• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ahda PENGETAHUAN LOKAL DALAM DESAIN RUMA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Ahda PENGETAHUAN LOKAL DALAM DESAIN RUMA"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Ahda Mulyati1), Nindyo Soewarno2), Arya Ronald dan Ahmad Sarwadi3)-Pengetahuan Lokal Dalam

PENGETAHUAN LOKAL DALAM DESAIN RUMAH TINGGAL

VERNAKULAR PERMUKIMAN KEPULAUAN DI SULAWESI TENGAH

Ahda Mulyati ¹, Nindyo Soewarno ², Arya Ronald ³ dan Ahmad Sarwadi ³

¹) Mahasiswa S3 PPS Jurusan Arsitektur dan Perencanaan UGM Yogyakarta

ahdamulyati@gmail.com

² ) Promotor, Dosen PPS Jurusan Arsitektur dan Perencanaan UGM Yogyakarta

3)

Co-Promotor, Dosen PPS Jurusan Arsitektur dan Perencanaan UGM Yogyakarta

ABSTRACT

District aquatic settlements are the largest in Central Sulawesi, occupied most of the coastal areas and scattered small islands. This Community has the potential of cultural of life in the face of changes in the environment. The formation of settlements using the local knowledge and ecological that still survives in living and environmental sustainability

.

Using the

qualitative-phenomenology of approach began from the data collection to obtain descriptive findings formulated. The form of residential houses stilt houses is located parallel to and faced the street, the four houses form of square, with the addition on the right side, the left, or back. The saddle roof and the pyramid shaped building, with the 'timpa laja' double decker one or two. Houses spatial consist of the main building and auxiliary buildings.The form of door and window openings with cover or without cover.The facade is more an open and the porous walls being made of local materials so that easy to remove the heat buildings. The pattern with a simple plan of the layer system allows of cross ventilation occurs where the spaces in the building does not have a partition. Ventilation on the roof space was very helpful for building cooling of heat accumulated by wind flow through openings.

Keywords: Local knowledge, Residential, Islands

ABSTRAK

Permukiman perairan merupakan kawasan terbanyak di Sulawesi Tengah, sebagian besar menempati wilayah pesisir dan tersebar di pulau-pulau kecil. Komunitas ini mempunyai potensi kehidupan budaya dalam menghadapi perubahan-perubahan pada lingkungannya. Pembentukan permukiman menggunakan pengetahuan lokal dan kearifan ekologi sehingga tetap bertahan dalam menjalani kehidupan dan keberlanjutan lingkungannya. Menggunakan pendekatan kualitatif-fenomenologi, mulai dari pengumpulan data hingga mendapatkan temuan yang dirumuskan secara deskriptif. Rumah tinggal berupa rumah panggung terletak sejajar dan menghadap ke jalan, Bentuk rumah tinggal empat persegi, dengan tambahan pada bagian samping kanan, kiri, atau belakang. Atap bangunan berbentuk pelana dan

limasan, dengan ‘timpalaja’ bersusun satu atau dua, Tata ruang rumah tinggal terdiri atas

bangunan inti dan bangunan tambahan. Bukaan berupa pintu dan jendela dengan penutup atau tanpa penutup. Fasade lebih terbuka dan dinding berpori karena terbuat dari bahan lokal (papan) sehingga bangunan mudah mengeluarkan panas. Pola denah sederhana dengan sistem satu lapis sehingga terjadi ventilasi silang dimana ruang-ruang dalam bangunan tidak memiliki sekat. Ventilasi pada ruang atap sangat membantu pendinginan karena panas yang terakumulasi mudah dikeluarkan oleh aliran angin melalui bukaan.

(2)

PENDAHULUAN

Latarbelakang Masalah

Permukiman perairan merupakan kawasan terbanyak di Sulawesi Tengah, tidak saja terdapat pada wilayah-wilayah pesisir tetapi juga tersebar di pulau-pulau kecil dengan komunitas yang beragam. Komunitas ini mempunyai potensi kehidupan budaya tersendiri dalam menghadapi perubahan-perubahan pada lingkungannya. Dalam pembentukan permukiman mereka selalu menggunakan kearifan lokal dan kearifan ekologi yang dimiliki sehingga tetap bertahan dalam menjalani kehidupan, dan dapat memprediksi keberlanjutan lingkungannya. Oleh sebab itu perlu dilakukan pemeliharaan dan penggalian nilai-nilai kearifan lokal pada pemukim sehingga dapat menjadi acuan dalam keberlanjutan permukiman khususnya di kawasan pesisir dan kepulauan.

Ruang-ruang pesisir hampir terdapat pada semua kawasan, sehingga berkembang sehingga berkembang masyarakat pesisir yang mendiami kawasan pesisir dan pulau-pulau. Umumnya masyarakat tersebut mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan sehingga membangun rumah tinggal dan permukimannya pada tempat-tempat dimana mereka dapat menyatu dan hidup dengan tempat-tempat yang dapat memberikan kehidupan. Pada umumnya permukiman tidak direncanakan dengan baik, spontan, hanya sebagai tempat tinggal bagi keluarganya jika mereka pergi me-laut. Permukiman dibangun sesuai tingkat pengetahuan lokal mereka, yang tidak mengenal standar atau norma-norma yang baku, sesuai kebutuhan pada masa itu.

Masyarakat ini berkembang sesuai budaya lokal yang mereka miliki sebagai ciri khas yang spesifik dalam mengatur kehidupan mereka. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang kemudian berkembang menjadi hukum adat yang mengatur berbagai aspek kehidupan baik dalam hubungan sosial kemasyarkatan, ritual, kepercayaan, dan lain-lain. Hal-hal tersebut tercermin dalam wujud kehidupan mereka, baik pada lingkungan fisik maupun lingkungan sosial masyarakat yang merupakan karakter, keunikan dan citra budaya yang khas pada setiap permukiman. Keunikan pada lingkungan sosial maupun lingkungan fisik mengandung kearifan lokal yang menjadi daya tarik dan dikembangkan sebagai nilai lokal dari permukiman itu sendiri. Tanpa disadari pengetahuan lokal yang didasari kehidupan budaya dan kearifan lokal ini menjadi sumber inspirasi dalam rancangan bangunan rumah-rumah tinggal di desa-desa baik pada permukiman peisisr dan kepulauan maupun lereng-lereng pegunungan Sulawesi Tengah, sehingga diperlukan adanya pemeliharaan dan penggalian pengetahuan lokal ini secara terus menerus oleh masyarakat.

Berdasarkan issu-issu tersebut, muncul pertanyaan sebagai berikut : seperti apa pengaruh pengetahuan lokal dalam desain rumah tinggal vernakular perairan di Sulawesi Tengah ?

Tinjauan Pustaka

(3)

Ahda Mulyati1), Nindyo Soewarno2), Arya Ronald dan Ahmad Sarwadi3)-Pengetahuan Lokal Dalam

Setiawan, 1995, 2006). Bentukan lingkungan merupakan hasil pikiran dan perilaku

manusia. Setiap kelompok memiliki image tentang lingkungannya, karena perilaku

masing-masing etnis juga khas. Bentukan lingkungan tidak hanya disebabkan kondisi iklim dan lingkungan yang unik, tetapi juga perilaku dari etnis itu sendiri.

Arsitektur vernakular sering disebut arsitektur kerakyatan. Vernakular menunjukkan pada sesuatu yang asli, etnik, rakyat, dan arsitektur tradisional. Bentuk-bentuk

berupa shelter, indigenous architecture, non-formal architecture, spontaneous

architecture, folk architecture atau traditional architecture. Cerminan asritektur

vernakular dapat dilihat pada dialog manusia dengan lingkungan, tanggap terhadap lingkungan, keterbatasan material, budaya dan teknologi serta dalam konteks relasi sosial. Keberadaan bangunan atau lingkungan selalu terlingkupi faktor lingkungan fisik dan sosial-budaya karena lahir didalam kehidupan manusia (Oliver, 1987).

Arsitektur vernakular adalah istilah yang digunakan untuk mengkategorikan metode konstruksi yang menggunakan sumber daya lokal untuk memenuhi kebutuhan lokal. Arsitektur vernakular berkembang terus untuk merefleksikan lingkungan, budaya, sejarah sebagai karya arsitektur daerah. Arsitektur vernakular dikatakan sebagai arsitektur rakyat, bukan hanya sekedar bangunan, tetapi meliputi falsafah yang menyertainya dan merupakan dasar pertimbangan dalam masyarakatnya. Arsitektur bergaya vernakular adalah merupakan transformasi dari situasi kultur homogen ke situasi yang lebih heterogen dan berusaha sebisa mungkin untuk menghadirkan kembali citra, bayang-bayang realistas arsitektur asli vernakular.

Secara umum, permukiman vernakular mempertimbangkan kondisi-kondisi fisik

yang melingkupinya selain unsur-unsur sosial-ekonomi-budaya-religi, dan

berpengaruh terhadap karakteristiknya. Aspek yang sangat kuat adanya kebutuhan spesifik pada lingkungan budaya. Struktur sosial mempengaruhi karakter khusus pada hunian, permukiman, desa dari lingkungan budaya yang berbeda. Tradisi ritual suatu masyarakat mempengaruhi organisasi spasial di sebuah desa. Demikian juga tradisi perkawinan, dan tradisi-tradisi lain, berpengaruh pada tata letak dan pengembangan desa-desa suatu masyarakat. Ciri spesifik pada sosio-budaya masyarakat akan menghasilkan arsitektur vernakular (bangunan, permukiman, desa) yang spesifik pula (Oliver, 1987).

Lingkungan terbangun oleh hubungan dari relasi-relasi elemen didalamnya dan memiliki pola tertentu, memiliki struktur tertentu. Relasi yang terbentuk antara manusia dengan lingkungan fisik secara fundamental bersifat spasial, dipisahkan dan disatukan di dalam dan oleh ruang. Oleh karena itu, karakteristik, sosial dan budaya suatu lingkungan tercermin dalam tatanan spasialnya. Ruang merupakan ruang tiga dimensional yang mengelilingi manusia, relasi antara elemen-elemen didalamnya membentuk tatanan tertentu dan disebut organisasi spasial (Rapoport, 1977). Aspek spasial sebagai unsur mendalam pada tatanan ruang, karena space adalah aspek permukaan, sedang spasial adalah struktur didalamnya, yang

mencerminkan karakteristik space (Bacon, E, 1967; Hiller, 1989). Ruang selalu

terkait dengan realitas manusia dan kehidupannya, dimana manusia terhadap

artefak-artefak membentuk ‘spasial budaya’. Spasial budaya adalah tatanan ruang

tertentu yang mengungkapkan tatanan relasi artefak-artefak berdasarkan prinsip tatanan sosial. Relasi bolak balik antara tatanan sosial dengan tatanan fisik spasial, mencerminkan bahwa pada momen tertentu tatanan spasial dipengaruhi oleh tatanan sosial, begitu pula sebaliknya.

(4)

Penelitian menggunakan metode studi kasus dengan pendekatan kualitatif, pengumpulan data secara naturalistik dan teknik analisis secara induktif. Data-data diperoleh melalui wawancara mendalam pada masyarakat yang bermukim atau yang mengetahui sejarah terbentuknya permukiman pesisir dan pulau-pulau. Oleh sebab itu kajian ini menggunakan berbagai kepustakaan untuk mengetahui konsep terbentuknya spasial permukiman.

Lokus yang menjadi amatan adalah permukiman pulau-pulau dan pesisir yang tersebar di Sulawesi Tengah yaitu pulau Sambujan, pulau Kabalutan, desa Labuan Loboh dan desa Labuan.

PEMBAHASAN

Kearifan Lokal dalam Desain Rumah Tinggal Perairan

Masyarakat berkembang sesuai budaya lokal yang mereka miliki sebagai ciri khas

yang spesifik dalam mengatur kehidupan mereka. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang kemudian berkembang menjadi hukum adat yang mengatur berbagai aspek kehidupan baik dalam aspek hubungan sosial kemasyarakatan, ritual, kepercayaan, dan lain-lain. Hal-hal tersebut tercermin dalam wujud kehidupan mereka, baik pada lingkungan fisik, maupun lingkungan sosial masyarakatnya, merupakan karakter, keunikan, dan citra budaya yang khas pada setiap daerah. Keunikan, baik pada lingkungan sosial maupun lingkungan fisik mengandung kearifan lokal yang dapat menjadi daya tarik dan potensi daerah yang dapat terus dikembangkan sebagai nilai lokal atau kearifan lokal yang sangat berharga.

Potensi local wisdom dalam suatu komunitas tertentu akan banyak digali melalui

pendekatan partisipatif agar dapat diketahui dan dapat dijadikan acuan (Wikantiyoso, 2009). Masyarakat dengan ‘kemampuan’ (pengetahuan lokal, kemampuan lokal, teknologi lokal, kelembagaan lokal) yang mereka miliki akan dengan mudah memahami, dan menerima produk-produk perencanaan dan

perancangannya apabila ‘bahasa’ yang digunakan bisa mereka mengerti.

Masyarakat lokal umumnya memiliki pengetahuan lokal dan kearifan ekologi dalam memprediksi dan melakukan mitigasi bencana di daerahnya. Pengetahuan lokal tersebut biasanya diperoleh dari pengalaman empiris yang kaya akibat berinteraksi dengan ekosistemnya. Konsepsi-konsepsi ruang, pemilihan tempat bermukim, teknologi membangun masyarakat lokal yang telah mentradisi dan telah teruji

mampu ‘mengatasi’ masalah-masalah lingkungan hidup (mitigasi bencana).

Perencanaan tata ruang dan model kawasan permukiman pesisir harus berbasis

pada kearifan lokal (local wisdom)(Mulyati, A. dalam BPTPT Makassar, 2011).

(5)

Ahda Mulyati1), Nindyo Soewarno2), Arya Ronald dan Ahmad Sarwadi3)-Pengetahuan Lokal Dalam Gambar 1. Peta Propinsi Sulawesi Tengah dan Kondisi Permukiman Perairan

Sumber: Bappeda Prop. Sul-Tengah; Data Lapangan, 2011 dan 2013

Gambar2. Beberapa Pola Permukiman Vernakular Perairan Data Lapangan, 2012 dan 2013

Rumah Tinggal Vernakular Perairan

Masyarakat ini berkembang sesuai budaya lokal yang mereka miliki sebagai ciri

khas yang spesifik dalam mengatur kehidupan mereka. Kebiasaan-kebiasaan inilah yang kemudian berkembang menjadi hukum adat yang mengatur berbagai aspek kehidupan baik dalam aspek hubungan sosial kemasyarakatan, ritual, kepercayaan, dan lain-lain. Hal-hal tersebut tercermin dalam wujud kehidupan mereka, baik pada lingkungan fisik, maupun lingkungan sosial masyarakatnya, yang merupakan karakter, keunikan, dan citra budaya yang khas pada setiap daerah. Keunikan, baik pada lingkungan sosial maupun lingkungan fisik mengandung kearifan lokal yang dapat menjadi daya tarik dan potensi daerah yang dapat terus dikembangkan sebagai nilai lokal atau kearifan lokal yang sangat berharga.

Rumah tinggal terletak sejajar dan menghadap ke jalan, tercipta melalui proses panjang sehingga terbentuk sebuah bangunan rumah panggung, Bentuk rumah tinggal empat persegi, dengan tambahan pada bagian samping kanan, kiri, atau belakang. Atap bangunan berbentuk pelana dan limasan, dengan ‘timpa laja’ bersusun satu atau dua, tata ruang rumah tinggal terdiri atas bangunan inti dan

= Masjid = Bukit Karang = Rumah Tinggal = Pasar = Sekolah = Jembatan Kayu = Pustu = Dermaga = Jalan Perkerasan Beton Tumbuk = Jembatan Beton

(6)

bangunan tambahan, Bukaan berupa pintu dan jendela dengan penutup atau

tanpa penutup. Fasade lebih terbuka dan dinding berpori karena terbuat dari bahan

lokal (papan) sehingga bangunan mudah mengeluarkan panas. Pola denah sederhana dengan sistem satu lapis memungkinkan terjadi ventilasi silang dimana ruang-ruang dalam bangunan tidak memiliki sekat. Ventilasi pada ruang atap sangat membantu pendinginan bangunan karena panas yang terakumulasi di ruang atap mudah dikeluarkan atau dihapus oleh aliran angin melalui bukaan .

Gambar3. Letak dan Tata Ruang Rumah Tinggal pada Permukiman Pulau dan Pesisir Data Lapangan, 2012 dan 2013

Masyarakat perairan merupakan suatu etnik yang berpenduduk mayoritas beragama Islam, yang percaya bahwa alam penuh dengan rahasia-rahasia Tuhan, sehingga dilakukan upacara-upacara adat yang mengandung nilai-nilai tradisional. Pada upacara mendirikan rumah, mulai dari pemilihan bahan, pengukuran, penempatan elemen-elemen bangunan harus dilakukan pada waktu dan hari yang dianggap baik. Begitu pula saat mendirikan kolom, pemasangan tangga, pemasangan atap, dan sebagainya, serta setelah rumah selesai dan siap dihuni diadakan upacara-upacara yang berkaitan dengan kehidupan, dan keselamatan. Rumah dilambangkan sebagai manusia yang mempunyai kehidupan, sehingga rumah harus memiliki tiga syarat, baik ke arah vertikal maupun kearah horisontal.

Arah vertikal ditandai dengan aje (kaki), watang (badan), dan ulu (kepala), berarti

kaki merupakan tempat yang kotor, dan dikelilingi oleh mahluk-mahluk yang jahat.

Badan merupakan penghidupan yang harus diselamatkan, begitu pula dengan ulu

dilambangkan sebagai tempat yang maha tinggi dan suci, dan dipercaya sebagai tempat mahluk halus penunggu rumah (Juhana, 2001). Bagian bawah/kolong digunakan sebagai tempat menambatkan perahu, bahkan ada pula yang dipakai untuk menampung hasil tangkapan ikan hasil tangkapan yang di batasi oleh jaring

(karamba) sebelum dijual kepada pedangan dari luar desa. Hal tersebut ditandai

saat mendirikan tiang rumah, mereka mengadakan upacara selamatan (Doa’

salama) dengan menyisipkan sedikit timah (bahan pemberat alat penangkap ikan)

ke dalam tiang utama rumah. Fungsi rumah panggung masih hampir sama dengan fungsi rumah panggung di daratan dimana kolong rumah difungsikan sebagai

(7)

Ahda Mulyati1), Nindyo Soewarno2), Arya Ronald dan Ahmad Sarwadi3)-Pengetahuan Lokal Dalam

tempat untuk menampung hasil pertanian atau tempat menaruh alat transportasi berupa alat-alat pertanian.

Badan bangunan saat didirikan juga disertai dengan mengadakan upacara

selamatan (doa’ salama) dan menyimpan sebotol air tawar/air minum yang

ditempelkan pada tiang utama badan rumah dengan harapan memberi keberkahan/reski dalam kehidupan meraka, air tawar adalah suatu kebutuhan yang sangat fital dalam kehidupan di laut. Sedang pada atap rumah saat mulai didirikan

juga dilakukan upacara selamatan (doa’ salama) dan menjakat tetangga serta

keluarga makan bersama dari hidangan do’a selamatan tersebut, kemudian atap dipasang dengan aturan bahan atap dari arah kanan harus diatas dari atap sebelah kiri sesuai dengan aturan letak tangan saat melakukan ibadah (sholat) sesuai

dengan kepercayaan mereka, jadi bagian atas dihubungkan dengan

ketuhanan/kemuliaan.

Arah horizontal ditandai dengan dua kelompok aktifitas utama dalam bangunan, yakni bagian depan, merupakan ruang tamu yang memiliki beberapa kamar tidur dan ruang keluarga/istirahan, sedang teras adalah bagian bangunan yang tidak harus dimiliki oleh setiap rumah dimana teras lebih di manfaatkan sebagai ruang/tempat bersosialisasi. Bagian belakang dipakai sebagai dapur, ruang makan,

serta teras belakang (tatambe) ruang penghubung antara rumah dan laut tempat

untuk bermain, memperbaiki jaring atau motor perahu yang rusak (ruang produksi), sedang kamar mandi ditempatkan di bagian samping atau di sudut ruang belakang.

Secara grafis filosofi disain/tatanan hunian dapat diilustrasikan sebagai berikut ini :

Fungsi ruang secara vertikal

Fungsi ruang secara horisontal

Gambar4. Falsafah Ruang Rumah Tinggal pada Permukiman Pulau dan Pesisir Hasil Analisis, 2013

Darat

Laut Karang sebagai penahan pondasi

Keramba

Ruang yang berhubungan dengan Kepercayaan yang diAgungkan sebagai pelindung

Hunian

Tempat penyimpanan alat penangkapan ikan,perahu dan tempat memelihara hasil laut

(8)

KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Kesimpulan

Kearifan lokal dimanfaatkan semaksimal mungkin dalam desain rumah tinggal permukiman perairan, terutama dalam falsafah ruang, orientasi bangunan/ruang, penggunaan bahan dan konstruksi bangunan.

Rekomendasi

Dalam membangun permukiman, rumah tinggal perairan, hendaknya

memperhatikan kearifan-kearifan masyarakat lokal, sehingga mereka merasa memiliki dan senantiasa memelihara lingkungan dimana mereka bertempat tinggal. Selain itu keunikan kearifan lokal masyarakat akan menjadi obyek wisata yang sangat menarik dan mengundang wisatawan untuk berkunjung ke permukiman ini.

REFERENSI

Bacon, Edmun, 1967 dan 1975, Design of Cities, London : Thames and Hudson.

Doxiadis, CA, 1957, Ekistics : An Introduction to The Science of Human

Settlements, London : Hutchinson.

Haryadi dan Setiawan, 1995 dan 2006, Arsitektur Lingkungan dan Perilaku : Suatu

Pengantar ke Teori, Metodologi dan Aplikasi, Jakarta : Direktorat Jenderal

Pendidikan Tinggi dan Kebudayaan.

Hiller, Bill, 1989, The Architecture of The Urban Object dalam Ekistics ; The

Problems and Science of Human Settlements, Vol. 56 Nr 334/335,

Januari/February-March/April 1989.

Juhana, 2000, Arsitektur dalam Kehidupan Masyarakat : Pengaruh Bentukan

Arsitektur dan Iklim terhadap Kenyamanan Thermal Rumah Tinggal suku Bajo di

Wilayah Pesisir Bajoe Kabupaten Bone Sulawesi Selatan, Tesis S2, Universitas

Diponegoro, Semarang.

Madanipour, 1996, Design of Urban Space : An Inquiry into Sosio-Spatial Process,

Chichester : John Wiley and Sons.

Mulyati, Ahda, 2009, Identifikasi dan Inventarisasi Permukiman Suku Bajo di Sulawesi Tengah, dalam Laporan Kerjasama BPTPT dengan Jur. Arsitektur Untad Palu.

Oliver, Paul, 1987, Dwellings The House Across The World, UK : Phaidon Press

Limited, Oxford.

Rapoport, Amos, 1977, Human Aspects of Urban Form : Towards A Nonverbal

Communication Approach to Urban Form and Design, New York : Pergamon

Press.

---, 1969, House Form and Culture, New Jersey : Prentice Hall.

Waterson, R, 1990, The Living House, An Antropology of Architecture in South East

Asia, Singapore : Oxford University Press.

Gambar

Gambar 1. Peta Propinsi Sulawesi Tengah dan Kondisi Permukiman Perairan  Sumber: Bappeda Prop

Referensi

Dokumen terkait

Syaiful Anwar, Wakil Rektor III UIN Raden Intan Lampung, wawancara , dicatat pada tanggal 13/05/2018.. kepemimpinan yang demokratis. Teori ini ternyata diaplikasikan oleh Prof.

Dan seberapa besar faktor- faktor yang mempengaruhi tingkat pengangguran di Jawa Tengah tahun 2010– 2015 itu berpengaruh.Alat analisis yang digunakan adalah regresi

Grafik rata-rata kepemilikan manajerial yang cenderung meningkat daripada kebijakan hutang karena tingkat kepemilikan saham oleh manajerial telah banyak dimiliki

Proses belajar mengajar merupakan inti dari proses pendidikan secara keseluruhan dengan guru sebagai pemegang peranan utama. Dalam proses belajar-mengajar terkandung

pengetahuan pada peserta didik disekolah. Guru adalah orang yang.. berpengalaman dalan bidang profesinya. Didalam satu kelas

Pada tugas akhir ini penulis menggunakan metode Independent Component Analysis dengan algoritma FastICA dan klasifikasi menggunakan K-Nearest Neighbor yang diawali

Berdasarkan permasalahan diatas perlu dilakukan penelitian yang bersifat eksperimen dengan konseling Keluarga Berencana, khususnya konseling KB pada ibu hamil trimester