LAHAN TERLANTAR DI PERKOTAAN: EKSPLORASI
PERMASALAHAN DAN UPAYA PENANGANANNYA
Oleh: Putu Gde Ariastita
Institut Teknologi Sepuluh November Surabaya
ABSTRAK
Lahan terlantar merupakan salah satu isu penting dalam penatagunaan lahan perkotaan. Walaupun kurang begitu diperhatikan, isu ini justru muncul di kawasan-kawasan yang berkembang cepat sebagaimana ditemui di kota-kota metropolitan, seperti Jabodetabek. Pemanfaatan lahan di kota metropolitan yang begitu intensif dan ekspansif, justru menyimpan potensi persoalan lain, yaitu menjamurnya lahan terlantar. Hal ini tidak bisa dipungkiri mengingat lahan merupakan komoditas yang begitu menarik untuk diperjual-belikan sehingga bisa dijadikan media untuk melakukan spekulasi.
Isu lahan terlantar merupakan persoalan yang serius. Hal ini berkaitan dengan upaya meng-efisien-kan pemanfaatan lahan di perkotaan sehingga dapat dimanfaatkan secara optimal. Persoalan lahan terlantar juga menyangkut ketidak-adilan pengalokasian sumber daya lahan. Kaum spekulan dengan mudahnya ”mempermainkan” lahan sebagai komoditas yang hanya untuk diperjual-belikan, tanpa dimanfaatkan dengan sesuai dengan fungsinya. Tentunya hal ini bertentangan dengan nilai sosial lahan sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria, yaitu lahan harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan pemilik dan masyarakat di sekitarnya. Di samping itu, berdasarkan hasil penelitian, spekulasi lahan akan memicu peningkatan harga lahan. Tidak bisa dipungkiri, melambungnya harga lahan di perkotaan salah satunya disebabkan oleh kegiatan spekulasi lahan. Hal ini tentunya akan menyulitkan masyarakat golongan menengah ke bawah untuk memperoleh lahan diperkotaan.
Namun demikian, akar penyebab lahan terlantar tidak sepenuhnya berasal spekulasi. Berdasarkan hasil penelitian, lahan terlantar pada dasarnya disebabkan oleh motivasi pemilik lahannya, yaitu 1) motivasi ingin mendapatkan keuntungan dari nilai lahan (spekulasi), atau 2) ketidakmampuan dalam mengembangkan lahannya. Tentunya penanganan lahan terlantar harus dilandasi oleh kedua motivasi tersebut. Berdasarkan hal tersebut, penanganan lahan terlantar dapat dilakukan melalui skema insentif dan disensentif, baik secara ekonomi, administrasi, dan hukum.
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN...1
1.1 Latar Belakang...1
1.2 Rumusan Masalah...2
1.3 Tujuan...3
1.4 Manfaat Penulisan...3
1.5 Ruang Lingkup Pembahasan...3
1.5 Sistematika Pembahasan...4
BAB II KAJIAN PUSTAKA...5
2.1 Pengertian Lahan Terlantar...5
2.2 Struktur Persoalan Lahan Terlantar...7
2.3 Prinsip Penanganan Lahan Terlantar...9
2.3.1 Kebijakan Penanganan Lahan Terlantar...9
2.3.2 Landasan Penanganan Lahan Terlantar...9
2.3.3 Instrumen Penanganan Lahan Terlantar...10
BAB 3 METODE PENULISAN...12
3.1 Tahapan Penulisan...12
3.2 Metode Pengambilan Data...12
3.3 Metode Analisis Data...13
3.4 Kerangka Pikir Penulisan...13
BAB 4 ANALISIS DAN PEMBAHASAN...15
4.1 Perkembangan Lahan Terlantar...15
4.2 Permasalahan Mendasar Lahan Terlantar...16
4.3 Konsep Penanganan Lahan Terlantar...17
BAB 5 KESIMPULAN DAN REKOMENDASI...21
5.1 Kesimpulan...21
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Karakteristik Lahan Terlantar...6
Tabel 2 Penyebab Terjadinya Lahan Terlantar...7
Tabel 3 Penyebab Spesifik dan Klasifikasi Persoalan Lahan Terlantar...8
Tabel 4 Perkembangan Lahan Terlantar di Kota Bandung Tahun 1999-2002...15
Tabel 5 Kemajuan Perolehan Lahan Berdasarkan Ijin Lokasi...16
Tabel 6 Klasifikasi Perangkat Penanganan Lahan Terlantar Berdasarkan Skema Insentif dan Disinsentif...17
Tabel 7 Potensi Penerapan Perangkat Penanganan Lahan Terlantar Berdasarkan Landasan Manajemen Lahan...18
Tabel 8 Konsep Penanganan Lahan Terlantar di Perkotaan...19
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lahan terlantar merupakan salah satu isu strategis dalam penatagunaan lahan perkotaan. Walaupun kurang begitu diperhatikan, keberadaan lahan terlantar menyimpan potensi permasalahan yang besar jika tidak ditangani secara serius. Menurut Drabkin (1977), lahan-lahan terlantar di perkotaan dapat mendorong peningkatan harga lahan. Dari sisi estetika, adanya lahan terlantar menimbulkan kesan kurang terawat sehingga dapat mengurangi keindahan kota (Hallet, 1979). Konflik sosial juga seringkali terjadi karena adanya penyerobotan terhadap lahan-lahan yang ditelantarkan (Kompas, 1 Oktober 2003).
Penelitian yang dilakukan oleh Herbert dan Ferry (1999) di Kabupaten Bandung menunjukkan bahwa adanya lahan terlantar menyebabkan hilangnya potensi keuangan pemerintah daerah dari Pajak Bumi dan Bangunan dan retribusi Ijin Mendirikan Bangunan. Satu hal yang terpenting berkaitan dengan lahan terlantar adalah hilangnya nilai sosial lahan seperti yang diamanatkan dalam UU No 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria. Prinsip nilai sosial lahan menekankan bahwa sebidang lahan seharusnya tidak hanya memberikan manfaat bagi pemilikinya, tetapi juga untuk masyarakat sekitarnya. Tentunya dari berbagai pendapat di atas, keberadaan lahan terlantar jelas akan mengganggu masyarakat sekitarnya. Permasalahan-permasalahan di atas, jika dibiarkan tentunya dapat menghambat proses pembangunan di perkotaan.
Peraturan-peraturan tentang penanganan lahan terlantar tidak efektif karena substansinya belum terdapat konsep yang menyentuh persoalan mendasar dari lahan terlantar. Adapun kelemahan dari peraturan tersebut adalah sebagai berikut:
- Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1998 hanya memecahkan persoalan jangka pendek, berupa penyediaan pangan dan lapangan pekerjaan bagi masyarakat. Peraturan ini dikeluarkan dalam rangka mengantisipasi krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia, tidak mengakomodasi persoalan dasar dari lahan terlantar. Bahkan peraturan ini justru menimbulkan konflik antara pemerintah dan masyarakat (Kompas, 1 Oktober 2003).
- PP No.36 Tahun 1998 relatif lebih baik, dimana pemerintah dapat mengambil tindakan tegas berupa pengambilalihan lahan terhadap pemilik lahan yang dianggap menelantarkan lahannya. Peraturan Pemerintah ini merupakan pelaksanaan dari UU No.5 Tahun 1960 yang memuat pencabutan hak atas lahan yang ditelantarkan. Akan tetapi, peraturan ini belum memberikan kriteria lahan terlantar berdasarkan struktur persoalannya, sehingga tidak memiliki ketegasan dalam penanganan lahan terlantar dan ketepatan dalam hal penerapan sanksi.
- Substansi lahan terlantar yang dimuat dalam UUPA hanya menegaskan bahwa hak atas tanah dapat dicabut jika tanah tersebut ditelantarkan. Substansi ini masih umum dan diperlukan peraturan yang bersifat lebih operasional seperti kedua peraturan di atas. Dengan demikian perlu dilakukan upaya-upaya untuk menangani lahan terlantar yang didasarkan atas persoalan mendasarnya.
1.2 Rumusan Masalah
Adanya kelemahan di dalam substansi peraturan-peraturan yang menangani lahan terlantar mengakibatkan belum efektifnya penanganan lahan terlantar di Indonesia. Hal ini berakibat pada tidak terkendalinya keberadaan lahan terlantar yang pada akhirnya akan menghambat pembangunan khususnya di perkotaan. Untuk itu perlu dicari konsep-konsep penanganan lahan terlantar yang didasarkan atas persoalan dasarnya. Berkaitan dengan hal tersebut, pertanyaan yang menjadi fokus dalam penelitian ini adalah:
1. Apa persoalan mendasar dari lahan terlantar di perkotaan?
1.3 Tujuan
Tulisan ini bertujuan untuk merumuskan konsep penanganan lahan terlantar khususnya di perkotaan. Untuk mencapai tujuan tersebut, dilakukan melalui tahapan-tahapan seperti yang dijabarkan dalam sasaran penulisan berikut ini:
1. Mengindentifikasi persoalan mendasar dari lahan terlantar di perkotaan
2. Mengeksplorasi instrumen-instrumen yang berpotensi menangani lahan terlantar
3. Menganalisis instrumen tersebut berdasarkan persoalan lahan terlantar untuk memperoleh konsep penanganannya
1.4 Manfaat Penulisan
Karya tulis ini berupaya memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. Secara teoritis, hasil karya tulis ini berkontribusi dalam bidang ilmu Penatagunaan Lahan Perkotaan khususnya dan Perencanaan Kota pada umumnya. Karya tulis ini memperkaya khasanah keilmuan tentang persoalan lahan terlantar dan penanganannya pada kedua bidang ilmu tersebut. Secara praktis, hasil karya tulis ini berkontribusi terhadap kebijakan penatagunaan lahan, khususnya penanganan lahan terlantar. Dengan demikian, hasil karya tulis ini dapat memberikan masukkan pada substansi PP No.36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Lahan Terlantar, yang mana peraturan tersebut nantinya merupakan penjabaran dari UU No. 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria, khususnya dalam hal penanganan lahan terlantar.
1.5 Ruang Lingkup Pembahasan
Pembahasan karya tulis ini ditinjau dari aspek pengendalian penggunaan lahan. Dalam hal ini lahan terlantar dikendalikan keberadaannya melalui instrumen-instrumen penatagunaan lahan, baik yang bersifat administratif, ekonomi, dan hokum yang didasarkan atas sifat permasalahannya.
1.5 Sistematika Pembahasan
Pembahasan dalam karya tulis ini dibagi menjadi lima bab. Adapun gambaran untuk masing-masing bab tersebut dijelaskan sebagai berikut:
Bab 1 Pendahuluan
Bab ini menjelaskan alasan mengapa tulisan ini disusun, fokus masalah yang dikaji, output yang dihasilkan, dan aspek yang melingkupinya
Bab 2 Kajian Pustaka
Bab ini berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan untuk memecahkan persoalan dalam karya tulis. Disamping itu, pada bagian ini juga diuraikan penelitian-penelitian yang terkait dengan penanganan lahan terlantar.
Bab 3 Metode Penulisan
Bab ini menjelaskan metode pengambilan data, analisis data, dan kerangka analisis dalam karya tulis
Bab 4 Analisis dan Pembahasan
Bab ini berisi analisis untuk merumuskan persoalan mendasar dalam lahan terlantar dan rumusan konsep penanganannya
Bab 5 Kesimpulan dan Rekomendasi
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Lahan Terlantar
Lahan terlantar memiliki pengertian yang beragam. Terdapat beberapa definisi yang menjelaskan pengertian lahan terlantar, yaitu:
1. Kivell (1993), mendefinisikan lahan terlantar sebagai lahan yang menurut pemerintah daerah setempat belum dimanfaatkan sesuai dengan fungsinya, yaitu fungsi yang mengacu pada rencana wilayah. Lahan terlantar dapat berbentuk properti berupa tanah atau bangunan yang tidak dipergunakan.
2. Chapin dan Kaiser (1979) menyatakan bahwa lahan terlantar sebagai adalah sebidang lahan yang di atasnya secara fisik tidak terdapat bangunan, akan tetapi berpotensi untuk digunakan.
3. Sensus Nasional Amerika, 1971 (dalam Bourne 1982), mendefinisikan lahan terlantar sebagai lahan yang tidak dihuni pemiliknya, padahal secara fisik dapat dihuni. Pengertian ini juga mengacu pada bangunan-bangunan yang ditelantarkan oleh pemiliknya.
Sementara itu, definisi lahan terlantar yang digunakan di Indonesia, dapat dilihat dari sumber-sumber berikut:
1. Buku Petunjuk Tata Cara Kerja Pengukuran Tanah (BPN 1992, dalam Ardhianty, 2002) menjelaskan lahan terlantar sebagai lahan tidak terbangun yang sudah diperuntukkan atau diberi haknya tetapi tidak diusahakan sesuai dengan hak yang diberikan/ditelantarkan.
2. Permen Agraria/Kepala BPN No.3 Tahun 1998 tentang Pemanfaatan Tanah Kosong untuk Tanaman Pangan mendefinisikan lahan terlantar sebagai lahan yang tidak dimanfaatkan sesuai dengan sifat dan tujuan pemberian haknya atau Rencana Tata Ruang Wilayah yang berlaku.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan di atas, terlihat bahwa lahan terlantar memiliki pengertian yang beragam. Namun demikian, pada dasarnya pengertian tersebut mengandung tiga variabel yang dapat menjadi karakteristik dari lahan terlantar. Variabel itu adalah kondisi fisik lahan, aktifitas/pemanfaatan, serta kesesuaian fungsi. Penelitian yang dilakukan oleh Ardhianty (2002) juga telah merumuskan karekateristik lahan terlantar berdasarkan variabel-variabel tersebut. Adapun karakteristik lahan terlantar diperlihatkan pada Tabel 1 berikut ini.
Tabel 1
Sumber: Dirangkum dari Ardhianty (2002)
Keterangan (**): kecuali lahan tidur di perkotaan yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam digolongkan sebagi lahah terlantar
haruslah sesuai dengan sifat dan tujuan penguasaannya atau rencana tata ruang. Variabel ke tiga menjelaskan bahwa lahan terlantar dapat berupa lahan tidak terbangun dan lahan terbangun.
2.2 Struktur Persoalan Lahan Terlantar
Persoalan lahan terlantar pada dasarnya adalah penyebab yang melatar-belakangi munculnya lahan terlantar. Berdasarkan penyebab inilah kemudian dapat dirumuskan penanganan terhadap lahan terlantar. Berkaitan dengan persoalan lahan terlantar ini, Kivell (1993) merumuskan penyebab lahan terlantar menjadi penyebab umum dan spesifik. Penyebab umum merupakan faktor-faktor makro/general yang melatarbelakangi terjadinya lahan terlantar. Sedangkan penyebab spesifiknya adalah turunan dari faktor-faktor makro tersebut. Rincian penyebab lahan terlantar dijelaskan dalam Tabel 2 berikut.
Tabel 2
1. Penutupan pabrik-pabrik/tambang galian dan fasilitas pendukungnya
2. Relokasi sektor kegiatan Kegagalan pasar
lahan
3. Spekulasi pemilik lahan
4. Tidak adanya permintaan terhadap lahan Kendala kepemilikan
lahan
5. Ikatan emosional antara pemilik lahan dengan lahannya
6. Keterbatasan modal 7. Investasi
Kebijakan
pemerintah setempat
8. Pengeluaran ijin yang berlebihan 9. Hambatan dari rencana kota 10. Kesulitan administratif untuk
memanfaatkan lahan terlantar
Sumber: Dirangkum dari Kivell (1993), BPN (1998), Hallet (1979), Kitay (1985), Ardhianty (2002)
Tabel 3
Penyebab Spesifik dan Klasifikasi Persoalan Lahan terlantar
Penyebab spesifik ini dipengaruhi oleh perkembangan struktur ekonomi kota yang berdampak pada perubahan pola pemanfaatan ruangnya. Dengan demikian penyebab spesifik ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi
3. Spekulasi pemilik lahan Motif spekulasi lahan dipengaruhi oleh persaingan yang tidak sempurna dari pasar lahan dan ditunjang oleh kondisi makro ekonomi seperti tingkat inflasi dan suku bunga (Balchin, 1982 serta Herbet dan ferry, 1998). Jadi penyebab spesifik ini dipengaruhi oleh faktor ekonomi
4. Tidak adanya permintaan terhadap lahan
Penyebab ini berkaitan dengan karakteristik persil (fisik, lokasi, dan lingkungan). Calon pengguna tidak menyukai persil tersebut meskipun harga/nilai lahannya rendah (Hallet, 1979). Penyebab ini lebih dipengaruhi oleh faktor kondisi fisik/lokasi
5. Ikatan emosional antara pemilik lahan dengan lahannya
6. Keterbatasan modal
Penyebab ini pada dasarnya saling memiliki keterkaitan. Ikatan emosional menyebabkan lahan ditahan oleh pemiliknya. Akan tetapi karena keterbatasan modal, pengembangan lahan tidak dapat dilakukan. Jadi kedua penyebab ini pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor Sosial dan ekonomi
7. Investasi Motif berinvestasi berarti pemilik akan memanfaatkan sendiri lahannya untuk tujuan jangka panjang. Motivasi pemilik lebih dipengaruhi oleh faktor ekonomi
8. Pengeluaran ijin yang berlebihan
9. Hambatan dari rencana kota 10.Kesulitan administratif untuk
memanfaatkan lahan terlantar
Ketiga penyebab ini disebabkan karena bertentangan dengan kebijakan atau prosedur administrasi pemerintah sehingga pemanfaatan lahan menjadi terhambat (Hallet, 1979). Oleh sebab itu, penyebab spesifik ini dipengaruhi oleh faktor kebijakan/administrasi pemerintah
Sumber: Tabel 1, Hallet (1979), Balchin dan Kieve (1982), Herbet dan Ferry (1998)
Jadi secara teoritik, Keberadaan lahan terlantar disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:
1. Faktor sosial-ekonomi, yang dapat disebabkan oleh relokasi kegiatan, spekulasi lahan, keterbatasan modal, investasi, dan tidak laku dijual.
2. Faktor fisik/lokasi, yang disebabkan karena Karakteristik fisik/lokasi yang tidak sesuai, 3. Faktor kebijakan/administrasi, yang disebabkan karena adanya hambatan dalam
administrasi / kebijakan pemerintah,
2.3 Prinsip Penanganan Lahan Terlantar 2.3.1 Kebijakan Penanganan Lahan Terlantar
Kivell (1993) menyatakan bahwa dalam konteks kebijakan lahan kota dan proses pembangunannya selalu dihadapkan pada dua hal. Pertama, hal-hal yang sesuai dan dapat mendorong ke arah perkembangan kota dan sebaliknya yang ke dua adalah hal-hal yang tidak sesuai dan menghambat proses perkembangan. Berdasarkan hal tersebut, terdapat dua prinsip mekanisme kebijakan yang dapat dilakukan pemerintah, yaitu mekanisme promosi (insentif) dan kontrol (disinsentif). Insentif adalah tindakan pemerintah yang sifatnya mendorong ke arah perkembangan yang diinginkan, sedangkan disinsentif adalah tindakan pemerintah yang sifatnya membatasi hal-hal yang bertentangan atau tidak mendukung ke arah perkembangan.
Penerapan kedua prinsip tersebut dilakukan terhadap kondisi-kondisi tertentu. Insentif umumnya diterapkan untuk mendorong, merangsang, dan membantu proses pembangunan baru maupun pembangunan kembali, penyusunan rencana kota, perolehan barang publik, dan upaya yang terkait dengan pemerataan. Sementara itu, prinsip disinsentif biasanya diterapkan untuk mengendalikan, membatasi, dan menghambat eksternalitas negatif, monopoli, spekulasi, perkembangan kota yang meluas (urban sprawl), kontrol harga lahan, dan lain-lain (Kivell, 1993)
Prinsip insentif dan disinsentif dapat juga diterapkan dalam penanganan lahan terlantar. Dalam hal ini, insentif diberikan jika lahan terlantar disebabkan karena motivasi adanya hambatan dalam pengembangan lahan berikut faktor-faktor penyebabnya. Sementara itu, disinsentif diberikan jika lahan terlantar disebabkan karena motivasi pemiliknya untuk mendapat keuntungan melalui spekulasi maupun investasi.
2.3.2 Landasan Penanganan Lahan Terlantar
Dalam pengelolaan lahan perkotaan, pemerintah memiliki landasan yang dapat digunakan untuk mengatur penggunaan lahan. Landasan tersebut adalah bundles of right, eminent domaint, police power, taxation, dan spending power. Penjelasan dari masing-masing landasan tersebut adalah sebagai berikut (Dunkerley, 1983):
1. Bundles of Right
kepemilikan (freehold). Artinya pengaturan hak atas lahan berupaya mengatur bagaimana suatu lahan dapat dimiliki dan dimanfaatkan/digunakan.
2. Police Power
Merupakan kewenangan pemerintah untuk mengatur hak-hak individu dalam rangka mencapai kesejahteraan umum. Hal yang diatur berkaitan dengan penggunaan lahan dan kelayakan bangunan (real estate).
3. Taxation
Merupakan kewenangan melakukan beban atau pungutan yang dilandasi kewenangan hukum terhadap perorangan atau pemilik lahan untuk mengutip atau mengumpulkan uang demi tujuan masyarakat. Dalam hal ini pajak bukan untuk meningkatkan pendapatan pemerintah, tetapi merupakan perangkat pengelolaan untuk mengatur kegiatan yang diinginkan dan tidak diinginkan.
4. Spending Power
Merupakan kewenangan membelanjakan dana publik untuk kepentingan umum. Landasan ini bertujuan untuk mengarahkan pertumbuhan, mempengaruhi kegiatan ekonomi, menciptakan atau mengendalikan akses, menarik investasi swasta, dan mengurangi ongkos dari harga lahan yang terlalu tinggi.
5. Eminent Domaint
Merupakan kewenangan yang dimiliki pemerintah (baik pusat maupun lokal) untuk mengambil (menghapus) hak individu terhadap suatu properti dan digunakan untuk kepentingan publik. Kewengan ini dapat bersifat memaksa walaupun tanpa persetujuan pemilik.
Landasan manajemen lahan merupakan dasar bagi pemerintah untuk melakukan tindakan terhadap lahan terlantar.
2.3.3 Instrumen Penanganan Lahan Terlantar
Upaya penanganan lahan terlantar berdasarkan aspek ekonomi adalah perangkat yang terkait dengan masalah finansial, seperti perolehan bantuan dana, perpajakan, dan pungutan-pungutan. Perangkat berdasarkan aspek ekonomi ini juga dibagi ke dalam bentuk insentif dan disinsentif. Bentuk insentif adalah grant, pengurangan sewa lahan, pinjaman, bank lahan konvensional, dan pengurangan pajak atau pungutan lainnya. Sementara itu yang tergolong disinsentif adalah pajak dengan tarif progresif dan pungutan pembangunan. Penjelasan masing-masing perangkat tersebut diperlihatkan pada Tabel 1 Lampiran A.
Perangkat yang digolongkan ke dalam aspek hukum berupa aturan-aturan yang memiliki kekuatan hukum, dapat digunakan untuk memaksa, atau membatasi suatu kegiatan tertentu. Karena sifatnya memaksa, maka seluruh perangkat dalam aspek hukum ini tergolong disinsentif. Perangkat tersebut adalah pre-emption right, pencabutan hak, dan pengalihan hak. Penjabaran dari masing-masing perangkat tersebut diperlihatkan pada Tabel 2 Lampiran A.
BAB 3
METODE PENULISAN
3.1 Tahapan Penulisan
Penulisan karya tulis ini dilakukan melalui lima tahapan. Adapun kelima tahapan tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Perumusan Masalah dan Tujuan Penulisan
Tahapan ini diawali dengan pengumpulan fakta-fakta empiri tentang lahan terlantar. Fakta empiri tersebut diperoleh melalui kajian terhadap hasil-hasil penelitian terkait, berita popular, dan regulasi tentang penatagunaan lahan. Pada bagian akhir, fakta empiri yang telah dikompilasi kemudian disintesakan sehingga dapat dirumuskan fokus masalah yang dibahas dalam karya tulis ini.
2. Kajian Literatur
Telaah literatur dilakukan dengan mengkompilasi pembahasan yang terkait dengan lahan terlantar dari buku referensi dan hasil-hasil penelitian pihak lain. Hasil dari kajian literatur ini digunakan sebagai landasan untuk memecahkan permasalahan yang menjadi fokus dalam penulisan ini.
3. Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan melalui survey sekunder, yaitu memanfaatkan hasil-hasil penelitian dan data-data statistik. Data-data yang telah dikumpulkan ini nantinya akan dijadikan sebagai input analisis.
4. Analisis Data
Analisis data dilakukan untuk mengolah data yang telah diidentifikasi untuk mencapai tujuan penulisan.
5. Penarikan Kesimpulan dan Rekomendasi
Proses ini adalah menyusun simpulan berdasarkan analisis yang telah dilakukan dan saran untuk menindaklanjuti kesimpulan yang telah dirumuskan.
3.2 Metode Pengambilan Data
1. Tinjauan Pustaka:
Karya tulis ini memanfaatkan literatur, buku referensi, laporan statistik, dan hasil-hasil penelitian. Sumber-sumber tersebut digunakan untuk melengkapi kajian pustaka dan analisis.
2. Tinjauan Media:
Tinjauan media yang digunakan adalah berita-berita popular yang diterbitkan di media massa. Informasi dari media tersebut terutama digunakan untuk melengkapi data empiris untuk memperkuat permasalahan penulisan.
3.3 Metode Analisis Data
Metode analisis yang dilakukan dalam penyusunan karya tulis ini dilakukan dengan analisis deskriptif kualitatif dan analisis komparatif. Adapun penjelasan dari metode tersebut adalah sebagai berikut:
1. Analisis Deskriptif kualitatif
Analisis deskriptif kualitatif ini terutama ditujukan untuk mengeksplorasi permasalahan yang terkait dengan lahan terlantar. Input analisis ini adalah data-data tentang karakteristik lahan terlantar di Kota Surabaya dan gambaran teoritik permasalahan lahan terlantar. Kedua aspek data tersebut kemudian dijabarkan secara kualitatif dan dicari keterkaitan satu dengan yang lainnya sehingga dapat dirumuskan permasalahan mendasar yang terkait dengan lahan terlantar.
2. Analisis Komparatif
Analisis ini dilakukan untuk mendapatkan instrumen penanganan lahan terlantar, analisis instrumen tersebut untuk memecahkan persoalan lahan terlantar, dan kemudian menyusun konsep penangannya. Data input analisis ini adalah kasus-kasus penanganan lahan terlantar yang telah dilakukan sebelumnya, baik di dalam maupun luar negeri. Langkah berikutnya adalah membandingkan instrumen penanganan yang telah dilakukan dengan permasalahan lahan terlantar yang telah dirumuskan sebelumnya. Pada akhirnya dicari kesesuaian perangkat penanganan yang tepat berdasarkan permasalahan lahan terlantar yang dihadapi.
3.4 Kerangka Pikir Penulisan
Keberadaan Lahan Terlantar di
BAB 4
ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1 Perkembangan Lahan Terlantar
Gambaran empiris lahan terlantar dalam tulisan ini mengambil kasus di Kota Bandung. Sebagai salah satu kota besar di Indonesia, kondisi lahan terlantar di Kota Bandung tidak jauh berbeda dengan kota-kota besar lainnya. Gambaran perkembangan lahan terlantar ini diambil dari penelitian yang dilakukan oleh Ariastita, 2004. Berdasarkan penelitian tersebut, perkembangan lahan terlantar di Kota Bandung diperlihatkan pada Tabel 4 berikut.
Tabel 4
Perkembangan Lahan Terlantar di Kota Bandung Tahun 1999-2002
TAHUN LUAS LAHAN
TERLANTAR (Ha)
PROPORSI (%)
1999 576.71 3.45
2001 576.95 3.45
2002 571.21 3.41
Sumber: Ariastita, 2004
Keterangan: Lahan terlantar pada tabel di atas adalah lahan terlantar tidak terbangun
Berdasarkan Tabel 4 atas, perkembangan lahan terlantar di Kota Bandung relatif stabil, yaitu sekitar 3% dari total luas lahannya selama perioda tahun 1999-2002. Namun demikian, luas lahan terlantar yang sebenarnya jauh lebih besar. Hal ini karena pendataan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kota Bandung tidak menghitung lahan terlantar yang secara fisik terbangun. Jika lahan terlantar terbangun juga diikutsertakan dalam perhitungan, maka perhitungan luas lahan terlantar di Kota Bandung tentunya akan lebih besar dibandingkan dengan data di atas.
mengindikasikan adanya lahan terlantar, karena pemegang ijin lokasi tidak memanfaatkan lahannya sesuai dengan dasar penguasaannya. Data tersebut diperlihatkan pada Tabel 5.
Tabel 5
Kemajuan Perolehan Lahan Berdasarkan Ijin Lokasi
TAHUN KECAMATAN
2000 Bandung Kulon 15 9.35 62.33
Cicadas 3.19 1.77 55.49
Ciumbuluit dan Cidadap 80 0 0.00
2001 Bojongloa Kidul 11 8.93 81.18
Rancasari 25 3.36 13.44
Kiaracondong 7 0 0.00
2002 Bandung Kidul 60 0 0.00
Ujung Berung 30 8.25 27.50
TOTAL 231.19 31.66 13.69
Sumber: Kantor Pertanahan Kota Bandung, 2002
Tabel 5 di atas memperlihatkan kemajuan perolehan lahan dari pemegang ijin lokasi. Sisa lahan yang belum dikuasai atau dibebaskan diindikasikan merupakan lahan terlantar atau tergolong lahan yang ditelantarkan pemiliknya. Pemegang ijin lokasi dapat dikatakan belum memanfaatkan lahannya sesuai dengan dasar perolehan (ijin lokasi) yang diberikan. Dengan demikian, berdasarkan status pengembangannya, lahan terlantar jenis ini dapat digolongkan sebagai lahan terlantar yang belum seluruhnya dimanfaatkan.
4.2 Permasalahan Mendasar Lahan Terlantar
Penelitian yang dilakukan oleh Ariastita, 2004 di Kota Bandung menemukan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya lahan terlantar. Adapun faktor-faktor tersebut adalah faktor ekonomi, fisik/lokasi, hingga faktor kebijakan/administrasi. Faktor-faktor ini juga serupa dengan hasil yang diperoleh Ardhianty, 2002 dalam penelitiannya di Kota Bandung. Adapun rincian dari faktor-faktor penyebab terjadinya lahan terlantar ini diperlihatkan pada Tabel 1 Lampiran B.
dapat dikelompokkan ke dalam dua motivasi pemilik untuk menelantarkan lahannya. Adapun kedua motivasi tersebut dijelaskan sebagai berikut:
1. Penyebab yang dikatagorikan sebagai motivasi ingin mendapat keuntungan, terdiri dari spekulasi lahan dan investasi
2. Penyebab yang dikatagorikan sebagai adanya hambatan dalam memanfaatkan lahan, terdiri dari relokasi sektor kegiatan, keterbatasan modal, tidak laku dijual, karakteristik fisik/lokasi yang tidak sesuai, serta hambatan karena kebijakan/administrasi pemerintah.
Kedua motivasi di atas dapat dikatakan sebagai permasalahan mendasar yang menyebabkan timbulnya lahan terlantar khususnya di perkotaan. Dengan diketahuinya permasalahan tersebut, maka konsep penanganan lahan terlantar dapat dirumuskan.
4.3 Konsep Penanganan Lahan Terlantar
Konsep penanganan lahan terlantar dirumuskan berdasarkan hasil perumusan permasalahan mendasar lahan terlantar dan hasil sintesa kajian literatur tentang penanganan lahan terlantar. Pada prinsipnya, konsep penanganan lahan terlantar ditinjau dari kebijakan lahan adalah memberikan insentif untuk motivasi adanya hambatan dalam pengembangan lahan, serta memberikan disinsentif untuk motivasi yang ingin mendapatkan keuntungan. Selanjutnya prinsip tersebut dijabarkan ke dalam landasan penanganan lahan dan perangkat-perangkat operasionalnya.
Dalam konteks kebijakan lahan, perangkat-perangkat penanganan lahan lahan terlantar dapat dikelompokkan seperti pada Tabel 6 berikut
Tabel 6
Klasifikasi Perangkat Penanganan Lahan Terlantar Berdasarkan Skema Insentif dan Disinsentif
ASPEK PENANGANAN
INSENTIF DAN DISINSENTIF
INSENTIF DISINSENTIF
EKONOMI
1. Bantuan Dana/Grant 2. Pengurangan Sewa Lahan
3. Pinjaman
4. Kerjasama swasta/Pihak Lain
5. Pengurangan Pajak/ Pungutan Lain
6. Bank Lahan Inkonvensional
1. Pajak Progresif
ASPEK
10. Kemudahan Permohonan dan Prosedur Perijinan
5. Teguran/ Peringatan Tertulis 6. Pencabutan atau Tidak
Diterbitkannya Ijin 7. Ketentuan tentang
Keharusan Menyewakan Lahan
Sumber: Rangkuman dari Kivell, 1993 serta Lampiran A: Tabel 1, Tabel 2, dan Tabel 3
Berdasarkan perspektif kebijakan lahan, perangkat penanganan lahan terlantar dapat dikelompokkan berdasarkan aspek penanganannya serta skema instentif dan disinsentif. Dari Tabel 6 dapat dijelaskan bahwa perangkat penanganan tersebut dapat dikelompokkan menjadi enam katagori, yaitu perangkat-perangkat penanganan untuk aspek ekonomi, hukum, dan administratif yang masing-masing dapat dipecah lagi ke dalam katagori insentif dan disinsentif. Pengelompokkan perangkat ini juga mengindikasikan aspek persoalan yang ditangani nantinya.
Jika perangkat-perangkat di atas dikaitkan dengan landasan manajemen lahan yang digunakan, maka dapat dikelompokkan seperti yang diperlihatkan pada Tabel 7 berikut ini.
Tabel 7
Potensi Penerapan Perangkat Penanganan Lahan terlantar Berdasarkan Landasan Manajemen Lahan
Bundles of Right 1. Pre-Emption Right
2. Pengalihan Hak Atas Lahan
3. Pencabutan Hak Atas Lahan
1. Pencabutan Hak Atas Lahan
Eminent Domaint
Police Power 5. Kemudahan Perijinan
6. Kemudahan Penyelesaian Kasus Administratif
7. Teguran atau Peringatan Tertulis
8. Temporary Use 9. Pencabutan Ijin
10. Keharusan Menyewakan Lahan
11. Kerjasama swasta
3. Pencabutan Ijin
4. Teguran atau Peringatan Tertulis
Spending Power 14. Bantuan Dana/Grant 15. Pengurangan Sewa Lahan
16. Pinjaman
17. Bank Lahan Inkonvensional
18. Inventarisasi dan Promosi
Tabel 7 di atas juga memperlihatkan perangkat-perangkat penanganan lahan terlantar yang telah dipergunakan di Indonesia hingga saat ini. Dari 17 parangkat yang tersedia, hanya 5 perangkat yang telah diterapkan di Indonesia. Berdasarkan informasi ini kita dapat melihat bahwa sebenarnya masih banyak perangkat yang dapat digunakan untuk menangani lahan terlantar.
Perangkat yang tersedia tersebut pada dasarnya dapat diformulasikan untuk menangani persoalan mendasar lahan terlantar yang telah dirumuskan sebelumnya. Artinya terdapat perangkat yang dapat dipergunakan untuk menangani lahan terlantar yang didasari oleh adanya motivasi pemilik lahan untuk mengambil keuntungan. Demikian pula terdapat perangkat yang dapat dipergunakan untuk manangani persoalan lahan terlantar karena pemiliknya mengalami hambatan dalam mengembangkan lahan. Formulasi bagaimana perangkat penanganan yang tersedia dapat digunakan untuk mengatasi persoalan lahan terlantar dirumuskan sebagai konsep penanganan lahan terlantar. Adapun Konsep tersebut diperlihatkan pada Tabel 8. Selanjutnya, konsep ini yang nantinya dapat digunakan untuk mengatasi permasalahan lahan terlantar di perkotaan.
Tabel 8
Konsep Penanganan Lahan Terlantar di Perkotaan
PERSOALAN LAHAN - Pencabutan atau pembatalan ijin - Temporary use
- Pajak progresif pada lahan terlantar - Pencabutan hak atas lahan - Pre-empton right
- Teguran/ peringatan tertulis - Bantuan dana dari pemerintah untuk perbaikan infrastruktur
- Konsolidasi lahan
- Kerjasama swasta/ pihak lain - Bank lahan inkonvensional Keterbatasan
modal
- Teguran/ peringatan tertulis - Pengurangan sewa lahan - Pinjaman/ akses ke lembaga
keuangan
- Pengurangan pajak atau pungutan lain
- Kerjasama swasta atau pihak lain - Bank lahan inkonvensional Tidak laku
dijual
- Teguran/ peringatan tertulis - Kerjasama swasta atau pihak lain - Bank lahan inkonvensional
- Teguran/ peringatan tertulis - Kerjasama swasta/pihak lain - Bank lahan inkonvensional
BAB 5
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, maka dapat dirumuskan kesimpulan sebagai berikut:
1. Persoalan mendasar dari lahan terlantar di perkotaan pada dasarnya disebabkan oleh motivasi pemilik lahannya. Adapun motivasi tersebut adalah adanya hambatan dalam pengembangan lahan dan adanya keinginan untuk memperoleh kuntungan.
2. Instrumen pananganan lahan terlantar dapat diklasifikasikan berdasarkan aspek administrasi, ekonomi, dan hukum. Instrumen-instrumen tersebut juga dapat dikatagorikan sebagai instrumen yang bersifat insentif dan disinsentif.
3. Konsep penanganan lahan terlantar pada prinsipnya menggunakan perangkat yang bersifat insentif untuk menangani lahan terlantar yang disebabkan karena adanya hambatan dalam penanganannya, sebaliknya menggunakan perangkat yang bersifat disinsentif untuk motivasi mengambil keuntungan. Penerapan konsep ini dilakukan secara bertahap, yaitu dari perangkat administrasi, ekonomi, dan terakhir hukum.
5.2 Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan yang telah dirumuskan, maka karya tulis ini merekomendasikan sebagai berikut:
1. Lahan terlantar khususnya diperkotaan harus segera ditangani terutama untuk menegakkan nilai sosial lahan seperti yang diamanatkan dalam UU No. 5 Tahun 1960 Tentang Pokok-Pokok Agraria.
2. Untuk mengefektifkan penanganan lahan terlantar, konsep yang telah dihasilkan dapat dijadikan sebagai masukkan dalam regulasi teknis penanganan lahan terlantar, terutama di dalam PP No.36 Tahun 1998 tentang Penertiban dan Pendayagunaan Lahan Terlantar.
DAFTAR RUJUKAN
1. Ardhiaty, Niken Laras (2002). Konsep Penerapan Insentif dan Disinsentif untuk Penanganan Lahan terlantar. Tugas Akhir, Departemen Teknik Planologi Institut Teknologi Bandung
2. Ariastita, Putu Gde (2004). Perumusan Materi Pokok Peraturan Perundang-Undangan tentang Lahan terlantar. Tesis, Program Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Departemen Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung
3. Chapin Jr, Stuart & Edward J Kaiser (1979). Urban Land Use Planning. University of Illinois Press
4. Departemen Dalam Negeri (1982). Landasan Kebijaksanaan Pertanahan 5. Darin-Drabkin, Haim (1977). Land Policy and Urban Growth. Pergamon Press
6. Dunkerley, Harold (1983). Urban Land Policy, Issues and Opportunities. Washington. Oxford University Press
7. Hallet, Graham (1979). Urban Land Economic. London. The Macmillan Press Ltd 8. Herbet, Antoni dan Ferry (1999). Penyebab dan Dampak Lahan Tidur Perumahan di
Kabupaten Bandung. Proyek Akhir, Departemen Teknik Planologi, Institut Teknologi Bandung
9. Kivell. Philip (1993). Land and the City Patterns and Processes of Urban Change. Routledge, New York
10. ___, Awalnya menggarap, Akhirnya Membangun dan “menguasai”. Kompas, 1 Oktober 2003