commit to user
HUBUNGAN STRES DENGAN FREKUENSI SERANGAN PADA PASIEN ASMA DI RSUD DR. MOEWARDI
SKRIPSI
Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran
ELSA ADILA RAMADHIAN
G0009072
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ii
PENGESAHAN SKRIPSI
Skripsi dengan judul: Hubungan Stres dengan Frekuensi Serangan
pada Pasien Asma di RSUD Dr. Moewardi
Elsa Adila Ramadhian, NIM: G0009072, Tahun: 2012
Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta
commit to user
iii PERNYATAAN
Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah
diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan
sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah
ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah
dan disebutkan dalam daftar pustaka.
Surakarta, Juni 2012
Elsa Adila Ramadhian
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
iv ABSTRAK
Elsa Adila Ramadhian, G0009072, 2012. Hubungan Stres dengan Frekuensi Serangan pada Pasien Asma di RSUD Dr. Moewardi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.
Latar Belakang: Asma adalah penyakit inflamasi jalan pernapasan kronik dengan gejala berupa batuk, mengi, dada terasa terangkat, dan sesak napas. Biasanya serangan asma didahului pencetus yang jenisnya berbagai macam dan untuk penderita yang satu dengan yang lainnya berbeda. Asma dapat dipengaruhi oleh stres, kecemasan, kesedihan, seperti halnya pengaruh zat-zat iritan atau alergen, olahraga dan infeksi. Penelitian awal menduga bahwa asma mempunyai komponen psikosomatis yang secara kuat didominasi oleh psikoanalisis. Stres dan faktor psikologis telah dihubungkan dengan gejala asma, bronkokonstriksi dan penurunan rata-rata arus pulmoner pada penderita asma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya faktor risiko stres terhadap penderita asma.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sebanyak 50 subjek penelitian yang dipilih dengan
exhaustive sampling adalah pasien asma yang memeriksakan diri di Poli Paru RSUD Dr. Moewardi. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung dan pengisian kuesioner oleh pasien. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan model regresi logistik ganda dan diolah dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 20.00 for Windows.
Hasil Penelitian: Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan mengontrol variabel perancu yaitu paparan asap rokok, penggunaan kontroler, umur dan jenis kelamin, pasien asma dengan tingkat stres yang tinggi memiliki kemungkinan untuk mengalami serangan asma sering 13,39 kali lebih besar daripada pasien yang tingkat stresnya rendah (OR=13,39; CI 95% 2,61 sd 68,77; p=0,002).
Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara stres dengan frekuensi serangan pada pasien asma. Tingkat stres tinggi meningkatkan frekuensi serangan asma. Kesimpulan ini diperoleh setelah mengontrol variabel perancu yaitu paparan asap rokok, penggunaan kontroler, umur dan jenis kelamin.
commit to user
v ABSTRACT
Elsa Adila Ramadhian, G0009072, 2012. The assocation between stress and asthma frequency in patients with asthma at RSUD Dr. Moewardi. Thesis. Faculty of Medicine, Universitas Sebelas Maret Surakarta.
Background: Asthma is a respiratory inflamation disease with symptoms such as cough, wheeze, uplifted chest, shortness of breath. Previews studies assumsed that asthma has psychosomatic component that is predominated by psychoanalysis. Stress and psychologic factors had been assosiated with asthma symptoms, bronco-constriction and reduction in average pulmonary flow in patients with asthma. This study aimed to determine the assosiation between stress and asthma frequency in patients with asthma.
Methods: This analytic study was observational using cross-sectional approach. A
sample of 50 study subjects was selected by exhaustive sampling from outpatients who visited Pulmonary Clinics, RSUD Dr. Moewardi Surakarta. The data was collected by interview using a set of questionnaire. The data was annalyzed using multiple logistic regression model on SPSS 20 for windows.
Results: Asthmatic patients with high level of stress had 13,39 times as many risk of
having asthma attacks then those with low level of stress. This estimate had controlled for the effects of confounding variables such as exposure to cigarette smoke, use of controller, age, and gender.
Conclusion: There is a statisticaly significant assosiation between stress and frequency of
asthma attack in patient with asthma. This conclusion is drawn after controlling for the effects of confounding variables such as exposure to cigarrete smoke, use of controller, age, and gender.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
1 BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Asma adalah penyakit inflamasi jalan pernapasan kronik dimana
banyak sel berperan, di antaranya sel mast dan eosinofil (Gershwin et al.,
2004). Inflamasi menyebabkan obstruksi saluran pernapasan reversibel dan
disertai gejala berupa batuk, mengi, dada terasa terangkat, dan sesak napas
(Davey, 2002). Walaupun Indonesia dinyatakan sebagai negara dengan
prevalensi rendah (<5%) untuk asma, kenyataan sulit dibantahkan bahwa
asma terdapat di mana-mana. Pada anak-anak, penderita asma anak
laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Sebaliknya, pada usia dewasa
angka kejadian asma pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki
(Wahyudi, 2008).
Dari hasil penelitian, walaupun prevalensi asma di Indonesia masih
tergolong rendah, namun terlihat kecendrungan peningkatan jumlah
penderita penyakit ini. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)
tahun 1986 menunjukan bahwa asma menduduki urutan ke-5 pola
kesakitan dan urutan ke-10 penyebab kematian sedangkan hasil SKRT
tahun 1992 menunjukkan asma sebagai urutan ke-7 penyebab kematian.
Referensi lain yang juga dapat digunakan untuk memperlihatkan
kecendrungan peningkatan prevelensi penyakit ini adalah penelitian pada
commit to user
(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995,
menunjukkan prevalensi asma masih 2,1% yang meningkat menjadi 5,2%
pada tahun 2003.
Pada penyakit ini, dalam suatu periode waktu dapat tanpa serangan
dan pada periode lain timbul serangan asma. Biasanya serangan asma
didahului pencetus yang jenisnya berbagai macam dan untuk penderita
yang satu dengan yang lainnya berbeda. Asma dapat dipengaruhi oleh
stres, kecemasan, kesedihan, seperti halnya pengaruh zat-zat iritan atau
alergen, olahraga dan infeksi (Lahrer, 2002).
Stres adalah salah satu aspek psikologis yang sangat dikenal dalam
kehidupan modern (Young, 2005). Meskipun sudah hampir satu abad
penelitian tentang stres, para peneliti masih kesulitan untuk mencapai
konsensus definisi yang memuaskan (Segerstrom, 2004). Definisi
psikologi tentang stres yang paling umum dipakai mengatakan bahwa stres
muncul ketika tuntutan atau ajakan dari lingkungan melebihi adaptasi
individu atau kemampuan untuk melawan (Wrigh, 1998; Klinnert, 2003;
Chen, 2007).
Penelitian untuk hubungan antara faktor psikologis dan asma dimulai
pada abad ke-20 dan mendapatkan hasil yang berbeda-beda. Penelitian
awal menduga bahwa asma mempunyai komponen psikosomatis yang
secara kuat didominasi oleh psikoanalisis. Teori emosi spesifik yang
dikembangkan oleh Alexander dkk (1930) dari Chicago Institute of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3
emosi berperan penting dalam asma. Stres dan faktor psikologis telah
dihubungkan dengan gejala asma, bronkokonstriksi dan penurunan
rata-rata arus pulmoner pada anak yang menderita asma. Ketika subjek
diperlakukan dengan tekanan-tekanan, seperti melihat film emosional,
mendengarkan interaksi penuh tekanan dan mengerjakan tugas yang rumit,
15-30% subyek penderita asma mengalami peningkatan bronkokonstriksi
(Wrigh, 1998).
Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menanggap perlu dilakukan
adanya suatu penelitian untuk mengetahui adanya faktor risiko stres
terhadap penderita asma di RSUD Dr. Moewardi.
B. Perumusan Masalah
Adakah hubungan antara stres dengan frekuensi serangan pada pasien
asma di RSUD Dr. Moewardi?
C. Tujuan Penelitian
Menganalisis adanya hubungan antara stres dengan frekuensi serangan
pada pasien asma di RSUD Dr. Moewardi.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat Teoretis:
Memberikan informasi dan sumbangan data tentang adanya
commit to user 2. Manfaat Aplikatif:
Dengan diperoleh informasi mengenai adanya hubungan stres
dengan frekuensi serangan asma diharapkan dapat meningkatkan
kesehatan dan kesejahteraan pasien asma serta meningkatkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
menurut National Heart, Lung and Blood Institute sebagai berikut:
asma adalah suatu inflamasi kronik saluran napas di mana terdapat
berbagai sel inflamasi yang memegang peranan, terutama sel mast,
eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang peka inflamasi ini
menyebabkan episode berulang berupa mengi, sesak napas, rasa
berat di dada serta batuk terutama malam hari atau dini hari. Gejala
ini umumnya berhubungan dengan pengurangan arus udara yang
luas tetapi bervariasi yang paling tidak sebagian bersifat reversibel
baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga
meningkatkan kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan
(Boushey, 2000; Surjanto, 2001).
b. Patogenesis
Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Dimana
proses inflamasi ini melibatkan berbagai sel inflamasi yaitu sel mast,
commit to user
Adanya inflamasi saluran napas telah dibuktikan melalui beberapa
penelitian seperti hipereaktivitas bronkus, kurasan bronkoalveolar,
biopsi bronkus, induksi sputum serta otopsi pasien meninggal pada
saat serangan (Surjanto, 2005).
Sel sel inflamasi yang teraktivasi melepas beberapa mediator
sitokin, molekul adhesi, kemokin dan berinteraksi antara yang satu
dengan yang lain. Eosinofil sendiri terlibat dengan melepas granul-
granul yang toksik. Hal tersebut menimbulkan reaksi yang sangat
kompleks dengan gejala-gejala klinis seperti bronkokonstriksi,
produksi mukus yang berlebihan, alergi, dan hipereaktivitas bronkus
(Baratawidjaya, 2003)
Selain perubahan akut, juga didapatkan perubahan sifat kronik
yaitu hipertrofi otot polos, pembentukan pembuluh darah baru,
peningkatan sel-sel goblet epitelial, fibrosis subepitelial, dan
penebalan membran basalis, yang dikenal dengan airway
remodelling (Muro, 2000; Boushey, 2000). Airway remodelling
merupakan suatu reaksi tubuh yang berusaha memperbaiki jaringan
tubuh yang rusak akibat dari inflamasi yang berjalan terus-menerus
(Baratawijaya, 2003). Adapun konsekuensi dari proses ini
menyebabkan peningkatan gejala dan tanda asma seperti
hipereaktivitas jalan napas, masalah distensibilitas atau regangan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
7
Obstruksi aliran udara merupakan tanda klinik yang khas dari
asma (Rees, 2005) yaitu pada bagian proksimal dari bronkus kecil
pada saat ekspirasi. Empat faktor utama yang berperan dalam proses
terjadinya obstruksi aliran udara pada bronkus:
1) Kontraksi otot polos bronkus yang merupakan respon terhadap
alergen spesifik
2) Hipertrofi (edema) selaput lendir yang disebabkan karena
bertambahnya permeabilitas pembuluh darah
3) Hipersekresi kelenjar mukus dan sel goblet dengan penyumbatan
bronkus oleh lendir yang kental
4) Airway remodelling
c. Faktor Risiko
Perkembangan risiko terjadinya asma adalah interaksi antara
faktor penjamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor penjamu
disini termasuk predisposisi genetik antara lain genetik asma, atopi,
hiperaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras.
Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan
predisposisi asma untuk perkembangan menjadi asma, menyebabkan
terjadinya eksasebasi dan atau menyebabkan gejala menetap. Faktor
lingkungan tersebut antara lain rokok, polusi udara, exercise,
commit to user d. Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik,
gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan
variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik
cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan
jasmani dan pengukuran faal paru (PDPI, 2004).
Indikator yang digunakan dalam menegakkan diagnosis asma
(Surjanto, 2001) adalah sebagai berikut:
1) Mengi (wheezing).
2) Riwayat satu atau lebih :
a) Batuk yang memburuk terutama pada malam hari
b) Mengi berulang
c) Sesak napas berulang
d) Merasa berat di dada
3)Penyempitan saluran napas yang reversibel dan variasi diurnal
Variasi diurnal diukur dengan peak flow meter . Arus
Puncak Ekpirasi (APE) yang diukur pagi hari (sebelum inhalasi
Agonis Beta-2) dan malam hari (setelah inhalasi Agonis Beta-2)
menunjukan perbedaan 20% atau lebih.
4)Gejala timbul atau memburuk pada berbagai faktor pencetus.
5)Gejala timbul atau memburuk pada malam hari yang menyebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
9
Pemeriksaan penunjang yang paling penting pada asma ialah
uji faal paru. Pengukuran faal paru dapat menilai adanya dan
beratnya obstruksi jalan napas, membantu diagnosis, memantau
perjalanan penyakit dan menilai hasil terapi (Mariono, 1999).
e. Klasifikasi Asma
Berkaitan dengan gangguan pernapasan dan
bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam dua golongan
besar, seperti yang dianut banyak ahli pulmonologi (penyakit
paru-paru) dari Inggris, yakni (Hadibroto, 2005) :
1)Asma Ekstrinsik
Asma ekstrinsik adalah bentuk asma yang paling umum,
dan disebabkan karena reaksi alergi penderitanya terhadap hal-hal
tertentu (alergen), yang tidak membawa pengaruh apa-apa pada
mereka yang sehat.
2)Asma Intrinsik
Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang
berasal dari alergen. Asma jenis ini disebabkan oleh stres, infeksi,
dan kondisi lingkungan seperti cuaca, kelembaban dan suhu
udara, polusi udara, dan juga oleh aktivitas olahraga yang
commit to user
Klasifikasi asma berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA) yakni
(GINA, 2006 dan 2010) :
Tabel 2.1 Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis
Tabel 2.2 Klasifikasi Asma
Sumber : GINA, 2006 ; GINA 2010 Klasifikasi Asma terkontrol/ episodic
jarang
Asma sebagian terkontrol/ episodik sering
Asma tak terkontrol/
persisten Frekuensi serangan Tidak ada atau <2x/minggu >2x/minggu >3 gejala pada
asma episodik sering Pembatasan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu
Gejala pada malam hari (dapat mengganggu tidur)
Tidak terganggu Sering terganggu
Obat pereda Tidak perlu atau <2x/minggu >2x/minggu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
11
f. Penatalaksanaan
Asma tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol dengan pemberian obat-obat yang benar (Baratawidjaja, 2003).
Obat-obat yang dapat mengontrol asma antara lain: inhalasi,
kortikosteroid sistemik, sodium kromolin, sodium medkromil, dan
teofilin.
International Consensus Report on Diagnosis and
Management of Asthma merekomendasikan enam cara untuk
mengoptimalkan penatalaksanaan asma, yang sangat terkait satu
sama lain, yaitu:
1) Penyuluhan kepada pasien dan keluarganya untuk membina
kerjasama dan penatalaksanaan
2) Penilaian dan pemantauan beratnya asma berdasarkan gejala dan
pemeriksaan fungsi paru
3) Mencegah atau mengendalikan faktor pencetus
4) Merencanakan pengobatan jangka panjang
5) Menetapkan rencana individu dalam mengatasi eksasebasi
commit to user 2. Stres
a. Definisi
Istilah stres berasal dari istilah latin stingere yang mempunyai
arti ketegangan dan tekanan. Stres merupakan suatu tekanan yang
muncul karena tingginya tuntutan lingkungan kepada seseorang
sehingga orang tersebut perlu beradaptasi atau menyesuaikan diri
(Wangsa, 2010).
b. Sumber stres (stressor)
Stressor adalah sumber stres yang dipersepsi seseorang atau
sekelompok orang yang memberi tekanan/cekaman terhadap
keseimbangan diri mereka. Ada beberapa sumber-sumber yang dapat
mencetuskan timbulnya stres, yaitu :
1) Tekanan
Tekanan dapat datang dari dalam, seperti cita-cita yang
terlalu tinggi yang ditetapkan untuk diri pribadi. Sedangkan
tekanan dari luar dapat datang dari tuntutan orang tua atau
orang-orang di sekitarnya (Maramis, 1998). Semakin besar tekanan yang
dirasakan semakin besar kemungkinan sesorang menderita stres.
2) Krisis
Krisis adalah keadaan yang mendadak menimbulkan stres
pada seseorang atau sekelompok orang, seperti kematian, masuk
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
13
peristiwa-peristiwa di atas akan mengalami stres karena tiap
orang mempunyai tingkat adaptasi yang berbeda (Maramis,
1998).
3) Frustasi
Frustasi dapat timbul apabila ada hal yang menghalanginya
dengan tujuan yang ingin diraih, hal ini dapat berasal dari dalam
seperti cacat badaniah, sedangkan faktor luar dapat berupa
kemalangan (Maramis, 1998). Apabila seseorang sudah merasa
frustasi maka dapat mencetuskan terjadinya stres.
4) Konflik
Konflik dapat timbul jika seseorang dihadapkan kepada dua
pilihan sehingga orang tersebut menjadi bingung dan pusing
untuk menentukan pilihan dan membuatnya menjadi stres
(Maramis, 1998).
5) Kepribadian
Semakin lentur kepribadian seseorang dan semakin tinggi
harapan seseorang akan hidup (optimis), semakin jauh dari stres
dan semakin ringan stres baginya (Darmono, 1985).
6) Kesehatan
Semakin sehat seseorang semakin jarang terkena stres, dan
sebaliknya stres dan sakit raga merupakan dua kejadian yang
commit to user
semakin stres maka akan semakin parah sakitnya, dan begitupun
sebaliknya (Darmono, 1985).
7) Kebutuhan biologik
Misalnya kurang istirahat, beban kerja yang berlebihan
(Soewadi, 1987).
8) Kebutuhan aktualisasi diri dan rasa dihargai
Misalnya kurangnya kesempatan dan sarana
mengembangkan diri atau kurangnya penghargaan atas prestasi
yang telah dicapai (Soewadi, 1987).
9) Toleransi
Kemampuan seseorang dalam menyikapi hal-hal yang
dapat menimbulkan stres ikut berperan dalam menentukan
tingkah laku penyesuaian individu dalam menghadapi stres
(Carson dan Butcher, 1992).
10) Peristiwa traumatik
Sumber stres paling jelas adalah peristiwa traumatik yang
merupakan situasi bahaya yang berada di luar rentang
pengalaman manusia yang lazim, misalnya bencana alam dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
15
11) Peristiwa yang tidak dapat dikendalikan
Semakin suatu peristiwa tidak dapat dikendalikan, semakin
besar kemungkinan dianggap stres, contohnya adalah kematian
orang yang dicintai dan pemecatan (Atkinson et al, 1991).
12) Menentang batas manusia
Beberapa kondisi dapat diprediksi dan dikendalikan, tetapi
masih dialami sebagai peristiwa yang menimbulkan stres karena
dapat memaksa seseorang sampai batas kemampuan dan
pandangan terhadap diri sendiri, misalnya hari ujian akhir
(Atkinson, et al, 1991).
c. Tingkatan stres
Tingkatan stres menurut Rasmun (2004) adalah:
1) Stres ringan yaitu stressor yang dihadapi secara teratur dan
umumnya dirasakan oleh setiap orang misalnya lupa dan
kemacetan.
2) Stres sedang yaitu stres yang terjadi lebih lama, dari beberapa jam
sampai beberapa hari misalnya permasalahan keluarga.
3) Stres berat yaitu stress kronik yang terjadi beberapa minggu
sampai beberapa tahun misalnya kesulitan financial dan penyakit
commit to user d. Gejala Stres
Gejala yang sering ditemukan pada orang yang mengalami
stres menurut Hawari (2008) dan Wangsa (2010) adalah:
1) Gejala psikologis : kecemasan, ketegangan, kebingungan dan
mudah tersinggung, perasaan frustasi, marah, perasaan terkucil
dan terasing, kehilangan konsentrasi, kehilangan kreativitas serta
menurunnya rasa percaya diri.
2) Gejala fisiologis : jantung berdebar-debar, muka pucat, gangguan
gastrointestinal, gangguan pernafasan, gangguan pada kulit
(timbul jerawat, kedua telapak tangan dan kaki berkeringat),
sering buang air kecil, mulut dan bibir terasa kering, sakit kepala,
sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot serta
gangguan tidur.
3) Gejala perilaku : menunda dan menghindari pekerjaan,
menurunnya prestasi, perilaku makan yang tidak normal yang
mengarah ke obesitas dan penurunan berat badan, serta
menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan
teman.
3. Hubungan stres dengan serangan asma
Dadang Hawari (1994), menyatakan bahwa adanya peranan
kejiwaan yang saling mendukung pada asma menjadikan asma
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
17
emosional yang dialamai seseorang seperti kecemasan, depresi, frustasi,
amarah yang terpendam dikonversikan dalam bentuk keluhan fisik.
Sebagian besar ahli penyakit asma berpendapat bahwa akan sulit
menentukan penyebab asma karena asma merupakan penyakit dengan
banyak penyebab dan banyak akibat. Serangan asma dapat disebabkan
faktor infeksi, alergi maupun psikologik (Hadis, 1994). Pertimbangan
terbaru dalam bidang psikoneuroimunologi (PNI) menghubungkan
antara stres psikososial, sistem saraf pusat, perubahan dalam fungsi
imun dan endokrin menghasilkan jalur biologi yang masuk akal diduga
dimana stres berdampak pada tanda-tanda asma (Young, 2005; Surjanto
dkk, 2009)
Stres menyebabkan perubahan aktifitas
Hypothalamic-pituitary-adrenal( HPA) dan menghasilkan peningkatan sekresi hormon kortisol.
Paparan terhadap kortisol dosis tinggi nantinya dapat menyimpangkan
sistem imun atau deviasi imun kearah respon berlebihan T-helper
(Th)-2 sitokin. Pergeseran Th-1 ke Th-(Th)-2 sitokin selama stres penting pada
asma sebab dapat menaikkan respons humoral terhadap alergen yang
memudahkan inflamasi dan obstruksi jalan napas (Chen, 2007; Surjanto
commit to user B. Kerangka Pemikiran
Keterangan : : Variabel yang diteliti
: Variabel yang tidak diteliti
: Yang mempengaruhi
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Stressor
Kortisol Aktivasi HPA
Th-2 sitokin Menghambat sistem imun
Stres
Inflamasi dan obstruksi saluran napas
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
19
C. Hipotesis
Terdapat hubungan antara stres dengan frekuensi serangan asma.
commit to user 27
BAB IV
HASIL PENELITIAN
Penelitian mengenai Hubungan Stres dengan Frekuensi Serangan pada
Pasien Asma telah dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2012 di Poliklinik Paru
RSUD Dr. Moewardi. Subjek sejumlah 64 pasien asma, 50 di antaranya masuk
sebagai sampel karena telah memenuhi syarat inklusi. Sampel yang didapatkan yaitu
pasien asma dengan berbagai derajat. Berikut disampaikan hasil penelitian yang
disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.
A.Karakteristik Sampel Penelitian
1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Data Kontinu
Tabel 4.1 Karakteristik sampel data kontinu
Variabel n Mean SD Min Maks
Umur 50 47,28 9,22 23 60
Skor Stres 50 281,16 161,50 44 642
Tabel 4.1 menunjukkan, rata-rata umur pasien pada penelitian yaitu
47 tahun. Sedangkan skor stres rata-rata pasien yang didapatkan adalah 281.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
28
2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Data Kategorikal
Tabel 4.2 Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin
No. Jenis Kelamin Frekuensi (n) %
1. Perempuan 32 64
2. Laki-laki 18 36
Jumlah 50 100
Tabel 4.2 menunjukkan selama penelitian, pasien asma yang
memeriksakan diri di RSUD Dr. Moewardi paling banyak berjenis kelamin
perempuan daripada laki-laki.
Tabel 4.3 Distribusi sampel berdasarkan paparan asap rokok
No. Paparan Asap rokok Frekuensi (n) %
1. Ya 7 14
2. Tidak 43 86
Jumlah 50 100
Dari Tabel 4.3 didapatkan penderita asma yang tidak terpaparan asap
rokok lebih banyak daripada yang terpapar asap rokok.
Tabel 4.4 Distribusi sampel berdasarkan penggunaan kontroler
No. Penggunaan Kontroler Frekuensi (n) %
1. Rutin 37 74
2. Tidak Rutin 13 26
Jumlah 50 100
Dari Tabel 4.4 diadapatkan penderita asma yang rutin menggunakan
commit to user
B.Analisis Bivariat
Pada tahap ini dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan
dengan variabel bebas (tingkat stres) terhadap variabel terikat (frekuensi serangan
asma) serta arah hubungannya. Analisis juga dilakukan terhadap faktor perancu,
yaitu paparan asap rokok dan penggunaan kontroler. Adanya faktor perancu
berpengaruh terhadap hasil analisis data yang didapat. Untuk mengendalikannya,
dilakukan analisis regresi logistik. Uji statistik menggunakan Chi-square Test
dengan Confidence Interval (CI)=95%.
1. Hubungan Stres dengan Frekuensi Serangan Asma
Tabel 4.5 Analisis bivariat tentang hubungan stres dengan frekuensi serangan asma
Frekuensi Serangan Asma
Variabel Jarang Sering Total OR p
n(%) n(%) n(%)
Skor Stres:
Rendah 12 (80) 3 (20) 15 (100)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
30
Dari Tabel 4.5 dan Gambar 4.1 didapatkan kelompok skor stres rendah
dengan frekuensi serangan asma jarang sebanyak 12 orang (80%) dan frekuensi
serangan asma sering 3 orang (20%). Pada kelompok skor stres tinggi dengan
frekuensi serangan jarang sebanyak 7 orang (20%) dan frekuensi serangan asma
sering 28 orang (80%). Analisis bivariat terhadap hubungan antara tingkat stres
dengan frekuensi serangan asma menunjukan hubungan yang signifikan
(p<0,001). Pasien dengan tingkat stres tinggi memiliki risiko untuk mengalami
serangan asma dengan frekuensi sering 16 kali lebih besar daripada tingkat stres
rendah (OR=4,3 ; Cl 95% 3,527 s.d. 72,583), tetapi hasil ini belum mengontrol
pengaruh dari variabel perancu.
Gambar 4.1 Diagram sebar tentang hubungan stres
commit to user
2. Hubungan Paparan Asap Rokok dengan Frekuensi Serangan Asma
Tabel 4.6 Analisis bivariat tentang hubungan paparan asap rokok dengan frekuensi serangan asma
Frekuensi Serangan Asma
Variabel Jarang Sering Total OR p
n(%) n(%) n(%)
Paparan Asap Rokok:
Tidak 17 (39,5) 26 (60,5) 43 (100)
Ya 2 (28,6) 5 (71,4) 7 (100) 1,64 0,579
Dari Tabel 4.6 didapatkan kelompok tanpa paparan asap rokok dengan
frekuensi serangan asma jarang sebanyak 17 orang (39,5%) dan frekuensi
serangan asma sering 26 orang (60,5%). Pada terpapar asap rokok dengan
frekuensi serangan jarang sebanyak 2 orang (28,6%) dan frekuensi serangan
asma sering 5 orang (71%). Analisis bivariat terhadap hubungan antara paparan
asap rokok dengan frekuensi serangan asma menunjukan hubungan yang tidak
signifikan (p=0,579). Pasien yang terpapar asap rokok memiliki risiko untuk
mengalami serangan asma dengan frekuensi sering 1,6 kali lebih besar daripada
tidak terpapar asap rokok (OR=1,635 ; Cl 95% 0,284 s.d. 9,407), tetapi hasil ini
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
32
3. Hubungan Penggunaan Kontroler dengan Frekuensi Serangan Asma
Tabel 4.7 Analisis bivariat tentang hubungan penggunaan kontroler dengan frekuensi serangan asma
Dari Tabel 4.7 didapatkan kelompok yang tidak rutin menggunakan
kontroler dengan frekuensi serangan asma jarang sebanyak 8 orang (61,5%) dan
frekuensi serangan asma sering 5 orang (38,5%). Pada kelompok yang rutin
menggunakan kontroler dengan frekuensi serangan jarang sebanyak 11 orang
(29,7%) dan frekuensi serangan asma sering 26 orang (70,3%). Analisis bivariat
terhadap hubungan antara penggunaan kontroler dengan frekuensi serangan asma
menunjukan hubungan yang signifikan (p=0,042). Pasien yang rutin
menggunakan kontroler memiliki risiko untuk mengalami serangan asma dengan
frekuensi sering 3,8 kali lebih besar daripada tidak rutin menggunakan kontroler
(OR=3,78 ; Cl 95% 1,009 s.d. 14,173), tetapi hasil ini belum mengontrol
commit to user
C. Analisis Regresi Logistik Ganda
Setelah melakukan analisis bivariat terhadap variabel frekuensi
serangan asma dengan tingkan stres dan variabel perancu yaitu paparan asap
rokok dan penggunaan kontroler, didapatkan tingkat stres secara signifikan
berpengaruh terhadap frekuensi serangan asma sedangkan paparan asap rokok
dan penggunaan kontroler berpengaruh secara tidak signifikan.
Analisis regresi logistik ganda dilakukan dengan memperhitungkan
variabel tingkat stres, paparan asap rokok, penggunaan kontroler, umur dan
jenis kelamin sehingga didapatkan hasil yang lebih valid karena telah
mengontrol variabel-variabel perancu yang dapat mempengaruhi hubungan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
34
Tabel 4.8 Hasil analisis regresi logistik ganda tentang hubungan tingkat stres dan frekuensi serangan asma dengan mengontrol paparan asap rokok, penggunaan kontroler, jenis kelamin dan umur pasien.
Penggunaan Kontroler
Tidak Rutin 1,0 - - -
Tabel 4.8 menunjukkan terdapat hubungan yang secara statistik
signifikan antara tingkat tingkat stres dan frekuensi serangan pada paasien
asma. Pasien asma dengan tingkat stres tinggi berisiko untuk sering mendapat
serangan asma 13 kali lebih besar daripada pasien dengan tingkat stres rendah
(Or=13,39 CI 95% 2,61sd 68,77 ; p=0,002). Kesimpulan ini diperoleh setelah
mengontrol variabel perancu yaitu paparan asap rokok, penggunaan kontroler,
commit to user
Hasil analisis di atas memperlihatkan nilai -2 log likelihood sebesar
49,7 yang menunjukkan terdapat kesesuaian antara model regresi logistik
yang digunakan dengan data sampel (hampir sama karena mendekati nol dan
nilainya berada pada kisaran antara 0 sampai 100).
Dengan model regresi logistik ganda, variabel tingkat stres, paparan
asap rokok, penggunaan kontroler, umur dan jenis kelamin secara bersamaan
didalam model regresi logistik mampu menjelaskan frekuensi serangan pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
36 BAB V
PEMBAHASAN
Penelitian yang berjudul “Hubungan Stres dengan Frekuensi Serangan
pada Pasien Asma” dilakukan pada bulan April 2012 di RSUD Dr. Moewardi dan
didapatkan 64 subjek penelitian yang terdiri dari 50 orang sesuai dengan kriteria
inklusi dan 14 orang masuk dalam kriteria eksklusi.
Distribusi subyek penelitian berdasarkan umur (Tabel 4.1) didapatkan
pasien asma yang menjadi sampel rata-rata berumur 47 tahun dengan umur
terendah 23 tahun dan umur tertinggi 60 tahun. Skor stres rata-rata pasien yaitu
281,16 dengan skor paling rendah 44 dan paling tinggi 642.
Berdasarkan Tabel 4.2 didapatkan pasien asma yang terbanyak adalah
perempuan, berjumlah 32 orang (64%) dibandingkan dengan laki-laki yang
berjumlah 18 orang (36%). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa
pada orang dewsa dengan asma kebanyakan penderitanya adalah perempuan
(Sundaru dan Sukamto, 2007). Hal ini dikarenakan jenis kelamin merupakan salah
satu faktor predisposisi asma. Perempuan lebih rentan terhadap stres dan
mengalami masalah hormonal yang menjadi faktor pencetus asma (Surjanto,
2001).
Pada Tabel 4.3, persentase pasien dalam penelitian ini yang terpapar asap
rokok lebih sedikit dibandingan dengan pasien yang tidak terpapar asap rokok.
commit to user
terpapar asap rokok sedangkan 14% pasien terpapar asap rokok. Hal ini
menunjukkan bahwa sudah tinggingnya pengetahuan pasien mengenai pengaruh
asap rokok terhadap asma yang dideritanya.
Pada penelitian, persentase pasien asma yang rutin menggunakan kontroler
(Tabel 4.4) lebih tinggi dibandingkan yang tidak rutin menggunakan kontroler.
Kemungkinan karena lebih banyak pasien dengan serangan asma sering yang
memeriksakan diri di Poli Paru RSUD Dr. Moewardi sehingga lebih rutin
menggunakan kontroler.
Pada Tabel 4.5 menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat stres
dengan frekuensi serangan asma (p=0.001) dengan Odd Ratio=16.00. Hal ini
sesuai dengan penelitian yang pernah ada. Penelitian hubungan antara faktor
psikologis dan asma yang pernah dilakukan sebelumnya, mendapatkan hasil yang
berbeda-beda. Penelitian awal menduga bahwa asma mempunyai komponen
psikosomatis yang secara kuat didominasi oleh psikoanalisis. Stres dan faktor
psikologis telah dihubungkan dengan gejala asma, bronkokonstriksi dan
penurunan rata-rata arus pulmoner pada anak yang menderita asma. Ketika subjek
diperlakukan dengan tekanan-tekanan, seperti melihat film emosional,
mendengarkan interaksi penuh tekanan dan mengerjakan tugas yang rumit,
15-30% subyek penderita asma mengalami peningkatan bronkokonstriksi (Wrigh,
1998).
Tabel 4.6 menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara paparan
asap rokok dengan frekuensi serangan asma (OR=1,64; p= 0,578). Beberapa teori
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
38
dan iritan dan pemicu terjadinya reaksi serangan asma (Sundaru dan Sukamto,
2007). Hasil yang tidak signifikan mungkin disebabkan karena ada beberapa dari
pasien asma yang tidak sensitif terhadap paparan asap rokok sehingga walaupun
terpapar asap rokok tidak terjadi serangan. Selain itu bisa disebabkan karena
walaupun pasien tidak terpapar asap rokok, pasien mendapatkan faktor pencetus
asma lainnya seperti udara yang dingin atau pun panas sehingga serangan asma
tetap sering terjadi.
Tabel 4.7 menunjukkan hubungan yang signifikan antara penggunaan
kontroler dengan frekuensi serangan asma (OR=3,78; p=0,042), tetapi signifikan
terhadap pasien yang rutin menggunakan kontroler dengan serangan asma sering.
Seharusnya, dengan penggunaan kontroler yang rutin, pasien diharapkan lebih
jarang mendapat serangan asma. Signifikannya hubungan tersebut dapat
disebabkan karena pasien yang memeriksakan diri ke poli paru RSUD Dr.
Moewardi, lebih banyak pasien dengan derajat asma yang serangannya sering
seperti pesisten sedang dan berat.
Untuk semakin memperjelas hubungan dari hasil analisis data yang
didapat maka dilakukan kontrol terhadap variabel perancu, yaitu paparan asap
rokok, penggunaan kontroler, umur dan jenis kelamin dengan analisis regresi
logistik ganda. Tabel 4.8 merupakan hasil analisis regresi yang menunjukkan
hubungan signifikan antara tingkat stres dengan frekuensi serangan asma pasien
(p=0.002) dengan Odd Ratio=13,39. Hasil yang diperoleh ini akan menjadi lebih
valid karena dalam penelitian variabel-variabel perancu yang dapat
commit to user
Penelitian ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu : (1) jumlah sampel
yang terlalu kecil, hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu dalam penelitian,
(2) tidak semua variabel perancu dianalisis dalam penelitian ini, sehingga tidak
diketahui pengaruhnya terhadap frekuensi serangan asma.
Dengan mempertimbangkan keterbatasan waktu dan kemampuan peneliti,
maka penelitian ini hanya mengendalikan sejumlah variabel yang dipilih
sedemikian rupa sehingga hasil penelitian dapat mempresentasikan keadaan yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
40
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
A.Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan
bahwa terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara stres dengan
frekuensi serangan pada pasien asma. Pasien asma dengan tingkat stres yang
tinggi memiliki kemungkinan untuk mengalami serangan asma sering 13,39
kali lebih besar daripada pasien yang tingkat stresnya rendah (OR=13,39; CI
95% 2,61 sd 68,77; p=0,002). Kesimpulan ini diperoleh setelah mengontrol
variabel perancu yaitu paparan asap rokok, penggunaan kontroler, umur dan
jenis kelamin.
B.Saran
Sehubungan dengan hasil penelitian, analisis data dan simpulan yang
diperoleh maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut :
1. Pasien-pasien asma maupun keluarga penderita asma diberikan pemahaman
oleh petugas kesehatan bahwa stres dapat meningkatkan risiko terjadinya
asma, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah yang tepat untuk
commit to user
2. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan stres dengan
frekuensi serangan asma dengan memperhitungan faktor-faktor pencetus
asma lainnya seperti pekerjaan, alergen, polusi udara dan lain-lain sehingga