Website: http://journal.uhamka.ac.id/index.php/jgel
Distribusi Spasial dan Temporal Urban Heat Island dan Penggunaan Lahan di Wilayah Perkotaan Yogyakarta Tahun 1999-2019
Cornelius Deni Wijaya Putra1,Fitria Nucifera1*,Dan Sola Tri Astuti1
1Program Studi Geografi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Amikom Yogyakarta, Yogyakarta, Indonesia
*E-mail: [email protected]
Received: 27 10 2021 / Accepted: 15 01 2022/ Published online: 27 01 2022
ABSTRAK
Kota Yogyakarta hingga tahun 2018 tercatat memiliki jumlah penduduk sekitar 500 ribu jiwa. Peningkatan jumlah penduduk akibat urbanisasi berdampak pada kebutuhan akan lahan yang semakin tinggi sehingga menyebabkan dampak negatif terhadap perkembangan kota. Dampak negatif yang ditimbulkan adalah penurunan kualitas lingkungan salah satunya peristiwa efek pulau panas atau urban heat island (UHI).
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui distribusi spasial dan temporal perubahan penggunaan lahan dan UHI di wilayah perkotaan Yogyakarta tahun 1999- 2019, serta mengidentifikasi hubungan antara tipe penggunaan lahan dan suhu permukaan. Data yang digunakan adalah citra Landsat dengan interval waktu 5 tahunan dari tahun 1999-2019. Metode pengukuran menggunakan metode penginderaan jauh dengan memanfaatkan citra Landsat. Pengolahan data yang dilakukan menggunakan pendekatan NDBI untuk mengetahui lahan terbangun, LST untuk mengetahui suhu permukaan, dan perhitungan UHI untuk mengetahui intensitas dan distribusi yang terjadi. Hasil pengolahan menunjukkan peningkatan intensitas UHI Pada tahun 1999 - 2009 sebesar 0,08°C, dan pada tahun 2009- 2019 sebesar 0,1°C. Perkembangan UHI di Kota Yogyakarta dan sekitarnya mengalami peningkatan disebabkan oleh meningkatnya kebutuhan lahan terbangun yang mengakibatkan peningkatan suhu. Wilayah yang termasuk dalam cluster UHI tinggi cenderung memiliki titik panas. Lokasi yang menjadi sumber titik panas paling besar berada di Kecamatan Banguntapan, Depok, Gamping, Kasihan, Mlati, Sewon, dan Depok.
Kata Kunci: Urbanisasi, UHI, NDBI, LST, Titik Panas ABSTRACT
The city of Yogyakarta until 2018 was recorded to have a population of around ± 500 thousand people. The population will continue to grow and experience an increase in population due to urbanization which has an impact on the need for higher land, causing a negative impact on urban development. The negative impact caused is a decrease in environmental quality, one of which is the heat island effect or UHI. UHI occurs in urban areas, caused by isolated locations and having a higher surface or air temperature than the surrounding area. The data used are Landsat images with 5-year time intervals from 1999-2019. The measurement method uses remote sensing methods by utilizing Landsat imagery. Data processing is carried out using the NDBI approach
to determine the built-up land, LST to determine surface temperature, and UHI calculations to determine the intensity and distribution that occurs. The processing results show an increase in UHI intensity in 1999-2009 by 0.08°C, and in 2009-2019 by 0.1°C. The development of UHI in the city of Yogyakarta and its surroundings has increased due to the increasing need for built-up land which results in an increase in temperature. Regions included in the High UHI cluster tend to have hotspots. The locations that are the biggest hotspots are in Banguntapan, Depok, Gamping, Kasihan, Mlati, Sewon, and Depok sub-districts.
Keywords: Urbanization, UHI, NDBI, LST, Hotspots
PENDAHULUAN
Indonesia mengalami peningkatan penduduk di wilayah perkotaan pada tahun 1960-2017 sebanyak 131,49 juta penduduk di bandingkan kawasan perdesaan sebanyak 44,71 juta penduduk (UN, 2018). Urbanisasi menjadi penyebab perkembangan kota di Indonesia yang ditandai dengan proses restrukturisasi internal kota, baik secara sosial ekonomi maupun fisik (Lasuardi & Muta’ali, 2014). Proses ini secara fisik ditandai dengan perubahan penggunaan lahan, baik di kota maupun di pinggiran kota.
Adanya wilayah perkotaan memberikan manfaat bagi penduduk khususnya yang bertempat tinggal di kawasan perkotaan dan sekitarnnya (Lasuardi & Muta’ali, 2014). Bentuk manfaat tersebut meliputi adanya sektor kesehatan, sektor perekonomian, sektor pendidikan, serta sektor transportasi umum yang memiliki kelengkapan fasilitas serta dapat diakses dengan mudah. Alasan tersebut menjadikan penduduk yang ingin bertempat tinggal di perkotaan dan sekitarnya karena untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan sosialnya (Fawzi, 2017). Selain itu, urbanisasi juga memberikan dampak negatif terhadap perkembangan kota yang intensif yaitu penurunan kualitas linkungan berupa polusi udara, efek pulau panas di perkotaan atau Urban Heat Island (UHI), bahkan beberapa perubahan pada iklim lokal dan regional (Syamsudin & Lestari, 2017).
UHI merupakan bagian dari fenomena pulau panas yang terjadi di perkotaan, disebabkan oleh lokasi yang terisolasi dan memiliki suhu permukaan atau udara lebih tinggi dari daerah disekitarnya (American Meteorological Society, 2014). Lahan terbangun berjenis bangunan, jalan, tempat parkir, dan permukaan beraspal lainnya sebagai bagian dari daerah perkotaan biasanya memiliki penyerapan radiasi matahari yang lebih tinggi dan konduktivitas termal yang lebih besar kapasitasnya pada siang hari, kemudian panas yang tersimpan tersebut dilepaskan di malam hari (Srivanit et al., 2012). UHI memiliki dampak negatif yang menyebabkan perubahan kualitas udara, pengaruh terhadap kesehatan manusia, penggunaan energi, serta perubahan iklim (Lai &
Cheng, 2009).
Wilayah Perkotaan Yogyakarta hingga tahun 2018 tercatat memiliki jumlah penduduk sekitar 431.939 penduduk (BPS, 2019), yang akan terus bertambah dan mengalami peningkatan penduduk. Hal ini akibat urbanisasi yang berdampak pada kebutuhan akan lahan yang semakin tinggi sehingga menyebabkan penurunan kualitas lingkungan yang berupa UHI. Penelitian ini penting dilakukan untuk mengetahui besar perubahan UHI dari waktu ke waktu, intensitas UHI yang ada, serta distribusi UHI di Wilayah Perkotaan Yogyakarta. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui distribusi spasial dan
temporal perubahan penggunaan lahan dan UHI di wilayah perkotaan Yogyakarta tahun 1999-2019 serta mengidentifikasi hubungan antara tipe penggunaan lahan dan suhu permukaan.
Beberapa penelitian terkait UHI digunakan sebagai referensi dan pembanding untuk penelitian yang dilakukan. Fawzi (2017), melakukan penelitian mengukur UHI yang bertujuan memberikan panduan ilmiah tentang perolehan intensitas dan distribusi UHI melalui teknik penginderaan jauh.
Penelitian memamparkan cara mendapatkan nilai intesitas dan distribusi UHI serta penerapan mitigasi UHI yang sesuai. Estoque dan Murayama (2017) menghasilkan penelitian berupa pemantauan pembentukan pulau panas perkotaan permukaan di kota pegunungan tropis dengan metode penginderaan jauh menggunakan data Landsat (1987-2015).
Hasil pertama penelitian tersebut berupa bukti dampak dan pendorong dari meningkat UHI adalah urbanisasi, hasil kedua berupa bukti efek intesitas UHI diakibatkan tidak hanya oleh tutupan lahan tetapi termasuk kelembapan permukaan, intensitas radiasi matahari dan kecepatan angin. Soltania dan Sharific (2017), menghasilkan penelitian berupa variasi harian dari efek pulau panas perkotaan dan korelasinya dengan penghijauan perkotaan: Studi kasus Adelaide. Metode pengukuran suhu menggunakan mobile temperature data logging device (EXTECH RHT10). Hasil penelitian ini berupa perkembangan UHI harian di Kota Adelaide, serta korelasi efek dari UHI terhadap tumbuhan canopy.
Kajian tentang UHI di Yogyakarta cukup beragam. Namun masih sedikit riset yang secara spesifik membahas pada distribusi UHI terhadap pekembangan perkotaan di Wilayah Perkotaan Yogyakarta dalam skala kecil menengah dengan temporal waktu yang cukup panjang. Oleh karena itu, riset ini diharapkan mampu
menyediakan referensi baru tentang dampak urbanisasi terhadap UHI.
METODE PENELITIAN Lokasi Penelitian
Secara geografis, daerah penelitian berada pada Zona UTM 49S dengan koordinat 431.166mT-9.138.824mU.
Secara admnistratif, lokasi penelitian mencakup Kota Yogyakarta, Kabupaten Sleman (meliputi Kecamatan Gamping, Melati, Depok, Berbah, Ngemplak, Ngaglik, Syegan, Godean), dan Kabupaten Bantul (meliputi Kecamatan Kasihan, Pajangan, Sewon, Pleret, Banguntapan, Piyungan). Peta lokasi penelitian dibatasi oleh persegi dengan luas sebesar 318,32 km² (Gambar 1).
Pendekatan Penelitian
Jenis penelitian pada topik ini merupakan penelitian kuantitatif dengan memanfaatkan teknologi penginderaan jauh. Metode penginderaan jauh menjadi kebutuhan, terutama berkaitan dengan efisiensi dan keefektifan analisis perkotaan (Weng, 2009). Sensor termal pada satelit memperoleh informasi kuantitatif mengenai suhu permukaan yang terkait dengan jenis tutupan lahannya. Informasi tersebut dapat digunakan untuk mengetahui pola perubahan tutupan lahan akibat UHI, memantau perkembangan UHI, serta dampak UHI dalam tingkat wilayah.
Metode pengumpulan, pengolahan, dan analisis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang meliputi citra Landsat dan shapefile data administrasi yang dapat diakses secara bebas (open source), dari data tersebut kemudian diolah sehingga informasi yang diinginkan sesuai. Tabel 1 berisi tentang sumber data yang digunakan, dan fungsi data dalam penelitian. Citra Landsat 5 dan 8 digunakan untuk pemrosesan suhu permukaan (LST), UHI dan NDBI
(Normalized Different Built-up Index).
Adapun diagram alir tahapan dalam
penelitian disajikan pada Gambar 2.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Gambar 2. Diagram Alir Penelitia
Tabel 1. Data Penelitian Data yang
digunakan
Sumber
Data Fungsi Data Citra
Landsat 5 dan 8
USGS Pengolahan suhu permukaan (LST), UHI, dan NDBI Shapefile data
administrasi kecamatan dan kabupaten
Ina- Geoportal
Penjelas informasi lokasi penelitian dan sebagai acuan dalam
pemotongan citra
Hasil proses LST dan UHI kemudian dikelaskan berdasarkan nilai minimum, nilai maksium, dan jumlah kelas yang akan dibuat. Jumlah kelas yang diterapkan pada LST dan UHI adalah 5 dengan menggunakan Equal Interval Classification pada penentuan kelas. NDBI digunakan sebagai dasar klasifikasi penggunaan lahan. Klasifikasi NDBI pada penelitian ini menggunakan klasifikasi milik Handayani et al (2017) yang dimodifikasi dengan parameter pada Tabel 2.
Tabel 2. Klasifikasi Penggunaan Lahan No. Kelas Kerapatan
1 < -0,23 Non Bangunan 2 -0,23 – 0,06 Bangunan Jarang 3 0,06 – 1,1 Bangunan Rapat
Penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kuantitatif untuk mendeskripsikan distribusi spasial dan temporal perubahan penggunaan lahan dan UHI. Analisis spasial bertujuan untuk mendeskripsikan sebaran lokasi yang memiliki nilai LST dan UHI tinggi.
Analisis temporal menggambarkan perubahan penggunaan lahan, LST dan UHI dari waktu ke waktu.
Uji korelasi statistik dilakukan untuk mengetahui hubungan antara NDBI sebagai representasi penggunaan lahan
dengan LST. Variabel dependen dalam analisis ini adalah LST, sedangkan variabel independen merupakan NDBI sebagai representasi penggunaan lahan.
Pengambilan sampel titik untuk uji korelasi dilakukan dengan teknik random sampling. Data yang diambil berupa data nilai piksel LST dan NDBI sebanyak 300 sampel yang tersebar di seluruh kecamatan di daerah penelitian pada tahun 1999, 2009, dan 2019 (Gambar 3).
Gambar 3. Peta Sebaran Sampel Piksel
HASIL DAN PEMBAHASAN
Distribusi Spasial Temporal Penggunaan Lahan (NDBI)
Secara spasial penggunaan lahan di daerah penelitian terbagi menjadi kawasan kota dan kawasan pinggiran kota. Distribusi spasial temporal penggunaan lahan di Wilayah Perkotaan Yogyakarta dan sekitarnya disajikan dalam bentuk peta temporal pada
Gambar 4. Klasifikasi penggunaan lahan memanfaatkan pedekatan NDBI dengan
pengkelasan berdasarkan Tabel 3.
Gambar 4. Peta Spasial-Temporal Penggunaan Lahan Daerah Penelitian
Tabel 3. Luas Penggunaan Lahan di Daerah Penelitian
Sumber: Analisis data (2021)
Kota Yogyakarta dengan luas wilayah sebesar 32,97 km² telah mengalami perubahan penggunaan lahan yang cukup tinggi pada tahun 1999
hingga tahun 2019. Grafik luas penggunaan lahan kawasan Kota Yogyakarta (Gambar 5) menjabarkan penggunaan lahan pada tahun 1999, 2009, dan 2019. Pada tahun 1999 kelas non-
1999 2009 2019
Klasifikasi Lahan Pemukiman (Km²) Jenis Bangunan
Lokasi Non Jarang Rapat Non Jarang Rapat Non Jarang Rapat
Kawasan Kota Kota
Yogyakarta 0,90 9,26 22,81 0,72 7,45 24,80 0,07 3,52 29,37
Kawasan Pinggiran Kota
Kecamatan
Banguntapan 4,91 17,80 6,01 5,25 14,86 8,60 1,01 14,21 13,49 Kecamatan
Depok 3,08 17,73 13,35 4,31 13,76 16,09 0,68 12,09 21,40 Kecamatan
Gamping 5,66 14,37 4,01 6,14 11,82 6,09 1,04 13,45 9,55 Kecamatan
Kasihan 3,64 19,28 6,07 5,68 15,64 7,66 0,54 16,64 11,81 Kecamatan
Mlati 7,08 17,11 4,01 7,70 14,19 6,31 2,68 15,60 9,92
Kecamatan
Sewon 4,68 13,19 4,83 4,04 11,71 6,94 1,32 12,01 9,36
bangunan memiliki luas sebesar 0,9 km², kelas bangunan jarang memiliki luas sebesar 9,26 km², dan kelas bangunan rapat memiliki luas sebesar 22,81 km².
Pada tahun 2009 luas kelas bangunan rapat mengalami peningkatan luas lahan menjadi 24,80 km², peningkatan tersebut menyebabkan terjadi penurunan luas lahan pada kelas lahan yang lain yaitu kelas non-bangunan menjadi 0,72 km² dan kelas lahan bangunan jarang menjadi 7,45 km². Pada tahun 2019 kembali terjadi peningkatan terhadap luas kelas bangunan rapat menjadi 29,37 km² yang berakibat pengurangan luas kembali terhadap kelas non-bangunan dan kelas bangunan jarang. Tahun 2019 untuk kelas non-bangunan memiliki luas sebesar 0,07 km² dan kelas bangunan jarang memiliki luas 3,52 km².
Kawasan pinggiran Kota Yogyakarta merupakan daerah yang berbatasan langsung dengan Kota Yogyakarta, pembatasan ini didasarkan pada kecamatan terdekat dengan batas Kota Yogyakarta. Kecamatan tersebut meliputi Kecamatan Banguntapan, Depok, Gamping, Kasihan, Mlati, dan Sewon. Grafik luas penggunaan lahan kawasan pinggiran Kota Yogyakarta (Gambar 6) menunjukkan adanya
fluktuasi pada setiap kelas penggunaan lahan. Fluktuasi merata terjadi pada semua kecamatan pada kelas penggunaan lahan non-bangunan pada tahun 1999, 2009, dan 2019. Terjadi peningkatan luasan untuk kelas bangunan rapat pada seluruh kecamatan pada tahun 1999, 2009, dan 2019. Peningkatan luas kelas lahan bangunan rapat terbesar terjadi pada Kecamatan Depok pada tahun 1999 dengan luas 13,35 km², kemudian mengalami peningkatan pada tahun 2009 menjadi 16,09 km² dan tahun 2019 menjadi 21,40 km².
Kelas bangunan rapat di kawasan kota dan kawasan pinggiran Kota Yogyakarta pada tahun 1999, 2009, dan 2019 mengalami peningkatan. Hal tersebut membuktikan besarnya pengaruh perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada kawasan kota akan memberikan dampak pada lahan yang berada di pinggiran kota. Kecamatan yang berada di kawasan pinggiran kota dan mengalami perubahan luas lahan terbesar adalah Kecamatan Depok karena mengalami peningkatan luas banguan rapat terbesar dari kecamatan yang lain. Maka dapat ditentukan arah perkembangan pembangunan perkotaan terbesar yaitu menuju ke arah utara Kota Yogyakarta.
Gambar 5. Grafik Luas (Km²) Penggunaan Lahan Kawasan Kota Yogyakarta
Gambar 6. Grafik Luas (Km²) Penggunaan Lahan Kawasan Pinggiran Kota Yogyakarta
Distibusi Spasial-Temporal Suhu Permukaan (LST)
Analisis suhu permukaan dilakukan untuk mengetahui kondisi suhu permukaan serta variasi suhu permukan yang terjadi di Wilayah Perkotaan
Yogyakarta dan wilayah sekitaranya.
Analisis distribusi suhu disajikan dalam Peta Spasial-Temporal Suhu Permukaan Daerah Penelitian (Gambar 7) dan Grafik Profil Melintang Suhu Permukaan secara temporal (Gambar 8).
Gambar 7. Peta Spasial-Temporal Suhu Permukaan Daerah Penelitian
Kondisi suhu permukaan pada daerah penelitian mengalami perubahan pada suhu permukaan maksimum dan minimum pada tahun 1999, 2009, dan 2019. Penjabaran suhu permukaan pada Peta Spasial-Temporal Suhu Permukaan Daerah Penelitian (Gambar 7) menjelaskan bahwa pada tahun 1999 suhu maksimum daerah penelitian sebesar 32,87°C dana suhu minimum sebesar 21,06°C. Tahun 2009 suhu maksimum mengalami kenaikan menjadi 33,67°C dan suhu minimum mengalami kenaikan menjadi 23,25°C. Kemudian pada tahun 2019 suhu maksimum terus mengalami kenaikan menjadi 35,39°C namun suhu minimum hampir sama dengan suhu minimum tahun 2009 sebesar 23,16°C.
Secara interpretasi, cluster suhu tertinggi terjadi di wilayah Kota Yogyakarta, Kecamatan Depok dan Kecamatan Banguntapan.
Kondisi suhu permukaan juga dapat dilihat menggunakan profil melintang suhu permukaan (Gambar 8 dan Gambar 9). Profil melintang dapat menggambarkan variasi suhu yang terjadi pada penggunaan lahan yang ada secara temporal. Secara keseluruhan sample cross section profil melintang A, B, C, dan D (Gambar 8 dan Gambar 9) menggambarkan peningkatan suhu permukaan pada setiap sample.
Peningkatan tersebut dapat terlihat pada kecenderungan arah grafik yang berada pada penggunaan lahan yang didominasi oleh bangunan jarang yang memiliki suhu permukaan lebih rendah sedangkan penggunaan lahan yang didominasi bangunan rapat memiliki suhu permukaan yang lebih tinggi. Tipe penggunaan lahan non-bangunan sebagai contoh adalah lahan pertanian pada Gambar A (Gambar 10).
Tipe penggunaan lahan bangunan jarang memiliki suhu lebih rendah dibanding tipe penggunaan lahan bangunan rapat karena adanya perbedaan kondisi lingkungan pada suatu lahan, pada Gambar B (Gambar 10) merupakan gambaran kondisi dari lahan tipe bangunan jarang dengan kondisi lingkungan yang terdapat bangunan yang berasosiasi dengan vegetasi sedangkan pada Gambar C (Gambar 10) merupakan gambaran kondisi dari lahan tipe bangunan rapat dengan kondisi lingkungan didominasi bangunan padat penduduk. Secara tidak langsung perkembangan penggunaan lahan berpengaruh terhadap kondisi suhu permukaan di wilayah kota dan pinggiran kota. Semakin meningkatnya kepadatan bangunan maka semakin meningkat juga kondisi suhu permukaan.
Gambar 8. Sample Cross Section Profil Melintang Suhu Permukaan Daerah Penelitian A (Timur Laut-Barat Daya) dan B (Utara-Selatan)
Gambar 9. Sample Cross Section Profil Melintang Suhu Permukaan Daerah Penelitian C (Barat Laut-Tenggara), dan D (Barat-Timur)
Gambar 10. Gambaran Wujud Asli dari Tiap Penggunaan Lahan yaitu Non Bangunan (A), Bangunan Jarang (B), dan Bangunan Rapat (C).
(Sumber: OpenStreetMap)
Hubungan antara Suhu Permukaan (LST) dengan Penggunaan Lahan (NDBI)
Secara tidak langsung suhu permukaan dengan penggunaan lahan memiliki hubungan yang selaras karena intensitas kepadatan bangunan mempengaruhi kondisi suhu permukaan pada wilayah tersebut. Diperlukan uji validitas, uji korelasi, serta uji normalitas terhadap variable suhu permukaan dan penggunaan lahan. Pengujian ini dilakukan untuk mengetahui kelayakan data sample, seberapa jauh tingkat hubungan antar variabel, bagaimana kondisi variabel data, serta bagaimana tingkat keakuratan nilai variabel. Uji normalitas data dilakukan pada variable data suhu permukaan dan penggunaan lahan untuk melihat kenormalan pendistribusian data. Pengujian normalitas data dilakukan dengan menggunakan analisis Kolmogorov-smirnov dengan
melihat nilai signifikansi > 5% dengan hipotesis H0 merupakan data berdistribusi normal sedangkan Hi merupakana data tidak berdistribusi normal. Berdasarkan hasil pengujian diperoleh keputusan terima H0 sehingga dapat disimpulkan bahwa suhu permukaan terhadap penggunaan lahan berdistribusi normal.
Gambar 11. Grafik Korelasi LST vs NDBI Uji korelasi dilakukan untuk mengetahui besar hubungan yang antara penggunaan lahan dengan suhu permukaan. Jika dilihat pada grafik nilai r
y = 11,362x + 28,116 R² = 0,4139 r = 0,64345
0 10 20 30 40
-0.60 -0.40 -0.20 0.00 0.20
LST
NDBI
sebesar 0,64345 (Gambar 11).
Berdasarkan Tabel 4, menunjukkan bahwa koefisian korelasi antara penggunaan lahan dengan suhu permukaan memiliki hubungan yang sangat kuat. Kemudian dilakukan uji validitas terhadap hasil korelasi pearson untuk mengetahui hasil kesesuaian data yang telah diperoleh apakah valid atau tidak. Dari hasil perhitungan pada Tabel 4 didapatkan nilai R hitung sebesar 0,643 lebih besar dari R table dengan nilai signifikan 5% sebesar 0,113. Maka data penggunaan lahan dengan suhu permukaan dinyatakan valid.
Tabel 4. Perhitungan R hitung vs R table Table perhitungan R
N (Jumlah Sample) 300
R hitung 0,643
R table 0,113
Kesimpulan Valid
Urban Heat Island (UHI) pada Daerah Penelitian
UHI pada daerah penelitian dibagi menjadi dua yaitu kawasan non-UHI dan kawasan UHI. Kawasan non-UHI merupakan Kawasan yang tidak terdampak oleh fenomena UHI dimana nilai UHI pada Kawasan tersebut sebesar
< 0°C, sedangkan Kawasan UHI merupakan kawasan yang terdampak oleh fenomena UHI dengan nilai UHI > 0°C.
Kawasan UHI daerah penelitian memiliki ambang batas suhu permukaan sebesar 32,87°C pada tahun 1999, 33,67°C pada tahun 2009, dan 35,39°C pada Tahun 2019 (Gambar 7). Untuk perkembangan UHI pada daerah penelitan mengalami peningkatan pada setiap tahunnya, pada tahun 1999 ke 2009 mengalami peningkatan intensitas UHI sebesar 0,08°C, dan pada tahun 2009 ke 2019 mengalami peningkatan intensitas UHI sebesar 0,1°C (Gambar 12). Peningkatan
yang terjadi pada ambang batas suhu permukaan dan intensitas UHI membuktikan bahwa pada daerah penelitian peningkatan suhu mempengaruhi peningkatan fenomena UHI.
Gambar 12. Grafik Intesintas UHI di Daerah Penelitian
Penjabaran intensitas UHI pada penelitian ini didasarkan oleh Peta Spasial-Temporal Urban Heat Island (UHI) Daerah Penelitian dari tahun 1999, 2009 dan 2019 (Gambar 13). Terlihat pada peta tersebut terdapat perubahan secara spasial terutama pada kawasan perkotaan secara konsisten mengalami ekspansi yang membentang dari pusat kota hingga memenuhi seluruh kawasan kota dengan intensitas UHI yang tinggi.
Kawasan pinggiran kota sebagai kawasan terdampak oleh aktifitas kawasan kota, yaitu Kecamatan Banguntapan, Depok, Gamping, Kasihan, Mlati, dan Sewon mengalami peningkatan intensitas UHI.
Kecamatan Depak merupakan kecamatan pada Kawasan pinggiran kota yang mengalami peningkatan UHI yang siginifikan dari tahun 1999, 2009 dan 2019. Sebagai wilayah yang memiliki intensitas dan distribusi yang tinggi, pusat Kota Yogyakarta, Kecamatan Depok, dan Kecamatan Banguntapan menjadi pusat cluster UHI Tinggi. Wilayah yang memiliki cluster UHI Tinggi cenderung memiliki titik panas (hotspots) yang mendorong perubahan lingkungan dalam skala yang luas berupa peningkatan suhu.
1 1.21.4 1.61.82
1999 2009 2019
UHI°C
Intensitas UHI
Gambar 13. Peta Spasial Temporal Urban Heat Island (UHI) Daerah Penelitian
Titik panas pada daerah penelitian tersebar di berbagai wilayah, titik panas tersebut merupakan hasil filter data UHI intensitas tinggi yang diperoleh dari perkembangan UHI dari tahun 1999, 2009 dan 2019 (Gambar 13). Berdasarkan Peta Titik Panas Daerah Penelitian terdapat dua lokasi menjadi sumber titik panas paling besar. Lokasi A (Gambar 14) sebaran titik panas berada di pusat Kota Yogyakarta, tepatnya berada di sekitar Kecamatan Kraton, Ngampilan, Mergangsan, dan Gondomanan. Sebagai kecamatan yang berada pada pusat kegiatan perkotaan, tidak bisa dihindari bahwa wilayah tersebut sebagai wilayah yang terdampak akibat adanya
peningkatan kepadatan penduduk. Hal lain yang menjadi penyebab Lokasi A menjadi pusat sebaran titik panas adalah jenis penggunaan lahan yang di dominasi oleh bangunan rapat, semakin rapat bangunan maka semakin meningkat suhu wilayah tersebut (Gambar 9). Lokasi B (Gambar 14) sebaran titik panas di sebelah timur kawasan Kota Yogyakarta yang berlokasi di kecamatan depok merupakan lokasi bandar udara Adisutjipto Yogyakarta. Sebagai bandara internasional, bandar udara Adisutjipto merupakan lokasi cluster UHI Tinggi karena sebagai pusat urbanisasi yang berakibat meningkatnya suhu wilayah bandara.
Gambar 14. Peta Lokasi Titik Panas Daerah Penelitian dan Indikasi Lokasi Cluster UHI Tinggi pada Kawasan Kota (A) dan Pinggiran Kota (B)
Implikasi UHI Kota Yogyakarta dan sekitarnya
Sebagai pusat perkembangan ekonomi, Pendidikan, sosial, serta kesahatan, Kota Yogyakarta sebagai ujung dari pembangunan terhadap wilayah lain khususnya kawasan pinggiran kota. Hal ini juga melekat pada perannya sebagai ibu kota dan tujuan urbanisasi. Namun, melihat perkembangan urbanisasi yang pesat telah mempengaruhi lingkungan alam kota dan hingga saat ini. Hal tersebut menjadi masalah yang penting untuk ditangani.
Seiring meningkatnya urbanisasi, lebih banyak lahan alami mengalami perubahan alih fungsi lahan menjadi lahan terbangun, yang secara umum memantulkan lebih sedikit dan menyerap lebih banyak energi matahari (Zha, Gao,
& Ni, 2003). Dapat dikatakan penurunan ketersediaan dan meningkatnya alih fungsi lahan menjadi faktor penentu dalam peningkatan suhu permukaan di kawasan perkotaan yang berpengaruh terhadap intensitas UHI (Colunga, 2015).
Intensitas UHI yang menyebabkan temperatur udara tinggi berakibat volume molekul udara berkembang sehingga tekanan udara menjadi rendah (Tipler, 1998). Kondisi tersebut jika tidak diatasi akan menyebabkan bencana cuaca ekstrim, salah satunya angin puting beliung (BNPB, 2012).
Salah satu cara untuk mengurangi intensitas UHI yaitu dengan memperbanyak ruang terbuka hijau karena ruang terbuka hijau perkotaan penting karena dapat membantu meningkatkan kualitas udara di perkotaan (Coutts, 2016). Namun, tidak semua kawasan dapat diterapakan ruang terbuka hijau khususnya kawasan perkotaan yang memiliki sedikit ruang terbuka serta kawasan komersial yang tidak dapat diubah atau ditambah struktur bangunannya. Kawasan kota sekitar
Kecamatan Kraton, Ngampilan, Mergangsan, dan Gondomanan sebagai lokasi pusat titik panas dan tidak dapat diterapakan ruang terbuka hijau dapat diperlakukan pemanfaatan green roofs berupa cara mitigasi dengan penambahan vegetasi pada atap bangunan, dan reflective roofs atau reflective wall dengan melakukan modifikasi pada material atap atau dinding untuk meningkatkan albedo (Giguere, 2012).
Kawasan komersial seperti Bandar Udara Adisutjipto Yogyakarta dapat menerapkan greening parking lots dengan melakukan penanaman vegetasi disekitar area tempat parkir atau pembuatan area parkir dengan tutupan vegetasi bukan aspal, vegetation around building dengan membangun taman kecil atau penanaman vegetasi disekitar bangunan, dan high-albedo pavement dengan meningkatkan albedo pada trotoar atau jalan seperti memberikan pigmen yang reflektif pada aspal dan beton (Giguere, 2012).
Penambahan vegetasi dianggap sebagai hal yang paling baik untuk menekan suhu, keberadaan vegetasi mampu mengurangi suhu udara serta penggunaan material dengan albedo tinggi pada bangunan atau jalan juga dapat menurunkan suhu karena sedikit menyerap panas (Fawzi, 2017).
Berdasarkan beberapa
rekomendasi mitigasi yang telah diberikan pada kawasan kota sekitar Kecamatan Kraton, Ngampilan, Mergangsan, Gondomanan dan kawasan pinggiran kota pada Kecamatan Depok sebagai lokasi pusat titik panas, terdapat lokasi pada kawasan kota maupun kawasan pinggiran kota yang telah menerapakan upaya mitigasi. Berdasarkan Tabel 5 validasi mitigasi pada lokasi UHI tinggi untuk lokasi 1 merupakan sepanjang Jalan Alun- Alun Utara Yogyakarta telah menerapkan mitigasi UHI berupa penanaman vegetasi pada tiap sisi bangunan dan sisi jalan pada sepanjang pinggiran jalan. Lokasi 2
merupakan kawasan pemukiman penduduk di Kecamatan Ngampilan, kawasan tersebut hanya sebagian kecil yang menerapakan penanaman vegetasi pada tiap sisi bangunan namun tidak semua tiap rumah tedapat vegetasi. Lokasi 3 merupakan lokasi komersial kepolisian daerah yaang telah menerapakan penanaman vegetasi pada tiap sisi bangunan dan jalan dengan sangat baik.
Lokasi 4 merupakan Kawaasan Kraton Yogyakarta yang telah menerapakan penanaman vegetasi pada tiap sisi bangunan dan pada area parker terdapat vegetasi dengan lahan bukan berupa aspal sangat baik. Lokasi 5 merupakan kawasan sepanjang Jalan DI Panjaitan telah menerapkan penanaman vegetasi pada
tiap sisi jalan dengan baik. Lokasi 6 merupakan desa dekat perbatasan Bandara Adisucipto telah menerapakan penanaman vegetasi pada tiap sisi bangunan walau kurang melihat kondisi vegetasi yang masih rendah.
Secara keseluruhan lokasi-lokasi yang berada pada titik panas sudah menerapakan beberapa rekomendasi mitigasi UHI namun tidak semua lokasi menerapkan mitigasi secara maksimal terutama di kawasan pemukiman padat penduduk yang hanya beberapa rumah saja yang telah menerapakan mitigasi UHI. Kondisi tersebut menyebabkan intensitas UHI belum bisa ditekan jika setiap upaya mitigasi UHI belum dilaksanakan secara maksimal.
Tabel 5. Validasi Mitigasi pada Lokasi UHI Tinggi
No. Foto Lokasi Koordinat
Keterangan
X Y
1 Jl. Alun-alun Utara
Yogyakarta 110,3632256 -7,8043708
Merupakan kawasan sepanjang Jalan Alun-alun Utara yang termasuk dalam kawasan titik panas
2
Jl. Kp.
Ngadiwinatam No 129a Ngampilan, Kota Yogyakarta
110,3599947 -7,8000873
Merupakan kawasan pemukiman penduduk di Kecamatan Ngampilan`
yang termasuk dalam kawasan titik panas
3
Jl. Reksobayan Ngupasan, Kec.
Gondomanan Kota Yogyakarta
110,3635760 -7,7992159
Merupakan kawasan komersial milik dinas daerah yang termasuk dalam kawasan titik panas
4
Panembahan Kecamatan Kraton Yogyakarta
110,3633574 -7,8088080
Merupakan kawasan Kraton Yogyakarta dan sebagai kawasan budaya yang termasuk dalam kawasan titik panas
5
Jl. D.I. Panjaitan No. 22,
Mantrijeron Kota Yogyakarta
110,3625947 -7,8155995
Merupakan kawasan sepanjang Jalan D.I.
Panjaitan yang termasuk dalam kawasan titik panas
6
Jl. Amarta No.33 Kalangan, Baturetno Kec. Banguntapan Bantul
110,4205269 -7,7987295
Merupakan desa dekat perbatasan Bandara Adisutjipto yang termasuk dalam kawasan titik panas
KESIMPULAN.
Distribusi spasial dan temporal UHI pada tahun 1999-2019 di daerah penelitian sejalan dengan perkembangan penggunaan lahan dan suhu permukaan.
Wilayah yang memiliki cluster UHI Tinggi masuk kedalam jenis lahan bangunan rapat dengan nilai suhu yang tinggi. Lokasi cluster UHI Tinggi untuk kawasan kota terletak di sekitar Kecamatan Kraton, Ngampilan, Mergangsan, dan Gondomanan. Lokasi cluster UHI Tinggi untuk kawasan pinggiran kota terletak di timur kawasan Kota Yogyakarta yang berlokasi di kecamatan depok merupakan lokasi bandar udara Adisutjipto Yogyakarta.
Hasil uji statistik menunjukan bahwa koefisian korelasi antara penggunaan lahan dengan suhu permukaan memiliki hubungan yang sangat kuat. Peningkatan yang terjadi pada suhu permukaan dan intensitas UHI membuktikan bahwa pada daerah penelitian peningkatan suhu mempengaruhi peningkatan fenomena UHI.
DAFTAR PUSTAKA
American Meteorological Society. (2014).
AMS glossary of meteorology.
Massachusetts: Online Glossary.
BPS. (2019). Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Angka 2018.
Yogyakarta: BPS Daerah Yogyakarta.
BNPB. (2012). Peraturan Kepala BNPB No. 02 Tahun 2012 Tentang:
Pedoman Umum Pengkajian Risiko Bencana. Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Colunga, M. (2015). The role of urban vegetation in temperature and heat island effects in Querétaro city, Mexico., Atmosfera, 28(3), 205–
218.
Coutts, A. (2016). Thermal infrared remote sensing of urban heat:
Hotspots, vegetation, and an assessment of techniques for use in urban planning. Remote Sensing of Environment, 186, 637–651.
Estoque, R. C., & Murayama, Y. (2017).
Monitoring surface urban heat island formation in a tropical mountain. Journal of Photogrammetry and Remote Sensing, 18-29.
Fawzi, N. I. (2017). Mengukur Urban Heat Island Menggunakan Pengindraan jauh, Kasus di Yogyakarta. Mengukur Urban Heat Island Menggunakan Penginderaan Jauh, 195.
Giguere, M. (2012). Urban Heat Island Mitigation Strategies. Quebec:
Institut National De Sante Publique.
Handayani, M. N., Sasmito, B., & Putra, A. (2017). Analisis Hubungan antara Perubahan Suhu dengan Indeks Kawasan Terbangun Menggunakan Citra Landsat (Studi Kasus: Kota Surakarta). Jurnal Geodesi Undip, Vol. 6, No. 4.
Lai, L., & Cheng, W. (2009). Air quality influenced by urban heat island coupled with synoptic weather patterns. Science of the Total Environment, 407(8), 2724–2733.
Lasuardi, A. L., & Muta’ali, L. (2014).
Dinamika Sspasial Proses Urbanisasi Perkotaan Yogyakarta, Tahun 2000-2010. Pembangunan Wilayah, 3.
Soltania, A., & Sharif, E. (2017). Variasi harian dari efek pulau panas perkotaan dan korelasinya dengan penghijauan perkotaan: Studi kasus Adelaide. Frontiers of Architectural Research, 529-538.
Srivanit, M., Hokao, K., & Phonekeo, V.
(2012). Assessing the Impact of Urbanization on Urban Thermal Environment: A Case Study of Bangkok Metropolitan.
International Journal of Applied Science and Technology, 244.
Syamsudin, F., & Lestari, S. (2017).
Dampak Pemanasan Pulau Perkotaan (Urban Heat Island) pada Peningkatan Tren Curah Hujan Ekstrem dan Aerosol di Megapolitan Jakarta Sejak 1986.
Dampak Pemanasan Pulau Perkotaan, 1.
Tipler, P. (1998). Fisika untuk Sains dan Teknik-Jilid I (terjemahan). Jakarta:
Penebit Erlangga.
UN. (2018). 2018 Revision of World Urbanization Prospects. Retrieved from Department of Economic and
Social Affairs:
https://ourworldindata.org/urbanizat ion
Weng, Q. (2009). Thermal infrared remote sensing for urban climate and environmental studies:
Methods, applications, and trends.
ISPRS Journal of Photogrammetry and Remote Sensing.
Zha, Y., Gao, J., & Ni, S. (2003). Use of normalized difference built-up index in automatically mapping.
International Journal of Remote Sensing, 24(3), pp. 583−594.