• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hubungan Stres Dengan Frekuensi Serangan Pada Pasien Asma Di Rsud Dr. Moewardi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hubungan Stres Dengan Frekuensi Serangan Pada Pasien Asma Di Rsud Dr. Moewardi"

Copied!
39
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

HUBUNGAN STRES DENGAN FREKUENSI SERANGAN PADA PASIEN ASMA DI RSUD DR. MOEWARDI

SKRIPSI

Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

ELSA ADILA RAMADHIAN

G0009072

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

Surakarta

(2)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

ii

PENGESAHAN SKRIPSI

Skripsi dengan judul: Hubungan Stres dengan Frekuensi Serangan

pada Pasien Asma di RSUD Dr. Moewardi

Elsa Adila Ramadhian, NIM: G0009072, Tahun: 2012

Telah diuji dan sudah disahkan di hadapan Dewan Penguji Skripsi Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta

(3)

commit to user

iii PERNYATAAN

Dengan ini menyatakan bahwa dalam skripsi ini tidak terdapat karya yang pernah

diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan

sepanjang pengetahuan penulis juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah

ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah

dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Surakarta, Juni 2012

Elsa Adila Ramadhian

(4)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

iv ABSTRAK

Elsa Adila Ramadhian, G0009072, 2012. Hubungan Stres dengan Frekuensi Serangan pada Pasien Asma di RSUD Dr. Moewardi. Skripsi. Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta.

Latar Belakang: Asma adalah penyakit inflamasi jalan pernapasan kronik dengan gejala berupa batuk, mengi, dada terasa terangkat, dan sesak napas. Biasanya serangan asma didahului pencetus yang jenisnya berbagai macam dan untuk penderita yang satu dengan yang lainnya berbeda. Asma dapat dipengaruhi oleh stres, kecemasan, kesedihan, seperti halnya pengaruh zat-zat iritan atau alergen, olahraga dan infeksi. Penelitian awal menduga bahwa asma mempunyai komponen psikosomatis yang secara kuat didominasi oleh psikoanalisis. Stres dan faktor psikologis telah dihubungkan dengan gejala asma, bronkokonstriksi dan penurunan rata-rata arus pulmoner pada penderita asma. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya faktor risiko stres terhadap penderita asma.

Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendekatan cross-sectional. Sebanyak 50 subjek penelitian yang dipilih dengan

exhaustive sampling adalah pasien asma yang memeriksakan diri di Poli Paru RSUD Dr. Moewardi. Pengambilan data dilakukan dengan wawancara langsung dan pengisian kuesioner oleh pasien. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan model regresi logistik ganda dan diolah dengan Statistical Product and Service Solution (SPSS) 20.00 for Windows.

Hasil Penelitian: Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan mengontrol variabel perancu yaitu paparan asap rokok, penggunaan kontroler, umur dan jenis kelamin, pasien asma dengan tingkat stres yang tinggi memiliki kemungkinan untuk mengalami serangan asma sering 13,39 kali lebih besar daripada pasien yang tingkat stresnya rendah (OR=13,39; CI 95% 2,61 sd 68,77; p=0,002).

Simpulan Penelitian: Terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara stres dengan frekuensi serangan pada pasien asma. Tingkat stres tinggi meningkatkan frekuensi serangan asma. Kesimpulan ini diperoleh setelah mengontrol variabel perancu yaitu paparan asap rokok, penggunaan kontroler, umur dan jenis kelamin.

(5)

commit to user

v ABSTRACT

Elsa Adila Ramadhian, G0009072, 2012. The assocation between stress and asthma frequency in patients with asthma at RSUD Dr. Moewardi. Thesis. Faculty of Medicine, Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Background: Asthma is a respiratory inflamation disease with symptoms such as cough, wheeze, uplifted chest, shortness of breath. Previews studies assumsed that asthma has psychosomatic component that is predominated by psychoanalysis. Stress and psychologic factors had been assosiated with asthma symptoms, bronco-constriction and reduction in average pulmonary flow in patients with asthma. This study aimed to determine the assosiation between stress and asthma frequency in patients with asthma.

Methods: This analytic study was observational using cross-sectional approach. A

sample of 50 study subjects was selected by exhaustive sampling from outpatients who visited Pulmonary Clinics, RSUD Dr. Moewardi Surakarta. The data was collected by interview using a set of questionnaire. The data was annalyzed using multiple logistic regression model on SPSS 20 for windows.

Results: Asthmatic patients with high level of stress had 13,39 times as many risk of

having asthma attacks then those with low level of stress. This estimate had controlled for the effects of confounding variables such as exposure to cigarette smoke, use of controller, age, and gender.

Conclusion: There is a statisticaly significant assosiation between stress and frequency of

asthma attack in patient with asthma. This conclusion is drawn after controlling for the effects of confounding variables such as exposure to cigarrete smoke, use of controller, age, and gender.

(6)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Asma adalah penyakit inflamasi jalan pernapasan kronik dimana

banyak sel berperan, di antaranya sel mast dan eosinofil (Gershwin et al.,

2004). Inflamasi menyebabkan obstruksi saluran pernapasan reversibel dan

disertai gejala berupa batuk, mengi, dada terasa terangkat, dan sesak napas

(Davey, 2002). Walaupun Indonesia dinyatakan sebagai negara dengan

prevalensi rendah (<5%) untuk asma, kenyataan sulit dibantahkan bahwa

asma terdapat di mana-mana. Pada anak-anak, penderita asma anak

laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Sebaliknya, pada usia dewasa

angka kejadian asma pada perempuan lebih tinggi dibandingkan laki-laki

(Wahyudi, 2008).

Dari hasil penelitian, walaupun prevalensi asma di Indonesia masih

tergolong rendah, namun terlihat kecendrungan peningkatan jumlah

penderita penyakit ini. Hasil Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT)

tahun 1986 menunjukan bahwa asma menduduki urutan ke-5 pola

kesakitan dan urutan ke-10 penyebab kematian sedangkan hasil SKRT

tahun 1992 menunjukkan asma sebagai urutan ke-7 penyebab kematian.

Referensi lain yang juga dapat digunakan untuk memperlihatkan

kecendrungan peningkatan prevelensi penyakit ini adalah penelitian pada

(7)

commit to user

(International Study on Asthma and Allergy in Children) tahun 1995,

menunjukkan prevalensi asma masih 2,1% yang meningkat menjadi 5,2%

pada tahun 2003.

Pada penyakit ini, dalam suatu periode waktu dapat tanpa serangan

dan pada periode lain timbul serangan asma. Biasanya serangan asma

didahului pencetus yang jenisnya berbagai macam dan untuk penderita

yang satu dengan yang lainnya berbeda. Asma dapat dipengaruhi oleh

stres, kecemasan, kesedihan, seperti halnya pengaruh zat-zat iritan atau

alergen, olahraga dan infeksi (Lahrer, 2002).

Stres adalah salah satu aspek psikologis yang sangat dikenal dalam

kehidupan modern (Young, 2005). Meskipun sudah hampir satu abad

penelitian tentang stres, para peneliti masih kesulitan untuk mencapai

konsensus definisi yang memuaskan (Segerstrom, 2004). Definisi

psikologi tentang stres yang paling umum dipakai mengatakan bahwa stres

muncul ketika tuntutan atau ajakan dari lingkungan melebihi adaptasi

individu atau kemampuan untuk melawan (Wrigh, 1998; Klinnert, 2003;

Chen, 2007).

Penelitian untuk hubungan antara faktor psikologis dan asma dimulai

pada abad ke-20 dan mendapatkan hasil yang berbeda-beda. Penelitian

awal menduga bahwa asma mempunyai komponen psikosomatis yang

secara kuat didominasi oleh psikoanalisis. Teori emosi spesifik yang

dikembangkan oleh Alexander dkk (1930) dari Chicago Institute of

(8)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

3

emosi berperan penting dalam asma. Stres dan faktor psikologis telah

dihubungkan dengan gejala asma, bronkokonstriksi dan penurunan

rata-rata arus pulmoner pada anak yang menderita asma. Ketika subjek

diperlakukan dengan tekanan-tekanan, seperti melihat film emosional,

mendengarkan interaksi penuh tekanan dan mengerjakan tugas yang rumit,

15-30% subyek penderita asma mengalami peningkatan bronkokonstriksi

(Wrigh, 1998).

Berdasarkan uraian di atas maka peneliti menanggap perlu dilakukan

adanya suatu penelitian untuk mengetahui adanya faktor risiko stres

terhadap penderita asma di RSUD Dr. Moewardi.

B. Perumusan Masalah

Adakah hubungan antara stres dengan frekuensi serangan pada pasien

asma di RSUD Dr. Moewardi?

C. Tujuan Penelitian

Menganalisis adanya hubungan antara stres dengan frekuensi serangan

pada pasien asma di RSUD Dr. Moewardi.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Teoretis:

Memberikan informasi dan sumbangan data tentang adanya

(9)

commit to user 2. Manfaat Aplikatif:

Dengan diperoleh informasi mengenai adanya hubungan stres

dengan frekuensi serangan asma diharapkan dapat meningkatkan

kesehatan dan kesejahteraan pasien asma serta meningkatkan

(10)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

menurut National Heart, Lung and Blood Institute sebagai berikut:

asma adalah suatu inflamasi kronik saluran napas di mana terdapat

berbagai sel inflamasi yang memegang peranan, terutama sel mast,

eosinofil dan limfosit T. Pada individu yang peka inflamasi ini

menyebabkan episode berulang berupa mengi, sesak napas, rasa

berat di dada serta batuk terutama malam hari atau dini hari. Gejala

ini umumnya berhubungan dengan pengurangan arus udara yang

luas tetapi bervariasi yang paling tidak sebagian bersifat reversibel

baik secara spontan maupun dengan pengobatan. Inflamasi ini juga

meningkatkan kepekaan saluran napas terhadap berbagai rangsangan

(Boushey, 2000; Surjanto, 2001).

b. Patogenesis

Asma merupakan inflamasi kronik saluran napas. Dimana

proses inflamasi ini melibatkan berbagai sel inflamasi yaitu sel mast,

(11)

commit to user

Adanya inflamasi saluran napas telah dibuktikan melalui beberapa

penelitian seperti hipereaktivitas bronkus, kurasan bronkoalveolar,

biopsi bronkus, induksi sputum serta otopsi pasien meninggal pada

saat serangan (Surjanto, 2005).

Sel sel inflamasi yang teraktivasi melepas beberapa mediator

sitokin, molekul adhesi, kemokin dan berinteraksi antara yang satu

dengan yang lain. Eosinofil sendiri terlibat dengan melepas granul-

granul yang toksik. Hal tersebut menimbulkan reaksi yang sangat

kompleks dengan gejala-gejala klinis seperti bronkokonstriksi,

produksi mukus yang berlebihan, alergi, dan hipereaktivitas bronkus

(Baratawidjaya, 2003)

Selain perubahan akut, juga didapatkan perubahan sifat kronik

yaitu hipertrofi otot polos, pembentukan pembuluh darah baru,

peningkatan sel-sel goblet epitelial, fibrosis subepitelial, dan

penebalan membran basalis, yang dikenal dengan airway

remodelling (Muro, 2000; Boushey, 2000). Airway remodelling

merupakan suatu reaksi tubuh yang berusaha memperbaiki jaringan

tubuh yang rusak akibat dari inflamasi yang berjalan terus-menerus

(Baratawijaya, 2003). Adapun konsekuensi dari proses ini

menyebabkan peningkatan gejala dan tanda asma seperti

hipereaktivitas jalan napas, masalah distensibilitas atau regangan

(12)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

7

Obstruksi aliran udara merupakan tanda klinik yang khas dari

asma (Rees, 2005) yaitu pada bagian proksimal dari bronkus kecil

pada saat ekspirasi. Empat faktor utama yang berperan dalam proses

terjadinya obstruksi aliran udara pada bronkus:

1) Kontraksi otot polos bronkus yang merupakan respon terhadap

alergen spesifik

2) Hipertrofi (edema) selaput lendir yang disebabkan karena

bertambahnya permeabilitas pembuluh darah

3) Hipersekresi kelenjar mukus dan sel goblet dengan penyumbatan

bronkus oleh lendir yang kental

4) Airway remodelling

c. Faktor Risiko

Perkembangan risiko terjadinya asma adalah interaksi antara

faktor penjamu (host factor) dan faktor lingkungan. Faktor penjamu

disini termasuk predisposisi genetik antara lain genetik asma, atopi,

hiperaktivitas bronkus, jenis kelamin dan ras.

Faktor lingkungan mempengaruhi individu dengan

predisposisi asma untuk perkembangan menjadi asma, menyebabkan

terjadinya eksasebasi dan atau menyebabkan gejala menetap. Faktor

lingkungan tersebut antara lain rokok, polusi udara, exercise,

(13)

commit to user d. Diagnosis

Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik,

gejala berupa batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan

variabilitas yang berkaitan dengan cuaca. Anamnesis yang baik

cukup untuk menegakkan diagnosis, ditambah dengan pemeriksaan

jasmani dan pengukuran faal paru (PDPI, 2004).

Indikator yang digunakan dalam menegakkan diagnosis asma

(Surjanto, 2001) adalah sebagai berikut:

1) Mengi (wheezing).

2) Riwayat satu atau lebih :

a) Batuk yang memburuk terutama pada malam hari

b) Mengi berulang

c) Sesak napas berulang

d) Merasa berat di dada

3)Penyempitan saluran napas yang reversibel dan variasi diurnal

Variasi diurnal diukur dengan peak flow meter . Arus

Puncak Ekpirasi (APE) yang diukur pagi hari (sebelum inhalasi

Agonis Beta-2) dan malam hari (setelah inhalasi Agonis Beta-2)

menunjukan perbedaan 20% atau lebih.

4)Gejala timbul atau memburuk pada berbagai faktor pencetus.

5)Gejala timbul atau memburuk pada malam hari yang menyebabkan

(14)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

9

Pemeriksaan penunjang yang paling penting pada asma ialah

uji faal paru. Pengukuran faal paru dapat menilai adanya dan

beratnya obstruksi jalan napas, membantu diagnosis, memantau

perjalanan penyakit dan menilai hasil terapi (Mariono, 1999).

e. Klasifikasi Asma

Berkaitan dengan gangguan pernapasan dan

bronkokonstriksi, beberapa ahli membagi asma dalam dua golongan

besar, seperti yang dianut banyak ahli pulmonologi (penyakit

paru-paru) dari Inggris, yakni (Hadibroto, 2005) :

1)Asma Ekstrinsik

Asma ekstrinsik adalah bentuk asma yang paling umum,

dan disebabkan karena reaksi alergi penderitanya terhadap hal-hal

tertentu (alergen), yang tidak membawa pengaruh apa-apa pada

mereka yang sehat.

2)Asma Intrinsik

Asma intrinsik tidak responsif terhadap pemicu yang

berasal dari alergen. Asma jenis ini disebabkan oleh stres, infeksi,

dan kondisi lingkungan seperti cuaca, kelembaban dan suhu

udara, polusi udara, dan juga oleh aktivitas olahraga yang

(15)

commit to user

Klasifikasi asma berdasarkan Global Initiative for Asthma (GINA) yakni

(GINA, 2006 dan 2010) :

Tabel 2.1 Derajat Asma Berdasarkan Gambaran Klinis

Tabel 2.2 Klasifikasi Asma

Sumber : GINA, 2006 ; GINA 2010 Klasifikasi Asma terkontrol/ episodic

jarang

Asma sebagian terkontrol/ episodik sering

Asma tak terkontrol/

persisten Frekuensi serangan Tidak ada atau <2x/minggu >2x/minggu >3 gejala pada

asma episodik sering Pembatasan aktivitas Tidak terganggu Sering terganggu

Gejala pada malam hari (dapat mengganggu tidur)

Tidak terganggu Sering terganggu

Obat pereda Tidak perlu atau <2x/minggu >2x/minggu

(16)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

11

f. Penatalaksanaan

Asma tidak dapat disembuhkan, namun dapat dikontrol dengan pemberian obat-obat yang benar (Baratawidjaja, 2003).

Obat-obat yang dapat mengontrol asma antara lain: inhalasi,

kortikosteroid sistemik, sodium kromolin, sodium medkromil, dan

teofilin.

International Consensus Report on Diagnosis and

Management of Asthma merekomendasikan enam cara untuk

mengoptimalkan penatalaksanaan asma, yang sangat terkait satu

sama lain, yaitu:

1) Penyuluhan kepada pasien dan keluarganya untuk membina

kerjasama dan penatalaksanaan

2) Penilaian dan pemantauan beratnya asma berdasarkan gejala dan

pemeriksaan fungsi paru

3) Mencegah atau mengendalikan faktor pencetus

4) Merencanakan pengobatan jangka panjang

5) Menetapkan rencana individu dalam mengatasi eksasebasi

(17)

commit to user 2. Stres

a. Definisi

Istilah stres berasal dari istilah latin stingere yang mempunyai

arti ketegangan dan tekanan. Stres merupakan suatu tekanan yang

muncul karena tingginya tuntutan lingkungan kepada seseorang

sehingga orang tersebut perlu beradaptasi atau menyesuaikan diri

(Wangsa, 2010).

b. Sumber stres (stressor)

Stressor adalah sumber stres yang dipersepsi seseorang atau

sekelompok orang yang memberi tekanan/cekaman terhadap

keseimbangan diri mereka. Ada beberapa sumber-sumber yang dapat

mencetuskan timbulnya stres, yaitu :

1) Tekanan

Tekanan dapat datang dari dalam, seperti cita-cita yang

terlalu tinggi yang ditetapkan untuk diri pribadi. Sedangkan

tekanan dari luar dapat datang dari tuntutan orang tua atau

orang-orang di sekitarnya (Maramis, 1998). Semakin besar tekanan yang

dirasakan semakin besar kemungkinan sesorang menderita stres.

2) Krisis

Krisis adalah keadaan yang mendadak menimbulkan stres

pada seseorang atau sekelompok orang, seperti kematian, masuk

(18)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

13

peristiwa-peristiwa di atas akan mengalami stres karena tiap

orang mempunyai tingkat adaptasi yang berbeda (Maramis,

1998).

3) Frustasi

Frustasi dapat timbul apabila ada hal yang menghalanginya

dengan tujuan yang ingin diraih, hal ini dapat berasal dari dalam

seperti cacat badaniah, sedangkan faktor luar dapat berupa

kemalangan (Maramis, 1998). Apabila seseorang sudah merasa

frustasi maka dapat mencetuskan terjadinya stres.

4) Konflik

Konflik dapat timbul jika seseorang dihadapkan kepada dua

pilihan sehingga orang tersebut menjadi bingung dan pusing

untuk menentukan pilihan dan membuatnya menjadi stres

(Maramis, 1998).

5) Kepribadian

Semakin lentur kepribadian seseorang dan semakin tinggi

harapan seseorang akan hidup (optimis), semakin jauh dari stres

dan semakin ringan stres baginya (Darmono, 1985).

6) Kesehatan

Semakin sehat seseorang semakin jarang terkena stres, dan

sebaliknya stres dan sakit raga merupakan dua kejadian yang

(19)

commit to user

semakin stres maka akan semakin parah sakitnya, dan begitupun

sebaliknya (Darmono, 1985).

7) Kebutuhan biologik

Misalnya kurang istirahat, beban kerja yang berlebihan

(Soewadi, 1987).

8) Kebutuhan aktualisasi diri dan rasa dihargai

Misalnya kurangnya kesempatan dan sarana

mengembangkan diri atau kurangnya penghargaan atas prestasi

yang telah dicapai (Soewadi, 1987).

9) Toleransi

Kemampuan seseorang dalam menyikapi hal-hal yang

dapat menimbulkan stres ikut berperan dalam menentukan

tingkah laku penyesuaian individu dalam menghadapi stres

(Carson dan Butcher, 1992).

10) Peristiwa traumatik

Sumber stres paling jelas adalah peristiwa traumatik yang

merupakan situasi bahaya yang berada di luar rentang

pengalaman manusia yang lazim, misalnya bencana alam dan

(20)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

15

11) Peristiwa yang tidak dapat dikendalikan

Semakin suatu peristiwa tidak dapat dikendalikan, semakin

besar kemungkinan dianggap stres, contohnya adalah kematian

orang yang dicintai dan pemecatan (Atkinson et al, 1991).

12) Menentang batas manusia

Beberapa kondisi dapat diprediksi dan dikendalikan, tetapi

masih dialami sebagai peristiwa yang menimbulkan stres karena

dapat memaksa seseorang sampai batas kemampuan dan

pandangan terhadap diri sendiri, misalnya hari ujian akhir

(Atkinson, et al, 1991).

c. Tingkatan stres

Tingkatan stres menurut Rasmun (2004) adalah:

1) Stres ringan yaitu stressor yang dihadapi secara teratur dan

umumnya dirasakan oleh setiap orang misalnya lupa dan

kemacetan.

2) Stres sedang yaitu stres yang terjadi lebih lama, dari beberapa jam

sampai beberapa hari misalnya permasalahan keluarga.

3) Stres berat yaitu stress kronik yang terjadi beberapa minggu

sampai beberapa tahun misalnya kesulitan financial dan penyakit

(21)

commit to user d. Gejala Stres

Gejala yang sering ditemukan pada orang yang mengalami

stres menurut Hawari (2008) dan Wangsa (2010) adalah:

1) Gejala psikologis : kecemasan, ketegangan, kebingungan dan

mudah tersinggung, perasaan frustasi, marah, perasaan terkucil

dan terasing, kehilangan konsentrasi, kehilangan kreativitas serta

menurunnya rasa percaya diri.

2) Gejala fisiologis : jantung berdebar-debar, muka pucat, gangguan

gastrointestinal, gangguan pernafasan, gangguan pada kulit

(timbul jerawat, kedua telapak tangan dan kaki berkeringat),

sering buang air kecil, mulut dan bibir terasa kering, sakit kepala,

sakit pada punggung bagian bawah, ketegangan otot serta

gangguan tidur.

3) Gejala perilaku : menunda dan menghindari pekerjaan,

menurunnya prestasi, perilaku makan yang tidak normal yang

mengarah ke obesitas dan penurunan berat badan, serta

menurunnya kualitas hubungan interpersonal dengan keluarga dan

teman.

3. Hubungan stres dengan serangan asma

Dadang Hawari (1994), menyatakan bahwa adanya peranan

kejiwaan yang saling mendukung pada asma menjadikan asma

(22)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

17

emosional yang dialamai seseorang seperti kecemasan, depresi, frustasi,

amarah yang terpendam dikonversikan dalam bentuk keluhan fisik.

Sebagian besar ahli penyakit asma berpendapat bahwa akan sulit

menentukan penyebab asma karena asma merupakan penyakit dengan

banyak penyebab dan banyak akibat. Serangan asma dapat disebabkan

faktor infeksi, alergi maupun psikologik (Hadis, 1994). Pertimbangan

terbaru dalam bidang psikoneuroimunologi (PNI) menghubungkan

antara stres psikososial, sistem saraf pusat, perubahan dalam fungsi

imun dan endokrin menghasilkan jalur biologi yang masuk akal diduga

dimana stres berdampak pada tanda-tanda asma (Young, 2005; Surjanto

dkk, 2009)

Stres menyebabkan perubahan aktifitas

Hypothalamic-pituitary-adrenal( HPA) dan menghasilkan peningkatan sekresi hormon kortisol.

Paparan terhadap kortisol dosis tinggi nantinya dapat menyimpangkan

sistem imun atau deviasi imun kearah respon berlebihan T-helper

(Th)-2 sitokin. Pergeseran Th-1 ke Th-(Th)-2 sitokin selama stres penting pada

asma sebab dapat menaikkan respons humoral terhadap alergen yang

memudahkan inflamasi dan obstruksi jalan napas (Chen, 2007; Surjanto

(23)

commit to user B. Kerangka Pemikiran

Keterangan : : Variabel yang diteliti

: Variabel yang tidak diteliti

: Yang mempengaruhi

Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran Stressor

Kortisol Aktivasi HPA

Th-2 sitokin Menghambat sistem imun

Stres

Inflamasi dan obstruksi saluran napas

(24)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

19

C. Hipotesis

Terdapat hubungan antara stres dengan frekuensi serangan asma.

(25)

commit to user 27

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian mengenai Hubungan Stres dengan Frekuensi Serangan pada

Pasien Asma telah dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2012 di Poliklinik Paru

RSUD Dr. Moewardi. Subjek sejumlah 64 pasien asma, 50 di antaranya masuk

sebagai sampel karena telah memenuhi syarat inklusi. Sampel yang didapatkan yaitu

pasien asma dengan berbagai derajat. Berikut disampaikan hasil penelitian yang

disajikan dalam bentuk tabel dan grafik.

A.Karakteristik Sampel Penelitian

1. Karakteristik Sampel Berdasarkan Data Kontinu

Tabel 4.1 Karakteristik sampel data kontinu

Variabel n Mean SD Min Maks

Umur 50 47,28 9,22 23 60

Skor Stres 50 281,16 161,50 44 642

Tabel 4.1 menunjukkan, rata-rata umur pasien pada penelitian yaitu

47 tahun. Sedangkan skor stres rata-rata pasien yang didapatkan adalah 281.

(26)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

28

2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Data Kategorikal

Tabel 4.2 Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin

No. Jenis Kelamin Frekuensi (n) %

1. Perempuan 32 64

2. Laki-laki 18 36

Jumlah 50 100

Tabel 4.2 menunjukkan selama penelitian, pasien asma yang

memeriksakan diri di RSUD Dr. Moewardi paling banyak berjenis kelamin

perempuan daripada laki-laki.

Tabel 4.3 Distribusi sampel berdasarkan paparan asap rokok

No. Paparan Asap rokok Frekuensi (n) %

1. Ya 7 14

2. Tidak 43 86

Jumlah 50 100

Dari Tabel 4.3 didapatkan penderita asma yang tidak terpaparan asap

rokok lebih banyak daripada yang terpapar asap rokok.

Tabel 4.4 Distribusi sampel berdasarkan penggunaan kontroler

No. Penggunaan Kontroler Frekuensi (n) %

1. Rutin 37 74

2. Tidak Rutin 13 26

Jumlah 50 100

Dari Tabel 4.4 diadapatkan penderita asma yang rutin menggunakan

(27)

commit to user

B.Analisis Bivariat

Pada tahap ini dilakukan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan

dengan variabel bebas (tingkat stres) terhadap variabel terikat (frekuensi serangan

asma) serta arah hubungannya. Analisis juga dilakukan terhadap faktor perancu,

yaitu paparan asap rokok dan penggunaan kontroler. Adanya faktor perancu

berpengaruh terhadap hasil analisis data yang didapat. Untuk mengendalikannya,

dilakukan analisis regresi logistik. Uji statistik menggunakan Chi-square Test

dengan Confidence Interval (CI)=95%.

1. Hubungan Stres dengan Frekuensi Serangan Asma

Tabel 4.5 Analisis bivariat tentang hubungan stres dengan frekuensi serangan asma

Frekuensi Serangan Asma

Variabel Jarang Sering Total OR p

n(%) n(%) n(%)

Skor Stres:

Rendah 12 (80) 3 (20) 15 (100)

(28)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

30

Dari Tabel 4.5 dan Gambar 4.1 didapatkan kelompok skor stres rendah

dengan frekuensi serangan asma jarang sebanyak 12 orang (80%) dan frekuensi

serangan asma sering 3 orang (20%). Pada kelompok skor stres tinggi dengan

frekuensi serangan jarang sebanyak 7 orang (20%) dan frekuensi serangan asma

sering 28 orang (80%). Analisis bivariat terhadap hubungan antara tingkat stres

dengan frekuensi serangan asma menunjukan hubungan yang signifikan

(p<0,001). Pasien dengan tingkat stres tinggi memiliki risiko untuk mengalami

serangan asma dengan frekuensi sering 16 kali lebih besar daripada tingkat stres

rendah (OR=4,3 ; Cl 95% 3,527 s.d. 72,583), tetapi hasil ini belum mengontrol

pengaruh dari variabel perancu.

Gambar 4.1 Diagram sebar tentang hubungan stres

(29)

commit to user

2. Hubungan Paparan Asap Rokok dengan Frekuensi Serangan Asma

Tabel 4.6 Analisis bivariat tentang hubungan paparan asap rokok dengan frekuensi serangan asma

Frekuensi Serangan Asma

Variabel Jarang Sering Total OR p

n(%) n(%) n(%)

Paparan Asap Rokok:

Tidak 17 (39,5) 26 (60,5) 43 (100)

Ya 2 (28,6) 5 (71,4) 7 (100) 1,64 0,579

Dari Tabel 4.6 didapatkan kelompok tanpa paparan asap rokok dengan

frekuensi serangan asma jarang sebanyak 17 orang (39,5%) dan frekuensi

serangan asma sering 26 orang (60,5%). Pada terpapar asap rokok dengan

frekuensi serangan jarang sebanyak 2 orang (28,6%) dan frekuensi serangan

asma sering 5 orang (71%). Analisis bivariat terhadap hubungan antara paparan

asap rokok dengan frekuensi serangan asma menunjukan hubungan yang tidak

signifikan (p=0,579). Pasien yang terpapar asap rokok memiliki risiko untuk

mengalami serangan asma dengan frekuensi sering 1,6 kali lebih besar daripada

tidak terpapar asap rokok (OR=1,635 ; Cl 95% 0,284 s.d. 9,407), tetapi hasil ini

(30)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

32

3. Hubungan Penggunaan Kontroler dengan Frekuensi Serangan Asma

Tabel 4.7 Analisis bivariat tentang hubungan penggunaan kontroler dengan frekuensi serangan asma

Dari Tabel 4.7 didapatkan kelompok yang tidak rutin menggunakan

kontroler dengan frekuensi serangan asma jarang sebanyak 8 orang (61,5%) dan

frekuensi serangan asma sering 5 orang (38,5%). Pada kelompok yang rutin

menggunakan kontroler dengan frekuensi serangan jarang sebanyak 11 orang

(29,7%) dan frekuensi serangan asma sering 26 orang (70,3%). Analisis bivariat

terhadap hubungan antara penggunaan kontroler dengan frekuensi serangan asma

menunjukan hubungan yang signifikan (p=0,042). Pasien yang rutin

menggunakan kontroler memiliki risiko untuk mengalami serangan asma dengan

frekuensi sering 3,8 kali lebih besar daripada tidak rutin menggunakan kontroler

(OR=3,78 ; Cl 95% 1,009 s.d. 14,173), tetapi hasil ini belum mengontrol

(31)

commit to user

C. Analisis Regresi Logistik Ganda

Setelah melakukan analisis bivariat terhadap variabel frekuensi

serangan asma dengan tingkan stres dan variabel perancu yaitu paparan asap

rokok dan penggunaan kontroler, didapatkan tingkat stres secara signifikan

berpengaruh terhadap frekuensi serangan asma sedangkan paparan asap rokok

dan penggunaan kontroler berpengaruh secara tidak signifikan.

Analisis regresi logistik ganda dilakukan dengan memperhitungkan

variabel tingkat stres, paparan asap rokok, penggunaan kontroler, umur dan

jenis kelamin sehingga didapatkan hasil yang lebih valid karena telah

mengontrol variabel-variabel perancu yang dapat mempengaruhi hubungan

(32)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

34

Tabel 4.8 Hasil analisis regresi logistik ganda tentang hubungan tingkat stres dan frekuensi serangan asma dengan mengontrol paparan asap rokok, penggunaan kontroler, jenis kelamin dan umur pasien.

Penggunaan Kontroler

Tidak Rutin 1,0 - - -

Tabel 4.8 menunjukkan terdapat hubungan yang secara statistik

signifikan antara tingkat tingkat stres dan frekuensi serangan pada paasien

asma. Pasien asma dengan tingkat stres tinggi berisiko untuk sering mendapat

serangan asma 13 kali lebih besar daripada pasien dengan tingkat stres rendah

(Or=13,39 CI 95% 2,61sd 68,77 ; p=0,002). Kesimpulan ini diperoleh setelah

mengontrol variabel perancu yaitu paparan asap rokok, penggunaan kontroler,

(33)

commit to user

Hasil analisis di atas memperlihatkan nilai -2 log likelihood sebesar

49,7 yang menunjukkan terdapat kesesuaian antara model regresi logistik

yang digunakan dengan data sampel (hampir sama karena mendekati nol dan

nilainya berada pada kisaran antara 0 sampai 100).

Dengan model regresi logistik ganda, variabel tingkat stres, paparan

asap rokok, penggunaan kontroler, umur dan jenis kelamin secara bersamaan

didalam model regresi logistik mampu menjelaskan frekuensi serangan pada

(34)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

36 BAB V

PEMBAHASAN

Penelitian yang berjudul “Hubungan Stres dengan Frekuensi Serangan

pada Pasien Asma” dilakukan pada bulan April 2012 di RSUD Dr. Moewardi dan

didapatkan 64 subjek penelitian yang terdiri dari 50 orang sesuai dengan kriteria

inklusi dan 14 orang masuk dalam kriteria eksklusi.

Distribusi subyek penelitian berdasarkan umur (Tabel 4.1) didapatkan

pasien asma yang menjadi sampel rata-rata berumur 47 tahun dengan umur

terendah 23 tahun dan umur tertinggi 60 tahun. Skor stres rata-rata pasien yaitu

281,16 dengan skor paling rendah 44 dan paling tinggi 642.

Berdasarkan Tabel 4.2 didapatkan pasien asma yang terbanyak adalah

perempuan, berjumlah 32 orang (64%) dibandingkan dengan laki-laki yang

berjumlah 18 orang (36%). Hasil ini sesuai dengan penelitian sebelumnya bahwa

pada orang dewsa dengan asma kebanyakan penderitanya adalah perempuan

(Sundaru dan Sukamto, 2007). Hal ini dikarenakan jenis kelamin merupakan salah

satu faktor predisposisi asma. Perempuan lebih rentan terhadap stres dan

mengalami masalah hormonal yang menjadi faktor pencetus asma (Surjanto,

2001).

Pada Tabel 4.3, persentase pasien dalam penelitian ini yang terpapar asap

rokok lebih sedikit dibandingan dengan pasien yang tidak terpapar asap rokok.

(35)

commit to user

terpapar asap rokok sedangkan 14% pasien terpapar asap rokok. Hal ini

menunjukkan bahwa sudah tinggingnya pengetahuan pasien mengenai pengaruh

asap rokok terhadap asma yang dideritanya.

Pada penelitian, persentase pasien asma yang rutin menggunakan kontroler

(Tabel 4.4) lebih tinggi dibandingkan yang tidak rutin menggunakan kontroler.

Kemungkinan karena lebih banyak pasien dengan serangan asma sering yang

memeriksakan diri di Poli Paru RSUD Dr. Moewardi sehingga lebih rutin

menggunakan kontroler.

Pada Tabel 4.5 menunjukkan hubungan yang signifikan antara tingkat stres

dengan frekuensi serangan asma (p=0.001) dengan Odd Ratio=16.00. Hal ini

sesuai dengan penelitian yang pernah ada. Penelitian hubungan antara faktor

psikologis dan asma yang pernah dilakukan sebelumnya, mendapatkan hasil yang

berbeda-beda. Penelitian awal menduga bahwa asma mempunyai komponen

psikosomatis yang secara kuat didominasi oleh psikoanalisis. Stres dan faktor

psikologis telah dihubungkan dengan gejala asma, bronkokonstriksi dan

penurunan rata-rata arus pulmoner pada anak yang menderita asma. Ketika subjek

diperlakukan dengan tekanan-tekanan, seperti melihat film emosional,

mendengarkan interaksi penuh tekanan dan mengerjakan tugas yang rumit,

15-30% subyek penderita asma mengalami peningkatan bronkokonstriksi (Wrigh,

1998).

Tabel 4.6 menunjukkan hubungan yang tidak signifikan antara paparan

asap rokok dengan frekuensi serangan asma (OR=1,64; p= 0,578). Beberapa teori

(36)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

38

dan iritan dan pemicu terjadinya reaksi serangan asma (Sundaru dan Sukamto,

2007). Hasil yang tidak signifikan mungkin disebabkan karena ada beberapa dari

pasien asma yang tidak sensitif terhadap paparan asap rokok sehingga walaupun

terpapar asap rokok tidak terjadi serangan. Selain itu bisa disebabkan karena

walaupun pasien tidak terpapar asap rokok, pasien mendapatkan faktor pencetus

asma lainnya seperti udara yang dingin atau pun panas sehingga serangan asma

tetap sering terjadi.

Tabel 4.7 menunjukkan hubungan yang signifikan antara penggunaan

kontroler dengan frekuensi serangan asma (OR=3,78; p=0,042), tetapi signifikan

terhadap pasien yang rutin menggunakan kontroler dengan serangan asma sering.

Seharusnya, dengan penggunaan kontroler yang rutin, pasien diharapkan lebih

jarang mendapat serangan asma. Signifikannya hubungan tersebut dapat

disebabkan karena pasien yang memeriksakan diri ke poli paru RSUD Dr.

Moewardi, lebih banyak pasien dengan derajat asma yang serangannya sering

seperti pesisten sedang dan berat.

Untuk semakin memperjelas hubungan dari hasil analisis data yang

didapat maka dilakukan kontrol terhadap variabel perancu, yaitu paparan asap

rokok, penggunaan kontroler, umur dan jenis kelamin dengan analisis regresi

logistik ganda. Tabel 4.8 merupakan hasil analisis regresi yang menunjukkan

hubungan signifikan antara tingkat stres dengan frekuensi serangan asma pasien

(p=0.002) dengan Odd Ratio=13,39. Hasil yang diperoleh ini akan menjadi lebih

valid karena dalam penelitian variabel-variabel perancu yang dapat

(37)

commit to user

Penelitian ini mempunyai beberapa kelemahan yaitu : (1) jumlah sampel

yang terlalu kecil, hal ini disebabkan karena keterbatasan waktu dalam penelitian,

(2) tidak semua variabel perancu dianalisis dalam penelitian ini, sehingga tidak

diketahui pengaruhnya terhadap frekuensi serangan asma.

Dengan mempertimbangkan keterbatasan waktu dan kemampuan peneliti,

maka penelitian ini hanya mengendalikan sejumlah variabel yang dipilih

sedemikian rupa sehingga hasil penelitian dapat mempresentasikan keadaan yang

(38)

perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id

commit to user

40

BAB VI

SIMPULAN DAN SARAN

A.Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan

bahwa terdapat hubungan yang secara statistik signifikan antara stres dengan

frekuensi serangan pada pasien asma. Pasien asma dengan tingkat stres yang

tinggi memiliki kemungkinan untuk mengalami serangan asma sering 13,39

kali lebih besar daripada pasien yang tingkat stresnya rendah (OR=13,39; CI

95% 2,61 sd 68,77; p=0,002). Kesimpulan ini diperoleh setelah mengontrol

variabel perancu yaitu paparan asap rokok, penggunaan kontroler, umur dan

jenis kelamin.

B.Saran

Sehubungan dengan hasil penelitian, analisis data dan simpulan yang

diperoleh maka dapat diberikan saran-saran sebagai berikut :

1. Pasien-pasien asma maupun keluarga penderita asma diberikan pemahaman

oleh petugas kesehatan bahwa stres dapat meningkatkan risiko terjadinya

asma, sehingga dapat dilakukan langkah-langkah yang tepat untuk

(39)

commit to user

2. Dapat dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai hubungan stres dengan

frekuensi serangan asma dengan memperhitungan faktor-faktor pencetus

asma lainnya seperti pekerjaan, alergen, polusi udara dan lain-lain sehingga

Gambar

Tabel 2.2 Klasifikasi Asma
Gambar 2.1 Kerangka Pemikiran
Tabel 4.1 Karakteristik sampel data kontinu
Tabel 4.2 menunjukkan selama penelitian, pasien asma
+7

Referensi

Dokumen terkait

habituated cannot be sustained if it is not reinforced after it exists. The consistency of the reinforcement is essential during the initial stages of the

For English teachers and English Language Education Study Program students who learn and teach structure, this research can be used as an academic reference to

Berdasarkan judul penelitian ini, yaitu “Pengaruh Kepemilikan Institusi, Dewan Komisaris, Kualitas Audit, Rasio Tobin Q, dan Tarif Efektif Pajak Terhadap penghindaran Pajak

Pada penyusunan APBG Tahun Anggaran 2019, dasar hukum yang dicantumkan untuk rincian/uraian Dana Desa, Bagi Hasil Pajak dan Retribusi dari Kabupaten, dan Alokasi

Dan penelitian ini sebagai langkah awal dalam menentukan sebuah metode baru dalam memonitoring hutan di Indonesia, baik yang terkait kawasan hutan dalam sebuah wilayah

Dengan memperhatikan pengaruh kepadaan tanah terhadap hasil pengukuran nilai ECa maka pengukuran ECa secara langsung di lahan kering lebih baik dilakukan pada kisaran kadar air

EFEKTIVITAS PELAKSANAAN PRAKTIKUM PLAMBING D I D EPARTEMEN PEND IDIKAN TEKNIK SIPIL FAKULTAS PEND IDIKAN D AN TEKNOLOGI KEJURUAN UNIVERSITAS PEND IDIKAN INDONESIA

Tujuan penelitian ini adalah membuat sebuah rekomendasi metode pelatihan yang sesuai dengan modalitas belajar, pengetahuan, dan kebutuhan para ibu rumah tangga