, negara merupakan suatu kohesi sosial yang penting

dalam masyarakat modern. Sebab, negara memberikan perlindungan terhadap

individu-individu yang bernaung di dalamnya dalam menjalankan aktivitas

kehidupannya, terutama dalam konteks ketika berhadapan dengan ‘dunia luar.’

Perspektif realisme mengasumsikan ‘dunia luar’ sebagai suatu wilayah di luar batas

juridiksi negara, dimana jangkauan negara atas hak-hak individu yang berada dalam di

luar naungannya terbatas.21

Karena negara merupakan kumpulan dari individu-individu, serta digerakkan

dan dikendalikan oleh manusia itu sendiri, maka sikap dan tindakan sebuah negara

sesungguhnya ialah perwujudan dari sikap dan tindakan manusia yang bernaung di

dalamnya. Negara dalam perspektif realisme yang menganggap panggung global

sebagai suatu area yang bersifat anarki, tanpa struktur hirarkis, menyebabkan

individu-individu yang bernaung di dalam negara menyelenggarakan suatu pola

20

Fajri, EM Zul dan Ratu Aprillia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Difa Publisher.

21

(15)

kebijakan yang sesuai dan mampu mencukupi kebutuhan-kebutuhannya. Sikap,

tindakan dan kebijakan sebuah negara terhadap dunia luar yang dikendalikan oleh

individu-individu itulah yang kemudian disebut sebagai Politik Luar Negeri.

Perspektif realis sebenarnya tidak menggarisbawahi perilaku ataupun sikap

negara yang bagaimana yang menunjukkan politik luar negeri yang agresif. Tetapi

perspektif realis itu sendiri menganggap bahwa manusia dan negara (sebagai kohesi

individu) itu cenderung egois terhadap orang lain yang berada di’luar’ (outside).

Perspektif realis memandang bahwa pemenuhan kebutuhan di dalam (inside) negara

hendaknya dicapai dengan cara apapun termasuk apabila mengharuskan negara

bersikap agresif terhadap dunia luar.22

Meskipun di dalam teori realisme secara khusus tidak ada kriteria yang

menyebutkan suatu tindakan politik luar negeri tertentu yang bisa diklasifikasikan

sebagai tindakan yang agresif, namun dalam penelitian ini peneliti akan menggunakan

sejumlah kriteria sebagai alat bantu untuk memberikan pola yang mengarahkan

pemahaman kita pada apa yang dimaksud sebagai tindakan-tindakan politik luar

negeri yang agresif itu. Sejumlah kriteria yang peneliti tentukan ini merupakan

derivasi atas teori realisme dalam tahap aplikatif. Akan tetapi, perlu dicatat bahwa

kriteria-kriteria ini masih terbuka untuk diperdebatkan secara teoretik, serta tidak

bermaksud untuk mengeneralisir. Adapun sejumlah kriteria yang menunjukkan sikap

atau tindakan agresif dalam politik luar negeri sebuah negara itu ialah sebagai berikut:

 Sebuah negara yang secara eksplisit mengumumkan sikap dan posisinya yang bermusuhan terhadap sebuah negara berdaulat lainnya;

 Sebuah negara yang mengklaim kepemilikan suatu wilayah teritorial dimana masih terdapat entitas politik berdaulat yang secara sah menguasai wilayah

tersebut;

 Sebuah negara yang melakukan provokasi ataupun bertujuan ekspansif dengan menghadirkan kekuatan militer di kawasan teritorial negara lain atau di sebuah

kawasan teritorial yang masih dalam tahap perselisihan di Mahkamah

Internasional;

22

(16)

 Sebuah negara yang memiliki tujuan nasional baik yang tertulis melalui dokumen resmi kenegaraan, maupun visi misi pemimpin politiknya yang

secara gamblang mengutarakan ambisi ekspansionisme dalam kebijakan

politik luar negerinya;

 Sebuah negara yang memberlakukan kebijakan politik luar negeri yang bersifat unilateral tetapi mengancam kepentingan negara lain sehingga

mencederai hubungan bilateral dengan negara tersebut;

 Sebuah negara yang melalui pemimpin politik ataupun utusan diplomatik resminya mengumumkan suatu pernyataan verbal yang bersifat mengancam

kedaulatan, kepentingan, dan kehormatan negara lain;

 Sebuah negara dengan sengaja mengadakan sebuah kegiatan di dalam negerinya yang bertentangan dengan norma ataupun asas keamanan yang telah

menjadi kesepakatan dalam komunitas internasional atau mengadakan

kegiatan yang berpotensi membahayakan perdamaian dunia.

Adapun sejumlah kebijakan luar negeri Republik Rakyat Cina yang disoroti

sebagai sebuah sikap ataupun tindakan yang agresif dalam penelitian ini ialah berkisar

seputar perselisihan sengketa perbatasan yang terjadi di kawasan regional Asia

Pasifik, diantaranya ialah sebagai berikut: menghadirkan armada militer dan personil

bersenjata di kawasan yang secara resmi merupakan wilayah kedaulatan negara lain

ataupun kawasan yang masih dipersengketakan; menerbitkan dokumen resmi (baca:

paspor) bergambar peta wilayah kedaulatan negara lain ataupun wilayah yang masih

dipersengketakan; mengintervensi kebijakan politik luar negeri negara lain dengan

tujuan menguntungkan kepentingan nasional RRC; menghalangi kehadiran pemimpin

politik negara lain ke RRC dengan tidak bersedia menerbitkan visa kunjungan dengan

maksud hendak mengadakan transaksi berupa pencabutan laporan negara tersebut

pada Mahkamah Internasional atas sejumlah pelanggaran kedaulatan yang dilakukan

oleh RRC; serta, melalui pemimpin politiknya menyuarakan pernyataan verbal yang

bersifat memprovokasi negara lain atas perselisihan sengketa kedaulatan yang

(17)

6.4.

Beberapa Konsep dalam Teori Realis

Berikut dijabarkan sejumlah defenisi konsep yang mengemuka dalam teori

realis, yang akan dipakai sebagai instrumen pembedah analisis dalam penelitian ini :

6.4.1 Konsep Kepentingan Nasional

Kepentingan Nasional (National Interest) adalah tujuan-tujuan yang ingin dicapai sehubungan dengan kebutuhan negara bangsa atau sehubungan

dengan hal yang dicita-citakan. Dalam hal ini kepentingan nasional yang

relatif tetap dan sama diantara semua negara/bangsa adalah keamanan, (yang

mencakup kelangsungan hidup rakyatnya dan kebutuhan wilayah) serta

kesejahteraan. Kedua hal pokok ini yaitu keamanan (Security) dan kesejahteraan (Prosperity) merupakan kepentingan nasional yang utama. Kepentingan nasional diidentikkan dengan dengan “tujuan nasional”.

Contohnya kepentingan pembangunan ekonomi, kepentingan pengembangan

dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) atau kepentingan

mengundang investasi asing untuk mempercepat laju industrialisasi.23

Kepentingan nasional sering dijadikan tolok ukur atau kriteria pokok

bagi para pengambil keputusan (decision makers) masing-masing negara sebelum merumuskan dan menetapkan sikap atau tindakan. Bahkan setiap

langkah kebijakan luar negeri (Foreign Policy) perlu dilandaskan kepada kepentingan nasional dan diarahkan untuk mencapai serta melindungi apa

yang dikategorikan atau ditetapkan sebagai ”Kepentingan Nasional.”

Sedangkan menurut Morgenthau, ”Kepentingan nasional adalah kemampuan

minimum negara untuk melindungi, dan mempertahankan identitas fisik,

politik, dan kultur dari gangguan negara lain. Dari tinjauan ini para pemimpin

negara menurunkan kebijakan spesifik terhadap negara lain yang sifatnya

kerjasama atau konflik”.24

23

T.May Rudy, Study Strategis dalam transformasi sistem Internasional Pasca Perang dingin, Refika Aditama, Bandung, 2002, hal 116

24

(18)

6.4.2. Konsep Perimbangan Kekuasaan (

Balance of Power

)

Konsep perimbangan kekuasaan (Balance of Power) merupakan suatu konsep yang menginginkan perimbangan kekuatan di antara

kekuatan-kekuatan utama aktor hubungan internasional. Dalam pandangan kaum realis,

perang terjadi karena dunia tidak seimbang dalam aspek power. Karena pada

dasarnya manusia itu buruk, setiap negara memiliki hasrat untuk menguasai

negara lainnya. Dengan hal ini, untuk menguasai negara lain maka suatu

negara yang memiliki power yang kuat akan menyerang negara yang dituju

sehingga menimbulkan konflik dan peperangan. Hal ini dapat menimbulkan

ketidakstabilan keamanan di dunia. Jika hal ini terus berlangsung, peperangan

di dunia akan terus terjadi. Morgenthau mengemukakan suatu konsep yang

disebut Balance of Power yang didasari dari pemikiran seorang sejarawan yaitu Thucydides.

Balance of power menganggap dunia akan aman jika semua negara memiliki kekuatan yang seimbang. Perimbangan kekuatan yang dimaksud

adalah pada aspek kekuatan militernya. Namun, hal ini akan sulit terwujud

karena setiap negara mempunyai kekuatan yang berbeda-beda. Menurut kaum

realis, negara yang paling penting dalam politik dunia adalah

negara-negara berkekuatan besar (great powers).25 Akan tetapi, konsep ini bisa disambungkan dengan konsep polaritas dalam hubungan internasional. Ini

terlihat pada masa perang dingin yang merupakan masa bipolar. Hubungan

internasional dipahami oleh kaum realis terutama sebagai perjuangan di antara

negara-negara berkekuatan besar untuk dominasi dan keamanan.26

6.4.3. Konsep Perimbangan Ancaman (

Balance of Threat

)

Teori Perimbangan Ancaman (Balance of Threat) merupakan kritik terhadap teori perimbangan kekuasaan. Menurut teori ini, dalam sistem

internasional yang anarkis dan cenderung pada tidak adanya distribusi

kekuatan yang berimbang, negara akan menggalang aliansi dengan atau

25

Robert Jackson dan George Sorensen. Pengantar Studi Hubungan Internasional. terj. 2009, Yogyakarta: Pustaka Pelajar hal 89

26

(19)

melawan kekuatan yang paling mengancam27. Aliansi adalah respon atas

ketidakseimbangan ancaman (imbalances of “threat”), bukan ketidakseimbangan kekuatan (imbalance of “power”)28. Jadi, berbeda dengan

Balance of Power yang melihat balancing sebagai kondisi alamiah dalam sistem internasional yang terdiri dari unit-unit negara ketika terjadi

ketidakmerataan distribusi kekuatan terutama militer (lebih tepatnya, ini

adalah konsepsi Balance of Power menurut Neoralism/Structrual Realism), Teori perimbangan ancaman berasumsi bahwa, balancing adalah respon yang dilakukan oleh negara atau beberapa negara terhadap negara lain yang

memiliki power (militer, ekonomi, teknologi, dll) besar atau lebih besar dari

yang dimiliki negara tersebut. Berbeda dari teori perimbangan kekuasaan yang

melihat pengaruh power itu sendiri terhadap sistem internasional, konsep

perimbangan ancaman melihat akibat dari kepemilikan power tersebut terhadap sistem.

Berangkat dari asumsi dasar neorealis bahwa sistem internasional

adalah anarkis, bahwa tidak ada pemerintahan yang mengatur negara-negara

sehingga setiap negara harus menjamin keamananannya sendiri dalam

pergaulan regional maupun global, dan bahwa setiap negara bertindak untuk

mencapai kepentingan nasionalnya baik ekomoni maupun keamanan, Walt

memandang bahwa kepemilikan power oleh sebuah negara, misalnya rudal balistik atau bahkan senjata nuklir, akan mengancam keamanan dan

kepentingan nasional negara-negara lain terutama yang berada di sekitarnya.

Walt lebih lanjut menjabarkan sumber-sumber ancaman bagi negara sebagai

berikut29 :

Pertama, aggregate power. Jenis ancaman ini berasal dari level atau jumlah relative power yang dimiliki oleh suatu negara. Semakin besar

kekuatan yang dimiliki seperti populasi, industri, militer, teknologi, dan lain

sebagainya, akan semakin besar potensi ancamannya bagi negara lain. Uni

Eropa “mungkin” dapat dikatakan sebagai mekanisme untuk

mendistribusikan kekuatan agregat di antara negara-negara Eropa Barat.

27

Walt, Stephen M. Spring. Alliance Formation and The Balance of World Power, 1985 hal 8-9

28

Legro, Jeffrey W. & Andrew Moravcsik, Is Anybody Still a Realist ?, hal 36

29

(20)

Dalam sejarahnya, saat persebaran kekuatan di wilayah tersebut tidak

merata, terjadi ketidakstabilan sistem sehingga menyebabkan peperangan

bebar dalam sejarah dunia (Perang Dunia I dan Perang Dunia II).

Kedua, proximity. Semakin dekat dekat jarak sebuah negara, semakin besar potensi ancaman yang dimiliki bagi negara lain. Sebagai contoh, Perang

Arab-Israel I pada 1948 terjadi antara Israel melawan koalisi Arab yaitu

Mesir, Libanon, Yordania, Suriah dan Irak. Negara-negara Arab lain seperti

Arab Saudi, Oman, Yaman dan Libya tidak terlibat perang, karena

negara-negara tersebut tidak berbatasan langsung dengan Israel.

Ketiga, offensive power. Negara yang memiliki kapabilitas militer kuat lebih memprovokasi terjadinya aliansi dalam sistem daripada negara yang

kemampuan militernya lemah atau yang militernya hanya untuk pertahanan

diri. Bagi Arab Saudi, pertumbuhan postur militer Iran akhir-akhir ini

menjadi sangat mengkhawatirkan, karena dilihat dari kualitasnya,

kemampuan militer Iran tersebut lebih dari sekedar untuk pertahanan diri.

Maka tidak mengherankan jika aliansi Arab Saudi dengan AS semakin erat

seiring dengan perkembangan agresivitas Iran. Keempat, offensive

intention. Negara yang agresif selalu memicu terbentuknya aliansi

negara-negara lain. GCC terbentuk di antara negara-negara-negara-negara Arab Teluk adalah

sebagai reaksi atas agresivitas Iran. Pada tahun 2006 GCC kembali

mempererat aliansinya dengan AS untuk merespon Iran yang kembali

agresif sejak dipimpin oleh Mahmoud Ahmadinejad30 Bagi GCC Iran

dianggap lebih berbahaya daripada AS karena AS tidak menunjukkan

ambisi ofensif di kawasan tersebut meskipun memiliki kapabilitas militer

yang jauh lebih kuat dari pada Iran.

Keempat, sumber ancaman tersebut merupakan kondisi-kondisi yang menggiring negara-negara dalam sistem internasional untuk membangun

aliansi atau melakukan bandwagoning. Keempatnya juga menunjukkan kompleksitas balancing dalam konsepsi Walt, sehingga dalam bukunya The Origins of Alliances Walt secara eksplisit dia menyebutnya sebagai

30

(21)

parsimonious revision of realist balance-of-power theory31. Teori Walt mampu menjelaskan fenomena-fenomena yang tidak mampu dijelaskan

oleh teori Balance of Power.

6.4.4. Teori Dilema Keamanan

Dilema keamanan yaitu suatu keadaan ketergantungan pada

persenjataan yang menjadi kebijakan suatu negara yang seolah-olah demi

kepentingan pertahanan suatu negara padahal untuk mengancam negara lain.

Ancaman persenjataan yang menyebabkan negara lain tertekan karena adanya

ancaman-ancaman tersebut, menyebabkan negara yang tertekan tersebut

membuat kebijakan untuk meningkatkan nilai persenjataanya baik dari segi

jumlah, maupun kualitasnya.

Dilema disini timbul antara kebijakan untuk peningkatan senjata

mempengaruhi ekonomi negara. Sedangkan perekonomian negara yang stabil

sangat dibutuhkan bagi negara yang sedang berkembang untuk pembangunan

nasionalnya, peningkatan sumber daya ekonomi, seperti sektor pertambangan,

sektor pertanian, perkebunan dan lain sebagainya yang seharusnya dibangun

sarana untuk peningkatan laju pertumbuhan ekonomi, dan pembangunan

sarana dan prasarana seperti jalan, komunikasi yang sesungguhnya berdampak

langsung dengan kekuatan militer disuatu negara.Sedangkan peningkatan

jumlah senjata, dan anggaran militer yang besar menyebabkan banyak

menghabiskan dana, dan anggaran devisa negara sehingga akan menyebabkan

dampak langsung maupun tidak langsung akan menjadikan negara tersebut

jatuh kepada kebinasaan.

Seandainya suatu negara boleh memilih suatu keadaan mana yang ia

pilih pembangunan ekonomi atau peningkatan anggaran militer demi

keamanan. Di negara yang kondisi politik regionalnya masih relatif stabil

maka akam memilih pembangunan ekonomi. Tetapi keadaan politik regional

kadang memaksa suatu negara meningkatkan anggaran militernya disebabkan

adanya ancaman dari pihak luar. Pilihan untuk meningkatkan persenjataan

militer disebabkan karena ancaman dari peningkatan senjata dari negara lain,

31

(22)

dengan mengorbankan perekonomian dalam negeri karena kepentingan

keamanan yang mendesak.

7.

Metodologi Penelitian

7.1.

Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan jenis penelitian kepustakaan yang menggunakan

metode penelitian deskriptif, yaitu metode penelitian yang hendak mencari fakta

berdasarkan pada interpretasi yang tepat.32 Secara harfiah, metode deskriptif adalah

metode penelitian untuk membuat gambaran mengenai sesuatu atau kejadian,

sehingga metode ini berkehendak mengadakan akumulasi data dasar belaka.33

Penelitian deskriptif ini bertujuan untuk mengungkapkan faktor-faktor yang

mendasari munculnya kebijakan politik luar negeri RRC yang agresif dalam sengketa

teritorial dengan negara-negara di Asia Pasifik yang bertetangga dengannya. Dengan

menetapkan fokus pada masalah yang akan diteliti diharapkan nantinya penelitian ini

akan mendapat data yang maksimal untuk menggambarkan kondisi aktual yang

terjadi.

7.2.

Teknik Pengumpulan Data

Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian

ini digunakan teknik penelaahan terhadap dokumen tertulis (kepustakaan) meliputi

pencarian data dari buku-buku, jurnal, koran, media daring, dan lainnya.

7.3.

Teknik Analisa Data

Teknik analisa data yang digunakan peneliti dalam penelitian ini adalah

menggunakan jenis analisa data kualitatif, yaitu tanpa menggunakan alat bantu rumus

statistik. Penelitian kualitatif tidak berusaha untuk menguji hipotesis, dan penelitian

ini bersifat alamiah (natural setting), artinya peneliti tidak berusaha untuk memanipulasi situs (setting) penelitian ataupun melakukan intervensi terhadap

32

Whitney, F.L, The elements of Research, 1960 hal 160

33

(23)

aktivitas subjek penelitian dengan memberikan perlakuan tertentu, namun peneliti

berusaha untuk memahami fenomena yang dirasakan subjek sebagaimana adanya.34

Data yang akan peneliti dapatkan dari buku-buku, surat kabar, maupun situs

media daring kemudian akan ditampilkan dalam bentuk uraian lalu dianalisis

kemudian dieksplorasi secara mendalam, selanjutnya akan menghasilkan suatu

kesimpulan yang menjelaskan masalah yang diteliti.

8.

Sistematika Penulisan

Bab I : Pendahuluan

Pada Bab I ini akan diuraikan tentang latar belakang masalah, perumusan

masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kerangka teori, metodologi

penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab II : Kebangkitan RRC dan Sengketa Perbatasan di Asia Pasifik

Pada Bab II ini akan diuraikan tentang gambaran umum seputar kebangkitan

Republik Rakyat Cina sebagai sebuah kekuatan baru serta meningkatnya isu

sengketa perbatasan yang terjadi di kawasan Asia Pasifik dalam beberapa

tahun belakangan.

Bab III :Penyebab Agresivitas Politik Luar Negeri RRC dalam Sengketa

Perbatasan di Asia Pasifik

Dalam Bab III ini akan dijelaskan tentang peningkatan agresivitas kebijakan

politik luar negeri Republik Rakyat Cina melalui sejumlah sikap, tindakan,

maupun kebijakan negara tersebut dalam rentang periode 2011-2013 terhadap

sengketa perbatasan yang melibatkannya di kawasan Asia Pasifik, serta

faktor-faktor yang bisa dianggap sebagai alasan yang menyebabkan munculnya

agresivitas dalam politik luar negeri terkait sengketa perbatasan tersebut.

Bab IV : Kesimpulan

Bab IV ini merupakan bab terakhir dari penulisan penelitian ini yang berisi

kesimpulan dari hasil-hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya.

34

Referensi

Dokumen terkait

<div class="wrapper with-sidebar

Dalam penelitian ini data primer yang digunakan merupakan staff Kantor Pertanahan Kabupaten Sleman serta persepsi responden terhadap variabel yang akan diteliti melalui

Pemeriksaan penunjang penyakit ginjal kronik penting untuk memastikan diagnosis penyakit ginjal dan derajat penurunan fungsi ginjal, dalam hal ini nilai laju filtrasi

Hasil penelitian menur{ukkan bahwa perikanan tangkap merupakan sektor yang sangat dominan dan potensial untuk dikembangkan karena sebagian besar produksi perikanan di

Penelitian “Implementasi Keamanan File dengan Kompresi Huffman dan Kriptografi menggunakan Algoritma RC4 serta Steganografi menggunakan End of File berbasis Desktop

Perkembangan jaman memaksa kita harus tetap maju dan berinovasi sesuai dengan kebutuhan yang kita kehendaki. Saat ini `pemerintah telah memberikan kesempatan yang

 Alamat : lamat : Jl.. engan demi*ian, item +o%mula%ium adala) a%ana penting dalam memati*an mutu penggunaan oat dan pengendalian )a%gana.. P%a*ti

Disamping terjadi penurunan populasi kerang akibat ekploitasi yang berlebihan, juga terjadi tekanan terhadap kondisi habitat alami dari kerang itu sendiri, dimana telah